2 SAMUEL 1:1-16 (SAUL, DAUD DAN YESUS)

Pdt.Budi Asali, M.Div.

2 Samuel 1:1-16 - “(1) Setelah Saul mati, dan ketika Daud kembali sesudah memukul kalah orang Amalek dan tinggal dua hari di Ziklag, (2) maka datanglah pada hari ketiga seorang dari tentara, dari pihak Saul, dengan pakaian terkoyak-koyak dan tanah di atas kepala. Ketika ia sampai kepada Daud, sujudlah ia ke tanah dan menyembah. (3) Bertanyalah Daud kepadanya: ‘Dari manakah engkau?’ Jawabnya kepadanya: ‘Aku lolos dari tentara Israel.’ (4) Bertanyalah pula Daud kepadanya: ‘Apakah yang terjadi? Coba ceriterakan kepadaku.’ Jawabnya: ‘Rakyat telah melarikan diri dari pertempuran; bukan saja banyak dari rakyat yang gugur dan mati, tetapi Saul dan Yonatan, anaknya, juga sudah mati.’ (5) Lalu Daud berkata kepada orang muda yang membawa kabar kepadanya itu: ‘Bagaimana kauketahui, bahwa Saul dan Yonatan, anaknya, sudah mati?’ (6) Orang muda yang membawa kabar kepadanya itu berkata: ‘Kebetulan aku ada di pegunungan Gilboa; maka tampaklah Saul bertelekan pada tombaknya, sedang kereta-kereta dan orang-orang berkuda mengejarnya. (7) Ketika menoleh ke belakang, ia melihat aku, lalu memanggil aku; dan aku berkata: Ya tuanku. (8) Ia bertanya kepadaku: Siapakah engkau? Jawabku kepadanya: Aku seorang Amalek. (9) Lalu katanya kepadaku: Datanglah ke mari dan bunuhlah aku, sebab kekejangan telah menyerang aku, tetapi aku masih bernyawa. (10) Aku datang ke dekatnya dan membunuh dia, sebab aku tahu, ia tidak dapat hidup terus setelah jatuh. Aku mengambil jejamang yang ada di kepalanya, dan gelang yang ada pada lengannya, dan inilah dia kubawa kepada tuanku.’ (11) Lalu Daud memegang pakaiannya dan mengoyakkannya; dan semua orang yang bersama-sama dengan dia berbuat demikian juga. (12) Dan mereka meratap, menangis dan berpuasa sampai matahari terbenam karena Saul, karena Yonatan, anaknya, karena umat TUHAN dan karena kaum Israel, sebab mereka telah gugur oleh pedang. (13) Kemudian bertanyalah Daud kepada orang muda yang membawa kabar itu kepadanya: ‘Asalmu dari mana?’ Jawabnya: ‘Aku ini anak perantau, orang Amalek.’ (14) Kemudian berkatalah Daud kepadanya: ‘Bagaimana? Tidakkah engkau segan mengangkat tanganmu memusnahkan orang yang diurapi TUHAN?’ (15) Lalu Daud memanggil salah seorang dari anak buahnya dan berkata: ‘Ke mari, paranglah dia.’ Orang itu memarangnya, sehingga mati. (16) Dan Daud berkata kepadanya: ‘Kautanggung sendiri darahmu, sebab mulutmulah yang menjadi saksi menentang engkau, karena berkata: Aku telah membunuh orang yang diurapi TUHAN.’”.
2 SAMUEL 1:1-16 (SAUL, DAUD DAN YESUS)
Perhatikan komentar Barnes tentang 2 Samuel 1:1 di bawah ini.

Barnes’ Notes: “There is no break whatever between the two books of Samuel, the division being purely artificial” (= Tidak ada pemutusan apapaun di antara kedua kitab Samuel, pembagiannya semata-mata hanya merupakan sesuatu yang dibuat-buat).

I) Daud tinggal 2 hari di Ziklag (2 Samuel 1: 1).

2 Samuel 1: 1: “Setelah Saul mati, dan ketika Daud kembali sesudah memukul kalah orang Amalek dan tinggal dua hari di Ziklag”.

Pulpit Commentary (hal 7) mengatakan bahwa Daud tinggal 2 hari di Ziklag untuk menunggu Providensia Allah bekerja.

Pulpit Commentary: “his persistent resolve not to take a single step of his own devising that would seem to force on the removal of Saul from the throne, in order to secure thereby his own elevation. ... he felt that he could do nothing but maintain a resolute inactivity leaving the issue of impending events to Providence” (= ketetapan hati / keputusannya yang gigih untuk tidak melakukan satu langkahpun dari pikiran / rencananya sendiri yang terlihat memaksakan penyingkiran Saul dari takhta, supaya dengan itu memastikan pengangkatan / peninggiannya sendiri. ... ia merasa bahwa ia tidak bisa berbuat apapun kecuali mempertahankan suatu ketidak-aktifan yang tegas dan menyerahkan hasil dari peristiwa-peristiwa yang mendatang pada Providensia) - hal 7.

Pulpit Commentary: “Most probably David’s followers, knowing as they did that Saul stood between him and the throne, often marvelled at his patient inactivity. But by a keener spiritual vision than they possessed, he recognized the perfect control of the God he served, and had amazing faith in the sure though slow unfolding of his purposes. Hence he could wait and be still. ... So likewise we in secular and spiritual affairs may be said to wait on Providence when, in spite of difficulties that almost crush out our life, we, being conscious of oneness with Christ, stagger not in our belief in the all-controlling wisdom and power, and rest in the certainty of an order of things which is being directed towards the realization of the Divine purposes with which our entire life is identified” [= Sangat memungkinkan pengikut-pengikut Daud, yang mengetahui bahwa Saul berada di antara dia dan takhta, sering heran akan ketidak-aktifannya yang sabar. Tetapi dengan suatu visi rohani yang lebih tajam dari pada yang mereka miliki, ia mengenali kontrol yang sempurna dari Allah yang ia layani, dan mempunyai iman yang mengherankan dalam pembukaan / pelaksanaan dari rencanaNya, yang sekalipun lambat tetapi pasti. Karena itu ia bisa menunggu dan tetap diam. ... Demikian juga kita dalam urusan-urusan sekuler dan rohani bisa dikatakan menunggu pada Providensia, pada waktu, sekalipun ada kesukaran-kesukaran yang hampir menghancurkan kehidupan kita, kita, dengan menyadari akan kesatuan dengan Kristus, tidak terhuyung-huyung dalam kepercayaan kita pada hikmat dan kuasa yang mengontrol segala sesuatu, dan beristirahat dalam kepastian dari urut-urutan dari hal-hal yang diarahkan pada realisasi / pelaksanaan dari rencana Ilahi dengan mana seluruh hidup kita dikenali].

Matthew Henry: “It was strange that he did not leave some spies about the camp, to bring him early notice of the issue of the engagement, a sign that he desired not Saul’s woeful day, nor was impatient to come to the throne, but willing to wait till those tidings were brought to him ... He that believes does not make haste, takes good news when it comes and is not uneasy while it is in the coming” (= Adalah aneh bahwa ia tidak meninggalkan beberapa mata-mata di sekitar perkemahan, untuk membawa kepadanya pemberitahuan yang awal tentang hasil dari pertempuran itu, suatu tanda bahwa ia tidak menginginkan hari celaka Saul, ataupun tidak sabar untuk datang pada takhta, tetapi mau untuk menunggu sampai kabar baik itu dibawa kepadanya ... Ia yang percaya tidak terburu-buru, menerima kabar baik itu pada saat kabar itu datang, dan tidak gelisah sementara kabar itu masih dalam perjalanan).

Tetapi ketiga kutipan di atas tidak berarti bahwa kita harus selalu pasif dan hanya menunggu Providensia Allah / pekerjaan Allah dalam melaksanakan rencanaNya. Kepasifan total seperti itu, hanya dilakukan dalam hal-hal tertentu dimana memang tidak ada apapun yang bisa kita lakukan. Dalam hal-hal lain, kepasifan seperti itu, merupakan suatu fatalisme, atau sikap hyper-Calvinist, dan jelas merupakan sesuatu yang salah.

Pulpit Commentary: “there are seasons in human life when, perhaps, all we can do is to wait on Providence. There is, however, a false, even wicked, waiting, which is but another name for idleness or fatalism, or vague looking for some lucky chance” (= ada saat-saat dalam kehidupan manusia pada waktu, mungkin apa yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu pada Providensia. Tetapi ada juga suatu sikap menunggu yang palsu, bahkan jahat, yang hanyalah merupakan sebutan lain untuk kemalasan atau fatalisme, atau pencarian yang tidak jelas untuk suatu kesempatan yang mujur) - hal 7.

II) Laporan tentang kematian Saul dan Yonatan.

2 Samuel 1: 2-10: “(2) maka datanglah pada hari ketiga seorang dari tentara, dari pihak Saul, dengan pakaian terkoyak-koyak dan tanah di atas kepala. Ketika ia sampai kepada Daud, sujudlah ia ke tanah dan menyembah. (3) Bertanyalah Daud kepadanya: ‘Dari manakah engkau?’ Jawabnya kepadanya: ‘Aku lolos dari tentara Israel.’ (4) Bertanyalah pula Daud kepadanya: ‘Apakah yang terjadi? Coba ceriterakan kepadaku.’ Jawabnya: ‘Rakyat telah melarikan diri dari pertempuran; bukan saja banyak dari rakyat yang gugur dan mati, tetapi Saul dan Yonatan, anaknya, juga sudah mati.’ (5) Lalu Daud berkata kepada orang muda yang membawa kabar kepadanya itu: ‘Bagaimana kauketahui, bahwa Saul dan Yonatan, anaknya, sudah mati?’ (6) Orang muda yang membawa kabar kepadanya itu berkata: ‘Kebetulan aku ada di pegunungan Gilboa; maka tampaklah Saul bertelekan pada tombaknya, sedang kereta-kereta dan orang-orang berkuda mengejarnya. (7) Ketika menoleh ke belakang, ia melihat aku, lalu memanggil aku; dan aku berkata: Ya tuanku. (8) Ia bertanya kepadaku: Siapakah engkau? Jawabku kepadanya: Aku seorang Amalek. (9) Lalu katanya kepadaku: Datanglah ke mari dan bunuhlah aku, sebab kekejangan telah menyerang aku, tetapi aku masih bernyawa. (10) Aku datang ke dekatnya dan membunuh dia, sebab aku tahu, ia tidak dapat hidup terus setelah jatuh. Aku mengambil jejamang yang ada di kepalanya, dan gelang yang ada pada lengannya, dan inilah dia kubawa kepada tuanku.’”.

1) Sukacita dan problem / kesedihan.

Calvin: “The text says, ‘On the third day, having returned from the destruction of the Amalekites’, news was brought to David of the death of Saul (2Sam 1:1-4). The victory that he had won was intended to cause him to give thanks and praise to God. ... But suddenly, here was a message which turned his joy into sorrow. With these things in mind, let us contemplate how easily our life can change. Any time God blesses us, let us be prepared also to accept the reverse, that is, all the afflictions with which he wants to test us” [= Textnya mengatakan, ‘Pada hari ketiga, setelah kembali dari penghancuran orang-orang Amalek’, suatu kabar dibawa kepada Daud tentang kematian dari Saul (2Sam 1:1-4). Kemenangan yang telah ia menangkan dimaksudkan untuk menyebabkan ia bersyukur dan memuji Allah. ... Tetapi tiba-tiba, di sini ada suatu berita yang membalikkan sukacitanya menjadi kesedihan. Dengan hal-hal ini dalam pikiran kita, marilah kita merenungkan betapa dengan mudahnya kehidupan kita bisa berubah. Setiap saat Allah memberkati kita, hendaklah kita juga siap untuk menerima kebalikannya, yaitu semua penderitaan dengan mana ia mau menguji kita] - ‘Sermons on Second Samuel’, hal 2.

Calvin: “a man should never fail to remember that a hundred different situations with a thousand sorts of annoyances and distresses can happen to us. That is how our joys are often tempered, as if we were pouring water in our wine. We see, for instance, that those who drink too much come to grief, even though God gave them what they wanted. They enjoy themselves to the point of getting drunk, like a man who has found good wine, and does not drink it moderately nor merely for his health, but over-indulges to such an extent that he is out of his senses. It is the same with people who enjoy themselves too much when they are prospering. That is the reason God chastises them, and why he sends them afflictions when they abuse his grace in this way” [= seorang manusia tidak pernah boleh gagal untuk mengingat bahwa seratus keadaan yang berbeda dengan seribu jenis gangguan dan keadaan-keadaan yang berbahaya / sukar bisa terjadi pada kita. Itulah bagaimana sukacita kita sering dicampuri supaya tidak berlebihan, seakan-akan kita mencurahkan air ke dalam anggur kita. Sebagai contoh, kita melihat bahwa mereka yang minum terlalu banyak sampai pada kesedihan, sekalipun Allah memberi mereka apa yang mereka inginkan. Mereka menikmati diri mereka sendiri sampai pada titik dimana mereka menjadi mabuk, seperti seseorang yang telah menemukan anggur yang baik, dan tidak meminumnya secara moderat ataupun semata-mata untuk kesehatannya, tetapi memuaskan secara berlebihan sampai pada suatu titik dimana ia kehilangan kewarasannya. Hal yang sama terjadi dengan orang-orang yang menikmati diri mereka sendiri secara kelewat batas pada waktu mereka makmur. Itulah alasannya mengapa Allah menghajar mereka, dan mengapa Ia mengirimkan penderitaan kepada mereka pada waktu mereka menyalah-gunakan kasih karuniaNya dengan cara ini] - ‘Sermons on Second Samuel’, hal 2-3.

Calvin: “Thus, when God has given us cause to rejoice - whether for a day or a month - let us learn to accept any trial which he chooses to test us. And let us carefully note the example that we have of Job, who said, ‘If we receive good from the hand of the Lord, then why should we not also receive evil from him?’ (Job 2:10). By saying this Job teaches us not to think that because God blesses us and treats us kindly at one time, he is therefore always obliged to do so. Instead, let us realise that God moves us from one side to the other so that we cannot relax and fall asleep in our dullness and stupidity. For we need to be continually tried, because our senses are too attached to this world; and we wish to make our own paradise on earth as though there were no blessedness greater than that!” [= Maka, pada waktu Allah telah memberikan kita alasan untuk bersukacita - apakah untuk satu hari atau satu bulan - hendaklah kita belajar untuk menerima ujian apapun yang Ia pilih untuk menguji kita. Dan hendaklah kita dengan hati-hati memperhatikan teladan yang kita miliki tentang Ayub, yang berkata: ‘Jika kita menerima yang baik dari tangan Tuhan, maka mengapa kita tidak harus juga menerima bencana / yang buruk dari Dia?’ (Ayub 2:10). Dengan mengatakan ini Ayub mengajar kita untuk tidak menganggap bahwa karena Ia memberkati kita dan memperlakukan kita dengan baik pada suatu waktu, karena itu Ia wajib untuk selalu melakukan hal itu. Sebaliknya, hendaklah kita menyadari bahwa Allah menggerakkan kita dari satu pihak ke pihak yang lain sehingga kita tidak bisa bersantai dan jatuh tertidur dalam ketumpulan dan ketololan kita. Karena kita perlu untuk terus menerus diuji, karena perasaan / pikiran kita terlalu melekat pada dunia ini; dan kita ingin untuk membuat surga kita sendiri di bumi seakan-akan tidak ada berkat yang lebih besar dari itu!] - ‘Sermons on Second Samuel’, hal 3.

Ayub 2:10 - “Tetapi jawab Ayub kepadanya: ‘Engkau berbicara seperti perempuan gila (bodoh / tolol)! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?’ Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya”.

2) Sandiwara dari orang muda Amalek.

Kata-kata ‘pakaian terkoyak-koyak dan tanah di atas kepala’ (2 Samuel 1: 2) merupakan tindakan / upacara umum yang menyertai perkabungan, kesedihan, atau pertobatan. Bdk. 2Samuel 13:19 Ester 4:1-3 Ayub 1:20 Ayub 2:8,12 Yunus 3:6.

Ini hanya merupakan tradisi mereka untuk menyatakan kesedihan, pertobatan dsb, dan tentu sama sekali tidak perlu kita tiru.

Apa yang dilakukan oleh orang Amalek ini, mulai dari pakaian yang koyak-koyak yang dikenakannya, peletakan tanah di kepalanya, penyembahannya kepada Daud, dan penceritaan cerita dustanya, jelas merupakan suatu kepura-puraan / sandiwara! Ini merupakan suatu tindakan dusta dan munafik, dengan maksud menyenangkan Daud dan mendapatkan sesuatu yang menguntungkan dari Daud.

Calvin: “Hence, this young man was doing what he had seen, but there was more pretence on his part, because he was a foreigner without fear of God and without religion. He thus went through the motions of repentance without having a single drop of it. We see this pretence still carried on by the papacy on ‘Ash Wednesday’, as they call it, when they put ashes on their foreheads in order to show that they are nothing but dust. They want to appear to carry out their duty faithfully in this matter, but in fact they are pitting themselves against God and despising him. Thus, they do the very opposite of what the sign portrays, which is how it was with this young Amalekite” [= Karena itu, orang muda ini melakukan apa yang telah ia lihat, tetapi ada banyak kepura-puraan dalam dirinya, karena ia adalah seorang asing tanpa rasa takut kepada Allah dan tanpa agama. Demikianlah ia melakukan gerakan-gerakan pertobatan tanpa mempunyai setetespun pertobatan. Kita melihat kepura-puraan ini tetap dilakukan oleh kepausan pada ‘Rabu Abu’, sebagaimana mereka menyebutnya, pada waktu mereka meletakkan abu pada kening mereka untuk menunjukkan bahwa mereka hanyalah abu. Mereka ingin terlihat melaksanakan kewajiban mereka dengan setia dalam persoalan ini, tetapi dalam faktanya mereka meletakkan diri mereka sendiri menentang Allah dan meremehkan Dia. Jadi, mereka melakukan hal yang persis sebaliknya dengan apa yang digambarkan oleh tanda itu, yang adalah apa yang dilakukan oleh orang Amalek muda ini] - ‘Sermons on Second Samuel’, hal 5.

Merupakan sesuatu yang menarik bahwa kata ‘orang munafik’, yang dalam bahasa Inggrisnya adalah ‘hypocrite’, berasal dari kata Yunani HUPOKRITES, yang artinya adalah aktor / pemain sandiwara. Aktor / pemain sandiwara bisa tertawa pada saat mereka sebetulnya sedih, dan sebaliknya bisa kelihatan sedih pada saat mereka senang, dan sebagainya. Dan orang yang dalam hidupnya bersikap seperti itu, adalah seorang pemain sandiwara, atau ‘orang munafik’!

Yesus jelas sangat membenci kemunafikan, dan itu terlihat dari serangan-serangan / kecaman-kecamanNya yang begitu keras terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang memang merupakan orang-orang yang sangat munafik.

Juga dalam Kitab Suci ada penceritaan tentang orang-orang munafik / kemunafikan, dan penceritaannya secara implicit mengecam kemunafikan. Misalnya:

a) Absalom.

2 Samuel 15:1-6 - “(1) Sesudah itu Absalom menyediakan baginya sebuah kereta serta kuda dan lima puluh orang yang berlari di depannya. (2) Maka setiap pagi berdirilah Absalom di tepi jalan yang menuju pintu gerbang. Setiap orang yang mempunyai perkara dan yang mau masuk menghadap raja untuk diadili perkaranya, orang itu dipanggil Absalom dan ditanyai: ‘Dari kota manakah engkau?’ Apabila ia menjawab: ‘Hambamu ini datang dari suku Israel anu,’ (3) maka berkatalah Absalom kepadanya: ‘Lihat, perkaramu itu baik dan benar, tetapi dari pihak raja tidak ada seorangpun yang mau mendengarkan engkau.’ (4) Lagi kata Absalom: ‘Sekiranya aku diangkat menjadi hakim di negeri ini! Maka setiap orang yang mempunyai perkara atau pertikaian hukum boleh datang kepadaku, dan aku akan menyelesaikan perkaranya dengan adil.’ (5) Apabila seseorang datang mendekat untuk sujud menyembah kepadanya, maka diulurkannyalah tangannya, dipegangnya orang itu dan diciumnya. (6) Cara yang demikianlah diperbuat Absalom kepada semua orang Israel yang mau masuk menghadap untuk diadili perkaranya oleh raja, dan demikianlah Absalom mencuri hati orang-orang Israel”.

b) Yudas Iskariot.

Yohanes 12:4-6 - “(4) Tetapi Yudas Iskariot, seorang dari murid-murid Yesus, yang akan segera menyerahkan Dia, berkata: (5) ‘Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?’ (6) Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang disimpan dalam kas yang dipegangnya”.

Matius 26:24-25 - “(24) Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.’ (25) Yudas, yang hendak menyerahkan Dia itu menjawab, katanya: ‘Bukan aku, ya Rabi?’ Kata Yesus kepadanya: ‘Engkau telah mengatakannya.’”.

Luk 22:47-48 - “(47) Waktu Yesus masih berbicara datanglah serombongan orang, sedang muridNya yang bernama Yudas, seorang dari kedua belas murid itu, berjalan di depan mereka. Yudas mendekati Yesus untuk menciumNya. (48) Maka kata Yesus kepadanya: ‘Hai Yudas, engkau menyerahkan Anak Manusia dengan ciuman?’”.

c) Tokoh-tokoh agama Yahudi.

Matius 6:1-2,5,16 - “(1) ‘Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga. (2) Jadi apabila engkau memberi sedekah, janganlah engkau mencanangkan hal itu, seperti yang dilakukan orang munafik di rumah-rumah ibadat dan di lorong-lorong, supaya mereka dipuji orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. ... (5) ‘Dan apabila kamu berdoa, janganlah berdoa seperti orang munafik. Mereka suka mengucapkan doanya dengan berdiri dalam rumah-rumah ibadat dan pada tikungan-tikungan jalan raya, supaya mereka dilihat orang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. ... (16) ‘Dan apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya”.

Matius 7:3-5 - “(3) Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? (4) Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. (5) Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.’”.

Matius 15:7-9 - “(7) Hai orang-orang munafik! Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu: (8) Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu. (9) Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.’”.

Matius 22:17-18 - “(17) Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?’ (18) Tetapi Yesus mengetahui kejahatan hati mereka itu lalu berkata: ‘Mengapa kamu mencobai Aku, hai orang-orang munafik?”.

Matius 23:23-28 - “(23) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. (24) Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan. (25) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab cawan dan pinggan kamu bersihkan sebelah luarnya, tetapi sebelah dalamnya penuh rampasan dan kerakusan. (26) Hai orang Farisi yang buta, bersihkanlah dahulu sebelah dalam cawan itu, maka sebelah luarnya juga akan bersih. (27) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. (28) Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan”.

d) Petrus, Barnabas, dan orang-orang Kristen Yahudi yang lain.

Galatia 2:11-14 - “(11) Tetapi waktu Kefas datang ke Antiokhia, aku berterang-terang menentangnya, sebab ia salah. (12) Karena sebelum beberapa orang dari kalangan Yakobus datang, ia makan sehidangan dengan saudara-saudara yang tidak bersunat, tetapi setelah mereka datang, ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat. (13) Dan orang-orang Yahudi yang lainpun turut berlaku munafik dengan dia, sehingga Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka. (14) Tetapi waktu kulihat, bahwa kelakuan mereka itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil, aku berkata kepada Kefas di hadapan mereka semua: ‘Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?’”.

Ini menunjukkan bahwa bahkan orang-orang Kristen sejati pun tak kebal terhadap dosa munafik ini!

Beberapa ayat lain tentang kemunafikan:

· Amsal 23:7 - “Sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia. ‘Silakan makan dan minum,’ katanya kepadamu, tetapi ia tidak tulus hati terhadapmu”.

· Amsal 25:27 - “Tidaklah baik makan banyak madu; sebab itu biarlah jarang kata-kata pujianmu”.

· Amsal 26:23-26 - “(23) Seperti pecahan periuk bersalutkan perak, demikianlah bibir manis dengan hati jahat. (24) Si pembenci berpura-pura dengan bibirnya, tetapi dalam hati dikandungnya tipu daya. (25) Kalau ia ramah, janganlah percaya padanya, karena tujuh kekejian ada dalam hatinya. (26) Walaupun kebenciannya diselubungi tipu daya, kejahatannya akan nyata dalam jemaah”.

· Roma 12:9 - “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik”.

· Roma 16:18 - “Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa mereka yang manis mereka menipu orang-orang yang tulus hatinya”.

· 2Korintus 6:4-6 - “(4) Sebaliknya, dalam segala hal kami menunjukkan, bahwa kami adalah pelayan Allah, yaitu: dalam menahan dengan penuh kesabaran dalam penderitaan, kesesakan dan kesukaran, (5) dalam menanggung dera, dalam penjara dan kerusuhan, dalam berjerih payah, dalam berjaga-jaga dan berpuasa; (6) dalam kemurnian hati, pengetahuan, kesabaran, dan kemurahan hati; dalam Roh Kudus dan kasih yang tidak munafik”.

· Galatia 4:17-18 - “(17) Mereka dengan giat berusaha untuk menarik kamu, tetapi tidak dengan tulus hati, karena mereka mau mengucilkan kamu, supaya kamu dengan giat mengikuti mereka. (18) Memang baik kalau orang dengan giat berusaha menarik orang lain dalam perkara-perkara yang baik, asal pada setiap waktu dan bukan hanya bila aku ada di antaramu”.

· 1Tesalonika 2:3-6 - “(3) Sebab nasihat kami tidak lahir dari kesesatan atau dari maksud yang tidak murni dan juga tidak disertai tipu daya. (4) Sebaliknya, karena Allah telah menganggap kami layak untuk mempercayakan Injil kepada kami, karena itulah kami berbicara, bukan untuk menyukakan manusia, melainkan untuk menyukakan Allah yang menguji hati kita. (5) Karena kami tidak pernah bermulut manis - hal itu kamu ketahui - dan tidak pernah mempunyai maksud loba yang tersembunyi - Allah adalah saksi - (6) juga tidak pernah kami mencari pujian dari manusia, baik dari kamu, maupun dari orang-orang lain, sekalipun kami dapat berbuat demikian sebagai rasul-rasul Kristus”.

· Yakobus 3:17 - “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik”.

· Matius 24:51 - “dan akan membunuh dia dan membuat dia senasib dengan orang-orang munafik. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.’”.

Ayat ini menunjukkan nasib akhir orang munafik, yaitu masuk neraka! Hanya iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat yang bisa membebaskan orang munafik (dan juga semua orang berdosa yang lain) dari hukuman kekal.

Kitab Suci bukan hanya melarang kita untuk menjadi orang munafik / ‘pemain sandiwara’, penjilat, dsb, dan mengharuskan kita untuk menjadi orang yang tulus, tetapi juga mengharuskan kita untuk tidak menyenangi ataupun bergaul dengan orang yang munafik / menjilat!

Mazmur 26:4 - “Aku tidak duduk dengan penipu, dan dengan orang munafik aku tidak bergaul”.

Dan bahwa Yesus menyenangi ‘ketulusan’, yang merupakan kebalikan dari ‘kemunafikan’ terlihat dari ayat di bawah ini.

Yohanes 1:47 - “Kata Filipus kepadanya: ‘Mari dan lihatlah!’ Yesus melihat Natanael datang kepadaNya, lalu berkata tentang dia: ‘Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!’”.

Kata ‘kepalsuan’ di sini dalam bahasa Yunaninya adalah DOLOS yang sebe­tulnya berarti ‘umpan untuk memancing’, ‘tipu daya’, ‘kebohongan’, ‘suatu jerat’, dan sebagainya.

Bdk. Kej 27:35 yang dalam LXX / Septuaginta menggunakan kata DOLOS untuk ‘tipu daya’.

Kejadian 27:35 - “Jawab ayahnya: ‘Adikmu telah datang dengan tipu daya dan telah merampas berkat yang untukmu itu.’”.

Ini menunjukkan bahwa Yesus senang dengan orang yang tulus / tidak munafik! Apakah saudara adalah orang seperti itu?

3) Dalam Kitab Suci ada 3 versi cerita tentang kematian Saul.

a) 1Sam 31:3-6 - “(3) Kemudian makin beratlah pertempuran itu bagi Saul; para pemanah menjumpainya, dan melukainya dengan parah. (4) Lalu berkatalah Saul kepada pembawa senjatanya: ‘Hunuslah pedangmu dan tikamlah aku, supaya jangan datang orang-orang yang tidak bersunat ini menikam aku dan memperlakukan aku sebagai permainan.’ Tetapi pembawa senjatanya tidak mau, karena ia sangat segan. Kemudian Saul mengambil pedang itu dan menjatuhkan dirinya ke atasnya. (5) Ketika pembawa senjatanya melihat, bahwa Saul telah mati, iapun menjatuhkan dirinya ke atas pedangnya, lalu mati bersama-sama dengan Saul. (6) Jadi Saul, ketiga anaknya dan pembawa senjatanya, dan seluruh tentaranya sama-sama mati pada hari itu”. (cerita ini sama dengan cerita dalam 1Taw 10:3-6).

Cerita ini menunjukkan bahwa Saul mati dengan cara bunuh diri.

b) 1Taw 10:13-14 - “(13) Demikianlah Saul mati karena perbuatannya yang tidak setia terhadap TUHAN, oleh karena ia tidak berpegang pada firman TUHAN, dan juga karena ia telah meminta petunjuk dari arwah, (14) dan tidak meminta petunjuk TUHAN. Sebab itu TUHAN membunuh dia dan menyerahkan jabatan raja itu kepada Daud bin Isai”.

Cerita ini menunjukkan bahwa Saul mati karena Tuhan membunuh dia.

c) Cerita orang muda Amalek ini dalam 2 Samuel 1: 4-10 ini.

2 Samuel 1: 4-10: “(4) Bertanyalah pula Daud kepadanya: ‘Apakah yang terjadi? Coba ceriterakan kepadaku.’ Jawabnya: ‘Rakyat telah melarikan diri dari pertempuran; bukan saja banyak dari rakyat yang gugur dan mati, tetapi Saul dan Yonatan, anaknya, juga sudah mati.’ (5) Lalu Daud berkata kepada orang muda yang membawa kabar kepadanya itu: ‘Bagaimana kauketahui, bahwa Saul dan Yonatan, anaknya, sudah mati?’ (6) Orang muda yang membawa kabar kepadanya itu berkata: ‘Kebetulan aku ada di pegunungan Gilboa; maka tampaklah Saul bertelekan pada tombaknya, sedang kereta-kereta dan orang-orang berkuda mengejarnya. (7) Ketika menoleh ke belakang, ia melihat aku, lalu memanggil aku; dan aku berkata: Ya tuanku. (8) Ia bertanya kepadaku: Siapakah engkau? Jawabku kepadanya: Aku seorang Amalek. (9) Lalu katanya kepadaku: Datanglah ke mari dan bunuhlah aku, sebab kekejangan telah menyerang aku, tetapi aku masih bernyawa. (10) Aku datang ke dekatnya dan membunuh dia, sebab aku tahu, ia tidak dapat hidup terus setelah jatuh. Aku mengambil jejamang yang ada di kepalanya, dan gelang yang ada pada lengannya, dan inilah dia kubawa kepada tuanku.’”.

Cerita ini menyatakan bahwa Saul mati karena dibunuh oleh oleh Amalek ini atas permintaan Saul sendiri.

Bagaimana mengharmoniskannya? Sangat mudah untuk mengharmoniskan antara cerita a) dan cerita b).

Matthew Henry (tentang 1Taw 10:14): “Saul slew himself, and yet it is said, God slew him. What is done by wicked hands is yet done by the determinate counsel and foreknowledge of God” (= Saul membunuh dirinya sendiri, tetapi dikatakan, ‘Allah membunuh dia. Apa yang dilakukan oleh tangan-tangan jahat dilakukan oleh rencana dan pengetahuan lebih dulu yang tentu / pasti dari Allah).

Hal seperti ini memang sering dilakukan dalam Kitab Suci. Misalnya Yesus jelas dibunuh oleh orang-orang Romawi dan tokoh-tokoh Yahudi. Tetapi Ia sendiri mengatakan bahwa cawan yang harus Ia minum itu diberikan kepada-Nya oleh Allah.

Yohanes 18:11 - “Kata Yesus kepada Petrus: ‘Sarungkan pedangmu itu; bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa kepada-Ku?’”.

Demikian juga Ayub, yang hartanya habis dirampok orang Kasdim dan Syeba, dan anak-anaknya semua mati karena angin ribut, mengatakan: ‘TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil’(Ayub 1:21).

Tetapi bagaimana dengan cerita orang muda Amalek ini? Pulpit Commentary mengatakan (hal 3) bawa dari cerita tentang kematian Saul di sini, yang berbeda dengan yang ada dalam 1Sam 31, ada orang-orang yang menganggap bahwa Kitab Suci salah. Ini kesimpulan yang gegabah dan bodoh. Kita dengan mudah bisa mengatakan bahwa cerita yang di sini yang salah, bukan karena Kitab Sucinya salah, tetapi karena orang ini berdusta. Cerita kematian Saul di sini hanyalah karangan orang muda Amalek itu.

4) Orang muda Amalek ini mengarang cerita seperti ini pasti untuk mendapatkan keuntungan / uang.

Sebetulnya ia sudah mendapatkan gelang dan mahkota Saul, yang rasanya tidak mungkin bernilai rendah. Jadi, ia sudah mendapatkan keuntungan dari ‘jarahan’ itu, tetapi rupanya ia menginginkan keuntungan yang lebih besar lagi, dan karena itu ia bersikap munafik, mengarang cerita dusta, demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar itu. Dari sini kita lagi-lagi melihat bahwa banyak orang, demi uang / keuntungan, rela melakukan apa saja!

Bdk. 1Timotius 6:6-10 - “(6) Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar. (7) Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar. (8) Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah. (9) Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan. (10) Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka”.

Penerapan:

a) Dalam kalangan gereja-gereja tertentu sikap mata duitan ini diwujudkan dengan cara terus menerus menekankan persembahan persepuluhan, dan menjanjikan berkat-berkat jasmani / uang (yang sebetulnya merupakan dusta) bagi yang mau melakukannya.

b) Dalam gereja-gereja lain, ini diwujudkan dengan menjual ‘Firman Tuhan’ dengan sangat mahal, misalnya:

1. Pada waktu mengadakan seminar / acara rohani, selalu pakai tiket masuk yang mahal. Kalau mereka harus menyewa gedung, itu masih bisa diterima, tetapi tarif tetap tak boleh terlalu tinggi. Tetapi kalau tidak ada penyewaan gedung, dan yang dipakai adalah gereja sendiri, maka penerapan tarif, apalagi yang mahal, merupakan suatu sikap mata duitan!

2. Pada waktu menjual buku, VCD khotbah dsb, selalu menjual dengan harga jauh di atas normal.

Bandingkan dengan text ini:

Matius 10:5-8 - “(5) Kedua belas murid itu diutus oleh Yesus dan Ia berpesan kepada mereka: ‘Janganlah kamu menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota orang Samaria, (6) melainkan pergilah kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. (7) Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat. (8) Sembuhkanlah orang sakit; bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma”.

5) Penjelasan tentang detail-detail tertentu dari cerita orang muda Amalek ini.

a) 2 Samuel 1: 9: “Lalu katanya kepadaku: Datanglah ke mari dan bunuhlah aku, sebab kekejangan telah menyerang aku, tetapi aku masih bernyawa”.

KJV/RSV: ‘anguish’ (= penderitaan).

NIV: ‘I am in the throes of death’ (= aku ada dalam penderitaan / pergumulan kematian).

NASB: ‘for agony has seized me’ (= karena penderitaan / kesakitan yang hebat telah menangkap / mencengkeram aku).

Barnes’ Notes: “‘Anguish.’ The Hebrew word used here occurs nowhere else, and is of doubtful meaning ... The rabbis interpret it as a cramp or giddiness” (= ‘Kesedihan / penderitaan’. Kata Ibraninya tidak digunakan di tempat lain manapun juga, dan artinya diragukan ... Para rabi menafsirkannya sebagai suatu kekejangan atau perasaan pusing / mabuk).

Bible Works 7 memberikan arti ‘cramp’ (= kekejangan), ‘agony’ (= penderitaan yang hebat / kesakitan), ‘anguish’ (= kesedihan / penderitaan), tetapi menambahkan bahwa artinya memang meragukan.

b) 2 Samuel 1: 10: “Aku datang ke dekatnya dan membunuh dia, sebab aku tahu, ia tidak dapat hidup terus setelah jatuh. Aku mengambil jejamang yang ada di kepalanya, dan gelang yang ada pada lengannya, dan inilah dia kubawa kepada tuanku.’”.

Kata ‘jejamang’ dalam KJV/RSV/NIV/NASB adalah ‘the crown’ (= mahkota).

Matthew Henry: “It should seem Saul was so foolishly fond of these as to wear them in the field of battle, which made him a fair mark for the archers, by distinguishing him from those about him; but as pride (we say) feels no cold, so it fears no danger, from that which gratifies it” [= Kelihatannya Saul begitu menyenangi secara bodoh benda-benda ini sehingga memakainya dalam pertempuran, yang membuat dia menjadi sasaran yang baik bagi pemanah-pemanah, dengan membedakannya dari orang-orang lain di sekitarnya; tetapi karena kesombongan (kami katakan) tidak merasa takut, maka kesombongan tidak takut bahaya, dari hal-hal yang memuaskannya].

Penerapan: di tempat rawanpun banyak orang memakai perhiasan yang mahal dan menyolok. Ini tidak berbeda dengan kesombongan Saul yang ‘tidak takut bahaya’ ini!

Matthew Henry: “David had been long waiting for the crown, and now it was brought to him by an Amalekite. See how God can serve his own purposes of kindness to his people, even by designing (ill-designing) men, who aim at nothing but to set up themselves” [= Daud telah lama menunggu untuk mahkota itu, dan sekarang mahkota itu dibawa kepadanya oleh seorang Amalek. Lihatlah bagaimana Allah bisa menjalankan rencana-rencana kebaikanNya kepada umatNya, bahkan oleh orang-orang yang merancang (merancang hal yang buruk / jahat), yang tidak mempunyai tujuan apapun selain meninggikan diri mereka sendiri].

Adam Clarke: “Dr. Delaney remarks that an Amalekite took that crown from off the head of Saul, which he had forfeited by his disobedience in the case of Amalek” (= Dr. Delaney berkata bahwa seorang Amalek mengambil mahkota itu dari kepala Saul, yang hilang darinya / yang ia korbankan oleh ketidak-taatannya dalam kasus orang Amalek).

Catatan: bandingkan dengan 1Sam 15:20-23 - “(20) Lalu kata Saul kepada Samuel: ‘Aku memang mendengarkan suara TUHAN dan mengikuti jalan yang telah disuruh TUHAN kepadaku dan aku membawa Agag, raja orang Amalek, tetapi orang Amalek itu sendiri telah kutumpas. (21) Tetapi rakyat mengambil dari jarahan itu kambing domba dan lembu-lembu yang terbaik dari yang dikhususkan untuk ditumpas itu, untuk mempersembahkan korban kepada TUHAN, Allahmu, di Gilgal.’ (22) Tetapi jawab Samuel: ‘Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan. (23) Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja.’”.

III) Reaksi Daud terhadap cerita / laporan orang muda Amalek ini.

1) Daud bukannya bersukacita atau senang mendengar kabar kematian Saul itu, tetapi sebaliknya menangis dan berkabung.

2 Samuel 1: 11-12: “(11) Lalu Daud memegang pakaiannya dan mengoyakkannya; dan semua orang yang bersama-sama dengan dia berbuat demikian juga. (12) Dan mereka meratap, menangis dan berpuasa sampai matahari terbenam karena Saul, karena Yonatan, anaknya, karena umat TUHAN dan karena kaum Israel, sebab mereka telah gugur oleh pedang”.

Barnes’ Notes: “David’s thoroughly patriotic and unselfish character is strongly marked here. He looked upon the death of Saul, and the defeat of Israel by a pagan foe, with unmixed sorrow, though it opened to him the way to the throne, and removed his mortal enemy out of the way” (= Karakter Daud yang sepenuhnya bersifat patriot dan tidak egois ditandai / diperhatikan secara kuat di sini. Ia memandang kematian Saul, dan kekalahan Israel oleh musuh kafir, dengan kesedihan yang murni / tak bercampur, sekalipun hal itu membukakan jalan baginya pada mahkota, dan menyingkirkan musuh besarnya).

Amsal 17:5b - “siapa gembira karena suatu kecelakaan tidak akan luput dari hukuman”.

Amsal 24:17-18 - “(17) Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok, (18) supaya TUHAN tidak melihatnya dan menganggapnya jahat, lalu memalingkan murkanya dari pada orang itu”.

Pulpit Commentary: “David desired not elevation for the sake of personal gratification; nor did he desire disaster for Saul that a great obstacle to his own advance might be put aside. Men consecrated to God are open to the subtle temptation of desiring events to move on so as to promote their own personal ease at the cost of much that is sacred” (= Daud tidak menginginkan peninggian demi pemuasan pribadi; ataupun menginginkan bencana bagi Saul supaya halangan yang besar bagi kemajuannya bisa disingkirkan. Orang-orang yang membaktikan diri kepada Allah terbuka bagi pencobaan yang halus / tak kentara dengan menginginkan peristiwa-peristiwa berjalan terus sehingga memajukan kesenangan / ketenteraman pribadi mereka sendiri dengan mengorbankan banyak hal-hal yang keramat).

Penerapan: kalau ada sebuah gereja / pendeta yang baik hancur, dan jemaatnya lalu pindah ke gereja saudara, apakah saudara senang?

Calvin: “David’s weeping was not in the least insincere. For he considered not only the evil side of Saul - his desperate rage, driving him to murder the innocent - but he also recognised that he was king, elected and chosen by God as head of the people, and placed in the seat that God had consecrated. Thus, he could not hate evil in him without at the same time honouring the favours God had bestowed on him. ... David certainly knew that Saul was a desperate man. Nonetheless, God had chosen him to reign over his people, and had anointed his for that purpose. What is more, David knew that he would offend the Lord, and would commit a sacrilege if he ignored this grace which God had put in Saul. That is why he mourned over his death” [= Tangisan Daud sama sekali bukannya tidak tulus. Karena ia mempertimbangkan bukan hanya sisi jahat dari Saul - kemarahannya yang nekat / putus asa, yang mendorongnya untuk membunuh orang-orang yang tidak bersalah - tetapi ia juga mengenali bahwa ia adalah raja, dipilih oleh Allah sebagai kepala / pemimpin dari bangsa itu, dan ditempatkan di kedudukan yang dikuduskan oleh Allah. Karena itu, ia tidak bisa membenci kejahatan dalam dia tanpa pada saat yang sama menghormati kebaikan-kebaikan yang telah Allah berikan kepadanya. ... Daud pasti tahu bahwa Saul adalah orang yang putus asa. Tetapi bagaimanapun, Allah telah memilih dia untuk memerintah atas bangsanya, dan telah mengurapinya untuk tujuan itu. Lebih lagi, Daud tahu bahwa ia akan menyakiti Tuhan, dan melakukan pelanggaran terhadap hal-hal keramat, jika ia mengabaikan kasih karunia yang telah Allah letakkan dalam diri Saul ini. Itu sebabnya ia berkabung atas kematiannya] - ‘Sermons on Second Samuel’, hal 6.

Calvin: “However, when the Lord execute his judgments on our enemies, we do have occasion to think of ourselves. On the one hand, we can rejoice insofar as he demonstrates how he cares for our safety by punishing those who are against us, and who mock us. Yet he does not want us to be so presumptuous in our rejoicing that we fail to consider our own sins, and thus displease him. Thus on the other hand, when those of us whom God has spared consider the matter more carefully, we ought also to tremble before his majesty, knowing that we, too, are as deserving of punishment and grief as those whom he punishes” [= Tetapi, pada waktu Tuhan melaksanakan penghukumanNya kepada musuh-musuh kita, kita memang punya kesempatan untuk berpikir tentang diri kita sendiri. Di satu sisi, kita bisa bersukacita sejauh Ia menunjukkan bagaimana Ia memperhatikan / mempedulikan keamanan / keselamatan kita dengan menghukum mereka yang menentang kita, dan mengejek kita. Tetapi Ia tidak mau kita menjadi begitu congkak dalam sukacita kita sehingga kita gagal untuk mempertimbangkan dosa-dosa kita sendiri, dan dengan demikian tidak menyenangkan Dia. Maka pada sisi lain, pada waktu kita yang telah Allah lindungi mempertimbangkan persoalan ini dengan lebih hati-hati / seksama, kita juga harus gemetar di hadapan keagunganNya, karena kita mengetahui bahwa kitapun layak mendapatkan hukuman dan kesedihan sama seperti mereka yang Ia hukum] - ‘Sermons on Second Samuel’, hal 7.

Matthew Henry: “By this it appears that those passages in David’s psalms which express his desire of, and triumph in, the ruin of his enemies, proceeded not from a spirit of revenge, nor any irregular passion, but from a holy zeal for the glory of God and the public good; for by what he did here, when he heard of Saul’s death, we may perceive that his natural temper was very tender, and that he was kindly affected even to those that hated him” (= Dari sini terlihat bahwa text-text dalam mazmur-mazmur Daud yang menyatakan keinginannya tentang, dan kemenangannya dalam, kehancuran dari musuh-musuhnya, keluar bukan dari roh balas dendam, ataupun nafsu yang luar biasa apapun, tetapi dari semangat yang kudus untuk kemuliaan Allah dan kebaikan umum; karena oleh apa yang ia lakukan di sini, pada waktu ia mendengar tentang kematian Saul, kita bisa merasa / mengerti bahwa sifat / watak alamiahnya adalah sangat lembut, dan ia dengan mudah dipengaruhi secara baik bahkan oleh mereka yang membencinya).

Catatan: sebagai contoh adalah Maz 54 dan Maz 59 dimana Daud berdoa untuk kehancuran musuh-musuhnya, dan dalam kedua pasal ini, yang dimaksudkan sebagai musuh adalah Saul.

Maz 54:7 - “Biarlah kejahatan itu berbalik kepada seteru-seteruku; binasakanlah mereka karena kesetiaanMu!”.

Maz 59:6,14 - “(6) Engkau, TUHAN, Allah semesta alam, adalah Allah Israel. Bangunlah untuk menghukum segala bangsa; janganlah mengasihani mereka yang melakukan kejahatan dengan berkhianat! Sela ... (14) habisilah mereka dalam geram, habisilah, sehingga mereka tidak ada lagi, supaya mereka sadar bahwa Allah memerintah di antara keturunan Yakub, sampai ke ujung bumi. Sela”.

2) Daud menghukum orang Amalek itu dengan hukuman mati.

2 Samuel 1: 13-16: “(13) Kemudian bertanyalah Daud kepada orang muda yang membawa kabar itu kepadanya: ‘Asalmu dari mana?’ Jawabnya: ‘Aku ini anak perantau, orang Amalek.’ (14) Kemudian berkatalah Daud kepadanya: ‘Bagaimana? Tidakkah engkau segan mengangkat tanganmu memusnahkan orang yang diurapi TUHAN?’ (15) Lalu Daud memanggil salah seorang dari anak buahnya dan berkata: ‘Ke mari, paranglah dia.’ Orang itu memarangnya, sehingga mati. (16) Dan Daud berkata kepadanya: ‘Kautanggung sendiri darahmu, sebab mulutmulah yang menjadi saksi menentang engkau, karena berkata: Aku telah membunuh orang yang diurapi TUHAN.’”.

Ada beberapa hal yang perlu dibahas tentang hal ini:

a) Hukuman mati memang harus dipertahankan, karena sesuai dengan Kitab Suci, bahkan dalam Perjanjian Baru (Kis 25:11 Ro 13:4).

Kis 25:11 - “Jadi, jika aku benar-benar bersalah dan berbuat sesuatu kejahatan yang setimpal dengan hukuman mati, aku rela mati, tetapi, jika apa yang mereka tuduhkan itu terhadap aku ternyata tidak benar, tidak ada seorangpun yang berhak menyerahkan aku sebagai suatu anugerah kepada mereka. Aku naik banding kepada Kaisar!’”.

Ro 13:4 - “Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”.

Pulpit Commentary: “Severity to one is mercy to many” (= Kekerasan terhadap satu orang merupakan belas kasihan terhadap banyak orang) - hal 25.

b) Layakkah orang Amalek itu dihukum mati?

1. Kata-kata dari ay 16 menunjukkan bahwa Daud mungkin merasa bahwa kata-kata orang Amalek itu merupakan dusta. Kalau kata-katanya dusta, ia bersalah dengan mendustai Daud. Dan sebagai tambahan, ia adalah orang Amalek, yang memang harus ditumpas, karena Tuhan memerintahkan demikian.

1Samuel 15:2-3 - “(2) Beginilah firman TUHAN semesta alam: Aku akan membalas apa yang dilakukan orang Amalek kepada orang Israel, karena orang Amalek menghalang-halangi mereka, ketika orang Israel pergi dari Mesir. (3) Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai.’”.

Bandingkan dengan:

· Ayub 5:13 - “Ia menangkap orang berhikmat dalam kecerdikannya sendiri, sehingga rancangan orang yang belat-belit digagalkan”.

· Mazmur 9:17 - “TUHAN telah memperkenalkan diriNya, Ia menjalankan penghakiman; orang fasik terjerat dalam perbuatan tangannya sendiri. Higayon. Sela”.

Salah satu hal yang sangat bagus dari Daud di sini adalah bahwa ia tidak menyenangi orang yang munafik, atau ‘orang yang menjilat pantatnya’, dengan cara menceritakan cerita yang ia kira akan menyenangkan Daud, padahal cerita itu tidak benar.

Penerapan: banyak pejabat yang senang bawahannya menjilat pantatnya. Demikian juga banyak boss senang kalau para pegawainya menjilat pantat mereka. Tetapi betul-betul sangat menyedihkan dan memalukan kalau ada pendeta-pendeta / hamba-hamba Tuhan yang senang kepada bawahannya yang menjilat pantatnya!

2. Kalau katanya benar, maka orang itu telah membunuh raja yang diurapi Tuhan, dan ia layak dihukum mati untuk itu.

Calvin: “David showed that since Saul was the anointed of the Lord, it was not legitimate to attempt anything against him until his hour should come, as we have stated above. Now it is true that today there is no physical anointing, because the custom of applying oil to ordain kings, princes, and those who wish to ape them is no longer in practice. But, nevertheless, ‘all power’, as St. Paul shows us, ‘is of God’ (Rom. 13:1). There is no principality in the world which is not ordained by him. No matter how much those who reign are enemies of the truth, no matter how tyrannical and cruel they are, an individual does not have the right to punish them. Why not? Because God is the one who has to take his sword in his hand. Let us understand, then, from this never to touch the authority that God has established and sanctioned in his name. Rather, let us patiently endure the shame, injuries, cruelties, and extortions of those who rule, until God has remedied the matter in a way that is unknown to us. Let us realise that it is his business to uphold those who are unjustly oppressed” [= Daud menunjukkan bahwa karena Saul adalah orang yang diurapi Tuhan, merupakan sesuatu yang tidak sah untuk berusaha melakukan apapun terhadap / menentang dia sampai saat kematiannya tiba, seperti sudah kita nyatakan di atas. Memang benar bahwa pada jaman sekarang tidak ada pengurapan secara fisik, karena tradisi / kebiasaan menggunakan minyak untuk mentahbiskan raja-raja, pangeran-pangeran, dan mereka yang ingin menirunya tidak lagi dipraktekkan. Tetapi bagaimanapun ‘semua kuasa / pemerintah’, seperti ditunjukkan oleh Santo Paulus, ‘adalah dari Allah’ (Ro 13:1). Tidak ada kerajaan dalam dunia yang tidak ditahbiskan olehNya. Tak peduli bagaimanapun mereka yang memerintah merupakan musuh-musuh dari kebenaran, tak peduli betapa mereka itu bersifat tiran dan kejam, seorang individu tidak mempunyai hak untuk menghukum mereka. Mengapa tidak? Karena Allah adalah satu-satunya yang memegang pedang di tanganNya. Karena itu hendaklah kita mengerti dari hal ini itu tidak pernah menyentuh otoritas yang Allah telah tegakkan dan setujui / dukung dalam namaNya. Sebaliknya, hendaklah kita menahan dengan sabar rasa malu, penderitaan, kekejaman, dan pemerasan dari mereka yang memerintah, sampai Allah telah memperbaiki / menolong persoalan ini dengan suatu cara yang tidak kita ketahui. Hendaklah kita menyadari bahwa adalah urusanNya untuk menegakkan mereka yang ditindas secara tidak adil] - ‘Sermons on Second Samuel’, hal 14-15.

Roma 13:1 - “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah”.

Catatan: kelihatannya Calvin menekankan hal ini secara mutlak. Tetapi ada penafsir-penafsir lain yang dalam hal-hal tertentu yang sangat khusus, masih membuka peluang bagi orang percaya, untuk memberontak terhadap pemerintah, kalau pemerintah sudah bertindak keterlaluan.

Pulpit Commentary: “He was still Jehovah’s anointed, whatever his conduct might have been; and we have found David on previous occasions actuated by the same generous respect for duty when clearly it was contrary to his own interests” (= Ia tetap adalah orang yang diurapi Yehovah, apapun tingkah lakunya; dan kita telah mendapati Daud dalam peristiwa-peristiwa sebelumnya digerakkan oleh rasa hormat yang murah hati yang sama terhadap kewajiban pada waktu itu secara jelas bertentangan dengan kepentingan-kepentingannya sendiri) - hal 4.

Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

· 2Samuel 4:10 - “Ketika ada orang yang membawa kabar kepadaku demikian: Saul sudah mati! dan memandang dirinya sebagai orang yang menyampaikan kabar baik, maka aku menangkap dan membunuh dia di Ziklag, dan dengan demikian aku memberikan kepadanya upah kabarnya”.

· 1Samuel 26:9 - “Tetapi kata Daud kepada Abisai: ‘Jangan musnahkan dia, sebab siapakah yang dapat menjamah orang yang diurapi TUHAN, dan bebas dari hukuman?’”.

· 1Tawarikh 16:22 - “‘Jangan mengusik orang-orang yang Kuurapi, dan jangan berbuat jahat terhadap nabi-nabi-Ku!’”.

· Mazmur 105:15 - “‘Jangan mengusik orang-orang yang Kuurapi, dan jangan berbuat jahat kepada nabi-nabiKu!’”.

Apa yang hebat dari Daud di sini, pada waktu ia memberikan hukuman mati terhadap orang Amalek yang mengaku telah membunuh Saul, adalah bahwa ia menilai baik atau jahat, benar atau salah, betul-betul secara obyektif. Tak peduli tindakan orang itu menguntungkan Daud, tetapi tindakannya memang salah, maka Daud menilainya sebagai salah, dan menjatuhkan hukuman mati! Biasanya kita tidak demikian. Tindakan orang yang menguntungkan kita selalu kita bela, dan sebaliknya. Yang benar adalah: kita memutuskan sesuatu bukan berdasarkan untung atau rugi, tetapi berdasarkan benar atau salah!

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-AMIN-
Next Post Previous Post