KASIH KARUNIA DAN BIDAT MARSIONISME

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
KASIH KARUNIA DAN BIDAT MARSIONISME
Keluaran 33:12-19 merupakan satu bagian dari ayat-ayat di Perjanjian Lama yang membicarakan tentang kasih karunia. Hal ini untuk menunjukkan bahwa kasih karunia Allah itu bukanlah hanya khas Perjanjian Baru tetapi juga telah ada dalam Perjanjian Lama. Bahkan kepada Musa dan Israel yang hidup pada masa regulasi hukum Taurat berlaku, kasih karunia Allah tetap ada, dan akan selalu tetap ada. 

Kevin J. Conner mangatakan, “Bahkan di bawah hukum Musa, atau keketapan Hukum Taurat, kasih karunia Allah diwujudkan dan disimbolkan. Ini khususnya terlihat dalam Tabernakel Musa, perayaan-perayaan Tuhan, dan keimaman Harun, dan kurban-kurban serta persemnahan dari hukum upacara. Darah kurban atas tempat pendamaian Tabut Perjanjian, yang menutupi loh-loh batu Hukum Taurat, sebenarnya adalah wahyu kasih karunia di bawah masa Hukum Taurat. Sekalipun pada umumnya bangsa Israel tidak mengenali hal tersebut, ada sejumlah kecil orang yang setia dan sungguh-sungguh memandang kasih karunia Allah dalam sikap ini”.[1]

Pertanyaannya adalah “Mengapa kasih karunia akan selalu tetap ada?” Karena kasih karunia merupakan salah satu atribut moral dari kesempurnaan Allah. Karena itu disepanjang sejarah, di dalam Alkitab kita melihat bahwa kasih karunia Allah senantiasa dilimpahkan kepada umat manusia, termasuk dalam Perjanjian Lama. Hanya saja, kasih karunia bekerja dengan cara yang berbeda pada konteks zaman yang berbeda-beda.[2] Kutipan ayat tersebut juga dimaksudkan untuk mematahkan prasangka dari ajaran sesat Marsionisme yang beranggapan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang berbeda dari Allah Perjanjian Baru.[3] 

Marcion yang hidup pada abad kedua mengajarkan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama adalah Allah yang menciptakan dan yang sangat tegas dalam menjalankan keadilan, sedangkan Allah Perjanjian Baru adalah Allah yang penuh kasih.[4] Marcion juga berpandangan bahwa keselamatan hanya diberikan kepada orang yang menyangkal Perjanjian Lama dan menyerahkan diri kepada Allah yang mengutus Yesus Kristus. [5] 

Dualisme Marcion tentang Allah tersebut jelas bertentangan dengan ajaran Alkitab karena Allah Perjanjian Lama yang memberikan Taurat dan Allah dalam Perjanjian Baru yang menyatakan diri dalam Kristus adalah Allah yang sama. 

Henry C. Thessen menyatakan, “Taurat dan kasih karunia ternyata saling melengkapi bila sifat dan maksudnya dipahami dengan benar”.[6] Dengan menggambarkan bahwa Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian itu berbeda membawa Marcion pada penolakan terhadap kesatuan Alkitab. Dampak dari ajaran Marsionisme ini masih terasa hingga hari ini, yaitu adanya orang-orang yang mengontraskan Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. 

Kevin J. Conner menjelaskan keselarasan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai berikut, “Alkitab berisi dua bagian utama, Perjanjian Lama dan Baru, yang keduanya memiliki penekanannya yang unik. Namun, masing-masing tidak lengkap tanpa yang lain dan masing-masing saling melengkapi secara sempurna. 

Ada sekitar 6.600 referensi silang di antara keduanya yang mendukung keterkaitan mereka. Telah dikatakan bahwa: Perjanjian Baru dimasukkan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama dijelaskan dalam Perjanjian Baru; Perjanjian Baru dibungkus dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama disingkapkan dalam Perjanjian Baru; Perjanjian Baru disembunyikan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Lama diungkapkan dalam Perjanjian Baru”.[7] 

Henry C. Thiessen menyatakan, “Sekalipun Alkitab ditulis oleh sekitar empat puluh penulis berbeda selama rentang waktu sekitar 1.600 tahun, amanatnya satu. Alkitab mempunyai satu sistem doktrinal, satu tolok ukur moral, satu rencana keselamatan, satu program untuk segala zaman”.[8] Selanjutnya Thiessen menjelaskan alasan kesatuan tema Alkitab tersebut demikian, “Hanya Allah, yaitu Dia yang mengilhami seluruh Alkitab, dapat memberikan kesatuan pandangan yang dimiliki oleh Alkitab”.[9] 

Saya berpendapat bahwa orang-orang yang mengontraskan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru itu pastilah tidak memahami : (1) bahwa Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru itu satu dan Allah sama adanya; (2) bahwa pewahyuan Allah tentang diriNya dan rencana keselamatan serta penggenapannya bersifat progresif. Akibat tidak memahami kedua hal ini, orang-orang tersebut akhirnya berkesimpulan bahwa kasih karunia Allah hanya ada pada masa Perjanjian Baru dan tidak ada pada masa Perjanjian Lama. 

Namun faktanya, walaupun Perjanjian Lama dan Perjanjain Baru itu memang berbeda, tetapi merupakan suatu kesatuan yang harmonis jika dilihat dari : (1) Kasih karunia Allah yang didemonstrasikan disepanjang sejarah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru. (2) Pewahyuan Allah yang bersifat progresif; dan (3) Kristus sebagai sentralitas (pusat) berita Alkitab; (4) Prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama. 

1. Kasih karunia Allah yang didemonstrasikan disepanjang sejarah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru. 

Karena itulah intitesis seluruh tulisan ini menghubungkan keselamatan dengan anugerah sebagai berikut, “Keselamatan, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, sebelum dan sesudah karya pendamaian Kristus dalam kematianNya di kayu salib, selalu tetaplah sama, yaitu karena kasih karunia yang diterima melalui iman. 

Dasar keselamatan dalam setiap zaman adalah kematian Kristus (dalam Perjanjian Lama, kematian hewan korban merupakan perlambang dari kematian Kristus); Persyaratan bagi penerimaan keselamatan dalam setiap zaman adalah iman (Efesus 2:8); Objek iman dalam setiap zaman adalah Tuhan (Ibrani 11:6), namun cara Allah menyingkapan keselamatan itu berbeda-beda, khususnya dalam Perjanjian Lama (yang lebih berhubungan dengan Taurat dan hukum Musa) dan Perjanjian Baru (yang lebih berhubungan dengan berita Injil).”[10] 

2. Pewahyuan Allah yang bersifat progresif. 

Untuk bisa menafsirkan secara wajar tetapi konsisten, harus mengakui bahwa pewahyuan Alkitab diberikan secara progresif. Artinya bahwa dalam proses pewahyuan pesanNya kepada manusia, Allah bisa menambah atau bahkan mengubah dalam suatu waktu apa yang Dia telah berikan sebelumnya. Sangat jelas Perjanjian Baru menambah banyak yang belum dinyatakan dalam Perjanjian Lama. Apa yang Allah nyatakan sebagai kewajiban suatu saat bisa dibatalkan kemudian. Contoh : Seperti larangan makan daging babi, pernah mengikat umat Allah, kini dibatalkan (1 Timotius 4:3). 

Kegagalan untuk mengenal sifat progresif ini, dalam pewahyuan, akan membangkitkan kontradiksi yang tidak bisa diselesaikan antara bagian-bagian Alkitab kalau diartikan secara harfiah dan wajar. Perhatikan contoh-contoh berikut dari Alkitab yang akan berkontradiksi jika diartikan secara sederhana atau harfiah kecuali jika kita mengenal adanya perubahan karena adanya kemajuan (progres) dalam pewahyuan : Matius 10:5-7 dan 28:18-20; Lukas 9:3 dan 22:36; Kejadian 17:10 dan Galatia 5:2; Keluaran 20:8 dan Kisah Para Rasul 20:7. 

Perhatikan juga perubahan penting dinyatakan dalam Yohanes 1:17; 2 Korintus 3:7-11. Mereka yang tidak secara konsisten memakai prinsip pewahyuan yang progresif ini dalam penafsiran terpaksa kembali pada penafsiran secara alegoris, mistis atau kadang-kadang mengabaikan saja bukti yang ada.[11]

3. Kristus sebagai sentralitas (pusat) berita Alkitab. 

Ada benang merah yang dapat ditarik untuk melihat kesatuan Alkitab dari Kitab Kejadian sampai dengan Kitab Wahyu. 

Michael S. Horton mengatakan demikian, “ Alkitab seringkali dikatakan mirip perpustakaan daripada sebuah buku. Kadang-kadang kita begitu dibingungkan dengan keragaman penulisannya, heran bagaimana Kitab Imamat atau Ester memiliki hubungan dengan Injil Matius atau Surat Roma. Hal apakah yang menjadi benang yang dapat mengaitkan semua cerita, hukum dan hikmat, nubuat, puisi, ajaran , dan nasihat? Ada pesan nyata yang menggabungkan Kejadian hingga Surat Wahyu, dan Kristuslah yang menggabungkan semua benang itu bersama-sama. 

Ketika kita membaca Alkitab dengan panduan alurnya, segala sesuatu mulai sesuai pada tempatnya. Di balik semua cerita, kepingan hikmat, pujian, nasihat, dan nubuat, ada misteri yang sedang diungkapkan tentang Kristus dan karya penebusannya”.[12] 

Selanjutnya Michael S. Horton Menambahkan, “Kristus adalah benang yang menarik berbagai unsur pewahyuan Alkitab bersama-sama. Terpisah dari Dia, jalan cerita terputus menjadi karekater tokoh yang berserakan, kisah-kisah yang tidak berkaitan, hukum-hukum yang misterius, dan nubuat yang membingungkan”.[13]

Michael Eaton, “Kekristenan adalah Kristus”.[14] Dasar untuk prinsip ini adalah fakta bahwa Kristus merupakan pribadi sentral dari Alkitab. Pribadi dan karyaNya merupakan tema dari pernyataan tertulis Allah. Pada roda pernyataan ilahi, Kristus adalah porosnya, dan semua kebenaran adalah bagaikan jari-jari (ruji) yang terkait padaNya yang adalah Sang Kebenaran. 

Berikut ini beberapa ayat yang menujukkan sentralitas Kristus dalam Alkitab (Lukas 24:27,44; Yohanes 1:45; 5:39; Kisah Para Rasul 10:43; Ibrani 10:7).[15] Karena itu, setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus. Entah itu bersifat eksplit maupun implisit. Karena Yesus Kristus sendiri adalah Firman itu, yang berinkarnasi (Yohanes 1:1,14), dan sementara di bumi Ia sendiri memiliki pewahyuan penuh dari Bapa dan Roh. Ia mempunyai kemampuan dan otoritas untuk menambah, menegaskan, menjernihkan, dan mengesahkan kata-kata dalam Perjanjian Lama (Ibrani 1:1-2).[16] 

Ingatlah, bahwa Injil awalnya diberitakan oleh Tuhan, selanjutnya Injil tersebut diberitakan oleh murid-muridNya (Ibrani 2:3-4). Pauline Hoggarth mengatakan, “Kisah-kisah Alkitab memfokuskan tujuan misional Allah di dalam pribadi Yesus. 

Jadi, selagi kita bersekutu dengan firman Allah, kita mesti menangkap bagaimana tiap-tiap penggalan Alkitab memberi kontribusinya pada kisah rencana-rencana Allah dan memberi petunjuk mengenai sentralitas figur Yesus di dalam rencana-rencana tersebut”.[17]

4. Prinsip prioritas Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama. 

Telah disebutkan dalam prinsip kristosentris di atas bahwa setiap ajaran utama dalam Alkitab selalu ditemukan dalam perkataan Tuhan Yesus? Ajaran Yesus ini kemudian dikembangkan melalui pewahyuan Roh Kudus dalam tulisan Injil dan surat-surat apostolik Perjanjian Baru. Yesus berjanji bahwa saat Roh Kudus datang, Dia akan memimpin rasul-rasul pertama itu dalam seluruh kebenaran dan mengungkapkan segala sesuatu kepada mereka (Yohanes 14:26 bandingkan 16:13-14). 

Yesus memang telah mengajarkan segala sesuatu kepada murid-muridNya, tetapi dalam ukuran tertentu sebelum Roh Kudus datang, mereka tidak mampu memahami perkataan-perkatan Kristus. Pada hari Pentakosta, saat Roh Kudus diberikan, murid-murid mendapatkan permahaman baru terhadap perkataan Kristus dan Perjanjian Lama, dan mereka mencatatnya dalam apa yang kita kenal dengan Perjanjian Baru. 

Karena itu bagi orang percaya, Perjanjian Baru memiliki prioritas atas Perjanjian Lama. Artinya, Perjanjian Lama harus dipahami dalam terang Perjanjian Baru, yang menjelaskan, menegaskan kembali dan mengoreksi Perjanjian Lama. 

Charles C. Ryrie menjelaskan, “Walaupun Kitab Suci diilhami dan bermanfaat, namun Perjanjian Baru memiliki prioritas yang lebih besar sebagai sumber pengajaran. Pernyataan Perjanjian Lama merupakan persiapan dan tidak lengkap, sedangkan pernyataan Perjanjian Baru merupakan klimaks dan dan lengkap”.[18] 

Dengan demikian harus dimengerti bahwa ajaran Kekristenan yang Alkitabiah tidak didasarkan atas Perjanjian Lama, melainkan berdasarkan Perjanjian Baru yang didasarkan pada ajaran Kristus. Roh Kudus yang mencerahkan pengertian para Rasul terhadap ajaran Kristus dan memberikan pewahyuan kepada mereka dalam menuliskan Perjanjian Baru di bawah pengilhaman Roh Kudus, adalah Roh Kudus yang sama yang memberikan kemampuan kepada kita untuk memahami ajaran Kristus, ajaran Perjanjian Baru dan Perjanjian Lama, yaitu Alkitab. Para teolog menyebutnya dengan istilah “iluminasi” Roh Kudus.[19] 

Petrus mengatakan “Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah” (1 Petrus 1:20-21 ). 

KASIH KARUNIA DAN BIDAT MARSIONISME

[1] Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 569. 

[2]Pada pasal 4 Saya secara khusus akan membahas kasih karunia Allah yang didemonstrasikan disepanjang sejarah.

[3]Berkhof, H & I.H. Enklaar., 2013. Sejarah Gereja. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta, hal. 21-24. 

[4]Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen, Jilid 1. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 473.

[5]Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen dari masa Ke Masa. Penerbit Yayasan Daun Family : Manado, hal. 51.

[6] Thiessen, Henry C., 1992. Teologi Sistematika, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 70.

[7] Conner, Kevin J., 2004. A Practical Guide to Christian Bilief. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, 82-83. 

[8]Thiessen, Henry C., 1992. Teologi Sistematika, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 70.

[9] Ibid, hal. 71

[10]Dikutip dari artikel saya yang disampaikan dalam khotbah Ibadah Raya GBAP Bintang Fajar Palangka Raya tanggal 10 Mei 2015 yang berjudul “Misi Yesus: Mendamaikan Dunia dengan Allah”, hal 30. 

[11]Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal 150.

[12]Horton, Michael S. 2011. The Gospel Driven Life. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yogyakarta, hal 117.

[13]Ibid, hal. 118.

[14]Eaton, Michael 2008. Jesus Of The Gospel. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 8.

[15]Conner, Kevin J & Ken Malmin., 2004. Interprenting The Scripture. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 235. 

[16]Alan Vincent menuliskan “Beberapa kali dalam khotbah di bukit, dimulai dalam Matius 5, Yesus mengambil kata-kata Musa dan mengoreksinya, mengembangkannya atau menegaskannya kembali – membawanya ketingkat yang lebih tinggi dalam Kerajaan dimana hati dan juga tindakan lahiriah diselidiki. Dia mengajar tentang doa (Lihat Matius 6:5-13), pemberian (Matius 6:1-4), puasa (Matius 6:16-18), kemarahan (Matius 5:22), nafsu (Matius 5:28), perzinahan (5:27-28), pengampunan (Matius 6:14-15), dan pembunuhan (Matius 5:21-22). Dalam Matius 19:3-10, Dia mengoreksi ajaran Musa tentang perkawinan dan perceraian, dan masih banyak contoh lainnya” (Vincent, Alan., Heaven On Earth. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta, hal 20).

[17]Hoggarth, Pauline., 2011. Menabur Firman: Mengkomunikasikan Firman Allah Secara Tepat dan Relevan. Terjemahan, Yayasan Kumunikasi Bina Kasih: Jakarta, hal. 103.

[18]Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal 20.

[19]Penting untuk mengetahui bahwa kata “pewahyuan” berbeda dengan kata “pengilhaman” dan “ilumimasi”. Dalam pengertian teknis-teologis, kata “pewahyuan” atau disebut juga “penyataan Allah” menunjuk kepada pengalihan pikiran Allah kepada pikiran manusia yang dipilih Allah menjadi penulis-penulis kitab-kitab Alkitab; “Pengilhaman” atau disebut juga “inspirasi” menunjuk pada penulisan naskah-naskah asli Alkitab oleh para penulis pihak manusia dalam kontrol Roh Kudus; Sedangkan “iluminasi” atau disebut juga “pencerahan” menunjuk pada pimpinan Roh Kudus yang memampukan manusia memahami kebenaran Alkitab dalam relevansinya pada setiap konteks kehidupan.
Next Post Previous Post