ORANG KRISTEN DAN MEMAHAMI BERTOLERANSI

Pdt. Esra Alfred Soru, MPdK.
ORANG KRISTEN DAN HIDUP BERTOLERANSI
Seorang Kristen bisa beriman secara eksklusif tapi pada saat yang bersamaan ia tidak menjadi arogan dan semena-mena terhadap agama lain, sebaliknya dapat mengembangkan semangat hidup yang penuh bertoleransi. 

Hal ini penting untuk kita pelajari karena kaum pluralis maupun inklusiv seringkali menuduh orang Kristen yang berpaham eksklusif sebagai kaum fundamentalis yang arogan dan tidak tahu bertoleransi dengan agama lain. Benarkah demikian? Haruskah demikian? Kita akan menemukan jawabannya dalam pembahasan kita ini. Saya akan membahas topik ini dalam beberapa point :

I. ORANG KRISTEN DAN HIDUP BERTOLERANSI.

Sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah dunia yang pluralistik / penuh dengan keberagaman ini, orang Kristen mau tidak mau harus berjumpa, berinteraksi, berurusan, berkaitan dengan orang-orang non Kristen / orang-orang yang tidak seiman dengannya, baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat. 

Di negara kita Indonesia misalnya, mau tidak mau, suka tidak suka, kita sementara hidup berdampingan dengan orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan. Dalam kondisi semacam ini adalah penting bagi orang Kristen untuk memikirkan bagaimana relasinya dengan orang-orang berkepercayan lain. Jika tidak maka semua itu berpotensi untuk mengakibatkan banyak gesekan, bentrokan, kekacauan bahkan kerusahan yang akan mengganggu ketentraman dan kedamaian hidup bersama.

Kita bersyukur bahwa para pendiri negara kita telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara kita yang memberikan nilai-nilai kehidupan dalam berbagai keanekaragaman yang ada. Demikian juga dengan Undang Undang negara kita yang mengatur perilaku semua warga supaya tidak terjadinya tindakan yang diskriminatif terhadap kaum beragama yang lebih lemah. 

Sebagai warga negara yang baik maka orang Kristen wajib mentaati aturan-aturan yang telah dibuat di negara kita, termasuk di dalamnya adalah aturan yang berkaitan dengan toleransi antar umat beragama dan prinsip-prinsip kehidupan bersama. Mengapa kita harus mentaati itu? Karena itu sama dengan kita mentaati Tuhan sebab Firman Tuhan mengajar kita untuk tunduk pada pemerintah.

Roma 13:1-2 – (1) Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. (2) Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya.

1 Petrus 2:13-14 – (13) Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, (14) maupun kepada wali-wali yang diutusnya untuk menghukum orang-orang yang berbuat jahat dan menghormati orang-orang yang berbuat baik.

Selain itu umat Tuhan juga diperintahkan untuk mengusakan kesejahteraan tempat di mana mereka berdiam.

Yeremia 29:7 - Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu.

Dengan 2 hal ini (perintah untuk tunduk dan taat pada aturan pemerintah dan perintah untuk mengusahakan kesejahteraan kota) maka sudah seharusnya orang Kristen hidup dalam semangat toleransi dengan orang-orang beragama lain. 

Dan sebenarnya itu sudah cukup menjadi dasar bagi orang Kristen untuk hidup bertoleransi dengan agama lain. Meskipun demikian ini menyisakan tanda tanya dalam benak kita, apakah Alkitab kita berbicara tentang hidup bertoleransi dengan orang beragama lain atau tidak? Saya harus jujur mengatakan bahwa sangat minim data Alkitab terkait dengan masalah hidup bertoleransi dengan agama lain ini. Apalagi dalam Perjanjian Lama. Mengapa bisa begitu? 

Karena Alkitab PL secara khusus diberikan kepada bangsa Israel, dan bangsa Israel adalah bangsa yang bersifat teokrasi dan bukan demokrasi. Teokrasi artinya pemerintahan ada di tangan Allah. Allahlah yang memerintah atas bangsa Israel (Kel 19:5-6). Raja hanyalah wakil Allah. Aturan Allahlah yang diberlakukan dalam kehidupan bangsa Israel. Atau dengan kata lain Allahlah yang membuat Undang-Undang negara Israel. Ini nyata dalam hukum-hukum yang bersifat sipil (Civil Law). Misalnya :

Ulangan 22:13-21 – (Ulangan 22:13) "Apabila seseorang mengambil isteri dan setelah menghampiri perempuan itu, menjadi benci kepadanya, (14) menuduhkan kepadanya perbuatan yang kurang senonoh dan membusukkan namanya dengan berkata: Perempuan ini kuambil menjadi isteriku, tetapi ketika ia kuhampiri, tidak ada kudapati padanya tanda-tanda keperawanan (15) maka haruslah ayah dan ibu gadis itu memperlihatkan tanda-tanda keperawanan gadis itu kepada para tua-tua kota di pintu gerbang. (16) Dan ayah si gadis haruslah berkata kepada para tua-tua itu: Aku telah memberikan anakku kepada laki-laki ini menjadi isterinya, lalu ia menjadi benci kepadanya, (17) dan ketahuilah, ia menuduhkan perbuatan yang kurang senonoh dengan berkata: Tidak ada kudapati tanda-tanda keperawanan pada anakmu. Tetapi inilah tanda-tanda keperawanan anakku itu. Lalu haruslah mereka membentangkan kain itu di depan para tua-tua kota. (18) Maka haruslah para tua-tua kota itu mengambil laki-laki itu, menghajar dia, (19) mendenda dia seratus syikal perak dan memberikan perak itu kepada ayah si gadis -- karena laki-laki itu telah membusukkan nama seorang perawan Israel. Perempuan itu haruslah tetap menjadi isterinya; selama hidupnya tidak boleh laki-laki itu menyuruh dia pergi. (20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa ke luar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati -- sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

Catatan : Karena ini seperti Undang Undang negara Israel waktu itu maka ayat-ayat ini tidak boleh diterapkan saat ini di negara kita karena negara kita mempunyai Undang-Undang sendiri.

Nah, sekarang pikirkan, kalau Allah yang membuat aturan / UU untuk Israel, lalu ada orang di Israel yang tidak percaya kepada Allah (Yahweh) dan menyembah allah lain, apakah Allah akan mentolerir hal itu dan menganggapnya sebagai hak kebebasan beragama? Tidak!

Keluaran 22:20 - Siapa yang mempersembahkan korban kepada allah kecuali kepada TUHAN sendiri, haruslah ia ditumpas."

Kalau ada orang Israel yang tidak mau lagi percaya kepada Allah dan memilih percaya kepada berhala-berhala (berpindah agama), apakah Allah akan bertoleransi kepadanya dan menganggap itu sebagai hak orang itu untuk memeluk agama apa saja? Ternyata tidak! Tidak ada toleransi baginya.

Ulangan 17:2-5 – (2) "Apabila di tengah-tengahmu di salah satu tempatmu yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, ada terdapat seorang laki-laki atau perempuan yang melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, Allahmu, dengan melangkahi perjanjian-Nya, (3) dan yang pergi beribadah kepada allah lain dan sujud menyembah kepadanya, atau kepada matahari atau bulan atau segenap tentara langit, hal yang telah Kularang itu; (4) dan apabila hal itu diberitahukan atau terdengar kepadamu, maka engkau harus memeriksanya baik-baik. Jikalau ternyata benar dan sudah pasti, bahwa kekejian itu dilakukan di antara orang Israel, (5) maka engkau harus membawa laki-laki atau perempuan yang telah melakukan perbuatan jahat itu ke luar ke pintu gerbang, kemudian laki-laki atau perempuan itu harus kaulempari dengan batu sampai mati.

Demikian juga bagi orang yang mengajak orang lain untuk beribadah kepada allah lain (menyebarkan agamanya), apakah Allah bertoleransi kepadanya dan menganggapnya sebagai hak untuk menyebarkan agamanya? Tidak! Tidak ada toleransi!

Ulangan 13:6-10 – (6) Apabila saudaramu laki-laki, anak ibumu, atau anakmu laki-laki atau anakmu perempuan atau isterimu sendiri atau sahabat karibmu membujuk engkau diam-diam, katanya: Mari kita berbakti kepada allah lain yang tidak dikenal olehmu ataupun oleh nenek moyangmu, (7) salah satu allah bangsa-bangsa sekelilingmu, baik yang dekat kepadamu maupun yang jauh dari padamu, dari ujung bumi ke ujung bumi, (8) maka janganlah engkau mengalah kepadanya dan janganlah mendengarkan dia. Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, janganlah mengasihani dia dan janganlah menutupi salahnya, (9) tetapi bunuhlah dia! Pertama-tama tanganmu sendirilah yang bergerak untuk membunuh dia, kemudian seluruh rakyat. (10) Engkau harus melempari dia dengan batu, sehingga mati, karena ia telah berikhtiar menyesatkan engkau dari pada TUHAN, Allahmu, yang telah membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan.

Jadi terlihat bahwa Undang-Undang negara Israel saat itu sangat keras dan tidak ada toleransi bagi orang yang mau memeluk agama lain atau menyebarkan agamanya. Semuanya dihukum dengan hukuman mati. Mengapa bisa begitu? Karena Israel pada saat itu bersifat teokrasi. Karena itulah agak sukar bagi kita untuk melihat adanya nilai-nilai toleransi terhadap orang beragama lain dari Alkitab, terutama dalam Perjanjian Lama. 

Tetapi jelas prinsip non toleransi seperti itu tidak bisa kita terapkan sekarang karena selain itu adalah UU Israel saat itu, negara kita tidak bersifat teokrasi melainkan demokrasi sehingga dalam negara yang bersifat demokrasi tidak bisa ada hidup tanpa toleransi. Jika tidak demikian maka kehidupan pasti akan kacau.

Pada saat Yesus hidup di dunia ini, dunia sementara dikuasai oleh imperium Romawi. Itu jelas suatu negara yang tidak bersifat teokrasi. Dan karena itu Yesus pun tidak melakukan Civil Law sebagaimana yang diperintahkan hukum Taurat. Misalnya : Yesus tidak menghukum ahli Taurat yang mengajarkan ajaran sesat, Yesus tidak menghukum mati orang-orang kafir yang Ia temui, Ia juga tidak memerintahkan hukuman mati bagi perempuan yang kedapatan berzinah (Yohanes 8:5) padahal jelas Taurat memerintahkan itu (Im 20:10). 

Kalau Ia melakukan semua itu jelas Ia menyalahi hukum Romawi saat itu yang tidak bersifat teokrasi. Karena itu juga adalah salah jika kita saat ini hidup dalam negara yang bersifat demokrasi tapi kita menerapkan hukum non toleransi beragama sebagaimana yang ada dalam negara teokrasi Israel sebagaimana yang telah kita lihat.

Lalu bagaimana? Apakah kita tidak mempunyai dasar Alkitab sama sekali untuk kehidupan bertoleransi? Tidak juga! Memang ada beberapa ayat / kisah yang dapat dijadikan dasar kehidupan bertoleransi sekalipun itu bersifat implisit. Mari kita lihat beberapa ayat / kisah baik dari PL maupun PB.

Ulangan 10:18-19 : (17) Sebab TUHAN, Allahmulah Allah segala allah dan Tuhan segala tuhan, Allah yang besar, kuat dan dahsyat, yang tidak memandang bulu ataupun menerima suap; (18) yang membela hak anak yatim dan janda dan menunjukkan kasih-Nya kepada orang asing dengan memberikan kepadanya makanan dan pakaian. (19) Sebab itu haruslah kamu menunjukkan kasihmu kepada orang asing, sebab kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir.

“Orang asing” dalam ayat menggunakan kata Ibrani “GER”. Tentang kata “GER” ini, perhatikan keterangan di bawah ini :

G.E. Wright – “suatu istilah tekhnis bagi orang asing yang telah meninggalkan bangsanya sendiri dan diam bersama di Israel” (The Book of Deuteronomy : The Interpreter's Bible, hal. 401).

Orang-orang asing ini mungkin saja telah memeluk agama Israel (misalnya Rut) tapi bisa juga beragama lain. Kalau sendainya orang asing itu tidak memeluk agama Israel, memang mereka tidak diizinkan untuk beribadah kepada allah mereka di tengah-tengah bangsa Israel tapi jelas Allah memerintahkan agar kepada mereka orang Israel harus menunjukkan kasih.

Bandingkan ini dengan ayat berikutnya :

Imamat 19:33-34 - (33) Apabila seorang asing tinggal padamu di negerimu, janganlah kamu menindas dia. (34) Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu.

Henry Efferin - Beberapa bagian dari Alkitab tersebut memberikan indikasi yang jelas mengenai bagaimana perlakuan umat Allah yang semestinya terhadap kelompok orang yang berbeda dari mereka, yaitu dengan menyatakan kasih persaudaraan kepada mereka. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 118).

Kisah orang Samaria yang murah hati (Lukas 10:29-37).

Saya kira kita semua tahu cerita ini dan karenanya tidak perlu saya ceritakan kembali. Tapi cerita ini begitu menyolok mengingat konflik berkepanjangan yang telah terjadi antara orang Yahudi dan orang Samaria ratusan tahun sebelum kelahiran Yesus. Bahkan boleh dikatakan bahwa konflik itu memisahkan orang Yahudi dan orang Samaria menjadi 2 kelompok agama yang berbeda dengan Kitab Suci yang berbeda (Orang Samaria hanya menerima 5 kitab Musa dan menolak semua kitab PL yang lain karena dianggap ditulis oleh nabi-nabi Israel) maupun pusat penyembahan yang berbeda di mana orang Yahudi di Yerusalem dan orang Samaria di gunung Gerizim (sekarang Nablus).

Sejarah mencatat bahwa terjadi lebih dari satu kali konflik yang bernuansa SARA antara orang Yahudi dan orang Samaria. Pada tahun 128 SM, orang Yahudi menyerang Samaria dan menghancurkan Bait Allah mereka. Orang-orang Yahudi juga tidak mau berhubungan dengan orang-orang Samaria sama sekali, mereka sama sekali anti untuk menginjakkan kakinya di tanah orang Samaria. 

Mereka lebih memilih jalan memutar berkilo-kilo meter daripada menempuh jarak dekat tetapi harus menginjakkan kakinya di tanah orang Samaria. Bahkan pada kalangan yang lebih fanatik, mereka berusaha sedemikian rupa untuk tidak mengucapkan kata ”Samaria” kecuali dalam bentuk negatif. (Lukas 10:36-37). Bahkan kata ”Samaria” dipakai juga sebagai bentuk hujatan atau makian (Yohanes 8:48). Samaria sendiri bukanlah bangsa yang penuh kasih. Mereka juga tak ada bedanya dengan Yahudi. 

Flavius Josephus (Antiquities 18:30) melaporkan bahwa kira-kira antara tahun 9 dan 6 SM mereka menajiskan wilayah Bait Allah untuk mencegah orang-orang Yahudi merayakan Paskah. Mereka melakukan ini dengan menyebarkan tulang-tulang manusia di halaman Bait Allah. Flavius Josephus melaporkan juga bahwa dalam banyak kesempatan orang-orang Samaria menciderai pelancong-pelancong / musafir-musafir Yahudi di wilayah mereka. Mereka juga melarang orang-orang melewati wilayah mereka kalau tujuannya ke Yerusalem. (Bandingkan dengan Lukas 9:52-54). 

Tetapi menariknya adalah Yesus menceritakan seorang Samaria yang menolong orang yang dirampok para penjahat yang sangat besar kemungkinan adalah orang Yahudi, seorang yang adalah musuh bangsanya maupun agamanya. Maka di sini jelas Tuhan Yesus mengajarkan bahwa di dalam hal menolong atau berbuat baik kepada orang lain, perbedaan agama / kepercayaan tidak boleh menjadi halangan.

Henry Efferin - Kisah orang Samaria yang baik hati merupakan contoh klasik mengenai perwujudan dari kasih yang melampaui batasan suku atau kelompok (Lukas 10:29-37). Perumpamaan ini dikemukakan sebagai respons terhadap pertanyaan "siapakah sesamaku manusia?" Jawabannya sangat mengejutkan, karena sesama di sini ialah typical orang yang paling tidak disenangi oleh orang Yahudi, yaitu orang Samaria. 

Dengan kata lain, sesama manusia dalam kisah ini ialah justru musuh dari kelompok etnis atau agama yang berbeda atau siapa saja yang kita temui. Penekanan dari Lukas bukan pada mengetahui apa kasih itu, tetapi lebih kepada tindakan kasih yang kongkret kepada seseorang yang tidak disukai. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 119).

Esra Alfred Soru - Si Samaria ketika melihat si korban, hatinya tergerak oleh belas kasihan dan ia mau menolongnya tanpa mempersoalkan bahwa korbannya adalah seorang Yahudi. Matthew Henry mengatakan : ”Ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan dan sama sekali tidak mempermasalahkan kebangsaannya. 

Walaupun korbannya seorang Yahudi, dia tetap saja seorang manusia, manusia yang berada dalam penderitaan, dan orang Samaria itu telah diajar untuk menghormati semua orang”. Sikap ini harus menjadi teladan bagi kita bahwa kita tidak boleh memandang bulu di dalam menolong. Di dalam menolong orang lain kita tidak perlu mempersoalkan suku bangsa apa dia, agama apa, status sosial, tingkat ekonomi (kaya atau miskin), dsb. (Siapakah Sesamaku Manusia; hal. 15).

Matius 5:43-44 – (43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.

Dalam ayat ini Yesus mengajarkan para murid-Nya untuk dapat mengasihi musuh-musuh mereka. Alasan untuk tindakan ini dijelaskan dalam ayat selanjutnya :

Matius 5:45 - Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

Henry Efferin - Satu-satunya alasan untuk mengasihi orang di luar lingkaran yang kita sukai dalam konteks tersebut ialah karena Allah juga memelihara setiap orang melalui providensi-Nya dalam anugerah umum. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 119).

Henry Efferin - Jadi dalam pengajaran Yesus tentang kasih terdapat unsur pengakuan terhadap keterikatan manusia secara keseluruhan sebagai anak-anak Bapa. Kasih memikirkan yang baik bagi orang lain bukan hanya mementingkan diri sendiri. Ini adalah pernyataan yang fundamental mengenai kasih dalam Alkitab yang didasari pada pengorbanan Yesus Kristus. 

"Kristus telah mati untuk kita orang-orang durhaka pada waktu yang ditentukan oleh Allah .... Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa" (Roma 5:6-10). Melalui ayat-ayat ini kita juga melihat betapa manusia itu berharga di mata Allah. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 119).

Galatia 6:10 - Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman.

Ayat ini mengatakan bahwa kita harus berbuat baik kepada semua orang. Dan adanya kata-kata “terutama kepada kawan-kawan seiman” menunjukkan bahwa kata-kata “semua orang” itu termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang tidak seiman. Jadi orang yang tidak seiman pun layak untuk mendapatkan perbuatan baik kita sekalipun mereka bukanlah yang terutama.

Demikianlah dasar-dasar Alkitab bagi kehidupan yang bertoleransi dengan orang-orang beragama lain. Dengan demikian seorang Kristen haruslah orang yang bisa hidup bertoleransi dan rukun dengan kelompok-kelompok lain yang berbeda keyakinan / agama dengannya bahkan harus berbuat baik kepada mereka. Dan karena itu juga kita tidak boleh memusuhi orang beragama lain apalagi berniat untuk membasmi mereka, kita tidak boleh memperlakukan mereka secara tidak adil, bersikap diskriminasi pada mereka, kita juga tidak boleh membakar tempat ibadah mereka, dll.

Henry Efferin - Alkitab memberikan dasar yang kuat tentang ide toleransi. Pengajaran Yesus mengenai kasih mempunyai implikasi terhadap kesamaan derajat semua manusia, termasuk hak dan penghormatan yang seharusnya dimiliki. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman Kristen tentang toleransi seharusnya tidak hanya terbatas pada kesediaan untuk bersabar terhadap praktik iman kepercayaan orang lain, bahkan seharusnya menjadi suatu perhatian yang aktif dan penghormatan yang tulus kepada mereka yang berbeda dari kita. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 120).

II. KELOMPOK-KELOMPOK EKSTRIM.

Pada pembahasan ketiga dan keempat dari serial ini, saya sudah menjelaskan tentang paham eksklusivisme dan juga keunikan agama Kristen. Berdasar pada Alkitab maka kita seharusnya mempunyai iman yang eksklusif. Kita juga harus menyadari keunikan agama kita sekaligus kelebihannya daripada agama lain. 

Tetapi kita juga sudah melihat di atas bahwa seorang Kristen juga seharusnya hidup dalam toleransi dan kerukunan dengan agama lain. Karena itu seorang Kristen tidak boleh bersikap arogan dan anarkis atau melakukan kekerasan baik bersifat fisik maupun verbal (penghinaan) terhadap pemeluk agama lain atas nama / demi agamanya. 

Apabila kedua hal ini bisa berjalan bersamaan maka pasti akan tercipta suatu kondisi hidup yang sangat baik di mana masing-masing orang tetap menjadi pemeluk agamanya yang sejati tetapi juga semua pihak akan hidup dalam rasa aman dan tentram dan tidak merasa terancam oleh pihak / agama yang lain. Sayangnya adalah kondisi semacam ini sukar didapat. Apabila seseorang menekankan suatu aspek saja, maka ia gagal pada aspek yang lain. Dalam hal ini ada 2 kelompok ekstrim yang perlu mendapatkan perhatian :

Ada orang / kelompok yang berpegang teguh pada ajarannya dan menjadi tidak toleran dan arogan agama lain.

Kelompok seperti ini menilai bahwa dengan ajaran / aqidahnya yang eksklusif maka tidak ada tempat bagi pemeluk agama lain bahkan yang seagama tetapi tidak sepaham dengannya dalam berbagai bidang kehidupan. Singkatnya adalah perbedaan atau pertentangan ajaran menjadikan pihak lain / agama lain tidak bisa mendapatkan tempat dalam semua segi kehidupan dari orang / kelompok tersebut dan yang lebih ekstrim adalah harus dimusuhi, dibasmi atau dimusnahkan. Orang-orang atau kelompok seperti ini akan berusaha untuk melemahkan, membatasi atau menghancurkan agama lain / kelompok lain yang tidak sepaham atau seiman dengannya.

Hal seperti ini terjadi dalam sejarah. Ketika Yudaisme menganggap kekristenan sebagai bidat, maka kekristenan berusaha dimusnahkan bahkan orang-orang Kristen disiksa, dianiaya dan dibunuh. Contoh pelakunya adalah Saulus sebagaimana yang disaksikannya sendiri dalam beberapa bagian Kitab Suci :

Kisah Para Rasul 22:3-5 - (3) Aku adalah orang Yahudi, lahir di Tarsus di tanah Kilikia, tetapi dibesarkan di kota ini; dididik dengan teliti di bawah pimpinan Gamaliel dalam hukum nenek moyang kita, sehingga aku menjadi seorang yang giat bekerja bagi Allah sama seperti kamu semua pada waktu ini. (4) Dan aku telah menganiaya pengikut-pengikut Jalan Tuhan sampai mereka mati; laki-laki dan perempuan kutangkap dan kuserahkan ke dalam penjara. (5) Tentang hal itu baik Imam Besar maupun Majelis Tua-tua dapat memberi kesaksian. Dari mereka aku telah membawa surat-surat untuk saudara-saudara di Damsyik dan aku telah pergi ke sana untuk menangkap penganut-penganut Jalan Tuhan, yang terdapat juga di situ dan membawa mereka ke Yerusalem untuk dihukum.

Kisah Para Rasul 26:4-12 - (4) Semua orang Yahudi mengetahui jalan hidupku sejak masa mudaku, sebab dari semula aku hidup di tengah-tengah bangsaku di Yerusalem. (5) Sudah lama mereka mengenal aku dan sekiranya mereka mau, mereka dapat memberi kesaksian, bahwa aku telah hidup sebagai seorang Farisi menurut mazhab yang paling keras dalam agama kita. (6) Dan sekarang aku harus menghadap pengadilan oleh sebab aku mengharapkan kegenapan janji, yang diberikan Allah kepada nenek moyang kita, (7) dan yang dinantikan oleh kedua belas suku kita, sementara mereka siang malam melakukan ibadahnya dengan tekun. Dan karena pengharapan itulah, ya raja Agripa, aku dituduh orang-orang Yahudi. (8) Mengapa kamu menganggap mustahil, bahwa Allah membangkitkan orang mati? (9) Bagaimanapun juga, aku sendiri pernah menyangka, bahwa aku harus keras bertindak menentang nama Yesus dari Nazaret. (10) Hal itu kulakukan juga di Yerusalem. Aku bukan saja telah memasukkan banyak orang kudus ke dalam penjara, setelah aku memperoleh kuasa dari imam-imam kepala, tetapi aku juga setuju, jika mereka dihukum mati. (11) Dalam rumah-rumah ibadat aku sering menyiksa mereka dan memaksanya untuk menyangkal imannya dan dalam amarah yang meluap-luap aku mengejar mereka, bahkan sampai ke kota-kota asing." (12) "Dan dalam keadaan demikian, ketika aku dengan kuasa penuh dan tugas dari imam-imam kepala sedang dalam perjalanan ke Damsyik…

Filipi 3:6 - tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.

Kesaksian Paulus menunjukkan bahwa dia melakukan semua itu atas nama / demi agama Yahudinya. Ini sejalan dengan kata-kata Yesus.

Yohanes 16:2 : Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah.

Hal ini terus berlanjut pada permusuhan dan penganiayaan atas orang Kristen oleh penguasa-penguasa Romawi.

Sayangnya adalah bahwa ketika kekristenan menjadi agama negara pada masa Konstantin dengan dikeluarkannya “Edict of Milan”, kekristenan sendiri menjadi kejam dan sangat tidak toleran terhadap orang-orang yang tidak seiman dengan mereka seperti bidat-bidat dan juga agama-agama lain.

Henry Efferin - Kekristenan menjadi penganiaya dari kepercayaan yang berbeda dalam kekaisaran Romawi. Kuil-kuil penyembah non Kristen dihancurkan, bahkan ancaman hukuman mati dikenakan pada mereka yang beribadah kepada ilah lain. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 120).

Henry Efferin - Pada abad pertengahan, konsep tentang kejayaan negara Kristen berkembang dengan kentalnya konsep "Kekaisaran Roma yang Kudus." Untuk menjadi warga negara kekaisaran tersebut seseorang haruslah anggota gereja. Musuh gereja yaitu pengikut bidat atau orang yang murtad juga dianggap sebagai musuh negara. Orang-orang non-Kristen seperti Yahudi diperlakukan seperti orang asing tanpa kewarganegaraan dan tidak mempunyai hak sipil. Pada zaman Reformasi, banyak orang Protestan dianiaya oleh orang Katolik, namun segera setelah Protestantisme diterima di banyak negara, mereka yang tidak menerima otoritas gereja negara tersebut dikucilkan. Katolik tidak diperlakukan dengan toleran di negara-negara Protestan dan sebaliknya. Banyak contoh-contoh lain dapat ditambahkan dalam daftar kita, penganiayaan para pengikut Anabaptis oleh Lutheran, penganiayaan kelompok Huegenot di Perancis, pengikut Quaker yang dianiaya oleh pemeluk Puritanisme pada awal negara bagian Massachusetts, dsb. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 120).

Semua data itu menunjukkan bahwa di sepanjang sejarah selalu terdapat orang-orang atau kelompok-kelompok yang berpegang teguh pada ajaran / aqidah mereka tetapi sangat tidak toleransi dan tidak rukun bahkan memusuhi dan membinasakan kepercayaan-kepercayaan atau agama-agama yang lain atas nama atau demi agama mereka sendiri.

Togardo Siburian - Beberapa orang mengharapkan pahala dari agamanya kalau dapat menghina – sehina-hinanya – orang dan agama lain. Dalam hal ini, manusia beragama tersebut justru tidak layak disebut beragama. Layaknya hewan saja; karena hewan tidak mempunyai benih agama dan rasa ketuhanan sedikitpun. (Kerangka Teologia Religionum Misioner, hal.187).

Pada hakikatnya orang-orang atau kelompok yang menerapkan Kitab Sucinya secara timpang. Mereka mengutamakan aspek ajaran yang memang tidak boleh dikompromikan tetapi mereka mengabaikan amanat Kitab Suci juga yang memerintahkan sikap toleransi dan kerukunan dengan agama lain sebagaimana yang sudah kita bahas.

b. Ada orang / kelompok yang berjuang demi toleransi dan kerukunan umat beragama tetapi mereduksi atau mengorbankan ajaran agamanya.

Kebalikan dari kelompok pertama, kelompok kedua ini adalah orang-orang yang berjuang demi toleransi dan kerukunan umat beragama tetapi pada saat yang sama mereduksi ajaran dasar Kristen atau bahkan menolak ajaran Kristen yang eksklusif karena hal ini dinilai sebagai penghambat terjadinya toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Tidak segan-segan ajaran Kristen yang eksklusif dianggap sebagai suatu ajaran yang telah ketinggalan zaman dan kurang bermoral.

Wilfried C. Smith : Eksklusivisme semakin menyadarkan banyak orang Kristen sebagai sesuatu yang immoral. (An Attempt at Summation" in Christ's Lordship and Religious Pluralism, hal. 202).

Stanley J. Samartha - Kerugian relasi antar manusia yang terjadi akibat dari klaim 'keunikan' dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai macam agama tidak bisa dibayangkan oleh mereka yang hidup dalam masyarakat yang memeluk satu agama saja ... klaim-klaim eksklusif dengan ditopang oleh dominasi politik, keunggulan ekonomi dan kekuatan militer menimbulkan penganiayaan dan penderitaan terhadap mereka yang menolak klaim-klaim tersebut. (Between Two Cultures, hal. 156).

Karena itu demi tercapainya toleransi dan kerukunan umat beragama, masing-masing agama termasuk kekristenan harus melepaskan klaim-klaim agamanya yang bersifat eksklusiv itu. Kelompok dengan pandangan seperti adalah kaum pluralis yang sudah kita bahas dan saya tidak perlu mengulang lagi di sini tapi jelas bahwa semangat bertoleransi dari kaum pluralis yang mengupayakan kerukunan hidup beragama telah membuat mereka jatuh pada ekstrim yang lain yakni mereduksi atau bahkan menyangkali ajaran agamanya yang bersumber dari Kitab Sucinya sendiri. Selain itu ada juga pandangan inklusiv yang juga telah kita bahas. Memang mereka tidak sesesat paham pluralisme tapi jelas bahwa pandangan mereka lebih bersifat kompromistik dan sinkretisme. Dengan demikian mereka juga mereduksi dalam jumlah yang lebih sedikit, ajaran yang eksklusiv dari agama Kristen. Dua kelompok ini (pluralisme dan inklusivisme) berusaha untuk hidup damai dengan agama lain tetapi mengorbankan agamanya sendiri. Apa yang mereka lakukan sama seperti 2 orang yang bertengkar tentang berapa jumlah 1 + 1? Si A mengatakan 1 + 1 = 2 sedangkan si B mengatakan 1 + 1 = 4. Keduanya bertengkar hebat hingga datanglah si C. Setelah mendengar duduk perkara pertengkaran itu, si C pun menyarakan solusi untuk mengakhiri pertikaian mereka. Solusinya bersifat win-win solution. Si A disarankan untuk menaikan jawabannya sedikit yakni dari 2 menjadi 3 sedangkan si B disarankan untuk menurukan jawabannya sedikit yakni dari 4 menjadi 3. Jadi masing-masing tidak bersikukuh berpegang pada pandangannya tetapi bersifat mengalah. Akhirnya disepakatilah bahwa 1 + 1 = 3. Si A dan B sekarang berhenti bertengkar dan puas dengan jalan tengah tersebut. Sayangnya, mereka sudah berdamai tapi kebenaranlah yang dikorbankan karena dengan demikian 1 + 1 = 3. Inilah contoh toleransi yang mengorbankan kebenaran.

Stevri I Lumintang – Mereka memahami toleransi dengan konsep dialog dalam pengertian mengakui kebenaran semua agama, sehingga kebenaran Kristus tidak lagi dilihat sebagai kebenaran final. Hal ini tentu merupakan suatu pengkhianatan terhadap jati diri agama yang dianutnya. Toleransi seperti ini tidak diajarkan oleh Alkitab. (Theologia Abu-Abu, hal. 283-284).

Itulah 2 ekstrim yang ada dalam konteks pembahasan kita. Jadi di satu sisi ada orang-orang yang berpegang teguh pada ajaran agamanya dan menganggap orang lain yang tidak seiman dengannya harus dimusnahkan. Tidak ada tempat bagi orang beragama lain di hatinya. Tidak ada hukum tolong menolong dan berbuat baik terhadap agama lain itu. Tapi di sisi yang lain ada orang-orang yang demi mempertahankan toleransi dan kerukunan umat beragama, mereka mengorbankan agamanya sendiri dengan mereduksinya. 

Karena Alkitab ternyata mengajarkan iman yang eksklusif tetapi juga mengajarkan perlunya bertoleransi dengan orang tidak seiman, maka seorang Kristen seharusnya adalah orang yang berpegang teguh pada ajaran Kristen tanpa mengkompromikannya / mereduksinya sedikit pun tetapi juga dalam tataran praktis ia hidup dalam kerukunan / toleransi dan bahkan berbuat baik kepada orang-orang yang non Kristen. Semoga kita seperti ini dan bukan seperti 2 kelompok ekstrim yang sudah dibahas di atas.

III. MEMAHAMI TOLERANSI YANG SESUNGGUHNYA.

Orang Kristen harus berpegang teguh pada iman eksklusivnya sekaligus hidup bertoleransi dengan orang beragama lain. Lalu bagaimana kedua hal itu bisa berjalan bersamaan dan tidak saling menidakan? Di sinilah kita harus kembali melihat bagaimana memahami toleransi yang sesungguhnya, yang alkitabiah.

Dasar-dasar Alkitabiah yang sudah dipaparkan pada bagian I menunjukkan bahwa toleransi yang ditunjukkan pada orang lain / agama lain adalah suatu sikap penghormatan dan penerimaan yang tulus terhadap iman / keyakinan orang lain tetapi itu tidak berarti mengakui apa yang mereka katakan tentang kebenaran apabila klaim itu bertentangan dengan klaim kebenaran Kristen.

Henry Efferin - Alkitab memberikan dasar yang kuat tentang ide toleransi.…Namun sikap ini jangan dibingungkan dengan pengakuan bahwa apa pun yang seseorang katakan sebagai kebenaran adalah benar bagi orang tersebut, karena ini jatuh pada pemahaman relativisme. Prinsip yang diakui dan dijunjung tinggi di sini ialah hak seseorang untuk menentukan sesuai dengan keputusan hati nuraninya yang bebas. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 120).

Henry Efferin - Pada titik ini, banyak orang yang menganut paham pluralisme menjadi bingung sendiri. Bagi mereka, seseorang yang toleran berarti mengakui bahwa klaim kebenaran dari semua agama benar adanya, atau sebaliknya bahwa klaim tersebut tidaklah terlalu signifikan. … Kalau direnungkan, ide dasar dari kata toleransi itu sendiri sudah termaktub pengertian adanya penerimaan terhadap sesuatu yang kurang disetujui. Sebagaimana yang dikatakan oleh Netland bahwa itu merupakan hal yang menggelikan kalau kita bertoleransi terhadap sesuatu yang memang sudah diterima sebagai kebenaran. "Dari satu sisi, toleransi melibatkan unsur penerimaan terhadap sesuatu di mana seseorang tersebut punya penilaian yang negatif. Tidak ada artinya kalau dikatakan bahwa seseorang mentolerir sesuatu yang dia setujui dengan setulus hati. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 120-121).

Henry Efferin - Jadi di dalam memahami toleransi, kita perlu membedakan antara menerima seseorang yang berbeda pandangan atau agama dengan menerima isi kepercayaannya sebagai kebenaran. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 121).

Stevri I Lumintang – Toleransi yang alkitabiah tentu, dianalogikan dengan sikap Allah kepada manusia berdosa, bahwa Allah toleran kepada manusia karena kasih-Nya, namun Allah intoleran terhadap dosa manusia. Mengasihi orang yang berbeda agama bukanlah berarti menerima dan menjadikan keyakinannya sebagai keyakinan kita. (Theologia Ab-Abu, hal. 284).

Coba perhatikan ayat ini :

Matius 5:45 - Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.

Dalam ayat ini jelas bahwa Tuhan menerbitkan matahari bagi orang jahat. Tapi apakah itu berarti Tuhan menyetujui kejahatannya? Jelas tidak! Orang jahatnya dikasihi tapi kejahatannya tidak disetujui atau bahkan kejahatannya dibenci. Ia menurunkan hujan bagi orang tidak benar. Tapi apakah itu berarti Tuhan menyetujui ketidakbenarannya? Jelas tidak! Orang yang tidak benar itu dikasihi dengan pemberian hujan kepadanya tapi ketidakbenarannya sama sekali tidak disetujui oleh Tuhan. Jadi terlihat bahwa Tuhan bertoleransi kepada orangnya tapi tidak kepada pandangan / pikiran / perbuatannya.

Dengan mengacu pada hal ini maka dapat dikatakan bahwa toleransi berarti penghormatan terhadap hak seseorang untuk berpegang pada suatu pandangan walaupun kita tidak setuju dengan isi dari pada pandangan tersebut.

Henry Efferin - Toleransi adalah suatu sikap terhadap seseorang dan bukan suatu ide. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 121-122).

Stevri I Lumintang – Toleransi pada hakikatnya adalah berkenaan dengan sikap terhadap orang, bukan terhadap pikiran orang. Maka itu, sikap Kristen yang berdasarkan kasih haruslah tertuju kepada orangnya. Toleransi dalam hal ini ialah toleransi sikap, toleransi sikap hati, bukan toleransi keyakinan atau kebenaran. (Theologia Abu-Abu, hal. 284-285).

Ibarat A dan B tinggal di sebuah rumah, rumah orang tua mereka. Tapi mereka tidak sepakat dalam persoalan 5 + 5 berapa jumlahnya? A berpendapat 5 + 5 = 10. B berpendapat 5 + 5 = 12. Masing-masing tetap menganggap pandangannya benar dan pandangan yang lain salah. Itu wajar! Tetapi A yang menganggap B salah tidak boleh membuatnya memusuhi B dan mengusir B dari rumah karena rumah itu rumah B juga, B berhak tinggal di rumah itu, B berhak mendapatkan dan menggunakan segala sesuatu dalam rumah itu. A tidak boleh melarang B untuk makan atau mandi atau apa pun. B harus mendapat semua haknya. B harus merasa aman dan nyaman di dalam rumah itu. Tapi soal 5 + 5 = 10, A tidak boleh berkompromi sehingga mencari jalan tengah di mana 5 + 5 = 11 misalnya. Itu adalah soal kebenaran. Itulah toleransi yang sebenarnya.

Henry Efferin - Jadi bersikap toleran tidak berarti kita menerima bahwa pandangannya benar. Sebaliknya kemampuan untuk hidup secara harmonis dan saling berinteraksi dengan orang-orang yang berbeda keyakinan merupakan perwujudan dari pada kedewasaan seseorang. (Perjuangan Menantang Zaman, hal. 123-124).

Jadi adalah benar bahwa kita tidak boleh memusuhi orang beragama lain, adalah benar bahwa kita tidak boleh berbuat jahat / anarkis kepada mereka, adalah benar bahwa kita harus mengasihi mereka, berbuat baik pada mereka, menolong mereka ketika dalam kesusahan, tapi menyetujui apa yang mereka pahami, menerima apa yang mereka katakan sebagai kebenaran, apalagi menyesuaikan ajaran agama kita dengan ajaran agama mereka sama sekali tidak boleh kita lakukan. Kalau kita melakukan hal itu, itu bukanlah lagi toleransi namanya tapi kompromi.

Selain prinsip toleransi semacam itu, dapat ditambahkan pula satu prinsip lain yakni toleransi Kristiani berkenaan dengan sikap seorang Kristen yang mengasihi / menolong / berbuat baik untuk orang beragama lain tapi bukan agama lain itu sendiri. Maksudnya adalah kita harus bisa membedakan antara penganut suatu agama dan agama itu sendiri. Kita harus bisa membedakan antara seorang Islam dan Islam itu sendiri. Kita harus bisa membedakan antara seorang Hindu dan Hindu itu sendiri. Kita harus bisa membedakan antara seorang Budha dan Budha itu sendiri. Kita harus bisa membedakan antara seorang Katolik dan Katolik itu sendiri.

Alkitab mengajarkan toleransi di mana orang Kristen harus bersikap baik, rela menolong orang lain sekalipun berbeda agama / iman tetapi Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk menolong agama lain di dalam perkembangan / pertumbuhannya dan segala aktivitas keagamaannya. Jikalau orang tidak bisa datang kepada Allah tanpa melalui Yesus, itu berarti semua orang yang tidak percaya kepada Yesus akan pergi ke neraka. Agama mereka tidak akan menyelamatkan mereka, justru agama mereka membawa mereka ke neraka.

Amsal 16:25 - Ada jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut.

Kalau begitu jika saya membantu agama mereka itu sama dengan saya mempermulus jalan ke neraka. Dan kalau saya mempermulus jalan ke neraka, saya pada hakikatnya sementara mengkhianati Tuhan. Tapi karena orang yang berjalan ke neraka itu bagaimana pun juga adalah manusia, dia mungkin adalah orang tua saya, anak saya, sahabat saya, saudara saya, maka saya harus mengasihi dia, saya tidak boleh berbuat jahat pada dia, apabila dia susah, saya harus menolongnya / membantunya sebagai wujud kasih saya kepadanya. Ya, saya harus membantu dia kalau dia kesusahan, tapi untuk membantu membuat jalannya ke neraka semakin mulus, atau memperbaiki lubang-lubang di jalannya sehingga menjadi licin, sama sekali haram bagi saya. Kalau dia butuh uang, saya bisa membantunya tapi saya tidak boleh memberikan uang saya demi pembangunan jalan ke neraka itu. Perhatikan kembali apa yang telah di bahas di point I tentang orang Samaria yang murah hati. Yang ia tolong adalah seorang beragama lain tapi ia sama sekali tidak menolong perkembangan agama dari orang itu.

Ini seharusnya menjadi dasar bagi kita dalam bertoleransi yang alkitabiah. Kita wajib dan harus siap untuk membantu orang beragama lain yang berada dalam kesulitan. Misalnya ketika ada bahaya kelaparan, bencana alam, sakit penyakit, dll, kita harus siap menolong siapa saja tanpa memandang apa agama mereka. Tapi membantu / menolong agama mereka tidak boleh kita lakukan.

Budi Asali – “….kita memang harus mengasihi orang yang beragama lain. Ini diwujudkan dengan memberitakan Injil kepada mereka, dan bahkan menolong mereka / menyumbang mereka kalau mereka mendapatkan musibah / membutuhkan pertolongan. Tetapi kita tidak boleh mendukung agama mereka! (Yesus Satu-Satunya Jalan, hal., 12).

Karena itu kalau ada orang Islam yang susah, tolonglah dia dengan tulus. Tapi kalau ada pembangunan masjid / kegiatan keagamaan dari Islam, kita tidak boleh menolong / menyumbangnya (kecuali kegiatan yang bersifat sosial). Demikian juga dengan agama lain, prinsip seperti ini berlaku untuk semua agama / kepercayaan yang lain.

Catatan : Perhatikan bahwa yang dilarang adalah ikut membangun masjid. Tapi ini tidak berarti boleh membakar masjid. Kita tidak boleh menghancurkan rumah ibadah orang lain tapi kita tidak perlu terlibat di dalam pembangunan rumah ibadah agama lain. Kalau kita melakukan pengrusakan, jelas itu merupakan kejahatan.

Sekarang coba perhatikan ayat ini :

Hak 5:23 - Kutukilah kota Meros!’ firman Malaikat TUHAN, ‘kutukilah habis-habisan penduduknya, karena mereka tidak datang membantu TUHAN, membantu TUHAN sebagai pahlawan.

Mengapa kota Meros dikutuk? Karena mereka tidak membantu Tuhan dalam peperangan (tidak terlibat di dalam pekerjaan Tuhan). Dengan kata lain pada saat Tuhan hendak berperang, mereka hanya pasif. Mereka dikutuk karena kepasifannya itu. Nah, kalau yang tidak membantu Tuhan saja (pasif) dikutuk, lalu bagaimana dengan yang aktif membantu lawan / musuhnya Tuhan? Jawab sendiri! Jadi sekali lagi toleransi alkitabiah mengharuskan kita mengasihi, menolong, berbuat baik kepada sesama manusia tanpa peduli agamanya tetapi bukan menolong perkembangan dari agama-agama yang jelas adalah kendaraan yang membawa umatnya ke neraka dari sudut pandang iman kita.

Setelah memahami sejumlah hal yang telah di bahas bagian-bagian sebelumnya, dapatlah disimpulkan bahwa apabila pengertian toleransi yang sesungguhnya dipahami maka seorang yang berpegang pada ajaran eksklusif tidak harus tidak bertoleransi dan tidak rukun dengan agama lain. 

Sebaliknya seorang yang berjuang untuk hidup dalam toleransi dan kerukunan dengan agama lain tidak harus mengorbankan kepercayaannya kecuali memang ia tidak mengakui kebenaran ajaran Kitab Sucinya. Dengan demikian kehidupan bertoleransi dan kerukunan antar umat beragama dapat tercipta antara seorang Kristen dan agama lain sambil orang Kristen tidak kehilangan identitas dan jati dirinya sebagai seorang Kristen lengkap dengan semua ajaran eksklusiv yang melekat padanya.
ORANG KRISTEN DAN MEMAHAMI BERTOLERANSI
AMIN
Next Post Previous Post