UJILAH SEGALA SESUATU! (1 TESALONIKA 5:21; 1 YOHANES 4:1-6)

Denny Teguh Sutandio
UJILAH SEGALA SESUATU! (1 TESALONIKA 5:21)UJILAH SEGALA SESUATU!-1: 

PENDAHULUAN

“Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
(1Tesalonika 5:21)

“Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah; sebab banyak nabi-nabi palsu yang telah muncul dan pergi ke seluruh dunia. Demikianlah kita mengenal Roh Allah: setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah, dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia.

Kamu berasal dari Allah, anak-anakku, dan kamu telah mengalahkan nabi-nabi palsu itu; sebab Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia. Mereka berasal dari dunia; sebab itu mereka berbicara tentang hal-hal duniawi dan dunia mendengarkan mereka. Kami berasal dari Allah: barangsiapa mengenal Allah, ia mendengarkan kami; barangsiapa tidak berasal dari Allah, ia tidak mendengarkan kami. Itulah tandanya Roh kebenaran dan roh yang menyesatkan.”(1Yohanes 4:1-6).

Banyak manusia di zaman sekarang mulai mengatakan bahwa semua agama dan bahkan semua gereja itu sama saja. Mereka mengatakan bahwa tidak peduli agama dan gereja mana saja, yang penting masing-masing individu beribadah kepada “Tuhan” yang sama dengan cara yang berbeda. Benarkah demikian? TIDAK. Justru para penganut relativisme agama sendiri tidak pernah konsisten dengan dirinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa semua agama dan gereja itu sama, namun herannya mereka tidak mau menerima orang lain yang berbeda konsep dengan mereka (seharusnya jika mereka konsisten, maka mereka juga menerima semua orang bahkan orang yang berbeda konsep dengan mereka). Jika Rev. Prof. D. A. Carson, Ph.D. menyebut Intolerance of Tolerance (Intoleransi dari Toleransi—sebuah kontradiksi), maka saya menyebut gejala ini: Inrelativism of Relativism (Inrelativisme dari Relativisme). Di sini letak jebolnya semangat zaman yang dipengaruhi dosa.

Bagaimana dengan kita? Apakah sebagai orang Kristen kita mau terus-menerus mengikuti arus zaman di mana setiap zamannya pasti memiliki spirit yang berbeda, berubah, dan bahkan berkontradiksi? Firman Tuhan di dalam Roma 12:2 mengajar kita bahwa kita jangan dijadikan serupa oleh dunia ini, namun kita harus diubah oleh pembaharuan pemikiran, supaya kita mengetahui/menyetujui manakah kehendak Allah yang baik, disenangi Allah, dan sempurna (mengikuti terjemahan Indonesia dari teks asli Yunaninya; sumber: Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, 2006, hlm. 862).

Yang lebih unik, frase “jangan dijadikan serupa” dan “diubah oleh pembaharuan pemikiran” dalam struktur teks Yunaninya menggunakan bentuk present, pasif, dan imperatif. Dengan kata lain, dua aktivitas ini terjadi bukan dari diri kita, namun atas anugerah Allah melalui karya Roh Kudus. Roh Kudus memimpin hati dan pikiran kita sehingga hati dan pikiran kita tidak lagi ditipu oleh dunia, namun hati dan pikiran kita makin sesuai dengan kehendak Allah di dalam firman-Nya. Nah, bagaimana caranya kita melakukan dua aktivitas tersebut? Roh Kudus mengajar kita melalui Alkitab bahwa caranya adalah dengan menguji segala sesuatu berdasarkan standar satu-satunya kebenaran mutlak yaitu Alkitab. Kata menguji baik dalam 1 Tesanolika 5:21 maupun 1 Yohanes 4:1 sama-sama menggunakan kata Yunani dokimazo yang berarti prove (=membuktikan) atau examine (=menguji/meneliti/memeriksa).

Mengapa kita harus menguji segala sesuatu dengan Alkitab? Ketika Allah memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu, Ia mau agar kita lebih setia, taat, dan mencintai Allah dan kebenaran-Nya. Orang Kristen yang semakin mencintai Allah, seharusnya makin berwaspada dan menguji segala sesuatu dari perspektif Allah, karena ia hanya mau menyenangkan-Nya. Allah melalui firman-Nya memerintahkan kita untuk menguji segala sesuatu, mengapa kita tidak mau menguji segala sesuatu dengan Alkitab? Bukankah ini suatu tindakan tidak bertanggungjawab dan melanggar firman-Nya?

Jika demikian, bagaimana kita menguji segala sesuatu (dengan Alkitab)?

Pertama, ujilah diri kita sendiri terlebih dahulu. Prinsip penting sebelum menguji segala sesuatu adalah ujilah diri kita apakah kita sudah layak menguji atau belum. Artinya, ujilah diri kita apakah iman dan kerohanian kita sudah cukup “baik” dan apakah pengetahuan Alkitab kita sudah cukup beres. Mintalah Tuhan menguji terlebih dahulu hati, pikiran, iman, dan kerohanian kita, sehingga ketika menguji segala sesuatu, kita tidak terlalu gegabah menghakimi sesuatu yang kita uji tersebut (mungkin karena emosional kita). Mari kita berkata seperti pemazmur, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mazmur 139:23-24)

Kedua, belajarlah Alkitab dengan bertanggungjawab. Setelah menguji diri kita, maka kita perlu belajar terus-menerus akan kebenaran Alkitab dengan bertanggungjawab. Caranya adalah bacalah Alkitab secara rutin dan dengan teliti dari Kejadian s/d Wahyu, beli dan bacalah buku-buku rohani dan tafsiran Alkitab yang bertanggungjawab, ikutilah seminar atau pembinaan iman Kristen yang bermutu, dan berdiskusilah dengan sesama orang Kristen atau hamba-hamba Tuhan yang bertanggungjawab untuk menumbuhkan iman, pengetahuan, dan kerohanian kita.

Ketiga, ujilah ajaran-ajarannya apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak. Setelah menguji diri dan belajar Alkitab, maka kita perlu menguji segala sesuatu khususnya ajaran-ajaran dari yang kita uji itu apakah sesuai dengan Alkitab atau tidak. Mengapa saya mengatakan menguji ajaran itu penting? Karena ajaran merupakan basic belief (kepercayaan dasar) dari sesuatu yang diuji. Dari ajaran tertentu, muncullah sikap dan tingkah laku dari para penganutnya. Nah, ketimbang kita menguji sikap dari para penganutnya yang belum tentu sesuai dengan ajaran aslinya, maka ujilah ajaran sebagai intinya. Ajaran tersebut bisa kita teliti dari perkataan-perkataan pendiri utamanya (dan juga para penerusnya).

Dengan kata lain, menurut Prof. Mark A. Gabriel, Ph.D. dalam bukunya Jesus and Muhammad: Profound Differences and Surprising Similarities, kita harus menemukan original sources (sumber original/asli)-nya untuk mengetahui ajaran obyektif yang kita selidiki. Bagaimana kita mengetahui bahwa ajaran tertentu sesuai dengan Alkitab atau tidak? Prinsip-prinsipnya simple namun mendalam, yaitu: segala sesuatu yang melawan ajaran-ajaran Kristen orthodoks, yaitu: kedaulatan Allah, Allaah sebagai Pencipta alam semesta, Allah Tritunggal, manusia sebagai peta dan teladan Allah, kerusakan total manusia akibat dosa, kelahiran Kristus dari anak dara Maria, kematian dan kebangkitan Kristus yang menyelamatkan, keutamaan dan finalitas Kristus (keselamatan HANYA ada di dalam Kristus), karunia Roh Kudus (sebagai Pribadi) yang melahirbarukan umat-Nya, dan kedatangan Kristus kedua kalinya, maka ajaran itu jelas tidak bertanggungjawab (bahkan mungkin bisa dikatakan: SESAT).

Keempat, ujilah ajaran-ajaran tersebut dari sudut pandang logika Kristen. Sebagai orang Kristen, selain Alkitab, Allah menganugerahkan akal budi kepada kita untuk berpikir, sehingga adalah bijaksana jika kita menggunakan akal budi Kristiani untuk menguji ajaran tertentu. Misalnya, jika ajaran tertentu benar, maka mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., kebenaran harus memenuhi syarat-syarat tertentu: universal (berlaku umum), kekal (melampaui kesemantaraan), integral (menyeluruh dan tidak ada pengecualian), dan moral (memiliki etika). Saya menambahkan satu syarat lagi, yaitu: KONSISTEN. Konsisten yang saya maksud ini ada dua: konsisten antar ajaran-ajarannya sendiri dan konsisten antara ajaran dan tindakan (apakah ajaran tersebut bisa secara konsisten dihidupi). Sebuah ajaran jika tidak memenuhi kelima syarat di atas, maka ajaran tersebut tentu saja tidak benar. Contoh, jika ada pendiri suatu kepercayaan yang mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah ilusi, maka di titik pertama, Anda sebagai orang Kristen TIDAK perlu mendengarkan ocehannya, karena secara tidak sadar, si pendiri sedang mengatakan sesuatu yang ilusi. Kita bukan orang yang kurang kerjaan mendengar sesuatu yang tidak masuk akal (akal Kristiani) kan? Hehehe…

Kelima, ujilah sikap dan tingkah laku para penganutnya. Setelah menguji ajarannya, maka kita perlu menguji aplikasi ajaran tersebut di dalam sikap dan tingkah laku para pendiri dan penganutnya. Aplikasi ajaran tersebut bisa dikatakan sikap dan tingkah laku pendiri dan para penganutnya sebagai hasil dari ajaran-ajarannya. Meskipun kita tidak bisa mengatakan bahwa sikap yang ngawur dari salah seorang atau beberapa penganutnya mencerminkan kesalahan suatu ajaran, namun kita tetap bisa menguji suatu ajaran/kepercayaan dari sikap dan tingkah lakunya, karena Tuhan Yesus sendiri berfirman, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas. Dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka. Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri? Demikianlah setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, sedang pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik, ataupun pohon yang tidak baik itu menghasilkan buah yang baik. Dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, pasti ditebang dan dibuang ke dalam api. Jadi dari buahnyalah kamu akan mengenal mereka.” (Matius 7:15-20) Jika sebuah kepercayaan mengajarkan mutlaknya perang untuk memberantas para kafir dan kepercayaan ini dijalankan oleh pendiri dan banyak penganutnya, maka sudah pasti kepercayaan itu ngaco.

Setelah melakukan 5 tahap pengujian ini, biarlah kita makin peka terhadap kondisi zaman kita yang makin lama makin tidak karuan, lalu kita dituntut untuk cerdas dan teliti meneliti tanda-tanda zaman sesuai dengan Alkitab, dan kemudian menjadi saksi Kristus di tengah zaman yang rusak ini, agar banyak orang yang telah tersesat oleh filsafat dunia dapat kembali kepada Kristus. Biarlah renungan singkat ini mengingatkan kita betapa pentingnya firman Tuhan yaitu Alkitab di dalam kehidupan orang Kristen yang cinta Tuhan. Amin. Soli Deo Gloria.

UJILAH SEGALA SESUATU!-2:
WAHYU KHUSUS ALLAH SEBAGAI STANDAR PENGUJI

Pada bagian kedua tema menguji, saya akan membahas pentingnya menjadikan wahyu khusus Allah (Kristus dan Alkitab) sebagai dasar penguji. Pada bagian ini, kita akan mengerti secara bertahap beberapa prinsip: obyek yang akan kita uji, alasan menjadikan wahyu khusus Allah sebagai dasar penguji dan kriteria-kriteria wahyu khusus Allah sebagai dasar penguji.

Pertanyaan dasar yang perlu kita ajukan adalah apa yang perlu kita uji? Ketika menguji segala sesuatu, kita sebenarnya hendak menguji kebenaran dari segala sesuatu yang kita uji. Apakah agama, doktrin/ajaran, filsafat, tradisi, kebudayaan, sains, dll yang diajarkan itu benar-benar benar atau separuh benar atau benar-benar tidak benar? Seperti yang telah saya uraikan di bagian 1 yang saya kutip dari Pdt. Sutjipto Subeno, kebenaran mencakup: universal, kekal, integral, dan moral, maka kebenaran sejati adalah kebenaran yang menyeluruh/holistik yang pasti mencakup keindahan/estetika, etika, keagungan/dignitas, konsistensi, dll, sehingga kebenaran baik dalam agama, ajaran, filsafat, kebudayaan, tradisi, dll yang tidak memenuhi salah satu dari kriteria tersebut, maka tidak layak disebut kebenaran, meskipun para pengikut dari ketidakbenaran itu mungkin banyak sekali (bdk. Matius 7:22-23).

Jika yang hendak kita uji adalah kebenaran dari sesuatu: apakah sesuatu (agama, ajaran, filsafat, tradisi, kebudayaan, sains, dll) itu benar atau separuh benar atau sama sekali salah, maka tentunya kita memerlukan satu-satunya standar kebenaran yang mutlak yang bisa kita jadikan patokan untuk mengujinya. Tetapi, apakah ada kebenaran mutlak? Di zaman yang ngaco seperti zaman sekarang ini, banyak manusia berseru dengan “mutlak” bahwa tidak ada yang mutlak di dunia ini. Sambil mengatakan bahwa tidak ada yang mutlak, dia meneriakkan perkataan ini dengan semangat “kemutlakan”. Pdt. Dr. Stephen Tong menyebutnya sebagai self-defeating factor (faktor yang melawan dirinya sendiri). Jika tidak ada kebenaran mutlak, maka logikanya, perkataan ini pun seharusnya TIDAK perlu dihiraukan, karena perkataan orang ini pun sendiri TIDAK MUTLAK (pendengarnya boleh percaya dan boleh tidak percaya). Namun anehnya, sambil meneriakkan bahwa TIDAK ada yang mutlak, orang ini akan marah jika perkataannya ini tidak didengarkan dan diterima oleh para pengikutnya. Logika yang benar-benar aneh! Kembali, apakah ada kebenaran mutlak? Saya menjawab YA dan TIDAK. TIDAK, karena kebenaran mutlak memang TIDAK pernah akan dijumpai di dalam diri manusia, karena semua manusia telah berdosa dan merusak kemuliaan Allah (Roma 3:23). YA, karena kebenaran mutlak hanya milik Sang Mutlak itu sendiri, yaitu Allah sendiri. Hanya Allah sajalah yang adalah Mutlak yang wajib sebagai standar kebenaran mutlak. Namun, Allah mana yang adalah Mutlak? Bukankah semua agama mengklaim menyembah Allah? Mari kita analisa. Kebenaran mutlak berasal dari Yang Mutlak (The Absolute One) dan tentunya Yang Mutlak itu haruslah berpribadi, karena jika tak berpribadi, bagaimana bisa dideskripsikan sebagai Yang Mutlak? Misalnya, penganut Pantheisme (yang nantinya memengaruhi Gerakan Zaman Baru) mengajar bahwa segala sesuatu adalah ilah, maka: air, batu, tumbuhan, hewan, manusia dll adalah ilah (atau lebih tepatnya: bersifat/mengandung unsur ilahi atau mikro kosmos). Jika segala sesuatu adalah ilah, maka tentunya tidak ada standar kemutlakan, karena ilah yang dipercayainya juga adalah yang tidak mutlak. Jika ilah yang tidak berpribadi tidak bisa disebut Yang Mutlak dan tentunya tidak mungkin menghasilkan kebenaran mutlak, maka satu-satunya Yang Mutlak adalah Allah yang berpribadi. Berkenaan dengan kepercayaan tentang Allah yang berpribadi, ada agama lain yang mengklaim bahwa mereka juga menyembah “Allah” yang berpribadi, yang tunggal, yang katanya diturunkan dari Abraham, namun telah “diselewengkan” oleh Musa dan Yesus. Benarkah “Allah” seperti itu adalah Allah yang Mutlak? Sungguh suatu ironis yang lucu, “Allah” yang diklaim “berpribadi” oleh agama ini ternyata hanya mampu menguasai satu bahasa saja (untuk “kitab suci”nya), namun “Allah” yang “berpribadi” tersebut mengklaim bahwa bahasa tersebut adalah bahasa “suci” yang haram untuk diterjemahkan.

Lalu, di manakah Kebenaran Mutlak dari Yang Mutlak itu? Tidak ada jalan lain kita mengerti Yang Mutlak dan Kebenaran Mutlak tersebut kecuali dari Allah sejati yang menyatakan diri-Nya. Banyak agama dan filsafat hanya menuntun manusia kepada sosok Allah secara umum, namun Allah sejati menyatakan diri-Nya secara khusus hanya kepada sekelompok orang yang telah dipilih-Nya. Allah sejati tersebut adalah Allah Tritunggal yang merupakan 3 pribadi Allah secara terpisah (yang memiliki kesamaan natur Allah) di dalam 1 esensi Allah (Dr. Cornelius Van Til mempertanyakan penggunaan “esensi” dan menggantinya dengan “pribadi). Allah sejati tersebut menyatakan diri-Nya kepada umat-Nya melalui wahyu khusus yaitu Tuhan Yesus Kristus (wahyu tak tertulis) dan Alkitab (wahyu tertulis). Melalui wahyu khusus-Nya yang tak mungkin berubah, kita dituntun dan dituntut untuk menguji kebenaran dari segala sesuatu baik agama, ajaran, filsafat, tradisi, kebudayaan, sains, dll yang bersifat sementara dan bisa berubah-ubah.

Jika wahyu khusus Allah menjadi standar penguji, maka prinsip-prinsip apa saja yang harus kita pelajari dari wahyu khusus Allah untuk menguji kebenaran dari segala sesuatu? Prinsip dasarnya diambil dari Roma 11:36 yaitu dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah. Prinsip ini akan dibagi menjadi tiga poin:

Pertama, dari Allah. Segala sesuatu yang benar harus bersumber dari Allah. Hati, akal budi, perkataan, tindakan, dll semuanya berasal dari Allah. Keberadaan ciptaan juga berasal dari Allah. Keselamatan yang diperoleh umat-Nya di dalam Kristus pun juga berasal dari Allah saja (hanya melalui anugerah Allah—Sola Gratia). Makin seseorang menyadari bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, makin ia menyadari dan mensyukuri atas anugerah-Nya dalam hidup dan keselamatannya.

Kedua, oleh Allah. Artinya, segala sesuatu yang benar adalah sesuatu yang mengakui keterlibatan Allah di dalam setiap inci kehidupan manusia. Ajaran ini menekankan bahwa Allah memelihara manusia khususnya umat-Nya di dalam setiap inci kehidupan manusia bahkan keselamatan umat-Nya di dalam Kristus, sehingga umat-Nya tidak akan mungkin bisa binasa (kehilangan keselamatan).

Ketiga, untuk Allah. Apa yang Allah telah ciptakan dan peliharakan, Ia tentu akan menyelesaikannya sampai akhir dan seluruh tindakan-Nya hanya membawa kemuliaan bagi nama-Nya saja (Soli Deo Gloria). Makin seseorang menyadari bahwa kemuliaan hanya bagi-Nya, makin ia menyadari bahwa tidak ada satu inci pun jasa baik manusia yang layak diagungkan, karena segala sesuatu dikerjakan dengan begitu sempurna oleh Allah saja, khususnya di dalam keselamatan di dalam Kristus.

Setelah memperhatikan tiga poin di atas, maka bagaimana reaksi kita? Kebenaran macam apakah yang selama ini kita pegang? Jika kebenaran itu bukan kebenaran sejati, maukah Anda dengan pimpinan Roh Kudus menghancurkan kebenaran Anda selama ini yang salah dan kembali kepada kebenaran di dalam Kristus dan Alkitab? Biarlah Roh Kudus mencerahkan hati dan pikiran kita. Amin. Soli Deo Gloria.

UJILAH SEGALA SESUATU!-3:
MENGUJI SEGALA SESUATU dan MEMEGANG TEGUH YANG BAIK

Pada bagian ketiga dari tema menguji, saya akan membahas tentang langkah selanjutnya yang pertama setelah kita menguji, yaitu memegang teguh yang baik. Mari kita menyimak perkataan Paulus di dalam 1 Tesalonika 5:21, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Setelah menguji segala sesuatu, Tuhan melalui Paulus memerintahkan kita untuk memegang yang baik. Kata memegang dalam teks Yunaninya katekhete yang berasal dari akar kata katekho yang bisa berarti hold back (menahan) atau possess (memiliki). King James Version (KJV), New King James Version (NKJV), dan Young Literal Translation (YLT) menerjemahkannya hold fast (memegang erat). New International Version (NIV) dan International Standard Version (ISV) menerjemahkannya hold on to (berpegang pada). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia (2006) menerjemahkannya peganglah teguh (hlm. 1096) Dalam struktur Yunani, kata ini berbentuk imperatif dan aktif. Dengan kata lain, setelah menguji segala sesuatu, kita dituntut untuk memegang teguh/erat-erat yang baik. Kata baik dalam teks Yunaninya adalah kalon yang berasal dari akar kata kalos yang dapat diterjemahkan baik, berguna, dll. Mengapa setelah menguji, kita perlu memegang teguh/erat-erat apa yang baik? Karena Tuhan ingin kita bukan hanya teliti menguji ajaran, namun kemudian tidak bertindak apa-apa, namun Ia ingin setelah kita teliti menguji, kita kembali memegang apa yang baik sesuai dengan wahyu khusus Allah. Pengujian atas segala sesuatu harus dilanjutkan dengan langkah selanjutnya yaitu berpegang teguh pada apa yang baik. Berpegang teguh pada apa yang baik mengandung beberapa arti, yaitu:

Pertama, ada suatu pendirian teguh. Melalui 1Tesalonika 5: 21 ini, Paulus memperingatkan jemaat Tesalonika untuk memiliki pendirian teguh. Artinya, di tengah maraknya filsafat Yunani yang beredar di Tesalonika waktu itu, para jemaat Tesalonika ditegur Paulus untuk tidak ikut filsafat tersebut dengan menguji kebenarannya dan juga berpegang teguh pada ajaran firman Tuhan yang jelas. Berarti, Kebenaran membuat kita berdiri teguh di tengah tantangan zaman di sekitar kita. Bagaimana dengan kita? Kita yang hidup di zaman postmodern pun memiliki tantangan serupa. Zaman postmodern dengan segudang racun filsafat dari materialisme, pragmatisme, empirisisme, atheisme (atheisme praktis), dll mencoba meracuni Kekristenan dan tidak menutup kemungkinan kita sebagai orang Kristen di dalamnya. Mampukah kita berdiri teguh dengan keyakinan yang tak tergoyahkan di tengah pluralitas dan relativitas dunia ini? Mampukah kita meneriakkan Kebenaran di dalam zaman yang rusak ini? Biarlah Roh Kudus memakai kita untuk berdiri teguh di dalam Kebenaran Firman (Alkitab) di tengah arus zaman yang melanda dunia kita.

Kedua, harga yang harus dibayar. Menarik, Matthew Henry di dalam tafsirannya Matthew Henry’s Commentary on the Whole Bible menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa kita harus berdiri teguh dan jangan melepaskan kebenaran yang kita percayai meskipun ada perlawanan dan penganiayaan mengancam kita. Dengan kata lain, kebenaran di dalam Kristus bukan hanya perlu kita pegang teguh di tengah zaman ini, kita pun harus rela dilawan dan dianiaya oleh orang-orang dunia demi kebenaran sejati yang kita pegang ini. Ingatlah bahwa Tuhan Yesus berfirman bahwa barangsiapa yang mengikut-Nya harus menyangkal dirinya dan memikul salib-Nya (Matius 10:38; 16:24). Tidak ada jalan mulus tatkala kita mengikut Kristus, karena yang sedang kita ikuti, yaitu Kristus, di mana Ia bukanlah Pribadi yang berasal dari dunia dan ajaran-ajaran-Nya pun tidak cocok dengan filsafat dunia. Di dalam sejarah gereja, kita membaca bahwa Kekristenan terus-menerus dianiaya dan banyak dari mereka TIDAK melawan. Tetapi Tuhan bekerja dengan luar biasa. Di dalam penganiayaan karena nama-Nya, kita melihat Injil makin tersebar luas. Istilahnya, “makin dibabat, makin merambat.” Jika ada agama lain yang berkembang melalui perang, maka Kekristenan berkembang dengan begitu pesat justru melalui penganiayaan. Inilah paradoksikal iman Kristen yang tidak mungkin bisa dimengerti oleh orang dunia. Bagaimana dengan kita? Siapkah kita difitnah, dihina, dianiaya tatkala kita harus berdiri teguh di atas Kebenaran dan memberitakan Kebenaran kepada seseorang di dalam zaman ini? Biarlah Tuhan menguatkan komitmen kesetiaan kita kepada-Nya di tengah arus zaman yang kacau ini.

Tuhan yang telah menguatkan komitmen kesetiaan para hamba-Nya di dalam berdiri teguh di atas Kebenaran dan memberitakan Kebenaran (Paulus, Petrus, Yohanes, dan para rasul Kristus lainnya, Augustinus, Dr. Martin Luther, Dr. John Calvin, Dr. J. Gresham Machen, Dr. Francis A. Schaeffer, Dr. Carl F. H. Henry, dll) biarlah menguatkan komitmen kesetiaan iman kita juga kepada-Nya di dalam dunia yang kacau ini. Amin. Soli Deo Gloria.

UJILAH SEGALA SESUATU!-4:
MENGUJI SEGALA SESUATU DAN MENGHAKIMI DENGAN ADIL

Pada bagian keempat dari tema menguji, saya akan membahas tentang langkah selanjutnya yang kedua setelah kita menguji, yaitu menghakimi dengan adil. Setelah kita memegang teguh segala sesuatu yang telah kita uji, maka di sisi negatif, kita perlu menghakimi segala sesuatu yang tidak kita terima itu dengan adil. Mengapa saya meletakkan menghakimi sebagai langkah kedua setelah menguji? Karena Alkitab di dalam 1 Yohanes 4:1-6 sendiri mengajar kita bahwa setelah kita menguji roh-roh itu apakah berasal dari Allah atau tidak, maka dilanjutkan dengan tindakan menghakimi: jika setelah roh tertentu diuji dan didapati bahwa roh itu tidak mengakui bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, maka roh itu jelas bukan dari Allah. Itulah sisi menghakimi setelah menguji. Lho, bukankah menghakimi itu sebenarnya merupakan hak Allah sendiri (bdk. Roma 12:19)? Kalau kita memperhatikan ayat 19 di Roma 12, maka yang merupakan hak Allah itu bukan penghakiman, tetapi pembalasan. Konteksnya jelas yaitu pembalasan adalah hak Allah tatkala umat-Nya difitnah dan dianiaya, jadi tidak ada hubungannya dengan penghakiman. Sebelum kita terlalu banyak berprasangka hal yang ngaco tentang menghakimi, adalah bijaksana jika kita memperhatikan terlebih dahulu apa arti menghakimi sesuai dengan apa yang Tuhan mau di dalam firman-Nya, Alkitab.

Tatkala ajaran Kristen tertentu dikritik karena tidak sesuai dengan Alkitab (misalnya, percaya “Yesus” pasti sukses, kaya, sehat, dan bahkan tidak pernah digigit nyamuk), maka dengan bangga (atau sok tahu?)nya banyak orang Kristen zaman postmodern kerap kali mengutip perkataan Tuhan Yesus di dalam Matius 7:1 untuk mendukung konsepnya sendiri bahwa kita tidak boleh menghakimi. Maksud sebenarnya mengutip ayat tersebut adalah agar ajaran “Kristen” yang selama ini dianut oleh mereka tidak boleh dikritik atau ditegur, karena bagi mereka, “hamba Tuhan” yang mengajarkan ajaran tersebut adalah “benar” tanpa salah (karena si “hamba Tuhan” mengklaim “diwahyukan langsung” dari “Roh Kudus”). Sungguh sebuah motivasi busuk namun ditutupi dengan dalih ayat Alkitab (yang tentunya ditafsirkan seenaknya sendiri tanpa memperhatikan konteks yang jelas). Kembali, jika demikian, apa definisi menghakimi? Bolehkah orang Kristen menghakimi? Apakah menghakimi identik dengan tidak mengasihi? Di dalam Matius 7:1, Tuhan Yesus memang berfirman, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Kata “menghakimi” dalam ayat ini dalam teks Yunaninya adalah krinete yang berasal dari akar kata krino yang berarti to judge, decide (menghakimi, memutuskan). Dalam struktur bahasa Yunani, kata ini menggunakan bentuk imperatif, present, dan aktif. Dengan kata lain, definisi dari menghakimi adalah memutuskan, menyatakan salah, atau disingkat: memvonis sesuatu/seseorang. Kalimat ini berbentuk perintah agar kita jangan menghakimi. Tetapi benarkah jika demikian, kita tidak boleh menghakimi? Jika Tuhan Yesus memerintahkan agar kita tidak boleh menghakimi, maka: Pertama, mengapa Ia sendiri seolah-olah melanggar perintah-Nya, karena di ayat 21-23, Ia sendiri menghakimi? Kedua, mengapa di Galatia 1:6-9, Rasul Paulus sendiri menghakimi para pengajar Yudaisme dan mencap mereka sebagai pemberita “injil” lain, bahkan mengutuk mereka? Ketiga, mengapa Ia sendiri melalui Rasul Yohanes memerintahkan orang-orang Kristen untuk menguji dan menghakimi roh-roh di 1 Yohanes 4:1-4? Dari sini, kita belajar bahwa banyak orang Kristen yang gembar-gembor berkata bahwa kita tidak boleh menghakimi sebenarnya tidak konsisten dengan kepercayaan mereka sendiri, karena Alkitab melawan konsep konyol mereka.

Kebiasaan banyak orang Kristen dan hamba Tuhan zaman ini adalah suka mencomot ayat yang cocok dengan pemikiran mereka tanpa memperhatikan ayat sebelum dan sesudahnya, terutama konteks yang ada. Rupa-rupanya hal tersebut yang mereka terapkan dengan mencomot Matius 7:1, lalu “menghakimi” dengan menyatakan bahwa kita tidak boleh menghakimi. Bukankah konsep mereka ini suatu kekontradiksian cara berpikir mereka? Jika demikian, bolehkah kita menghakimi? 1 Yohanes 4: 1 TIDAK bisa dilepaskan dari ayat-ayat sesudahnya. Memang di ayat 1, Ia melarang kita menghakimi, namun larangan/perintah itu dilanjutkan dengan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan, yaitu:

Pertama, ukuran menghakimi. Di ayat 2, Kristus sendiri berfirman, “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu.” Kata ukuran dalam ayat 2 ini dalam teks Yunaninya adalah metrō yang berarti ukuran atau takaran. Apa arti ayat ini? Saya menemukan dua arti:

Pertama, ukuran menghakimi berbicara mengenai keadilan dalam menghakimi. Inter-Varsity Press (IVP) Bible Background Commentary: New Testament memberikan latar belakang dari ayat ini. Keadilan dalam menghakimi ditekankan dalam Perjanjian Lama, yaitu Amsal 19:17. Bahkan, kesaksian palsu akan dihukum (bdk. Ulangan 19:18-21). Tuhan sendiri pun tidak suka bahkan melawan para hakim yang tidak menghakimi dengan adil (Keluaran 23:6-8; Ulangan 16:18-20). Kristus sendiri pun berkata kepada orang-orang Yahudi di Bait Allah di dalam Yohanes 7:24, “Janganlah menghakimi menurut apa yang nampak, tetapi hakimilah dengan adil."” Kata “adil” dalam Yohanes 7:24 ini dalam teks Yunaninya dikaian yang berasal dari dikaios yang bisa berarti correct(tepat/benar), righteous (pada tempatnya). American Standard Version (ASV), International Standard Version (ISV), King James Version (KJV), New American Standard Bible (NASB), New King James Version (NKJV), dan Young’s Literal Translation (YLT) menerjemahkannya righteous, sedangkan English Standard Version (ESV) dan New International Version (NIV) menerjemahkannya right (adil, benar). Di sini, Kristus menunjukkan bahwa menghakimi dengan adil berarti menghakimi dengan benar dan adil, yaitu bukan berdasarkan pada apa yang nampak/dapat dilihat oleh mata jasmani. Bagaimana dengan kita? Sering kali kita menghakimi orang lain hanya berdasarkan apa yang dia katakan pada suatu kesempatan, namun tidak mendengarkan perkataannya pada kesempatan lain. Atau mungkin saja kita menghakimi orang lain bukan karena kita mendengarkan langsung perkataan orang lain tersebut, namun kita mendengarkan perkataan orang lain dari teman kita (ada unsur penafsiran dari teman kita). Itu artinya kita menghakimi orang lain dengan tidak adil. Biarlah kita menghakimi secara adil dengan mendengar perkataan dan membaca buku dari orang yang kita hakimi secara komprehensif dan langsung dari sumber utamanya.

Kedua, ukuran menghakimi berbicara mengenai teguran-Nya agar kita yang menghakimi jangan sombong. Tuhan Yesus TIDAK melarang orang Kristen menghakimi, namun Ia juga mengingatkan bahwa ukuran yang kita pakai untuk menghakimi akan dikenakan juga kepada kita tatkala orang lain menghakimi kita. Dengan kata lain, ketika kita menghakimi orang lain dengan ukuran tertentu, jangan lupa bahwa ukuran yang kita pakai akan dipakai oleh orang lain untuk menghakimi kita. Misalnya, jika kita menghakimi teman kita bahwa ia telah berbuat salah (misalnya, karena ia menggosip), jangan lupa, suatu saat ketika teman kita menjumpai kita sedang menggosip, teman kita pun akan menghakimi dengan ukuran yang telah kita kenakan kepadanya. Dari ayat ini, sebenarnya Ia hendak mengingatkan kita bahwa ketika kita menghakimi, janganlah kita menyombongkan diri dan menganggap bahwa kita adalah satu-satunya orang yang paling berotoritas dan kita tidak bisa dihakimi balik oleh orang lain. Tuhan terus mengingatkan kita akan pentingnya kerendahan hati.


Ketiga, menghakimi diri sendiri (ay. 3-5). Selain ukuran menghakimi, Kristus sendiri mengingatkan kita bahwa jangan menghakimi orang lain sebelum kita menghakimi diri sendiri. Mengapa kita harus menghakimi diri sendiri terlebih dahulu?

1. sebagai pembeda dari para ahli Taurat. Ketiga ayat ini ditujukan kepada Tuhan Yesus untuk menegur para ahli Taurat. The Bible Exposition Commentary: New Testament menjelaskan, “The Pharisees judged and criticized others to make themselves look good (Luke 18:9-14). But Christians should judge themselves so that they can help others look good. There is a difference!” (=Orang-orang Farisi menghakimi dan mengkritik orang lain untuk membuat diri mereka kelihatan baik (Lukas 18:9-14). Tetapi orang-orang Kristen seharusnya mengkritik diri mereka sendiri, sehingga mereka dapat menolong orang lain kelihatan baik. Inilah perbedaannya!) Tuhan Yesus sendiri berkali-kali menghakimi para ahli Taurat akan kemunafikan mereka yang suka menghakimi dan menuntut orang lain, namun mereka sendiri tidak menjalankan apa yang mereka tuntut/hakimi. Ketika beberapa orang Farisi dan ahli Taurat bertanya kepada Yesus, mengapa para murid-Nya melanggar adat istiadat Yahudi, Ia langsung menghardik mereka dengan memaparkan kepada mereka fakta bahwa mereka sendiri melanggar hukum Allah (Matius 15:3-6) Bahkan Ia sendiri mengatakan bahwa mereka yang suka menghakimi dan menuntut orang lain namun tidak pernah menjalankan apa yang mereka tuntut sebagai orang buta menuntun orang buta (Matius 15:14). Dengan kata lain, kita sebagai orang Kristen harus berbeda dari sikap para ahli Taurat dalam menghakimi. Jika para ahli Taurat menghakimi orang lain, supaya mereka dipandang saleh oleh orang lain, maka orang Kristen menghakimi dirinya sendiri terlebih dahulu, supaya orang lain dipandang baik/saleh karena penghakiman kita pada orang lain kelak. Di sini, kita melihat betapa agung dan tingginya hukum Kristus di atas hukum-hukum religius dan dunia apa pun.

2, sebagai sarana saling bertumbuh di dalam iman. The Bible Exposition Commentary: New Testament menjelaskan alasannya, “The purpose of self-judgment is to prepare us to serve others. Christians are obligated to help each other grow in grace. When we do not judge ourselves, we not only hurt ourselves, but we also hurt those to whom we could minister.” (Tujuan dari menghakimi diri sendiri adalah untuk mempersiapkan kita untuk melayani orang lain. Orang-orang Kristen diwajibkan untuk menolong satu sama lain untuk bertumbuh dalam anugerah. Ketika kita tidak menghakimi diri kita sendiri, kita tidak hanya melukai diri kita, tetapi kita juga melukai mereka yang kita layani.) Dengan kata lain, ketika menghakimi diri kita sendiri, kita sedang mengoreksi diri kita sendiri, “Benarkah apa yang aku katakan untuk menghakimi orang lain sudah kukerjakan/kuterapkan pada hidupku sendiri”? Misalnya, kita menghakimi orang lain bahwa orang Kristen tidak boleh menggosip, bagaimana dengan kita terlebih dahulu? Apakah kita juga seorang penggosip yang tidak pernah bertobat namun gemar menghakimi orang lain? Setelah mengoreksi diri kita, maka sebagai sarana pertumbuhan dalam iman, kita pun dituntut untuk mengoreksi orang lain.

Jadi, bolehkah kita menghakimi? Boleh, asalkan kita menghakimi dengan: adil, motivasi tulus, dan murni (menghakimi diri sendiri terlebih dahulu). Biarlah Roh Kudus memakai kita untuk dapat menghakimi bukan untuk membuat diri kita sombong, namun benar-benar memiliki motivasi tulus dan murni agar saudara seiman kita bisa bertumbuh di dalam anugerah Allah di dalam firman-Nya.

UJILAH SEGALA SESUATU!-5:
MENGUJI SEGALA SESUATU DAN APLIKASI MENGHAKIMI

Setelah kita merenungkan tentang menghakimi dengan adil, maka di bagian terakhir tema Ujilah Segala Sesuatu!, saya akan membahas mengenai aplikasi menghakimi dengan adil tersebut. Bagaimana seharusnya kita menghakimi dengan adil? Standar apa yang dapat kita gunakan untuk menghakimi dengan adil? Mari kita merenungkannya.

I. LANGKAH-LANGKAH MENGHAKIMI
Adapun langkah-langkah yang harus kita lakukan untuk dapat menghakimi dengan adil, yaitu:
A. Selidiki Secara Tuntas Hal-hal yang Akan Kita Hakimi
Prinsip pertama yang perlu kita lakukan untuk menghakimi sesuatu, entah itu agama, filsafat, ajaran, kebudayaan, sains, dll, adalah selidikilah hal-hal tersebut dengan teliti dan tuntas. Artinya, selidikilah hal-hal tersebut dari sumber pertama/primer (primary sources) entah dari buku, percakapan pribadi, diskusi, dll. Jangan menyelidiki sesuatu itu dari para penganutnya, karena banyak penganut dari suatu ajaran/agama/filsafat kadang (atau bahkan sering) tidak mencerminkan ajaran yang dianutnya, jadi itu tidak valid. Bagaimana jika sumber primer yang kita selidiki melalui buku kurang lengkap? Artinya, ketika kita menyelidiki ajaran X dari pendirinya melalui buku yang dia tulis itu kurang lengkap (mungkin si pendiri hanya menulis buku sangat sedikit atau bukan pendiri ajaran yang menulis, namun murid atau sekretaris atau editornya), bagaimana sikap kita? Ya, kita bisa menyelidikinya dari buku-buku lain yang ditulis yang membahas ajaran X tersebut, namun buku-buku lain itu pun harus kita selidiki, apakah si penulis buku lain itu menguraikan ajaran X secara memadai atau hanya mencomot satu perkataan dari si pendiri ajaran X kemudian ditafsirkan sendiri?

B. Selidiki Seluk-Beluk Hal-hal yang Akan Kita Hakimi

Setelah sesuatu yang akan kita hakimi telah diselidiki, maka langkah selanjutnya selidikilah seluk-beluk hal-hal tersebut, misalnya: ajaran-ajaran pendiri dan para penerusnya, kehidupan pribadi dan tindakan para pendiri dan penerusnya terhadap Tuhan, diri sendiri, keluarga, masyarakat, dll (apakah si pendiri termasuk orang yang saleh ataukah orang yang memiliki banyak istri, lalu berdalih bahwa itu atas instruksi “Tuhan”; apakah si pendiri mencintai kedamaian ataukah perang bagi siapa yang menolak ajaran si pendiri), konteks/latar belakang masyarakat di mana pendiri dan para penerusnya hidup dan bersosialisasi (apakah si pendiri lahir di abad postmodern ataukah di abad barbar/premodern ataukah di zaman modern), dan dampak yang dihasilkan oleh ajaran tersebut (apakah para penganutnya lebih memengaruhi masyarakat ataukah malah merusak). Ini akan membentuk paradigma kita dalam menghakimi sesuatu dengan adil secara komprehensif, bukan secara parsial (sebagian) atau yang paling parah, hanya mendengar dari kata orang, hehehe.

C. Hakimilah Sesuai Dengan Standar yang Benar: Alkitab
Jika telah menyelidiki seluruh hal yang kita perlukan untuk kita hakimi dengan adil dengan data yang memadai, maka kita melakukan tindakan selanjutnya, yaitu menghakimi ajaran tersebut dengan standar yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan, yaitu Alkitab. Mengapa harus Alkitab? Saya sudah menjelaskannya di bagian 2 tema Ujilah Segala Sesuatu! ini dan saya tidak akan membahasnya lagi. Standar Alkitab apa yang dapat kita pergunakan untuk menghakimi sesuatu dengan adil?

1. Doktrin Allah
Berkenaan dengan doktrin Allah, ada empat poin yang harus kita perhatikan untuk menghakimi suatu ajaran:

Pertama, percaya kepada Allah atau tidak? Hakimilah suatu ajaran pertama-tama berdasarkan kepercayaan dasarnya: apakah ajaran tersebut percaya kepada Allah atau tidak? Apa arti percaya kepada Allah? Percaya kepada Allah berarti memercayai Allah sebagai satu-satunya Tuhan dalam hidup manusia yang harus dipuji dan disembah selama-lamanya. Jika ajaran tersebut percaya kepada Allah, maka ajaran tersebut masih bisa dianggap sebagai ajaran yang baik (meskipun belum tentu benar), namun jika ajaran tersebut di titik pertama sudah menolak iman kepada Allah, maka ajaran tersebut pasti tidak beres. Pertanyaan selanjutnya, bukankah mayoritas ajaran mengklaim percaya kepada Allah? Bagaimana kita tahu bahwa mereka percaya kepada Allah? Biasanya mereka berargumen bahwa di dalam buku dan ibadat/persekutuan mereka, nama Allah selalu disebut. Apakah hanya dengan menyebut nama Allah, maka otomatis suatu ajaran dapat dikatakan percaya kepada Allah? Jangan lupa, iblis dapat menyamar sebagai malaikat terang (2Korintus 11:14) dan iblis pun juga percaya kepada Allah (Yakobus 2:19). Jika ada orang yang berargumen bahwa suatu ajaran yang telah menyebut nama Allah dapat dikatakan beriman kepada Allah, bagaimana halnya dengan iblis? Apakah iblis percaya kepada Allah dan dapat dikatakan iblis itu benar? Bagaimana dengan beberapa pelatihan motivasi yang dipimpin oleh seorang “Kristen” yang beberapa bukunya mengutip ayat-ayat Alkitab? Apakah ini berarti gejala ini bisa dikatakan benar dan dari Allah? Ingat, sekali lagi, iblis dapat menyamar sebagai malaikat terang dan bahkan ketika mencobai Tuhan Yesus pun, iblis mengutip ayat-ayat Perjanjian Lama (Matius 4:6; bdk. Mazmur 91:11-12). Namun, iblis mengutip ayat Alkitab bukan untuk mengajar kebenaran, namun untuk menyerang kebenaran dan memelintirnya demi keuntungan pribadi. Jadi, silahkan pikirkan sendiri, benarkah orang yang suka mengutip ayat Alkitab identik dengan percaya kepada Allah?

Kedua, Allah: berpribadi/personal atau tidak berpribadi/impersonal? Percaya kepada Allah saja tidak cukup, pertanyaan selanjutnya yang harus dipikirkan, siapa yang disembah di dalam suatu ajaran tersebut? Benarkah Allah yang disembah itu berpribadi atau tidak berpribadi? Apa bedanya? Allah yang berpribadi adalah Allah yang memiliki kepribadian, sedangkan “Allah” yang tak berpribadi adalah “Allah” yang hanya bersifat roh. Memang Allah itu roh adanya, namun Ia juga Allah yang berpribadi, sehingga Ia bisa menciptakan manusia sebagai satu pribadi. Jika Allah tak berpribadi, adalah suatu kemustahilan jika Ia bisa menciptakan manusia sebagai satu pribadi. Kepribadian manusia bersumber dari kepribadian Allah. Kepribadian Allah juga mengajar kita tentang konsistensi diri-Nya dengan sifat-sifat-Nya. Misalnya, jika Allah dikatakan Mahakasih, maka harus ada suatu bukti bahwa Ia memang mengasihi. Tolong tanya, jika Allah tidak berpribadi, bagaimana membuktikan bahwa Ia mengasihi? Menolak Allah yang berpribadi berarti identik dengan ajaran palsu!

Ketiga, Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara. Prinsip kedua, apakah Allah yang dipercaya oleh suatu ajaran tersebut adalah Allah yang mencipta sekaligus memelihara apa yang telah diciptakan-Nya? Ataukah ajaran tersebut memercayai Allah hanya sebagai Pencipta kemudian menyerahkan ciptaan-Nya itu kepada hukum alam seperti ajaran Deisme? Di dalam Kekristenan, apakah suatu ajaran/theologi Kristen tertentu mengimani bahwa Allah yang memulai keselamatan akan menyempurnakan keselamatan itu (hanya Allah yang berpartisipasi di dalam keselamatan) ataukah theologi tersebut mengimani bahwa Allah dan manusia sama-sama berpartisipasi di dalam keselamatan manusia, sehingga jika manusia murtad, maka ia akan kehilangan keselamatan (dan Allah tak sanggup memelihara keselamatan tersebut, karena manusia sendiri tidak mampu memeliharanya)? Ajaran yang menolak Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara dapat dikatakan palsu!

Keempat, Allah: Trinitas vs tunggal (atau bahkan banyak). Prinsip ketiga adalah apakah Allah yang dipercaya itu Trinitas (tiga pribadi Allah di dalam satu Allah—three in unity) ataukah satu pribadi (oneness) Allah? Apakah pengaruhnya jika suatu ajaran memercayai Allah Trinitas vs ketunggalan Allah? Jelas ada pengaruhnya dan itu berkaitan dengan prinsip pertama di atas, yaitu Allah yang personal vs impersonal. Jika Allah itu berpribadi, maka Ia tentu bukan hanya satu tunggal. Mengapa? Karena jika Allah itu hanya satu tunggal, maka bagaimana membuktikan bahwa Ia itu Mahakasih (karena Ia tak pernah menunjukkan sifat kasih-Nya itu)? Lho, bukankah bisa dibuktikan bahwa Allah mengasihi manusia? Itu memang benar, namun jika buktinya Allah mengasihi manusia, itu susah berada di dalam wilayah perbedaan kualitatif: Allah (Mahakudus dan Mahakasih, dll) mengasihi manusia yang berdosa. Manusia bisa saling mengasihi tatkala mereka meneladani kasih Allah (kasih antar pribadi Allah sebagai model/teladan bagi kasih mereka kepada sesama mereka). Lain halnya dengan kejamakan pribadi “Allah” yang dipercayai oleh ajaran tertentu, ini tambah lebih kacau, karena masing-masing ilah yang dipercayai saling bertengkar, alasannya kenapa? Sederhana, yaitu karena berebut cewek. Aneh bukan? Hehehe.

2. Doktrin Wahyu
Dari mana kita bisa mengetahui adanya Allah? Ada yang mengatakan dari alam. Ada juga yang mengatakan melalui hati nurani. Yang lain mengatakan melalui kebudayaan. Semuanya itu merupakan penyataan diri Allah secara umum kepada semua orang. Semua orang tanpa kecuali tidak bisa berdalih bahwa Allah itu ada, karena Allah telah menyatakan diri-Nya melalui hal-hal yang bisa dilihat manusia (Roma 1:19-20). Wahyu umum Allah ini diresponi oleh manusia berdosa melalui: agama, kebudayaan, dan sains. Namun Allah juga menyatakan diri-Nya secara khusus kepada umat pilihan-Nya. Pertanyaan selanjutnya, jika ada wahyu Allah secara khusus, kriteria apakah yang bisa dijadikan standar mengukur wahyu Allah secara khusus tersebut?

Pertama, berasal dari Allah yang Benar dan Tak Berubah. Wahyu Allah sejati pasti berasal dari Allah yang adalah Kebenaran (Truth) dan Kekal. Allah yang adalah Kebenaran berarti Dia satu-satunya Sumber Kebenaran yang daripadanya segala kebenaran sejati berasal. Karena Dia adalah Kebenaran, maka tentunya Dia juga Kekal berarti tidak ada perubahan dalam diri-Nya. Adalah suatu keanehan jika ada orang yang mengklaim menerima “wahyu Allah” pada suatu waktu tertentu, kemudian beberapa tahun kemudian, orang yang sama menerima “wahyu Allah” yang berbeda dari “wahyu Allah” yang sebelumnya. Jika demikian, bukankah “Allah” seperti ini plin-plan? Kasihan sekali “Allah” seperti ini, selalu berubah tergantung mood. Ketika “Allah”nya lagi enjoy, “Ia” memerintahkan sang nabi untuk hidup bersamai, namun ketika “Allah”nya lagi bete dan stres, maka “Ia” memerintahkan sang nabi untuk membantai semua yang melawan sang nabi. Yang paling mengasihankan dan membingungkan bukan hanya sang nabi yang menerima “wahyu Allah”, namun juga para pengikut si nabi yang mengerti benar seluk-beluk ajarannya. Bandingkan hal ini dengan Alkitab. Alkitab adalah satu-satunya wahyu Allah yang mutlak tanpa salah. Mengapa? Apakah ini arogansi iman yang tak berdasar? TIDAK! Alkitab adalah wahyu Allah karena Alkitab menceritakan dengan jelas dan teliti tentang siapakah Allah, kehendak-Nya, dll. Karena Alkitab diwahyukan Allah yang adalah Kebenaran dan Kekal, maka Alkitab tidak mungkin bersalah (dalam teks aslinya). Diri-Nya Kebenaran menyatakan kebenaran melalui Alkitab, mungkinkah yang diwahyukan-Nya itu salah? Jika ada orang yang mengatakan bahwa Alkitab bisa salah, sebenarnya ia sedang menuding bahwa Allah itu juga bisa salah. Jika demikian, maka posisinya terbalik: manusia yang menjadi “allah” dan Allah sejati menjadi budaknya manusia yang bisa dihakimi. Inilah keterbalikan urutan setelah manusia jatuh ke dalam dosa.

Kedua, tidak hanya diterima oleh satu orang. Wahyu khusus Allah meskipun bersifat khusus, namun TIDAK pernah hanya diterima oleh satu orang. Mengapa? Karena jika wahyu khusus Allah diterima oleh satu orang, bagaimana kita bisa mengetahui bahwa satu orang tersebut benar-benar menerima wahyu Allah? Bukankah tidak ada saksi jelas? Kedua, jika semua orang masing-masing mengklaim menerima “wahyu Allah” khusus, standar penerima wahyu yang mana yang dapat kita jadikan pedoman kebenaran? Sekarang mari kita pikirkan sejenak melalui ilustrasi berikut. Pada suatu hari, X mengaku mendengar suara “Allah” dan memberi tahu temannya bahwa “Ia” mengatakan kepada X bahwa Y itu pasangan hidupnya. Kemudian, beberapa hari kemudian, Y juga mengaku mendengar suara “Allah” dan memberi tahu temannya bahwa “Ia” mengatakan kepada Y bahwa Z itu pasangan hidupnya (dan bukan X). Dari contoh ini, jika “wahyu Allah” khusus hanya diterima oleh satu orang, “wahyu Allah” mana yang benar? Bandingkan hal ini dengan Alkitab. Alkitab adalah wahyu Allah secara khusus kepada umat pilihan-Nya melalui penulisan dari para nabi dan rasul di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Sedikitnya ada 40 orang penulis Alkitab yang dipakai Tuhan untuk menuliskan wahyu-Nya dan yang paling unik, di antara 40 penulis itu semuanya TIDAK hidup di dalam zaman dan kebudayaan yang sama, namun mereka semuanya dapat menuliskan wahyu-Nya dengan inti yang sama bahkan saling berkaitan. Saya menantang Anda, jika Anda mengatakan bahwa Alkitab itu bukan firman Allah sejati, maka carikan satu kitab di dunia ini selain Alkitab yang ditulis oleh lebih dari 40 orang dari berbagai zaman, latar belakang budaya, bahasa, dll namun memiliki satu inti yang sama yang saling berkaitan bahkan tak ada kontradiksi.

3. Doktrin Alkitab (Bibliologi) dan Penafsirannya yang Bertanggungjawab
Kita dapat mengetahui Allah karena Ia telah menyatakan diri-Nya. Dan Ia menyatakan diri-Nya secara khusus kepada umat pilihan-Nya melalui Alkitab. Dari Alkitab ini, kita dapat menguji apakah suatu ajaran (khususnya Kristen) itu berasal dari Allah atau bukan. Lho, bukankah semua gereja mengklaim mendasarkan pengajarannya pada Alkitab? Bukankah semua pendeta mengkhotbahkan Alkitab (lebih tepatnya mengutip ayat Alkitab)? Apakah itu menjamin bahwa mereka sungguh-sungguh mendasarkan imannya pada Alkitab? Kembali ke poin 1 tadi, iblis pun selain percaya kepada Allah, juga menggunakan ayat Perjanjian Lama untuk mencobai Tuhan Yesus. Apakah karena iblis menggunakan ayat Perjanjian Lama itu berarti iblis mendasarkan imannya pada Alkitab? Salah besar!

Lalu, bagaimana menghakimi ajaran Kristen sesuai dengan Alkitab?
Pertama, perhatikan otoritas yang dipegang oleh ajaran Kristen tertentu: Alkitab atau Alkitab + …? Karena kita percaya bahwa Alkitab adalah wahyu khusus Allah yang tak bersalah dalam teks aslinya, maka secara akal sehat, kita harus beriman bahwa hanya Alkitab menjadi satu-satunya dasar iman dan kehidupan Kristen sehari-hari. Jika suatu ajaran Kristen memegang teguh bahwa Alkitab itu firman Allah ditambah tradisi gereja juga adalah firman Allah, maka ajaran tersebut sudah tidak bertanggungjawab. Jika suatu ajaran Kristen memegang teguh bahwa Alkitab itu firman Allah yang tak mungkin bersalah, namun menambahinya dengan perkataan sang pendeta juga tidak mungkin salah karena mendapat “wahyu langsung” dari “Allah” bahkan sudah pernah minum kopi dan main sepakbola bersama “Tuhan Yesus”, ya, jelaslah bahwa ajaran ini SESAT!

Kedua, perhatikan pengutipan ayat Alkitab. Kalau kita memperhatikan cara iblis mengutip ayat Perjanjian Lama untuk mencobai Tuhan Yesus, yaitu di dalam Mazmur 91:11-12, kita akan mengetahui cara kutipan ayat versi iblis selalu di luar konteks! Kedua ayat di dalam Mazmur 91 ada di dalam konteks bahwa jika anak-anak Tuhan hidup di dalam perlindungan Allah, maka Ia akan melindungi kita (baca ay. 1-2, 9). Ayat ini tidak sedang mengajarkan bahwa kita bisa hidup semaunya sendiri, lalu ketika ada masalah, Tuhan langsung datang menolong. Nah, model kutip ayat di luar konteks ala iblis pun hari-hari ini terus-menerus banyak ditiru oleh banyak petinggi gereja yang sayangnya tidak mengerti Alkitab dengan tuntas. Biasanya, mereka gemar mengutip ayat Alkitab yang menyenangkan telinga jemaatnya. Ayat yang sering mereka kutip, khususnya tentang memberi persembahan, “Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga.” (2Korintus 9:6) Motivasi mengutip ayat ini adalah agar jemaatnya mempersembahkan banyak uang untuk si pendeta. Dengan kata lain, mengutip perkataan ayah saya, jemaat diajar untuk investasi di gereja: jemaat memberi Rp 10.000, 00, nanti dikembalikan Tuhan Rp 1.000.000, 00. Biasanya banyak jemaat yang buta pengertian Alkitab dengan mudahnya mengamini perkataan si pendeta. Kalau kita teliti membaca Alkitab, ayat 6 bukanlah berhenti di ayat 6, namun dilanjutkan dengan ayat 7 yang mengajar, “Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” Wah, kalau ayat 7 disebutkan, maka banyak jemaat enggan memberi, maka gereja tidak untung dong, terus pendetanya makan apa? Ya, di mana-mana mantan pebisnis menjadi “pendeta” ya begini ini, yang dipikirkan: untung, untung, dan untung. Yang lebih celaka, jemaat masih doyan beribadah di gereja yang digembalakan oleh pebisnis ini. Repot, repot.

Lalu, bagaimana cara mengutip ayat Alkitab dengan tepat? Kalau mau diuraikan satu per satu, konsep ini bisa menjadi satu artikel berseri, namun secara ringkas, saya akan memberikan prinsipnya: Pertama, perhatikan konteks dekat, yaitu ayat sebelum dan sesudahnya (jangan suka memotong ayat). Kedua, perhatikan konteks jauhnya, yaitu keseluruhan pasal di dalam kitab yang diselidiki, juga kitab-kitab lain dengan penulis yang sama, dan seluruh kitab baik PL dan PB di dalam Alkitab. Ketiga, perhatikan konteks dan latar belakang kitab tersebut. Keempat, perhatikan jenis literatur kitab tersebut: apakah termasuk kitab puisi, sejarah, surat, dll. Kelima, bandingkan ayat tersebut dalam Alkitab LAI dengan teks aslinya (Ibrani atau Yunani) dan Alkitab dalam bahasa lain (Inggris, Mandarin, dll). Keenam, beli dan bacalah buku-buku tafsiran Alkitab yang dapat dipertanggungjawab untuk mencoba mempelajari apa yang dikatakan para penafsir tersebut tentang ayat yang dikutip.

Ketiga, perhatikan penekanan pengutipan ayat Alkitab. Ayat Alkitab yang dikutip dengan tidak bertanggungjawab karena dilatarbelakangi oleh motivasi terselubung selalu menghasilkan penekanan pengutipan ayat Alkitab tersebut. Si pendeta yang gemar mengutip 2 Korintus 9:6 tersebut dengan motivasi agar gerejanya dan dia sendiri kaya, maka ia akan terus-menerus menekankan tentang persepuluhan dan berkat di dalam hampir setiap khotbahnya. Mengapa? Karena jika si pendeta tidak terus-menerus menekankan berita tentang persepuluhan dan “diberkati”, maka jemaat akan lupa memberi persepuluhan dan gerejanya bisa rugi besar. Ajaran yang terlalu menekankan suatu ajaran Alkitab yang sebenarnya TIDAK ditekankan oleh Alkitab sebenarnya merupakan ajaran yang tidak bertanggungjawab. Misalnya, Alkitab berulang kali menekankan pentingnya Kristus yang tersalib, bangkit, dan naik ke Sorga, kemudian datang kembali kedua kalinya, namun beberapa gereja lebih menekankan kedatangan Kristus kedua kalinya ketimbang finalitas Kristus yang mati dan bangkit. Ajaran yang berat sebelah ini jelas tidak bertanggungjawab (TIDAK bisa dikategorikan sebagai SESAT). Nah yang lebih ekstrem, ada ajaran yang mengajarkan bahwa Kristus datang kedua kalinya pada tanggal sekian, bulan sekian, dan tahun sekian, nah, kalau ini, kita langsung menyebutnya SESAT, karena Tuhan Yesus sendiri berfirman bahwa kapan Ia datang kedua kalinya, Ia pun tidak tahu (Matius 24:36). Jika ada orang yang berani me“nubuat”kan waktu kedatangan Kristus kedua kali secara detail, meskipun itu mengaku “diwahyukan” langsung dari “Allah”, orang itu pasti BIDAT, karena ia dengan berani melampaui Kristus yang dalam inkarnasi-Nya saja, Dia tidak mengetahuinya.

4. Doktrin Manusia dan Dosa (Christian Antropology)
Standar keempat dalam menghakimi sesuai Alkitab adalah berkenaan dengan ajaran tentang manusia dan dosa. Ada beberapa poin di dalamnya:

Pertama, siapakah manusia? Menghakimi suatu ajaran berdasarkan konsep manusia harus dilihat dari bagaimana pandangan ajaran tersebut berkenaan dengan manusia. Siapakah manusia? Ciptaan Allah atau hasil evolusi atau mungkin gabungan keduanya (Theistic Evolution)? Jika manusia adalah hasil evolusi dari monyet, maka kita termasuk keturunan monyet. Nah, masalahnya, menurut Pdt. Dr. Stephen Tong, mengapa kita yang katanya keturunan monyet bisa minum susunya sapi dan bukan susunya monyet? Apakah kita yang minum susu sapi, maka otomatis kita menjadi anaknya sapi? Tidak bukan? Logika kedua, jika manusia berasal dari monyet, tolong tanya, monyet jenis apa? Kemudian monyet jenis tersebut berasal dari tahun berapa atau zaman apa? Bagaimana si evolusionis bisa tahu monyet jenis tersebut berasal dari tahun/zaman yang telah dia sebutkan? Apakah dia sendiri hidup di zaman tersebut (maksudnya hidup bersama dengan “saudara”nya itu)? Hahaha. Jika demikian, mana yang benar? Alkitab dengan jelas mengajar kita bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dan juga manusia. Dengan kata lain, manusia adalah gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26).

Kedua, kedudukan manusia. Selain siapa manusia, kita perlu menghakimi dengan konsep kedudukan manusia. Artinya, kedudukan manusia di antara Allah dan alam. Apakah manusia di atas Allah dan alam? Ataukah manusia di atas Allah dan di bawah alam? Ataukah manusia di bawah Allah dan di atas alam? Konsep pertama (manusia di atas Allah dan alam) adalah konsep humanisme atheis dari manusia yang menganggap manusia itu superman (Übermensch ala F. Nietzsche). Konsep ini bisa diimpor oleh zaman kita melalui gerakan-gerakan pelatihan motivasi yang mengajarkan bahwa ada kekuatan besar di dalam diri manusia yang sedang tidur. Coba simak kata-kata motivasi demikian, “Success is My Right” (Sukses adalah Hak Saya), “Poor is Sin” (Miskin adalah Dosa), “Dahsyat”, dll. Konsep pelatihan motivasi ini diimpor dari Gerakan Zaman Baru (GZB) yang bernuansakan Monisme (segala sesuatu adalah satu) dan Pantheisme (segala sesuatu adalah allah). Semua pelatihan motivasi dapat dikatakan bernafaskan GZB, meskipun beberapa dari mereka menolak disebut GZB. Konsep kedua (manusia di atas Allah dan di bawah alam) adalah konsep yang memberhalakan alam sebagai “Allah” dan merendahkan Allah sejati. Konsep ini bisa dilihat di zaman kita melalui gerakan yang menyerukan untuk kembali ke alam (bukan kembali ke Allah). Konsep ketiga merupakan konsep Kristen karena menempatkan Allah di tempat yang seharusnya dan menempatkan manusia dan alam juga di tempat yang semestinya. Let God be God, let man be man, let nature be nature (biarlah Allah tetap Allah, biarlah manusia tetap manusia, biarlah alam tetap alam). Dunia yang mencoba membalikkan urutan/ordo yang Tuhan telah tetapkan mengakibatkan dunia ini makin kacau.

Ketiga, manusia dan dosa. Manusia yang seharusnya berada di bawah Allah dan di atas alam ini jatuh ke dalam dosa, karena berusaha membalikkan urutan ini. Maka, realitas dosa merupakan realitas sesungguhnya tentang natur manusia. Realitas dosa ini nantinya mengakibatkan timbulnya sakit-penyakit, bencana alam, kelaparan, dan kemiskinan, karena rusaknya hubungan Allah dengan manusia mengakibatkan rusaknya hubungan antar manusia dan juga antara manusia dengan alam. Melepaskan manusia dari realitas dosa merupakan suatu kebahayaan. Di sepanjang sejarah, baik sejarah gereja maupun sejarah umum, kita menjumpai ada orang-orang yang berusaha memisahkan realitas dosa dari diri manusia atau bahkan membuang realitas dosa sama sekali. Banyak penganut aliran berpikir positif dan kemakmuran baik di dalam dunia umum maupun di dalam gereja selalu menekankan bahwa manusia itu ditetapkan untuk menjadi sehat, kaya, berkelimpahan, dll. Mereka juga menekankan bahwa penyakit itu dari setan, miskin itu dosa, karena penyakit dan miskin tidak berasal dari Allah. Ada juga ajaran yang mengajarkan bahwa penyakit, dosa, dan miskin itu ilusi (tidak nyata). Oleh karena itu, mereka mengajar bahwa kita tidak perlu memikirkan tentang penyakit, dosa, dan kemiskinan, karena ketika kita memikirkannya, maka itu yang akan terjadi, karena: apa yang kamu katakan, itu yang terjadi. Ada juga yang mengajar bahwa dosa itu tidak dipandang sebagai melawan Allah, namun hanya sebagai penyimpangan moral saja yang tidak terlalu serius atau suatu ketidaktahuan saja. Ada juga yang mengajarkan bahwa dosa itu memang menyebar di dalam setiap diri manusia, namun tidak meracuni pikiran/akal budi manusia, sehingga dengan akal budinya (yang tanpa dosa), manusia bisa mencari Allah.

Mari kita perhatikan cara berpikir mereka. Jika penyakit, dosa, miskin itu ilusi, maka bagaimana mereka menjawab realitas kemiskinan di dunia? Apakah orang yang hidup di dalam kemiskinan itu adalah orang yang hidup di dalam ilusi? Lalu, jika penyakit itu ilusi, maka Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. pernah mengatakan bahwa kita coba menampar pipi orang yang berkata bahwa penyakit itu ilusi dan lihatlah bagaimana reaksinya? Jika orang ini berkata bahwa ia sakit, maka kita perlu mengatakan sesuai dengan “pengakuan iman”nya bahwa penyakit itu ilusi. Jika miskin itu dosa, maka Tuhan Yesus yang harus disebut pertama kali sebagai orang berdosa, karena Ia waktu berinkarnasi ke dalam dunia adalah Pribadi yang miskin!

Lalu, bagaimana pengajaran Alkitab tentang dosa? Rasul Paulus di dalam Roma 3:9 mengajarkan, “Jadi bagaimana? Adakah kita mempunyai kelebihan dari pada orang lain? Sama sekali tidak. Sebab di atas telah kita tuduh baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, bahwa mereka semua ada di bawah kuasa dosa,” Ya, semua manusia tanpa kecuali ada di bawah kuasa dosa. Untuk memperjelasnya, maka Paulus menguraikan satu per satu aspek kehidupan manusia yang telah berada di bawah kuasa dosa, yaitu: akal budi (ay. 11), perbuatan (ay. 12), perkataan (ay. 13-14), dan tindakan (ay. 15-18). Bukankah penjabaran Paulus ini sudah cukup jelas mengajar kita bahwa semua manusia tanpa kecuali di dalam setiap aspeknya telah diracuni oleh dosa?

5. Doktrin Keselamatan (Soteriologi) dan Kristus (Kristologi)
Lalu, bisakah dosa manusia diselesaikan? YA dan TIDAK. TIDAK, jika dosa manusia tersebut diselesaikan dengan cara manusia berdosa. YA, jika dosa manusia diselesaikan dengan cara Allah. Allah menyelesaikan dosa manusia bukan dengan memerintahkan manusia untuk berbuat baik, namun dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia. Saya pernah membaca sebuah tanggapan dari orang non-Kristen di mana ia mengatakan, “Mengapa Tuhan repot-repot menjadi manusia untuk dapat menyelamatkan manusia, bukankah Ia cukup mengajar manusia tentang apa yang benar?” Mungkin logika ini cukup baik, namun sangat disayangkan, logika ini tetap lemah. Mengapa? Jika Allah cukup mengajar manusia dengan kebenaran, apakah menjamin manusia bisa menerima pengajaran Allah ini? Jangankan Allah yang mengajar kebenaran kepada manusia, teman/rekan atau orangtua kita saja yang mengajarkan sesuatu yang baik kepada kita saja, kita sering kali tidak mendengarkan bahkan menaatinya. Inilah bentuk kesombongan manusia yang seolah-olah mampu menerima pengajaran kebenaran dari Allah, padahal sebenarnya TIDAK. Tuhan Yesus diutus untuk menebus dosa umat pilihan-Nya, sehingga umat-Nya dapat terbebas dari dosa dan hukumannya dan juga mereka memperoleh hidup kekal karena karya Kristus yang mati dan bangkit. Penebusan Kristus saja yang membuat kita diselamatkan. Dengan kata lain, keselamatan terjadi HANYA melalui anugerah Allah di dalam Kristus dan juga HANYA melalui iman SAJA kepada karya pengorbanan Kristus. Jika ada ajaran yang mengajarkan bahwa keselamatan karena iman dan perbuatan baik, maka ada beberapa kelemahan dari ajaran ini, yaitu:

Pertama, pengorbanan Kristus di kayu salib tidak cukup. Jika iman harus ditambah perbuatan baik, manusia baru diselamatkan, maka pengorbanan Kristus akan menjadi suatu hal yang sia-sia, karena iman kepada Kristus harus ditambah perbuatan baik manusia. Seolah-olah tanpa perbuatan baik, iman kepada karya pengorbanan Kristus itu tidak cukup untuk menyelamatkan.

Kedua, perbuatan baik yang menentukan. Jika ada ajaran yang menekankan bahwa iman dan perbuatan baik sebagai syarat diselamatkan, bagi saya, tetap saja perbuatan baik yang lebih menentukan. Meskipun ajaran ini menekankan bahwa manusia dibenarkan melalui iman kepada Kristus, namun bagi penganut ajaran ini, iman yang tidak ditambah perbuatan baik tidak akan menghasilkan keselamatan. Jika demikian, bukankah perbuatan baik lebih berkhasiat untuk keselamatan? Coba tanyakan kepada penganut ajaran ini, jika seorang yang sudah percaya Kristus pada detik-detik menjelang maut (tentu belum bisa berbuat baik), apakah orang ini diselamatkan dan masuk Sorga atau belum diselamatkan? Jika si penganut ajaran ini menjawab belum diselamatkan hanya karena orang yang percaya Kristus ini belum berbuat baik, bukankah bagi ajaran ini, inti seseorang diselamatkan adalah perbuatan baik?

Membahas mengenai ajaran keselamatan (soteriologi) tidak bisa dilepaskan dari ajaran tentang Kristus (Kristologi), karena kita diselamatkan melalui karya pengorbanan Kristus di salib dan kebangkitan-Nya. Oleh karena itu, mari kita mengerti siapakah Kristus? Alkitab memberitakan bahwa Kristus adalah Putra Tunggal Allah yang diutus untuk menebus dosa manusia (Yohanes 3:16) dan Ia sendiri berani mengaku bahwa Ia adalah satu-satunya jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada Bapa jika tanpa melalui-Nya (Yohanes 14:6). Kristus sebagai Putra Tunggal Allah ini bernatur Allah dan manusia. Menurut Pengakuan Iman Chalcedon tentang dwi natur Kristus, natur Allah dan manusia di dalam pribadi Kristus tidak tercampur, tidak terbagi, tidak terpisah, melainkan menjadi satu. Namun sejarah gereja mencatat timbulnya banyak ajaran sesat di dalam Kekristenan berkenaan dengan doktrin Kristus, misalnya ada yang menekankan Kristus sebagai Allah dan menolak kemanusiaan-Nya, sehingga Rasul Yohanes menyebut bahwa roh yang tidak mengaku kemanusiaan Kristus itu jelas bukan dari Roh Allah (1 Yohanes 4:2-3). Ada juga yang tidak mengaku keilahian Kristus dan hanya mengaku kemanusiaan Kristus. Ada juga yang mengajarkan bahwa natur ilahi dan manusia dalam diri Kristus ini terpecah. Ada juga yang mengajarkan bahwa dua natur Kristus ini melebur menjadi satu. Bidat-bidat Kristologi ini telah dikutuk oleh gereja mula-mula dan untuk merumuskan Kristologi yang sehat berdasarkan Alkitab, maka disusunlah Pengakuan Iman Chalcedon yang diterima oleh gereja Katolik dan Protestan.

6. Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi)
Konsep keenam dalam menghakimi adalah berkenaan dengan Roh Kudus. Siapakah Roh Kudus? Alkitab mencatat bahwa Roh Kudus adalah Pribadi ketiga dari Allah Trinitas yang disebut juga Penolong dan Roh Kebenaran yang menginsyafkan manusia akan dosa, kebenaran, dan penghakiman, serta mengingatkan para murid tentang perkataan Kristus (Yohanes 14:16-18; 15:26; 16:7-8). Bukti Roh Kudus adalah Pribadi dapat dilihat dari ciri-ciri-Nya, yaitu: Roh Kudus bisa dihujat, didustai, didukakan, dll (Markus 3:29; Kisah Para Rasul 5:3; Efesus 4:30). Jika Roh Kudus bukan suatu Pribadi, maka tak mungkin Dia bisa dihujat, didustai, didukakan, dll. Namun, anehnya, kembali sejarah umum dan Kekristenan menghina sosok Roh Kudus. Di dalam sejarah umum, kita menjumpai sebuah ajaran yang mengajarkan bahwa Penolong yang lain yang Tuhan Yesus maksudkan di Yohanes 14:16 adalah bukan Roh Kudus, namun seorang “nabi” di dalam ajaran tersebut, karena bahasa Arabnya mirip dengan nama “nabi” tersebut. Sebuah argumentasi yang tidak bertanggungjawab. Herannya, jika sang “nabi” itu yang dimaksud Kristus di Yohanes 14:16, ciri-cirinya pasti TIDAK bisa dipenuhi oleh sang “nabi” tersebut: “Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.” (ay. 17) Sang “nabi” tersebut bisa dilihat, padahal Roh Kudus TIDAK bisa dilihat secara kasat mata. Sang “nabi” tersebut akhirnya meninggal dan TIDAK mungkin bisa menyertai manusia apalagi diam di dalam manusia, sedangkan Roh Kudus menyertai manusia dan diam di dalam manusia. Di dalam sejarah Kekristenan, kita mendengar sebuah ajaran yang mengatakan bahwa Roh Kudus bukanlah Pribadi, namun hanya sebagai daya aktif/kuasa yang bisa disalurkan. Tidak heran, belakangan ini, muncul gejala yang aneh-aneh, misalnya: impartasi kuasa, dll. Apa yang diimpartasikan? Kuasa siapa yang diimpartasikan? Jika dia menjawab, kuasa Roh Kudus, tolong tanya, Roh Kudus itu Pribadi atau daya aktif/kuasa saja? Jika Roh Kudus bukan pribadi, maka orang tersebut sudah mengajarkan ajaran sesat!

7. Doktrin Akhir Zaman (Eskatologi)
Konsep terakhir tentang menghakimi berkenaan dengan akhir zaman. Semua ajaran agama mengakui adanya kiamat, namun ajarannya berbeda-beda. Ada yang mengajarkan bahwa kiamat itu berhentinya semua kehidupan. Ada yang mengajarkan bahwa kiamat itu berarti semua manusia akan musnah (anihilasi). Ada juga yang mengajarkan bahwa kiamat berarti orang Kristen dilepaskan dari penderitaan besar dengan cara diangkat tiba-tiba sebelum terjadi penganiayaan besar-besaran. Mana yang benar? Jika kiamat berarti anihilasi manusia, pertanyaannya, untuk apa Tuhan menciptakan manusia? Apakah hanya untuk dimusnahkan kelak pada waktu kiamat? Jika hanya untuk dimusnahkan, lalu apa arti nilai hidup manusia? Agama ini tidak bisa menjawab. Jika kiamat berarti orang Kristen diangkat tiba-tiba supaya tidak mengalami penderitaan besar-besaran, bagaimana dengan perkataan Tuhan Yesus di dalam Matius 10:38 dan 16:24 yang mengajarkan bahwa orang yang mau mengikut Kristus harus menyangkal diri dan memikul salib?

Lalu, apa kata Alkitab tentang akhir zaman? Sebelumnya kita harus membedakan dua istilah: zaman akhir vs akhir zaman. Zaman akhir adalah zaman antara kedatangan Kristus pertama dan kedua, sedangkan akhir zaman adalah zaman kedatangan Kristus yang kedua kalinya. Ketika akhir zaman tiba, saat itulah Kristus datang untuk kedua kalinya. Pada saat itu, Kristus datang bukan lagi sebagai Penebus, namun sebagai Raja dan Hakim yang akan menghakimi semua manusia yang hidup dan mati. Pada saat itu, semua raja harus bertekuk lutut di hadapan Sang Raja. Rasul Yohanes memperlihatkan kepada kita tentang penglihatan yang didapatnya dari Allah di dalam Wahyu 6:15-16, “Dan raja-raja di bumi dan pembesar-pembesar serta perwira-perwira, dan orang-orang kaya serta orang-orang berkuasa, dan semua budak serta orang merdeka bersembunyi ke dalam gua-gua dan celah-celah batu karang di gunung. Dan mereka berkata kepada gunung-gunung dan kepada batu-batu karang itu: “Runtuhlah menimpa kami dan sembunyikanlah kami terhadap Dia, yang duduk di atas takhta dan terhadap murka Anak Domba itu.””

Alkitab dengan jelas membukakan tanda-tanda (menjelang) akhir zaman yang begitu menyedihkan:
Pertama, terjadi penderitaan hebat (Matius 24:6-8, 21). Penderitaan hebat bisa meliputi banyak hal, seperti: penganiayaan kepada orang-orang Kristen, deru perang, bencana alam, kelaparan, gempa bumi, dll. Hal-hal ini telah, sedang, dan akan terus kita alami karena kita hidup di dalam zaman akhir yaitu suatu zaman menjelang akhir zaman.

Kedua, munculnya Mesias-mesias dan nabi-nabi palsu (Matius 24:24). Mesias dan nabi palsu itu juga melakukan tanda-tanda mukjizat, sehingga hal tersebut tidak bisa dibedakan dari nabi asli dari Allah. Di dalam Perjanjian Lama, kita menjumpai fakta bahwa para nabi palsu dari Firaun pun juga bisa mengadakan tanda-tanda mukjizat, yaitu mengubah tongkat menjadi ular (Keluaran 7:11-12), meskipun akhirnya tongkat Harun menelan tongkat-tongkat mereka. Dari sini, kita belajar satu hal: jangan mengilahkan mukjizat sebagai tanda kehadiran Allah, karena iblis pun bisa membuat mukjizat.

Ketiga, manusia enggan mendengarkan kebenaran dan kemudian membuka telinganya yang gatal untuk mendengarkan ajaran-ajaran yang menyenangkan telinga mereka. Kepada Timotius, Rasul Paulus di dalam 2 Timotius 4:3-4 memperingatkan, “Karena akan datang waktunya, orang tidak dapat lagi menerima ajaran sehat, tetapi mereka akan mengumpulkan guru-guru menurut kehendaknya untuk memuaskan keinginan telinganya. Mereka akan memalingkan telinganya dari kebenaran dan membukanya bagi dongeng.” Pdt. Aiter, M.Div. pernah mengatakan bahwa ilah zaman ini adalah telinga. Jika telinganya mendengar ajaran yang susah-susah namun benar, maka orang itu akan memberontak, karena telinganya telah diatur hanya untuk mendengar apa yang mau didengar!

Keempat, cinta diri dan cinta uang. Kepada Timotius, Paulus juga memperingatkan, “Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang.” (2Timotius 3:2a) Beberapa Alkitab terjemahan Inggris menerjemahkannya: cinta diri dan cinta uang. Manusia makin self-centered dan money-centered, di mana segala sesuatu dinilai dari keuntungan diri. Bahkan mendirikan gereja pun dihitung berdasarkan untung ruginya. Bagaimana mendirikan gereja supaya untung? Mudah, undang pengkhotbah terkenal, kalau perlu undang para pengkhotbah terkenal tersebut setiap bulan, maka persembahan jemaat pasti banyak, karena jemaat yang hadir juga banyak. Keuntungan besar diperoleh tatkala permintaan dipenuhi. Selain itu, ada yang mengajar melalui pelatihan motivasi, “Jangan katakan tidak bisa. Katakan BISA, BISA, BISA, YES, YES, YES, maka kamu pasti BISA.” Mengapa pelatihan ini mengajarkan bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kita tidak bisa? Konsep dasarnya adalah karena apa yang kita katakan pasti terjadi. Yang lebih celaka konsep pelatihan motivasi ini diimpor ke dalam gereja dan rusaklah Kekristenan. Jika apa yang kita katakan pasti terjadi, di manakah kedaulatan Allah? Apakah Allah yang berdaulat diatur oleh perkataan kita, sehingga mengakibatkan segala sesuatu terjadi? Jika konsep pelatihan motivasi ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka ada beberapa permasalahan:

1, mengutip Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div., mengapa orang yang diracuni dengan konsep “Katakan BISA, BISA, BISA, KAYA, KAYA, KAYA” pada kenyataannya banyak yang tidak kaya? Yang lebih memprihatinkan para motivator itu yang tambah kaya, sedangkan para pesertanya banyak yang tidak kaya. Ini namanya pintar atau bodoh? Silahkan jawab sendiri.
2, jika para peserta telah mengatakan, “BISA, BISA, BISA, KAYA, KAYA, KAYA”, kemudian fakta sebagian besar pesertanya justru tidak kaya, apa reaksi sang motivator tersebut? Apakah ia akan berbalik kepada “pengakuan iman”nya bahwa segala sesuatu terjadi menurut perkataan manusia?

Kelima, hidup munafik (2Timotius 3:2b-5). Ciri ketiga manusia akhir zaman adalah munafik. Berlaku saleh di dalam tempat ibadah, namun kehidupan sehari-harinya seperti orang yang tidak mengenal Allah. Mereka bisa aktif di dalam pelayanan di gereja, namun tanpa mengerti iman Kristen yang beres, bahkan bisa mendukung pelatihan motivasi yang ngaco itu ditambah perkataan dan sikapnya tidak sesuai Alkitab: berdusta, menipu, dll.

II. MENGHAKIMI DAN SIKAP KITA SELANJUTNYA

Setelah mengetahui banyak hal mengenai bagaimana menghakimi segala sesuatu dengan adil, lalu, apa yang menjadi sikap kita selanjutnya? Membencinya? Atau cuek? Atau justru mengasihi mereka? Tuhan menuntut kita kritis dan tegas terhadap segala sesuatu, namun juga mengasihi. Yang kita kasihi adalah orang-orangnya bukan ajaran-ajarannya. Sehingga adalah bijaksana ketika kita menemui orang yang berpaham yang berbeda dengan kita, hendaklah kita mengasihi mereka dan berusahalah bangun persahabatan dengan mereka serta jangan lupa untuk memberitakan Injil Kristus yang murni kepada mereka.

Biarlah melalui sikap kita sehari-hari sebagai pengikut Kristus, nama Tuhan dipermuliakan bukan malah dicemooh. Banyak doktrin di kepala kita seharusnya tidak membuat kita menghina orang lain, namun justru mengasihi mereka. UJILAH SEGALA SESUATU! (1 TESALONIKA 5:21; 1 YOHANES 4:1-6). Amin. Soli Deo Gloria.
Next Post Previous Post