MATIUS 5:17-48 (YESUS DAN HUKUM TAURAT)

Pdt.Budi Asali,M.Div.
MATIUS 5:17-48 (YESUS DAN HUKUM TAURAT)
gadget, education
Matius 5:17-20.

I) Yesus bukannya meniadakan, tetapi menggenapi, Perjanjian Lama.

1) Istilah ‘hukum Taurat’ mempunyai beberapa arti, yaitu:

a) 10 hukum Tuhan (Keluaran 34:27-28 Ulangan 4:13,44 Ulangan 10:4).

Keluaran 34:27-28 - “(27) Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: ‘Tuliskanlah segala firman ini, sebab berdasarkan firman ini telah Kuadakan perjanjian dengan engkau dan dengan Israel.’ (28) Dan Musa ada di sana bersama-sama dengan TUHAN empat puluh hari empat puluh malam lamanya, tidak makan roti dan tidak minum air, dan ia menuliskan pada loh itu segala perkataan perjanjian, yakni Kesepuluh Firman.”.

Ul 4:13,44 - “(13) Dan Ia memberitahukan kepadamu perjanjian, yang diperintahkanNya kepadamu untuk dilakukan, yakni Kesepuluh Firman dan Ia menuliskannya pada dua loh batu. ... (44) Inilah hukum Taurat yang dipaparkan Musa kepada orang Israel.”.

Ulangan 10:4 - “Dan pada loh itu Ia menuliskan, sama dengan tulisan yang mula-mula, Kesepuluh Firman yang telah diucapkan TUHAN kepadamu di atas gunung dari tengah-tengah api pada hari kamu berkumpul; sesudah itu TUHAN memberikannya kepadaku.”.

b) 5 kitab Musa, yaitu Kejadian sampai Ulangan.

c) Seluruh Perjanjian Lama.

d) Ada arti ke 4, yaitu hukum lisan dari para ahli Taurat, seperti yang dikatakan oleh William Barclay:

“The Jews used the expression ‘the law’ in four different ways. (1) They used it to mean the Ten Commandments. (2) They used it to mean the first five books of the Bible. ... (3) They used the phrase the law and the prophets to mean the whole of Scripture; they used it as a comprehensive description of what we would call the whole Old Testament. (4) They used it to mean the oral or the scribal law. In the time of Jesus, it was the last meaning which was commonest; and it was in fact this scribal law which both Jesus and Paul so utterly condemned.” [= Orang-orang Yahudi menggunakan ungkapan ‘hukum Taurat’ dalam 4 cara yang berbeda. (1) Mereka menggunakannya untuk memaksudkan Sepuluh Hukum Tuhan. (2) Mereka menggunakannya untuk memaksudkan lima kitab yang pertama dari Alkitab. ... (3) Mereka menggunakan ungkapan Hukum Taurat dan kitab para nabi untuk memaksudkan seluruh Kitab Suci; mereka menggunakannya sebagai suatu penggambaran menyeluruh tentang apa yang kita sebut seluruh Perjanjian Lama. (4) Mereka menggunakannya untuk memaksudkan hukum lisan atau hukum dari para ahli Taurat. Pada jaman Yesus, adalah arti terakhir yang paling umum; dan sebenarnya hukum dari para ahli Taurat ini yang sama sekali dikecam baik oleh Yesus maupun Paulus.].

Dalam ay 17 yang diambil adalah arti yang ke 2 (karena di sini istilah ‘hukum Taurat’ ditambahi dengan kata-kata ‘atau kitab para nabi’), sedangkan dalam Matius 5:18-19 yang diambil adalah arti yang ke 3.

Matius 5: 17: ‘hukum Taurat atau kitab para nabi’.

Istilah yang biasanya digunakan adalah ‘hukum Taurat dan kitab para nabi’. Yesus menggunakan kata ‘atau’ untuk memberikan penekanan: ‘Aku tidak datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi’.

Yang Ia maksudkan dengan hukum Taurat / Perjanjian Lama tentu bukan ajaran / penafsiran ahli-ahli Taurat tentang Perjanjian Lama. Untuk menunjukkan betapa njlimet / rumitnya ahli-ahli Taurat dalam menafsirkan hukum Taurat / Perjanjian Lama, bacalah apa yang dikatakan Barclay di bawah ini.

Barclay: “The Law lays it down that the Sabbath Day is to be kept holy, and that on it no work is to be done. That is a great principle. But the Jewish legalists had a passion for definition. So they asked: What is work? All kinds of things were classified as work. For instance, to carry a burden on the Sabbath Day is to work. But next a burden has to be defined. So the Scribal Law lays it down that a burden is ‘food equal in weight to a dried fig, enough wine for making a goblet, milk enough for one swallow, honey enough to put upon a wound, oil enough to anoint a small member, water enough to moisten an eye-salve, paper enough to write a customs house notice upon, ink enough to write two letters of the alphabet, reed enough to make a pen’ - and so on endlessly. So they spent endless hours arguing whether a man could or could not lift a lamp from one place to another on the Sabbath, whether a tailor committed a sin if he went out with a needle in his robe, whether a woman might wear a brooch or false hair, even if a man might go out on the Sabbath with artificial teeth or an artificial limb, if a man might lift his child on the Sabbath Day. These things to them were the essence of religion. Their religion was a legalism of petty rules and regulations.” [= Hukum Taurat menetapkan bahwa hari Sabat harus dikuduskan, dan bahwa pada hari itu tidak ada pekerjaan yang boleh dilakukan. Itu merupakan prinsip yang besar. Tetapi para legalist Yahudi senang mendefinisikan. Karena itu mereka bertanya: Apakah pekerjaan itu? Semua jenis hal-hal digolongkan sebagai pekerjaan. Misalnya, membawa beban pada hari Sabat adalah bekerja. Tetapi selanjutnya ‘beban’ itu harus didefinisikan. Maka hukum dari ahli-ahli Taurat menetapkan bahwa ‘beban’ adalah ‘makanan yang sama beratnya dengan sebuah buah ara kering, anggur yang cukup untuk membuat satu gelas minuman, susu yang cukup untuk satu teguk, madu cukup untuk diberikan pada suatu luka, minyak cukup untuk mengurapi anggota yang kecil, air cukup untuk membasahkan salep mata, kertas cukup untuk menuliskan pemberitahuan suatu rumah cukai, tinta cukup untuk menuliskan 2 huruf dari alfabet, bambu cukup untuk membuat sebuah pena’, dst tanpa ada akhirnya. Demikianlah mereka menghabiskan banyak waktu untuk berdebat apakah seseorang boleh atau tidak boleh mengangkat sebuah lampu dari satu tempat ke tempat lain pada hari Sabat, apakah seorang penjahit melakukan dosa jika ia pergi keluar dengan sebuah jarum dalam jubahnya, apakah seorang perempuan boleh memakai bros atau rambut palsu, bahkan apakah seseorang boleh pergi keluar pada hari Sabat dengan gigi palsu atau kaki palsu, apakah seseorang boleh mengangkat anaknya pada hari Sabat. Hal-hal ini bagi mereka merupakan inti dari agama. Agama mereka adalah suatu legalisme yang terdiri dari peraturan-peraturan yang picik / remeh.] - hal 128.

Barclay: “To write was to work on the Sabbath. But writing has to be defined. So the definition runs: ‘He who writes two letters of the alphabet with his right or with his left hand, whether of one kind or of two kinds, if they are written with different inks or in different languages, is guilty. Even if he should write two letters from forgetfulness, he is guilty, whether he has written them with ink or with paint, red chalk, vitriol, or anything which makes a permanent mark. Also he that writes on two walls that from an angle, or on two tablets of his account book so that they can be read together is guilty ... But, if anyone writes with dark fluid, with fruit juice, or in the dust of the road, or in sand, or in anything which does not make a permanent mark, he is not guilty. ... If he writes one letter on the ground, and one on the wall of the house, or on two pages of a book, so that they cannot be read together, he is not guilty.’ That is a typical passage from the Scribal Law; and that is what the orthodox Jew regarded as true religion and the true service of God.” [= Menulis pada hari Sabat berarti bekerja. Tetapi ‘menulis’ perlu didefinisikan. Dan demikianlah bunyi definisinya: ‘Ia yang menulis 2 huruf dari alfabet dengan tangan kanan atau tangan kirinya, apakah dari satu jenis atau 2 jenis, jika huruf-huruf itu ditulis dengan tinta yang berbeda atau dalam bahasa yang berbeda, bersalah. Bahkan jika ia menulis 2 huruf karena lupa, ia bersalah, apakah ia telah menulis huruf-huruf itu dengan tinta atau dengan cat, kapur merah, benda tajam, atau apapun yang membuat tanda permanen. Juga ia yang menulis pada 2 dinding yang membentuk suatu sudut, atau pada 2 lembaran dari buku catatan / rekeningnya sehingga huruf-huruf itu bisa dibaca bersama-sama, ia bersalah ... Tetapi jika seseorang menulis dengan cairan gelap, dengan air buah, atau di tanah di jalanan, atau pada pasir, atau pada apapun yang tidak membuat tanda permanen, ia tidak bersalah. ... Jika ia menulis satu huruf di tanah, dan satu di dinding rumah, atau pada 2 halaman dari suatu buku, sehingga huruf-huruf itu tidak bisa dibaca bersama-sama, ia tidak bersalah’. Itulah text yang khas dari hukum dari ahli-ahli Taurat; dan itulah yang dianggap oleh seorang Yahudi orthodox sebagai agama dan sebagai pelayanan yang benar kepada Allah.] - hal 129.

Barclay: “To heal was to work on the Sabbath. Obviously this has to be defined. Healing was allowed when there was danger to life, and especially in troubles of the ear, nose and throat; but even then, steps could be taken only to keep the patient from becoming worse; no steps might be taken to make him get any better. So a plain bandage might to (be ?) put on a wound, but no ointment; plain wadding might be put into a sore ear, but not medicated wadding.” [= Menyembuhkan pada hari Sabat berarti bekerja. Jelas bahwa hal ini harus didefinisikan. Penyembuhan diijinkan pada saat ada bahaya terhadap kehidupan, dan khususnya pada waktu ada gangguan telinga, hidung dan tenggorokan / kerongkongan; tetapi bahkan dalam keadaan itu, hanya boleh dilakukan langkah-langkah untuk menjaga supaya pasien itu tidak menjadi lebih parah; tidak boleh dilakukan langkah-langkah yang membuatnya lebih baik. Jadi, suatu perban biasa boleh diberikan pada suatu luka, tetapi tidak boleh diberi obat / salep; kapas biasa boleh diberikan pada telinga yang sakit, tetapi kapas dengan obat tidak boleh.] - hal 129.

Barclay: “The Scribes were the men who worked out these rules and regulations. The Pharisees, whose names means The Separated Ones, were the men who had separated themselves from all the ordinary activities of life to keep all these rules and regulations. We can see the length to which this went from the following facts. For many generations this Scribal Law was never written down; it was the oral law, and it was handed down in the memory of generations Scribes. In the middle of the third century A. D. a summary of it was made and codified. That summary is known as the Mishnah; it contains sixty-three tractates on various subjects of the Law, and in English makes a book of almost eight hundred pages. Later Jewish scholarship busied itself with making commentaries to explain the Mishnah. These commentaries are known as the Talmuds. Of the Jerusalem Talmud there are twelve printed volumes; and of the Babylonian Talmud there are sixty printed volumes. To the strict orthodox Jew, in the time of Jesus, religion, serving God, was a matter of keeping thousands of legalistic rules and regulations; they regarded these petty rules and regulations as literally matters of life and death and eternal destiny. Clearly Jesus did not mean that not one of these rules and regulations was to pass away; repeatedly he broke them himself; and repeatedly he condemned them; that is certainly not what Jesus meant by the Law, for that is the kind of law that both Jesus and Paul condemned.” [= Ahli-ahli Taurat adalah orang-orang yang menyusun peraturan-peraturan ini. Orang-orang Farisi, yang namanya berarti ‘orang-orang yang terpisah’, adalah orang-orang yang memisahkan diri mereka sendiri dari semua aktivitas kehidupan biasa untuk mentaati semua peraturan-peraturan itu. Kita bisa melihat panjangnya peraturan-peraturan itu dari fakta-fakta yang berikut ini. Selama beberapa generasi, hukum dari ahli-ahli Taurat ini tidak pernah dituliskan; itu merupakan hukum lisan, dan diturunkan dalam ingatan dari generasi-generasi ahli-ahli Taurat. Pada pertengahan abad ketiga Masehi suatu ringkasan darinya dibuat dan disusun. Ringkasan itu dikenal sebagai Mishnah; itu terdiri dari 63 traktat tentang bermacam-macam pokok hukum Taurat, dan dalam bahasa Inggris menjadi sebuah buku yang terdiri dari hampir 800 halaman. Ahli-ahli theologia Yahudi selanjutnya menyibukkan dirinya sendiri dengan membuat tafsiran-tafsiran untuk menjelaskan Mishnah. Tafsiran-tafsiran ini dikenal sebagai Talmud. Talmud Yerusalem terdiri dari 12 volume; dan Talmud Babilonia terdiri dari 60 volume. Bagi seorang Yahudi orthodox, pada jaman Yesus, agama dan pelayanan kepada Allah merupakan persoalan ketaatan terhadap ribuan peraturan-peraturan legalistik; mereka menganggap peraturan-peraturan remeh / picik ini secara hurufiah sebagai persoalan hidup atau mati dan tujuan kekal. Jelas bahwa Yesus tidak memaksudkan bahwa tidak satupun dari peraturan-peraturan ini yang boleh ditiadakan; berulangkali Ia sendiri melanggar mereka; dan berulangkali Ia mengecam mereka; jelas bukan itu yang Yesus maksudkan dengan hukum Taurat, karena itu adalah jenis hukum Taurat yang dikecam oleh Yesus dan Paulus.] - hal 129-130.

2) Yesus datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat / Perjanjian Lama.

a) Kata-kata ‘jangan kamu menyangka’ (Matius 5: 17) menunjukkan bahwa ada orang-orang yang menganggap bahwa Tuhan Yesus membatalkan Perjanjian Lama. Mengapa banyak orang beranggapan demikian?

1. Karena Ia mengajarkan ‘ajaran yang baru’ dan mengajarkannya dengan cara yang berbeda.

a. Markus 1:22,27 - “(22) Mereka takjub mendengar pengajaranNya, sebab Ia mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat. ... (27) Mereka semua takjub, sehingga mereka memperbincangkannya, katanya: ‘Apa ini? Suatu ajaran baru. Ia berkata-kata dengan kuasa. Roh-roh jahatpun diperintahNya dan mereka taat kepadaNya.’”.

b. Kisah Para Rasul 6:14 - “sebab kami telah mendengar dia mengatakan, bahwa Yesus, orang Nazaret itu, akan merubuhkan tempat ini dan mengubah adat istiadat yang diwariskan oleh Musa kepada kita.’”.

c. Kisah Para Rasul 21:21 - “Tetapi mereka mendengar tentang engkau, bahwa engkau mengajar semua orang Yahudi yang tinggal di antara bangsa-bangsa lain untuk melepaskan hukum Musa, sebab engkau mengatakan, supaya mereka jangan menyunatkan anak-anaknya dan jangan hidup menurut adat istiadat kita.”.

Memang dalam ayat terakhir ini tuduhan itu diberikan kepada Paulus, tetapi Paulus jelas mendapatkan ajarannya dari Yesus.

2. Dalam mengajar, biasanya ahli-ahli Taurat mengajar dengan berkata: ‘Musa berkata: ...’ (bdk. Matius 19:7 22:24 23:2 Yoh 5:45,46 8:5 9:28,29). Tetapi pada waktu Yesus mengajar, Ia berkata: ‘Aku berkata: ...’ (Matius 5:18,20,22 dst).

3. Kristus sendiri juga kelihatan berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, karena Ia sendiri bukanlah seorang ahli Taurat maupun orang Farisi. Ia tidak pernah belajar dalam sekolah mereka.

Yohanes 7:15 - “Maka heranlah orang-orang Yahudi dan berkata: ‘Bagaimanakah orang ini mempunyai pengetahuan demikian tanpa belajar!’”.

Ini tentu tidak berarti bahwa Yesus tidak pernah belajar Firman Tuhan. Ini hanya berarti bahwa Ia tidak pernah belajar di ‘sekolah theologia’ dari ahli-ahli Taurat.

b) Tuhan Yesus dengan jelas membantah anggapan tersebut, dan Ia berkata bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan Perjanjian Lama (ay 17), dan bahwa tidak ada satu bagian kecilpun dari Perjanjian Lama yang boleh dibuang (ay 18).

Matius 5: 17-18: “(17) ‘Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. (18) Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi.”.

1. ‘meniadakan’.

Barnes (hal 22) mengatakan bahwa kata ini maksudnya adalah: ‘abrogate’ [= membatalkan / mencabut], ‘to deny their divine authority’ [= menyangkal otoritas ilahinya], ‘to set men free from the obligation to obey them’ [= membebaskan manusia dari kewajiban untuk mentaatinya].

2. ‘Iota’ merupakan huruf terkecil dalam abjad Yunani (i); dan dalam bahasa Ibrani mungkin ini analog dengan huruf Yod (y).

Perlu diingat bahwa perbedaan kecil dalam penulisan bisa menjadi perbedaan besar dalam artinya.

Illustrasi: sepasang suami istri bertengkar. Lalu si suami merasa bersalah dan ingin berdamai. Ia lalu pergi ke toko bunga dan meminta toko itu mengirimkannya kepada istrinya. Ia juga meminta supaya bunga itu disertai sebuah kartu atas namanya disertai dengan ucapan: ‘I am sorry, I love you’ [= Maafkan aku, aku cinta kepadamu]. Tetapi toko bunga itu kurang teliti, dan menghapuskan koma di tengah-tengah kalimat itu sehingga yang tertulis adalah kata-kata ‘I am sorry I love you’ [= Aku menyesal aku mencintai kamu].

Lebih-lebih dalam bahasa Ibrani ada banyak huruf yang bentuknya mirip, dan perbedaan titik atau coretan kecil, bisa menyebabkan perbedaan yang sangat besar.

3. ‘selama belum lenyap langit dan bumi ini’ (Matius 5: 18).

Pulpit Commentary mengatakan (hal 156) bahwa kata-kata ini tidak berarti bahwa pada saat langit dan bumi berlalu maka hukum Taurat dibuang.

Bdk. Lukas 16:17 - “Lebih mudah langit dan bumi lenyap dari pada satu titik dari hukum Taurat batal.”.

Tetapi Hendriksen mempunyai pandangan yang berbeda. Ia mengatakan (hal 292) bahwa di dunia yang akan datang itu tidak ada lagi Kitab Suci (Perjanjian Lama + Perjanjian Baru).

William Hendriksen: “In the new heaven and earth ‘the law’ as a written book will no longer be necessary. In fact, the written Bible - Old and New Testament - will have become superfluous.” [= Dalam langit dan bumi yang baru, hukum Taurat sebagai buku tertulis tidak lagi diperlukan. Bahkan, Alkitab tertulis - Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru - akan menjadi berlebihan / tidak dibutuhkan.] - hal 292.

c) Bukti-bukti bahwa Tuhan Yesus tidak meniadakan Perjanjian Lama:

1. Yesus mempelajari Perjanjian Lama (Lukas 2:46).

2. Yesus menggunakan Perjanjian Lama untuk melawan pencobaan / godaan setan (Mat 4:4,7,10), dan Ia mengutip Perjanjian Lama pada waktu mengajar. Ini menunjukkan bahwa Ia menghafalkan Perjanjian Lama.

3. Yesus menyuruh orang mentaati Perjanjian Lama (Matius 8:4 bdk. Imamat 14:1-32).

4. Yesus sendiri mentaati Perjanjian Lama, misalnya: Ia berbakti, ikut merayakan hari raya Perjanjian Lama, dan sebagainya.

d) Yesus sejalan dengan Paulus dalam persoalan ini.

Kata-kata Yesus dalam ay 17-18 ini sejalan dengan kata-kata Paulus dalam Roma 3:31 - “Jika demikian, adakah kami membatalkan hukum Taurat karena iman? Sama sekali tidak! Sebaliknya, kami meneguhkannya.”.

Dalam Kitab Suci memang ada ayat-ayat yang menunjukkan seakan-akan Paulus bertentangan dengan hukum Taurat (bdk. Kis 15:1-2 Gal 3:1-5 Gal 5:1-6), tetapi ayat-ayat itu tidak menunjukkan bahwa ia menentang Perjanjian Lama / hukum Taurat, tetapi bahwa ia menentang keselamatan melalui ketaatan terhadap hukum Taurat.

e) Pembahasan ayat-ayat Kitab Suci yang seolah-olah menunjukkan bahwa hukum Taurat sudah tidak berlaku.

1. Luk 16:16a - “Hukum Taurat dan kitab para nabi berlaku sampai kepada zaman Yohanes;”.

Penjelasan: Ayat ini salah terjemahan! Kata ‘berlaku’ sebetulnya tidak ada! Memang dengan demikian kelihatannya ada yang kurang dalam kalimatnya, dan kekurangan itu harus disuplai. Tetapi Kitab Suci Inggris menyuplai dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan Kitab Suci Indonesia.

KJV/RSV: ‘The law and the prophets were until John’ [= Hukum Taurat dan nabi-nabi ada sampai Yohanes].

NIV/NASB: ‘The Law and the Prophets were proclaimed until John’ [= Hukum Taurat dan Nabi-nabi diberitakan sampai Yohanes].

Bandingkan juga dengan ayat pararelnya dalam Matius 11:13 - “Sebab semua nabi dan kitab Taurat bernubuat hingga tampilnya Yohanes”.

Arti ayat itu: Yohanes Pembaptis membuka suatu jaman yang baru. Tetapi sama sekali tidak berarti bahwa Perjanjian Lama dihapuskan.

2. Roma 10:4 - “Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya.”.

KJV: ‘Christ is the end of the Law’ [= Kristus adalah akhir / tujuan dari hukum Taurat].

Ini menyebabkan kelihatannya Hukum Taurat / Perjanjian Lama tidak berlaku lagi sejak kedatangan Kristus.

Penjelasan: ada 2 cara penafsiran:

a. Kata yang diterjemahkan ‘the end’ [= akhir / tujuan] seharusnya berarti ‘sesuatu yang menyempurnakan’. Jadi, artinya: ketaatan / kebenaran yang sempurna dicapai dengan iman dalam Kristus (baca Ro 10:1-4).

b. Hendriksen mengatakan (hal 342, footnote) bahwa kata ‘end’ di sini tidak boleh diartikan ‘akhir’ (karena akan bertentangan dengan Roma 3:31 Roma 5:20 Roma 7:7), tetapi harus diartikan ‘tujuan’.

Bdk. Galatia 3:24 - “Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman.”.

Bagaimanapun juga, ayat ini tidak berarti bahwa Perjanjian Lama dihapuskan sejak Kristus datang.

3. Efesus 2:15 - “sebab dengan matiNya sebagai manusia Ia telah mem-batalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diriNya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,”.

Kita tidak boleh menafsirkan bahwa ayat ini mengajarkan bahwa seluruh hukum Taurat dibatalkan, karena kalau demikian maka penafsiran tersebut akan bertentangan dengan kata-kata Yesus dalam Mat 5:17-18 yang sedang kita bahas ini. Yang dibatalkan di sini hanyalah ‘ceremonial Law’ [= hukum-hukum yang berhubungan dengan upacara kebaktian / keagamaan]. Contoh: sunat, persembahan korban untuk menghapus dosa, larangan makan, persoalan najis / tahir dan sebagainya.

Semua hal-hal ini (ceremonial law) dihapuskan pelaksanaannya saja, tetapi arti / maknanya makin diteguhkan. Misalnya: sejak Kristus mati di salib, kita tidak perlu lagi mengorbankan binatang untuk menghapuskan dosa, tetapi arti dari persembahan korban dalam Perjanjian Lama itu tetap berlaku (tidak ada pengampunan tanpa pencurahan darah - bdk. Ibr 9:22).

Calvin: “With respect to doctrine, we must not imagine that the coming of Christ has freed us from the authority of the law: for it is the eternal rule of a devout and holy life, ... With respect to ceremonies, there is some appearance of a change having taken place; but it was only the use of them that was abolished, for their meaning was more fully confirmed. ... Let us therefore learn to maintain inviolable this sacred tie between the law and the Gospel, which many improperly attempt to break.” [= Berkenaan dengan doktrin, kita tidak boleh membayangkan bahwa kedatangan Kristus telah membebaskan kita dari otoritas hukum Taurat: karena itu merupakan peraturan kekal dari kehidupan yang saleh / taat dan kudus, ... Berkenaan dengan upacara-upacara, kelihatannya telah terjadi perubahan; tetapi hanya penggunaan mereka yang dihapuskan, karena arti mereka bahkan makin diteguhkan. ... Karena itu hendaklah kita belajar untuk menjaga supaya hubungan yang kudus antara hukum Taurat dan Injil tidak diganggu gugat, yang merupakan sesuatu yang diusahakan untuk dihancurkan oleh banyak orang.] - hal 277-278.

Calvin: “But it is asked, were not ceremonies among the commandments of God, the least of which we are now required to observe? I answer, We must look to the design and object of the Legislator. God enjoined ceremonies, that their outward use might be temporal, and their meaning eternal. That man does not break ceremonies, who omits what is shadowy, but retains its effect.” [= Tetapi ditanyakan, bukankah upacara termasuk di antara perintah-perintah Allah, yang harus kita taati sampai bagian yang terkecil? Saya menjawab: Kita harus melihat rencana dan tujuan dari pembuat hukum / undang-undang. Allah memerintahkan upacara, supaya penggunaan lahiriah mereka hanya bersifat sementara, tetapi artinya bersifat kekal. Seseorang tidak melanggar upacara, kalau ia menghapuskan apa yang bersifat bayangan, tetapi mempertahankan artinya.] - hal 279-280.

Catatan: hal lain yang mendukung penghapusan ceremonial law adalah sobeknya tirai Bait Allah pada saat Tuhan Yesus mati (Mat 27:51). Dengan ini seluruh Bait Allah beserta imam-imam dan korban-korban telah dihapuskan.

3) Tuhan Yesus datang untuk menggenapi Perjanjian Lama (ay 17b).

Apa artinya ‘menggenapi’?

a) Mentaatinya dengan sempurna.

Matius 3:15 - “Lalu Yesus menjawab, kataNya kepadanya: ‘Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.’ Dan Yohanespun menurutiNya.”.

Jelas bahwa di sini kata ‘menggenapkan’ berarti ‘mentaati’. Arti ini bisa diambil untuk Mat 5:17b ini. Jadi Tuhan Yesus menggenapi Perjanjian Lama dengan mentaatinya.

Gal 4:4 - “Tetapi setelah genap waktunya, maka Allah mengutus AnakNya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.”.

KJV: ‘made under the law’ [= dibuat di bawah hukum Taurat].

Terjemahan hurufiahnya adalah ‘becoming under law’ [= menjadi di bawah hukum Taurat].

b) Menggenapi nubuat-nubuat Perjanjian Lama (bdk. Matius 1:22 Matius 2:15 Mat 4:14), dan menggenapi bagian-bagian Perjanjian Lama yang merupakan type / bayangan Tuhan Yesus seperti: imam, korban penghapus dosa dan sebagainya.

c) Mati disalib untuk memikul hukuman dosa-dosa manusia.

D. Martyn Lloyd-Jones: “One of the ways in which the law has to be fulfilled is that its punishment of sin must be carried out. This punishment is death, and that was why He died.” [= Salah satu cara dalam mana hukum Taurat harus digenapi adalah bahwa hukuman dari dosa harus dilaksanakan. Hukuman ini adalah kematian, dan itulah sebabnya mengapa Ia mati.] - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 192.

d) Dr. Knox Chamblin mengatakan bahwa dalam kata ‘menggenapi’ ini tercakup juga arti ‘to fill up’ [= memenuhi / mengisi sampai penuh], atau ‘to complete’ [= melengkapi].

e) Ada juga orang yang mengatakan bahwa kata ‘menggenapi’ itu bisa diartikan ‘mengajar’.

D. Martyn Lloyd-Jones: “Our Lord Jesus Christ in these two verses confirms the whole of the Old Testament. He puts His seal of authority, His imprimatur, upon the whole of the Old Testament canon, the whole of the law and the prophets. ... To the Lord Jesus Christ the Old Testament was the Word of God; it was Scripture; it was something absolutely unique and apart; it had authority which nothing else has ever possessed nor can possess.” [= Tuhan kita Yesus Kristus dalam kedua ayat ini meneguhkan seluruh Perjanjian Lama. Ia memberikan meterai otoritasNya, persetujuanNya, pada seluruh kanon Perjanjian Lama, seluruh kitab / hukum Taurat dan nabi-nabi. ... Bagi Tuhan Yesus Kristus, Perjanjian Lama adalah Firman Allah; itu adalah Kitab Suci; itu merupakan sesuatu yang secara mutlak unik dan terpisah; itu mempunyai otoritas yang tidak pernah dipunyai dan tidak akan dipunyai oleh apapun yang lain.] - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 187.
II) Orang kristen dan Perjanjian Lama (ay 19).

1) Kita tidak boleh meniadakan bagian yang bagaimanapun kecilnya dari Perjanjian Lama (Matius 5: 19).

Kalau Yesus sendiri tidak meniadakan Perjanjian Lama, bahkan bagian yang terkecil sekalipun, maka kita harus meneladani Dia dalam hal tersebut.

a) ‘meniadakan’ (ay 19).

KJV: ‘break’ [= melanggar].

RSV: ‘relaxes’ [= mengendurkan / mengurangi].

NIV: ‘breaks’ [= melanggar].

NASB: ‘annuls’ [= membatalkan].

Pulpit Commentary mengatakan (hal 157) bahwa arti dari kata Yunaninya bukan sekedar ‘melanggar’ tetapi ‘abrogate’ [= mencabut, membatalkan].

b) ‘sekalipun yang paling kecil’ (ay 19).

1. Ini menunjukkan bahwa tidak semua Firman Tuhan sama penting.

Hendriksen mengatakan (hal 292) bahwa sekalipun ajaran Kristus jauh berbeda dibandingkan dengan ajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, yang ia anggap sebagai ‘membelah rambut’, tetapi Ia jelas juga menganggap adanya hukum yang lebih penting dari pada hukum yang lain. Dasar Kitab Suci untuk pandangan ini:

a. Kata-kata ‘sekalipun yang paling kecil’ dalam ay 19 ini.

b. Mat 22:36-40 - “(36) ‘Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?’ (37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.

c. Matius 23:23 - “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”.

d. 1Korintus 15:3-4 - “(3) Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri, ialah bahwa Kristus telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci, (4) bahwa Ia telah dikuburkan, dan bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci;”.

William Hendriksen: “Not every commandment of that law is of equal significance. The rabbis divided the law into 613 commandments. They considered 248 of these to be positive, 365 negative. They carried on lengthy debates about heavier and lighter commandments. Some rabbis considered Deut. 22:6 (‘You shall not carry off the mother-bird together with her young’) to be the ‘lightest’ (least significance) of them all. As to the heaviest or greatest of all commandments, the question as to its identity was answered by a scribe (Luke 10:27). That Jesus agrees with him is clear from his response (Luke 10:28; cf. Matt. 22:34-40; Mark 12:28-34).” [= Tidak setiap perintah dari hukum Taurat mempunyai arti yang setara. Rabi-rabi membagi hukum Taurat menjadi 613 perintah. Mereka menganggap 248 darinya sebagai perintah positif, 365 perintah negatif. Mereka mengadakan perdebatan panjang lebar tentang perintah yang lebih berat dan yang lebih ringan. Beberapa rabi menganggap Ul 22:6 (‘janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak-anaknya’) sebagai yang paling ringan (paling tidak penting / berarti) dari semua. Sedangkan tentang yang terberat atau terbesar dari semua perintah, pertanyaan berkenaan dengan identitasnya dijawab oleh seorang ahli Taurat (Luk 10:27). Bahwa Yesus setuju dengan dia terlihat dengan jelas dari tanggapan-Nya (Luk 10:28; bdk. Mat 22:34-40; Mark 12:28-34).] - hal 292.

Ul 22:6-7 - “(6) Apabila engkau menemui di jalan sarang burung di salah satu pohon atau di tanah dengan anak-anak burung atau telur-telur di dalamnya, dan induknya sedang duduk mendekap anak-anak atau telur-telur itu, maka janganlah engkau mengambil induk itu bersama-sama dengan anak-anaknya. (7) Setidak-tidaknya induk itu haruslah kaulepaskan, tetapi anak-anaknya boleh kauambil. Maksudnya supaya baik keadaanmu dan lanjut umurmu.”.

Catatan: saya berpendapat bahwa Hendriksen salah dalam menggunakan ayat, karena:

(1) Luk 10 itu tidak mempersoalkan hukum yang terutama, lihat mulai ay 25.

Luk 10:25-28 - “(25) Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: ‘Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?’ (26) Jawab Yesus kepadanya: ‘Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?’ (27) Jawab orang itu: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.’ (28) Kata Yesus kepadanya: ‘Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.’”.

(2) Mat 22:34-40 / Mark 12:28-34 memang mempersoalkan hukum yang terutama, tetapi Luk 10:25-28 tidak, karena Luk 10:25-28 tidak paralel dengan Mat 22:34-40 / Mark 12:28-34 (tetapi Matius dan Markus memang paralel), karena:

(a) Dalam Lukas, pertanyaan dari ahli Taurat itu berbeda, karena yang ia tanyakan adalah apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal (Luk 10:25), dan ahli Taurat itu sendirilah yang mengucapkan hukum kasih itu. Sedangkan dalam Matius / Markus, Yesuslah yang mengucapkan hukum kasih itu.

Mat 22:34-40 - “(34) Ketika orang-orang Farisi mendengar, bahwa Yesus telah membuat orang-orang Saduki itu bungkam, berkumpullah mereka (35) dan seorang dari mereka, seorang ahli Taurat, bertanya untuk mencobai Dia: (36) ‘Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?’ (37) Jawab Yesus kepadanya: ‘Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (38) Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. (39) Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. (40) Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi.’”.

Mark 12:28-34 - “(28) Lalu seorang ahli Taurat, yang mendengar Yesus dan orang-orang Saduki bersoal jawab dan tahu, bahwa Yesus memberi jawab yang tepat kepada orang-orang itu, datang kepadaNya dan bertanya: ‘Hukum manakah yang paling utama?’ (29) Jawab Yesus: ‘Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. (30) Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. (31) Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.’ (32) Lalu kata ahli Taurat itu kepada Yesus: ‘Tepat sekali, Guru, benar kataMu itu, bahwa Dia esa, dan bahwa tidak ada yang lain kecuali Dia. (33) Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.’ (34) Yesus melihat, bagaimana bijaksananya jawab orang itu, dan Ia berkata kepadanya: ‘Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah!’ Dan seorangpun tidak berani lagi menanyakan sesuatu kepada Yesus.”.

(b) Dalam Lukas, ahli Taurat itu tegar tengkuk (Luk 10:29). Ini berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh Markus (Mark 12:32-34).

(c) Dalam Lukas ada cerita tentang orang Samaria yang murah hati (Luk 10:30-37), sedangkan dalam Matius / Markus tidak.

2. Sekalipun hukum yang satu tidak sama pentingnya dengan hukum yang lain, tetapi yang paling tidak pentingpun tetap tidak boleh dibuang / diabaikan.

Pulpit Commentary: “While the Jews distinguished carefully between small and great precepts, they insisted on the importance of keeping even the smallest;” [= Walaupun orang-orang Yahudi membedakan dengan teliti antara perintah / aturan yang kecil dan yang besar, mereka tetap menekankan pentingnya ketaatan pada yang terkecil;] - hal 157.

Calvin menggunakan bagian ini untuk menyerang Gereja Roma Katolik, yang mengatakan bahwa ada dosa remeh (venial sin). Dulu dikatakan bahwa venial sin ini tidak diakuipun tidak apa-apa. Bagaimana dengan ajaran Gereja Roma Katolik sekarang? Apakah mereka berubah? Dalam ‘Catechism of the Catholic Church’ 1992, dikatakan (No 1458): “Without being strictly necessary, confession of everyday faults (venial sins) is nevertheless strongly recommended by the Church” [= Tanpa mengatakan bahwa ini diharuskan secara ketat, bagaimanapun pengakuan dari kesalahan-kesalahan setiap hari (dosa-dosa remeh / ringan) dianjurkan secara kuat oleh Gereja].

Jadi dalam hal ini kelihatannya tidak terlalu ada perubahan, karena mereka hanya menganjurkan secara kuat, tetapi tidak mengharuskan secara ketat, untuk melakukan pengakuan dosa terhadap dosa-dosa ringan / remeh.

Saya setuju dengan Calvin bahwa ini jelas merupakan sesuatu yang bertentangan dengan kata-kata Yesus di sini. Jadi, sekalipun memang hukum yang ‘ringan’ dan dosa yang ‘kecil’ itu memang ada, tetapi kita tetap tidak boleh melanggar hukum yang ringan atau membiarkan dosa yang kecil.

Renungkan: dosa apa yang saudara anggap remeh dan saudara biarkan dalam hidup saudara? Hukum yang mana yang saudara abaikan dalam hidup saudara? Bertobatlah dari sikap seperti itu!

Jadi dari Matius 5: 19 ini terlihat bahwa kita tidak boleh meniadakan bagian manapun dalam Perjanjian Lama. Kita harus menerima dan menghormati seluruh Perjanjian Lama.

Penerapan: apakah saudara hanya senang membaca / mempelajari Perjanjian Baru? Ini sama dengan meniadakan seluruh Perjanjian Lama!

Pulpit Commentary: “The Christian, while he loves the New Testament with all his heart, must not depreciate the Old.” [= Orang kristen, sementara ia mengasihi Perjanjian Baru dengan segenap hatinya, tidak boleh merendahkan / meremehkan Perjanjian Lama.] - hal 176.

D. Martyn Lloyd-Jones: “We must never drive a wedge between the Old Testament and the New. We must never feel that the New makes the Old unnecessary. I feel increasingly that it is very regrettable that the New Testament should ever have been printed alone, because we tend to fall into the serious error of thinking that, because we are Christians, we do not need the Old Testament.” [= Kita tidak pernah boleh memecah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kita tidak pernah boleh merasa bahwa Perjanjian Baru membuat Perjanjian Lama tidak perlu. Saya makin lama makin merasa bahwa merupakan sesuatu yang sangat disesalkan bahwa Perjanjian Baru dicetak sendirian, karena kita cenderung untuk jatuh ke dalam kesalahan yang serius untuk berpikir bahwa karena kita adalah orang-orang kristen, kita tidak membutuhkan Perjanjian Lama.] - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 191.

2) Kita harus mentaati dan mengajarkan / memberitakan Perjanjian Lama.

Ay 19b: ‘siapa yang melakukan dan mengajarkan’.

a) Hubungan antara ‘melakukan / mentaati’ dan ‘mengajarkan’.

Ada orang yang mau mentaati tetapi tidak mau menyebarkannya. Ada juga yang sebaliknya, mau mengajarkannya, tetapi ia sendiri tidak melakukannya. Yesus menghendaki keduanya.

A. T. Robertson: “Jesus puts practice before preaching. The teacher must apply the doctrine to himself before he is qualified to teach others.” [= Yesus meletakkan praktek sebelum pengajaran. Sang guru harus menerapkan ajaran kepada dirinya sendiri sebelum ia memenuhi syarat untuk mengajar orang lain.] - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 43.

Perhatikan bahwa ia menggunakan kata ‘apply’ [= menerapkan]. Saya setuju dengan kata ‘menerapkan’, tetapi kalau kata itu diganti dengan ‘mentaati’, saya tidak setuju.

Saya tidak setuju, tidak peduli betapa populernya pandangan yang mengatakan bahwa seorang pendeta / pengkhotbah harus mentaati dulu baru boleh mengajar. Mengapa? Karena kalau pengkhotbah hanya boleh mengajarkan apa yang sudah bisa ia taati, maka sedikit sekali dari Kitab Suci yang bisa dia ajarkan. Jarang sekali, kalau ada, orang yang bisa mentaati ayat-ayat seperti Mat 22:37 Mat 5:28 Mat 5:39,44 Fil 4:4 1Tes 5:18 dsb. Kalau demikian apakah ayat-ayat ini tidak boleh diajarkan? Ini akan bertentangan dengan ay 19a, yang mengecam orang yang tidak mengajarkan semua / seluruh hukum Taurat!

Juga, kalau kita melihat seorang dokter terkena flu, kita tidak akan berkata bahwa dokter itu tidak boleh mengobati orang yang sakit flu. Kalau kita melihat seorang montir mobilnya mogok, kita tidak akan mengatakan bahwa montir itu tidak boleh membetulkan mobil. Lalu mengapa kalau ada seorang pendeta yang tidak bisa melakukan ajarannya kita berkata bahwa ia tidak boleh memberitakan ajaran tersebut?

Lain lagi ceritanya kalau si pengkhotbah itu memang tidak berkeinginan untuk melakukan apa yang ia ajarkan. Ini tentu merupakan suatu kemunafikan.

Tetapi dari sudut saudara sebagai jemaat / pendengar, apakah pendeta / pengkhotbah itu mentaati ajarannya sendiri atau tidak, saudara tetap harus mendengar dan taat, tentu saja selama ajarannya itu benar.

Bdk. Mat 23:1-3 - “(1) Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-muridNya, kataNya: (2) ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. (3) Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.”.

Kalau pendeta / pengkhotbah itu tidak mentaati ajarannya sendiri, itu urusan dia dengan Tuhan, tetapi kalau saudara ikut-ikutan tidak taat, saudarapun akan berurusan dengan Tuhan. Jadi tetaplah taat, tak peduli pendeta / pengkhotbahnya taat atau tidak!

b) Keharusan mentaati Perjanjian Lama.

Misalnya:

1. Tentang persembahan persepuluhan! Tidak pernah ada ayat yang menghapuskan persembahan persepuluhan ini! Ada orang yang menggunakan 2Kor 9:7 sebagai dasar untuk menghapuskan persembahan persepuluhan, tetapi ini salah, karena ayat ini berbicara tentang persembahan sukarela untuk menolong orang Kristen yang miskin, bukan tentang persembahan persepuluhan!

2. Tentang peraturan Sabat (tidak boleh bekerja / mempekerjakan orang, dan harus berbakti). Ini juga tidak pernah dihapuskan. Entah berdasarkan apa orang-orang tertentu mengatakan bahwa dalam Perjanjian Baru peraturan / hukum Sabat sudah dihapuskan!

Ay 19 ini perlu dicamkan setiap kali saudara meremehkan suatu dosa dan membiarkannya ada dalam hidup saudara. Itu sama dengan meniadakan / tidak melakukan salah satu Firman Tuhan. Misalnya:

a. Dusta. Bdk. Kel 20:16 - “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.”.

b. Iri hati. Bdk. Kel 20:17 - “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu.’”.

c. Menyebarkan gossip.

Amsal 10:12 - “Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran.”.

Amsal 17:9 - “Siapa menutupi pelanggaran, mengejar kasih, tetapi siapa membangkit-bangkit perkara, menceraikan sahabat yang karib.”.

Hati-hati dengan dosa ini, dan jangan memberi alasan / dalih: ‘Oh, itu keluar dengan sendirinya’. Atau: ‘Oh, saya tidak bermaksud begitu’. Atau: ‘Oh, aku maunya cuma sharing’. Semua penggossip begitu. Tidak ada penggosip yang memulai gossipnya dengan berkata: ‘Eh dengarkan, saya mau menceritakan suatu gossip. ...’.

3) Resiko kalau melanggar hal-hal di atas dan pahala kalau mentaati hal-hal di atas (ay 19).

Resiko bagi yang melanggar: menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga (ay 19).

Pahala bagi yang mentaati: menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Surga (ay 19).

Ada 2 hal yang ingin saya bahas di sini:

a) Istilah ‘Kerajaan Surga’ menunjuk kepada apa?

1. Calvin menganggap bahwa istilah ‘Kerajaan Sorga’ menunjuk kepada Gereja, sama seperti penggunaan istilah itu dalam Luk 7:28 - “Aku berkata kepadamu: Di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak ada seorangpun yang lebih besar dari pada Yohanes, namun yang terkecil dalam Kerajaan Allah lebih besar dari padanya.’”.

Catatan: kalau Matius menggunakan istilah ‘Kerajaan Sorga’ maka Lukas menggunakan istilah ‘Kerajaan Allah’. Tetapi kedua istilah ini artinya sama.

2. Tetapi penafsir yang lain pada umumnya menganggap bahwa istilah ini menunjuk baik kepada ‘Gereja’, maupun kepada ‘surga’.

William Hendriksen: “As Scripture confirms, this principle holds with respect to Christ’s rule both on earth (cf. Matt. 18:1-4) and in heaven. It is true now and will apply also in the day of judgment and afterward.” [= Seperti diteguhkan oleh Kitab Suci, prinsip ini berlaku berkenaan dengan pemerintahan Kristus baik di bumi (bdk. Mat 18:1-4) dan di surga. Itu benar pada saat ini, dan akan berlaku juga pada hari penghakiman dan setelahnya.] - hal 292-293.

Mat 18:1-4 - “(1) Pada waktu itu datanglah murid-murid itu kepada Yesus dan bertanya: ‘Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?’ (2) Maka Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah mereka (3) lalu berkata: ‘Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (4) Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.”.

Catatan: mungkin ia menggunakan Mat 18:1-4 ini, karena karena para murid jelas sudah masuk dalam ‘Gereja’, sehingga yang dimaksudkan oleh Yesus dengan ‘tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga’ adalah ‘tidak masuk ke surga’.

Matthew Poole: “that man shall have a great renown and reputation in the church, which is the kingdom of heaven upon earth, and shall have a great reward in the kingdom of glory hereafter.” [= orang itu akan mendapatkan kemasyhuran dan reputasi yang besar dalam gereja, yang adalah kerajaan surga di bumi, dan akan mendapatkan upah / pahala yang besar dalam kerajaan kemuliaan setelahnya / di alam baka.] - hal 23.

Saya lebih setuju dengan penafsiran yang kedua. Jadi sekalipun masuk surga itu hanya tergantung iman kepada Kristus, tetapi tinggi rendahnya tingkat di surga, atau besar kecilnya pahala di surga, tergantung dari kehidupan kita, dan khususnya tergantung dari sikap kita terhadap Firman Tuhan.

b) Apa artinya ‘menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Surga’?

1. Clarke menafsirkan kata-kata ini sebagai: “shall have no place in the kingdom of Christ here, nor in the kingdom of glory above” (= tidak akan mendapatkan tempat dalam kerajaan Kristus di sini ataupun dalam kerajaan kemuliaan di atas) - hal 70.

Bdk. Wah 22:18-19 - “(18) Aku bersaksi kepada setiap orang yang mendengar perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini: ‘Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini. (19) Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini.’”.

2. Pulpit Commentary (hal 157) mengutip pendapat Agustinus tentang bagian ini dimana ia mengatakan bahwa orang-orang ini bukannya tidak masuk ke dalam Kerajaan Sorga, tetapi menduduki tempat terendah.

Saya lebih condong pada pandangan kedua ini.

Jadi, sikap kita terhadap Firman Tuhan mempengaruhi / menentukan tinggi rendahnya tempat di surga. Dengan kata lain, itu mempengaruhi / menentukan kemuliaan kita di hadapan Allah. Ini sesuai dengan Kis 17:11 - “Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian.”.

KJV/RSV: ‘more noble’ (= lebih mulia).

NIV: ‘more noble character’ (= karakter yang lebih mulia).

NASB: ‘more noble-minded’ (= mempunyai pikiran yang lebih mulia).

Jadi, orang yang mempunyai sikap yang benar terhadap Firman Tuhan dianggap lebih mulia oleh Tuhan, dan karena itu nanti pasti juga akan mendapat tempat yang lebih mulia di surga.

Hal-hal lain yang mempengaruhi kemuliaan seseorang di hadapan Allah adalah:

(1) Doa, yang merupakan ketaatan terhadap Firman Tuhan yang memerintahkan kita untuk berdoa.

Bdk. 1Taw 4:9-10 - “(9) Yabes lebih dimuliakan dari pada saudara-saudaranya; nama Yabes itu diberi ibunya kepadanya sebab katanya: ‘Aku telah melahirkan dia dengan kesakitan.’ (10) Yabes berseru kepada Allah Israel, katanya: ‘Kiranya Engkau memberkati aku berlimpah-limpah dan memperluas daerahku, dan kiranya tanganMu menyertai aku, dan melindungi aku dari pada malapetaka, sehingga kesakitan tidak menimpa aku!’ Dan Allah mengabulkan permintaannya itu.”.

(2) Pelayanan, yang merupakan ketaatan terhadap Firman Tuhan yang memerintahkan kita untuk melayani. Bandingkan dengan ayat-ayat di bawah ini:

(a) Mat 20:26-27 - “(26) Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, (27) dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu;”.

(b) Mat 24:46-47 - “(46) Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. (47) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya.”.

(c) Mat 25:14-23 - perumpamaan tentang talenta.

(d) Luk 19:12-19 - perumpamaan tentang uang mina.
III) Orang kristen vs ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi (ay 20).

1) Yesus bertentangan dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Matius 5: 20 ini bukan hanya menunjukkan bahwa Yesus menentang kehidupan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, tetapi juga bahwa Ia ‘menghakimi’ ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Karena itu jelaslah bahwa ‘larangan menghakimi’ dalam Mat 7:1-2 tidak boleh diartikan seakan-akan kita tidak boleh mengecam / menyatakan kesalahan / kesesatan dari orang / gereja tertentu. Bdk. Yoh 7:24.

D. Martyn Lloyd-Jones: “The second proposition, which he lays down in verses 19 and 20, is that this teaching of His which is in such harmony with the Old Testament is in complete disharmony with, and an utter contradiction of, the teaching of the Pharisees and scribes” (= Hal yang kedua yang Ia berikan dalam ay 19 dan 20, adalah bahwa ajaranNya ini, yang begitu sesuai dengan Perjanjian Lama, sepenuhnya tidak sesuai dengan, dan sama sekali bertentangan dengan, ajaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 181.

D. Martyn Lloyd-Jones: “our Lord was not content with making positive statements only; He made negative ones also. He was not content with just stating His doctrine. He also criticized other doctrines. ... Many, alas, seem to object in these days to negative teaching. ‘Let us have positive teaching’, they say. ‘You need not criticize other views.’ But our Lord definitely did criticize the teaching of the Pharisee and scribes. ... And it is essential, of course, that we should do the same” (= Tuhan kita tidak puas dengan memberikan pernyataan yang positif saja; Ia juga memberikan pernyataan yang negatif. Ia tidak puas dengan hanya menyatakan ajaran / doktrinNya. Ia juga mengkritik ajaran / doktrin yang lain. ... Pada jaman ini kelihatannya ada banyak orang keberatan dengan pengajaran yang negatif. ‘Baiklah kita mempunyai pengajaran yang positif’, kata mereka. ‘Engkau tidak perlu mengkritik pandangan-pandangan yang lain’. Tetapi Tuhan kita jelas mengkritik ajaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. ... Dan tentu saja merupakan sesuatu yang penting bahwa kita melakukan hal yang sama) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 181,182.

D. Martyn Lloyd-Jones: “We are talking about æcumenicity, and the argument is put forward that, because of a certain common danger, it is not the time to be arguing about points of doctrine; rather we should all be friendly and pull together. Not at all, according to our Lord. The fact that the Roman Catholic and Greek Orthodox Churches are called Christian is no reason why we should not expose the corruptness and the dangerous errors of their systems” (= Kami berbicara tentang oikumene, dan diajukan suatu argumentasi bahwa karena suatu bahaya umum tertentu, ini bukanlah waktu untuk berdebat tentang doktrin; sebaliknya kita semua harus bersahabat dan bekerja sama. Menurut Tuhan kita sama sekali tidak demikian. Fakta bahwa Gereja-gereja Roma Katolik dan Orthodox Yunani disebut Kristen bukanlah alasan mengapa kita tidak boleh menyingkapkan keburukan dan kesalahan-kesalahan yang berbahaya dari ajaran mereka) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 182.

Catatan: Ia menyebutkan Gereja Roma Katolik dan Gereja Orthodox Yunani sebagai contoh. Tentu saja ada lebih banyak contoh, apalagi pada jaman ini, seperti: Saksi Yehuwa, Mormon (Gereja Yesus Kristus dari orang-orang suci jaman akhir), Liberalisme, Gereja Orthodox Syrianya Bambang Noorsena / Jusuf Roni, Penginjilan terhadap orang matinya Andereas Samudera, dan yang sekarang sedang ‘naik daun’, yaitu Pdt. Yesaya Pariadji dari GBI Tiberias. Dari kesaksiannya jelas terlihat bahwa ia menganut pandangan ‘keselamatan oleh perbuatan baik’, dan juga ia menyalah-gunakan sakramen baptisan dan Perjamuan Kudus untuk melakukan kesembuhan.

2) Kebenaran kita harus melampaui kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Matius 5: 20: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”.

Kata-kata ‘hidup keagamaan’ salah terjemahan, seharusnya adalah ‘kebenaran’.

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘righteousness’ (= kebenaran).

Kata bahasa Yunani yang dipakai adalah DIKAIOSUNE, yang artinya memang adalah ‘righteousness’ (= kebenaran).

Jadi, Yesus berkata bahwa kalau kebenaran kita tidak lebih dari kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, kita tidak akan masuk surga.

Pada jaman itu ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dianggap sebagai teladan, yang ketaatannya bahkan dianggap terlalu tinggi untuk dicapai oleh orang awam. Tetapi di sini Yesus berkata bahwa kebenaran kita harus lebih dari pada kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Sebetulnya bagaimana kebenaran atau ketaatan dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu?

a) Ketaatan lahiriah.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi adalah orang-orang yang sangat menekankan Hukum Taurat sampai sekecil-kecilnya, tetapi hanya secara lahiriah. Kalau saudara membaca Mat 5:21-28, saudara akan melihat dengan jelas bahwa Yesus menyalahkan penafsiran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum-hukum tertentu dalam hukum Taurat, karena mereka hanya memberikan penafsiran lahiriah saja. Jadi, seseorang dianggap melanggar hukum ke 6 kalau ia betul-betul melakukan pembunuhan secara lahiriah; demikian juga seseorang dianggap melanggar hukum ke 7 jika ia betul-betul berzinah secara lahiriah. Yesus lalu mengatakan bahwa pelanggaran terhadap kedua hukum itu bisa terjadi melalui pikiran / hati, bukan hanya secara lahiriah.

D. Martyn Lloyd-Jones: “The kingdom of God is concerned about the heart; it is not my external actions, but what I am inside that is important. A man once said that the best definition of religion was this: ‘Religion is that which a man does with his own solitude.’ In other words, if you want to know what you really are, you can find the answer when you are alone with your thoughts and desires and imaginations. It is what you say to yourself that matters. How careful we are in what we say to others; but what do we say to ourselves? What a man does with his own solitude is what ultimately counts. The things that are within, which we hide from the outside world because we are ashamed of them, these proclaim finally what we really are” (= Kerajaan Allah mempersoalkan hati; yang penting bukan tindakan lahiriahku, tetapi apa yang ada di dalamku. Seseorang pernah mengatakan bahwa definisi yang terbaik dari agama adalah ini: ‘Agama adalah apa yang seseorang lakukan pada waktu ia seorang diri’. Dengan kata lain, jika engkau ingin tahu apa sebenarnya dirimu, engkau bisa mendapatkan jawaban pada waktu engkau sedang sendirian dengan pemikiranmu, keinginanmu dan khayalanmu. Yang menjadi soal adalah apa yang engkau katakan kepada dirimu sendiri. Alangkah hati-hatinya kita dalam apa yang kita katakan kepada orang-orang lain; tetapi apa yang kita katakan kepada diri kita sendiri? Yang pada akhirnya diperhitungkan adalah apa yang dilakukan seseorang pada waktu ia seorang diri. Hal-hal yang ada di dalam, yang kita sembunyikan dari dunia luar karena kita malu tentangnya, hal-hal inilah yang akhirnya menyatakan diri kita yang sebenarnya) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 204.

Ketaatan lahiriah dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini menimbulkan kemunafikan.

J. Sidlow Baxter: “First they solemnly laboured to perform all the scribal enjoinments; then, failing in this, they rested in mere outward compliance; then they excused outward correctness only; then they masqueraded in an outward profession of piety while covertly sinning; until finally, becoming used to this, they tolerated it, and even practised it, thus becoming the worst of hypocrites” (= Mula-mula mereka berusaha untuk melakukan semua perintah / larangan dari ahli Taurat; lalu setelah mereka gagal dalam hal ini, mereka berhenti pada semata-mata penyesuaian lahiriah; lalu mereka mengabaikan / membiarkan / mengijinkan kebenaran lahiriah saja; lalu mereka menggunakan topeng pengakuan kesalehan lahiriah, sementara mereka berbuat dosa secara tersembunyi; sampai akhirnya, menjadi terbiasa dengan hal ini, mereka mentoleransinya, dan bahkan mempraktekkannya, dan dengan demikian menjadi orang munafik yang paling buruk) - ‘Explore the Book’, vol 5, hal 51.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi juga adalah orang-orang yang suka memamerkan ketaatannya pada hukum Taurat (Mat 6:2,5,16). Ini jelas merupakan sebagian dari kemunafikan mereka.

Kebenaran kita harus melampaui kebenaran dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat (ay 20), artinya ketaatan kita tidak boleh hanya merupakan ketaatan lahiriah. Hati juga harus taat!

Contoh ketaatan lahiriah:

1. Saudara tidak mempunyai istri kedua ataupun melakukan perselingkuhan, tetapi saudara tidak mencintai istri saudara.

2. Saudara menolong orang tetapi saudara tidak mengasihinya.

3. Saudara melayani / memberi persembahan, tetapi melakukannya bukan dengan sukacita tetapi dengan terpaksa.

4. Saudara hadir di gereja, tetapi pikiran saudara memikirkan pekerjaan dan bahkan pekerjaan yang berdosa.

Amos 8:4-6 - “(4) Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini (5) dan berpikir: ‘Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu, (6) supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?’”.

Lloyd-Jones mengatakan ada banyak orang yang asal sudah pergi berbakti dan mengikuti Perjamuan Kudus pada hari Minggu, merasa bahwa ia bebas menggunakan hari itu sesukanya.

D. Martyn Lloyd-Jones: “The Lord’s day is a day that is meant to be given as much as possible to God. We ought on this day to put everything aside as far as we can, that God may be honoured and glorified and that His cause may prosper and flourish” (= Hari Tuhan adalah suatu hari yang dimaksudkan untuk diberikan sebanyak mungkin kepada Allah. Pada hari ini kita harus mengesampingkan segala sesuatu sejauh kita bisa, supaya Allah bisa dihormati dan dimuliakan dan perkara / aktivitasNya bisa berhasil dan bertumbuh / maju) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 205.

Kita tidak boleh mempunyai ketaatan yang hanya bersifat lahiriah, tetapi kita harus mempunyai ketaatan yang muncul dari hati, dan ini hanya dimungkinkan kalau kita sudah dilahir-barukan.

b) Kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah.

‘Ketaatan lahiriah’ yang sudah kita bahas pada point a) di atas berbeda dengan ‘kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah’ yang dibahas di sini. Kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah berhubungan dengan faktor keturunan (keturunan Abraham), kebangsaan mereka (bangsa pilihan), dan juga dengan sunat, yang merupakan tanda lahiriah bahwa mereka adalah bangsa pilihan.

Fil 3:4-6 - “(4) Sekalipun aku juga ada alasan untuk menaruh percaya pada hal-hal lahiriah. Jika ada orang lain menyangka dapat menaruh percaya pada hal-hal lahiriah, aku lebih lagi: (5) disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, (6) tentang kegiatan aku penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak bercacat.”.

Mat 3:9 - “Dan janganlah mengira, bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!”.

Yoh 8:39-40 - “(39) Jawab mereka kepadaNya: ‘Bapa kami ialah Abraham.’ Kata Yesus kepada mereka: ‘Jikalau sekiranya kamu anak-anak Abraham, tentulah kamu mengerjakan pekerjaan yang dikerjakan oleh Abraham. (40) Tetapi yang kamu kerjakan ialah berusaha membunuh Aku; Aku, seorang yang mengatakan kebenaran kepadamu, yaitu kebenaran yang Kudengar dari Allah; pekerjaan yang demikian tidak dikerjakan oleh Abraham.”.

Kis 15:1 - “Beberapa orang datang dari Yudea ke Antiokhia dan mengajarkan kepada saudara-saudara di situ: ‘Jikalau kamu tidak disunat menurut adat istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu tidak dapat diselamatkan.’”.

Penerapan: kita juga bisa mempunyai kepercayaan terhadap hal-hal lahiriah, seperti Baptisan, Perjamuan Kudus, kekristenan yang turun temurun, suku bangsa yang kristen, dan sebagainya. Semua ini harus dibuang dari diri kita!

c) Menekankan tradisi lebih dari moral.

Hal lain tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini adalah bahwa mereka lebih peduli dengan hal-hal yang bersifat upacara keagamaan (seperti membasuh tangan sebelum makan - Mat 15:2) dari pada hal-hal yang bersifat moral.

d) Menggunakan tradisi untuk menghindari tuntutan hukum Taurat.

Lloyd-Jones juga mengatakan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi sering menggunakan tradisi untuk menghindari tuntutan hukum Taurat.

Bdk. Mat 15:3-6 - “(3) Tetapi jawab Yesus kepada mereka: ‘Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek moyangmu? (4) Sebab Allah berfirman: Hormatilah ayahmu dan ibumu; dan lagi: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya pasti dihukum mati. (5) Tetapi kamu berkata: Barangsiapa berkata kepada bapanya atau kepada ibunya: Apa yang ada padaku yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk persembahan kepada Allah, (6) orang itu tidak wajib lagi menghormati bapanya atau ibunya. Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadatmu sendiri.”.

D. Martyn Lloyd-Jones: “They worked by traditions, and most of these traditions were really nothing but very clever and subtle ways of evading the demands of the law. ... You see that a Roman Catholic who does not believe in divorce has obtained one. How has it happened? It has probably been done by means of casuistry - some kind of explanation on paper that seems to satisfy the letter of the law. But, again, I am not simply concerned to denounce that Catholic type of religion. God knows we are all experts at this. We can all rationalize our own sins and explain them away, and excuse ourselves for the things we do and do not do. That was typical of the Pharisees” (= Mereka bekerja dengan tradisi, dan kebanyakan dari tradisi ini hanyalah cara yang sangat pandai dan cerdik untuk menghindari tuntutan hukum Taurat. ... Engkau melihat bahwa seorang Roma Katolik yang tidak percaya pada perceraian bisa bercerai. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mungkin itu dilakukan dengan cara mempermainkan hukum - sejenis penjelasan di atas kertas yang kelihatannya memuaskan hukum secara hurufiah. Tetapi saya tidak sekedar mencela agama Katolik. Allah tahu bahwa kita semua ahli dalam hal ini. Kita semua bisa merasionalisasikan dosa-dosa kita sendiri dan menjelaskan dosa-dosa itu, dan memaafkan diri kita sendiri untuk apa yang kita lakukan dan yang tidak kita lakukan. Ini merupakan sesuatu yang khas dari orang-orang Farisi) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 205.

Pulpit Commentary: “Antinomianism is unchristian. If Christianity is to be found in the teachings of Christ, Christianity does not relax the moral Law. On the contrary, it elevates and strengthens that Law. We cannot make a greater mistake than to suppose that the grace of Christ means a certain easy treatment of men, any diminution of duty, any release from the obligations of right. It is not a pardon of the past with indifference as regards the future. It is forgiveness as a foundation and preparation for a new and better life” [= Anti hukum merupakan sesuatu yang tidak kristen. Jika kekristenan mau ditemukan dalam ajaran Kristus, kekristenan tidak melonggarkan hukum moral. Sebaliknya, kekristenan meninggikan dan menguatkan hukum itu. Kita tidak bisa membuat kesalahan yang lebih besar dari pada menganggap bahwa kasih karunia Kristus berarti suatu tindakan mengentengkan manusia, suatu pengecilan dari kewajiban, suatu pembebasan dari kewajiban-kewajiban dari hak (?). Itu bukan merupakan pengampunan dari masa lalu dengan sikap acuh tak acuh berkenaan dengan masa yang akan datang. Itu merupakan pengampunan sebagai suatu dasar dan persiapan untuk suatu kehidupan yang baru dan lebih baik] - hal 181.

e) Hanya mengajar tetapi tidak melakukan.

Mat 23:1-3 - “(1) Maka berkatalah Yesus kepada orang banyak dan kepada murid-muridNya, kataNya: (2) ‘Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi telah menduduki kursi Musa. (3) Sebab itu turutilah dan lakukanlah segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya.”.

Kalau ahli-ahli Taurat itu (dan mungkin banyak pendeta / penginjil) hanya mengajar tetapi tidak melakukan, maka di kalangan jemaat banyak yang hanya mendengar dan bertumbuh dalam pengetahuan, tetapi tidak melakukan (bdk. Yak 1:22).

Pulpit Commentary: “knowledge is not to be despised; it is necessary, it is most interesting; but it is not enough” (= pengetahuan tidak boleh diremehkan / dipandang rendah; itu merupakan sesuatu yang perlu, itu merupakan sesuatu yang paling menarik; tetapi itu tidak cukup) - hal 176.

f) Menekankan hal-hal yang kecil tetapi mengabaikan hal-hal yang besar.

Mat 23:23-24 - “(23) Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan. (24) Hai kamu pemimpin-pemimpin buta, nyamuk kamu tapiskan dari dalam minumanmu, tetapi unta yang di dalamnya kamu telan.”.

g) Kebenaran mereka adalah kebenaran karena perbuatan baik, bukan karena iman.

Ro 9:30-10:3 - “(9:30) Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Ini: bahwa bangsa-bangsa lain yang tidak mengejar kebenaran, telah beroleh kebenaran, yaitu kebenaran karena iman. (9:31) Tetapi: bahwa Israel, sungguhpun mengejar hukum yang akan mendatangkan kebenaran, tidaklah sampai kepada hukum itu. (9:32) Mengapa tidak? Karena Israel mengejarnya bukan karena iman, tetapi karena perbuatan. Mereka tersandung pada batu sandungan, (9:33) seperti ada tertulis: ‘Sesungguhnya, Aku meletakkan di Sion sebuah batu sentuhan dan sebuah batu sandungan, dan siapa yang percaya kepadaNya, tidak akan dipermalukan.’ (10:1) Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. (10:2) Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. (10:3) Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah.”.

Memang text ini tidak berbicara tentang kebenaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, tetapi Israel / Yudaisme. Tetapi Israel / Yudaisme jelas mendapatkan itu dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Fil 3:7-9 - “(7) Tetapi apa yang dahulu merupakan keuntungan bagiku, sekarang kuanggap rugi karena Kristus. (8) Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, (9) dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan.”.

Kalau saudara adalah orang yang berjuang untuk masuk surga dengan ketaatan / perbuatan baik saudara, maka saudara tidak berbeda dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini.

Hendriksen mengatakan (hal 293) bahwa ay 20-dst ini menunjukkan bahwa kebenaran yang dituntut oleh Yesus adalah kebenaran yang sempurna, yang merupakan pemberian Allah. Ini hanya bisa diterima dengan iman kepada Kristus.

3) Ancaman kalau tidak mempunyai kebenaran yang lebih dari pada kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

Ay 20b: “sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”.

Pulpit Commentary: “A much stronger statement than that of ver. 19, though some would identify the two. There Christ was comparing one disciple with another; here his disciples with non-disciples” (= Suatu pernyataan yang jauh lebih kuat dari apa yang ada dalam ay 19, sekalipun ada yang menyamakan kedua hal itu. Di sana Kristus membandingkan satu murid dengan yang lain; di sini Ia membandingkan murid-muridNya dengan yang bukan murid) - hal 158.

Pulpit Commentary: “Christians who neglect part of the Law of God shall be called least in the kingdom of heaven; but mere formalists shall not even enter therein” (= Orang-orang kristen yang mengabaikan sebagian dari hukum Taurat Allah akan disebut yang terkecil dalam kerajaan surga; tetapi orang-orang yang hanya mempraktekkan hal-hal lahiriah bahkan tidak akan masuk ke dalamnya) - hal 176.
Kesimpulan / penutup.

Yesus tidak membuang Perjanjian Lama, dan karena itu kita juga tidak boleh membuang Perjanjian Lama, tetapi sebaliknya mengajarkannya dan mentaatinya. Dan kita harus mempunyai kebenaran yang melebihi kebenaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, khususnya dalam persoalan:

1) Kebenaran yang didapatkan oleh iman kepada Kristus.

2) Ketaatan yang muncul dari hati yang sudah dilahir-barukan, dan bukan sekedar ketaatan yang lahiriah saja.

-o0o-
Matius 5:21-26

I) Yesus bukan menentang Firman Tuhan / Perjanjian Lama, tetapi menentang penafsiran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang Perjanjian Lama.

1) Terjemahan yang salah dari Kitab Suci Indonesia.

Matius 5: 21: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum”.

KJV/RSV/NIV/Lit: ‘it was said’ (= dikatakan).

Kitab Suci Indonesia menterjemahkan ‘difirmankan’. Penggunaan kata ‘firman’ menunjukkan bahwa itu merupakan kata-kata Allah / Perjanjian Lama, dan ini salah.

Kalau Yesus mengutip Perjanjian Lama, maka istilah yang biasa digunakan adalah:

· ‘Ada tertulis’ (It is written / It has been written), seperti dalam Mat 4:4,7,10.

· ‘Tidakkah kamu baca’, seperti dalam Mat 12:3,5 Mat 19:4 Mat 22:31.

Sebetulnya terjemahannya adalah ‘it was said’ (= dikatakan), seperti dalam Kitab Suci bahasa Inggris, dan ini tidak menunjuk pada kata-kata Allah, tetapi pada kata-kata / ajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Hal yang sama terjadi pada ay 27,31,33,38,43.

2) Dalam ay 21-48 Yesus memberikan exposisi / penafsiranNya tentang hukum Taurat, dan mengkontraskannya dengan penafsiran / ajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Perbedaan utama adalah bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi selalu memberikan penafsiran hurufiah, dan hanya memperhatikan tindakan lahiriah, sedangkan Yesus memberikan arti sebenarnya dan menekankan juga hati, pikiran, motivasi dan keinginan seseorang. Tetapi ada juga bagian dimana ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu menggunakan tradisi mereka yang sama sekali tidak ada dalam Kitab Suci (seperti dalam ay 43), atau memberikan penerapan yang salah tentang Perjanjian Lama (seperti dalam ay 31,33,38).

II) Yesus membahas hukum ke 6: jangan membunuh.

Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menafsirkan hukum ke 6, sebagai larangan terhadap pembunuhan secara fisik / lahiriah saja, tetapi dalam ay 21-26 ini Yesus menerapkannya pada hal-hal lain, yaitu:

1) Marah (ay 22a).

a) Tidak semua kemarahan adalah dosa.

Ay 22a (KJV): ‘But I say unto you, That whosoever is angry with his brother without a cause shall be in danger of the judgment’ (= Tetapi Aku berkata kepadamu: Bahwa siapapun yang marah kepada saudaranya tanpa alasan akan ada dalam bahaya penghakiman).


Kata-kata ‘without a cause’ (= tanpa alasan) hanya ada dalam manuscripts tertentu.

Stott mengatakan (hal 83) bahwa sekalipun kata-kata ‘without a cause’ itu mungkin sekali tidak orisinil, tetapi kata-kata itu memberikan penafsiran yang benar tentang apa yang Yesus maksudkan, karena jelas bahwa tidak semua kemarahan merupakan dosa. Terlepas dari asli atau tidaknya, atau benar atau tidaknya, kata-kata ‘without a cause’ itu dalam terjemahan KJV ini, Kitab Suci jelas tidak menganggap semua kemarahan sebagai dosa. Ini terlihat dari:

· Yesus berulangkali marah (Mark 3:5 Yoh 2:13-17), tetapi dikatakan tidak berdosa (Ibr 4:15).

· kemarahan jemaat Efesus terhadap rasul-rasul palsu dipuji (Wah 2:2), dan sebaliknya ke‘sabar’an jemaat Korintus terhadap rasul-rasul palsu justru dikecam (2Kor 11:4).

· Ef 4:26 yang berbunyi: ‘Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu’, jelas menunjukkan bahwa ‘marah’ tidak selalu identik dengan ‘dosa’, dan bahwa kita bisa marah tetapi tidak berdosa.

Kemarahan yang benar biasanya adalah kemarahan yang dilandasi oleh kasih, dan ditujukan terhadap dosa, ketidak-adilan, penindasan, dan kesesatan.

Contoh:

¨ orang tua yang marah kepada anak yang nakal.

¨ orang kristen yang marah karena adanya ajaran sesat atau karena adanya korupsi dalam gereja.

¨ kita marah karena adanya terorisme.

¨ kita marah mendengar orang yang bersalah dibebaskan / orang yang tidak bersalah dihukum oleh pengadilan.

Perlu dicamkan bahwa sekalipun kemarahan seperti ini merupakan kemarahan yang benar, tetapi kalau perwujudannya kelewat batas maka itu menjadi salah / dosa. Misalnya kalau kemarahan terhadap anak diwujudkan dengan memaki anak atau memukul sehingga mencederai anak tersebut.

b) Tetapi jelas ada banyak kemarahan yang memang merupakan dosa, dan mungkin sebagian besar kemarahan kita, tidak bisa disebut sebagai ‘holy anger’ (= kemarahan yang suci), dan memang merupakan dosa. Dan ini dihubungkan oleh Yesus dengan hukum ke 6 (ay 21). Jadi, kemarahan seperti itu merupakan pembunuhan dalam hati / pikiran.

c) Kata ‘saudara’ dalam ay 22 kelihatannya harus diartikan bukan sebagai ‘saudara seiman’, tetapi sebagai ‘sesama manusia’, atau ‘siapapun yang mempunyai hubungan dengan kita’.

2) Mencaci-maki / mengeluarkan kata-kata yang bersifat menghina (ay 22b,c).

a) Mengatakan ‘kafir’ (ay 22b).

1. Arti kata ini sebenarnya.

RSV: ‘whoever insults his brother’ (= siapapun menghina saudaranya).

KJV/NIV/NASB tidak menterjemahkan kata ini, tetapi hanya mentransliterasikan (mengganti huruf-huruf Yunaninya dengan huruf Latin) sebagai ‘Raca’.

D. Martyn Lloyd-Jones: “‘Raca’ means ‘worthless fellow’” (= ‘Raca’ berarti ‘orang yang tidak berharga’) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 224.

John Stott mengatakan (hal 84) bahwa kata ‘Raca’ itu mungkin sama dengan kata Aram yang berarti ‘empty’ (= kosong).

Tasker (Tyndale) mengatakan bahwa kata ‘Raca’ tidak terlalu berbeda dengan MORE (yang digunakan dalam ay 22c) yang artinya ‘bodoh / tolol’ (dalam Kitab Suci Indonesia diterjemahkan ‘jahil’).

Barclay: “Raca is an almost untranslatable word, because it describes a tone of voice more than anything else. Its whole accent is the accent of contempt. To call a man Raca was to call him a brainless idiot, a silly fool, an empty-headed blunderer. It is the word of one who despises another with an arrogant contempt” (= Raca hampir tidak bisa diterjemahkan, karena kata itu lebih menggambarkan nada suara dari pada apapun yang lain. Seluruh penekanannya merupakan penekanan penghinaan / kejijikan. Menyebut seseorang sebagai Raca berarti menyebutnya sebagai seorang idiot yang tidak mempunyai otak, seorang tolol, seorang pembuat kesalahan yang kepalanya kosong) - hal 139.

2. Orang yang mengatakan Raca lebih bersalah dari pada orang yang marah (point no 1 di atas).

Sama seperti kemarahan, mengatakan Raca juga dinyatakan oleh Yesus sebagai pelanggaran terhadap hukum ke 6. Tetapi kalau ay 22a mengatakan bahwa orang yang marah ‘harus dihukum’ [NASB: ‘liable to the court’ (= bisa dihadapkan ke pengadilan)], maka ay 22b mengatakan bahwa orang yang mengatakan ‘Raca’ harus ‘dihadapkan ke Mahkamah Agama (Sanhedrin)’. Saya setuju dengan William Barclay yang mengatakan (hal 140) bahwa ini tidak boleh diartikan secara hurufiah. Artinya hanyalah bahwa tindakan yang kedua ini (ay 22b) merupakan dosa yang lebih besar dari pada tindakan pertama (ay 22a).

Penerapan: sekalipun pada waktu saudara marah secara salah saudara sudah berdosa, tetapi kalau bisa tetap tahanlah mulut saudara supaya tidak mengeluarkan kata-kata hinaan, karena ini akan membuat saudara jatuh ke dalam dosa yang lebih besar.

b) Mengatakan ‘jahil’ (ay 22c).

1. Kata ‘jahil’ ini jelas merupakan terjemahan yang salah.

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘fool’ (= bodoh / tolol).

Kata Yunani yang dipakai adalah MORE, dan Adam Clarke mengatakan (hal 71) bahwa mungkin itu berasal dari kata bahasa Ibrani MARAH, yang berarti ‘memberontak’ atau ‘murtad’. Jadi mungkin bisa diartikan sebagai ‘sesat’. Tetapi Clarke mengatakan bahwa ini hanya bersalah, kalau si penuduh / pemaki itu tidak bisa membuktikan tuduhan / makiannya tersebut.

Barclay mengatakan (hal 140) bahwa sekalipun kata Yunaninya bisa diartikan ‘bodoh’ / ‘tolol’, tetapi kalau kita menyebut seseorang dengan kata ini, maka artinya adalah bahwa orang itu ‘bodoh secara moral’. Ini berarti kita mencap orang tersebut sebagai orang yang tidak bermoral, dan dengan demikian merusak reputasi orang tersebut.

2. Mengatakan seseorang sebagai bodoh / tolol, tidak selalu merupakan dosa.

Dalam Mat 23:17 Yesus sendiri berkata kepada / tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi dengan kata-kata sebagai berikut: “Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu?”.

Kata Yunani yang digunakan dalam Mat 23:17 ini sama dengan yang digunakan dalam Mat 5:22, hanya saja dalam Mat 23:17 ini digunakan bentuk jamak.

Bandingkan juga dengan Luk 11:40 24:25 Ro 1:22 1Kor 15:36 2Kor 11:19 Gal 3:1 1Pet 2:15 dimana Yesus / rasul-rasul juga mengatakan seseorang sebagai ‘bodoh’. Tetapi dalam semua ayat-ayat ini, kata bahasa Yunaninya berbeda dengan yang digunakan dalam Mat 5:22 dan Mat 23:17.

Dari semua ini harus disimpulkan bahwa sama seperti marah, maka mengatakan ‘bodoh’ / ‘tolol’ hanya salah, kalau hal itu dilandasi kebencian atau emosi yang tidak terkendali.

3. Tindakan ini lebih berat lagi dosanya dari pada tindakan pertama (marah) dan kedua (mengatakan Raca), dan itu ditunjukkan oleh kata-kata ‘harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala’ (ay 22c).

Lagi-lagi saya setuju dengan Barclay yang mengatakan (hal 141) bahwa ini tidak boleh ditafsirkan secara hurufiah. Ini hanya menunjukkan bahwa tindakan mengatakan ‘bodoh’ ini merupakan dosa yang lebih besar dari pada mengatakan ‘Raca’.

Barclay: “Long-lasting anger is bad; contemptuous speaking is worse, and the careless or the malicious talk which destroys a man’s good name is worst of all” (= Kemarahan yang bertahan lama merupakan sesuatu yang buruk; mengucapkan sesuatu yang menghina merupakan sesuatu yang lebih buruk, dan kata-kata yang sembrono atau jahat yang menghancurkan nama baik seseorang adalah yang terburuk dari semua) - hal 141.

3) Adanya ‘ganjelan’ yang belum dibereskan dalam hati saudara kita terhadap kita (ay 23-24).

a) Apa yang dimaksud dengan ‘ganjelan’ itu?

William Hendriksen beranggapan (hal 300) bahwa ‘ganjelan’ itu tidak mungkin merupakan sesuatu yang remeh / kecil, karena kalau demikian, alangkah sedikitnya orang yang bisa berbakti kepada Allah. Jadi ia beranggapan bahwa ‘ganjelan’ itu haruslah sesuatu yang cukup penting / besar. Tetapi saya berpendapat bahwa kata-kata ini sukar dipraktekkan, karena besar atau kecil merupakan sesuatu yang relatif.

Selanjutnya Hendriksen membahas apakah orang yang mempunyai ganjelan terhadap kita itu harus benar, baru kita wajib melakukan ay 23-24 ini? Atau apakah sekalipun ia tidak benar, tetapi ia menyangka bahwa ia benar, kita tetap wajib melakukan ay 23-24 ini?

Hendriksen mengatakan bahwa Lenski berpendapat bahwa orang yang mempunyai ganjelan itu harus benar. Matthew Poole juga mengatakan (hal 23) bahwa orang itu harus mempunyai ‘just reason’ (= alasan yang benar).

Tetapi Hendriksen sendiri beranggapan bahwa kalaupun saudara kita itu salah, tetapi kalau ia mengira dirinya benar, sehingga ia mempunyai ganjelan terhadap kita, maka kita tetap harus mengusahakan perdamaian dengan dia (bukan minta maaf, tetapi menjelaskan / memberi pengertian kepadanya). Dan kelihatannya Pulpit Commentary mempunyai pandangan yang sama dengan Hendriksen.

Pulpit Commentary: “It is noteworthy that our Lord in this verse does not define on whose side the cause of the quarrel lies” (= Perlu diperhatikan bahwa Tuhan kita dalam ayat ini tidak mendefinisikan pada sisi siapa penyebab pertengkaran ini terletak) - hal 162.

Satu hal lain yang ingin saya tambahkan adalah: kalau kita disuruh berinisiatif untuk membereskan suatu ‘ganjelan’ yang ada dalam diri saudara kita, apalagi kalau ‘ganjelan’ itu ada dalam diri kita sendiri! Adakah saudara seiman / orang di sekitar saudara terhadap siapa saudara mempunyai ‘ganjelan’? Bawa itu kepada Tuhan, dan bereskan! Bahkan mungkin sekali untuk membereskan hal itu, saudara harus datang kepada orang tersebut, dan membicarakannya!

b) Mengapa hal seperti ini dihubungkan oleh Yesus dengan hukum ke 6?

D. Martyn Lloyd-Jones: “the commandment not to kill really means we should take positive steps to put ourselves right with our brother” (= perintah untuk tidak membunuh berarti bahwa kita harus mengambil langkah-langkah yang positif untuk meluruskan / memperbaiki hubungan kita dengan saudara kita) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 227.

c) Kata ‘persembahan’ / ‘memberikan persembahan’ (ay 23,24).

Calvin beranggapan (hal 287) bahwa kata ‘persembahan’ merupakan suatu synecdoche (= gaya bahasa dimana ‘sebagian’ mewakili ‘seluruhnya’), dan menunjuk pada ibadah / kebaktian yang kita lakukan terhadap Allah.

Matthew Poole: “It is a text usually applied with reference to communion with God in the Lord’s supper, but equally extensive to any other part of worship, hearing the word, James 1:21, and prayer, 1Tim 2:8” (= Ini merupakan text yang biasanya diterapkan berkenaan dengan persekutuan dengan Allah dalam Perjamuan Kudus, tetapi juga mencakup lebih luas pada bagian lain dari ibadah / kebaktian, mendengar firman, Yak 1:21, dan doa, 1Tim 2:8) - hal 23.

Yak 1:19-21 - “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah. Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu”.

1Tim 2:8 - “Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan”.

Bandingkan juga dengan ayat-ayat di bawah ini:

· Yes 1:15 - “Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan mukaKu, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah”.

· Yes 58:3-4 - “‘Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?’ Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Dengan caramu berpuasa seperti sekarang ini suaramu tidak akan didengar di tempat tinggi”.

D. Martyn Lloyd-Jones: “In the sight of God there is no value whatsoever in an act of worship if we harbour a known sin. ... If I, in the presence of God, and while trying to worship God actively, know there is sin in my heart which I have not dealt with and confessed, my worship is useless. There is no value in it at all” (= Dalam pandangan Allah ibadah itu tidak mempunyai nilai apapun jika kita mempunyai / menyembunyikan dosa yang diketahui. ... Jika saya, di hadapan Allah, sedang berusaha untuk menyembah / berbakti kepada Allah secara aktif, tahu bahwa ada dosa dalam hati saya yang belum saya tangani dan akui, ibadah saya tidak berguna. Itu sama sekali tidak mempunyai nilai) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 228.

D. Martyn Lloyd-Jones: “If you are in a state of conscious enmity against another, if you are not speaking to another person, or if you are harbouring these unkind thoughts and are a hindrance and an obstacle to that other, God’s Word assures you that there is no value in your attempted act of worship” (= Jika engkau ada dalam keadaan permusuhan yang disadari terhadap orang lain, jika engkau tidak mau berbicara dengan seorang yang lain, atau jika engkau mempunyai / menyembunyikan pikiran-pikiran yang tidak baik ini dan hal itu merupakan suatu halangan dan rintangan terhadap orang lain itu, Firman Allah meyakinkanmu bahwa tidak ada nilai dalam usahamu untuk beribadah / berbakti) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 228.

D. Martyn Lloyd-Jones: “There is no value or purpose in praying to God if you know in your own heart that you are not right with your brother. It is impossible for God to have any dealings with sin and iniquity. He is of such a pure countenance that He cannot even look upon it. According to our Lord the matter is so vital that you must even interrupt your prayer, you must, as it were even keep God waiting. Go and put it right, He says; you cannot be right with God until you put yourself right with man” (= Tidak ada nilai atau kegunaan dalam berdoa kepada Allah jika engkau tahu dalam hatimu sendiri bahwa engkau tidak benar / beres dengan saudaramu. Adalah mustahil bagi Allah untuk mempunyai hubungan / urusan dengan dosa dan kejahatan. Ia mempunyai wajah yang begitu murni sehingga Ia bahkan tidak bisa memandangnya. Menurut Tuhan kita persoalan itu begitu penting sehingga engkau harus menginterupsi doamu, bahkan engkau seakan-akan harus membiarkan Allah menunggu. Pergilah dan bereskanlah, kataNya; engkau tidak bisa beres dengan Allah kecuali engkau membereskan dirimu sendiri dengan manusia) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 228-229.

Calvin: “But if the worship, which men render to God, is polluted and corrupted by their resentments, this enables us to conclude, in what estimation he holds mutual agreement among ourselves” (= Tetapi jika ibadah / kebaktian, yang dilakukan manusia kepada Allah, dikotori dan dirusak oleh kebencian / kemarahan / kesebalan / ketidak-senangan, ini menyebabkan kita bisa menyimpulkan bagaimana Ia menilai persetujuan / persesuaian satu sama lain di antara kita sendiri) - hal 286.

d) Ini tidak berarti bahwa hubungan dengan manusia lebih penting dari pada hubungan dengan Allah.

Knox Chamblin: “The point is not that human relationships are more important than the worship of God, but that these two are inextricably bound together (the one inevitably affects the other)” [= Maksudnya bukan bahwa hubungan dengan manusia lebih penting dari pada ibadah / kebaktian kepada Allah, tetapi bahwa kedua hal ini terikat menjadi satu secara tak terpisahkan (yang satu secara tak terhindarkan mempengaruhi yang lain)] - hal 41.

e) Inisiatif untuk membereskan ganjelan ini jelas bukan hal yang gampang. Ini membutuhkan kerendahan hati dan penyangkalan diri!

f) Bagaimana kalau kita sudah mengusahakan perdamaian secara benar, tetapi orang tersebut tidak mau berdamai?

Pulpit Commentary: “The Christian can never excuse himself by saying, ‘My brother will not be reconciled to me.’ He must be; and the Christian must not rest until he is. The burden of right relations rests on him” (= Orang kristen tidak pernah bisa beralasan dengan berkata: ‘Saudaraku tidak mau diperdamaikan dengan aku’. Ia harus; dan orang kristen itu tidak boleh berhenti sampai ia mau. Beban dari hubungan yang benar ada pada orang kristen itu) - hal 225.

Saya berpendapat bahwa kata-kata ini salah. Clarke mengatakan (hal 72) bahwa kalau kita sudah berusaha untuk berdamai, tetapi orang itu tidak mau, maka itu tidak akan menghalangi ibadah kita kepada Allah. Bdk. Ro 12:18 - “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!”.

Calvin: “so long as a difference with our neighbour is kept up by our fault, we have no access to God” (= selama suatu perbedaan dengan sesama kita dipelihara / dipertahankan oleh kesalahan kita, kita tidak mempunyai akses kepada Allah) - hal 286.

4) Ada hutang yang belum dibayar (Matius 5: 25-26).

a) Gambaran yang mustahil?

Mungkin orang-orang yang suka mencari-cari kesalahan Kitab Suci untuk menyerang Kitab Suci, akan menyerang bagian ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Mana ada 2 orang yang mau ‘bertempur’ dalam pengadilan lalu berjalan ke pengadilan bersama-sama? Memang ini kelihatannya tidak masuk akal untuk kita pada jaman ini, tetapi pada jaman itu di sana, hal itu merupakan sesuatu yang bisa terjadi.

Barclay: “The picture of two opponents on the way to court together seems to us very strange, and indeed rather improbable. But in the ancient world it often happened. Under Greek law there was a process of arrest called APAGOGE, which means ‘summary arrest’. In it the plaintiff himself arrested the defendant. He caught him by his robe at the throat, and held the robe in such a way that, if the man struggled, he would strangle himself” (= Gambaran tentang dua lawan dalam perjalanan ke pengadilan bersama-sama kelihatan sangat aneh bagi kita, dan bahkan mustahil. Tetapi dalam dunia kuno itu sering terjadi. Di bawah hukum Yunani ada suatu proses penangkapan yang disebut APAGOGE, yang berarti ‘penangkapan cepat’. Dalam penangkapan ini sang penuntut sendiri menangkap terdakwa. Ia menangkapnya di bagian leher dari jubahnya, dan memegang jubah itu sedemikian rupa sehingga jika orang itu berontak, ia akan mencekik dirinya sendiri) - hal 144.

Bdk. Mat 18:28-30 - “Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya”.

b) Penafsiran rohani atau hurufiah?

Calvin mengatakan bahwa bagian ini sering ditafsirkan secara rohani, dimana ‘hakim’ diartikan menunjuk kepada ‘Allah’.

Calvin juga mengatakan (hal 288-289) bahwa Gereja Roma Katolik menafsirkan ‘penjara’ sebagai ‘api penyucian’, dan orang tak akan keluar dari penjara / api penyucian sampai ia membayar lunas dosa-dosanya. Yang dimaksud dengan ‘lawan’ adalah ‘setan’, dan Calvin lalu mengatakan bahwa kalau bagian ini mau ditafsirkan demikian, maka karena ayat ini menyuruh kita berdamai dengan lawan kita, maka itu harus diartikan bahwa kita harus berdamai dan menjadi teman dengan setan.

Calvin sendiri tidak setuju dengan penafsiran yang merohanikan seperti itu, dan mengatakan bahwa bagian ini harus ditafsirkan secara hurufiah, dan jelas bahwa pandangan Calvin ini benar.

c) Kontras dan persamaan.

Ada kontras antara ay 22-24 dengan ay 25-26. Yang pertama berurusan dengan ‘saudaranya’ (ay 22) / ‘saudaramu’ (ay 23), dan yang kedua berurusan dengan ‘lawanmu’ (ay 25).

Tetapi juga ada persamaan antara ay 23-24 dengan ay 25-26, yaitu ada ganjelan dalam diri orang tersebut terhadap kita, dan ini harus dibereskan. Persamaan yang lain adalah bahwa dalam kedua kasus, persoalannya harus dibereskan dengan secepatnya.

Barclay: “When personal relations go wrong, in nine cases out of ten immediate action will mend them; but if that immediate action is not taken, they will continue to deteriorate, and the bitterness will spread in an ever-widening circle” (= Pada waktu hubungan pribadi rusak, dalam 9 dari 10 kasus, tindakan langsung / segera akan memperbaikinya; tetapi jika tindakan langsung / segera itu tidak dilakukan, hubungan itu akan terus memburuk, dan kepahitan akan menyebar makin lama makin luas) - hal 145.

d) Hutang yang tidak dibayar jelas akan merupakan suatu ganjelan dalam diri orang yang memberi hutang, dan karena itu orang kristen harus secepatnya membereskan hutangnya.

Sebetulnya berhutang saja sudah merupakan sesuatu yang memalukan, apalagi kalau berhutang dan tidak membayar hutangnya. Kitab Suci menggambarkan orang yang berhutang dan tidak membayar kembali sebagai orang fasik.

Maz 37:21a - “Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali”.

e) Jangan menggunakan text ini sebagai dasar untuk membolehkan orang kristen membereskan perkara pidana di luar sidang.

Ingat bahwa yang dipersoalkan dalam ay 25-26 adalah persoalan hutang, yang jelas merupakan suatu persoalan perdata. Jadi, yang boleh / harus dibereskan di luar sidang / sebelum sidang ini hanyalah perkara perdata. Perkara pidana tidak boleh didamaikan seperti itu.
Kesimpulan / penutup.

Tuhan menghendaki kita mempunyai hubungan yang baik dengan sesama, dan juga pemberesan semua ganjelan. Memang ini tidak mudah, tetapi akan menjadi lebih mudah jika semua pihak mau berusaha melaksanakan kehendak Tuhan ini. Maukah saudara? Tuhan memberkati saudara.

-o0o-

Matius 5:27-30
I) Perzinahan dalam hati / pikiran.

1) Kesalahan penafsiran hukum ke 7.

Tentang ay 27 Calvin berkata (hal 290) bahwa sekalipun Kristus mengutip kata-kata dari hukum Taurat tetapi Ia bukan menyalahkan hukum Taurat, tetapi penafsiran yang salah tentang hukum Taurat. Sama seperti dengan hukum yang ke 6 (Mat 5:21-26), pada saat itu pelanggaran hukum ke 7 ini baru dianggap terjadi kalau betul-betul terjadi perzinahan fisik.

Kesalahan penafsiran ini sudah terjadi untuk waktu yang lama, tetapi Calvin mengatakan (hal 290) bahwa lamanya suatu kesalahan tidak boleh menjadi alasan bagi kita untuk mendukung kesalahan tersebut.

2) Perzinahan tidak hanya bisa terjadi secara fisik, tetapi juga dalam hati / pikiran kita.

A. T. Robertson mengatakan (hal 45-46) bahwa kata ‘hati’ di sini bukan hanya mempersoalkan emosi / perasaan, tetapi mencakup intelek / pikiran, perasaan, dan kehendak.

Calvin: “He says, that not only those who have seduced their neighbours’ wives, but those who have polluted their eyes by an immodest look, are adulterers before God” (= Ia berkata bahwa bukan hanya mereka yang menggoda istri dari sesamanya, tetapi juga mereka yang mengotori mata mereka dengan pandangan yang tidak sopan, adalah pezinah-pezinah di hadapan Allah) - hal 290.

Calvin: “not only those who form a deliberate purpose of fornication, but those who admit any polluted thoughts, are reckoned adulterers before God” (= bukan hanya mereka yang membentuk tujuan percabulan yang sengaja, tetapi juga mereka yang mengijinkan pikiran kotor, dianggap sebagai pezinah-pezinah di hadapan Allah) - hal 290.

Bagian ini dipakai oleh Calvin untuk menyerang pandangan Roma Katolik.

Calvin: “The hypocrisy of the Papist, therefore, is too gross and stupid, when they affirm that lust is not a sin, until it gain the full consent of the heart. But we need not wonder, that they make sin to be so small a matter; for those who ascribe righteousness to the merit of works must be very dull and stupid in judging their sins” (= Karena itu, kemunafikan dari para pengikut Paus adalah terlalu menyolok dan bodoh, pada waktu mereka menegaskan bahwa nafsu bukanlah dosa, sampai nafsu itu mendapatkan persetujuan penuh dari hati. Tetapi kita tidak perlu heran, bahwa mereka membuat dosa menjadi persoalan yang begitu kecil; karena mereka yang mempercayai kebenaran karena perbuatan baik pasti sangat tumpul dan bodoh dalam menghakimi / menilai dosa-dosa mereka) - hal 290-291.

Adam Clarke: “If voluntary and deliberate looks and desires make adulterers and adulteresses, how many persons are there whose whole life is one continued crime! whose eyes being full of adultery, they cannot cease from sin, 2Pet. 2:14. Many would abhor to commit one external act before the eyes of men, in a temple of stone; and yet they are not afraid to commit a multitude of such acts in the temple of their hearts, and in the sight of God!” (= Jika pandangan dan keinginan sukarela dan sengaja membuat orang menjadi pezinah-pezinah, betapa banyak orang yang seluruh hidupnya merupakan satu kejahatan yang terus menerus! yang matanya penuh dengan perzinahan, mereka tidak bisa berhenti dari dosa, 2Pet 2:14. Banyak orang benci untuk melakukan satu tindakan lahiriah di hadapan mata manusia, dalam suatu kuil dari batu; tetapi mereka tidak takut untuk melakukan banyak tindakan seperti itu dalam kuil dari hati mereka, dan dalam pandangan Allah) - hal 73.

Bdk. 2Pet 2:14 - “Mata mereka penuh nafsu zinah dan mereka tidak pernah jemu berbuat dosa. Mereka memikat orang-orang yang lemah. Hati mereka telah terlatih dalam keserakahan. Mereka adalah orang-orang yang terkutuk!”.

3) Ayat ini memang lebih ditekankan untuk laki-laki, sekalipun tentu juga berlaku untuk perempuan.

Matius 5: 27-28 - “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”.

Kata-kata ‘setiap orang yang memandang’ dalam bahasa Yunaninya menggunakan bentuk masculine / laki-laki.

Mengapa ditekankan pada laki-laki? Karena pada umumnya orang perempuan baru terangsang melalui sentuhan, sedangkan orang laki-laki sudah terangsang melalui penglihatan.

4) Sebetulnya, sama seperti dengan hukum ke 6 (Mat 5:22b), hukum ke 7 ini juga bisa dilanggar dengan kata-kata.

Ini tidak dinyatakan di sini, tetapi ada dalam:

· Ef 4:29 - “Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia”. Bdk. Kol 3:8.

· Ef 5:3-4 - “Tetapi percabulan dan rupa-rupa kecemaran atau keserakahan disebut sajapun jangan di antara kamu, sebagaimana sepatutnya bagi orang-orang kudus. Demikian juga perkataan yang kotor, yang kosong atau yang sembrono - karena hal-hal ini tidak pantas - tetapi sebaliknya ucapkanlah syukur”.

Penerapan: ini harus diperhatikan oleh orang yang senang dengan guyonan / lelucon ataupun percakapan yang berbau porno dan bersifat erotis / membangkitkan nafsu.
II) Cara mengatasi dosa ini.

Tuhan jelas menghendaki kita membuang dosa ini, dan itu terlihat dari Kol 3:5 - “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala”.

Bagaimana cara membuang dosa ini?

1) Matius 5: 29-30: “(29) Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. (30) Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka”.

Bdk. Mat 18:8-9 - “Jika tanganmu atau kakimu menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan tangan kudung atau timpang dari pada dengan utuh kedua tangan dan kedua kakimu dicampakkan ke dalam api kekal. Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua”.

Ada beberapa hal yang perlu dibahas dari text tersebut di atas:

a) Kata ‘menyesatkan’.

KJV: ‘offend’.

Barnes’ Notes: “The English word ‘offend’ means now, commonly, to displease; to make angry; to affront. This is by no means the sense of the word in Scripture. It means, to cause to fall, or to allure, into sin” (= Kata bahasa Inggris ‘offend’ sekarang pada umumnya berarti, ‘membuat tidak senang’, ‘membuat marah’, ‘menghina’. Ini sama sekali bukanlah arti dari kata itu dalam Kitab Suci. Kata itu berarti ‘menyebabkan jatuh’, atau ‘memikat ke dalam dosa’) - hal 25.

NKJV/RSV/NIV: ‘causes you to sin’ (= menyebabkan kamu berdosa).

NASB: ‘makes you to stumble’ (= membuat kamu tersandung).

b) Arti dari ungkapan ‘mencungkil mata kanan’ dan ‘memenggal tangan kanan’.

Adam Clarke mengatakan (hal 73) bahwa ‘mata kanan’ dan ‘tangan kanan’ menunjuk pada dosa-dosa yang paling menyenangkan dan paling berguna bagi kita.

William Hendriksen: “This command must not be taken literally, ... The general meaning of the passage, then, is this: ‘Take drastic action in getting rid of whatever in the natural course of events will tempts you into sin.’” (= Perintah ini tidak boleh diartikan secara hurufiah, ... Maka, arti yang umum dari text ini adalah ini: ‘Ambillah tindakan drastis untuk membuang apapun yang secara alamiah akan mencobai engkau ke dalam dosa’) - hal 303.

John Stott: “A few Christian, whose zeal greatly exceeded their wisdom, have taken Jesus au pied de la lettre and mutilated themselves. Perhaps the best-known example is the third-century scholar, Origen of Alexandria. He went to extremes of asceticism, renouncing possessions, food and even sleep, and in an over-literal interpretation of this passage and of Matthew 19:12 actually made himself a eunuch. Not long after, in AD 325, the Council of Nicea was right to forbid this barbarous practice” (= Beberapa orang kristen, yang semangatnya jauh melebihi hikmatnya, mengartikan kata-kata Yesus secara hurufiah dan membuntungi dirinya sendiri. Mungkin contoh yang paling terkenal adalah ahli teologia abad ketiga, Origen dari Alexandria. Ia memasuki ke-extrim-an dari pertapaan, meninggalkan / membuang semua miliknya, makanan dan bahkan tidur, dan dalam suatu penafsiran yang kelewat hurufiah dari text ini dan Mat 19:12, ia betul-betul membuat dirinya seorang sida-sida / orang yang dikebiri. Tidak lama setelahnya, dalam tahun 325 M., sidang gereja di kota Nicea dengan benar melarang praktek kejam / biadab ini) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 89.

John Stott memberikan penafsiran tentang ay 29-30 ini sebagai berikut: kalau matamu menyebabkan engkau berdosa karena ada pencobaan datang kepadamu melalui matamu, maka ‘cungkillah matamu’. Artinya: jangan melihatnya. Berlakulah seakan-akan engkau betul-betul telah mencungkil matamu dan membuangnya, dan sekarang engkau buta dan tidak bisa melihat hal itu. Demikian juga kalau pencobaan datang melalui tangan atau kaki. Penggallah tangan / kakimu. Artinya: Jangan lakukan hal itu / jangan pergi ke sana. Berlakulah seakan-akan engkau betul-betul telah memenggal tangan / kakimu, sehingga engkau tidak bisa melakukan hal itu / pergi ke sana.

Calvin: “you ought rather to part with your eyes, than to depart from the commandments of God.’ And yet Christ does not mean, that we must mutilate our body, in order to obey God: ... Christ employs an exaggerated form of speech to show, that whatever hinders us from yielding that obedience to God which he requires in his law, ought to be cut off” (= engkau harus memilih untuk berpisah dengan matamu dari pada berpisah dari perintah-perintah Allah’. Tetapi Kristus tidak memaksudkan bahwa kita harus membuntungi tubuh kita, supaya bisa mentaati Allah: ... Kristus menggunakan ungkapan yang melebih-lebihkan untuk menunjukkan bahwa apapun yang menghalangi kita dari penyerahan dan ketaatan kepada Allah yang Ia kehendaki dalam hukumNya, harus dibuang) - hal 291.

Ay 29,30: ‘cungkillah dan buanglah itu ... penggallah dan buanglah’.

Adam Clarke: “It is not enough to shut the eyes, or stop the hand; the one must be plucked out, and the other cut off. Neither is this enough, we must cast them both from us. Not one moment’s truce with an evil passion, or a sinful appetite. If you indulge them, they will gain strength, and you shall be ruined” (= Tidak cukup untuk menutup mata, atau menghentikan tangan; yang satu harus dicungkil, dan yang lain dipenggal. Ini juga belum cukup, kita harus membuang mereka dari kita. Jangan sesaatpun mengadakan gencatan senjata dengan nafsu jahat atau keinginan yang berdosa. Jika engkau memuaskan mereka, mereka akan mendapatkan kekuatan, dan engkau akan hancur) - hal 74.

Memang jelas bahwa penafsiran hurufiah tidak memungkinkan, karena kalaupun mata / tangan kanan dibuang, kita masih bisa berdosa dengan mata / tangan kiri, dan kalaupun mata / tangan kiri dibuang, kita masih bisa berdoa dengan pikiran kita. Tetapi perhatikan apa yang dikatakan oleh seorang penafsir dari Pulpit Commentary di bawah ini.

Pulpit Commentary: “The ideas of this verse are expressed in the strong language of Oriental imagery, and yet a moment’s reflection will show us that the language is not a whit too strong, even if it is interpreted with strict literalness. If it came to a choice between plucking out an eye and death, every man who had courage enough to perform the hideous deed would at once choose it as the less terrible alternative. Every day hospital patients submit to frightful operation to save their lives or to relieve intolerable sufferings. But if to the thought of death we add the picture of the doom of the lost, the motives for choosing the lesser evil are immeasurably strengthened. ... The difficulty, then, is not as to the truth of our Lord’s words, but as to the application of them. ... As a matter of fact, self-mutilation is not the right method of avoiding temptation. If it were the sole method, it would be prudent to resort to it. But, as God has provided other ways, only a wild delusion will resort to this. Moreover, if lust is in the heart, it will not be destroyed by plucking out the eye. If hatred reigns within the enraged man, he is essentially a murderer, even after he has cut off the hand with which he was about to commit his awful crime. Still, whatever is most near to us and hinders our Christian life, must go - any friendship, though dear as the apple of the eye; any occupation, though profitable as the right hand” (= Maksud dari ayat ini dinyatakan dalam bahasa perumpamaan Timur yang kuat / keras, tetapi suatu pemikiran yang singkat akan menunjukkan kepada kita bahwa bahasa itu tidak sedikitpun terlalu kuat / keras, bahkan jika itu ditafsirkan dengan kehurufiahan yang ketat. Jika sampai pada suatu pemilihan antara pencungkilan mata dan kematian, setiap orang yang mempunyai keberanian yang cukup untuk melakukan tindakan mengerikan itu akan segera memilihnya sebagai suatu alternatif yang kurang mengerikan (dibandingkan dengan kematian). Setiap hari pasien-pasien rumah sakit tunduk pada operasi yang menakutkan untuk menyelamatkan nyawa mereka atau untuk meringankan penderitaan yang tak tertahankan. Tetapi jika kepada pemikiran tentang kematian kita menambahkan gambaran tentang nasib / hukuman bagi orang yang terhilang, maka motivasi untuk memilih pemotongan / pencungkilan itu akan sangat dikuatkan. ... Jadi, kesukarannya bukanlah berkenaan dengan kebenaran dari kata-kata Tuhan kita, tetapi berkenaan dengan penerapan dari kata-kata itu. ... Sebetulnya, pembuntungan diri sendiri bukanlah metode yang benar untuk menghindari pencobaan. Seandainya itu merupakan satu-satunya metode, maka merupakan sesuatu yang bijaksana untuk mengambil jalan itu. Tetapi, karena Allah telah menyediakan jalan-jalan yang lain, hanya khayalan yang liar yang akan mengambil jalan ini. Lagi pula, jika nafsu itu ada dalam hati, itu tidak akan dihancurkan dengan mencungkil mata. Jika kebencian berkuasa dalam diri orang yang sangat marah, maka secara hakiki ia adalah seorang pembunuh, bahkan setelah ia memotong tangan dengan mana ia mau melakukan kejahatannya yang hebat itu. Tetapi, apapun yang paling dekat dengan kita dan menghalangi kehidupan kristen kita, harus dibuang - persahabatan yang manapun, sekalipun kita sayangi seperti biji mata kita; pekerjaan apapun, sekalipun berguna seperti tangan kanan kita) - hal 182.

2) Kita harus menjauhi godaan / pencobaan.

Calvin: “If the mind were pure, the eyes and hands would be obedient to it; for it is certain, that they have no movement of their own. But here we are deeply to blame. We are so far from being as careful as we ought to be, to avoid allurements, that we rather provoke our senses to wickedness by allowing them unbounded liberty” (= Seandainya pikiran kita murni, mata dan tangan akan taat kepadanya; karena adalah pasti bahwa mereka tidak mempunyai pergerakan dari diri mereka sendiri. Tetapi di sini kita harus sangat dicela / disalahkan. Kita sangat jauh dari sikap hati-hati yang seharusnya untuk menghindari pikatan / godaan, tetapi sebaliknya kita memancing / merangsang pikiran kita pada kejahatan dengan mengijinkannya pada kebebasan tanpa batas) - hal 291.

Dalam doa Bapa Kami ada kata-kata ‘janganlah membawa kami ke dalam pencobaan’ (Mat 6:13a). Kita sering berdoa seperti itu, tetapi dalam tindakan kita kita justru mencari pencobaan, dengan tidak membatasi mata / telinga kita. Jadi, tindakan kita bertentangan dengan doa kita!

Bdk. Ayub 31:1,7,9-11 - “(1) ‘Aku telah menetapkan syarat bagi mataku, masakan aku memperhatikan anak dara? ... (7) Jikalau langkahku menyimpang dari jalan, dan hatiku menuruti pandangan mataku, dan noda melekat pada tanganku, ... (9) Jikalau hatiku tertarik kepada perempuan, dan aku menghadang di pintu sesamaku, (10) maka biarlah isteriku menggiling bagi orang lain, dan biarlah orang-orang lain meniduri dia. (11) Karena hal itu adalah perbuatan mesum, bahkan kejahatan, yang patut dihukum oleh hakim”.

John Stott mengomentari text Ayub ini dengan berkata: “The control of his heart was due to the control of his eyes” (= Kontrol dari hatinya disebabkan oleh kontrol dari matanya) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 88.

John Stott mengatakan bahwa ia tidak mau memberikan peraturan / batasan tentang buku / majalah apa yang boleh atau tidak boleh dibaca oleh orang kristen. Ia berkata bahwa setiap orang berbeda. Ada orang-orang yang sangat mudah terangsang dan ada yang tidak. Jadi batasan untuk setiap orang berbeda. Yang jelas, apa yang menyebabkan berdosa / perzinahan dalam hati bagi dia, itu dilarang.

Pulpit Commentary: “Sex is the spirit of the modern dance” (= Sex merupakan roh / semangat / ciri dari dansa modern) - hal 216.

Tidak semua dansa termasuk dalam golongan ini, dan karena itu kita tidak bisa secara mutlak melarang orang kristen berdansa atau melihat dansa. Tetapi jelas bahwa orang kristen harus hati-hati dengan dansa. Banyak ‘dance group’ yang disewa pada acara penikahan, yang mempertontonkan tarian yang jelas-jelas merangsang, dan ini harus diwaspadai oleh orang kristen pada waktu mengadakan pernikahan.

Juga permainan-permainan pada acara HUT banyak yang berbau porno, dan sangat memungkinkan terjadinya rangsangan pada seseorang. Misalnya memasukkan sesuatu ke dalam kantong celana seorang cowok, dan menyuruh seorang cewek yang matanya ditutup untuk mencari dan mengambil barang tersebut. Dan permainan seperti ini yang disenangi!

Kalau orang laki-laki harus menjauhi godaan / pencobaan, maka para perempuan, khususnya para gadis, juga harus berusaha supaya diri mereka tidak menjadi godaan / pencobaan bagi para laki-laki, yaitu dengan berhati-hati dalam berpakaian.

John Stott: “This may be an appropriate moment to refer in passing to the way girls dress. It would be silly to legislate about fashions, but wise (I think) to ask them to make this distinction: it is one thing to make yourself attractive; it is another to make yourself deliberately seductive” (= Ini mungkin merupakan saat yang tepat untuk membicarakan cara gadis-gadis berpakaian. Adalah tolol untuk mengatur / membuat peraturan tentang mode, tetapi saya kira merupakan sesuatu yang bijaksana untuk meminta mereka membuat pembedaan ini: membuat dirimu sendiri menarik berbeda dengan secara sengaja membuat dirimu menggoda / menggairahkan) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 88.

Catatan: saya berpendapat bahwa kata ‘menarik’ dan ‘menggoda’ / ‘menggairahkan’ yang digunakan oleh John Stott juga merupakan istilah-istilah yang relatif, karena berbeda untuk setiap orang. Tetapi memang ada pakaian yang jelas tergolong ‘menggoda’ / ‘menggairahkan’, seperti misalnya pakaian yang dipakai oleh para cewek dalam film ‘Baywatch’, dan banyak film lainnya.

Bukan hanya cara berpakaian, tetapi juga cara duduk dari para gadis, harus diperhatikan, supaya tidak menjadi pencobaan bagi para laki-laki.

3) Kita harus menyibukkan diri dengan pelayanan dan mengisi pikiran kita dengan hal-hal yang baik.

William Barclay mengatakan (hal 148,149) bahwa cara yang salah untuk mengatasi dosa ini adalah dengan mengambil keputusan untuk tidak memikirkan pikiran-pikiran kotor tersebut, karena makin kita memutuskan seperti itu, makin kita memikirkan hal-hal tersebut. Ada 2 hal yang harus dilakukan untuk mengatasi problem tersebut:

· dengan melakukan tindakan-tindakan Kristen. Hidup kita harus dipenuhi dengan pekerjaan dan pelayanan Kristen sehingga tidak ada waktu bagi pikiran-pikiran kotor untuk masuk ke dalam otak kita.

Bandingkan dengan:

* Kej 4:7 - “Apakah mukamu tidak akan berseri, jika engkau berbuat baik? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.’”.

* 2Sam 11:1-2 - Daud jatuh dalam perzinahan gara-gara menganggur dan tidak ikut berperang.

· dengan mengisi otak kita dengan pikiran-pikiran yang baik.

Fil 4:8 - “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu”.


Tentu saja, hal baik yang terutama yang perlu / harus kita masukkan ke dalam pikiran kita, adalah Firman Tuhan! Karena itu, rajinlah belajar Firman Tuhan.

4) Doa, jelas merupakan sesuatu yang juga harus dilakukan untuk mengatasi dosa ini.

Maz 119:37a - “Lalukanlah mataku dari pada melihat hal yang hampa”.

Kalau dosa ini memang merupakan kelemahan saudara, maka banyaklah berdoa untuk hal ini!

-o0o-

Matius 5:31-32

I) Perceraian pada jaman Yesus.

1) Yang diucapkan Yesus dalam Matius 5: 31 lagi-lagi merupakan ajaran ahli-ahli Taurat tentang Perjanjian Lama.

Ay 31: “Telah difirmankan juga: Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya”.

NASB: “And it was said, ‘Whoever sends his wife away, let him give her a certificate of divorce’” (= Dan telah dikatakan: ‘Siapapun yang menceraikan istrinya, hendaklah ia memberinya surat cerai’).

2) Text Perjanjian Lama yang dipersoalkan.

Ul 24:1-4 - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, (4) maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”.

Pada jaman itu ada kontroversi / perdebatan antara Rabbi Shammai versus Rabbi Hillel. Mereka adalah 2 rabbi Yahudi yang bertentangan pendapat tentang syarat perceraian yang mereka tafsirkan dari Ul 24:1-4.

Catatan:

· perlu dicamkan bahwa sebetulnya Ul 24:1-4 sama sekali tidak memberikan ijin cerai ataupun syarat perceraian. Ul 24:1-4 itu hanya menekankan bahwa kalau seseorang menceraikan istrinya, dan istrinya itu lalu menjadi istri dari laki-laki lain, dan lalu pernikahan kedua itu juga putus, maka laki-laki pertama itu tidak boleh mengambil kembali perempuan itu menjadi istrinya lagi.

Secara implicit, bagian ini justru memperingatkan orang untuk tidak gampang-gampang bercerai, karena kalau suatu hari ia menyesal dan ingin rujuk, ia tidak bisa rujuk [kalau istri yang dicerai itu belum kawin lagi, maka rujuk diijinkan (1Kor 7:11), tetapi ia kalau sudah kawin lagi, rujuk tidak lagi dimungkinkan].

· kalaupun dalam prakteknya, Musa menyuruh seorang suami yang menceraikan istrinya untuk memberikan surat cerai, itu tidak berarti bahwa perceraian itu diijinkan. Perceraian tetap dilarang, tetapi diberikan peraturan kalau hal itu terjadi.

Bandingkan dengan Ul 21:15-17 - “‘Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya [KJV/Lit: ‘hated’ (= dibenci)], dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai, maka pada waktu ia membagi warisan harta kepunyaannya kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia memberikan bagian anak sulung kepada anak dari isteri yang dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang adalah anak sulung. Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan.’”.

Apakah text ini mengijinkan polygamy, dan lebih-lebih apakah text ini mengijinkan seorang yang melakukan polygamy itu mencintai seorang istri dan membenci istri yang lain? Tentu saja tidak, tetapi Tuhan tahu bahwa itu pasti akan terjadi, dan karena itu di sini Ia memberikan peraturan kalau hal itu terjadi.

· dalam hal ini perlu diwaspadai terjemahan yang salah dari KJV yang berbunyi sebagai berikut: ‘When a man hath taken a wife, and married her, and it come to pass that she find no favour in his eyes, because he hath found some uncleanness in her: then let him write her a bill of divorcement, and give it in her hand, and send her out of his house. And when she is departed out of his house, she may go and be another man’s wife. And if the latter husband hate her, and write her a bill of divorcement, and giveth it in her hand, and sendeth her out of his house; or if the latter husband die, which took her to be his wife; Her former husband, which sent her away, may not take her again to be his wife, after that she is defiled; for that is abomination before the LORD: and thou shalt not cause the land to sin, which the LORD thy God giveth thee for an inheritance’ (= Pada waktu seorang laki-laki telah mengambil seorang istri, dan menikah dengan dia, dan terjadilah bahwa ia tidak menyenangkan dalam matanya, karena ia telah menemukan suatu kenajisan dalam dia: maka hendaklah ia menuliskan surat perceraian, dan memberikannya ke tangannya, dan menyuruhnya keluar dari rumahnya. Dan pada waktu ia meninggalkan rumah itu, ia boleh pergi dan menjadi istri orang laki-laki lain. Dan jika suami yang belakangan ini membencinya, dan menulis baginya surat cerai, dan memberikannya kepadanya, dan mengusirnya dari rumahnya; atau jika suami yang belakangan ini, yang mengambilnya sebagai istri, mati; suaminya yang terdahulu, yang telah mengusirnya, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi istrinya, setelah ia dinajiskan; karena itu merupakan kekejian di hadapan TUHAN: dan engkau akan menyebabkan negeri, yang diberikan TUHAN Allahmu kepadamu sebagai warisanmu ini, berdosa).

Yang digaris-bawahi itu salah terjemahan. Kesalahan penterjemahan ini menyebabkan dalam KJV ini kelihatannya memang perceraian dan pernikahan lagi itu memang diijinkan, padahal dalam terjemahan. yang seharusnya tidaklah demikian. Dalam terjemahan dari NKJV (New King James Version) kesalahan ini sudah dibetulkan.

a) Rabbi Shammai menyoroti kata-kata ‘yang tidak senonoh’ dalam Ul 24:1.

KJV: ‘some uncleanness’ (= suatu kenajisan).

RSV/NASB: ‘some indecency’ (= ketidak-senonohan).

NIV: ‘something indecent’ (= sesuatu yang tidak senonoh).

Kelihatannya Barclay menganggap bahwa Rabbi Shammai berpendapat bahwa kata-kata ‘yang tidak senonoh’ dalam Ul 24:1 menunjuk pada perzinahan. Jadi ia berkata bahwa menurut rabbi Shammai perceraian diijinkan hanya kalau terjadi perzinahan.

Barclay tentang Mat 5:31-32: “Shammai and his school defined ‘some indecency’ as meaning unchastity and nothing but unchastity. ‘Let a wife be as mischievous as the wife of Ahab,’ they said, ‘she cannot be divorced except for adultery.’” (= Shammai dan kelompoknya mendefinisikan ‘yang tidak senonoh’ sebagai ‘ketidak-murnian’ / ‘perzinahan’ dan tidak ada yang lain kecuali ‘perzinahan’. ‘Biarlah seorang istri sama jahatnya seperti istri Ahab’, kata mereka, ‘ia tidak bisa diceraikan kecuali karena perzinahan’) - hal 152.

Catatan: saya tidak terlalu mengerti pandangan Barclay, karena kata ‘unchastity’ bisa diterjemahkan bermacam-macam. Tetapi dari bagian akhir kutipan itu, terlihat bahwa Barclay menganggapnya sebagai ‘perzinahan’. Yang ini tidak diragukan karena Barclay menggunakan kata ‘adultery’ yang memang berarti ‘perzinahan’.

Tasker kelihatannya mempunyai pandangan yang sama dengan Barclay, karena ia mengatakan sebagai berikut:

Tasker (Tyndale): “Jesus favoured the interpretation put on Deutronomy 24:1 by the stricter school of Jewish intrepreters” [= Yesus setuju / menyokong penafsiran tentang Ul 24:1 oleh kelompok / aliran yang lebih ketat dari penafsir Yahudi (maksudnya tentu saja adalah Shammai)] - hal 69.

Tetapi John Stott mempunyai pandangan berbeda. Menurutnya, Rabbi Shammai tidak menganggap hal itu sebagai suatu perzinahan, karena perzinahan diancam dengan hukuman mati, bukan dengan perceraian. Jadi, istilah itu dianggap menunjuk pada pelanggaran sexual, tetapi belum sampai pada perzinahan / persetubuhan.

John Stott: “‘something shameful’ (NEB, RSV) or ‘something indecent’ (NIV) in his wife. This cannot refer to adultery on her part, for this was punishable by death, not divorce. So what was it? During the first century B. C. the rival pharisaic parties led by Rabbi Shammai and Rabbi Hillel were debating this very thing. Shammai was strict and understood ‘something indecent’ (whose Hebrew root alludes to ‘nakedness’ or ‘exposure’) as a sexual offence of some kind which, though left undefined, fell short of adultery or promiscuity” [= ‘sesuatu yang memalukan’ (NEB, RSV) atau ‘sesuatu yang tidak senonoh’ (NIV) dalam diri istrinya. Ini tidak bisa menunjuk pada perzinahan karena perzinahan dijatuhi hukuman mati, bukan perceraian. Lalu itu menunjuk pada apa? Selama abad pertama S. M. kelompok-kelompok Farisi yang bersaingan dipimpin oleh Rabbi Shammai dan Rabbi Hillel memperdebatkan hal ini. Shammai sangat ketat dan mengartikan ‘yang tidak senonoh’ (yang akar kata bahasa Ibraninya menunjuk pada ‘ketelanjangan’ atau ‘pembukaan’) sebagai pelanggaran sexual yang sekalipun tidak didefinisikan, tetapi tidak sampai pada perzinahan atau persetubuhan] - ‘Involvement’, vol II, hal 164.

James Hurley mempunyai pandangan yang sama dengan John Stott, tetapi ia juga secara explicit mengatakan bahwa ada perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksudkan oleh rabbi Shammai.

James B. Hurley: “The school of Shammai took a much stricter stand. They understood Moses to permit divorce only for a ‘shameful thing’ or ‘indecency’ ... Scholars have debated the precise meaning of Moses’ phrase and Shammai’s use of it” (= Kelompok Shammai mengambil arti yang jauh lebih ketat. Mereka mengartikan Musa mengijinkan perceraian hanya karena ‘sesuatu yang memalukan’ atau ‘ketidak-senonohan’ ... Para penafsir berdebat tentang arti yang tepat dari ungkapan yang digunakan oleh Musa, dan penggunaan oleh Shammai terhadap ungkapan itu) - ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 97-98.

James B. Hurley: “The school of Shammai ... allowed divorce only for ‘a shameful thing’ or ‘an indecency’. It is difficult to tell what Shammai meant by the phrase. Many scholars have translated it as ‘unchastity’. By ‘unchastity’ some scholars meant ‘illicit sexual relations’; others meant ‘unbecoming behaviour’. The Talmudic rabbis seem to have similar uncertainty. In some text ‘an indecency’ is left to stand in its ambiguity. Elsewhere the rabbis add further explanations such as spinning in the street, going out ‘uncovered’, or not wearing enough clothes ... These actions were regarded as flagrant violations of marital propriety and as potentially seductive” [= Kelompok Shammai ... mengijinkan perceraian hanya karena ‘hal yang memalukan’ atau ‘suatu ketidak-senonohan’. Adalah sukar untuk mengatakan apa yang dimaksud Shammai dengan istilah ini. Banyak penafsir menterjemahkannya sebagai ‘unchastity’. Ada penafsir yang mengartikan kata ‘unchastity’ ini sebagai ‘hubungan sex yang haram’; dan penafsir-penafsir yang lain mengartikan ‘kelakuan yang tidak pantas’. Rabbi-rabbi dalam kitab Talmud kelihatannya mempunyai ketidak-pastian yang mirip. Dalam sebagian text kata-kata ‘an indecency’ / ‘suatu ketidak-senonohan’ itu dibiarkan dalam arti gandanya. Di tempat lain rabbi-rabbi menambahkan penjelasan-penjelasan lebih lanjut seperti berputar / pusing di jalan (?), pergi ke luar dengan telanjang, atau tidak mengenakan pakaian yang cukup ... Tindakan-tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran yang menyolok dari kesopanan pernikahan dan sebagai sangat memungkinkan untuk menggoda] - ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 100.

b) Rabbi Hillel menyoroti kata-kata ‘ia tidak menyukai lagi perempuan itu’ dalam Ul 24:1 dan lalu menafsirkan bahwa segala tindakan istri yang tidak menyenangkan suami boleh dijadikan alasan untuk menceraikan istri (termasuk tindakan yang remeh seperti menggosongkan makanan waktu masak, bicara terlalu keras sehingga terdengar oleh tetangga dsb).

Adam Clarke: “Rabbi Akiba said, ‘If any man saw a woman handsomer than his own wife, he might put his wife away; because it is said in the law, ‘If she find not favour in his eyes.’ Deut. 24:1” (= Rabbi Akiba berkata: ‘Jika ada orang yang melihat seorang perempuan yang lebih cantik dari istrinya sendiri, ia boleh menyingkirkan / menceraikan istrinya; karena dikatakan dalam hukum Taurat: ‘Jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu’. Ul 24:1) - hal 74.

Adam Clarke: “Josephus, the celebrated Jewish historian, ‘in his Life’, tells us, with the utmost coolness and indifference, ‘About this time I put away my wife, who had borne me three children, not being pleased with her manners.’” (= Josephus, ahli sejarah Yahudi yang terkenal, ‘dalam kehidupannya’, memberitahu kita, dengan sikap dingin dan acuh tak acuh, ‘Kira-kira pada saat ini aku menyingkirkan / menceraikan istriku, yang telah melahirkan bagiku 3 anak, karena aku tidak senang dengan kelakuannya’) - hal 74.

Jelas bahwa pandangan Hillel lebih banyak diterima, khususnya oleh orang laki-laki, dari pada pandangan Shammai! Ini, ditambah dengan fakta bahwa proses perceraian merupakan suatu proses yang sangat mudah, membuat pernikahan merupakan sesuatu yang sangat rawan / tidak aman.

Barclay: “The process of divorce was extremely simple. The bill of divorcement simply ran: ‘Let this be from me thy writ of divorce and letter of dismissal and deed of liberation, that thou mayest marry whatsoever man thou wilt.’ All that had to be done was to hand that document to the woman in the presence of two witnesses and she stood divorced” (= Proses perceraian sangat sederhana. Surat perceraian hanya berbunyi: ‘Inilah surat perceraianmu dariku dan surat pembebasan dan tindakan kemerdekaan, supaya engkau bisa menikahi siapapun yang engkau kehendaki’. Semua yang harus dilakukan adalah menyerahkan dokumen itu ke tangan perempuan itu di hadapan dua saksi dan perempuan itu sudah diceraikan) - hal 151.

Barclay: “Human nature being such as it is, it is easy to see which school would have the greater influence. In the time of Jesus divorce had grown easier and easier, so that a situation had arisen in which girls were actually unwilling to marry, because marriage was so insecure” (= Melihat keadaan manusia, adalah mudah untuk mengetahui pihak mana yang mempunyai pengaruh yang lebih besar. Pada jaman Yesus perceraian telah menjadi makin lama makin mudah, sehingga muncul suatu situasi dimana gadis-gadis betul-betul tidak mau menikah, karena pernikahan begitu ‘tidak pasti / aman’) - hal 152.

II) Ajaran Yesus tentang perceraian.

Ay 32: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.

Bdk. Mat 19:9 - “Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’”.

1) “Setiap orang yang menceraikan isterinya”.

Matius hanya mempersoalkan suami yang menceraikan istri, karena Matius menujukan Injilnya terutama untuk orang-orang Yahudi, dimana yang banyak terjadi adalah kasus suami menceraikan istri, dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Tetapi Markus yang menuliskan Injilnya kepada orang-orang non Yahudi, juga melarang istri menceraikan suaminya.

William Hendriksen: “Matthew was writing primarily to Jews, among whom the rejection of a wife by her husband was well-known, but not vice-versa. Mark, writing to Gentiles, includes both possibilities (10:11,12). But naturally Matt. 5:32 applies to the wife who ‘puts away’ her husband as well as to the husband who does the same to his wife” [= Matius menulis terutama kepada orang-orang Yahudi, di antara siapa penolakan seorang istri oleh suaminya merupakan sesuatu yang terkenal, tetapi tidak sebaliknya. Markus, menulis kepada orang-orang non Yahudi, mencakup kedua kemungkinan (10:11,12). Tetapi tentu saja Mat 5:32 berlaku bagi istri yang menceraikan suaminya sama seperti bagi suami yang melakukan hal yang sama terhadap istrinya] - hal 305 (footnote).

Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.

2) Kalimat perkecualian: ‘kecuali karena zinah’.

Ada macam-macam pandangan tentang bagian ini.

a) Ada yang menganggap kalimat perkecualian ini sebagai tidak sah, karena Markus dan Lukas tidak mempunyainya.

Barclay: “It is now that we are face to face with one of the most real and most acute difficulties in the New Testament. ... The difficulty is - and there is no escaping it - that Mark and Matthew report the words of Jesus differently. ... both Mark and Luke make the prohibition of divorce absolute; with them there are no exceptions whatsoever. But Matthew has one saving clause - divorce is permitted on the ground of adultery. ... In the last analysis we must choose between Matthew’s version of this saying and that of Mark and Luke. We think there is little doubt that the version of Mark and Luke is right. ... Matthew’s saving clause is a later interpretation inserted in the light of the practice of the Church when he wrote” (= Sekarang kita berhadapan dengan salah satu dari kesukaran-kesukaran yang paling nyata dan paling akut dalam Perjanjian Baru. Kesukarannya adalah - dan tidak ada jalan untuk lolos dari kesukaran ini - bahwa Markus dan Matius melaporkan kata-kata Yesus secara berbeda. ... Baik Markus maupun Lukas membuat larangan perceraian itu mutlak; pada mereka tidak ada perkecualian apapun. Tetapi Matius mempunyai satu kalimat perkecualian - perceraian diijinkan dengan alasan perzinahan. ... Pada analisa terakhir kita harus memilih antara versi Matius dari kata-kata ini dan versi Markus dan Lukas. Kami berpendapat bahwa tidak diragukan bahwa versi dari Markus dan Lukaslah yang benar. ... Kalimat perkecualian Matius merupakan penafsiran belakangan yang dimasukkan dalam terang dari praktek dari Gereja pada saat ia menulis) - hal 200-202.

Catatan: ayat dalam Markus adalah Mark 10:11-12; sedangkan ayat dalam Lukas adalah Luk 16:18.

Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.

Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Tetapi perlu diketahui bahwa dalam Mat 5:32 maupun Mat 19:9 tidak ada perbedaan manuscripts. Semua manuscripts mempunyai kalimat perkecualian tersebut.

Komentar-komentar tentang ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 dan Mat 5:32 yang tidak ada dalam Markus dan Lukas:

John Stott:

· “Because it does not occur in the parallel sayings in Mark and Luke, many scholars have been too ready to dismiss it. Some suggest that it was an early scribal interpolation and no part of Matthew’s original text. But there is no manuscript evidence that it was a gloss; even the alternative reading of Codex Vaticanus, retained in the RSV margin, does not omit the clause. Other scholars attribute the clause to Matthew himself, and / or to the church in which he was writing, but deny that Jesus ever spoke it. But its omission by Mark and Luke is not in itself a sufficient ground for rejecting it as an editorial invention or interpretation by the first evangelist. It is perfectly possible to suppose that Matthew included it for his Jewish readership who were very concerned about the permissible grounds for divorce, whereas Mark and Luke, writing for Gentile readers, did not have the same concern. Their silence is not necessarily due to ignorance; it may equally well be that they took the clause for granted. Pagan cultures regarded adultery as a ground for divorce. So did both the Jewish schools of Hillel and Shammai, in spite of their disagreements on other points. This was not in dispute” [= Karena itu (kalimat perkecualian) tidak ada dalam kata-kata yang paralel dari Markus dan Lukas, banyak penafsir yang terlalu siap untuk membuangnya. Sebagian mengusulkan bahwa itu merupakan suatu penyisipan awal dari penyalin dan bukan bagian dari text orisinil Matius. Tetapi tidak ada bukti manuscripts bahwa itu merupakan catatan / keterangan; bahkan dalam pembacaan yang berbeda dari Codex Vaticanus, yang dipertahankan dalam catatan tepi dari RSV, tidak membuang kalimat itu. Penafsir-penafsir lain menganggap bahwa kalimat itu berasal dari Matius sendiri, dan / atau dari gereja kepada siapa ia menulis, tetapi menyangkal bahwa Yesus pernah mengucapkannya. Tetapi tidak adanya kalimat itu dalam Markus dan Lukas bukan merupakan alasan yang cukup untuk menolaknya sebagai suatu ciptaan redaksi atau penafsiran oleh penginjil pertama itu (Matius). Adalah mungkin untuk menganggap bahwa Matius mencakupnya karena pembaca Yahudinya yang sangat memperhatikan tentang dasar-dasar yang memungkinkan perceraian, sedangkan Markus dan Lukas, yang menulis kepada pembaca-pembaca non Yahudi, tidak mempunyai perhatian yang sama. Diamnya mereka tidak harus disebabkan oleh ketidak-tahuan; juga mungkin bahwa mereka menganggap kalimat itu sudah jelas / pasti (sehingga tidak perlu ditulis). Kebudayaan kafir menganggap perzinahan sebagai dasar perceraian. Demikian juga kedua kelompok / aliran dari Hillel dan Shammai, sekalipun mereka mempunyai ketidak-cocokan dalam hal-hal lain. Ini tidak diperdebatkan] - ‘Involvement’, vol II, hal 169-170.

· “It seems far more likely that its absence from Mark and Luke is due not to their ignorance of it but to their acceptance of it as something taken for granted. After all, under the Mosaic law adultery was punishable by death (although the death penalty for this offence seems to have fallen into disuse by the time of Jesus); so nobody would have questioned that marital unfaithfulness was a just ground for divorce. Even the rival Rabbis Shammai and Hillel were agreed about this” [= Jauh lebih memungkinkan bahwa tidak adanya kalimat perkecualian dalam Markus dan Lukas bukan disebabkan karena ketidak-tahuan mereka tentang hal itu, tetapi karena mereka menerima hal itu sebagai sesuatu yang sudah pasti / jelas. Dalam jaman Musa, perzinahan dihukum dengan hukuman mati (sekalipun hukuman mati untuk pelanggaran ini kelihatannya sudah tidak dilakukan pada jaman Yesus); sehingga tak seorangpun akan mempertanyakan bahwa ketidak-setiaan pernikahan merupakan alasan yang benar untuk perceraian. Bahkan Rabbi Shammai dan Hillel yang bersaingan setuju tentang hal ini] - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 96,97.

Tasker (Tyndale): “There is no manuscripts evidence for the omission of the exception-clause” (= Tidak ada bukti manuscripts untuk penghapusan dari kalimat perkecualian) - hal 96.

A. T. Robertson: “An unusual phrase that perhaps means ‘except for a matter of unchastity.’ ... McNeile denies that Jesus made this exception because Mark and Luke do not give it. He claims that the early Christians made the exception to meet a pressing need, but one fails to see the force of this charge against Matthew’s report of the words of Jesus” (= Suatu ungkapan yang tidak biasa, yang mungkin berarti ‘kecuali karena persoalan ketidak-murnian / perzinahan’. ... McNeille menyangkal bahwa Yesus membuat perkecualian ini karena Markus dan Lukas tidak memberikannya. Ia mengclaim bahwa orang-orang Kristen abad-abad awal membuat perkecualian untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak, tetapi seseorang gagal untuk melihat kekuatan dari tuduhan terhadap laporan Matius tentang kata-kata Yesus) - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 47.

A. T. Robertson memberi komentar tambahan tentang kata-kata McNeile ini: “That in my opinion is gratuitous criticism which is unwilling to accept Matthew’s report because it disagrees with one’s views on the subject of divorce. He adds: ‘It cannot be supposed that Matthew wished to represent Jesus as siding with the school of Shammai.’ Why not, if Shammai on this point agreed with Jesus?” (= Dalam pandangan saya merupakan suatu kritik yang serampangan / tidak beralasan / tidak pada tempatnya jika seseorang tidak mau menerima laporan Matius karena laporan itu tidak cocok dengan pandangannya tentang pokok perceraian. Ia menambahkan: ‘Tidak bisa dianggap bahwa Matius ingin menggambarkan Yesus sebagai berpihak kepada kelompok / aliran Shammai’. Mengapa tidak, jika Shammai dalam hal ini setuju dengan Yesus?) - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 155.

Catatan: dari kata-kata yang terakhir ini kelihatannya A. T. Robertson menganggap bahwa Shammai mengijinkan perceraian hanya kalau terjadi perzinahan (sama seperti pandangan Barclay tentang Shammai).

b) Kata yang diterjemahkan ‘zinah’ adalah PORNEIA, dan kata PORNEIA ini biasanya diterjemahkan ‘fornication’ (= percabulan), dan ini biasanya dibedakan dengan kata Yunani MOICHEIA, yang biasanya diartikan ‘adultery’ (= perzinahan).

Biasanya ‘adultery’ (= perzinahan) dianggap menunjuk pada tindakan orang yang sudah menikah, sedangkan ‘fornication’ (= percabulan) menunjuk pada tindakan orang yang belum menikah.

Ini menyebabkan ada yang menafsirkan bahwa yang Yesus maksudkan adalah:

1. Perzinahan yang dilakukan sebelum pernikahan, dan baru diketahui sesudah pernikahan. Bandingkan dengan Ul 22:13-21 - orang kawin tetapi tidak didapati tanda keperawanan.

John Stott: “The Greek word is PORNEIA. It is normally translated ‘fornication’, denoting the immorality of the unmarried, and is often distinguished from MOICHEIA (‘adultery’), the immorality of the married. For this reason some have argued that the exceptive clause permits divorce if some pre-marital sexual sin is later discovered” [= Kata Yunaninya adalah PORNEIA. Biasanya kata itu diterjemahkan ‘percabulan’, menunjuk pada tindakan tidak bermoral dari orang yang belum menikah, dan kata itu sering dibedakan dari MOICHEIA (‘perzinahan’), tindakan tidak bermoral dari orang yang sudah menikah. Karena alasan ini beberapa orang berargumentasi bahwa kalimat perkecualian mengijinkan perceraian jika dosa sexual yang terjadi sebelum pernikahan ditemukan / diketahui belakangan] - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 97.

Matthew Henry tentang Matius 19:9: “Dr. Whitby understands this, not of adultery, but (because our Saviour uses the word porneia - fornication) of uncleanness committed before marriage, but discovered afterward; because if it were committed after, it was a capital crime, and there needed no divorce” [= Dr. Whitby mengerti ini, bukan sebagai perzinahan, tetapi (karena Juruselamat kita menggunakan kata porneia / PORNEIA - percabulan) kenajisan yang dilakukan sebelum pernikahan, tetapi baru diketemukan kemudian; karena jika itu dilakukan setelah pernikahan, itu harus dihukum mati, dan tidak perlu ada perceraian] - hal 270.

2. Perzinahan yang dilakukan pada masa pertunangan tingkat dua dalam adat Yahudi.

Dalam tradisi mereka ada beberapa tahap menuju pernikahan:

a. Pertunangan I (engagement).

Pertunangan I ini terjadi pada waktu dua orang yang diper­tunangkan itu masih kecil, dimana mereka dipertunangkan oleh orang tua mereka, dan mereka belum saling kenal. Pertunangan I ini bisa dibatalkan.

b. Pertunangan II (bethrotal).

Pertunangan II ini terjadi setelah dua orang tadi sudah cukup umur. Pada saat pertunangan II ini mereka sudah disebut ‘suami istri’ (bdk. Ul 22:23-24; dalam ay 23nya disebutkan ‘bertunangan’ tetapi dalam ay 24nya disebut sebagai ‘istri’) tetapi mereka belum tinggal bersama dan mereka belum boleh melakukan hubungan sex. Dalam tradisi Yahudi saat itu, pemutusan pertunangan II ini dianggap sebagai perceraian dan dianggap sebagai dosa. Pertunangan II ini hanya berlangsung 1 tahun.

c. Pernikahan.

Pandangan ini menganggap bahwa perzinahan itu terjadi pada masa pertunangan tingkat dua. Bandingkan dengan kasus Yusuf yang hendak menceraikan Maria, karena ia mengira bahwa Maria mengandung dari perzinahan.

The Wycliffe Bible Commentary tentang Mat 19:9: “If fornication be regarded as a general term including adultery (an identification most uncertain in the New Testament), then our Lord allowed divorce only for the cause of infidelity by the wife. ... However, if fornication be viewed in its usual meaning, and referred here to unchastity by the bride during betrothal (cf. Joseph’s suspicious, Mt 1:18,19), then Christ allowed no grounds what ever for divorce of married persons. Thus he agreed neither with Shammai nor Hillel” [= Jika percabulan dianggap sebagai suatu istilah umum yang mencakup perzinahan (suatu identifikasi yang sangat tidak pasti dalam Perjanjian Baru), maka Tuhan kita mengijinkan perceraian hanya karena ketidak-setiaan oleh istri. ... Tetapi, jika percabulan dipandang dalam artinya yang biasa, dan di sini menunjuk pada perzinahan oleh mempelai perempuan pada masa pertunangan (bdk. kecurigaan Yusuf, Mat 1:18-19), maka Kristus tidak mengijinkan dasar apapun untuk perceraian dari orang-orang yang menikah. Dengan demikian Ia tidak setuju baik dengan Shammai ataupun Hillel] - hal 963.

Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5a - “Adultery or fornication committed after a contract, being detected before marriage, giveth just occasion to the innocent party to dissolve the contract” (= Perzinahan atau percabulan yang dilakukan setelah suatu kontrak / perjanjian, yang dideteksi sebelum pernikahan, memberikan alasan yang benar kepada pihak yang tidak bersalah untuk membubarkan kontrak / perjanjian).

Catatan: kata-kata dari Westminster Confession of Faith di sini tidak berarti bahwa Westminster Confession of Faith menyetujui penafsiran ini. Ini terlihat dari pasal 24 ayat 5b yang nanti saya kutip di bawah. Westminster Confession of Faith hanya menganggap bahwa dalam kasus seperti itu, perceraian diijinkan. Dasar yang dipakai adalah kasus Yusuf dan Maria (Mat 1:18-19).

Keberatan terhadap pandangan ini:

a. Dalam Mat 19, Yesus dan orang-orang Farisi tidak sedang berbicara tentang pertunangan, tetapi tentang pernikahan. Dan dalam Mat 19, text-text Kitab Suci yang dipersoalkan, yaitu Ul 24:1-4 dan Kejadian 2:24, semua berbicara tentang pernikahan, bukan pertunangan.

Mat 19:3-10 - “(3) Maka datanglah orang-orang Farisi kepadaNya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?’ (4) Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? (5) Dan firmanNya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. (6) Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.’ (7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. (9) Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.’ (10) Murid-murid itu berkata kepadaNya: ‘Jika demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.’”.

b. Arti dan penggunaan dari kata PORNEIA.

· Kata PORNEIA tidak hanya menunjuk pada dosa sexual dari orang yang belum menikah, tetapi kata ini merupakan istilah umum yang artinya luas, dan mencakup hal-hal seperti:

* incest (1Kor 5:1).

* homosex (Yudas 7).

* perzinahan (Yer 3:2,6 versi LXX).

· ada penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA digunakan dalam Sirakh 23:23 (salah satu kitab dari kitab-kitab Apocrypha / Deutrokanonika) dan menunjuk pada dosa dari seorang pezinah perempuan, yang jelas-jelas sudah menikah.

Pulpit Commentary (tentang Mat 19:9): “it is not correct to say that porneia denotes solely the sin of unmarried people. All illicit connection is described by this term, and it cannot be limited to one particular kind of transgression. In Ecclus. 23:23 it is used expressly of the sin of an adulteress” (= tidak benar untuk mengatakan bahwa PORNEIA hanya menunjuk pada dosa dari orang yang belum menikah. Semua hubungan gelap / haram digambarkan oleh istilah ini, dan itu tidak bisa dibatasi pada satu jenis pelanggaran tertentu. Dalam Sirakh 23:23 kata itu digunakan secara jelas tentang dosa dari seorang perzinah perempuan) - hal 244-245.

Catatan:

* jangan mencampur-adukkan kitab yang dalam bahasa Inggris disebut ‘Ecclesiastes’ (= kitab Pengkhotbah) dengan ‘Ecclesiasticus’. Yang terakhir ini menunjuk kepada salah satu dari kitab-kitab Apocrypha / Deutrokanonika, yang dalam bahasa Indonesia (Kitab Suci Katolik) disebut ‘kitab Sirakh’.

* Sirakh 23:22-23 - “Demikianlah halnya seorang istri yang meninggalkan suaminya dan dari orang lain melahirkan waris. Sebab pertama-tama ia tidak taat kepada hukum dari Yang Mahatinggi, keduanya ia bersalah terhadap suaminya, ketiganya ia berzinah dengan melacur, dan akhirnya melahirkan anak dari laki-laki lain”.

· John Stott: “PORNEIA was, in fact, a generic word for sexual infidelity or ‘marital unfaithfulness’ (NIV) and included, ‘every kind of unlawful sexual intercourse’ (Arndt-Gingrich)” [= dalam faktanya, PORNEIA merupakan kata umum untuk ketidak-setiaan sexual atau ‘ketidak-setiaan pernikahan’ (NIV) dan mencakup ‘setiap jenis hubungan sex yang tidak sah’ (Arndt-Gingrich)] - ‘Involvement’, vol II, hal 170.

Catatan: Arndt-Gingrich adalah nama-nama dari 2 penulis suatu lexicon / kamus Yunani yang sangat tebal, dan merupakan lexicon / kamus standard.

· W. E. Vine: “PORNEIA (porneia) is used (a) of illicit sexual intercourse, ... in Matt. 5:32 and 19:9 it stands for, or includes, adultery; it is distinguished from it in 15:19 and Mark 7:21” [= PORNEIA (porneia) digunakan (a) tentang hubungan sexual yang tidak sah, ... dalam Mat 5:32 dan 19:9 kata itu berarti, atau mencakup, perzinahan; kata itu dibedakan dari perzinahan dalam (Mat) 15:19 dan Mark 7:21] - ‘An Expository Dictionary of New Testament Words’, hal 455.

· Knox Chamblin: “The meaning of PORNEIA. The fundamental meaning of the term is ‘prostitution,’ in keeping with its nominal counterpart PORNE, ‘prostitute, harlot.’ Yet it also denotes ‘fornication’ and indeed can be used to comprehend ‘every kind of unlawful sexual intercourse’ ... Thus the term is more comprehensive than MOICHEIA, ‘adultery.’” (= Arti dari kata PORNEIA. Arti dasar dari istilah ini adalah ‘pelacuran’, sesuai dengan kata benda pasangannya yaitu PORNE, ‘pelacur’. Tetapi kata itu juga menunjuk pada ‘percabulan’ dan bisa digunakan untuk mencakup ‘setiap jenis hubungan sex yang tidak sah’ ... Jadi istilah ini mempunyai arti yang lebih luas dari pada MOICHEIA, ‘perzinahan’) - hal 150.

· John Stott: “PORNEIA is derived from PORNE, a prostitute, without specifying whether she (or her client) is married or unmarried. Further, it is used in the Septuagint for the unfaithfulness of Israel, Yahweh’s bride, as exemplified in Hosea’s wife Gomer. It seems, therefore, that we must agree with R. V. G. Tasker’s conclusion that PORNEIA is ‘a comprehensive word, including adultery, fornication and unnatural vice’” [= PORNEIA diturunkan dari PORNE, ‘seorang pelacur’, tanpa menyatakan apakah ia (atau langganannya) menikah atau tidak menikah. Selanjutnya, kata itu digunakan dalam Septuaginta untuk ketidak-setiaan dari Israel, mempelai perempuan dari Yahweh, seperti ditunjukkan dalam diri dari istri Hosea yaitu Gomer. Karena itu, kelihatannya kita harus setuju dengan kesimpulan dari R. V. G. Tasker bahwa PORNEIA merupakan kata yang luas / meliputi banyak hal, termasuk perzinahan, percabulan dan kejahatan sexual yang tidak alamiah] - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 97.

Catatan: pada footnotenya John Stott menyebutkan bahwa ayat dalam Hosea yang dimaksudkan adalah:

* Hos 1:2,3 - “Ketika TUHAN mulai berbicara dengan perantaraan Hosea, berfirmanlah Ia kepada Hosea: ‘Pergilah, kawinilah seorang perempuan sundal dan peranakkanlah anak-anak sundal, karena negeri ini bersundal hebat dengan membelakangi TUHAN.’ Maka pergilah ia dan mengawini Gomer binti Diblaim, lalu mengandunglah perempuan itu dan melahirkan baginya seorang anak laki-laki”.

* Hos 2:1,3 - “‘Adukanlah ibumu, adukanlah, sebab dia bukan isteriKu, dan Aku ini bukan suaminya; biarlah dijauhkannya sundalnya dari mukanya, dan zinahnya dari antara buah dadanya, ... Tentang anak-anaknya, Aku tidak menyayangi mereka, sebab mereka adalah anak-anak sundal”.

Catatan: dalam Kitab Suci Inggris Hos 2:2,4.

· Kata PORNEIA dan MOICHEIA digunakan secara interchangeable (= bisa dibolak-balik) dalam Wah 2:20-22, karena Wah 2:20,21 menggunakan PORNEIA, sedangkan Wahyu 2:22 menggunakan MOICHEIA, padahal semua membicarakan satu hal yang sama.

Wah 2:20-22 - “(20) Tetapi Aku mencela engkau, karena engkau membiarkan wanita Izebel, yang menyebut dirinya nabiah, mengajar dan menyesatkan hamba-hambaKu supaya berbuat zinah (porneusai / PORNEUSAI) dan makan persembahan-persembahan berhala. (21) Dan Aku telah memberikan dia waktu untuk bertobat, tetapi ia tidak mau bertobat dari zinahnya (porneiaj / PORNEIAS). (22) Lihatlah, Aku akan melemparkan dia ke atas ranjang orang sakit dan mereka yang berbuat zinah (moiceuontaj / MOICHEUONTAS) dengan dia akan Kulemparkan ke dalam kesukaran besar, jika mereka tidak bertobat dari perbuatan-perbuatan perempuan itu”.

Kesimpulan: adalah salah untuk memberikan garis pemisah yang tegas antara PORNEIA dan MOICHEIA, dan mengartikan PORNEIA sebagai dosa sexual dari orang yang belum menikah sedangkan MOICHEIA adalah dosa sexual dari orang yang sudah menikah.

c) Kalimat ini dianggap sebagai suatu perkecualian. Jadi, Yesus melarang perceraian, kecuali terjadi perzinahan. Ini merupakan pandangan dari hampir semua penafsir. Jadi, kata-kata banyak orang bahwa pada umumnya pandangan yang diterima adalah bahwa orang kristen tidak boleh bercerai, sekalipun terjadi perzinahan, adalah kata-kata yang salah. Ini akan saya buktikan nanti dengan memberikan banyak kutipan di bawah.

Tetapi, perzinahan itu haruslah perzinahan fisik, bukan perzinahan dalam hati seperti dalam Mat 5:28. Mengapa?

· karena kalau cerai diijinkan pada saat terjadi perzinahan pikiran, maka semua perempuan boleh mencerikan suaminya. Mana ada orang laki-laki yang tidak pernah melanggar Mat 5:28?

· Mat 19:9 dan Mat 5:31-32 mengatakan ‘perzinahan’ bukan ‘perzinahan dalam hati’ seperti yang dikatakan Matius 5:28.

· perzinahan dalam hati tidak bisa dibuktikan, sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan dasar untuk menceraikan pasangannya.

· Ada penafsir mengatakan bahwa kata PORNEIA digunakan karena memang kata itu lebih menekankan sifat fisik dari perzinahan yang dilakukan dibandingkan dengan kata MOICHEIA.

Pulpit Commentary tentang Matius 5:32: “‘Fornication.’ The reference is to sin after marriage. ... The more general word (porneia) is used, because it lays more stress on the physical character of the sin than moiceia would have laid” [= ‘Percabulan’. Yang ditunjuk adalah dosa setelah pernikahan. ... Kata yang lebih umum (porneia - PORNEIA) digunakan, karena kata itu lebih menekankan sifat fisik dari dosa tersebut dari pada kata moiceia / MOICHEIA] - hal 164.

John Stott: “PORNEIA means physical sexual immorality; the reason why Jesus made it the sole permissible ground for divorce must be that it violates the ‘one flesh’ principle which is foundational to marriage as divinely ordained and biblically defined” (= PORNEIA berarti ketidak-bermoralan sexual secara fisik; alasan mengapa Yesus membuatnya sebagai satu-satunya dasar yang mengijinkan perceraian haruslah karena hal itu melanggar prinsip ‘satu daging’ yang merupakan dasar dari pernikahan sebagai sesuatu yang ditetapkan Allah dan didefinisikan oleh Alkitab) - ‘Involvement’, vol II, hal 170.

Beberapa penafsir menganggap bahwa tindakan penyimpangan sexual seperti homosex, lesbianisme, bestiality (= hubungan sex dengan binatang) juga tercakup di sini, karena kata PORNEIA memang mencakup hal-hal tersebut.

Mengapa saya mengambil pandangan ini?

1. Arti dan penggunaan kata PORNEIA yang sudah dibahas di atas.

2. Yeremia 3:1-8, khususnya ay 8nya, yang berbunyi: “Dilihatnya, bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempraktekkan prinsip yang Yesus ajarkan dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9 itu. Pada waktu Israel bersundal / berzinah / tidak setia kepada Allah, maka Allah menceraikan Israel dan memberikan surat cerai kepadanya! Memang perzinahan yang dilakukan oleh Israel, adalah perzinahan rohani, dimana mereka tidak setia kepada Allah dan lalu menyembah berhala / allah lain, tetapi prinsipnya sama yaitu: jikalau terjadi perzinahan maka perceraian diijinkan!

3. 1Kor 6:16 - “Atau tidak tahukah kamu, bahwa siapa yang mengikatkan dirinya pada perempuan cabul, menjadi satu tubuh dengan dia? Sebab, demikianlah kata nas: ‘Keduanya akan menjadi satu daging.’”.

Ini menunjukkan bahwa perzinahan menghancurkan ikatan pernikahan.

G. I. Williamson: “If a man becomes one flesh with an harlot, it is hard to see how he can yet be one flesh with his wife. Unless such be repented of and forgiven, we do not see how it can be denied that the adultery necessitates the dissolution of the marriage” (= Jika seorang laki-laki menjadi satu daging dengan seorang pelacur, sukar untuk melihat bagaimana ia bisa tetap satu daging dengan istrinya. Kecuali ia bertobat dan diampuni, kami tidak melihat bagaimana bisa disangkal bahwa perzinahan itu mengharuskan pembubaran / terputusnya pernikahan) - ‘The Westminster Confession of Faith’, hal 185.

Banyak orang menyoroti pandangan ini secara negatif, karena mengijinkan perceraian. Tetapi sebetulnya pandangan ini bisa disoroti secara positif, karena dengan adanya pandangan ini, maka orang akan agak takut untuk berzinah.

Keberatan terhadap pandangan ini:

a. Apakah itu berarti tidak ada pengampunan?

Jawab: Merupakan sesuatu yang menarik bahwa persis sebelum text dari Mat 19:1-12 terdapat text Mat 18:21-35 (perumpamaan tentang orang yang berhutang 10.000 talenta) yang menekankan pengampunan. Karena itu jelas bahwa ‘menceraikan pasangan yang berzinah’ tidak boleh diartikan ‘tidak mengampuni’. Orang itu harus diampuni, tetapi tidak diterima kembali sebagai pasangan hidup! Ini sama seperti kasus pendeta yang jatuh dalam perzinahan, sehingga dipecat dari jabatannya. Kalau ia bertobat, ia diampuni, tetapi tetap tidak diterima kembali sebagai pendeta, karena ia tidak lagi memenuhi syarat penatua dalam 1Tim 3:7 - ‘mempunyai nama baik’.

Saya tidak setuju dengan Jay E. Adams (‘Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 56-57) yang mengharuskan pihak yang tidak bersalah untuk mengampuni dan menerima kembali pasangan yang berzinah, jika pasangan yang berzinah tersebut bertobat. Saya berpendapat bahwa ia memang harus mengampuni pasangannya tersebut tetapi ia tidak harus (tetapi boleh) menerimanya kembali sebagai pasangan hidup. Ia berhak menceraikannya dan menikah lagi dengan orang lain.

Pada waktu Yusuf mengira bahwa Maria telah berzinah dengan laki-laki lain, ia tidak menegur ataupun berusaha mempertobatkan Maria, supaya ia bisa menerimanya kembali, tetapi ia berusaha menceraikannya. Dan ia disebut sebagai ‘seorang yang tulus hati’ (Lit: ‘seorang yang benar’) - Mat 1:18-19.

b. Mat 19:7-8 - “(7) Kata mereka kepadaNya: ‘Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?’ (8) Kata Yesus kepada mereka: ‘Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian”.

Kata-kata ‘karena ketegaran hatimu’ disoroti dan ditafsirkan bahwa perceraian karena perzinahan itupun diijinkan karena ketegaran hati manusia. Jadi sebetulnya tetap tidak boleh cerai sekalipun ada perzinahan.

Jawab:

Dalam Mat 19:7 itu orang-orang Farisi menggunakan istilah ‘memerintahkan’. Sekalipun memang mereka berkata bahwa ‘Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai’, tetapi orang bisa menerima secara salah, seolah-olah Musa memerintahkan perceraian. Karena itu, pada waktu Yesus menjawab dalam Mat 19:8, Ia tidak mau menggunakan istilah ‘memerintahkan’, tetapi Ia menggu­nakan istilah ‘mengijinkan’.

Padahal, tadi di atas sudah kita lihat bahwa sebetulnya Ul 24:1-4 tidak mengijinkan perceraian / pernikahan lagi ataupun memberikan syarat perceraian; lalu mengapa dalam Mat 19:8 Yesus mengatakan bahwa Musa mengijinkan perceraian? Ada 2 kemungkinan jawaban:

· Karena Musa tidak melarang perceraian secara tegas, maka itu dianggap mengijinkan.

· Waktu Yesus berkata ‘Musa mengijinkan’, Ia tidak memaksud­kan Ul 24:1-4, tetapi dalam praktek / kenyataannya, dimana Musa memang mengijinkan perceraian.

Itupun tidak berarti bahwa Musa menghalalkan perceraian itu atau menganggapnya tidak dosa. Karena itu Yesus berkata ‘karena ketegaran hatimu maka Musa mengijinkan hal itu’. Jadi, supaya tidak terjadi hal yang lebih buruk seperti istri dipukuli, tidak diberi makan dsb, maka Musa akhirnya mengijinkan perceraian. Tetapi perceraian yang dimaksud di sini bukanlah perceraian yang terjadi karena perzinahan / dosa sexual yang hebat.

Kata-kata ‘tetapi sejak semula tidaklah demikian’ mungkin menunjuk pada keadaan ideal (pada saat tidak ada dosa, pada saat pernikahan itu pertama-tama diadakan oleh Allah). Memang pernikahan diadakan bukan supaya ada perceraian.

Penafsiran ini tidak bertentangan dengan kontex. Coba perhatikan: dalam Mat 19:3 orang-orang itu bertanya: ‘Apakah diperbolehkah orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?’. Dalam Mat 19:4-6 Yesus tidak langsung menjawab pertanyaan mereka, tetapi Ia lebih dulu membicarakan peraturan umum atau keadaan idealnya, yaitu orang tidak boleh bercerai. Lalu dalam Mat 19:7 mereka bertanya: ‘Mengapa Musa menyuruh memberi surat cerai?’. Dan Yesus menjawab dalam Mat 19:8: ‘Karena ketegaran hatimu’. Lalu dalam Mat 19:9 Ia menekankan lagi bahwa orang tidak boleh bercerai, tetapi sekarang ini Ia memberikan perkecualian, yaitu kalau terjadi perzinahan. Baru dalam Mat 19:9 ini Ia menjawab pertanyaan mereka dalam Mat 19:3. Dengan demikian kesimpulan seluruhnya adalah sebagai berikut: Terhadap pertanyaan: apakah boleh seseorang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja? Yesus menjawab: Tidak, orang hanya boleh bercerai kalau terjadi perzinahan!

Komentar-komentar dari para penafsir:

Tasker (Tyndale) tentang Mat 19:3-9: “Their question ‘Is it lawful for a man to put away his wife for every cause?’ is not immediately or very directly answered; but the subsequent narrative implies that in effect the answer of Jesus is ‘If you mean for any cause, My answer is Yes; if you mean for every cause, My answer is No’” (= Pertanyaan mereka: ‘Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?’ tidak dijawab secara langsung; tetapi cerita selanjutnya secara tidak langsung menunjukkan bahwa sebetulnya jawaban Yesus adalah: ‘Jika engkau memaksudkan untuk sesuatu alasan, jawabanKu adalah Ya; jika engkau memaksudkan untuk setiap alasan / alasan apa saja, jawabanKu adalah Tidak’) - hal 179.

Tasker (Tyndale): “The word PORNEIA translated ‘fornication’ is a comprehensive word, including adultery, fornication and unnatural vice. ... Jesus does not insist that there must be divorce in these cases, ... but that these, and not trivial considerations, are the kind of things for which divorce may rightly be granted” (= Kata PORNEIA yang diterjemahkan ‘percabulan’ merupakan suatu kata yang mempunyai banyak arti, termasuk perzinahan, percabulan, and kejahatan yang tidak alamiah. ... Yesus tidak berkeras bahwa harus ada perceraian dalam kasus-kasus ini, ... tetapi bahwa hal-hal ini, dan bukannya pertimbangan-pertimbangan yang remeh, merupakan jenis hal-hal untuk mana perceraian bisa diberikan secara benar) - hal 184.

Knox Chamblin tentang Mat 19:3-9: “It is now to be emphasizes that Jesus’ ‘except clause in v. 9 does not represent a reversal or even an exception to the principle enunciated in vv. 4-6. For where PORNEIA has occurred, the marital union has already been severed. In this case a divorce does not cause the rift but witnesses to a rift that has already occurred. Jesus legitimizes ‘a kind of divorce that consists solely in the formalization of a break that has already occurred through sexual infidelity’” (= Sekarang harus ditekankan bahwa kalimat perkecualian Yesus dalam ay 9 tidak menggambarkan suatu pembalikan atau bahkan suatu perkecualian terhadap prinsip yang diucapkan dalam ay 4-6. Karena dimana PORNEIA telah terjadi, persatuan pernikahan telah terpotong / terputus. Dalam kasus ini perceraian tidak menyebabkan keretakan itu tetapi memberi kesaksian tentang suatu keretakan yang telah terjadi. Yesus mengesahkan ‘suatu jenis perceraian yang semata-mata merupakan peresmian dari suatu keretakan / perpecahan yang sudah terjadi melalui ketidak-setiaan sexual’) - hal 150.

Barnes’ Notes tentang Matius 5:32: “Our Saviour brought marriage back to its original institution, and declared that whosoever put away his wife henceforward should be guilty of adultery. But one offence, he declared, could justify divorce. ... Nor has any man, or set of men, a right to interfere and declare that divorces may be granted for any other cause. Whosoever, therefore, are divorced for any cause except the single one of adultery, if they marry again, are, according to the Scriptures, living in adultery” (= Juruselamat kita membawa pernikahan kembali kepada pendirian orisinilnya, dan menyatakan bahwa siapapun yang menceraikan istrinya mulai saat itu bersalah dalam persoalan perzinahan. Tetapi satu pelanggaran, Ia menyatakan, bisa membenarkan perceraian. ... Tidak ada siapapun, baik seseorang maupun sekelompok orang, yang berhak untuk mencampuri dan menyatakan bahwa perceraian diijinkan untuk alasan lain apapun juga. Karena itu siapapun yang diceraikan karena alasan lain kecuali perzinahan, jika mereka menikah lagi, menurut Kitab Suci, hidup dalam perzinahan) - hal 25.

Barnes’ Notes tentang Mat 19:9: “Only one offence was to make divorce lawful. This is the law of God. And by the same law, all marriages which take place after divorce, where adultery is not the cause of divorce, are adulterous. Legislatures have no right to say that men may put away their wives for any other cause; and where they do, and where there is marriage afterwards, by the law of God such marriages are adulterous” (= Hanya satu pelanggaran yang membuat perceraian menjadi sah. Ini adalah hukum Allah. Dan oleh hukum yang sama, semua pernikahan yang terjadi setelah perceraian, dimana perzinahan bukanlah alasan dari perceraian tersebut, adalah perzinahan. Pembuat undang-undang tidak mempunyai hak untuk mengatakan bahwa orang boleh menceraikan istri mereka untuk alasan lain apapun juga; dan dimana mereka melakukannya, dan dimana ada pernikahan setelahnya, oleh hukum Allah pernikahan seperti itu dianggap sebagai perzinahan) - hal 87.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “In verse 32 Jesus proceeds to propound the principle that to put away or dismiss a wife for any reason but that of sexual infidelity is sin” (= Dalam Matius 5: 32 Yesus melanjutkan dengan mengemukakakan prinsip bahwa menceraikan atau memecat seorang istri untuk alasan lain selain alasan ketidak-setiaan sexual adalah dosa) - ‘Divorce’, hal 20.

William Hendriksen tentang Mat 5:31-32: “The exception to which Jesus refers in Matt. 5:32 (‘except on the ground of infidelity’) permits divorce only when one of the contracting parties, here the wife, by means of marital unfaithfulness (‘fornication’) rises in rebellion against the very essence of the marriage bond” [= Perkecualian yang ditunjukkan oleh Yesus dalam Mat 5:32 (‘kecuali karena percabulan’) mengijinkan perceraian hanya pada waktu satu dari pihak-pihak yang menikah, di sini si istri, oleh ketidak-setiaan pernikahan (‘percabulan’) memberontak terhadap inti / hakekat dari ikatan pernikahan] - hal 305.

Matthew Henry tentang Mat 5:32: “divorce is not to be allowed, except in case of adultery, which breaks the marriage covenant” (= perceraian tidak diijinkan, kecuali dalam kasus perzinahan, yang menghancurkan perjanjian pernikahan) - hal 62.

Pulpit Commentary tentang Mat 5:32: “The popular school, that of Hillel, allowed divorce ‘for every cause’ (ch. 19:3); the Lord allows it only ‘for the cause of fornication.’” (= Kelompok / aliran yang poupler, yaitu kelompok / aliran dari Hillel, mengijinkan perceraian ‘karena alasan apa saja’ (pasal 19:3); Tuhan mengijinkannya hanya ‘karena percabulan’) - hal 177.

Calvin (tentang Mat 5:31): “Though the husband and the wife are united by mutual consent, yet God binds them by an indissoluble tie, so that they are not afterwards at liberty to separate. An exception is added, ‘except on account of fornication’: for the woman, who has basely violated the marriage-vow, is justly cast off; because it was by her fault that the tie was broken, and the husband set at liberty” (= Sekalipun suami dan istri dipersatukan oleh persetujuan bersama, Allah mengikat mereka dengan ikatan yang tidak bisa diputuskan, sehingga setelah itu mereka tidak bebas untuk berpisah / bercerai. Suatu perkecualian ditambahkan, ‘kecuali karena percabulan’: karena perempuan, yang secara hina telah melanggar janji pernikahan, secara benar dibuang; karena kesalahannya menyebabkan ikatan itu hancur dan suami itu menjadi bebas) - hal 293.

Calvin tentang Mat 19:9: “But an exception is added; for the woman, by fornication, cuts herself off, as a rotten member, from her husband, and sets him at liberty. Those who search for other reasons ought justly to be set at nought, because they choose to be wise above the heavenly teacher. ... the husband, who convicts his wife of uncleanness, is here freed by Christ from the bond” [= Tetapi suatu perkecualian ditambahkan; karena perempuan itu, oleh percabulan, membuang / memotong dirinya sendiri, sebagai anggota yang membusuk, dari suaminya, dan membuat suaminya bebas. Mereka yang mencari alasan-alasan lain, secara benar harus ditolak, karena mereka memilih untuk menjadi lebih bijaksana di atas guru surgawi. ... sang suami, yang membuktikan kenajisan istrinya, di sini dibebaskan oleh Kristus dari ikatan tersebut]- hal 383,384.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “Fornication is unequivocally stated to be the only legitimate ground for which a man may put away his wife. The word used here is the more generic term for sexual uncleanness, namely, fornication (porneia). This term may be used of all kinds of illicit sexual intercourse and may apply to such on the part of unmarried persons, in whose case the sin would not be in the specific sense of adultery. But though it is the generic word that is used here (cf. also Matt. 19:9), it is not to be supposed that the sense is perplexed thereby. What Jesus sets in the forefront is the sin of illicit sexual intercourse. It is, of course, implied that such on the part of a married woman is not only fornication but also adultery in the specific sense, for the simple reason that it constitutes sexual infidelity to her spouse. And this is the only case in which, according to Christ’s unambiguous assertion, a man may dismiss his wife without being involved in the sin which Jesus proceeds to characterise as making his wife to be an adulteress” [= Percabulan dengan tegas dinyatakan sebagai satu-satunya dasar yang sah dengan mana seorang boleh menceraikan istrinya. Kata yang digunakan di sini merupakan istilah yang lebih umum untuk kenajisan sexual, yaitu percabulan (porneia - PORNEIA). Istilah ini bisa digunakan untuk semua jenis hubungan sex yang gelap / haram dan bisa diterapkan hal-hal itu pada orang-orang yang belum menikah, sehingga dosanya bukanlah perzinahan dalam arti spesifik / khusus. Tetapi sekalipun kata yang umum yang digunakan di sini (bdk. juga Mat 19:9), tidak boleh dianggap bahwa dengan demikian artinya dibingungkan / dikaburkan. Apa yang diajukan oleh Yesus adalah dosa dari hubungan sex yang haram / gelap. Tentu saja secara tidak langsung itu menunjuk pada hal-hal dari perempuan yang sudah menikah, yang bukan hanya merupakan percabulan tetapi juga perzinahan dalam arti spesifik / khusus, karena alasan yang sederhana bahwa itu merupakan ketidak-setiaan sexual terhadap pasangannya. Dan ini adalah satu-satunya kasus dalam mana, menurut penegasan Kristus yang jelas, seseorang boleh menceraikan istrinya tanpa terlibat dalam dosa yang Yesus gambarkan sebagai membuat istrinya menjadi pezinah] - ‘Divorce’, hal 20-21.

John Murray tentang Mat 5:31-32: “the Old Testament law did not provide for divorce in the case of adultery. The law was more stringent; it required death for such sexual infidelity. The marriage was indeed thereby dissolved but this was effected through the death of the guilty party. The law enunciated by our Lord, on the other hand, institutes divorce as the means of relief for the husband in the case of adultery on the part of the wife. Here then is something novel and it implies that the requirement of death for adultery is abrogated in the economy Jesus himself inaugurated. ... He abrogated the Mosaic penalty for adultery and he legitimated divorce for adultery” (= hukum Perjanjian Lama tidak menyediakan perceraian dalam kasus perzinahan. Hukumnya lebih keras; hukum itu mengharuskan kematian untuk ketidak-setiaan sexual seperti itu. Pernikahan itu memang bubar tetapi ini terjadi melalui kematian dari pihak yang bersalah. Di sisi lain, hukum yang diucapkan oleh Tuhan kita, menegakkan / menetapkan perceraian sebagai jalan pembebasan untuk suami dalam kasus perzinahan yang dilakukan oleh istri. Maka di sini ada sesuatu yang baru dan secara tidak langsung hal itu menunjukkan bahwa hukuman mati untuk perzinahan dibatalkan dalam pengaturan / sistim yang diresmikan oleh Yesus sendiri. ... Ia membatalkan hukuman dari hukum Taurat Musa untuk perzinahan dan ia mengesahkan perceraian untuk perzinahan) - ‘Divorce’, hal 27.

A. T. Robertson: “it is plain that Matthew represents Jesus in both places as allowing divorce for fornication as a general term (porneia) which is technically adultery (moicheia from moichao or moicheuo)” [= adalah jelas bahwa Matius menggambarkan Yesus di kedua tempat sebagai mengijinkan perceraian untuk percabulan sebagai suatu istilah umum (PORNEIA) yang secara tehnis adalah perzinahan (moicheia dari moichao atau moicheuo)] - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 155.

John Stott: “Only sexual infidelity could be admitted as a ground for breaking the marriage bond. This had been clearly recognised in the Old Testament because it was punishable by death. But the death sentence for adultery had fallen into disuse, and in any case the Romans did not permit the Jews to administer it. So when Joseph suspected Mary of unfaithfulness, he thought of divorce, not death (Matthew 1:18f). And Jesus refused to be trapped by those who asked if the woman caught in adultery should be stoned (John 8:3ff). It seems, then, that he abrogated the death penalty for sexual infidelity, and made this the only legitimate ground for dissolving the marriage bond, by divorce not death, and then only as a permission” [= Hanya ketidak-setiaan sexual bisa diterima sebagai suatu dasar untuk menghancurkan ikatan pernikahan. Ini telah secara jelas dikenali dalam Perjanjian Lama karena hal itu dijatuhi dengan hukuman mati. Tetapi hukuman mati untuk perzinahan telah tidak digunakan, dan bagaimanapun juga orang Romawi tidak mengijinkan orang-orang Yahudi untuk melaksanakannya. Jadi pada saat Yusuf mencurigai Maria tentang ketidak-setiaan, ia memikirkan perceraian, bukan kematian (Matius 1:18-dst). Dan Yesus menolak untuk dijebak oleh mereka yang bertanya apakah perempuan yang tertangkap dalam perzinahan harus dirajam (Yoh 8:3-dst). Jadi kelihatannya Ia membatalkan hukuman mati untuk ketidak-setiaan sexual, dan membuat hal ini sebagai satu-satunya dasar yang sah untuk mengancurkan ikatan pernikahan, oleh perceraian bukan oleh kematian, dan itu hanya merupakan ijin] - ‘Involvement’, vol II, hal 172.

James B. Hurley: “If we take PORNEIA at its common face value, as illicit intercourse, Jesus’ response rejects both rabbinic views. We can now see why the disciples were surprised at Jesus’ teaching. He was far stricter than the rabbis. ... He permitted it only for sexual violations of the marriage bond, violations which, under the Old Testament, would have meant a death sentence. According to Jesus only illicit sexual relations (PORNEIA: adultery, homosexuality, bestiality) provide reason to terminate a marriage” [= Jika kita menerima PORNEIA sesuai dengan artinya yang umum, sebagai hubungan gelap / haram, maka tanggapan Yesus menolak pandangan dari kedua rabbi. Sekarang kita bisa melihat mengapa murid-murid terkejut mendengar ajaran Yesus. Ia jauh lebih ketat dari rabbi-rabbi itu. ... Ia mengijinkannya hanya karena pelanggaran sexual terhadap ikatan pernikahan, pelanggaran mana, di bawah Perjanjian Lama, berarti hukuman mati. Menurut Yesus hanya hubungan sexual yang gelap / haram (PORNEIA: perzinahan, homosex, bestiality / hubungan sex dengan binatang) memberikan alasan untuk mengakhiri suatu pernikahan] - ‘Man and Woman in Biblical Perspective’, hal 103.

Jay E. Adams: “That there is confusion about the word ‘fornication’ is understandable. In American law, the word ‘fornication’ has come to mean sexual sin by unmarried persons, over against ‘adultery’ which means sexual sin involving a married person. However, that distinction must not be read back into the Bible as many unwittingly do. It was not the biblical distinction. Indeed, Scripture writers used the word ‘fornication’ (PORNEIA) to describe ‘sexual sin in general’, and in the Bible it referred to cases of incest (1Cor. 5:1), homosexuality (Jude 7) and even adultery (Jeremiah 3:1,2,6,8 - here a married adulteress is divorced because of her fornication; cf. vv.2,6 in the LXX) as fornication” [= Bahwa di sana ada kebingungan tentang kata ‘percabulan’ merupakan sesuatu yang bisa dimengerti. Dalam hukum Amerika, kata ‘percabulan’ berarti dosa sexual yang dilakukan oleh orang-orang yang belum menikah, sedangkan ‘perzinahan’ berarti dosa sexual yang menyangkut orang-orang yang sudah menikah. Tetapi pembedaan itu tidak boleh dimasukkan ke dalam Alkitab seperti yang dilakukan oleh banyak orang tanpa disadari. Itu bukan merupakan pembedaan yang alkitabiah. Bahkan penulis-penulis Kitab Suci menggunakan kata ‘percabulan’ (PORNEIA) untuk menggambarkan ‘dosa sexual secara umum’, dan dalam Alkitab kata itu menunjuk pada kasus-kasus incest (1Kor 5:1), homosex (Yudas 7) dan bahkan perzinahan (Yeremia 3:1,2,6,8 - di sini seorang pezinah yang telah menikah diceraikan karena percabulannya; bdk. ay 2,6 dalam LXX / Septuaginta) sebagai percabulan] - ‘Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 53-54.

Yer 3:1-8 - “(1) FirmanNya: ‘Jika seseorang menceraikan isterinya, lalu perempuan itu pergi dari padanya dan menjadi isteri orang lain, akan kembalikah laki-laki yang pertama kepada perempuan itu? Bukankah negeri itu sudah tetap cemar? Engkau telah berzinah dengan banyak kekasih, dan mau kembali kepadaKu? demikianlah firman TUHAN. (2) Layangkanlah matamu ke bukit-bukit gundul dan lihatlah! Di manakah engkau tidak pernah ditiduri? Di pinggir jalan-jalan engkau duduk menantikan kekasih, seperti seorang Arab di padang gurun. Engkau telah mencemarkan negeri dengan zinahmu dan dengan kejahatanmu. (3) Sebab itu dirus hujan tertahan dan hujan pada akhir musim tidak datang. Tetapi dahimu adalah dahi perempuan sundal, engkau tidak mengenal malu. (4) Bukankah baru saja engkau memanggil Aku: Bapaku! Engkaulah kawanku sejak kecil! (5) Untuk selama-lamanyakah Ia akan murka atau menaruh dendam untuk seterusnya? Demikianlah katamu, namun engkau sedapat-dapatnya melakukan kejahatan.’ (6) TUHAN berfirman kepadaku dalam zaman raja Yosia: ‘Sudahkah engkau melihat apa yang dilakukan Israel, perempuan murtad itu, bagaimana dia naik ke atas setiap bukit yang menjulang dan pergi ke bawah setiap pohon yang rimbun untuk bersundal di sana? (7) PikirKu: Sesudah melakukan semuanya ini, ia akan kembali kepadaKu, tetapi ia tidak kembali. Hal itu telah dilihat oleh Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia. (8) Dilihatnya, bahwa oleh karena zinahnya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai; namun Yehuda, saudaranya perempuan yang tidak setia itu tidak takut, melainkan ia juga pun pergi bersundal”.

Jay E. Adams: “fornication covers incest, bestiality, homosexuality and lesbianism as well as adultery. To speak of adultery only, might tend to narrow the focus too much” (= percabulan mencakup incest / perzinahan dalam keluarga, bestiality / hubungan sex dengan binatang, homosex dan lesbian maupun perzinahan. Hanya mengatakan perzinahan, bisa cenderung terlalu menyempitkan fokusnya) - ‘Marriage, Divorce, and Remarriage in the Bible’, hal 54-55.

Matthew Poole: “He (Jesus) here opposeth the Pharisees in two points. 1. Asserting that all divorces are unlawful except in case of adultery. 2. Asserting that whosoever married her that was put away committed adultery” [= di sini Ia (Yesus) menentang orang-orang Farisi dalam dua hal. 1. Menegaskan bahwa semua perceraian tidak sah kecuali dalam kasus perzinahan. 2. Menegaskan bahwa siapapun yang menikahi dia yang diceraikan, melakukan perzinahan] - hal 24.

Matthew Poole: “it is unlawful in any case but that of adultery, which dissolves the marriage knot and covenant” [= itu (perceraian) tidak sah dalam kasus apapun kecuali kasus perzinahan, yang membubarkan ikatan dan perjanjian pernikahan] - hal 25.

D. Martyn Lloyd-Jones: “There is only one legitimate cause and reason for divorce - that which is here called ‘fornication’. ... There is only one cause for divorce. There is one; but there is only one. And that is unfaithfulness by one party” (= Hanya ada satu sebab dan alasan yang sah untuk perceraian - yaitu apa yang di sini disebut ‘percabulan’. ... Hanya ada satu alasan untuk perceraian. Ada satu, tetapi hanya ada satu. Dan itu adalah ketidak-setiaan oleh satu pihak) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 250.

Matthew Henry tentang Mat 19:9: “He allows divorce, in case of adultery; the reason of the law against divorce being this, ‘They two shall be one flesh.’ If the wife play the harlot, and make herself one flesh with an adulterer, the reason of the law ceases, and so does the law. By the law of Moses adultery was punished with death, Deut. 22:22. Now our Lord mitigates the rigour of that, and appoints divorce to be the penalty” (= Ia mengijinkan perceraian, dalam kasus perzinahan; alasan dari hukum yang menentang perceraian adalah ini: ‘Keduanya itu menjadi satu daging’ ... Jika sang istri bersundal dan membuat dirinya sendiri satu daging dengan seorang pezinah, alasan dari hukum itu berhenti, dan demikian juga dengan hukumnya. Oleh hukum Taurat Musa perzinahan dihukum dengan hukuman mati, Ul 22:22. Sekarang Tuhan mengurangi kekerasan dari hukuman itu, dan menetapkan perceraian sebagai hukumannya) - hal 270.

Westminster Confession of Faith, chapter XXIV, No 5b - “In the case of adultery after marriage, it is lawful for the innocent party to sue out a divorce and, after the divorce, to marry another, as if the offending party were dead” (= Dalam kasus perzinahan setelah pernikahan, adalah sah bagi pihak yang tidak bersalah untuk menuntut suatu perceraian, dan setelah perceraian, untuk menikah dengan orang lain, seakan-akan pihak yang bersalah itu mati).

Penafsir-penafsir yang termasuk dalam kelompok ke 3 ini (yang mengijinkan perceraian kalau terjadi perzinahan), terbagi dalam 2 kelompok lagi:

1. Yang tidak mengijinkan pernikahan lagi bahkan bagi pihak yang tidak bersalah.

Penafsir yang mengambil pandangan ini berpendapat bahwa ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 itu hanya berlaku untuk ‘perceraian’, tetapi tidak berlaku untuk ‘pernikahan lagi’ (re-marriage).

Pulpit Commentary tentang Mat 19:9: “Our Lord seems to have introduced the exceptional clause in order to answer what were virtually two questions of the Pharisees, viz. whether it was lawful to ‘put away a wife for every cause,’ and whether, when a man had legally divorced his wife, he might marry again. To the former Christ replies that separation was allowable only in the case of fornication; in response to the second, he rules that even in that case remarriage was wholly barred” (= Tuhan kita kelihatannya memberikan kalimat perkecualian untuk menjawab apa yang sebetulnya merupakan dua pertanyaan dari orang-orang Farisi, yaitu apakah diperbolehkan untuk ‘menceraikan istrinya karena alasan apa saja’, dan apakah, pada waktu seseorang secara sah telah menceraikan istrinya, ia boleh menikah lagi. Kepada pertanyaan yang pertama Kristus menjawab bahwa perpisahan diijinkan hanya dalam kasus percabulan; dan terhadap pertanyaan yang kedua, ia memberi peraturan bahwa bahkan dalam kasus seperti itu pernikahan lagi sepenuhnya dilarang) - hal 245.

Pulpit Commentary tentang Mat 19:9: “The Lord distinctly forbids divorce, ‘except it be for fornication.’ He does not sanction remarriage even in that case” (= Tuhan secara jelas melarang perceraian, ‘kecuali karena percabulan’. Ia tidak menyetujui pernikahan lagi bahkan dalam kasus itu) - hal 254.

Sepanjang apa yang saya baca dari buku-buku tafsiran saya, hanya penafsir ini saja yang tetap melarang pernikahan lagi sekalipun perceraiannya terjadi karena pasangannya berzinah.

2. Yang mengijinkan pernikahan lagi dari pihak yang tidak bersalah.

Kelompok kedua ini menganggap bahwa ‘kalimat perkecualian’ dalam Mat 19:9 itu berlaku baik untuk perceraian maupun untuk pernikahan lagi. Hampir semua penafsir memegang pandangan ini.

Knox Chamblin: “The ‘except clause’ must be related to both the divorce and the remarriage” (= ‘Kalimat perkecualian’ harus dihubungkan baik dengan ‘perceraian’ maupun dengan ‘pernikahan lagi’) - hal 150.

John Murray tentang Mat 19:9: “Matthew informs us of two things: (a) a man may put away his wife for adultery; (b) he may marry another when such divorce is consummated” [= Matius menginformasikan kita dua hal: (a) seseorang boleh menceraikan istrinya karena perzinahan; (b) ia boleh menikah dengan orang lain pada waktu perceraian seperti itu terjadi] - ‘Divorce’, hal 52.

William Hendriksen tentang Mat 19:9: “As far as the record goes, this is the only ground Jesus ever mentioned for giving the innocent person - in the present case the husband, ... - the right to divorce his wife and marry again” (= Sejauh terlihat dari catatannya, ini adalah satu-satunya dasar yang pernah disebutkan oleh Yesus yang memberikan kepada orang yang tidak bersalah - dalam kasus ini adalah sang suami, ... - hak untuk menceraikan istrinya dan menikah lagi) - hal 717.

A. T. Robertson: “Jesus by implication, as in 5:31, does allow remarriage of the innocent party, but not of the guilty one” (= Yesus, secara implicit, seperti dalam 5:31, memang mengijinkan pernikahan lagi, tetapi bukan oleh pihak / orang yang bersalah) - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol I, hal 155.

Calvin tentang Mat 19:9: “‘And whosoever shall marry her that is divorced.’ This clause has been very ill explained by many commentators; for they have thought that generally, and without exception, celibacy is enjoined in all cases when a divorce has taken place; and, therefore, if a husband should put away an adulteress, both would be lain under the necessity of remaining unmarried. ... It was therefore a gross error; for, though Christ condemns as an adulterer the man who shall marry a wife that has been divorced, this is undoubtedly restricted to unlawful and frivolous divorces” (= ‘Dan siapapun yang menikah dengan ia yang diceraikan’. Kalimat ini dijelaskan secara buruk oleh banyak penafsir; karena mereka berpikir secara umum, dan tanpa perkecualian, bahwa dalam semua kasus dimana terjadi perceraian orangnya diharuskan hidup celibat / tidak menikah; dan karena itu, jika seorang suami menceraikan seorang pezinah, keduanya tidak boleh menikah lagi. ... Karena itu, itu merupakan suatu kesalahan yang besar / menyolok; karena sekalipun Kristus mengecam sebagai seorang pezinah orang yang menikahi seorang istri yang telah diceraikan, tidak diragukan bahwa ini dibatasi pada perceraian-perceraian yang tidak sah dan sembrono) - hal 384.

Catatan: Mat 19:9 (KJV): - “And I say unto you, Whosoever shall put away his wife, except it be for fornication, and shall marry another, committeth adultery: and whoso marrieth her which is put away doth commit adultery” (= Dan Aku berkata kepadamu: Siapapun yang menceraikan istrinya, kecuali karena percabulan, dan menikah dengan orang lain, ia melakukan perzinahan: dan siapapun menikah dengan perempuan yang diceraikan, ia melakukan perzinahan).

Terjemahan KJV agak berbeda, karena bagian akhir dari KJV (yang saya garis-bawahi) tidak ada dalam Kitab Suci yang lain (mungkin ini dari manuscripts yang berbeda). Dan Calvin mengomentari bagian ini.

John Stott: “with only one exception, he called all remarriage after divorce adultery” (= dengan hanya satu perkecualian, Ia menyebut semua pernikahan lagi setelah perceraian sebagai perzinahan) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 95.

John Stott: “The only situation in which divorce and remmariage are possible without breaking the seventh commandment is when it has already been broken by some serious sexual sin” (= Satu-satunya situasi dalam mana perceraian dan pernikahan lagi dimungkinkan tanpa melanggar hukum ketujuh adalah pada saat pernikahan itu telah dihancurkan oleh dosa sexual yang serius) - ‘The Message of the Sermon on the Mount’, hal 97-98.

Matthew Poole: “Some have upon these words made a question whether it be lawful for the husband or the wife separated for adultery to marry again while each other liveth. As to the offending party, it may be a question; but as to the innocent person offended, it is no question, for the adultery of the person offending hath dissolved the knot of marriage by the Divine law. ... it seemeth against reason that both persons should have the like liberty to a second marriage. ... It is unreasonable that she should make an advantage of her own sin and error. ... But for the innocent person, it is an unreasonable that he or she should be punished for the sin of another” (= Beberapa orang berdasarkan kata-kata ini mempertanyakan apakah diperbolehkan untuk suami atau istri yang bercerai karena perzinahan untuk menikah lagi sementara mereka sama-sama masih hidup. Berkenaan dengan pihak yang bersalah, itu memang merupakan suatu pertanyaan; tetapi berkenaan dengan pribadi yang tidak bersalah, tidak perlu dipertanyakan, karena perzinahan dari pihak yang bersalah telah membubarkan ikatan pernikahan oleh hukum Ilahi. ... kelihatannya bertentangan dengan akal bahwa kedua orang mempunyai kebebasan yang sama untuk menikah lagi. ... Adalah tidak masuk akal bahwa ia mendapatkan keuntungan dari dosa dan kesalahannya sendiri. ... Tetapi untuk pribadi yang tidak bersalah, adalah tidak masuk akal bahwa ia harus dihukum karena kesalahan dari pihak yang lain) - hal 88-89.

D. Martyn Lloyd-Jones: “We can say not only that a person who thus has divorced his wife because of her adultery is entitled to do so. We can go further and say that the divorce has ended the marriage, and that this man is now free and as a free man he is entitled to re-marriage. ... His relationship to that woman is the same as if she were dead; and this innocent man is therefore entitled to re-marriage” (= Kita bisa mengatakan bukan hanya bahwa seseorang yang telah menceraikan istrinya karena perzinahannya berhak melakukan hal itu. Kita bisa melanjutkan dan berkata bahwa perceraian itu telah mengakhiri pernikahan, dan bahwa orang ini sekarang bebas dan sebagai seorang yang bebas ia berhak untuk menikah lagi. ... Hubungannya dengan perempuan itu adalah sama seakan-akan perempuan itu sudah mati; dan karena itu orang yang tidak bersalah ini berhak untuk menikah lagi) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 252.

Barclay: “Jesus’s answer was to take things back to the very beginning, back to the ideal of creation. ... Jesus was laying down the principle that all divorce is wrong. Thus early we must note that it is not a law; it is a principle, which is a very different thing. ... Here, at once, the Pharisees saw a point of attack. ... They could now say to Jesus, ‘Are you saying Moses was wrong? Are you seeking to abrogate the divine law which was given to Moses? Are you setting yourself above Moses as a law-giver?’ Jesus’s answer was that what Moses said was not in fact a law, but nothing more than a concession. Moses did not command a divorce; at the best he only permitted it in order to regulate a situation which would have become chaotically promiscuous. ... The Mosaic regulation was only a concession to fallen human nature. ... It is now that we are face to face with one of the most real and most acute difficulties in the New Testament. ... The difficulty is - and there is no escaping it - that Mark and Matthew report the words of Jesus differently. ... both Mark and Luke make the prohibition of divorce absolute; with them there are no exceptions whatsoever. But Matthew has one saving clause - divorce is permitted on the ground of adultery. ... In the last analysis we must choose between Matthew’s version of this saying and that of Mark and Luke. We think there is little doubt that the version of Mark and Luke is right. ... Matthew’s saving clause is a later interpretation inserted in the light of the practice of the Church when he wrote” (= Jawaban Yesus membawa semua kembali pada keadaan semula, kembali pada keadaan ideal dari penciptaan. ... Yesus sedang menetapkan suatu prinsip bahwa semua perceraian adalah salah. Kita harus memperhatikan bahwa ini bukanlah suatu hukum; ini adalah suatu prinsip, yang merupakan sesuatu yang sangat berbeda. ... Di sini, segera orang-orang Farisi melihat suatu titik untuk melakukan penyerangan. ... Sekarang mereka bisa berkata kepada Yesus: ‘Apakah Engkau berkata bahwa Musa itu salah? Apakah Engkau berusaha membatalkan hukum ilahi yang diberikan kepada Musa? Apakah Engkau menempatkan diriMu sendiri di atas Musa sebagai pemberi hukum?’. Jawaban Yesus adalah bahwa apa yang Musa katakan dalam faktanya bukanlah suatu hukum, tetapi tidak lebih dari suatu kelonggaran. Musa tidak memerintahkan perceraian; paling-paling ia hanya mengijinkannya untuk mengatur suatu keadaan yang bisa menjadi kacau balau. ... Peraturan Musa hanya merupakan suatu kelonggaran bagi manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. ... Sekarang kita berhadapan dengan salah satu dari kesukaran-kesukaran yang paling nyata dan paling akut dalam Perjanjian Baru. ... Kesukarannya adalah - dan tidak ada jalan untuk lolos dari kesukaran ini - bahwa Markus dan Matius melaporkan kata-kata Yesus secara berbeda. ... Baik Markus maupun Lukas membuat larangan perceraian itu mutlak; pada mereka tidak ada perkecualian apapun. Tetapi Matius mempunyai satu kalimat perkecualian - perceraian diijinkan dengan alasan perzinahan. ... Pada analisa terakhir kita harus memilih antara versi Matius dari kata-kata ini dan versi Markus dan Lukas. Kami berpendapat bahwa tidak diragukan bahwa versi dari Markus dan Lukaslah yang benar. ... Kalimat perkecualian Matius merupakan penafsiran belakangan yang dimasukkan dalam terang dari praktek dari Gereja pada saat ia menulis) - hal 200-202.

Catatan: ayat dalam Markus adalah Mark 10:11-12; sedangkan ayat dalam Lukas adalah Luk 16:18.

· Mark 10:11-12 - “Lalu kataNya kepada mereka: ‘Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah.’”.

· Luk 16:18 - “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.’”.

Barclay: “It would be wrong to leave this matter without some attempt to see what it actually means for the question of divorce at the present time. ... What Jesus laid down was a principle and not a law” (= Adalah salah untuk meninggalkan persoalan ini tanpa suatu usaha untuk melihat apa arti sebenarnya untuk pertanyaan tentang perceraian pada jaman sekarang. ... Apa yang Yesus tetapkan adalah suatu prinsip dan bukan suatu hukum) - hal 208.

Dan ia lalu mengatakan (hal 209) bahwa seandainya ada suatu pernikahan yang menjadi kacau sehingga menjadi seperti neraka di dunia, dan seandainya sudah diusahakan semua cara untuk memperbaikinya tetapi pernikahan tersebut tetap kacau, apakah dua orang itu harus tetap mempertahankan pernikahan tersebut?

Barclay: “are then these two people to be for ever fettered together in a situation which cannot do other than bring a lifetime of misery to both? It is extremely difficult to see how such reasoning can be called Christian; it is extremely hard to see Jesus legalistically condemning two people to any such situation. This is not to say that divorce should be made easy, but it is to say that when all the physical and mental and spiritual resources have been brought to bear on such situation, and the situation remains incurable and even dangerous, then the situation should be ended” (= maka apakah kedua orang ini harus diikat bersama-sama selama-lamanya dalam suatu keadaan yang hanya bisa memberikan kesengsaraan seumur hidup kepada mereka berdua? Adalah sangat sukar untuk melihat bagaimana pemikiran / pertimbangan seperti itu bisa disebut Kristen; adalah sangat sukar untuk melihat Yesus secara legalistik mengecam / menghukum dua orang pada keadaan seperti itu. Ini bukan berarti bahwa perceraian harus dibuat menjadi mudah, tetapi maksudnya adalah bahwa pada saat semua sumber-sumber fisik, mental dan rohani telah dibawa untuk diarahkan pada keadaan itu, dan keadaan itu tetap tidak bisa disembuhkan dan bahkan berbahaya, maka keadaan itu harus diakhiri) - hal 209.

Catatan: bagi saya seluruh pemikiran Barclay di sini menunjukkan kesesatannya. Saya tidak mengerti bagaimana ia memisahkan / membedakan ‘prinsip’ dan ‘hukum’. Juga aneh bahwa ia menyalahkan Matius karena memberikan kalimat perkecualian, tetapi pada akhirnya ia tetap mengijinkan perceraian kalau pernikahan itu memburuk dan memang tidak bisa diperbaiki lagi.

Saya sendiri mengambil pandangan kedua ini. Saya beranggapan bahwa kalimat perkecualian dalam Mat 5:32 dan Mat 19:9 berlaku baik bagi perceraian maupun pernikahan lagi.

Contoh kasus: kalau seorang suami menceraikan istrinya, sekalipun bukan karena perzinahan, maka mereka berdua tidak boleh menikah lagi. Tetapi bagaimana kalau suami itu melanggar larangan tersebut, dan ia menikah lagi? Saya tidak menemukan buku tafsiran yang membahas kasus seperti ini. Tetapi saya sendiri berpendapat sebagai berikut: suami itu sebetulnya tidak berhak menikah lagi. Kalau ia menikah lagi, maka di hadapan Allah pernikahan itu merupakan perzinahan. Dengan demikian ditinjau dari sudut istri yang diceraikan, suaminya berzinah, dan karena itu si istri menjadi berhak menikah lagi.

3) “Ia menjadikan istrinya berzinah”.

Tentang kata-kata ‘ia menjadikan isterinya berzinah’ dalam ay 32b, Calvin berkata: “the man who, unjustly and unlawfully, abandons the wife whom God had given him, is justly condemned for having prostituted his wife to others” (= orang yang secara tidak benar dan tidak sah meninggalkan istri yang telah Allah berikan kepadanya, secara benar dikecam sebagai telah melacurkan istrinya kepada orang-orang lain) - hal 293.

William Hendriksen: “she is called an adulteresses because she may easily become one. ... Far better, it would seem to me, is therefore the translation, ‘Whoever divorces his wife except on the basis of infidelity exposes her to adultery,’ or something similar. What Jesus is saying, then, is this: Whoever divorces his wife except on the ground of infidelity must bear the chief responsibility if as a result she, in her deserted state, should immediately yield to the temptation of becoming married to someone else” (= ia disebut sebagai pezinah karena ia dengan mudah menjadi seorang pezinah. ... Karena itu, bagi saya jauh lebih baik terjemahan: ‘Siapapun menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan membukakan dia kepada perzinahan’, atau terjemahan lain yang serupa. Jadi, apa yang dimaksud oleh Yesus adalah ini: Siapapun menceraikan istrinya kecuali berdasarkan ketidak-setiaan harus memikul tanggung jawab utama jika sebagai akibatnya perempuan itu, dalam keadaan ditinggalkan, menyerah pada pencobaan untuk menjadi istri dari orang lain) - hal 305,306.

4) “dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”.

Ini tentu saja berlaku kalau perceraian itu merupakan perceraian yang tidak sah.

Penerapan: karena itu jangan terlalu cepat berpikir negatif kalau ada janda / duda yang mau menikah lagi. Kita harus mengetahui lebih dulu apa sebabnya ia menjadi janda / duda. Kalau itu disebabkan karena pasangannya mati, atau karena ia menceraikan pasangannya yang berzinah, maka ia berhak untuk menikah lagi!

-o0o-

Matius 5:33-37

1) Lagi-lagi di sini Tuhan Yesus tidak menentang hukum Taurat, tetapi menentang penafsiran (dan praktek) dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tentang hukum Taurat

Matius 5: 33: “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan bersumpah palsu, melainkan peganglah sumpahmu di depan Tuhan”.

Dalam hukum Taurat / Perjanjian Lama tidak ada ayat yang bunyinya persis seperti itu. Tetapi ada beberapa ayat yang kalau digabungkan berbunyi seperti itu. Ayat-ayat itu adalah:

· Imamat 19:12 - “Janganlah kamu bersumpah dusta demi namaKu, supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Allahmu; Akulah TUHAN”.

· Bilangan 30:2 - “Apabila seorang laki-laki bernazar atau bersumpah kepada TUHAN, sehingga ia mengikat dirinya kepada suatu janji, maka janganlah ia melanggar perkataannya itu; haruslah ia berbuat tepat seperti yang diucapkannya”.

· Ulangan 23:21 - “‘Apabila engkau bernazar kepada TUHAN, Allahmu, janganlah engkau menunda-nunda memenuhinya, sebab tentulah TUHAN, Allahmu, akan menuntutnya dari padamu, sehingga hal itu menjadi dosa bagimu”.

· Pkh 5:3-4 - “Kalau engkau bernazar kepada Allah, janganlah menunda-nunda menepatinya, karena Ia tidak senang kepada orang-orang bodoh. Tepatilah nazarmu. Lebih baik engkau tidak bernazar dari pada bernazar tetapi tidak menepatinya”.

Sekalipun demikian, yang dibicarakan / dibetulkan di sini oleh Yesus bukanlah hukum Tauratnya sendiri, tetapi penafsiran / ajaran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum Taurat. Lagi-lagi terjemahan salah dari Kitab Suci Indonesia yang menggunakan istilah ‘difirmankan’ seolah-olah menunjukkan bahwa Yesus menentang Perjanjian Lama. Tetapi dalam terjemahan yang benar tidak terlihat hal itu.

KJV: ‘Again, ye have heard that it hath been said by them of old time, Thou shalt not forswear thyself, but shalt perform unto the Lord thine oaths’ (= Lagi, engkau telah mendengar bahwa telah dikatakan oleh mereka dari jaman dulu, Engkau tidak boleh bersumpah palsu, tetapi engkau harus melakukan bagi Tuhan sumpahmu).

NIV: “Again, you have heard that it was said to the people long ago, ‘Do not break your oath, but keep the oaths you have made to the Lord.’” (= Lagi, engkau telah mendengar bahwa dikatakan kepada orang-orang jaman dulu, ‘Jangan melanggar sumpahmu, tetapi peganglah sumpah yang telah engkau buat terhadap Tuhan’).

2) Kalau dalam ay 21-26 Yesus meluruskan penafsiran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum ke 6 (Jangan membunuh), dan dalam ay 27-32 Yesus meluruskan penafsiran ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum ke 7 (Jangan berzinah), maka dalam ay 33-37 ini Ia membicarakan sumpah yang berhubungan dengan hukum ke 3 (Jangan menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan / sia-sia).

Calvin: “God condemned in the law not only acts of perjury, but lightness in swearing, which lessens the reverence for his name. The man who perjures himself is not the only person who takes the name of God in vain, (Ex. 20:7.) He does so, who idly and contemptuously pronounces the name of God on trivial occasions, or in ordinary conversation” [= Allah menyalahkan / mengecam dalam hukum Taurat bukan hanya tindakan sumpah palsu, tetapi peremehan sumpah, yang mengurangi hormat / takut kepada namaNya. Orang yang bersumpah palsu bukan hanya satu-satunya orang yang menggunakan nama Allah dengan sia-sia, (Kel 20:7). Ia juga melakukannya, jika ia mengucapkan nama Allah secara tak berarti dan menghina pada peristiwa-peristiwa yang remeh, atau dalam percakapan sehari-hari] - hal 293.

Penerapan: jangan terbiasa mengucapkan kata-kata seruan seperti ‘Ya Allah’, ‘Masya-allah’, atau seperti yang dilakukan oleh orang-orang Barat, yaitu ‘My God’, ‘Jesus Christ’, dan sebagainya. Ini termasuk pelanggaran hukum ketiga, karena menyebut nama Allah secara sembarangan / sia-sia! Juga jangan menggunakannya sekedar untuk lelucon atau percakapan yang tidak berguna! Ini merupakan dosa yang sekalipun sudah sering dibicarakan, tetapi tetap sering diremehkan dan dilanggar oleh banyak orang-orang kristen yang bahkan termasuk aktivist gereja! Ingat bahwa sikap saudara terhadap nama Allah merupakan sikap saudara terhadap Allah sendiri!

3) Ajaran dan praktek dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi pada saat itu berkenaan dengan sumpah.

Calvin: “The Jews had circuitous or indirect ways of swearing; and when they swore by heaven, or by earth, or by the altar, (Mat. 23:18,) they reckoned it to be next to nothing” [= orang-orang Yahudi mempunyai jalan memutar atau tidak langsung dalam bersumpah; dan pada waktu mereka bersumpah demi surga, atau demi bumi, atau demi mezbah, (Mat 23:18), mereka menganggapnya sebagai hampir tidak berarti apa-apa] - hal 294.

Pulpit Commentary: “The Jews, it seems, thought lightly of oaths which did not contain the sacred Name of God; they used such oaths constantly and heedlessly” (= Kelihatannya orang-orang Yahudi menganggap ringan sumpah yang tidak mencakup nama yang kudus dari Allah; mereka menggunakan sumpah-sumpah seperti itu secara terus menerus dan dengan sembrono / sembarangan) - hal 177.

Bdk. Mat 23:16-22 - “(16) Celakalah kamu, hai pemimpin-pemimpin buta, yang berkata: Bersumpah demi Bait Suci, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi emas Bait Suci, sumpah itu mengikat. (17) Hai kamu orang-orang bodoh dan orang-orang buta, apakah yang lebih penting, emas atau Bait Suci yang menguduskan emas itu? (18) Bersumpah demi mezbah, sumpah itu tidak sah; tetapi bersumpah demi persembahan yang ada di atasnya, sumpah itu mengikat. (19) Hai kamu orang-orang buta, apakah yang lebih penting, persembahan atau mezbah yang menguduskan persembahan itu? (20) Karena itu barangsiapa bersumpah demi mezbah, ia bersumpah demi mezbah dan juga demi segala sesuatu yang terletak di atasnya. (21) Dan barangsiapa bersumpah demi Bait Suci, ia bersumpah demi Bait Suci dan juga demi Dia, yang diam di situ. (22) Dan barangsiapa bersumpah demi sorga, ia bersumpah demi takhta Allah dan juga demi Dia, yang bersemayam di atasnya”.

Kata-kata ‘itu tidak sah’ terjemahannya kurang tepat.

KJV/RSV: ‘it is nothing’ (= itu bukan apa-apa).

NIV: ‘it means nothing’ (= itu tidak berarti apa-apa).

NASB: ‘that is nothing’ (= itu bukan apa-apa).

Penerapan: Jaman ini, orang juga sering mencari jalan memutar untuk menghindari penggunaan nama Allah dalam sumpah. Misalnya berkata ‘sumpah mati’. Bahkan kadang-kadang orang berusaha untuk menghindari penggunaan kata ‘sumpah’. Misalnya: dengan mengatakan ‘sumprit’, atau mengubahnya menjadi ‘saya berjanji’, atau dengan sekedar mengangkat tangan kanannya, dsb. Sebetulnya semua ini sama saja, dan tetap adalah dosa, kalau hal ini dilakukan dengan sembarangan!

4) Ajaran Yesus berkenaan dengan sumpah.

a) Yesus tidak melarang sumpah secara mutlak!

Sepintas lalu, ay 34a yang berbunyi: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah”, melarang sumpah secara mutlak. Dan Barclay (hal 161) mengatakan bahwa ada 2 golongan yaitu Essenes (suatu sekte Yahudi) dan Quakers yang secara mutlak tidak mau bersumpah. Dan jelas bahwa jaman sekarangpun ada banyak orang kristen yang beranggapan bahwa sumpah dilarang secara mutlak. Tetapi saya berpendapat bahwa sebetulnya sumpah tidak dilarang secara mutlak.

Calvin: “Many have been led by the phrase, ‘not at all,’ to adopt the false notion, that every kind of swearing is condemned by Christ” (= Banyak orang telah dibimbing oleh ungkapan ‘janganlah sekali-kali’ untuk mengambil maksud yang salah, bahwa setiap jenis sumpah dikecam oleh Kristus) - hal 294.

Calvin berpendapat bahwa kata-kata Yesus dalam ay 34a ini tidak boleh dipisahkan dari kata-kata selanjutnya, yang menunjukkan sumpah yang bagaimana yang Ia maksud, yaitu sumpah demi langit, demi bumi, demi Yerusalem, demi kepalamu (ay 34-36), yang oleh orang-orang Yahudi dianggap remeh / tak berarti. Jadi, yang dilarang adalah sumpah sembarangan.

Pulpit Commentary: “How, then, can we explain this absolute prohibition here? In that our Lord is not here thinking at all formal and solemn oaths, but of oaths as the outcome of impatience and exaggeration” (= Lalu bagaimana kita bisa menjelaskan larangan mutlak di sini? Dengan mengatakan bahwa di sini Tuhan kita tidak berpikir tentang semua sumpah yang formal / resmi dan khidmat, tetapi tentang sumpah-sumpah sebagai akibat / hasil dari ketidak-sabaran dan tindakan melebih-lebihkan) - hal 165.

Pulpit Commentary: “our Lord’s prohibition applies only to rash, idle oaths, such as were common among the Jews” (= Larangan Tuhan kita hanya berlaku untuk sumpah yang sembarangan dan kosong, seperti yang banyak terdapat di antara orang-orang Yahudi) - hal 177.

Adam Clarke: “Be not much in oaths, although one should swear concerning things that are true; for in much swearing it is impossible not to profane” (= Jangan banyak bersumpah, sekalipun dalam hal yang benar; karena dalam banyak bersumpah adalah tidak mungkin untuk tidak meremehkan hal-hal yang keramat) - hal 75.

Calvin: “His statement amounts to this, that there are other ways of ‘taking the name of God in vain,’ besides perjury; and, therefore, that, we ought to refrain from allowing ourselves the liberty of unnecessary swearing: for, when there are just reasons to demand it, the law not only permits, but expressly commands us to swear” (= Arti pernyataanNya menjadi begini: bahwa ada cara-cara lain untuk ‘menyebut nama Allah dengan sembarangan / sia-sia’ disamping sumpah palsu; dan karena itu, kita harus menahan diri kita sendiri dari kebebasan bersumpah secara tidak perlu: karena, pada waktu di sana ada alasan-alasan yang benar yang menuntut sumpah, hukum Taurat bukan hanya mengijinkan, tetapi secara jelas memerintahkan kita untuk bersumpah) - hal 295.

Alasan-alasan yang menunjukkan bahwa sumpah tidak mungkin dilarang secara mutlak:

1. Perjanjian Lama mengijinkan, bahkan mengharuskan sumpah, dalam hal-hal tertentu.

Ulangan 6:13 - “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi namaNya haruslah engkau bersumpah”.

Kel 22:7-8 - “Apabila seseorang menitipkan kepada temannya uang atau barang, dan itu dicuri dari rumah orang itu, maka jika pencuri itu terdapat, ia harus membayar ganti kerugian dua kali lipat. Jika pencuri itu tidak terdapat, maka tuan rumah harus pergi menghadap Allah untuk bersumpah, bahwa ia tidak mengulurkan tangannya mengambil harta kepunyaan temannya”.

Kel 22:10-11 - “Apabila seseorang menitipkan kepada temannya seekor keledai atau lembu atau seekor domba atau binatang apapun dan binatang itu mati, atau patah kakinya atau dihalau orang dengan kekerasan, dengan tidak ada orang yang melihatnya, maka sumpah di hadapan TUHAN harus menentukan di antara kedua orang itu, apakah ia tidak mengulurkan tangannya mengambil harta kepunyaan temannya, dan pemilik harus menerima sumpah itu, dan yang lain itu tidak usah membayar ganti kerugian”.

Bil 5:11-28 - “TUHAN berfirman kepada Musa: ‘Berbicaralah kepada orang Israel dan katakanlah kepada mereka: Apabila isteri seseorang berbuat serong dan tidak setia terhadap suaminya, dan laki-laki lain tidur dan bersetubuh dengan perempuan itu, dengan tidak diketahui suaminya, karena tinggal rahasia bahwa perempuan itu mencemarkan dirinya, tidak ada saksi terhadap dia, dia tidak kedapatan, dan apabila kemudian roh cemburu menguasai suami itu, sehingga ia menjadi cemburu terhadap isterinya, dan perempuan itu memang telah mencemarkan dirinya, atau apabila roh cemburu menguasai suami itu, sehingga ia menjadi cemburu terhadap isterinya, walaupun perempuan itu tidak mencemarkan dirinya, maka haruslah orang itu membawa isterinya kepada imam. Dan orang itu harus membawa persembahan karena perempuan itu sebanyak sepersepuluh efa tepung jelai, yang ke atasnya tidak dituangkannya minyak dan yang tidak dibubuhinya kemenyan, karena korban itu ialah korban sajian cemburuan, suatu korban peringatan yang mengingatkan kepada kedurjanaan. Maka haruslah imam menyuruh perempuan itu mendekat dan menghadapkannya kepada TUHAN. Lalu imam harus membawa air kudus dalam suatu tempayan tanah, kemudian harus memungut debu yang ada di lantai Kemah Suci dan membubuhnya ke dalam air itu. Apabila imam sudah menghadapkan perempuan itu kepada TUHAN, haruslah ia menguraikan rambut perempuan itu, lalu meletakkan korban peringatan, yakni korban sajian cemburuan, ke atas telapak tangan perempuan itu, sedang di tangan imam haruslah ada air pahit yang mendatangkan kutuk. Maka haruslah imam menyumpah perempuan itu dengan berkata kepadanya: Jika tidak benar ada laki-laki yang tidur dengan engkau, dan jika tidak engkau berbuat serong kepada kecemaran, padahal engkau di bawah kuasa suamimu, maka luputlah engkau dari air pahit yang mendatangkan kutuk ini; tetapi jika engkau, padahal engkau di bawah kuasa suamimu, berbuat serong dan mencemarkan dirimu, oleh karena orang lain dari suamimu sendiri bersetubuh dengan engkau - dalam hal ini haruslah imam menyumpah perempuan itu dengan sumpah kutuk, dan haruslah imam berkata kepada perempuan itu - maka TUHAN kiranya membuat engkau menjadi sumpah kutuk di tengah-tengah bangsamu dengan mengempiskan pahamu dan mengembungkan perutmu, sebab air yang mendatangkan kutuk ini akan masuk ke dalam tubuhmu untuk mengembungkan perutmu dan mengempiskan pahamu. Dan haruslah perempuan itu berkata: Amin, amin. Lalu imam harus menuliskan kutuk itu pada sehelai kertas dan menghapusnya dengan air pahit itu, dan ia harus memberi perempuan itu minum air pahit yang mendatangkan kutuk itu, dan air itu akan masuk ke dalam badannya dan menyebabkan sakit yang pedih. Maka haruslah imam mengambil korban sajian cemburuan dari tangan perempuan itu lalu mengunjukkannya ke hadapan TUHAN, dan membawanya ke mezbah. Sesudah itu haruslah imam mengambil segenggam dari korban sajian itu sebagai bagian ingat-ingatannya dan membakarnya di atas mezbah, kemudian memberi perempuan itu minum air itu. Setelah terjadi demikian, apabila perempuan itu memang mencemarkan dirinya dan berubah setia terhadap suaminya, air yang mendatangkan sumpah serapah itu akan masuk ke badannya dan menyebabkan sakit yang pedih, sehingga perutnya mengembung dan pahanya mengempis, dan perempuan itu akan menjadi sumpah kutuk di antara bangsanya. Tetapi apabila perempuan itu tidak mencemarkan dirinya, melainkan ia suci, maka ia akan bebas dan akan dapat beranak.’”.

1Raja 8:31-32 - “Jika seseorang telah berdosa kepada temannya, lalu diwajibkan mengangkat sumpah dengan mengutuk dirinya, dan dia datang bersumpah ke depan mezbahMu di dalam rumah ini, maka Engkaupun kiranya mendengarkannya di sorga dan bertindak serta mengadili hamba-hambaMu, yakni menyatakan bersalah orang yang bersalah dengan menanggungkan perbuatannya kepada orang itu sendiri, tetapi menyatakan benar orang yang benar dengan memberi pembalasan kepadanya yang sesuai dengan kebenarannya”.

Dan Yesus tidak mungkin bertentangan dengan Perjanjian Lama (bdk. Mat 5:17-19).

2. Ibr 6:13-17 - “Sebab ketika Allah memberikan janjiNya kepada Abraham, Ia bersumpah demi diriNya sendiri, karena tidak ada orang yang lebih tinggi dari padaNya, kataNya: ‘Sesungguhnya Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan akan membuat engkau sangat banyak.’ Abraham menanti dengan sabar dan dengan demikian ia memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya. Sebab manusia bersumpah demi orang yang lebih tinggi, dan sumpah itu menjadi suatu pengokohan baginya, yang mengakhiri segala bantahan. Karena itu, untuk lebih meyakinkan mereka yang berhak menerima janji itu akan kepastian putusanNya, Allah telah mengikat diriNya dengan sumpah”.

3. Pada waktu Yesus diadili oleh Sanhedrin, dan Ia disuruh berbicara di bawah sumpah, Ia bukannya menegur mereka yang menyuruhNya bersumpah, tetapi sebaliknya Ia mau menjawab, padahal tadinya Ia tidak mau berbicara.

Mat 26:63-64 - “Tetapi Yesus tetap diam. Lalu kata Imam Besar itu kepadaNya: ‘Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak.’ Jawab Yesus: ‘Engkau telah mengatakannya. Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit.’”.

4. Dalam Wah 10:5-6 malaikat bersumpah.

Wah 10:5-6 - “Dan malaikat yang kulihat berdiri di atas laut dan di atas bumi, mengangkat tangan kanannya ke langit, dan ia bersumpah demi Dia yang hidup sampai selama-lamanya, yang telah menciptakan langit dan segala isinya, dan bumi dan segala isinya, dan laut dan segala isinya, katanya: ‘Tidak akan ada penundaan lagi!”.

5. Paulus sering bersumpah.

Ro 1:9 - “Karena Allah, yang kulayani dengan segenap hatiku dalam pemberitaan Injil AnakNya, adalah saksiku, bahwa dalam doaku aku selalu mengingat kamu”.

Ro 9:1 - “Aku mengatakan kebenaran dalam Kristus, aku tidak berdusta. Suara hatiku turut bersaksi dalam Roh Kudus”.

1Kor 15:31 - “Saudara-saudara, tiap-tiap hari aku berhadapan dengan maut. Demi kebanggaanku akan kamu dalam Kristus Yesus, Tuhan kita, aku katakan, bahwa hal ini benar”.

2Kor 1:23 - “Tetapi aku memanggil Allah sebagai saksiku - Ia mengenal aku -, bahwa sebabnya aku tidak datang ke Korintus ialah untuk menyayangkan kamu”.

Gal 1:20 - “Di hadapan Allah kutegaskan: apa yang kutuliskan kepadamu ini benar, aku tidak berdusta”.

Fil 1:8 - “Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian”.

Betul-betul tidak terbayangkan bahwa Paulus, yang adalah rasul yang begitu saleh, bisa berulang kali bersumpah kalau sumpah memang dilarang secara mutlak.

Semua ini menunjukkan bahwa sumpah tidak dilarang secara mutlak. Dalam pengadilan, atau dalam hal-hal yang penting lainnya, kita boleh bersumpah. Yang dilarang adalah bersum­pah secara sembarangan, untuk hal-hal yang tidak penting, sekalipun hal yang dikatakan itu merupakan kebenaran. Hal ini ditekankan lagi secara lebih khusus dalam ay 37.

Matius 5: 37: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat”.

Bdk. Yak 5:12 - “Tetapi yang terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah demi sorga maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman”.

Calvin menganggap bahwa dalam ay 37 ini Kristus memberikan obat, yaitu dengan menyuruh orang untuk berkata jujur / tidak berdusta. Saya tidak setuju dengan penafsiran Calvin di sini, karena kontext, dan kalimat terakhir dari ay 37 menunjukkan bahwa yang ditentang di sini adalah sumpah secara sembarangan. Jadi kata-kata ‘Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak’, bukan ditujukan untuk menekankan kejujuran, tetapi untuk melarang sumpah sembarangan. Jadi kalau ‘ya’, katakanlah ‘ya’, bukan ‘sumpah ya’.

Pulpit Commentary: “here the question is not of truthfulness, but of fervency in asseveration” (= di sini persoalannya bukanlah kebenaran, tetapi semangat dalam penegasan) - hal 165.

Penerapan: Apakah saudara sering bersumpah pada waktu saudara ingin kata-kata saudara dipercaya oleh orang lain, sekalipun itu bukan menyangkut sesuatu yang penting?

Beberapa komentar tentang orang yang gampang untuk bersumpah:

· Pulpit Commentary: “It betrays a consciousness, too, on the swearer’s part that he is not to be believed in his bare word” [= Juga, itu menyingkapkan suatu kesadaran pada pihak si penyumpah bahwa ia tidak dipercaya dalam kata-katanya semata-mata (tanpa sumpah)] - hal 205.

· William Hendriksen: “It is characteristic of certain individuals who are aware that their reputation for veracity is not exactly outstanding that the more they lie the more they will also assert that what they are saying is ‘gospel truth.’ They are in the habit of interlacing their conversations with oaths” (= Merupakan ciri dari individu-individu tertentu yang sadar bahwa reputasi mereka untuk kejujuran tidak terlalu menonjol, dimana makin mereka berdusta makin mereka menegaskan bahwa apa yang mereka katakan adalah ‘kebenaran injil’. Mereka terbiasa untuk menjalin percakapan mereka dengan sumpah) - hal 308.

· Adam Clarke: “A common swearer is constantly perjuring himself: such a person should never be trusted” (= Seseorang yang biasa bersumpah secara terus menerus bersumpah palsu: orang seperti itu tidak pernah boleh dipercaya) - hal 75.

b) Sumpah demi hal-hal lain selain Allah, tetap merupakan sumpah, yang harus dianggap mengikat, dan tidak boleh diremehkan / dianggap tidak ada.

Ay 34-36: “(34) Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah sekali-kali bersumpah, baik demi langit, karena langit adalah takhta Allah, (35) maupun demi bumi, karena bumi adalah tumpuan kakiNya, ataupun demi Yerusalem, karena Yerusalem adalah kota Raja Besar; (36) janganlah juga engkau bersumpah demi kepalamu, karena engkau tidak berkuasa memutihkan atau menghitamkan sehelai rambutpun”.

1. Ini tidak berarti bahwa kita tidak boleh bersumpah demi langit, bumi dan sebagainya.

Yesus mengucapkan kata-kata ini karena orang-orang Yahudi pada saat itu memandang remeh sumpah demi langit, bumi dsb (pokoknya sumpah yang tidak mencakup nama Allah).

Calvin: “It is a mistake to explain these words as meaning, that such forms of swearing are condemned by God only. The reasons which he brings forward tend rather to the opposite view, that we swear by the name of God even when we name the heaven, and the earth: because there is no part of the world on which God has not engraved the marks of his glory” (= Adalah salah untuk menjelaskan bahwa kata-kata ini artinya adalah bahwa hanya bentuk-bentuk sumpah seperti itu yang dikecam oleh Allah. Alasan yang Ia kemukakan justru cenderung untuk berarti sebaliknya, yaitu bahwa kita bersumpah demi nama Allah bahkan pada saat kita menyebut langit / surga, dan bumi: karena tidak ada bagian dalam alam semesta dimana Allah tidak mengukirkan tanda-tanda / ciri-ciri kemuliaanNya) - hal 295.

Calvin: “Heaven is called in Scripture (Isa. 66:1) the throne of God: not that he dwells in heaven alone, but to teach men to raise their minds upwards, whenever they think of him, and not to form any low or earthly conceptions of him. Again, the earth is called his footstool, (v. 35) to inform us, that he fills all things, and that no extent of space can contain him. The holiness of Jerusalem (v. 35) depended on his promise. It was the holy city, (Isa. 52:1:) because God had selected it to be the seat and residence of his empire. When men swear by their head, (v. 36,) they bring forward their life, which is a remarkable gift of God, as a pledge of their sincerity” [= Langit / surga disebut dalam Kitab Suci (Yes 66:1) sebagai takhta Allah: bukan bahwa Ia tinggal di dalam surga saja, tetapi untuk mengajar manusia untuk mengangkat pikiran mereka ke atas, kapanpun mereka berpikir tentang Dia, dan tidak membentuk konsep yang rendah atau duniawi tentang Dia. Juga, bumi disebut tumpuan kakiNya (ay 35) untuk memberi tahu kita, bahwa Ia memenuhi segala sesuatu, dan bahwa tidak ada tempat yang bisa menampung Dia. Kekudusan Yerusalem (ay 35) tergantung pada janjiNya. Itu adalah kota kudus (Yes 52:1), karena Allah telah memilihnya untuk menjadi kedudukan dan tempat tinggal dari kekaisaranNya. Pada waktu orang bersumpah demi kepala mereka (ay 36), mereka mengajukan hidup / nyawa mereka, yang merupakan karunia yang hebat / luar biasa dari Allah, sebagai jaminan dari ketulusan / kejujuran mereka] - hal 296.

Yes 66:1 - “Beginilah firman TUHAN: Langit adalah takhtaKu dan bumi adalah tumpuan kakiKu; rumah apakah yang akan kamu dirikan bagiKu, dan tempat apakah yang akan menjadi perhentianKu?”.

Bdk. 1Raja 8:27 - “Tetapi benarkah Allah hendak diam di atas bumi? Sesungguhnya langit, bahkan langit yang mengatasi segala langitpun tidak dapat memuat Engkau, terlebih lagi rumah yang kudirikan ini”.

Tetapi, kalau kita memang boleh bersumpah demi sesuatu yang bukan Allah (langit, bumi dsb), lalu bagaimana dengan Ul 6:13 yang berbunyi: “Engkau harus takut akan TUHAN, Allahmu; kepada Dia haruslah engkau beribadah dan demi namaNya haruslah engkau bersumpah”. Bukankah ayat ini kelihatannya menunjukkan bahwa kita hanya boleh bersumpah demi nama Allah / Tuhan?

Calvin mengatakan bahwa Ul 6:13 tidak boleh diartikan seakan-akan kita hanya boleh bersumpah demi nama Tuhan. Pada waktu Ul 6:13 itu mengatakan bahwa kita harus bersumpah harus demi nama Tuhan, maksudnya kita tidak boleh bersumpah demi nama dewa / berhala / allah lain!

Memang, dalam Ul 6:13 itu, ‘nama Tuhan’ bukannya dikontraskan dengan ‘segala sesuatu yang lain’, tetapi dengan ‘dewa / berhala / allah lain’. Jadi yang dilarang oleh ayat itu hanyalah bersumpah demi dewa / berhala / allah lain, bukannya demi hal-hal lain seperti langit, bumi, dan sebagainya. Pandangan ini didukung oleh Ul 4:26, yang menunjukkan bahwa Musa bersumpah demi langit dan bumi!

Ul 4:26 - “maka aku memanggil langit dan bumi menjadi saksi terhadap kamu pada hari ini, bahwa pastilah kamu habis binasa dengan segera dari negeri ke mana kamu menyeberangi sungai Yordan untuk mendudukinya; tidak akan lanjut umurmu di sana, tetapi pastilah kamu punah”.

Tetapi Calvin (hal 296) menentang cara bersumpah dari orang-orang Katolik, yang bersumpah demi malaikat, atau orang-orang suci yang sudah mati, karena menurut dia ini merupakan pendewaan terhadap malaikat / orang-orang suci tersebut.

2. Sumpah demi langit, bumi, kepala dsb, tetap merupakan sumpah yang mengikat, dan tidak boleh diremehkan / dianggap tidak ada.

Jadi berbeda dengan praktek dari orang-orang Yahudi pada saat itu, yang menganggap ada sumpah yang mengikat dan ada yang tidak berarti apa-apa (Mat 23:16-22), maka Yesus mengatakan bahwa semua sumpah mengikat, bahkan pada saat nama Allah tidak digunakan.

Pulpit Commentary: “Neither by heaven, etc. Our Lord further defines what he means by an oath. It does not mean only expression in which God’s Name is mentioned, but any expression appealing to any object at all, whether this be supraterrestrial, terrestrial, national, or personal. Although God’s Name is omitted in such cases, from a feeling of reverence, its omission does not prevent the asseveration being an oath” [= ‘Baik demi langit / surga, dsb’. Tuhan kita menjelaskan lebih lanjut apa yang Ia maksudkan dengan suatu sumpah. Itu tidak hanya berarti ungkapan-ungkapan dalam mana Nama Allah disebutkan, tetapi seadanya pernyataan yang menyebut seadanya obyek (sebagai saksi), apakah yang di atas bumi, yang berkenaan dengan bumi, nasional, atau pribadi. Sekalipun Nama Allah dihapuskan dalam kasus-kasus itu, karena rasa takut, penghapusan tersebut tidak menghalangi pernyataan yang ditekankan itu sebagai suatu sumpah] - hal 165.

Pulpit Commentary: “The principle underlying all this is that men should see God in everything. That the creature cannot be separate from the Creator. Therefore that calling any creature to witness is virtually calling God” (= Prinsip yang melandasi semua ini adalah bahwa manusia harus melihat Allah dalam segala sesuatu. Bahwa ciptaan tidak bisa dipisahkan dari sang Pencipta. Karena itu pemanggilan seadanya ciptaan sebagai saksi sebetulnya merupakan pemanggilan terhadap Allah) - hal 218.

5) Bagaimana mengobati penyakit ‘suka bersumpah’?

a) Sadari bahwa itu merupakan dosa.

Kalau saudara tidak menganggap ‘sumpah gampangan’ itu sebagai dosa, tentu saudara tidak akan berusaha membuang hal itu dari hidup saudara. Jadi, kesadaran dosa ini mutlak penting!

b) Berusahalah membuang dosa itu, sekalipun sudah menjadi kebiasaan (Yak 5:12).

Thomas Manton: “Thy custom will not excuse thee; if it be thy custom to sin, it is God’s custom to destroy sinners” (= Kebiasaanmu tidak akan memaafkan kamu; kalau itu merupa­kan kebiasaanmu untuk berdosa, maka adalah kebiasaan Allah untuk menghancurkan orang-orang berdosa).

c) Berbicaralah jujur senantiasa.

Banyak orang sering berdusta sehingga tidak bisa dipercaya dan supaya ia bisa dipercaya, ia lalu bersumpah. Tetapi kalau kita selalu jujur kepada siapapun, kita akan dipercaya sekalipun tidak bersumpah. Dengan demikian, sumpah itu tak akan dibutuhkan lagi untuk meyakinkan orang.

Memang kalau selama ini saudara sudah dikenal sebagai orang yang sering berdusta, dan mulai saat ini saudara mengambil keputusan untuk berbicara jujur, maka tentu saja orang-orang di sekitar saudara tidak akan cepat-cepat percaya. Tetapi bertekunlah dalam kejujuran itu, maka lambat laun orang-orang itu akan mempercayai saudara.

Barclay: “Isocrates, the great Greek teacher and orator, said, ‘A man must lead a life which will gain more confidence in him than ever an oath can do.’ Clement of Alexandria insisted that Christians must lead such a life and demonstrate such a character that no one will ever dream of asking an oath from them” (= Isocrates, guru dan orator Yunani yang terkenal, berkata: ‘Seseorang harus hidup sehingga mendapatkan keyakinan dalam dirinya lebih dari pada yang bisa didapatkan oleh sumpah’. Clement of Alexandria bersikeras bahwa orang-orang Kristen harus hidup sedemikian rupa dan mendemonstrasikan suatu karakter sedemikian rupa sehingga tidak seorangpun akan pernah bermimpi untuk menyuruh mereka bersumpah) - hal 160.

d) Jangan peduli kalau saudara tidak dipercaya, sekalipun saudara mengatakan kebenaran. Tidak perlu menyakinkan orang itu dengan jalan bersumpah. Kalau orang itu tidak mau per­caya, biarkanlah ia tidak percaya!
Kesimpulan:

Adam Clarke: “The best way is to have as little to do as possible with oaths. An oath will not bind a knave nor a liar; and an honest man needs none, for his character and conduct swear for him” (= Cara yang terbaik adalah bersumpah sesedikit mungkin. Suatu sumpah tidak akan mengikat seorang bangsat / yang tidak jujur ataupun seorang pendusta; dan seseorang yang jujur tidak membutuhkannya, karena karakter dan tingkah lakunya bersumpah untuknya) - hal 74.

-o0o-

Matius 5:38-42

1) Matius 5: 38-39a: “(38) Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. (39) Tetapi Aku berkata kepadamu: ...”.

Kata ‘firman’ lagi-lagi merupakan terjemahan yang salah, dan terjemahan yang salah ini menyebabkan seakan-akan Yesus menentang hukum Taurat / Perjanjian Lama.

KJV: ‘Ye have heard that it hath been said, An eye for an eye, and a tooth for a tooth: But I say unto you, ...’ (= Kamu telah mendengar bahwa telah dikatakan: Satu mata untuk satu mata, dan satu gigi untuk satu gigi: Tetapi Aku berkata kepadamu: ...).

Jadi, lagi-lagi di sini Yesus bukannya menentang hukum Taurat / Perjanjian Lama, tetapi menentang ajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum Taurat / Perjanjian Lama.

2) Prinsip ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi’ berlaku untuk pengadilan, bukan dalam urusan pribadi.

a) Dalam hukum Taurat / Perjanjian Lama memang ada hukum-hukum seperti itu, yaitu dalam:

· Im 24:20 - “patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi; seperti dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya”.

· Kel 21:23-25 - “Tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak”.

· Ul 19:21 - “Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.’”.

b) Tetapi semua ini diberikan dalam kontex hukum pengadilan (baca ketiga ayat ini dan perhatikan kontexnya)

Karena itu artinya adalah: pengadilan harus memberikan hukuman yang setimpal dengan kesalahan orang yang diadili. Tujuan dari hukum ini justru adalah supaya tidak terjadi balas dendam pribadi.

c) Tetapi para ahli Taurat menafsirkannya sebagai hukum pribadi (boleh membalas dendam secara pribadi). Padahal dalam Perjanjian Lama ada ayat-ayat yang jelas bertentangan dengan balas dendam pribadi, seperti:

· Im 19:18 - “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”.

· Amsal 20:22 - “Janganlah engkau berkata: ‘Aku akan membalas kejahatan,’ nantikanlah TUHAN, Ia akan menyelamatkan engkau”.

· Amsal 24:29 - “Janganlah berkata: ‘Sebagaimana ia memperlakukan aku, demikian kuperlakukan dia. Aku membalas orang menurut perbuatannya.’”.

Penafsiran salah dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi inilah yang dikoreksi oleh Yesus.

Calvin: “Here another error is corrected. God had enjoined, by his law, (Lev. 24:20,) that judges and magistrates should punish those who had done injuries, by making them endure as much as they had inflicted. The consequence was, that every one seized on this as a pretext for taking private revenge. They thought that they did no wrong, provided they were not the first to make the attack, but only, when injured, returned like for like” [= Di sini kesalahan yang lain dikoreksi. Allah telah memerintahkan melalui hukumNya (Im 24:20), bahwa hakim harus menghukum mereka yang telah melukai, dengan membuat mereka merasakan sama banyaknya dengan apa yang mereka timbulkan. Akibatnya adalah, bahwa setiap orang menggunakan ini sebagai alasan / dasar untuk melakukan pembalasan dendam pribadi. Mereka mengira bahwa mereka tidak melakukan hal yang salah, asalkan mereka tidak menyerang lebih dulu, tetapi hanya membalas secara sama pada waktu mereka dilukai / disakiti] - hal 297.

Barnes’ Notes: “In these places it was given as a rule to regulate the decisions of judges. ... But, instead of confining it to magistrates, the Jews had extended it to private conduct, and made it the rule by which to take revenge” [= Di tempat-tempat ini (maksudnya Kel 21:23-25 Im 24:20 Ul 19:21) itu diberikan sebagai peraturan untuk mengatur keputusan dari hakim. ... Tetapi orang-orang Yahudi bukannya membatasi hal itu bagi hakim, melainkan memperluasnya untuk tingkah laku pribadi, dan membuatnya sebagai peraturan untuk membalas dendam] - hal 26.

Pulpit Commentary: “The words of the Law of Moses relate to punishment inflicted by a court of justice; the Jews probably understood them as permitting private revenge. Holy Scripture does not forbid the infliction of judicial punishment (comp. Rom. 13:4). It forbids the revengeful temper, and it forbids private revenge altogether” [= Kata-kata dari Hukum Musa berhubungan dengan hukuman yang diberikan oleh pengadilan; orang-orang Yahudi mungkin mengartikan hukum-hukum itu sebagai ijin untuk pembalasan dendam pribadi. Kitab Suci yang kudus tidak melarang pemberian hukuman pengadilan (bdk. Ro 13:4). Tetapi Kitab Suci melarang sifat suka balas dendam, dan Kitab Suci melarang balas dendam pribadi secara total] - hal 177.

William Hendriksen: “This was a law for the civil courts, laid down in order that the practice of seeking private revenge might be discouraged. The Old Testament passages do not mean, ‘Take personal revenge whenever you are wronged,’ They mean the exact opposite, ‘Do not avenge yourself but let justice be administered publicly.’ ... The Pharisees, however, appealed to this law to justify personal retribution and revenge” (= Ini adalah hukum untuk pengadilan, diberikan supaya orang tidak terdorong untuk melakukan praktek balas dendam pribadi. Text-text Perjanjian Lama ini tidak berarti: ‘Lakukanlah balas dendam pribadi jika ada orang yang berbuat salah kepadamu’. Artinya justru adalah sebaliknya: ‘Jangan membalas dendam sendiri, tetapi biarkanlah keadilan dilakukan di depan umum’. ... Tetapi orang-orang Farisi menggunakan hukum ini untuk membenarkan balas dendam pribadi) - hal 310.

John Stott: “The context makes it clear beyond question that this was an instruction to the judges of Israel. Indeed, they are mentioned in Deuteronomy 19:17,18” (= Kontextnya membuat jelas dan tanpa keraguan bahwa ini merupakan instruksi bagi hakim-hakim dari Israel. Dan memang mereka disebutkan dalam Ul 19:17-18) - ‘The Message of the Sermon of the Mount’, hal 104.

Ul 19:16-21 - “(16) Apabila seorang saksi jahat menggugat seseorang untuk menuduh dia mengenai suatu pelanggaran, (17) maka kedua orang yang mempunyai perkara itu haruslah berdiri di hadapan TUHAN, di hadapan imam-imam dan hakim-hakim yang ada pada waktu itu. (18) Maka hakim-hakim itu harus memeriksanya baik-baik, dan apabila ternyata, bahwa saksi itu seorang saksi dusta dan bahwa ia telah memberi tuduhan dusta terhadap saudaranya, (19) maka kamu harus memperlakukannya sebagaimana ia bermaksud memperlakukan saudaranya. Demikianlah harus kauhapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu. (20) Maka orang-orang lain akan mendengar dan menjadi takut, sehingga mereka tidak akan melakukan lagi perbuatan jahat seperti itu di tengah-tengahmu. (21) Janganlah engkau merasa sayang kepadanya, sebab berlaku: nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki.’”.

d) Latar belakang munculnya hukum ini, dan pelaksanaannya.

Barclay: “Jesus begins by citing the oldest law in the world - an eye for an eye, and a tooth for a tooth. That law is known as the Lex Talionis, ... These laws are often quoted as amongst the blood thirsty, savage and merciless laws of the Old Testament; but before we begin to criticise certain things must be noted. (i) The Lex Talionis, ... so far from being a savage and bloodthirsty law, is in fact the beginning of mercy. Its original aim was definitely the limitation of vengeance. In the very earliest days the vendetta and the blood feud were characteristic of tribal society. If a man of one tribe injured a man of another tribe, then at once all the members of the tribe of the injured man were out to take vengeance on all the members of the tribe of the man who committed the injury; and the vengeance desired was nothing less than death. This law deliberately limits vengeance. It lays it down that only the man who committed the injury must be punished, and his punishment must be no more than the equivalent of the injury he has inflicted and the damage he has done. Seen against its historical setting this is not a savage law, but a law of mercy. (ii) Further, this was never a law which gave a private individual the right to extract vengeance; it was always a law which laid down how a judge in the law court must assess punishment and penalty (cp. Deuteronomy 19:18). ... (iii) Still Further, this law was never, at least in any even semi-civilized society, carried out literally. The Jewish jurists argued rightly that to carry it out literally might in fact be the reverse of justice, because it obviously might involve the displacement of a good eye or a good tooth for a bad eye or a bad tooth. And very soon the injury does was assessed at a money value; and the Jewish law in the tractate Baba Kamma carefully lays down how the damage is to be assessed. If a man has injured another, he is liable on five counts - for injury, for pain, for healing, for loss of time, for indignity suffered. In regard to injury, the injured man is looked on as a slave to be sold in a market place. His value before and after the injury was assessed, and the man responsible for the injury had to pay the difference. He was responsible for the loss in value of the man injured. In regard to pain, it was estimated how much money a man would accept to be willing to undergo the pain of the injury inflicted, and the man responsible for the injury had to pay that sum. In regard to healing, the injurer had to pay all the expenses of the necessary medical attention, until a complete cure had been effected. In regard to loss of time, the injurer had to pay compensation for the wages lost while the injured man was unable to work, and he had also to pay compensation if the injured man had held a well paid position, and was now, in consequence of the injury, fit for less well rewarded work. In regard to indignity, the injurer had to pay damages for the humiliation and indignity which the injury had inflicted. ... (iv) And most important of all, it must be remembered that the Lex Talionis is by no means the whole Old Testament ethics. There are glimpses and even splendours of mercy in the Old Testament” [= Yesus mulai dengan mengutip hukum tertua di dunia - mata ganti mata, dan gigi ganti gigi. Hukum itu dikenal sebagai Lex Talionis, ... Hukum-hukum ini sering dikutip sebagai hukum-hukum yang haus darah, kejam / ganas dan tidak berbelas kasihan dari Perjanjian Lama; tetapi sebelum kita mulai mengkritik, ada hal-hal tertentu yang harus diperhatikan. (i) Lex Talionis, ... sama sekali bukan merupakan hukum yang kejam / ganas dan haus darah, tetapi dalam faktanya justru merupakan permulaan dari belas kasihan. Tujuan orisinilnya jelas adalah untuk membatasi balas dendam. Pada jaman kuno / dahulu, dendam keluarga dan permusuhan yang turun temurun merupakan ciri dari masyarakat suku. Jika seseorang dari satu suku dilukai oleh seseorang dari suku yang lain, maka segera semua anggota dari suku yang dilukai keluar untuk membalas dendam kepada semua anggota dari suku dari orang yang melakukan hal itu; dan balas dendam yang diinginkan tidak kurang dari kematian. Hukum ini secara sengaja membatasi balas dendam. Hukum ini menetapkan bahwa hanya orang yang melakukan hal itu yang harus dihukum, dan hukumannya tidak boleh lebih dari luka yang telah ia lakukan dan kerusakan yang telah ia perbuat. Dilihat dari keadaan sejarahnya, maka hukum ini bukanlah hukum yang kejam / ganas, tetapi hukum belas kasihan. (ii) Selanjutnya, ini tidak pernah merupakan hukum yang memberi hak individual / pribadi untuk memaksakan balas dendam; tetapi hukum ini selalu merupakan hukum yang menetapkan bagaimana seorang hakim dalam pengadilan harus memperkirakan / membebankan hukuman (bdk. Ul 19:18). ... (iii) Lebih jauh lagi, setidaknya dalam masyarakat yang cukup beradab, hukum ini tidak pernah dilaksanakan secara hurufiah. Juri-juri / hakim-hakim Yahudi secara benar berargumentasi bahwa melaksanakan hukum ini secara hurufiah dalam faktanya bisa membalikkan keadilan, karena itu jelas bisa melibatkan penggantian mata yang baik atau gigi yang baik untuk mata yang buruk dan gigi yang buruk. Karena itu luka yang dilakukan lalu ditaksir dengan uang; dan hukum Yahudi dalam traktat Baba Kamma secara teliti menetapkan bagaimana caranya kerusakan itu harus ditaksir. Jika seseorang melukai orang lain, ia dapat dikenakan lima hitungan, yaitu untuk luka, untuk rasa sakit, untuk penyembuhan / pengobatan, untuk waktu yang hilang / terbuang, dan untuk penghinaan yang diderita. Berkenaan dengan luka, orang yang terluka dipandang sebagai budak yang akan dijual di pasar. Harganya sebelum dan sesudah luka itu terjadi, ditaksir, dan orang yang bertanggung jawab untuk luka itu harus membayar perbedaan harga tersebut. Ia bertanggung jawab untuk kerugian harga dari orang yang dilukai. Berkenaan dengan rasa sakit, ditaksir berapa uang yang mau diterima oleh seseorang untuk mengalami rasa sakit dari luka tersebut, dan orang yang bertanggung jawab untuk luka itu harus membayar jumlah itu. Berkenaan dengan penyembuhan / pengobatan, orang yang melukai harus membayar semua pengeluaran untuk pengobatan yang dibutuhkan, sampai kesembuhan yang sempurna telah terjadi. Berkenaan dengan kehilangan / kerugian waktu, orang yang melukai harus membayar kompensasi untuk upah yang hilang sementara orang yang terluka tidak bisa bekerja, dan ia juga harus membayar kompensasi jika orang yang terluka itu tadinya mempunyai kedudukan yang baik, dan sekarang, karena luka itu, hanya cocok untuk pekerjaan yang lebih buruk / rendah. Berkenaan dengan penghinaan, orang yang melukai harus membayar kerusakan untuk perendahan dan penghinaan yang diberikan oleh luka tersebut. ... (iv) Dan yang terpenting dari semua, harus diingat bahwa Lex Talionis sama sekali bukan merupakan seluruh etika Perjanjian Lama. Ada kilasan-kilasan dan bahkan kemegahan-kemegahan dari belas kasihan dalam Perjanjian Lama] - hal 163.

Barclay lalu menyebutkan beberapa ayat yaitu:

· Im 19:18 - “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”.

· Amsal 25:21 - “Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air”.

· Amsal 24:29 - “Janganlah berkata: ‘Sebagaimana ia memperlakukan aku, demikian kuperlakukan dia. Aku membalas orang menurut perbuatannya.’”.

· Ratapan 3:30 - “Biarlah ia memberikan pipi kepada yang menamparnya, biarlah ia kenyang dengan cercaan”.

3) Ajaran Yesus dalam persoalan pribadi.

Dalam persoalan pengadilan Yesus tidak mengubah Perjanjian Lama. Jadi prinsip ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi’, yang artinya pengadilan harus menjatuhkan hukuman yang adil sesuai dengan kesalahan orang yang diadili, tetap berlaku. Tetapi dalam persoalan pribadi, Yesus memberikan ajaran dalam Mat 5:39-dst.

Barclay: “Few passages of the New Testament have more of the essence of the Christian ethic in them than this one. Here is the characteristic ethic of the Christian life, and the conduct which should distinguish the Christian from other men” (= Sedikit text-text dari Perjanjian Baru yang mempunyai lebih banyak hakekat dari etika Kristen di dalamnya dari pada yang satu ini. Di sinilah ciri etika dari kehidupan Kristen, dan tingkah laku yang seharusnya membedakan orang Kristen dari orang-orang lain) - hal 163.

Sekarang mari kita membahas ay 39-42 satu per satu:

a) Matius 5: 39: “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”.

1. ‘Janganlah melawan orang yang berbuat jahat kepadamu’.

John Stott: “we cannot take Jesus’ command, ‘Resist not evil,’ as an absolute prohibition of the use of all force (including the police) unless we are prepared to say that the Bible contradicts itself and the apostles misunderstood Jesus. For the New Testament teaches that the state is a divine institution, commissioned (through its executive office-bearers) both to punish the wrongdoer (i.e., to ‘resist one who is evil’ to the point of making him bear the penalty of his evil) and to reward those who do good” [= kita tidak bisa menerima perintah Yesus ‘janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu’ sebagai suatu larangan mutlak untuk menggunakan semua kekuatan (termasuk polisi) kecuali kita siap untuk mengatakan bahwa Alkitab bertentangan dengan dirinya sendiri dan rasul-rasul salah mengerti Yesus. Karena Perjanjian Baru mengajarkan bahwa pemerintah merupakan lembaga ilahi, yang ditugaskan (melalui pejabat-pejabatnya) untuk menghukum orang yang berbuat salah / jahat (yaitu, untuk ‘melawan orang yang jahat’ dengan membuat ia memikul hukuman dari kejahatannya) dan untuk memberi upah kepada mereka yang berbuat baik] - ‘The Message of the Sermon of the Mount’, hal 110.

Bdk. Ro 13:1-4 - “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya. Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat”.

John Stott: “I think Luther’s distinction between ‘person’ and office’, or as we might say, between individual and institution, holds. The Christian is to be wholly free from revenge, not only in action, but in his heart as well; as an office-bearer in either state or church, however, he may find himself entrusted with authority from God to resist evil and to punish it” (= Saya kira pembedaan yang dilakukan oleh Luther antara ‘pribadi’ dan ‘jabatan’, atau seperti bisa kami katakan antara individu dan lembaga, berlaku. Orang kristen harus sepenuhnya bebas dari balas dendam, bukan hanya dalam tindakan, tetapi juga dalam hatinya; tetapi sebagai seorang pejabat negara atau gereja, ia mendapati bahwa dirinya dipercayai dengan otoritas dari Allah untuk melawan kejahatan dan menghukumnya) - ‘The Message of the Sermon of the Mount’, hal 113.

2. Tamparan merupakan suatu serangan yang tidak membahayakan jiwa.

Perlu diingat bahwa ‘menampar’ merupakan serangan yang tidak membahayakan jiwa. Pada waktu mendapatkan serangan yang tidak membahayakan jiwa, kita tidak boleh membalas. Tetapi, kalau serangan itu membahayakan jiwa, orang kristen boleh membela diri, karena kita juga harus mengasihi diri kita sendiri (Mat 22:39), sehingga kita tidak boleh membiarkan begitu saja diri kita sendiri dibunuh orang. Bdk. Ester 9 Neh 4.

Barnes’ Notes: “The general principle which he laid down was, that we are not to resist evil; ... But even this general direction is not to be pressed too strictly. Christ did not intend to teach that we are to see our families murdered, or to be murdered ourselves, rather than to make resistance. The law of nature, and all laws, human and Divine, have justified self-defence, when life is in danger” (= Prinsip umum yang Ia tetapkan adalah bahwa kita tidak boleh melawan kejahatan; Tetapi bahkan pengarahan umum ini tidak boleh ditekankan secara terlalu ketat. Kristus tidak bermaksud untuk mengajar bahwa kita harus membiarkan keluarga kita atau diri kita dibunuh, dan bukannya melakukan perlawanan. Hukum alam, dan semua hukum, baik hukum manusia maupun hukum ilahi, membenar-kan pembelaan diri, pada waktu jiwa ada dalam bahaya) - hal 26.

Barnes’ Notes: “Had he intended to refer it to a case where life in danger, he would most surely have mentioned it. ... Instead of doing this, however, he confines himself to smaller matters, to things of comparatively trivial interest, and says, that in these we had better take wrong than to enter into strife and lawsuits. The first case is, where we are smitten on the cheek” (= Seandainya ia bermaksud untuk menunjuk pada suatu kasus dimana jiwa ada dalam bahaya, Ia pasti telah menyebutkannya. ... Sebaliknya dari melakukan hal ini, Ia membatasi diriNya pada hal-hal kecil, pada hal-hal yang relatif remeh, dan berkata bahwa dalam hal-hal ini kita lebih baik menerima hal yang salah dari pada masuk ke dalam pertengkaran dan pengadilan. Kasus pertama adalah pada waktu kita ditampar pada pipi) - hal 26.

3. Tamparan pada pipi kanan, sekalipun tidak membahayakan jiwa, tetapi merupakan suatu penghinaan yang besar.

Orang yang tidak kidal, untuk memukul / menampar pipi kanan lawannya menggunakan tangan kanannya, harus memukul dengan punggung tangan, dan menurut Barclay ini merupakan penghinaan dobel dibandingkan dengan tamparan menggunakan telapak tangan.

Barclay: “Now according to Jewish Rabbinic law to hit a man with the back of the hand was twice as insulting as to hit him with the flat of the hand” (= Menurut hukum rabi Yahudi, memukul seseorang dengan punggung tangan merupakan penghinaan dobel dibandingkan dengan memukul dengan telapak tangan) - hal 166.

4. Kata-kata ‘berilah juga kepadanya pipi kirimu’ tidak boleh diartikan secara hurufiah.

Barnes’ Notes: “The first case is, where we are smitten on the cheek. Rather than contend and fight, we should take it patiently, and turn the other cheek. This does not, however, prevent our remonstrating firmly, yet mildly, on the injustice of the thing, and insisting that justice should be done to us, as is evident from the example of the Saviour himself. See John 18:32” (= Kasus pertama adalah pada waktu kita ditampar pada pipi. Dari pada menantang dan berkelahi, kita harus menerimanya dengan sabar, dan memberikan pipi satunya. Tetapi ini tidak menghalangi kita untuk memprotes dengan tegas, tetapi lembut, ketidak-adilan dari hal itu, dan berkeras bahwa keadilan harus dilakukan kepada kita, seperti jelas dari teladan sang Juruselamat sendiri. Lihat Yoh 18:23) - hal 26.

A. T. Robertson: “Sticklers for extreme literalism find trouble with the conduct of Jesus in John 18:22f. where Jesus, on receiving a slap in the face, protested against it” (= Orang-orang yang berpegang teguh pada penghurufiahan yang extrim akan mendapatkan problem dengan tingkah laku Yesus dalam Yoh 18:22-dst dimana Yesus, pada waktu menerima tamparan di wajahNya, memprotes hal itu) - hal 90.

Yoh 18:22-23 - “Ketika Ia mengatakan hal itu, seorang penjaga yang berdiri di situ, menampar mukaNya sambil berkata: ‘Begitukah jawabMu kepada Imam Besar?’. Jawab Yesus kepadanya: ‘Jikalau kataKu itu salah, tunjukkanlah salahnya, tetapi jikalau kataKu itu benar, mengapakah engkau menampar Aku?’”.

Calvin beranggapan bahwa penafsiran hurufiah justru merupakan sesuatu yang mendorong kejahatan dari si pemukul.

Calvin: “Unquestionably, Christ did not intend to exhort his people to whet the malice of those, whose propensity to injure others is sufficiently strong: and if they were to turn to them the other cheek, what would it be but holding out such an encouragement?” (= Tidak diragukan, Kristus tidak bermaksud untuk mendesak umatNya untuk merangsang kejahatan dari mereka, yang mempunyai kecenderungan kuat untuk melukai orang lain: dan jika mereka harus memberikan pipi satunya, apakah itu selain memberikan dorongan seperti itu?) - hal 299.

Calvin berpendapat bahwa sekalipun kita tidak boleh membalas, tetapi kita boleh menghindar.

Calvin: “There are two ways of resisting: the one, by warding off injuries through inoffensive conduct; the other, by retaliation. Though Christ does not permit his people to repel violence by violence, yet he does not forbid them to endeavour to avoid an unjust attack” (= Ada 2 jalan untuk menahan / melawan: yang satu dengan menghindari luka melalui tindakan bertahan; yang lain dengan membalas. Sekalipun Kristus tidak mengijinkan umatNya untuk melawan kekerasan dengan kekerasan, tetapi Ia tidak melarang mereka untuk berusaha menghindari serangan yang tidak adil / benar) - hal 298.

Calvin: “I admit that Christ restrains our hands, as well as our minds, from revenge: but when any one has it in his power to protect himself and his property from injury, without exercising revenge, the words of Christ do not prevent him from turning aside gently and inoffensively to avoid the threatened attack” (= Saya mengakui bahwa Kristus menahan tangan kita maupun pikiran kita dari balas dendam: tetapi pada saat seseorang mempunyai kuasa untuk melindungi dirinya sendiri dan miliknya dari luka / kerugian, tanpa melakukan balas dendam, kata-kata Kristus tidak menghalanginya / melarangnya untuk menghindar ke samping secara lembut dan bertahan untuk menghindari serangan yang mengancam) - hal 299.
5. Ini mengajar kita untuk sabar dalam menghadapi tindakan yang menyakitkan.

Calvin: “Christ informs them, on the contrary, that, though judges were entrusted with the defence on the community, and were invested with authority to restrain the wicked and repress their violence, yet it is the duty of every man to bear patiently the injuries which he receives” [= Sebaliknya Kristus memberi tahu mereka bahwa sekalipun hakim dipercaya untuk membela masyarakat, dan diberi otoritas untuk mengekang orang jahat dan menekan kekerasan / kekejaman mereka, tetapi merupakan kewajiban dari setiap orang untuk menanggung dengan sabar tindakan menyakitkan yang ia terima] - hal 297.

Calvin: “The amount of the whole admonition is, that believers should learn to forget the wrongs that have been done to them, - that they should not, when injured, break out into hatred or ill-will, or wish to commit an injury on their part, - but that, the more the obstinacy and rage of wicked men was excited and inflamed, they should be the more fully disposed to exercise patience” (= Arti dari seluruh nasehat ini adalah bahwa orang-orang percaya harus belajar untuk melupakan kesalahan-kesalahan yang dilakukan terhadap mereka, - bahwa pada waktu mereka dilukai mereka tidak boleh meledak dalam kebencian atau keinginan jahat, atau keinginan untuk melukai, - tetapi bahwa makin kekeras-kepalaan dan kemarahan dari orang-orang jahat bangkit dan berkobar, makin mereka harus cenderung untuk menggunakan kesabaran) - hal 298.

Penerapan:

· Adakah orang yang berbuat jahat kepada saudara / menyakiti saudara, kepada siapa saudara sekarang sedang jengkel, dendam, siap meledak, dan ingin membalas? Yesus menghendaki saudara untuk menahan dengan sabar. Maukah saudara?

· Mungkin ada teman sekerja / sekolah yang sentimen / benci kepada saudara, dan selalu mengejek saudara. Bagaimana sikap saudara?

· pada waktu di jalanan pasti sering ada orang yang memotong / menyerobot jalan saudara, atau becak / bemo yang berhenti seenaknya, atau orang menyeberang tanpa melihat dan sengaja berjalan pelan-pelan, atau orang yang menyetir dengan kecepatan rendah tetapi tidak mau minggir pada waktu diklaxon, atau mobil yang lampunya ‘ngedim’ sehingga menyilaukan saudara. Ini semua pasti masih jauh lebih remeh dari pada ditampar pada pipi. Bagaimana reaksi saudara?

b) Matius 5: 40: “Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu”.

1. Sekarang Kristus mempersoalkan gangguan yang lain, yaitu tentang orang yang menuntut kita melalui pengadilan.

2. Kata ‘jubah’ menunjuk pada ‘outer garment’ (= pakaian luar); sedangkan kata ‘baju’ menunjuk pada ‘tunic / under garment’ (= pakaian dalam).

a. Ay 40 ini berkebalikan dengan Luk 6:29, yang mengatakan bahwa barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarlah ia juga mengambil bajumu. Mungkin Yesus mengucapkan keduanya, Lukas menulis yang satu, Matius menulis yang lain. Jadi Matius dan Lukas bukannya bertentangan tetapi saling melengkapi.

b. Ada penafsir-penafsir yang kelihatannya mengartikan bagian ini secara hurufiah.

Barnes’ Notes: “The second evil mentioned is, where a man is litigious, and determined to take all the advantage the law can give him: following us with vexatious and expensive lawsuits. Our Saviour directs us, rather than imitate him - rather than to contend with a revengeful spirit in courts of justice, and to perpetual broils - to take trifling injury, and yield to him. This is merely question about property, and not about conscience and life” (= Kejahatan yang kedua yang disebutkan adalah, dimana seseorang suka bertengkar / berperkara, dan memutuskan untuk mengambil semua keuntungan yang bisa diberikan oleh hukum kepadanya: mengikuti kita dengan perkara hukum / pengadilan yang menjengkelkan dan mahal. Juruselamat kita mengarahkan kita, dari pada meniru dia - dari pada melawan dengan roh balas dendam dalam pengadilan, dan kemarahan yang terus menerus - untuk menerima kerugian yang remeh, dan menyerah kepadanya. Ini hanya persoalan tentang harta milik, dan bukan tentang hati nurani dan nyawa) - hal 26.

Catatan: ia mengatakan ‘kerugian yang remeh’. Bagaimana kalau kerugiannya bukan sesuatu yang remeh, tetapi sangat besar?

William Barclay: “So, then, what Jesus is saying is this: ‘The Christian never stands upon his rights; he never disputes about his legal rights; he does not consider himself to have any legal right at all.’ There are people who are for ever standing on their rights, who clutch their privileges to them and who will not be pried loose from them, who will militantly go to law rather than suffer what they regard as the slightest infringement of them. Churches are tragically full of people like that, ... People like that have not even begun to see what Christianity is. The Christian thinks not of his rights, but of his duties; not of his privileges, but of his responsibilities. The Christian is a man who has forgotten that he has any right at all; and the man who will fight to the legal death for his right, inside or outside the Church, is far from the Christian way” (= Jadi, yang dikatakan Yesus adalah ini: ‘Orang Kristen tidak pernah berpegang pada hak-haknya; ia tidak pernah bertengkar tentang hak-hak hukumnya; ia menganggap dirinya tidak mempunyai hak hukum apapun sama sekali’. Ada orang-orang yang selalu berpegang pada hak-hak mereka, yang menggenggam hak-hak mereka, dan yang tidak mau melepaskannya, yang mau secara agresif pergi kepada hukum dari pada menderita / mengalami apa yang mereka anggap sebagai pelanggaran yang paling kecil terhadap hak-hak mereka. Gereja-gereja secara tragis penuh dengan orang-orang seperti itu, ... Orang-orang seperti itu bahkan belum pernah mulai melihat apa kekristenan itu. Orang Kristen tidak berpikir tentang haknya, tetapi tentang kewajibannya; bukan tentang hak-haknya, tetapi tanggung jawabnya. Orang Kristen adalah orang yang telah melupakan bahwa ia mempunyai hak; dan orang yang mau bertengkar sampai mati secara hukum untuk hak-haknya, di dalam atau di luar Gereja, adalah orang yang jauh dari jalan Kristen) - hal 167.

Catatan:

· kalau kata-kata Barclay ini dimutlakkan, saya jelas tidak setuju. Pada waktu Paulus naik banding kepada kaisar (Kis 25:11), atau pada waktu ia memprotes penyesahan terhadap dirinya sebagai seorang warga negara Romawi (Kis 22:25), atau pada waktu ia secara implicit menuntut orang yang mencambukinya meminta maaf kepadanya (Kis 16:35-39), jelas bahwa ia menggunakan haknya.

· sekalipun saya tidak setuju secara mutlak kata-kata Barclay ini, tetapi saya berpendapat bahwa kata-kata ini perlu saudara renungkan, khususnya kalau saudara adalah orang yang terlalu mempertahankan hak saudara, sehingga rela bertengkar hanya karena hak saudara yang remeh dilanggar.

c. Saya sendiri berpendapat, bahwa sama seperti dengan ay 39 (ditampar pipi kanan, berikan pipi kiri), ay 40 ini juga tidak boleh diartikan secara hurufiah, tetapi harus diartikan hanya bahwa kita tidak boleh membalas perlakuan jahat kepada kita. Jadi, kalau seseorang menuntut mobil saudara, dan saudara bukan hanya memberikan mobil itu kepadanya, tetapi juga lalu pulang dan mengambil sertifikat rumah dan memberikannya kepada si penuntut itu, saudara sudah melakukan suatu kegilaan / ketololan, yang sama sekali tidak pernah dimaksudkan oleh ayat ini.

Calvin: “None but a fool will stand upon the words, so as to maintain, that we must yield to our opponents what they demand, before coming into a court of law: for such compliance would more strongly inflame the minds of wicked men to robbery and extortion; and we know, that nothing was farther from the design of Christ” (= Tidak ada orang kecuali orang tolol yang berpegang pada kata-kata, sehingga menganggap bahwa kita harus menyerahkan kepada lawan kita apa yang mereka tuntut, sebelum sampai pada pengadilan: karena pemenuhan tuntutan seperti itu akan membakar dengan lebih kuat pikiran dari orang-orang jahat kepada perampokan dan pemerasan; dan kita tahu, bahwa tidak ada yang lebih jauh dari tujuan Kristus dari hal itu) - hal 299.

Calvin: “If a man, oppressed by an unjust decision, loses what is his own, and yet is prepared, when it shall be found necessary, to part with the remainder, he deserves not less to be commended for patience, than the man who allows himself to be twice robbed before coming into court. In short, when Christians meet with one who endeavours to wrench them a part of their property, they ought to be prepared to lose the whole” [= Jika seseorang, ditindas oleh suatu keputusan yang tidak adil (dari pengadilan), dan kehilangan miliknya, tetapi ia siap, jika perlu, untuk berpisah dengan sisa miliknya, ia layak mendapat pujian untuk kesabarannya, yang tidak kurang dari pada orang yang mengijinkan dirinya sendiri untuk dirampok 2 x sebelum sampai ke pengadilan. Singkatnya, pada waktu orang-orang Kristen bertemu dengan orang yang berusaha untuk merenggut sebagian dari milik mereka, mereka harus siap untuk kehilangan seluruhnya] - hal 300.

Calvin: “Hence we conclude, that Christians are not entirely prohibited from engaging in law-suits, provided they have a just defence to offer” (= Jadi, kami menyimpulkan bahwa orang-orang Kristen tidak sepenuhnya dilarang untuk berurusan di pengadilan, asal mereka mempunyai pembelaan yang adil / benar untuk diberikan) - hal 300.

Dari ketiga komentar Calvin di atas, bisa disimpulkan bahwa Calvin tidak mau menghurufiahkan kata-kata Yesus di atas, sehingga seakan-akan berarti bahwa kita harus menyerahkan apapun yang dituntut oleh lawan kita sebelum sampai ke pengadilan. Menurutnya, sikap seperti itu hanya akan memicu kejahatan yang lebih kuat dalam diri orang-orang jahat itu. Jadi, kita boleh maju ke pengadilan, tetapi kalau toh secara tidak adil kita dikalahkan, sehingga kita kehilangan sebagian milik kita, kita bahkan harus mempunyai sikap rela kehilangan semua milik kita, kalau hal itu memang perlu.

Pulpit Commentary: “To insist upon the literal meaning of these words would be to apply the method of the Pharisees to the interpretation of the New Testament; a literal obedience under all circumstances would destroy the very framework of society, and let loose all that is evil in human nature. But the Lord is laying down general principles. Cases will often arise in which the application of those principles must be modified by other rules of Holy Scripture. ... a literal obedience is not always possible; it would not be always right; it would sometimes do harm rather than good. The Lord himself, the gentlest and the meekest, expostulated with those who struck him wrongfully (John 18:23). Neither when he bids us, ‘Give to him that asketh thee,’ are his words to be taken literally, as commanding indiscriminate almsgiving. ... St. Paul would not have us give to the idle (2Thess. 3:10). We must understand our Lord’s words as interpreted by his own example and by other parts of Holy Scripture. We must forgive injuries, we must not resist evil, we must give freely; but in all these things we must be guided by the wisdom which is from above” [= Berkeras pada arti hurufiah dari kata-kata ini adalah sama dengan menerapkan metode dari orang-orang Farisi pada penafsiran dari Perjanjian Baru; suatu ketaatan hurufiah dalam segala keadaan akan menghancurkan kerangka dari masyarakat, dan melepaskan semua yang jahat dalam diri manusia. Tetapi Tuhan sedang menetapkan prinsip-prinsip umum. Sering akan muncul kasus-kasus dalam mana penerapan dari prinsip-prinsip itu harus dimodifikasi oleh peraturan-peraturan lain dari Kitab Suci yang kudus. ... suatu ketaatan hurufiah tidak selalu memungkinkan; itu tidak selalu benar; itu kadang-kadang mengakibatkan kerugian / keburukan / kejahatan dari pada kebaikan. Tuhan sendiri, orang yang paling lembut, memprotes mereka yang memukulNya secara salah (Yoh 18:23). Juga pada waktu Ia memerintah kita ‘Berilah kepada orang yang meminta kepadamu’, kata-kataNya tidak boleh diartikan secara hurufiah, seakan-akan kita diperintahkan untuk memberi sedekah tanpa membeda-bedakan / tanpa pandang bulu. ... Santo Paulus tidak menghendaki kita memberi kepada orang yang malas / menganggur (2Tes 3:10). Kita harus mengerti kata-kata Tuhan kita seperti yang ditafsirkan oleh teladanNya sendiri dan oleh bagian-bagian lain dari Kitab Suci yang kudus. Kita harus mengampuni suatu luka / kerugian, kita tidak boleh melawan kejahatan, kita harus memberi dengan bebas; tetapi dalam semua hal-hal ini kita harus dipimpin oleh hikmat yang dari atas] - hal 177-178.

William Hendriksen: “In summary: we have no right to hate the person who tries to deprive us of our possessions” (= Singkatnya: kita tidak mempunyai hak untuk membenci orang yang mencoba untuk mengambil milik kita) - hal 310.

c) Matius 5: 41: “Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil”.

William Hendriksen: “The first verb in ‘Whoever forces you to go on one mile ...’ refers to the authority to requisition, to press into service. ... the verb gradually acquired the more general meaning of compelling someone to render any kind of service. It is used in connection with Simon of Cyrene who was compelled to carry Christ’s cross (Matt. 27:32; Mark 15:21). Now what Jesus is saying is that rather than to reveal a spirit of bitterness or annoyance toward the one who forces a burden upon a person, the latter should take this position with a smile. Did someone ask you to go with him, carrying his load for the distance of one mile? Then go with him two miles!” [= Kata kerja yang pertama dalam ‘Siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil ...’ menunjuk pada otoritas pada tuntutan untuk bekerja, menekan kepada pelayanan. ... kata kerjanya secara perlahan-lahan mendapatkan arti yang lebih umum yaitu memaksa seseorang untuk melakukan pelayanan jenis apapun. ... Kata itu digunakan dalam hubungan dengan Simon dari Kirene yang dipaksa untuk memikul salib Kristus (Mat 27:32; Mark 15:21). Apa yang dikatakan oleh Yesus adalah bahwa dari pada menyatakan suatu roh / semangat kepahitan atau kejengkelan terhadap orang yang memaksakan suatu beban pada seseorang, maka orang yang terakhir ini harus mengambil posisi ini dengan suatu senyuman. Apakah seseorang memintamu untuk pergi dengan dia, membawa bebannya untuk jarak satu mil? Maka pergilah dengan dia sejauh 2 mil!] - hal 311.

William Barclay: “There are always two ways of doing things. A man can do the irreducible minimum and not a stroke more; he can do it in such a way as to make it clear that he hates the whole thing; he can do it with the barest minimum of efficiency and no more; or he can do it with a smile, with a gracious courtesy, with a determination, not only to do this thing, but to do it well and graciously. He can do it, not simply as well as he has to, but far better than anyone has any right to expect him to. The inefficient workman, the resentful servant, the ungracious helper have not even begun to have the right idea of the Christian life. The Christian life is not concerned to do as he likes; he is concerned only to help, even when the demand for help is discourteous, unreasonable and tyrannical” (= Selalu ada 2 cara untuk melakukan hal-hal. Seseorang bisa melakukan hal yang paling minim yang tidak bisa dikurangi lagi, dan tidak lebih sedikitpun; ia bisa melakukannya sedemikian rupa sehingga jelas terlihat bahwa ia membenci seluruh hal itu; ia bisa melakukannya dengan kemampuan / kwalitet yang paling minim, dan tidak lebih dari itu; atau ia bisa melakukannya dengan suatu senyuman, dengan persetujuan yang murah hati, dengan suatu ketetapan hati, bukan hanya melakukan hal ini, tetapi melakukannya dengan baik dan dengan murah hati. Ia bisa melakukannya, bukan sekedar sebaik yang harus ia lakukan, tetapi jauh lebih baik dari pada yang diharapkan oleh siapapun darinya. Pekerja yang tidak efisien, pelayan yang jengkel, penolong yang tidak murah hati bahkan belum mulai mendapatkan gagasan yang benar tentang kehidupan Kristen. Kehidupan Kristen tidak berkenaan dengan melakukan seperti yang ia senangi; ia hanya memperhatikan untuk menolong, bahkan pada waktu tuntutan untuk pertolongan itu merupakan sesuatu yang kurang ajar / tidak sopan, tidak masuk akal dan bersifat lalim / kejam) - hal 169.

Catatan: kata-kata Barclay di sini bisa diterapkan pada pelayanan maupun pemberian persembahan!

d) Matius 5: 42: “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu”.

1. ‘Berilah kepada orang yang meminta kepadamu’.

a. Yang membingungkan dari bagian ini adalah: apakah si peminta ini seorang musuh yang meminta secara paksa / setengah memaksa, atau ia adalah peminta biasa?

· Kontexnya menunjukkan bahwa peminta ini adalah musuh, dalam arti ia adalah orang yang meminta secara paksa / setengah memaksa.

Kalau ini memang adalah musuh, maka artinya adalah: dari pada gegeran / berkelahi untuk mempertahankan hak, lebih baik memberikan apa yang ia minta.

· Kebanyakan penafsir mengartikan orang ini sebagai peminta biasa.

Kalau kita menerima penafsiran yang kedua ini, maka kita harus mempertimbangkan hal-hal di bawah ini:

* Sekalipun ay 42 ini kelihatannya berlaku mutlak, tetapi tidak boleh diartikan secara mutlak. Mengapa? Karena Kitab Suci mengajar bahwa hanya orang yang miskin dan yang berhak ditolong, yang perlu diberi.

Ul 15:7-8 - “Jika sekiranya ada di antaramu seorang miskin, salah seorang saudaramu di dalam salah satu tempatmu, di negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu, maka janganlah engkau menegarkan hati ataupun menggenggam tangan terhadap saudaramu yang miskin itu, tetapi engkau harus membuka tangan lebar-lebar baginya dan memberi pinjaman kepadanya dengan limpahnya, cukup untuk keperluannya, seberapa ia perlukan”.

Amsal 3:27-28 - “Janganlah menahan kebaikan dari pada orang-orang yang berhak menerimanya, padahal engkau mampu melakukannya. Janganlah engkau berkata kepada sesamamu: ‘Pergilah dan kembalilah, besok akan kuberi,’ sedangkan yang diminta ada padamu”.

Kalau kita menafsirkan ay 42 ini secara mutlak, dalam arti kita harus memberi kepada seadanya orang yang meminta kepada kita, maka kita akan bertentangan dengan Ul 15:7-8 dan Amsal 3:27-28 ini.

* Sekalipun memberi itu merupakan kebiasaan yang baik, tetapi ada hal-hal lain yang harus dipertimbangkan.

Calvin: “Though the words of Christ, which are related by Matthew, appear to command us to give to all without discrimination, ... it is certain, that it was the design of Christ to make his disciples generous, but not prodigals: and it would be a foolish prodigality to scatter at random what the Lord has given us. ... Let us therefore hold, first, that Christ exhorts his disciples to be liberal and generous; and next, that the way of doing it is, not to think that they have discharged their duty when they have aided a few persons, but to study to be kind to all, and not to be weary of giving, so long as they have the means” (= Sekalipun kata-kata Kristus, yang diceritakan oleh Matius kelihatannya memerintahkan kita untuk memberi kepada semua orang tanpa pandang bulu, ... adalah jelas bahwa tujuan Kristus adalah untuk membuat murid-muridNya dermawan, tetapi tidak boros / royal: dan merupakan keroyalan yang tolol untuk menyebarkan secara sembarangan apa yang Tuhan berikan kepada kita. ... Karena itu hendaknya kita pertama-tama memegang / mempercayai bahwa Kristus mendesak murid-muridNya untuk menjadi dermawan dan murah hati; dan selanjutnya, bahwa cara melakukannya adalah, bukan dengan berpikir bahwa mereka telah melaksanakan kewajiban mereka pada waktu mereka telah menolong beberapa orang, tetapi dengan belajar untuk menjadi baik kepada semua orang, dan tidak jemu-jemu dalam memberi, selama mereka mempunyai kekayaan / cara) - hal 301.

Barnes’ Notes: “It is good to be in the habit of giving. At the same time, the rule must be interpreted so as to be consistent with our duty to our families, (1Tim 5:8) and with other objects of justice and charity. It is seldom, perhaps never, good to give to a man that is able to work, 2Tes 3:10. To give to such is to encourage laziness, and to support the idle at the expense of the industrious” [= Adalah baik untuk terbiasa memberi. Pada saat yang sama, perintah ini harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga konsisten dengan kewajiban kita terhadap keluarga kita (1Tim 5:8), dan dengan obyek-obyek keadilan dan kasih yang lain. Jarang, mungkin tidak pernah, merupakan hal yang baik untuk memberi kepada orang yang bisa bekerja (2Tes 3:10). Memberi kepada orang seperti itu sama dengan menganjurkan kemalasan, dan menyokong orang malas dengan mengorbankan orang rajin] - hal 27.

William Barclay: “It is clear that the effect of the giving on the receiver must be taken into account. Giving must never be such as to encourage him in laziness and in shiftlessness, for such giving can only hurt” (= Adalah jelas bahwa akibat dari pemberian itu pada si penerima harus diperhitungkan. Memberi tidak pernah boleh dilakukan sehingga mendorong-nya dalam kemalasan dan dalam keseganan untuk bekerja, karena pemberian seperti itu hanya bisa merugikan) - hal 172.

Matthew Poole: “These precepts of our Saviour must be interpreted, not according to the strict sense of the words, as if every man were by them obliged, without regard to his own abilities, or the circumstances of the persons begging or asking of him, to give to every one that hath the confidence to ask of him; but as obliging us to liberality and charity according to our abilities, and the true needs and circumstances of our poor brethren, and in that order which God’s word hath directed us; first providing for our own families, then doing good to the household of faith, then also to others, as we are able, and see any of them true objects of our charity” (= Perintah-perintah Juruselamat kita ini harus ditafsirkan, bukan menurut arti kata yang ketat, seakan-akan setiap orang diwajibkan oleh perintah-perintah ini untuk memberi kepada setiap orang yang mempunyai keberanian untuk meminta kepadanya, tanpa memandang kemampuannya sendiri, atau keadaan dari orang yang mengemis atau meminta kepadanya; tetapi mewajibkan kita kepada kedermawanan dan kasih sesuai dengan kemampuan kita, dan kebutuhan yang sungguh-sungguh dan keadaan dari saudara-saudara kita yang miskin, dan dalam urut-urutan sesuai dengan pengarahan Firman Allah; pertama-tama pemeliharaan terhadap keluarga kita sendiri, lalu berbuat baik kepada saudara-saudara seiman, lalu juga kepada orang-orang lain, sesuai dengan kemampuan kita, dan memastikan setiap dari mereka sebagai obyek yang benar dari kasih kita) - hal 213.

Pulpit Commentary: “beneficence must be with discretion (Ps. 112:5), else the idle and worthless may carry away what should have been reseved for the worthy” [= kemurahan hati harus dilakukan dengan kebijaksanaan (Maz 112:5), atau orang-orang yang malas dan tidak layak akan mengangkut apa yang seharusnya disediakan untuk orang yang layak mendapatkannya] - hal 220.

Maz 112:5 - “Mujur orang yang menaruh belas kasihan dan yang memberi pinjaman, yang melakukan urusannya dengan sewajarnya”.

KJV: ‘with discretion’ (= dengan kebijaksanaan).

RSV/NIV: ‘with justice’ (= dengan keadilan).

NASB: ‘in judgment’ (= dalam penghakiman / penilaian).

Leon Morris (Tyndale): “it is the spirit of the saying that is important. If Christians took this one absolutely literally there would soon be a class of saintly paupers, owning nothing, and another of prosperous idlers and thieves. It is not this that Jesus is seeking, but a readiness among His followers to give and give and give. The Christian should never refrain from giving out of a love for his possessions. Love must be ready to be deprived of everything if need be. Of course, in a given case it may not be the way of love to give. But it is love that must decide whether we give or withhold, not a regard for our possessions” (= arti dari kata-kata inilah yang penting. Jika orang kristen menerima / menuruti perintah ini dalam arti hurufiah sepenuhnya, maka segera akan ada segolongan orang kudus yang miskin, yang tidak mempunyai apa-apa, dan golongan lain yang makmur yang terdiri dari orang-orang malas dan pencuri-pencuri. Bukan ini yang dicari oleh Yesus, tetapi suatu kesediaan di antara para pengikutNya untuk memberi dan memberi dan memberi. Orang kristen seharusnya tidak pernah menahan diri dari memberi karena cinta kepada miliknya. Kasih harus siap untuk kehilangan segala sesuatu jika itu diperlukan. Tentu saja, dalam kasus tertentu, memberi bukanlah merupakan jalan kasih. Tetapi adalah kasih, dan bukannya perhatian / penilaian terhadap milik kita, yang harus menentukan apakah kita memberi atau menahan) - hal 130.

Jadi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam memberi, yaitu:

Þ kita tidak boleh memberi secara royal dan sembarangan / ngawur.

Þ kewajiban untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau kita terus memberi kepada seadanya orang yang meminta sehingga keluarga kita sendiri tidak tercukupi, maka ini salah. Bdk. 1Tim 5:8 - “Tetapi jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman”.

Þ adanya orang-orang lain yang juga harus diberi / berhak untuk diberi. Kalau kita terus memberi kepada seseorang yang tidak tahu diri dalam meminta dan yang sebetulnya tidak layak untuk diberi, maka akhirnya kita tidak bisa memberi kepada orang lain yang sebetulnya lebih berhak. Ini jelas salah.

Þ kasih kepada manusia, dan bukannya kasih kepada milik / uang kita, yang menentukan apakah harus memberi atau tidak. Kalau pemberian itu menjadikannya makin malas maka ini justru tidak kasih.

* dalam dunia hukum dikenal suatu semboyan: lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kedua penafsir di bawah ini kelihatannya menerapkan hal itu dalam persoalan memberi.

William Barclay: “it must also be remembered that it is better to help a score of fraudulent beggars than to risk turning away the one man in real need” (= juga harus diingat bahwa adalah lebih baik untuk menolong 20 pengemis yang curang dari pada beresiko menolak satu orang yang betul-betul dalam kebutuhan) - hal 172.

Barnes’ Notes: “This is the general rule. It is better to give sometimes to an undeserved person, than to turn away one really necessitous” (= Ini adalah peraturan umum. Adalah lebih baik untuk kadang-kadang memberi kepada orang yang tidak layak mendapatkan, dari pada menolak orang yang betul-betul membutuhkan) - hal 27.

b. Bdk. Lukas 6:30 - “Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu”.

Calvin: “we must remember what I have already hinted, that we ought not to quibble about words, as if a good man were not permitted to recover what is his own, when God gives him the lawful means. We are only enjoined to exercise patience, that we may not be unduly distressed by the loss of our property, but calmly wait, till the Lord himself shall call the robbers to account” (= kita harus mengingat apa yang baru saya tunjukkan, bahwa kita tidak boleh bertengkar tentang kata-kata, seakan-akan seorang yang baik / saleh tidak diijinkan untuk mendapatkan kembali miliknya, pada saat Allah memberinya cara / jalan yang sah menurut hukum. Kita hanya diperintahkan untuk bersabar, supaya kita tidak menjadi terlalu sedih oleh kehilangan milik kita, tetapi dengan tenang menunggu, sampai Tuhan sendiri memintai pertanggung-jawaban dari para perampok itu) - hal 301.

Matthew Poole: “Nor must the second part of the verse be interpreted, as if it were a restraint of Christians from pursuing of thieves or oppressors, but as a precept prohibiting us private revenge, or too great contending for little things, &c.” [= Juga bagian kedua dari ayat ini (Luk 6:30) tidak boleh diartikan seakan-akan itu merupakan pengekangan terhadap orang-orang kristen untuk tidak melakukan pengejaran / penangkapan terhadap pencuri atau penindas, tetapi sebagai larangan yang melarang kita untuk melakukan balas dendam pribadi, atau untuk bercekcok untuk hal-hal kecil, dsb.] - hal 213.

Pulpit Commentary: “This verse has been often adduced by unbelievers to prove the incompatibility of our Lord’s utterances with the conditions of modern society. Wrongly. Because our Lord is inculcating the proper spirit of Christian life, not giving rules to be literally carried out irrespective of circumstances” (= Ayat ini sering dikemukakan oleh orang-orang yang tidak percaya untuk membuktikan ketidak-cocokan dari ucapan-ucapan Tuhan kita dengan keadaan dari masyarakat modern. Salah. Karena Tuhan kita sedang menanamkan roh / semangat yang benar dari kehidupan Kristen, bukan memberikan peraturan-peraturan untuk dilaksanakan secara hurufiah tak peduli bagaimana / apa keadaannya) - hal 167.

2. ‘dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu’.

Sama seperti potongan sebelumnya, maka bagian inipun pasti tidak bisa diartikan secara mutlak.
Kesimpulan / penutup.

John Stott: “Christ’s illustrations are not to be taken as the charter for any unscrupulous tyrant, ruffian, beggar, or thug. His purpose was to forbid revenge, not to encourage injustice, dishonesty or vice. How can those who seek as their first priority the extension of God’s righteous rule at the same time contribute to the spread of unrighteousness? True love, caring for both the individual and society, takes action to deter evil and to promote good. And Christ’s command was ‘precept of love, not folly’. He teaches not the irresponsibility which encourages evil but the forbearance which renounces revenge” (= Illustrasi Kristus tidak boleh dianggap sebagai hak / ijin untuk tiran yang jahat / tidak bermoral, bajingan, pengemis, atau penjahat yang kejam. TujuanNya adalah untuk melarang balas dendam, bukan untuk mendorong ketidak-adilan, ketidak-jujuran atau kejahatan. Bagaimana mereka yang mencari perluasan dari pemerintahan yang benar dari Allah sebagai prioritas pertama, bisa pada saat yang sama memberikan sumbangsih pada tersebarnya ketidak-benaran? Kasih yang benar, yang memperhatikan / mempedulikan individu maupun masyarakat, melakukan tindakan untuk menghalangi kejahatan dan memajukan kebaikan. Dan perintah Kristus merupakan ‘ajaran / perintah kasih, bukan ajaran / perintah tolol’. Ia bukan mengajarkan sikap tidak bertanggung jawab yang mendorong kejahatan tetapi kesabaran yang membuang balas dendam) - ‘The Message of the Sermon of the Mount’, hal 108.

-o0o-

Matius 5:43-48

Matius 5: 43-44: “(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”.

1) Terjemahan KJV yang berbeda.

Ay 43-44 (KJV): ‘Ye have heard that it hath been said, Thou shalt love thy neighbour, and hate thine enemy. But I say unto you, Love your enemies, bless them that curse you, do good to them that hate you, and pray for them which despitefully use you, and persecute you’ (= Kamu telah mendengar bahwa dikatakan: Kasihilah sesamamu manusia, dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu, berkatilah mereka yang mengutuk kamu, berbuatlah baik kepada mereka yang membenci kamu, dan berdoalah untuk mereka yang dengan jahat menggunakan kamu, dan menganiaya kamu).

Catatan: tambahan ini (bagian yang saya garis-bawahi) berasal dari manuscripts yang berbeda, dan pada umumnya tidak dianggap sebagai bagian asli dari Kitab Suci oleh para penafsir.

2) Kesalahan terjemahan Kitab Suci Indonesia.

Ay 43-44: “(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”.

KJV: ‘Ye have heard that it hath been said’ (= Kamu telah mendengar bahwa dikatakan).

Seperti bagian yang sudah-sudah, kata ‘firman’ lagi-lagi merupakan terjemahan yang salah, dan terjemahan yang salah ini menyebabkan seakan-akan Yesus menentang hukum Taurat / Perjanjian Lama. Padahal Yesus bukannya menentang hukum Taurat / Perjanjian Lama, tetapi menentang ajaran dari ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tentang hukum Taurat / Perjanjian Lama.

3) Ajaran Perjanjian Lama dalam persoalan ini:

a) Dalam Perjanjian Lama memang ada ajaran ‘kasihilah sesamamu manusia’.

Bagian pertama dari ay 43 ini diambil dari Im 19:18 - “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”, tetapi kata-kata ‘seperti dirimu sendiri’ dibuang.

Ul 22:1-4 juga menunjukkan bahwa mereka harus mengasihi saudara mereka.

Ul 22:1-4 - “‘Apabila engkau melihat, bahwa lembu atau domba saudaramu tersesat, janganlah engkau pura-pura tidak tahu; haruslah engkau benar-benar mengembalikannya kepada saudaramu itu. Dan apabila saudaramu itu tidak tinggal dekat denganmu dan engkau tidak mengenalnya, maka haruslah engkau membawa hewan itu ke dalam rumahmu dan haruslah itu tinggal padamu, sampai saudaramu itu datang mencarinya; engkau harus mengembalikannya kepadanya. Demikianlah harus kauperbuat dengan keledainya, demikianlah kauperbuat dengan pakaiannya, demikianlah kauperbuat dengan setiap barang yang hilang dari saudaramu dan yang kautemui; tidak boleh engkau pura-pura tidak tahu. Apabila engkau melihat keledai saudaramu atau lembunya rebah di jalan, janganlah engkau pura-pura tidak tahu; engkau harus benar-benar menolong membangunkannya bersama-sama dengan saudaramu itu.’”.

b) Tetapi dalam Perjanjian Lama tidak pernah ada ajaran / ayat yang berbunyi: ‘bencilah musuhmu’.

Lalu dari mana mereka mendapatkan kata-kata ‘bencilah musuhmu’ ini?

D. Martyn Lloyd-Jones: “Nowhere in the Old Testament, I repeat, do we find ‘Love your neighbour and hate your enemy’; but we do find many statements that may have encouraged people to hate their enemies” (= Tidak ada dalam Perjanjian Lama, saya ulangi, kita dapatkan kata-kata ‘Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu’; tetapi kita mendapatkan banyak pernyataan yang bisa mendorong orang untuk membenci musuh-musuh mereka) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 300.

1. Stott mengatakan (hal 115) bahwa ahli-ahli Taurat mengatakan bahwa Im 19 ditujukan kepada ‘segenap jemaah Israel’ (Im 19:2). Dan Im 19:18 - “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN”.

Ini menyebabkan mereka berkata bahwa ‘sesama mereka adalah sesama orang-orang Yahudi’ atau ‘orang-orang yang sebangsa dan seagama dengan mereka’. Mereka beranggapan bahwa hukum ini sama sekali tidak berbicara tentang orang asing atau musuh.

D. Martyn Lloyd-Jones: “They said that the ‘neighbour’ meant only an Israelite; so they taught the Jews to love the Jews, but they told them at the same time to regard everybody else not only as an alien but as an enemy. Indeed they went so far as to suggest that it was their business, almost their right and their duty, to hate all such people. ... Thus there were many amongst the zealous Pharisees and scribes who thought they were honouring God by despising everybody who was not a Jew. They thought it was their business to hate their enemies” (= Mereka berkata bahwa ‘sesama manusia’ berarti hanya orang Israel; sehingga mereka mengajar orang Yahudi untuk mengasihi orang Yahudi, tetapi pada saat yang sama mereka memberitahu mereka untuk menganggap semua orang yang lain bukan hanya sebagai orang asing tetapi sebagai musuh. Bahkan mereka berjalan begitu jauh sehingga mengusulkan bahwa hal itu adalah urusan mereka, dan hampir merupakan hak dan kewajiban mereka, untuk membenci orang-orang seperti itu. ... Karena itu ada banyak di antara orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang bersemangat, yang beranggapan bahwa mereka sedang menghormati Allah dengan merendahkan setiap orang yang bukan orang Yahudi. Mereka mengira adalah urusan mereka untuk membenci musuh mereka) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 299-300.

Bantahan:

John Stott: “The reasoning is rational enough to convince those who wanted to be convinced, and to confirm them in their own racial prejudice. ... They evidently ignored the instruction earlier in the same chapter to leave the gleanings of field and vineyard ‘for the poor and the sojourner’, who was not a Jew but a resident alien, and the unequivocal statement against racial discrimination at the end of the chapter: ‘the stranger who sojourns with you shall be to you as the native among you, and you shall love him as yourself’ (34)” [= Pemikiran / pertimbangan ini cukup rasionil untuk meyakinkan mereka yang mau untuk diyakinkan, dan menegaskan mereka dalam prasangka rasial mereka. ... Mereka secara jelas mengabaikan instruksi / ajaran pada bagian awal dari pasal yang sama untuk meninggalkan sisa-sisa dari ladang dan kebun anggur ‘bagi orang miskin dan bagi orang asing’ (Im 19:10), yang bukanlah orang Yahudi tetapi seorang asing yang menetap, dan pernyataan yang tegas terhadap diskriminasi rasial pada akhir dari pasal: ‘Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri’ (Im 19:34)] - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 114.

Im 19:10 - “Juga sisa-sisa buah anggurmu janganlah kaupetik untuk kedua kalinya dan buah yang berjatuhan di kebun anggurmu janganlah kaupungut, tetapi semuanya itu harus kautinggalkan bagi orang miskin dan bagi orang asing; Akulah TUHAN, Allahmu”.

Im 19:34 - “Orang asing yang tinggal padamu harus sama bagimu seperti orang Israel asli dari antaramu, kasihilah dia seperti dirimu sendiri, karena kamu juga orang asing dahulu di tanah Mesir; Akulah TUHAN, Allahmu”.

Jadi, kalau kita melihat kontext dari Im 19 itu, maka jelas tidak mungkin kita bisa menerima tafsiran dari orang-orang Yahudi tentang Im 19:18 tersebut.

Jadi, arti dari ‘sesama manusia’ adalah seperti yang dikatakan oleh Stott di bawah ini.

John Stott: “Our ‘neighbour’ in the vocabulary of God includes our enemy. What constitutes him our neighbour is simply that he is a fellow human being in need, whose need we know and are in a position in some measure to relieve” (= Sesama manusia kita dalam perbendaharaan kata dari Allah mencakup musuh kita. Apa yang menyebabkannya menjadi sesama kita hanyalah sekedar bahwa ia adalah sesama manusia kita yang ada dalam kebutuhan, yang kebutuhannya kita ketahui, dan kita ada dalam keadaan untuk bisa meringankannya sampai taraf tertentu) - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 118.

Bdk. Luk 10:25-37 - ‘perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati’, yang juga mempersoalkan ‘siapakah sesama manusia’ itu?

2. Text yang menyuruh Israel memusuhi / membasmi bangsa kafir / non Israel, seperti:

· perintah untuk membasmi orang Kanaan, seperti dalam Ul 7:2 dan sebagainya.

· perintah untuk membasmi orang Amalek dalam Ul 25:17-19 - “‘Ingatlah apa yang dilakukan orang Amalek kepadamu pada waktu perjalananmu keluar dari Mesir; bahwa engkau didatangi mereka di jalan dan semua orang lemah pada barisan belakangmu dihantam mereka, sedang engkau lelah dan lesu. Mereka tidak takut akan Allah. Maka apabila TUHAN, Allahmu, sudah mengaruniakan keamanan kepadamu dari pada segala musuhmu di sekeliling, di negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu untuk dimiliki sebagai milik pusaka, maka haruslah engkau menghapuskan ingatan kepada Amalek dari kolong langit. Janganlah lupa!’”.

· ayat-ayat seperti Bil 25:17-18 Bil 31:2-3,7-8 Ul 23:3-4 yang menyuruh mereka ‘sentimen’ terhadap orang Moab, Midian, Amon.

Bantahan:

Ayat-ayat seperti ini jelas tidak mungkin dijadikan dasar, karena:

¨ perang suci / kudus (holy war) seperti itu hanya ada pada saat itu saja, dan merupakan perang Allah terhadap berhala / penyembah berhala.

¨ dalam melaksanakan perintah Tuhan itu bangsa Israel berfungsi sebagai algojo dari Allah yang melaksanakan hukumanNya terhadap bangsa-bangsa kafir tersebut.

3. Mazmur-mazmur yang berisi kutukan terhadap orang-orang jahat / doa supaya orang-orang jahat dibinasakan. Misalnya:

· Maz 69:23-29 - “Biarlah jamuan yang di depan mereka menjadi jerat, dan selamatan mereka menjadi perangkap. Biarlah mata mereka menjadi gelap, sehingga mereka tidak melihat; buatlah pinggang mereka goyah senantiasa! Tumpahkanlah amarahMu ke atas mereka, dan biarlah murkaMu yang menyala-nyala menimpa mereka. Biarlah perkemahan mereka menjadi sunyi, dan biarlah kemah-kemah mereka tidak ada penghuninya. Sebab mereka mengejar orang yang Kaupukul, mereka menambah kesakitan orang-orang yang Kautikam. Tambahkanlah salah kepada salah mereka, dan janganlah sampai Engkau membenarkan mereka! Biarlah mereka dihapuskan dari kitab kehidupan, janganlah mereka tercatat bersama-sama dengan orang-orang yang benar!”.

· Maz 109:1-31.

Bantahan:

Tentang mazmur-mazmur seperti ini Stott mengatakan bahwa pemazmur tidak berbicara tentang kebencian pribadi tetapi sebagai ia berbicara wakil dari bangsa pilihan Allah (Israel), yang menganggap orang-orang jahat sebagai musuh Allah. Ia membenci mereka karena ia mengasihi Allah.

D. Martyn Lloyd-Jones: “In writing his Psalms, the Psalmist is not so much writing about himself as about the Church; and his Psalms, you will find, are concerned in every single instance, in every imprecatory Psalm, with the glory of God. As he talks about the things that are being done to him, he is speaking of things that are being done to God’s people and to God’s Church. It is the honour of God that he is concerned about, it is his zeal for the house of God and for the Church of God that moves him to write these things” (= Dalam menuliskan mazmur-mazmurnya, sang pemazmur tidak menulis tentang dirinya sendiri tetapi tentang Gereja; dan mazmur-mazmurnya, akan engkau dapati, dalam setiap contoh, dalam setiap Mazmur kutukan, peduli dengan kemuliaan Allah. Pada waktu ia berbicara tentang hal-hal yang sedang dilakukan terhadapnya, ia berbicara tentang hal-hal yang sedang dilakukan terhadap umat Allah dan Gereja Allah. Adalah kehormatan Allah yang ia pedulikan, adalah semangatnya bagi rumah Allah dan untuk Gereja Allah yang menggerakkannya untuk menuliskan hal-hal ini) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 300-301.

John Stott: “The truth is that evil men should be the object simultaneously of our ‘love’ and our ‘hatred’, ... To ‘love’ them is ardently to desire that they will repent and believe, and so be saved. To ‘hate’ them is to desire with equal ardour that, if they stubbornly refuse to repent and believe, they will incur God’s judgment. ... So there is such a thing as perfect hatred, just as there is such a thing as righteous anger. But it is a hatred for Gods’ enemies, not our own enemies. It is entirely free of all spite, rancour and vindictiveness, and is fired only by love of God’s honour and glory” (= Kebenarannya adalah bahwa orang-orang jahat harus menjadi obyek secara bersamaan dari kasih kita dan kebencian kita, ... Mengasihi mereka berarti menginginkan dengan bersemangat / sungguh-sungguh bahwa mereka akan bertobat dan percaya, dan dengan demikian diselamatkan. Membenci mereka adalah menginginkan dengan kesungguhan / semangat yang sama bahwa jika mereka secara tegar tengkuk menolak untuk bertobat dan percaya, mereka akan mendatangkan penghakiman Allah. ... Jadi, ada kebencian yang sempurna, sama seperti ada kemarahan yang benar. Tetapi itu merupakan kebencian terhadap musuh-musuh Allah, bukan musuh-musuh kita sendiri. Itu sepenuhnya bebas dari semua dendam, kebencian, dan balas dendam, dan dibakar / dinyalakan hanya oleh kasih terhadap kehormatan dan kemuliaan Allah) - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 117.

Catatan: untuk kata-kata yang saya garis-bawahi itu, bandingkan dengan Maz 139:21-22 - “Masakan aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya TUHAN, dan tidak merasa jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau? Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku”.

Bandingkan mazmur-mazmur kutukan itu dengan:

· Wah 6:10 - “Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang kelima, aku melihat di bawah mezbah jiwa-jiwa mereka yang telah dibunuh oleh karena firman Allah dan oleh karena kesaksian yang mereka miliki. Dan mereka berseru dengan suara nyaring, katanya: ‘Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar, Engkau tidak menghakimi dan tidak membalaskan darah kami kepada mereka yang diam di bumi?’”.

· Wah 19:1-4 - “Kemudian dari pada itu aku mendengar seperti suara yang nyaring dari himpunan besar orang banyak di sorga, katanya: ‘Haleluya! Keselamatan dan kemuliaan dan kekuasaan adalah pada Allah kita, sebab benar dan adil segala penghakimanNya, karena Ialah yang telah menghakimi pelacur besar itu, yang merusakkan bumi dengan percabulannya; dan Ialah yang telah membalaskan darah hamba-hambaNya atas pelacur itu.’ Dan untuk kedua kalinya mereka berkata: ‘Haleluya! Ya, asapnya naik sampai selama-lamanya.’ Dan kedua puluh empat tua-tua dan keempat makhluk itu tersungkur dan menyembah Allah yang duduk di atas takhta itu, dan mereka berkata: ‘Amin, Haleluya.’”.

Orang-orang ini sudah di surga, tetapi masih menaikkan doa yang boleh dikatakan mirip dengan mazmur-mazmur kutukan tersebut, dan orang-orang itu menginginkan penghakiman Allah, dan bersukacita dan memuji Tuhan karena penghakimanNya yang adil terhadap orang-orang jahat.

c) Sebetulnya dalam Perjanjian Lama bukan hanya sudah ada ajaran ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri’, tetapi juga sudah ada ajaran ‘Kasihilah musuhmu’.

Ini terlihat dari:

· Kel 23:4-5 - “Apabila engkau melihat lembu musuhmu atau keledainya yang sesat, maka segeralah kaukembalikan binatang itu. Apabila engkau melihat rebah keledai musuhmu karena berat bebannya, maka janganlah engkau enggan menolongnya. Haruslah engkau rela menolong dia dengan membongkar muatan keledainya”.

Kalau keledai musuh rebah kita harus menolong, lebih-lebih kalau musuh itu yang rebah.

· Ayub 31:29 - “Apakah aku bersukacita karena kecelakaan pembenciku, dan bersorak-sorai, bila ia ditimpa malapetaka”.

· Amsal 24:17 - “Jangan bersukacita kalau musuhmu jatuh, jangan hatimu beria-ria kalau ia terperosok”.

· Amsal 25:21 - “Jikalau seterumu lapar, berilah dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau akan menimbun bara api di atas kepalanya, dan TUHAN akan membalas itu kepadamu”. Bandingkan dengan tindakan Elisa dalam 2Raja 6:21-23 yang melakukan hal ini terhadap orang Aram.

Karena itu kalau Yesus mengajarkan untuk mengasihi musuh, itu bukan sesuatu yang aneh atau yang bertentangan dengan Perjanjian Lama. Demikian juga adanya ayat-ayat Perjanjian Baru yang mempunyai arah yang serupa, seperti:

¨ 1Kor 4:12b-13a - “Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya, kami sabar; kalau kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah”.

¨ Ro 12:14,17,19-21 - “(14) Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk! ... (17) Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan; lakukanlah apa yang baik bagi semua orang! ... (19) Saudara-saudaraku yang kekasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: Pembalasan itu adalah hakKu. Akulah yang akan menuntut pembalasan, firman Tuhan. (20) Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. (21) Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”.

4) Hubungan perintah kasih kepada musuh (ay 44), dengan larangan untuk melawan orang yang berbuat jahat kepada kita (ay 39).

John Stott: “The last two antitheses of the series reveal a progression. The first is a negative command: Do not resist one who is evil; the second is positive: Love your enemies and seek their good. The first is a call to passive non-retaliation, the second to active love. As Augustine put it, ‘Many have learned how to offer the other cheek, but do not know how to love him by whom they were struck.’” (= Dua antithesis yang terakhir dari seri antithesis itu menyatakan suatu kemajuan. Yang pertama merupakan suatu perintah negatif: Jangan melawan orang yang jahat; yang kedua merupakan sesuatu yang positif: Kasihilah musuhmu dan usahakanlah kebaikan untuk mereka. Yang pertama merupakan panggilan pada sikap tidak membalas yang pasif, yang kedua pada kasih yang aktif. Seperti dikatakan oleh Agustinus: ‘Banyak orang telah belajar bagaimana memberikan pipi satunya, tetapi tidak tahu bagaimana mengasihi orang-orang oleh siapa mereka dipukul’) - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 122.

5) Arti dari ‘mengasihi’.

a) Arti negatif / salah dari ‘mengasihi’.

Barclay: “It is then quite obvious that the last thing agapē, Christian love, means is that we allow people to do absolutely as they like, and that we leave them quite unchecked. No one would say that a parent really loves his child if he lets the child do as he likes. If we regard a person with invincible goodwill, it will often mean that we must punish him, that we must restrain him, that we must discipline him, that we must protect him against himself. But it will also mean that we do not punish him to satisfy our desire for revenge, but in order to make him a better man” (= Jelas bahwa arti dari agapē, kasih Kristen, bukanlah kalau kita mengijinkan orang-orang melakukan secara mutlak seperti yang mereka inginkan, dan bahwa kita membiarkan mereka tanpa dikekang. Tidak seorangpun akan mengatakan bahwa seorang tua sungguh-sungguh mengasihi anaknya jika ia membiarkan anak itu berbuat seperti yang dikehendakinya. Jika kita melihat seseorang, dengan keinginan baik yang tak terkalahkan, itu sering berarti bahwa kita harus menghukumnya, bahwa kita harus mengekangnya, bahwa kita harus mendisiplin / menghajarnya, bahwa kita harus melindunginya terhadap dirinya sendiri. Tetapi itu juga berarti bahwa kita tidak menghukumnya untuk memuaskan keinginan kita untuk balas dendam, tetapi untuk membuatnya menjadi seseorang yang lebih baik) - hal 174.

b) Kasih bukan perasaan tetapi keputusan, dan ‘mengasihi’ berbeda dengan ‘menyenangi’.

Barclay: “Agapē does not mean a feeling of the heart, which we cannot help, and which comes unbidden and unsought; it means a determination of the mind, whereby we achieve this unconquerable goodwill even to those who hurt and injure us” (= Agapē tidak berarti suatu perasaan dari hati, terhadap mana kita tidak bisa berbuat apa-apa, dan yang datang tanpa diminta dan dicari; itu berarti suatu keputusan / ketetapan dari pikiran, dengan mana kita mencapai keinginan baik yang tidak bisa dikalahkan bahkan terhadap mereka yang menyakiti dan melukai kita) - hal 174.

D. Martyn Lloyd-Jones: “we must understand the difference between loving and liking. Christ said, ‘Love your enemies,’ not ‘Like your enemies’. ... We are not called upon to like everybody. We cannot do so. But we can be commanded to love. ... People have stumbled at this. ‘Do you mean to say that it is right to love and not to like?’ they ask. I do. What God commands is that we should love a man and treat him as if we do like him. Love is much more than feeling or sentiment. Love in the New Testament is very practical - ‘For this is the love of God, that we keep his commandments.’ Love is active. If, therefore, we find we do not like certain people, we need not be worried by that, so long as we are treating them as if we did like them. That is loving, and it is the teaching of our Lord everywhere” (= kita harus mengerti perbedaan antara mengasihi dan menyenangi. Kristus berkata: ‘Kasihilah musuhmu’, bukan ‘Senangilah musuhmu’. ... Kita tidak dipanggil untuk menyenangi setiap orang. Kita tidak bisa berbuat demikian. Tetapi kita bisa diperintahkan untuk mengasihi. ... Orang-orang tersandung pada hal ini. ‘Apakah kamu bermaksud untuk mengatakan bahwa adalah benar untuk mengasihi dan tidak menyenangi?’, mereka bertanya. Ya. Apa yang Allah perintahkan adalah bahwa kita harus mengasihi seseorang dan memperlakukannya seakan-akan kita menyenanginya. Kasih merupakan sesuatu yang jauh lebih dari perasaan atau sentimen. Kasih dalam Perjanjian Baru adalah sangat praktis - ‘Karena inilah kasih Allah, bahwa kita mentaati perintah-perintahNya’. Kasih itu aktif. Karena itu, jika kita mendapati bahwa kita tidak menyenangi orang-orang tertentu, kita tidak perlu menguatirkan hal itu, selama kita memperlakukan mereka seakan-akan kita menyenangi mereka. Itulah mengasihi, dan itu merupakan ajaran dari Tuhan kita di mana-mana) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 307-308.

Catatan: saya sendiri tidak yakin apakah kata-kata / penafsiran dari Barclay dan Martin Lloyd-Jones dalam persoalan ini bisa dibenarkan.

c) Meniru teladan Allah dalam mengasihi kita yang adalah musuh-musuhNya.

John Stott: “Our enemy is seeking our harm; we must seek his good. For this is how God has treated us. It is ‘while we were enemies’ that Christ died for us to reconcile us to God (Rom 5:10). If he gave himself for his enemies, we must give ourselves for ours” [= Musuh kita mengusahakan kerugian kita; kita harus mengusahakan kebaikannya. Karena inilah bagaimana Allah telah memperlakukan kita. Adalah ‘pada saat kita masih seteru / musuh’ Kristus mati untuk kita untuk memperdamaikan kita dengan Allah (Ro 5:10). Jika Ia memberikan diriNya sendiri untuk musuh-musuhNya, kita harus memberikan diri kita sendiri untuk musuh-musuh kita] - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 118.

6) ‘berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu’ (ay 44b).

Ini merupakan salah satu perwujudan dari kasih kepada musuh.

a) Kita harus meniru teladan Yesus dalam persoalan ini.

Bdk. Lukas 23:34 - “Yesus berkata: ‘Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.’”.

John Stott: “If the cruel torture of crucifixion could not silence our Lord’s prayer for his enemies, what pain, pride, prejudice or sloth could justify the silencing of ours?” [= Jika penyiksaan yang kejam dari penyaliban tidak bisa membungkam doa Tuhan kita untuk musuh-musuhNya, rasa sakit, kesombongan, prasangka, atau kemalasan apa yang bisa membenarkan bungkamnya diri kita (sehingga tidak berdoa untuk orang yang menganiaya kita)?] - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 119.

b) Berdoa untuk musuh / orang yang menganiaya kita, membuat kasih kita kepada orang itu bertumbuh.

John Stott: “‘This is the supreme command,’ wrote Bonhoeffer. ‘Through the medium of prayer we go to our enemy, stand by his side, and plead for him to God.’ Moreover, if intercessory prayer is an expression of what love we have, it is a means to increase our love as well. It is impossible to pray for someone without loving him, and impossible to go on praying for him without discovering that our love for him grows and matures. We must not, therefore, wait before praying for an enemy until we feel some love for him in our heart. We must begin to pray for him before we are conscious of loving him, and we shall find our love break first into bud, then into blossom” (= ‘Ini merupakan perintah yang tertinggi’, tulis Boenhoffer. ‘Melalui perantaraan doa kita pergi kepada musuh kita, berdiri di sisinya, dan memohon untuk dia kepada Allah’. Selanjutnya, jika doa syafaat merupakan perwujudan dari kasih yang bagaimana yang kita miliki, itu juga merupakan suatu cara untuk meningkatkan kasih kita. Adalah tidak mungkin untuk berdoa untuk seseorang tanpa mengasihinya, dan tidak mungkin untuk terus berdoa untuk dia tanpa mendapati bahwa kasih kita untuk dia bertumbuh dan menjadi matang. Karena itu, kita tidak boleh menunggu sebelum berdoa untuk seorang musuh sampai kita merasa ada kasih untuk dia dalam hati kita. Kita harus mulai berdoa untuk dia sebelum kita sadar bahwa kita mengasihinya, dan kita akan mendapatkan bahwa kasih kita mula-mula akan bersemi, dan lalu berbunga) - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 119.

BACA JUGA: EKSPOSISI LUKAS 2:21-24

Barclay: “We are bidden to pray for them. No man can pray for another man and still hate him. When he takes himself and the man whom he is tempted to hate to God, something happens. We cannot go on hating another man in the presence of God. The surest way of killing bitterness is to pray for the man we are tempted to hate” (= Kita diminta untuk berdoa bagi mereka. Tidak ada orang yang bisa berdoa untuk orang lain dan tetap membencinya. Pada waktu ia membawa dirinya sendiri dan orang yang ia benci kepada Allah, sesuatu terjadi. Kita tidak bisa terus membenci orang lain di hadapan Allah. Jalan / cara yang paling pasti untuk membunuh kepahitan adalah dengan berdoa untuk orang yang kita benci) - hal 175.

7) Mengapa kita harus mengasihi musuh?

a) Supaya kita berbahagia.

Adam Clarke: “Jesus Christ designs to make men happy. Now he is necessarily miserable who hates another” (= Yesus Kristus mendesign / merencanakan untuk membuat manusia bahagia. Ia yang membenci orang lain pastilah sengsara) - hal 77.

Catatan: saya berpendapat bahwa kebahagiaan kita tidak boleh menjadi tujuan dari tindakan mengasihi musuh, tetapi merupakan semacam effek samping yang pasti terjadi kalau kita mengasihi musuh.

b) Supaya hidup kita tidak dikontrol oleh orang lain.

D. Martyn Lloyd-Jones: “our treatment of others must never depend upon what they are, or upon what they do to us. ... The whole secret of living this kind of life is that man should be utterly detached. He must be detached from others in the sense that his behaviour is not governed by what they do. ... one of the most tragic things about us is that our lives are so much governed by other people and by what they do to us and think about us. ... Think of the unkind and cruel thoughts that have come into your mind and heart. What produced them? Somebody else! How much of our thinking and acting and behaviour is entirely governed by other people! It is one of the things that make life so wretched. You see a particular person and your spirit is upset. If you had not seen that person you would not have felt like that. Other people are controlling you. ... Your love must become such that you will no longer be governed and controlled by what people say. Your life must be governed by a new principle in yourself, a new principle of love” (= perlakuan kita terhadap orang-orang lain tidak pernah boleh tergantung pada bagaimana keadaan mereka, atau pada apa yang mereka lakukan kepada kita. ... Seluruh rahasia dari bagaimana kita hidup dalam kehidupan jenis ini adalah bahwa manusia harus sama sekali terlepas. Ia harus terlepas dari orang-orang lain dalam arti bahwa kelakuan / tindak-tanduknya tidak dikuasai oleh apa yang mereka lakukan. ... salah satu hal yang paling tragis tentang kita adalah bahwa kehidupan kita begitu dikuasai oleh orang-orang lain dan oleh apa yang mereka lakukan terhadap kita dan pikirkan tentang kita. ... Pikirkan tentang pemikiran yang tidak baik dan kejam yang masuk ke dalam pikiran dan hatimu. Apa yang memproduksinya? Seseorang lain! Betapa banyak pikiran dan tindakan dan kelakuan kita sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang lain! Itu adalah salah satu dari hal-hal yang membuat kehidupan begitu buruk / sedih. Kamu melihat orang tertentu, dan kamu menjadi kacau. Jika kamu tidak melihat orang itu, kamu tidak akan merasa seperti itu. Orang-orang lain sedang menguasai kamu. ... Kasihmu harus menjadi sedemikian rupa sehingga kamu tidak lagi dikuasai dan dikontrol oleh apa yang orang-orang katakan. Kehidupanmu harus dikuasai / diperintah oleh suatu prinsip yang baru dalam dirimu sendiri, suatu prinsip baru dari kasih) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 303,304-305.

c) Untuk mengubah musuh menjadi teman.

John Stott mengutip kata-kata Martin Luther King: “‘hate multiplies hate ... in a descending spiral of violence’ and is ‘just as injurious to the person who hates’ as to the victim. But above all ‘love is the only force capable of transforming an enemy into a friend’ for it has ‘creative’ and ‘redemptive’ power” [= ‘kebencian melipatgandakan kebencian ... dalam suatu spiral kekerasan yang menurun’ dan ‘merugikan secara sama bagi orang yang membenci’ seperti bagi korbannya (orang yang dibenci). Tetapi di atas semua ‘kasih adalah satu-satunya kekuatan yang mampu untuk mengubahkan seorang musuh menjadi seorang teman’ karena kasih mempunyai kuasa ‘penciptaan’ dan ‘penebusan’] - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 114.

D. Martyn Lloyd-Jones: “People say we should do it in order to turn them into friends. ... They say: ‘If you are nice to people they will become nice to you.’ ... but let us be realists, not sentimentalists, because we know that that is not true and it does not work. No, our action is not aimed at turning them into friends. No; it is not because our action will somehow change these people psychologically and turn them into what we want them to be, that we are to do these things. We must do them for one reason only, not that we can ever redeem or make anything of them, but that in this way we can display to them the love of God” (= Orang-orang mengatakan bahwa kita harus melakukan hal itu untuk mengubah mereka menjadi teman-teman. ... Mereka berkata: ‘Jika kami baik kepada orang-orang mereka akan menjadi baik kepada kamu’. ... tetapi marilah kita menjadi realist, bukan sentimentalist, karena kita tahu bahwa itu tidak benar dan itu tidak berhasil. Tidak, tindakan kita tidak ditujukan untuk mengubah mereka menjadi teman-teman. Tidak; bukan karena tindakan kita entah bagaimana akan mengubah orang-orang ini secara psikhologis dan mengubah mereka menjadi apa yang kita inginkan, maka kita melakukan hal-hal ini. Kita harus melakukan hal-hal itu hanya untuk satu alasan, bukan supaya kita bisa menebus atau membuat mereka menjadi sesuatu apapun, tetapi karena dengan cara ini kita bisa menunjukkan kepada mereka kasih Allah) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 305-306.

Catatan: harus diakui bahwa tidak selalu kasih kepada musuh bisa memenangkan orang dan mengubah mereka dari musuh menjadi teman. Ada orang-orang yang begitu jahat sehingga membalas kasih dengan kejahatan (bdk. Maz 109:4-5). Tetapi jelas tidak semua orang seperti itu, dan karena itu saya berpendapat bahwa itu memang merupakan salah satu tujuan yang memungkinkan dari kasih kepada musuh.

Bandingkan dengan:

· Roma 12:20-21 - “(20) Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu menumpukkan bara api di atas kepalanya. (21) Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”.

· 2Raja 6:21-23 - “Lalu bertanyalah raja Israel kepada Elisa, tatkala melihat mereka: ‘Kubunuhkah mereka, bapak?’ Tetapi jawabnya: ‘Jangan! Biasakah kaubunuh yang kautawan dengan pedangmu dan dengan panahmu? Tetapi hidangkanlah makanan dan minuman di depan mereka, supaya mereka makan dan minum, lalu pulang kepada tuan mereka.’ Disediakannyalah bagi mereka jamuan yang besar, maka makan dan minumlah mereka. Sesudah itu dibiarkannyalah mereka pulang kepada tuan mereka. Sejak itu tidak ada lagi gerombolan-gerombolan Aram memasuki negeri Israel”.

· Amsal 15:1 - “Jawaban yang lemah lembut meredakan kegeraman, tetapi perkataan yang pedas membangkitkan marah”.

· Amsal 25:15 - “Dengan kesabaran seorang penguasa dapat diyakinkan dan lidah lembut mematahkan tulang”.

d) Untuk membuktikan bahwa kita adalah anak-anak Allah, dan untuk menunjukkan suatu kehidupan yang lebih baik dari pemungut cukai / orang kafir (ay 45-48).

Matius 5: 45-48: “(45) Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. (46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.’”.

1. Matius 5: 45,48: “(45) Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. ... (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.’”.

· ini tidak berarti bahwa kita harus meniru apapun yang Allah kerjakan.

Calvin: “It ought to be observed that, when the example of God is held out for our imitation, this does not imply, that it would be becoming in us to do whatever God does. He frequently punishes the wicked, and drives the wicked out of the world. In this respect, he does not desire us to imitate him: for the judgment of the world, which is his prerogative, does not belong to us. But it is his will, that we should imitate his fatherly goodness and liberality” (= Perlu diperhatikan bahwa pada waktu kita disuruh meneladani Allah, ini tidak berarti bahwa kita harus meniru apapun yang Allah lakukan. Ia seringkali menghukum orang jahat, dan menyingkirkan orang jahat dari dunia ini. Dalam hal ini, Ia tidak menginginkan kita untuk meniruNya: karena penghakiman dunia, yang merupakan hak khususNya, bukanlah hak kita. Tetapi adalah kehendakNya, bahwa kita meniru kebaikan dan kemurahan hatiNya) - hal 306.

· Matius 5: 48 tidak berarti bahwa kita / orang kristen bisa mencapai kesempurnaan dalam hidup di dunia ini.

John Stott: “Some holiness teachers have built upon this verse great dreams of the possibility of reaching in this life a state of sinless perfection” (= Beberapa pengajar-pengajar kekudusan telah membangun di atas ayat ini mimpi-mimpi / khayalan-khayalan yang besar tentang kemungkinan untuk mencapai dalam hidup ini suatu keadaan kesempurnaan tanpa dosa) - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 119.

Stott lalu mengatakan (hal 121-122) bahwa ini merupakan penafsiran yang menentang kontext khotbah di bukit, karena:

* dalam Matius 5:6 dibicarakan tentang orang yang ‘lapar dan haus akan kebenaran’, dan ini tidak mungkin ada kalau mereka sudah mencapai kesempurnaan.

* dalam Matius 6:12 Yesus mengajar untuk berdoa: ‘Ampunilah kami akan kesalahan kami’. Ini jelas juga menunjukkan ketidak-sempurnaan.

Kedua hal ini merupakan petunjuk yang jelas bahwa Yesus tidak mengharapkan para pengikutNya untuk menjadi sempurna secara moral dalam hidup ini.

· ini tidak berarti bahwa kita menjadi anak Allah kalau kita mengasihi musuh, tetapi sebaliknya. Kalau kita mengasihi musuh, itu membuktikan bahwa kita adalah anak-anak Allah.

Calvin: “you are not to understand, that our liberality makes us the children of God: ... Christ ... proves from the effect, that none are the children of God, but those who resemble him in gentleness and kindness” (= engkau tidak boleh mengerti bahwa kemurahan hati kita membuat kita menjadi anak-anak Allah: ... Kristus ... membuktikan dari akibatnya / hasilnya, bahwa tidak ada yang adalah anak Allah, kecuali mereka yang menyerupai Dia dalam kelembutan dan kebaikan) - hal 307.

Calvin: “The statement amounts to this, ‘Whoever shall wish to be accounted a Christian, let him love his enemies.’” (= Pernyataan itu sama dengan ini: ‘Siapapun yang ingin untuk dianggap sebagai orang Kristen, hendaklah ia mengasihi musuhnya’) - hal 306.

Barclay: “Hebrew is not rich in adjectives; and for that reason Hebrew often uses ‘son of ...’ with an abstract noun, where we would use an adjective. For instance ‘a son of peace’ is ‘a peaceful man’; ‘a son of consolation’ is ‘a consoling man’. So, then, ‘a son of God’ is ‘a godlike man’” (= Bahasa Ibrani tidak kaya dengan kata sifat; dan karena itu bahasa Ibrani sering menggunakan ‘anak dari ...’ dengan suatu kata benda abstrak, di tempat kita menggunakan suatu kata sifat. Sebagai contoh ‘anak damai’ adalah ‘orang yang cinta damai’; ‘anak penghiburan’ adalah ‘orang yang suka menghibur’. Maka, ‘anak Allah’ adalah ‘orang yang menyerupai Allah’) - hal 177.

Barnes’ Notes: “the sons of your Father. The word ‘son’ has a variety of significations. ... In this passage, the word is used because, in doing good to enemies, they resemble God” (= anak-anak Bapamu. Kata ‘anak’ mempunyai bermacam-macam arti. ... Dalam text ini, kata itu digunakan karena dalam melakukan yang baik kepada musuh-musuh, mereka menyerupai Allah) - hal 27.

2. Matius 5: 46-47: “(46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?”.

· ‘orang yang tidak mengenal Allah’.

KJV: ‘the publicans’ (= pemungut cukai). Rupanya ini diambil dari manuscript yang berbeda.

NIV: ‘pagans’ (= orang kafir).

RSV/NASB/Lit: ‘the Gentiles’ (= orang-orang non Yahudi).

· ‘apakah lebihnya’.

Kekristenan kita dibuktikan oleh adanya sesuatu yang khusus / spesial dalam hidup kita.

D. Martyn Lloyd-Jones: “Now here there is real value in Dr. Moffatt’s translation, ‘If you only salute your friends, what is special about that?’ ... The Christian is essentially a unique and special kind of person. ... The question which we must ask ourselves, then, if we want to know for certain whether we are truly Christian or not, is this: Is there that about me which cannot be explained in natural terms? Is there something special and unique about me and my life which is never to be found in the non-Christian? ... As I examine my activities, and look at my life in detail, can I claim for it that there is something about it which cannot be explained in ordinary terms and which can only be explained in terms of my relationship to the Lord Jesus Christ? Is there anything special about it? ... If God is your Father, somewhere or another, in some form or other, the family likeness will be there, the traces of your Parentage will inevitably appear” (= Di sini ada nilai yang nyata dari terjemahan Dr. Moffatt: ‘Jika engkau hanya memberi salam kepada teman-temanmu, apa yang spesial tentang hal itu?’ ... Orang Kristen secara hakiki adalah unik dan merupakan jenis orang yang spesial. ... Maka pertanyaan yang harus kita tanyakan kepada diri kita sendiri, jika kita ingin tahu secara pasti apakah kita betul-betul orang Kristen atau tidak, adalah ini: Apakah ada tentang aku dan hidupku yang tidak pernah ditemukan dalam diri orang-orang yang non-Kristen? ... Pada saat aku memeriksa aktivitas-aktivitasku, dan melihat pada kehidupanku secara terperinci, bisakah aku mengclaim untuknya bahwa di sana ada sesuatu tentangnya yang tidak bisa dijelaskan dalam kondisi biasa, dan yang hanya bisa dijelaskan dalam kondisi dari hubunganku dengan Tuhan Yesus Kristus? Apakah ada hal yang spesial tentangnya? ... Jika Allah adalah Bapamu, di suatu tempat atau yang lain, dalam satu bentuk atau bentuk yang lain, kemiripan keluarga akan ada di sana, jejak-jejak dari Orang Tuamu pasti akan muncul) - ‘Studies in the Sermon on the Mount’, hal 312,314,320.

8) Apakah perintah ini menunjukkan kesalahan kekristenan, atau sebaliknya justru menunjukkan benarnya kekristenan?

Perintah untuk mengasihi musuh ini sering menyebabkan kekristenan diserang oleh orang-orang beragama lain, karena dianggap tidak masuk akal, dsb. Tetapi tentang ‘kasihilah musuhmu’ ini Adam Clarke justru berkata: “This is the most sublime precept ever delivered to man: a false religion durst not give a precept of this nature, because, without supernatural influence, it must be for ever impracticable” (= Ini adalah perintah yang paling mulia / luhur yang pernah diberikan kepada manusia: agama yang salah / palsu tidak berani memberikan perintah seperti ini, karena, tanpa pengaruh supranatural, itu pasti tidak akan bisa dipraktekkan untuk selama-lamanya) - hal 408.

John Stott: “Alfred Plummer summed up the alternatives with admirable simplicity: ‘To return evil for good is devilish; to return good for good is human; to return good for evil is divine.’” (= Alfred Plummer menyimpulkan pilihan-pilihan dengan kesederhanaan yang mengagumkan: ‘Membalas kebaikan dengan kejahatan adalah seperti setan; membalas kebaikan dengan kebaikan adalah manusiawi; membalas kejahatan dengan kebaikan adalah ilahi’) - ‘The Message of the Sermon on The Mount’, hal 122.

Kesimpulan / penutup.

Jelas bahwa tak seorangpun bisa mentaati perintah-perintah ini secara sempurna. Ini menunjukkan adanya 2 hal yang harus kita lakukan:

1) Datang kepada Kristus untuk percaya dan menerima Dia sebagai Juruselamat kita, supaya semua kekurangan / dosa kita berkenaan dengan hukum ini, ataupun dengan hukum-hukum yang lain, bisa diampuni dan disucikan.

2) Bersandar kepada Tuhan dengan banyak berdoa supaya Ia memberikan kita kemauan dan kemampuan untuk menaati hukum-hukum ini.

Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div:  meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
Next Post Previous Post