APOLOGETIK KHARISMATIK: PENGERTIAN, METODE DAN PENTINGNYA
Pdt.Sаmuеl T. Gunаwаn,M.Th.
APOLOGETIK KHARISMATIK: PENGERTIAN, METODE DAN PENTINGNYA. Mendengar kata “apologetik”, beberapa orang langsung saja mengaitkannya dengan perdebatan yang bersifat intelektual dan rasional. Mereka menganggap apologetika itu tidak diperlukan bagi pertumbuhan rohani dan iman yang sehat.
Ada berbagai alasan yang diberikan oleh mereka yang menolak kegiatan apologetik, antara lain:
(1) Apologetik dianggap sebagai kegiatan perdebatan. Bagi beberapa orang perdebatan atau “perang” argumentasi itu dosa. Menurut mereka perdebatan bertentangan dengan kasih Kristiani dan ajaran Alkitab. Mereka yang menganggap apologetik identik dengan perdebatan biasanya mengambil sikap menghindari dan menolaknya;
(2) Apologetik dianggap sebagai kegiatan yang memerlukan kemampuan dan keahlian khusus. Bagi kebanyakan orang apologetik terdengar sulit, sangat rasional dan intelektual sehingga hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja;
(3) Apologetik dianggap bersifat teoritik ketimbang praktik. Beberapa orang telah mempertentangkan antara teori dan praktik. Mereka menilai bahwa apologetik tidak lebih dari percakapan teoritik abstrak yang tidak berhubungan langsung dengan realita dan kehidupan nyata;
(4) Apologetik dianggap sebagai kegiatan yang bersifat defensif. Apologetik secara harafiah berarti pembelaan, dengan demikian apologetik hanya sebagai kegiatan pembelaan dan bukan merupakan keharusan untuk melakukannya.
PENGERTIAN APOLOGETIK
Pemahaman yang tidak tepat terhadap apologetik, seperti yang disebutkan di atas telah mengakibatkan sikap negatif dan skeptis terhadap kegiatan ini baik oleh orang-orang Kristen non Kharismatik maupun Kristen Kharismatik. Karena itu, perlu bagi kita untuk memiliki pengertian dan pemahaman yang benar tentang hal ini.
Para teolog pada umumnya mendefinisikan apologetik berdasarkan ayat Kitab Suci yang terdapat dalam 1 Petrus 3:15-16. Rasul Petrus mengatakan, “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu”.
Frase “memberi pertanggung jawab” dalam ayat di atas adalah terjemahan dari kata kerja Yunani “apologia” yang berarti “pembelaan atau jawaban”. Dari kata “apologia” ini kita mendapatkan kata-kata turunan seperti “apology, apologist, dan apologetic”.
Richard L. Pratt Jr, menyebutkan bahwa “suatu apologia artinya pembelaan yang diberikan dan apologetika adalah studi yang mempelajari langsung bagaimana mengembangkan dan menggunakan pembelaan”.
Jadi, pada dasarnya apologetik itu adalah berbicara untuk mempertahankan atau memberi jawaban. Sedangkan apolegetika adalah suatu studi yang mempelajari bagaimana agar dapat mempertahankan dan memberi jawaban yang memadai.
Atau, seperti yang dikatakan oleh R.C. Sproul, “Perhatian utama dari tugas atau ilmu apologetika Kristen ialah menyediakan pembelaan terhadap kebenaran yang diklaim oleh iman secara intelektual”.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka apologetika Kristen dapat diartikan sebagai suatu studi untuk memperlengkapi orang Kristen sehingga mampu memberi penjelasan yang memadai mengenai iman mereka di dalam Kristus dan mempelajari bagaimana cara membagikannya dengan orang lain serta bagaimana mempertahankannya dari serangan dan penyesatan. Sedangkan apologetik adalah menjelaskan apa yang dipercayai dan mengapa mempercayai.
Walau pun setiap orang Kristen tidak harus menjadi ahli dalam apologetik, tetapi berdasarkan 1 Petrus 3:15-16, sebenarnya setiap orang Kristen harus mampu mempertanggung jawabkan imannya; memberi penjelasan yang memadai mengenai iman mereka di dalam Kristus.
METODE APOLOGETIK
Ada berbagai metode di dalam berapologetik Kristen, tetapi pada umumnya ada dua metode utama, yaitu metode pembuktian dan metode presuposisi.
1. Apologetik dengan metode pembuktian adalah upaya menyajikan atau memberikan bukti-bukti bahwa apa yang dikatakan Alkitab itu benar adanya. Apologetik pembuktian ini juga dikenal sebagai apologetik klasik. Tokoh-tokoh apologetik pembuktian antara lain: Josh MacDowell, Paul E. Little, R. C. Sproul, Norman Geisler, William Lane Craig, dan Stephen T. Davis.
2. Apologetik dengan metode presuposisi adalah konfrontasi terhadap asumsi-asumsi, prasangka-prasangka, dan cara pandang (worldview) anti Kristen dan membuktikannya salah dengan mempresuposisikan kebenaran Kristen sebagai titik awal. Jadi, Allah dalam Alkitab bukan hanya dianggap sebagai konklusi, tetapi juga awal dan kerangka berpikir.
Apologetik presuposisi dikenal juga dengan sebutan apologetik anggapan. Tokoh-tokoh apologetik presuposisi ini antara lain: Cornelius Van Til, Gordon Clark, John Frame dan Edgar C. Powell.
Para teolog dan apologet Kristen berbeda pendapat satu dengan lainnya tentang jenis argumen yang dapat digunakan maupun cara menanggapi orang-orang. Mereka sering berdebat soal metode mana yang paling efektif. Isu ini terkait dengan epistemologi, yaitu cara mencapai sebuah kebenaran. Orang Kristen dapat menggunakan kedua metode tersebut sesuai situasi dan tergantung kepada jenis orang yang dihadapi. Hal ini kelihatannya lebih efektif ketimbang hanya menggunakan satu metode saja.
PENTINGNYA APOLOGETIK
Apologetik Kristen merupakan cara menyajikan pembelaan yang masuk akal tentang iman dan kebenaran Kristen kepada orang-orang yang tidak setuju. Seperti apa yang Paulus katakan, “karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus” (2 Korintus 10:4-5).
Apologetik Kristen merupakan aspek yang perlu dari kehidupan Kristiani yang sehat. Kita semua diperintahkan untuk siap dan diperlengkapi untuk memberitakan Injil dan mempertahankan iman kita (Matius 28:18-20; 1 Petrus 3:15). Berikut ini secara ringkas disampaikan alasan penting sebuah apologetik yang baik.
1. Apologetik sebagai Pembelaan dan Penyerangan
Apologetik bukan semata-mata pembelaan melainkan juga serangan terhadap pikiran dan perbuatan orang yang tidak percaya atau skeptis. Yang dimaksud dengan “penyerangan” disini bukan berarti “sikap buruk” atau “kasar” melainkan sesuai dengan cara yang ditetapkan. Sikap yang buruk dan kasar dalam apolegetik merupakan sikap yang keliru karena apologetik harus dilakukan dengan “lemah lembut, dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni” (bandingkan 1 Petrus 3:15-16).
Sebagai analogi, kita dapat memakai contoh dalam bidang olah raga tinju. Seorang petinju yang baik tidak hanya bertahan (defensif) dari serangan lawan, tetapi juga melakukan serangan (opensif) kepada lawannya. Petinju yang baik tidak akan menyerang lawan dengan cara-cara sembarangan dan tidak sportif, melainkan melakukannya sesuai dengan peraturan yang ditetapkan untuk jenis olah raga tinju tersebut. Begitu juga dengan apologetik yang baik, tidak hanya pembelaan tetapi juga penyerangan. Serangan merupakan fungsi utama apologetik. Karena itu, pembelaan terbaik adalah serangan terbaik.
2. Apologetik sebagai Kegiatan Iman dan Akal
Beberapa orang telah mengkontraskan antara iman dan akal. Kekristen seharusnya menempatkan iman dan akal bukan sebagai dua hal yang bertentangan. Rasio dan iman tidak perlu kontradiktif (Bandingkan Ibrani 11:17,19). Yang perlu kita tolak adalah Rasionalisme bukan rasionalitas. Mengapa? Karena rasionalisme adalah faham atau filsafat yang sangat meninggikan rasio, menjadikan akal sebagai penentu kebenaran dan bukan Allah ataupun Alkitab.
Rasionalisme menganggap bahwa segala sesuatu harus dinilai berdasarkan rasio, dan jika suatu kebenaran tidak dapat dicerna oleh rasio maka hal itu tidak dapat disebut kebenaran. Dengan demikian, dalam rasionalisme, segala hal yang bersifat supranatural dianggap bukan kebenaran dan dianggap tidak ada, termasuk mujizat Allah dan pekerjaan Roh Kudus masa lalu dan masa kini yang tidak dapat dicerna oleh akal.
Sebagai seorang Kristen, kita seharusnya logis dalam pemikiran, menaruh perhatian dengan berpegang pada kebenaran yang sungguh-sungguh, bukan yang salah, terutama mengenai Tuhan dan apa yang dikatakanNya di dalam Alkitab. Jadi sebenarnya Kekristenan bukanlah anti-rasional, tetapi menolak rasionalisme yang menjadikan akal sebagai penentu kebenaran.
Karena itu, dalam apologetik yang harus diingat adalah bahwa iman dan akal sedang menghadapi musuh-musuh yang sama. Mereka yang mendiskreditkan apologetik sebagai bersifat intelektual dan rasional yang berlebihan harus menyadari bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari kita tidak pernah bisa menghindari proses berpikir (rasional).
Karena itu, pada dasarnya kita tidak bisa menghindari apologetik, tetapi yang dapat kita lakukan adalah melakukannya dengan cara yang baik. Harus diingat bahwa dalam apologetik yang kita lawan bukanlah orangnya melainkan hati, pikiran, ide-ide, dan ketidakpercayaannya. Karena sasaran apologetik bukanlah kemenangan, melainkan kebenaran.
3. Apologetik sebagai bukti iman yang bertanggung jawab
Rasul Petrus memerintahkan agar kita “siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu” (1 Petrus 3:15).
Kata “siap sedia” dalam ayat ini adalah kata Yunani “hetoimos” yang berarti “berjaga-jaga; suatu sikap antisipasi; mempersiapkan diri untuk menghadapi pertanyaan atau keberatan dari orang yang tidak percaya”.
Berdasarkan 1 Petrus 3:15, nyatalah bahwa orang Kristen memiliki tanggung jawab untuk mengantisipasi pertanyaan dan keberatan yang mungkin diajukan. Jadi, sebagai orang Kristen yang beriman pada Kristus, kita seharus memiliki pengetahuan dan informasi yang benar tentang iman kita; memiliki kesiapan dan kerinduan untuk membagi kebenaran yang kita percayai; dan selalu siap dengan jawaban yang memadai pada saat kita ditanya dengan suatu pertanyaan tentang iman kita tersebut.
KEHARUSAN APOLOGETIK KHARISMATIKAL
Di atas telah dijelaskan bahwa apologetik itu penting bagi pertanggungjawaban iman, yaitu apa yang seseorang percayai dan mengapa ia mempercayai hal tersebut, sebagaimana yang dikatakan dalam 1 Petrus 3:15-16. Tetapi dalam upaya pertanggungjawaban iman tersebut harus diakui bahwa ada banyak orang Kristen yang sering melakukan apologetik secara tidak baik. Hal ini disebabkan pengertian yang keliru tentang apologetik. Jadi, tidak ada masalah dengan kegiatan apologetik, yang justru jadi masalah ia banyak orang yang melakukan apologetik dengan sikap yang tidak baik dan cara yang keliru.
Walaupun setiap orang Kristen tidak harus menjadi ahli dalam berapologetik, tetapi berdasarkan 1 Petrus 3:15-16 tersebut di atas, sebenarnya setiap orang Kristen perlu mengerti apa yang mereka percaya, mengapa mereka percaya, dan bagaimana membagikannya dengan orang lain, serta bagaimana mempertahankannya dari serangan dan penyesatan.
Secara khusus, apologetik kharismatikal (bersifat kharismatik) merupakan suatu kegiatan yang perlu dilaksanakan oleh para penganutnya. Tetapi ada yang mengatakan bahwa kegiatan apologetik dibatasi hanya pada pembelaan Alkitab dan iman Kristen terhadap orang yang tidak percaya.
Sanggahan saya terhadap pendapat ini adalah bahwa :
(1) Pada saat Petrus menulis suratnya, khususnya 1 Petrus 3:15-16, Alkitab kanonik belum ditetapkan, dan mungkin saja rasul Petrus tidak pernah berpikir bahwa tulisannya tersebut dikemudian hari termasuk dalam kanon Perjanjian Baru. Jadi apologetik dalam konteks ayat ini bukanlah pembelaan terhadap Kitab Suci.
(2) Konteks ayat ini adalah mandat untuk mempertahankan iman, yang berkaitan dengan keyakinan “Kristus sebagai Tuhan” (ayat 15). Perhatikan bahwa dalam ayat ini Petrus menasihatkan: Pertama, agar orang percaya siap sedia dalam segala waktu untuk memberikan pertanggungjawaban kepada setiap orang yang bertanya tentang pengharapannya sebagai orang percaya; Kedua, pertanggung jawaban itu disampaikan “kepada setiap orang yang memintanya”.
Frase “Setiap orang” disini berarti, tentu saja yang terutama kepada orang-orang yang belum percaya, tetapi tidak ada pembatasan yang demikian, karena Petrus dalam ayat 16 menambahkan “mereka yang memfitnah kamu”. Karena itu saya setuju dengan apa yang dikatakan R.C. Sproul bahwa apologetik berarti “mempertahankan dan berargumentasi untuk sudut pandang tertentu”.
Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut di atas, para penganut Kharismatik berhak untuk melakukan kegiatan apologetik terhadap setiap orang yang memintanya, terutama kepada orang-orang yang mengkritik dan keberatan terhadap ajaran dan aktivitas Kharismatikal.
Penganut Kharismatik berhak untuk membela dan menyampaikan informasi yang positif tentang keyakinannya akan eksistensi dan keberlangsungan karunia-karunia rohani sampai sekarang. Tetapi, keharusan apologetik Kharismatikal ini menjadi lebih penting lagi mengingat perkembangan Kharismatik yang begitu cepat menyebabkan dua bahaya yang dihadapi dan perlu disikapi, yaitu : penyesatan dan penyerangan.
1. Para penganut Kharimatik perlu mewaspadai penyesatan yang mungkin terjadi di dalam Kharismatik. Penyesatan ini dapat terjadi dan dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang mengaku Kharismatik. Penyesatan ini bisa jadi berupa penyusupan ajaran dan praktek yang mirip dengan Kharismatik. Penyesatan juga bisa terjadi karena ketidaktahuan dari beberapa orang penganut Kharismatik itu sendiri. Hal ini merupakan akibat dari kurangnya pengetahuan, pemahaman dan pengajaran doktrinal yang Alkitabiah.
2. Para penganut Kharismatik juga perlu mewaspadai penyerangan terhadap Kharismatik yang dilakukan para openan Kharismatik melalui kritik dan tuduhan-tuduhan yang keliru dan menyesatkan. Kritik dan tuduhan-tuduhan ini dilancarkan dengan beragam alasan, tetapi tujuannya jelas untuk membangun asumsi dan anggapan bahwa Kharismatik itu tidak Alkitabiah dan karena itu Kharismatik sesat.
MENINGKATKAN KEWASPADAAN TERHADAP KEMUNGKINAN PENYESATKAN DI DALAM TUBUH KHARISMATIK
Para penganut Kharismatik perlu merasa prihatin terhadap ajaran dan perilaku beberapa orang yang mengklaim dirinya dalam gerakan ini. Karena beberapa orang atau kelompok tertentu yang mengaku Kharismatik telah “kebablasan” dalam ajaran dan perilakunya. Orang-orang atau kelompok tertentu tersebut mengklaim pengalaman fenomenal tertentu sebagai berasal dari Roh Kudus. Misalnya, beberapa buku terlaris dalam tiga dekade terakhir telah mengeksploitasi pengalaman-pengalaman spiritual seperti pengalaman dibawa oleh Tuhan untuk melihat surga atau neraka, atau kedua-duanya.
Sementara itu yang lain mengklaim melihat kengerian neraka dalam pengalaman nyaris mati mereka. Nyaris mati tentu saja berbeda dengan yang benar-benar mati. Perbedaan ini sama dengan cara membedakan antara nyaris hamil dan benar-benar hamil. Bahkan ada orang-orang yang mengklaim pengalaman spiritual mereka yang bisa akses “naik-turun” ke surga, bagaikan mengadakan perjalanan wisata. Ada juga yang menjadikan “sakral” satu metode atau beberapa metode tertentu dalam pelayanan dan ibadah.
Sementara itu, dalam aktivitas dan ibadah di beberapa tempat, puluhan bahkan ratusan orang tiba-tiba jatuh dilantai yang dianggap sebagai hadirat dan jamahan Roh Kudus. Fenomena ini “berevolusi” ke arah yang lebih luas hingga menjadi “menari dalam roh, tertawa dalam roh, menggonggong dalam roh, meraung dalam roh bahkan muntah-muntah dalam roh”. Lebih parah lagi, ada yang mengajarkan “menikah dalam roh”.
Bagi saya hal seperti tersebut di atas sangatlah memprihatinkan. Setidaknya ada tiga keprihatinan saya berkenaan dengan ekses-ekses dari apa yang disebut sebagai “pengalaman dengan Roh Kudus” oleh para Hiper Kharismatik ini, yaitu:
(1) Dari sudut pandang pastoral (pengembalaan) dari hukum pertumbuhan rohani hal ini akan menyebabkan “kerusakan” atau “tidak sehat” bila ketaatan kepada Kristus ditentukan atau diukur hanya dari pengalaman-pengalaman yang dianggap “segar” ini;
(2) Dari sudut pandang psikologikal (emosional), kebutuhan akan “sensasi” ini akan terus bertambah, sehingga hal yang biasa akan diganti oleh yang “tak biasa”. Hal yang tak biasa diganti oleh yang “ekstrim”, dan hal yang ekstrim diganti oleh hal yang “gila-gilaan”. Akibatnya justru akan terjadi kekosongan dan kemerosotan rohani;
(3) Dari sudut pandang doktrinal-teologikal mengenai ajaran dan praktik dari ekses-ekses yang “sensasional-fenomenal” ini telah menjadikan pelayanan berpusat pada diri sendiri, manusia dan pengalaman-pengalaman lebih dari pernyataan Kitab Suci serta tidak berpusat pada Kristus (Kristus-sentris).
Beberapa orang menganggap bahwa mempertanyakannya saja ekses-ekses fenomenal tertentu tersebut sudah tidak pantas, apalagi mengkritiknya, malah dianggap “menghujat” Roh Kudus. Sebenarnya, kebenaran sejati harus diuji dan tidak perlu takut bila menghadapi ujian. Orang-orang yang melakukan kegiatan dan aktivitas yang benar-benar dari Roh Kudus tidak akan takut diuji atau pun dinilai berdasarkan uji kebenaran Alkitab. Hanya yang salah dan tidak benar yang takut terhadap uji kebenaran.
Suatu kegiatan sukses atau populer tidak bisa dijadikan bukti bahwa itu dari Allah. Karena itu, setiap kegiatan yang dilakukan mengatasnamakan Roh Kudus harus diuji. Iman sejati bukanlah sikap dan mentalitas asal menerima begitu saja segala sesuatu yang bersifat supranatural. A.W Tozer mengatakan “Iman sejati berarti membuka hatinya terhadap apapun yang dari Allah, dan menolak segala sesuatu yang bukan dari Allah, walaupun itu sangat indah”.
Setiap orang Kristen, Kharismatik maupun non Kharismatik, seharusnya berani mengambil sikap tegas menguji setiap bentuk ajaran atau perilaku, apalagi menyangkut ajaran iman atau perilaku yang diklaim benar. Kemudian, bertindak berdasarkan hasil pengujian merupakan kewajiban bagi semua orang Kristen. Perhatikanlah nasihat rasul Paulus, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21).
Rasa takut untuk menguji segala sesuatu yang datang dengan memakai jubah Kekristenan dan mengatasnamakan Roh Kudus, tidaklah menunjukkan spiritualitas yang tinggi tetapi justru menunjukkan kelemahan. Mudah tertipu tidak sama dengan spiritualitas (kerohanian).
Seseorang berdosa tidak hanya karena menolak kebenaran sejati, tetapi juga karena menerima yang palsu. Karena itu, perlu untuk menguji dengan teliti, tanpa suatu prasangka sebelum terbukti. Teliti bukan sekedar melihat, melainkan melihat dan mengamati dengan cermat. Perhatikanlah nasihat rasul Paulus, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1 Tesalonika 5:21).
Rasul Yohanes mengingatkan, “Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia” (1 Yohanes 4:1).
Frase Yunani “ujilah roh-roh itu” dalam 1 Yohanes 4:1 tersebut adalah “dokimazete ta pneumata”. Kata “dokimazeta” berasal dari kata “dokimazo” yang berarti “menguji, meneliti, dan memeriksa”.
Secara harafiah frase tersebut berarti “membuktikan dengan menguji”. Alasan untuk menguji setiap roh atau menguji orang-orang atau kelompok tertentu yang mengaku digerakan oleh roh ini ialah karena ada banyak nabi-nabi palsu yang menyusup dan masuk ke dalam gereja, tidak hanya yang beraliran Kharismatik, tetapi juga semua denominasi gereja lainnya (Markus 13:22).
Karena itu, tiga pertanyaan diagnostik berikut dapat digunakan untuk menguji ajaran atau perilaku yang masih meragukan, yaitu :
(1) Apakah ajaran atau perilaku tersebut sesuai dengan kebenaran, yaitu firman Tuhan atau ajaran Alkitab?
2) Apakah ajaran atau perilaku tersebut meninggikan dan memuliakan Tuhan Yesus? Karena pelayanan Roh Kudus tidak pernah lepas dari memuliakan Kristus (Yohanes 16:14).
(3) Apakah ajaran atau perilaku tersebut mendatangkan pertobatan dan damai sejahtera atau justru menimbulkan ketakutan, kekuatiran atau perilaku yang menyimpang?
Ketelitian dan kepekaan membedakan mana yang dari Allah dan mana yang bukan dari Allah sangat dibutuhkan. Apalagi bila menyangkut ajaran dan perilaku kehidupan kita. Kita harus bisa membedakan mana yang gerakan dan mana yang ekses; mana yang sehat dan mana yang mencemarkan; mana yang murni dari Allah dan yang bukan.
Hal ini penting supaya kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan dan kesesatan. Rasul Paulus mengingatkan, “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus... Janganlah kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat, serta berkanjang pada penglihatan-penglihatan dan tanpa alasan membesar-besarkan diri oleh pikirannya yang duniawi, sedang ia tidak berpegang teguh kepada Kepala, dari mana seluruh tubuh, yang ditunjang dan diikat menjadi satu oleh urat-urat dan sendi-sendi, menerima pertumbuhan ilahinya” (Kolose 2:8,18-19).
Dengan melakukan pengujian kita akan terhindar dari kecerobohan rohani yang dapat berakibat fatal. Kristus mengingatkan, “dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka” (Matius 7:17). Yang dimaksud dengan buah disini bukanlah hasil pekerjaan berupa kemampuan untuk “bernubuat, mengusir setan dan penyembuhan”, melainkan kemurnian “ajaran, motivasi, dan karakter hidup” yang sesuai dengan kehendak Tuhan (Matius 7:21-22; bandingkan 2 Petrus 2:1-22).
Ayat-ayat dalam Matius 7:21-22 ini tidak dimaksudkan untuk menyatakan semua “nubuat, mujizat, kesembuhan” itu palsu, melainkan peringatan kepada orang Kristen untuk mewaspai “kepalsuan”.
MELAKUKAN PEMBELAAN TERHADAP KRITIK DAN SERANGAN PARA OPENAN KHARISMATIK
Saya yakin bahwa Kharismatik adalah sebuah gerakan yang berasal dari Tuhan dan didukung oleh pernyataan Alkitab. Ayat-ayat berikut ini, yang memuat daftar karunia-karunia (Charismata) yang Tuhan berikan kepada Gereja terdapat dalam Roma 12:6-8; 1 Korintus 12:4-11; Efesus 4:11-12; 1 Petrus 4:11, dan lainnya.
Sebagai seorang penganut Kharismatik saya berpendapat, bahwa karunia-karunia Roh Kudus, mujizat, kesembuhan, bahasa roh, dan lainnya masih terus eksis dan bermanisfestasi di dalam dan melalui gereja (tubuh Kristus) hingga saat ini. Gerakan Kharismatik ini murni dari Allah, tetapi berusaha dicemari dan disesatkan oleh ekses-ekses dari ajaran dan perilaku yang bersifat tidak sehat, sensasional dan fenomenal; Ajaran dan perilaku yang seringkali menyimpang dan tidak sehat oleh beberapa orang atau kelompok tertentu yang mengaku Kharismatik.
Adanya ajaran dan perilaku yang dianggap sesat di dalam gerakan Kharismatik tersebut tidak dapat dijadikan bukti bahwa seluruh gerakan Kharismatik itu sesat. Secara historis, hal ini juga terjadi dalam setiap gerakan-gerakan pembaharuan lainnya dalam sejarah gereja. Kenyataan historis yang tidak boleh diabaikan oleh semua pihak adalah bahwa sebelum ada gerakan Kharismatik yang terformulasi dengan jelas di abad ke 20, telah ada penyesatan dan kepalsuan disepanjang sejarah gereja.
Jadi, adanya ajaran dan perilaku yang dianggap menyimpang dalam Kharismatik bukan berarti semua yang berada dalam gerakan Kharismatik itu sesat. Atau kenyataan adanya mujizat-mujizat palsu (tiruan dari setan) bukan berarti kita harus menolak semua mujizat yang terjadi atau menganggapnya semua mujizat adalah palsu.
Sebagai ilustrasi, saya membeli satu keranjang telur ayam yang berisi 30 butir telur. Pada suatu ketika saya mengambil satu butir telur secara acak dan mendapati bahwa telur itu busuk. Saya lalu beranggapan bahwa kemungkinan 29 butir telur lainnya juga busuk. Tetapi ini hanyalah asumsi belaka, belum terbukti. Jadi saya mengambil telur lainnya untuk memastikan apakah 29 telur dalam keranjang itu busuk semua atau tidak. Akhirnya, saya menemukan bahwa dari 30 butir telur tersebut ada 5 butir telur busuk.
Dengan demikian, asumsi saya bahwa semua telur dalam keranjang tersebut busuk adalah salah. Demikian juga hal adanya ajaran dan perilaku yang dianggap menyimpang di dalam Kharismatik bukan berarti semua yang berada dalam gerakan Kharismatik itu sesat. Memaksakan kesimpulan demikian terhadap semua penganut Kharismatik jelas merupakan kecacatan logika (logical fallacy) yang disebut dengan istilah “generalisasi tergesa-gesa”. Dan tentu saja, taktik seperti itu tidak akan bermanfaat, sebaliknya justru akan menimbulkan masalah, setidaknya masalah dalam cara berpikir logis.
Tetapi, justru hal-hal seperti itu telah dimanfaat oleh para openan Kharismatik dengan menuduh bahwa seluruh Kharismatik itu sesat dan kemudian menyerangnya tanpa ampun. C. Peter Wagner mengamati, “Sebagaimana Lutheranisme dianggap bertentangan dengan Katolik di abad ke 16, dan sebagaimana metodisme dianggap bertentangan dengan Gereja Anglikan di abad ke 18, demikianlah Pentakostalisme dianggap bertentangan dengan gereja-gereja fundamentalis di Amerika pada abad ke 20”.
Kharismatik, walau pun berbeda dengan Pentakostalisme, juga terkena imbas dari orang-orang yang merasa membela Alkitab dan menuduh Kharismatik sesat. Namun, para penganut Kharismatik tidak menutup mata dan telinga terhadap setiap kritik! Melakukan introspeksi dan evaluasi merupakan langkah tepat yang telah dilakukan. Tetapi, bila kritik tersebut didasarkan metode kritik yang tidak valid dan bersifat openan (menyerang), maka merupakan tugas para penganut Kharismatik untuk memberikan jawaban dan pembelaan.
Sikap ini, oleh para teolog disebut dengan istilah “apologetik”. Apologetik ini dilakukan bukan dengan tujuan memaksa para openan atau para lawan Kharismatik agar menerima teologi dan pandangan Kharismatik, tetapi supaya mereka dan semua bisa menilainya dengan cukup adil.
METODOLOGI APOLOGETIK BUKU INI
Secara etimologis, kata “metodologi” berasal dari bahasa Latin yang terdiri dari kata “metodos” yang berarti “cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan” dan “logos” yang berarti “pikiran atau ilmu”. Jadi, metodologi berarti ilmu pengetahuan yang membicarakan cara atau jalan untuk memperoleh pengetahuan.
Metodologi juga dapat diartikan sebagai berbagai metode atau cara untuk memperoleh pengetahuan. Kata “metode” yang kita kenal saat ini berasal dari kata “metodos” di atas. Kata “metodos” ini berasal dari kata “meta” yang artinya “menuju, melalui, sesudah, mengikuti” dan kata “hodos” yang artinya “cara, jalan, atau arah”. Dengan demikian metode diartikan sebagai jalan berpikir dalam bidang penelitian untuk memperoleh pengetahuan.
Metode itu sendiri dimaksudkan sebagai suatu teknik atau cara yang dirancang sedemikian rupa dan dipakai dalam proses memperoleh berbagai jenis pengetahuan seperti: pengetahuan humanistis, pengetahuan teologis, pengetahuan historis, pengetahuan logis (akal sehat), pengetahuan ilmiah, dan sebagainya.
Sesuai dengan kaidah berpikir ilmiah dan akademis maka dalam menanggapi kritik dari para openan Kharismatik tersebut, saya menggunakan serangkaian metode standar rasional dan masuk akal, prinsip-prinsip logika, serta prinsip-prinsip hermeneutika yang wajar yang diterima secara universal. Ini sekaligus memberikan pembatasan terhadap luasnya metodologi yang mungkin digunakan.
Telah disebutkan di pasal 2 bahwa kritik dan tuduhan yang ditujukan kepada Kharismatik secara umum klasifikasikan ke dalam tiga kesalahan yaitu: (1) kesalahan asumsi yang dikaitkan dengan kesalahan interpretasi historis; (2) kesalahan logika yang dikaitkan dengan kesimpulan yang keliru terhadap gerakan kharismatik; dan (3) kesalahan eksegesis terhadap ayat-ayat tertentu dalam Alkitab yang digunakan untuk menyerang gerakan Kharismatik.
Kesalahan asumsi yang dihubungkan dengan interpretasi historis terjadi karena menghubungkan gerakan Kharismatik dengan tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok tertentu yang dianggap sesat berdasarkan kemiripan ajaran atau praktek. Kesalahan ini bisa terjadi karena interpretasi yang subjektif dan sumber informasi sejarah yang tidak valid. Kesalahan logika (logical fallacy) atau disebut juga “penalaran cacat”, yaitu sebuah kesesatan atau kesalahan (fallacy) dalam pemikiran atau berlogika.
Pada umumnya, kesalahan logika merupakan bentuk kesimpulan yang dicapai atas dasar logika atau penalaran yang tidak sehat atau tidak absah. Kesalahan ini terjadi karena menyimpulkan dengan cara menghubungkan gerakan Kharismatik dengan tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok tertentu yang dianggap sesat berdasarkan kemiripan ajaran atau prakteknya padahal tidak ada hubungan sama sekali. Kesalahan eksegeses (exegetical fallacy) adalah kesalahan yang terjadi karena memberlakukan ayat ayat tertentu dalam Kitab Suci secara tidak sehat atau tidak wajar berdasarkan interpretasi dan kesimpulan yang keliru.
Berdasarkan analisis terhadap kesimpulan diagnostik di atas, maka dalam menanggapi kritik-kritik dan keberatan-keberatan terhadap Kharismatik tersebut, saya menggunakan tiga metode utama, yaitu : Metode logikal, eksegetikal dan historikal.
1. Metode Logikal
Logika merupakan bagian dari filsafat yang mengatur cara berpikir untuk pengambilan kesimpulan yang benar. Dalam logika dibicarakan aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan itu dapat mengambil kesimpulan yang absah. Pada dasarnya metode logikal adalah berpikir benar dengan hasil benar berdasarkan norma atau aturan yang ditaati.
Ringkasnya, metode logikal adalah proses penalaran atau penyimpulan untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya. Pada umumnya logika dicirikan sebagai suatu cara penyimpulan deduktif dan induktif, analogik dan komparatif, serta penelaahan tentang keabsahan dari berbagai jenis penyimpulan yang berbeda.
2. Metode Eksegetikal
Eksegesis merupakan bagian teologi yang berhubungan dengan penafsiran Alkitab. Metode eksegetikal adalah penerapan prinsip-prinsip atau aturan-aturan pernafsiran Alkitab (hermeneutik) dengan tujuan menemukan arti atau maksud dari suatu teks-teks atau ayat-ayat dalam Kitab Suci. Ada perbedaan antara hermeneutik dan eksegesis. Hermeneutik adalah ilmu atau teori-teorinya sedangkan eksegesis adalah penerapan dari ilmu atau teori-teori tersebut.
Pada umumnya prinsip-prinsip eksegesis yang diterapkan dibagi menjadi dua bagian utama yaitu : prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip umum adalah aturan atau norma yang dapat diterapkan pada semua kitab di dalam Alkitab. Sedangkan prinsip-prinsip khusus mengacu kepada sejumlah aturan atau norma yang hanya bisa diterapkan sesuai dengan jenis sastra (genre) dari teks atau ayat yang hendak ditafsirkan. Ringkasnya, eksegesis adalah penerapan aturan atau prinsip penafsiran Alkitab untuk menghasilkan penafsiran dan penyimpulan yang benar, sehat atau wajar terhadap teks atau ayat-ayat Kitab Suci.
3. Metode Historikal
Metode historikal adalah proses untuk mengkaji dan menguji kebenaran rekaman dan peninggalan-peninggalan masa lalu, menganalisa secara kritis meliputi usaha sintesa agar menjadikan penyajian dan kisah sejarah yang dapat dipercaya. Dalam buku ini yang dimaksud dengan metode historikal adalah pemeriksaan yang teliti terhadap sejarah gereja yang berhubungan dengan keberlangsungan karunia-karunia Roh Kudus; dan memberikan penilaian yang evaluatif terhadap interpretasi para sejarawan gereja; serta menyajikan suatu penafsiran yang kritis dan benar mengenai sejarah gereja yang berhubungan dengan keberlangsungan karunia-karunia Roh Kudus dari awal sejarah gereja hingga sekarang.
Pada umumnya ketiga metode tersebut di atas, yaitu metode logikal, eksegetikal dan historikal, bagi para teolog dan apologet Kristen merupakan istilah-istilah yang telah dipahami dan tidak asing lagi. Tetapi karena buku ini ditulis bukan hanya untuk menanggapi kritik para openan Kharismatik, melainkan terutama sebagai sajian yang positif tentang Kharismatik yang normatif, maka buku ini memang ditujukan kepada semua orang, baik penganut Kharismatik maupun non Kharismatik, baik teolog maupun yang bukan teolog.
Menyadari bahwa pembaca buku ini tidak semua berlatar belakang teologi, maka perlu bagi saya untuk memberikan penjelasan ringkas sebagai suatu perkenalan terhadap ketiga istilah tersebut. Metode logikal diperkenalkan dalam lampiran 1 dan Metode eksegetikal dalam lampiran 3 buku ini. Sedangkan metode historikal akan diperkenalkan lebih lanjut dalam pasal 4 saat membahas sejarah dan perkembangan Kharismatik.
BAGAIMANA MANUSIA MENEMUKAN KEBENARAN?
Manusia dalam hal-hal tertentu merupakan refleksi dari Allah yang hidup, cerdas dan bermoral. Manusia pada waktu diciptakan dibekali dengan kecerdasan dan hasrat oleh Tuhan. Misalnya, apabila menghadapi suatu peristiwa atau masalah, pada umumnya manusia akan bertanya : “apakah itu, apakah persoalannya, mengapa demikian, bagaimana terjadinya, bagaimana cara mengatasinya, dan lain sebagainya?” Manusia selalu berusaha untuk memperoleh jawaban yang dapat dipegang sebagai “kebenaran yang diyakini”. Hal ini sangat berhubungan dengan apa yang disebut dengan istilah “epistemonologis”, yaitu teori filsafatis tentang pengetahuan yang benar atau cara menemukan kebenaran.
Istilah “epistemonologi” ini untuk pertama kalinya dipakai oleh J.F. Ferrier pada tahun 1854. Kata epistemonologi berasal dari kata “epistime” yang berarti “pengetahuan” dan “logia” yang berarti “ilmu”. Istilah ini kemudian dipakai dalam filsafat dengan pengertian bahwa epistemonologi adalah cara mencari dan menemukan substansi (hakikat) pengetahuan dan juga cara mencari dan menemukan kebenaran.
1. Berbagai Cara Manusia Menemukan Kebenaran
Ada berbagai cara untuk menemukan kebenaran dan menghilangkan keraguan serta ketidaktahuan, antara lain melalui :
(1) Wahyu, yaitu kebenaran yang datang dari Tuhan melalui alam semesta, orang-orang yang dipilihnya, dan Kitab Suci. Kekristenan mengakui Kitab Suci sebagai kebenaran mutlak yang diwahyukan. Allah telah mewahyukan diriNya (dan Ia telah melakukannya), dan apabila penyataan tentang hal itu telah secara akurat dinyatakan dalam keenam puluh enam kitab dari Kitab Suci (dan memang demikian halnya), maka Kitab Suci adalah sumber utama dari pengetahuan manusia tentang Allah dan kebenaranNya;
(2) Penalaran, yaitu berpikir kritis, rasional dan berdasarkan akal sehat. Manusia banyak memperoleh kebenaran melalui pengalaman (empiris). Kebenaran diungkapkan melalui proses berpikir rasional, kritis dan logis dengan cara deduktif (analitik) dan induktif (sintetik). Cara ini bergantung pada kemampuan berpikir dan jenis-jenis pengalaman yang dimiliki; dan
(3) Penyelidikan dan penelitian ilmiah. Disini penyaluran hasrat ingin tahu manusia sampai pada taraf keilmuan. Seseorang baru akan menyimpulkan atau membenarkan sesuatu jika terdapat bukti-bukti yang meyakinkan yang dikumpulkan dengan prosedur yang sistematik dan jelas.
2. Menemukan Kebenaran Melalui Pendekatan Teologi
Penelitian dalam bidang teologi tidaklah sama dengan bidang sains. Penelitian teologi dalam arti sempit tidak temasuk penelitian ilmiah (penelitian sains dalam pengertian ilmu alam) karena refleksi dengan akal budi dalam teologi menekankan ide-ide diluar kenyataan inderawi. Dalam pengertian itu teologi bukanlah sains karena menangani objek yang supersensible. Walau berbeda, penelitian teologi tidaklah berarti berbeda sama sekali dengan metode penelitian non teologi. Akan tetapi ada masalah jika metode penelitian sains diterapkan secara ketat dalam studi agama.
Lalu, apakah teologi itu dan bagaimana kita menemukan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan melalui studi teologi? Istilah “teologi” berasal dari kata Yunani “theos” artinya “Allah”, dan “logos” artinya “perkataan, uraian, pikiran, ilmu” atau secara harfiah “pernyataan yang rasional”.
Charles C. Ryrie secara ringkas mendefinisikan teologi sebagai “suatu interpretasi yang rasional mengenai iman Kristen”. Sementara itu, Millard J. Erickson memberikan suatu definisi yang baik dan komprehensif tentang teologi, yaitu “disiplin yang berjuang untuk memberikan pernyataan koheren dari doktrin-doktrin iman Kristen, terutama berdasarkan pada kitab suci, ditempatkan dalam konteks budaya secara umum, dibahasakan dalam ungkapan yang relevan dengan zaman itu, dan berkaitan dengan isu-isu kehidupan”.
Selanjutnya Millard J. Erickson mengusulkan lima rumusan dalam sebuah definisi teologi yang merupakan ciri-ciri dari penelitian teologi, yaitu: (1) Teologi harus Alkitabiah, menggunakan alat-alat dan metode-metode penelitian biblika (termasuk menggunakan pengetahuan-pengetahuan dari wilayah kebenaran ini); (2) Teologi harus sistematik, yang bahannya diambil dari keseluruhan kitab suci serta mengkorelasikannya satu dengan yang lain; (3) Teologi harus relevan pada budaya dan pengajaran, diambil dari kosmologi, psikologi, dan filsafat sejarah; (4) Teologi harus kontemporer, mengaitkan kebenaran Allah dengan pertanyaan-pertanyaan dan tantangan pada zaman ini; dan (5) Teologi harus praktikal, tidak hanya sekedar mendeklarasikan doktrin objektif, tetapi mengaitkannya pada kehidupan itu sendiri.
Sementara itu, Charles C. Ryrie menyebutkan tiga unsur (ciri) di dalam konsep umum teologi yaitu : (1) Teologi dapat dimengerti, artinya teologi dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang teratur dan rasional; (2) Teologi menuntut adanya penjelasan, dimana selanjutnya melibatkan eksegesis dan sistematisasi; (3) Iman Kristen bersumber pada Alkitab. Dengan demikian teologi Kristen merupakan suatu studi yang berdasarkan Alkitab (biblika).
Selanjutnya Charles C. Ryrie dalam penjelasannya menambahkan bahwa seorang teolog harus berpikir secara teologis. Hal ini melibatkan pemikiran secara : (1) Eksegetik, untuk memahami arti yang tepat; (2) Sistematis, untuk dapat menghubungkan fakta-fakta secara seksama; (3) Kritis, untuk mengevaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan; dan (4) Sintetik, untuk menyatukan dan menyampaikan pengajaran sebagai suatu keseluruhan.
Jadi, melalui penelitian dengan pendekatan teologis, dengan proses yang ketat dan metode yang Alkitabiah, ekesegetis dan analitis, sintetis, kritis dan evaluatif, sistematis, praktis dan kontekstual, diharapkan seseorang dapat menemukan kebenaran sejati.
3. Menemukan Kebenaran Melalui Pendekatan Ilmiah
Melalui pendekatan ilmiah orang berusaha untuk menemukan kebenaran ilmiah, yaitu pengetahuan yang benar dan kebenarannya terbuka untuk diuji oleh siapa saja yang menghendaki untuk mengujinya.
Pendekatan ilmiah akan mengurangi bahaya berbuat salah atas pilihan dari bermacam-macam tindakan dalam rangka menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan (sains) mempunyai nilai umum yang dapat dipergunakan untuk menghadapi persoalan sehari-hari. Ilmu pengetahuan harus diperoleh melalui metode ilmiah dan tanpa metode ilmiah maka ilmu pengetahuan hanya akan merupakan himpunan pengetahuan mengenai berbagai gejala.
Ilmu dapat dilihat dari dua aspek, yaitu : aspek statis dan aspek dinamis. (1) Dari aspek statis, ilmu merupakan himpunan informasi yang sistematis mengenai prinsip-prinsip, teori-teori, dan hukum-hukum. Sedangkan aspek dinamis, ilmu adalah suatu proses. Teori-teori dan prinsip-prinsip akan menjadi dogma atau ajaran apabila tidak dengan penelitian dan pengembangan.
Ada perbedaan antara cara penelitian ilmiah dan yang tidak ilmiah. Perbedaan itu terletak pada :
(1) Objektivitas peneliti. Pendapat atau pertimbangan yang diambil berdasarkan atas fakta, berbeda dengan metode non ilmiah yang hanya berdasarkan asumsi atau praduga;
(2) Ketelitian pengukuran. Metode ilmiah berusaha memperoleh ketelitian pengukuran semaksimal mungkin. Hal ini dipenuhi oleh ilmu pengetahuan alam seperti fisika dan elektronika. Tetapi bisa juga melalui ilmu pengetahuan sosial yang ukurannya menggunakan statistik, atau kuesioner yang pengukurannya berdasarkan skala;
(3) Sifat penelitian yang dilakukan terus menerus dan menuju kesempurnaan. Penelitian ilmiah mempertimbangkan semua fakta yang berkenaan dengan masalah yang bersangkutan; bersifat agresif untuk mencari tambahan bukti guna mendukung atau membenarkan kesimpulan yang ada.
SIFAT APOLOGETIK BUKU INI
Sebagai seorang penganut Kharismatik, saya terpanggil untuk melakukan apolegetik dengan cara menyampaikan penjelasan (klarifikasi) sekaligus pembelaan (apologia) terhadap tuduhan-tuduhan dari para openan Kharismatik yang telah berprasangka dan menyerang gerakan Kharismatik. Apologetik ini penting dalam upaya pertanggungjawaban iman, yaitu apa yang saya percayai dan mengapa saya mempercayai (bandingkan 1 Petrus 3:15-16).
Penganut Kharismatik selama ini oleh sebagian orang telah dikritik sebagai sangat subjektif dan anti rasionalitas; lebih menekankan pengalaman ketimbang pengetahuan Alkitab. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Karena itu disini kita perlu menjawab tantangan teolog Protestan, J.L. Ch. Abineno yang, “meminta kepada gerakan Kharismatik, supaya dalam ajarannya pengalaman benar-benar diikuti oleh refleksi dan interpretasi. Itu berarti bahwa ia harus berani berteologi. Tanpa teologi ia tidak dapat memberikan sumbangannya yang kita harapkan”.
Tulisan ini bersifat apologetik dan berada pada posisi normatif yang ditulis dengan tujuan:
(1) Memberikan informasi dan penjelasan yang positif mengenai Kharismatik Normatif; (
2) Mengoreksi beberapa kesalahan yang terjadi atau dilakukan oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu yang berada dalam tubuh Kharismatik yang menyebabkan terjadinya ekses-ekses negatif di dalam tubuh Kharismatik. Kelompok ini saya sebut sebagai Hiper-Kharismatik, karena sifatnya yang berlebihan, melampaui dan diluar Kharismatik Normatif;
(3) Memberikan jawaban terhadap tuduhan-tuduhan dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang Anti-Kharismatik, yaitu para openan Kharismatik yang telah menyerang Kharismatik. Karena tulisan ini bersifat apolegetik maka tulisan ini sangat berhubungan dengan epistemonologis, yaitu tentang pengetahuan yang benar atau cara menemukan kebenaran.
Ringkasnya, sesuai dengan kaidah berpikir ilmiah dan akademis maka dalam menanggapi kritik dari para openan Kharismatik tersebut, saya menggunakan metode-metode standar rasional yang masuk akal dan prinsip-prinsip logika, serta prinsip-prinsip hermeneutika yang wajar yang diterima secara universal.
Keilmiahan buku ini terlihat dari sifat-sifatnya seperti berikut ini: (1) deskriptif, yaitu suatu uraian terperinci tentang suatu hal penting dan memberikan penjelasan yang memadai tentang hal tersebut; (2) analitik, yaitu untuk memperoleh pengertian dari bahan-bahan yang ada dengan meneliti secara seksama setiap paragraf, kalimat dan kata secara intensif dan rinci; (3) kritik, yaitu digunakan berkaitan dengan hasil analisis dengan tujuan menghasilkan kejelasan dan ketegasan, serta evaluasi prioritas dari bukti yang bersangkutan; (4) evaluatif, yaitu untuk mengevaluasi pemikiran berdasarkan analitis dan kritik, dan ukuran yang dipakai untuk mengevaluasi adalah perspektif historik, logika, dan eksegetik; (5) historik, yaitu berkaitan dengan penyelidikan dan pekembangan sejarah, mencakup sejarah gereja dan sejarah doktrin; (6) logika, yaitu berkaitan dengan aturan-aturan berpikir yang benar agar mendapat kesimpulan yang benar; (7) eksegetik, yaitu untuk memahami arti yang tepat dari suatu teks dalam Alkitab; (8) Normatif, yaitu menilai dan mengevaluasi berdasarkan norma-norma, aturan-aturan, atau prinsip-prinsip wajar, sehat dan benar. (9) sistematik, yaitu suatu sistem yang menghubungkan fakta-fakta secara seksama.
DAFTAR PUSTAKA
Cornish, Rick., 2007. Lima Menit Apologetika. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado.
__________., 2009. Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado.
Erickson J. Millard., 2003. Teologi Kristen. 3 Jilid. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Ferguson, Sinclair B, D.F. Wraight & J.I Packer, ed. 2009. New Dictionary of Theology. Jilid 1, Terjemahan, Literatur SAAT: Malang.
Frame, John M., 2004. Doktrin Pengetahuan Tentang Allah, jilid 1 & 2. Terjemahan, Pernerbit Literatur SAAT: Malang.
Frame, John M., 2010. Apologetika Bagi Kemuliaan Allah. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Geisler, Norman & Ron Brooks., 2010. Ketika Alkitab Dipertanyakan. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yogyakarta.
Geisler, Norman & David Geisler., 2010. Conversational Evangelism: Bagaimana Mendengaran dan Berbicara Agar Didengarkan. Penerbit Yayasan Gloria: Yogyakarta.
Geisler, Norman & Paul d. Feinberg., 2010. Filsafat Dari Perspektif Kristiani. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Groothuis, Douglas., 2010. Pudarnya Kebenaran, Membela Kekristenan Terhadap Tantangan Postmodernisme. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.
Holmes, Arthur F., 2009. Segala Kebenaran Adalah Kebenaran Allah. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.
Kattsoff, Louis O., 1992. Elements of Philosophy. Terjemahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta.
Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.
McDowell, Josh., 2007. Apologetika: Bukti-Bukti Yang Meneguhkan Kebenaran Alkitab. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang.
Pratt, Richard L, Jr., 1994. Menaklukan Segala Pikiran Kepada Kristus. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, 1999. Logika Ilmu Menalar. Penerbit Pustaka Grafika: Bandung.
Purwantara, Iswara Rintis., 2012. Prapenginjilan: Menyingkirkan Kendala-Kendala Intelektual Dalam Penginjilan. Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.
SJ, L. Sugiri, dkk, 1995., Gerakan Kharismatik: Apakah itu? Penerbit BPK : Jakarta.
Sproul, R.C., 1997. Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Subagyo, Andreas., 2004. Pengantar Riset Kuantitatif dan Kualitatif. Penerbit Kalam Hidup: Bandung.
Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.
Stamps, Donald. C, ed., 1994. Full Life Bible Studi. Penerbit Gandum Mas : Malang.
Tabb, Mark, ed., 2011. Worldview. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria : Yogyakarta.
Tong, Stephen., 2011. Iman, Rasio dan Kebenaran. Penerbit Momentum : Jakarta.
Tozer, A.W., 2002. Tozer Tentang Roh Kudus. Terjemahan, Penerbit Gospel Press: Batam.
Wagner, C. Peter, 1988. Manfaat Karunia-Karunia Rohani Untuk Pertumbuhan Gereja. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang APOLOGETIK KHARISMATIK: PENGERTIAN, METODE DAN PENTINGNYA.https://teologiareformed.blogspot.com/