John Sung: SANG OBOR ASIA

Lahir hingga Masa Kecil Pada tanggal 29 September 1901 John Sung dilahirkan di desa Hingwa, Provinsi HokKian (Fukien) dengan nama Sung Shang Chieh. Ketika ia berusia 9 tahun, ia mendengarkan khotbah Jumat Agung tentang “Yesus di Taman Getsemani”. Pengkhotbah waktu itu membandingkan para murid yang sedang tidur dengan keberanian Yesus. Banyak orang menangis dengan dukacita yang mendalam di akhir khotbah itu, termasuk John Sung. 
John Sung: SANG OBOR ASIA
Namun di saat itu ia tampaknya belum bertobat dengan sungguh-sungguh, sekalipun di masa kecilnya ia membantu pelayanan ayahnya yang adalah seorang pendeta dari gereja lokal America Wesleyan Methodist. Bila ayahnya sakit atau ada urusan keluar, dan tidak ada yang menggantikan, John Sung sering menggantikan ayahnya dalam memimpin kebaktian. Ia sering disebut pendeta cilik. 

Masa Muda, Pertobatan, dan Pelayanan 

Pada tahun 1920, pada usia 19 tahun, John Sung dikirim ke Amerika untuk melanjutkan studi. Ia diterima di Ohio Wesleyan University dengan memperoleh beasiswa. Ia mulai mengambil kelas pra-medis dan pratheologi, namun berhenti dari mata kuliah pra-theologi, serta memutuskan untuk mengambil spesialisasi dalam bidang matematika dan kimia. Ia menghadiri kebaktian secara rutin dan mengorganisir kelompok-kelompok penginjilan di kalangan mahasiswa. Namun akihirnya ia menolak belajar Alkitab dan berdoa, dan berbuat curang pada salah satu dari makalah-makalah ujiannya.  

John Sung sangat berprestasi dalam kuliahnya, terbukti dari medali emas dan uang tunai untuk bidang fisika dan kimia yang dianugerahkan kepadanya, juga terpilih untuk menjadi anggota Phi Beta Kappa Fraternity (suatu kelompok eksklusif dari para sarjana terkemuka), dan diberikan kunci emas, suatu lencana istimewa dalam ilmu pengetahuan. John Sung kemudian mendapatkan penawaran beasiswa dari banyak universitas, termasuk Harvard University. Ia memutuskan menerima beasiswa untuk program Master of Science di Ohio State University dan menyelesaikan program ini hanya dalam 9 bulan! Pada tahun 1923,  

John Sung meraih gelar Ph.D dengan predikat cum laude di bidang Ilmu Kimia. Ia lulus sebagai salah satu dari empat mahasiswa paling berprestasi dari 300 mahasiswa. John Sung adalah orang Tiongkok pertama yang menyandang gelar Ph.D. Dalam surat kabar, John Sung dilukiskan sebagai “mahasiswa paling terkenal dari Ohio”.  Hanya dalam kurun waktu 5 tahun dan 2 bulan, ia meraih tiga jenjang gelar akademik, dari Sarjana, Master, sampai kepada Ph.D. Namun dalam hatinya yang paling dalam, ia tidak memiliki damai sejahtera. Kegelisahan rohaninya mulai tumbuh dan membawanya kepada periode-periode pergumulan hidup yang mendalam.

Di masa kecil, John Sung hanya mengenal Yesus sebagai “teladan agung”. Namun suatu malam ketika ia duduk sendirian, ia seakan mendengar suara Tuhan yang berkata kepadanya: “Apa untungnya ini bagi seseorang, jika ia memperoleh seluruh dunia, namun kehilangan jiwanya sendiri?” Hari berikutnya ia berbicara dengan seorang profesor Methodis liberal. Ia menceritakan kepada profesor itu bahwa sesungguhnya ia datang ke Amerika untuk belajar theologi. 

Profesor lalu merekomendasikan dia untuk sekolah di seminari yang sangat liberal saat itu yaitu Union Theological Seminary. Rekomendasi ini diterimanya dengan sedikit berat hati karena ia sebenarnya bukan mau belajar untuk melayani tetapi hanya untuk menyenangkan ayahnya. Tahun 1926 ia memutuskan belajar di Union Theological Seminary selama satu tahun. John Sung menenggelamkan dirinya ke dalam studi theologi liberalnya dengan segala kemampuan inteleknya. 

Pada tahun itu dia memperoleh nilai nilai tertinggi, namun berpaling dari Kekristenan. Ia mulai menyanyikan kitab-kitab suci Buddha dalam meditasi di kamarnya, dan berharap melalui penyangkalan diri akan memperoleh damai sejahtera. 

Ia menulis: “Jiwaku mengembara di padang gurun.” Dalam keadaan jiwanya yang kering, ia bersahabat dengan teman-teman sekelasnya dari Tiongkok. Namun fakta yang lebih menyakitkannya adalah gadis di Tiongkok yang pernah ditunangkan dengannya kemudian memutuskan hubungan dengannya. Ia menulis: “Saya tidak dapat tidur ataupun makan…. Hati saya dipenuhi dengan kegalauan yang paling dalam.” John Sung kemudian jatuh ke dalam depresi yang mendalam. 

Di tahun 1927 John Sung mengikuti suatu kebaktian penginjilan dan mendengarkan seorang gadis berusia 15 tahun memberikan kesaksiannya. Gadis itu membacakan Kitab Suci dan berbicara tentang kematian Kristus di kayu salib sebagai pengganti penebusan. John Sung merasakan kehadiran Allah. Sekalipun diejek teman-teman seminarinya, John Sung kembali ke kebaktian penginjilan itu 4 malam berturut-turut. Ia kemudian mulai membaca biografi-biografi Kristen untuk menemukan kekuatan apa yang ia rasakan pada saat kebaktian penginjilan tersebut. 10 Februari 1927 John Sung mengalami pertobatan sejati.  

Pada saat John Sung berdoa, ia mengalami suatu pengalaman ajaib. Ia merasa bahwa ini adalah pemberian dari Roh Kudus. John Sung berkata: “ini adalah kelahiran baru rohaniku. Walau aku telah percaya Yesus sejak kecil, ada suatu pengalaman baru yang mengubah hidupku. Roh Kudus mencurahiku seperti air pada puncak kepalaku dan terus menerus mengalir gelombang demi gelombang.” 

Sejak pengalaman tersebut, John Sung merasa lebih kuat dan bersemangat dalam berkhotbah di gereja atau kepada orang yang ditemuinya. Ia menjadi orang yang berubah radikal dan ia mulai penuh semangat berkhotbah di ruang kuliah dan kepada teman-teman dekatnya. Rektor seminari dan teman temannya berpikir waktu itu  John Sung sudah tidak wajar dan tidak waras lagi, sehingga ia dikirim ke rumah sakit jiwa selama 193 hari. 

Keberadaan dirinya di rumah sakit jiwa tidak membuat John Sung melupakan atau membenci Tuhan, namun ia justru memakai waktu-waktu “kurungan” tersebut untuk membaca Kitab Suci dari Kejadian sampai Wahyu sebanyak 40 kali, sehingga ia tidak saja hafal tetapi mendalami seluruh Alkitab yang menjadi dasar penginjilan dan kebangunan rohani pada abad ke-20 sampai ia wafat. 

Pada tanggal 4 Oktober 1927  tanpa kelulusan dari seminari, John Sung kembali ke Tiongkok, tanah airnya, menuju Shanghai. Sebelum ia sampai di tanah airnya, di atas kapal laut ia mengambil ijazah-ijazah dan medalimedali serta tanda keanggotaannya dalam organisasi-organisasi sains terkenal, termasuk ijazah doktornya dan membuang semua itu ke laut, kecuali satu salinan ijazah yang ia berikan kepada ayahnya. Ia berkomitmen penuh seumur hidup mengabarkan Injil. “Apa yang tadinya kuanggap berharga, kini kuanggap sampah karena Kristus” (Filipi 3:7). 

John Sung turun dari kapal di Shanghai pada musim gugur di tahun 1927. Ia memulai pengabaran Injil di Minnan. Selama tiga tahun (1927-1930) John Sung mengabarkan Injil dengan hanya 2 tema, yaitu Penyaliban Kristus dan Darah Yesus. Seluruh khotbahnya didasarkan pada ajaran Alkitab: kelahiran baru, keselamatan, dan memikul salib untuk Kristus. John Sung kemudian melakukan pelayanan di Shanghai pada tahun 1930/1931. Ia melayani di sekolah minggu Bethel dan bersama para sarjana lain ia mendirikan Bethel Evangelist Band. 

Tema yang diajarkan seputar kemerdekaan dari dosa. Isinya antara lain: 
a. Mengaku dosa-dosa saja tidak cukup, manusia harus bertobat dari dosa-dosanya. 
b. Setelah pertobatan harus “mengoreksi dosa-dosanya” artinya berubah total dan bebas dari tabiat dosa. 
c. Setelah berubah dari tabiat dosa, perlu “pengembalian dosa-dosa” artinya jika dulu ia menipu atau mencuri uang, ia harus mengembalikan uang tersebut atau ia secara formal melakukan permintaan maaf yang menunjukkan ia benar-benar menyesal. 
d. Hanya mengatakan “Tuhan, ampuni kami karena kami pendosa” saja tidak cukup. Selama berdoa, jika seseorang mau bertobat dari dosa, ia harus menggolongkan dosa itu termasuk dosa apa secara keseluruhan dan menjabarkan satu persatu sampai detail dosa kecilnya. 

Dalam menyampaikan khotbahnya, John Sung sangat bersemangat. Ia bisa melompat di mimbar. Ia juga selalu menyanyikan lagu pujian setiap 23 menit dan menggunakan bendabenda sebagai ilustrasi. Suatu hari ia membawa peti mati, lalu berteriak: “uang naik, uang naik, peti mati juga naik” artinya uang semakin banyak, kematian juga mendekat. John Sung adalah seorang pendoa syafaat yang setia. Tak seorang pun diperbolehkan menyela waktu berdoanya. Ia memiliki kebiasaan bangun jam 5 pagi untuk berdoa selama 2-3 jam. Bagi John Sung “iman adalah menyaksikan Allah bekerja di lutut Anda.” Melalui doanya, banyak orang sakit yang disembuhkan.

Akhir Hidup 

John Sung kemudian menjadi penginjil terbesar dalam sejarah Tiongkok. Ia sering dijuluki “Wesley dari China”. Puluhan ribu orang bertobat dari pelayanannya. Selain di Tiongkok, ia juga pernah memimpin Kebaktian Penginjilan di Myanmar, Kamboja, Singapura, Indonesia, dan Filipina. Pelayanan kesembuhan John Sung sangat spektakuler, di mana ratusan orang disembuhkan dari pelbagai penyakit, namun ia sendiri harus berjuang bertahun-tahun untuk melawan penyakit tuberculosis usus yang dideritanya. 

Penyakit ini menyerang dia secara konsisten dengan rasa sakit luar biasa, kadang kala ia harus berlutut untuk meredakan nyerinya. Walaupun demikian, rasa sakit tidak pernah menghentikannya untuk berkhotbah. Akhirnya, setelah bertahun-tahun menderita sakit, John Sung, Sang Obor Asia, dipanggil pulang kepada Bapa di Sorga pada tanggal 18 Agustus 1944, di usia 43 tahun. Sang Obor Asia itu telah tiada, namun tongkat estafet untuk meneruskan obor itu akan tetap selalu ada. Siapakah penerimanya pada zaman ini? “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?” (Markus 8 :36)
Next Post Previous Post