YAKOBUS 3:1-2 (3 CARA AGAR BIJAKSANA dan MENGEJAR KUALITAS)

Pdt. Sutjipto Subeno 
Dalam putaran keempat pembahasan Kitab Yakobus, 3 permasalahan kehidupan manusia mulai dikorelasikan satu dengan yang lainnya. Permasalahan kehidupan praktis manusia hanya menyangkut 3 elemen yaitu: penderitaan, bijaksana dan uang.

Urusan penderitaan adalah urusan yang paling banyak dalam kehidupan kita. Pembahasan hari ini menyangkut penderitaan hidup yang dikaitkan dengan bijaksana.
YAKOBUS 3:1-2 (3 CARA AGAR BIJAKSANA dan MENGEJAR KUALITAS)
gadget, otomotif, bisnis
Yakobus 3:1: Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat. Apakah ayat ini mau melarang orang untuk menjadi guru ataukah ada makna lain di balik kalimat di atas? Ada persoalan yang jauh lebih besar daripada sekedar menjadi guru atau tidak yaitu problema Sitz I’m Leben (artinya: duduk di hidup itu). 

Seringkali kita meloncat budaya dan situasi dalam menafsirkan Alkitab. Sebagai contoh: ada orang yang berpendapat bahwa kita dikubur (di dalam tanah) bersama-sama Kristus dan akan dibangkitkan (keluar dari tanah) bersama-sama Kristus; hal ini untuk melambangkan baptisan. Kalimat ini ada di dalam Alkitab tetapi digambarkan secara salah dalam hal mengubur dan bangkit. 

Dalam budaya Alkitab, mengubur bukan berarti diletakkan di dalam tanah, dan bangkit bukan berarti keluar dari dalam tanah. Mengubur dalam budaya Alkitab adalah menggali lubang di batu gunung, kemudian di dalamnya diletakkan meja dari batu dan mayat diletakkan di atas meja itu, lalu lubang gua ditutup dengan batu. Inilah ketidakcocokan dalam hal Sitz I’m Leben.

Guru pada zaman itu sangatlah berbeda dengan guru pada zaman sekarang. Guru pada zaman sekarang sering kali hanya mengajar 1 bagian dari kehidupan saja. Guru pada zaman Tuhan Yesus adalah orang yang mengontrol, memimpin, mengatur hidup muridnya; artinya guru mengajarkan pengetahuan dan seluruh aspek kehidupan. Jadi guru mempunyai otoritas tertinggi yang mengatur hidup seseorang. Hal yang sama juga terjadi di dunia Timur.

Orang Israel yang hidup dalam penjajahan, sangatlah menghina pemerintah penjajah. Sejak mereka dibuang ke Babel, mereka tidak pernah merdeka lagi, bahkan mereka jatuh dari penjajah yang satu ke tangan penjajah yang lain. Bagi orang Israel, para rabi yang mempunyai otoritas tertinggi, karena itu ahli-ahli Taurat begitu berkuasa. Sanhedrin/ Mahkamah Agama yang di dalamnya terdiri dari para ahli Taurat juga memiliki kekuasaan tertinggi. Pada zaman itu banyak orang ingin menjadi guru untuk mendapatkan otoritas yang begitu tinggi.

Guru pada zaman ini tidak bisa mencapai kualitas guru seperti pada zaman Tuhan Yesus. Guru pada zaman ini hanya menguasai 1 mata pelajaran saja, dan celakanya dia menuntut muridnya untuk bisa menguasai semua mata pelajaran. Seharusnya guru harus terlebih dahulu menguasai semua mata pelajaran barulah berhak menuntut murid untuk juga menguasai semua mata pelajaran. Guru yang sesungguhnya mendidik murid secara totalitas. Karena itu, Yakobus menyatakan bahwa jangan semua orang mau menjadi guru. Orang yang mengejar 1 profesi hanya untuk mendapatkan kuasa adalah sangat berbahaya. Yakobus mengingatkan bahwa untuk mencapai posisi atas akan mendapatkan tuntutan yang jauh lebih besar.

Yakobus 3:1 bukan hanya berbicara tentang guru tetapi justru berbicara tentang profesi yang dikaitkan dengan otorisasi. Sering kali orang merasa sukses jika bisa mendapatkan kekuasaan. Menurut Machiaveli, dalam dunia ini, manusia bekerja untuk mengejar 2 hal yaitu: 1) mengejar/ berusaha mendapatkan kekuasaan, 2) bagaimana mempertahankan kekuasaan yang sudah diperoleh. Tetapi orang yang mengejar kekuasaan dalam profesinya justru akan hancur karena hal tersebut bukanlah yang diinginkan oleh Tuhan.

Bagaimana kita seharusnya berhadapan dengan profesi kita? Alkitab mengajarkan bagaimana berbijaksana dalam menduduki profesi tertentu yaitu jangan berambisi.

Orang yang bijaksana tidak akan mengejar kekuasaan melainkan membangun kualifikasi. Bukan kita yang ingin menjadi guru melainkan Tuhan dan semua orang yang menginginkannya. Ada orang yang mati-matian berjuang untuk mendapatkan kekuasaan, sebaliknya ada orang yang menunjukkan kualitasnya terlebih dahulu sehingga orang-orang yang mengangkat dia menduduki kekuasaan. Orang yang berambisi tidaklah tahu tempat dia yang seharusnya sedangkan orang yang berkualifikasi akan menduduki tempat yang seharusnya.

Marilah kita mati-matian mengejar kualifikasi kita. Pada saatnya Tuhan akan menempatkan kita pada tempat yang seharusnya. Pada saat itu kuasa yang kita miliki bukanlah kuasa yang kita ambisikan melainkan kuasa karena Tuhan menyertai kita dengan kuasa-Nya. Setiap orang memiliki kualifikasi yang berbeda.

Bagaimanakah caranya mendapatkan bijaksana untuk tidak berambisi melainkan selalu mengejar kualifikasi?

1) kembali kepada Firman Tuhan.

Seorang pemimpin yang kembali kepada Firman Tuhan barulah dapat mengambil keputusan dengan benar sehingga bisa menjadi berkat bagi bawahannya dan semua orang. Hanya Firman Tuhan yang mutlak benar dan layak dijadikan patokan kebenaran. Hanya Theologi Reformed yang bisa menafsirkan Firman Tuhan dengan tepat dan mengerti bagaimana menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan.

2) takut kepada Tuhan.

Orang yang tidak takut kepada Tuhan akan takut kepada siapa saja, artinya: akan cenderung mengikuti permainan semua orang. Orang yang takut kepada Tuhan akan menjalankan apa yang Tuhan inginkan. Seorang pimpinan yang bisa mengambil keputusan tepat seperti yang Tuhan inginkan maka bawahannya akan bahagia. Takut kepada Tuhan akan menjadikan stabilitas posisi dalam profesi kita akan menjadi mantap.

3) Setiap kita harus mengerjakan yang terbaik.

Mengerjakan yang terbaik tetapi tetap sadar bahwa diri tidak bisa sempurna. Ketika kita berada di sebuah posisi, bukan berarti kita memang memiliki kualifikasi di situ melainkan karena Tuhan yang berkehendak, dan tugas kita adalah mengerjakan yang terbaik. Tuhan Yesus mengajarkan hubungan antara tuan dan hamba demikian: seorang hamba yang pulang dari membajak ataupun menggembalakan domba akan disuruh tuannya untuk menyediakan makan bagi tuannya. Tuan itu tidak perlu berterima kasih kepada hamba itu karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya. Hamba itu seharusnya berkata: aku hanyalah hamba yang tidak berguna, aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan.

Tuhan ingin kita mengerti tentang profesionalitas. Profesionalitas bukanlah kebanggaan melainkan merupakan pertanggungjawaban. Profesionalitas adalah melakukan yang terbaik yang bisa kita kerjakan dan setelah itu menyerahkannya kepada Tuhan.

Setiap kali pelayanan, kita harus menguji apakah hal tsb merupakan ambisi kita atau tidak. Kalau itu bukan ambisi kita maka kita tidak akan pusing jika hal itu diambil oleh orang lain. Marilah kita belajar untuk rendah hati, selalu sadar bahwa diri tidak sempurna dan posisi kita adalah anugerah dari Tuhan. Janganlah pernah berpikir untuk berada dalam posisi/ pekerjaan tertentu untuk selamanya. Kita harus selalu siap untuk diletakkan Tuhan pada suatu posisi/ pekerjaan dan harus juga siap jika Tuhan hendak memindahkan kita dari posisi tersebut. Jika kita bisa melakukan hal-hal di atas, maka kita tidak akan berambisi mengejar kekuasaan.

Kalau kita mengerjakan pekerjaan yang Tuhan berikan dengan kualitas terbaik maka kita juga harus siap untuk diletakkan Tuhan di tempat yang lebih sulit. Sebagai ilustrasi, Pdt. Agus Marjanto semula adalah gembala sidang GRII Karawaci dengan jumlah jemaat sekitar 1000 orang, dipindahkan ke Sydney untuk mengembalikan penggembalaan jemaat di Sydney yang sempat ‘’kacau’’. 

Dia harus menggembalakan 100 orang jemaat di sana. Apakah dia dibuang ke Sydney? Prinsip yang harus kita pegang adalah: peningkatan kualifikasi dalam jabatan bukan dilihat dari kuantitas melainkan dari tingkat kesulitan yang harus dihadapi. Orang yang berkualitas akan diletakkan di tempat yang paling sulit, yang tidak bisa diselesaikan oleh kebanyakan orang. Orang yang berkualitas tinggi akan bisa menyelesaikan kesulitan yang tinggi pula.

Kalau cara pikir kita tidak mengikuti dunia melainkan kembali kepada Firman Tuhan maka kita disebut bijaksana, dan kita bisa menjadi berkat besar bagi dunia. Kita harus terus berusaha menaikkan kualifikasi hidup kita supaya bisa menjadi berkat bagi banyak orang. Setelah menjadi besar kita harus tetap sadar bahwa diri kita hanyalah manusia biasa dan semua yang dikerjakan dikembalikan untuk kemuliaan nama Tuhan. YAKOBUS 3:1-2 (3 CARA AGAR BIJAKSANA dan MENGEJAR KUALITAS) . AMIN.-
Next Post Previous Post