2 PETRUS 1:5b-7 ( 7 SIFAT BAIK ORANG PERCAYA)
Pdt.Budi Asali, M.Div.
2 Petrus 1:5b-7 - “(2 Petrus 1:5)....untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, (6) dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, (7) dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang.
education, business |
c) Sekarang kita membahas 7 kebaikan / sifat baik yang ‘didaftarkan’ dalam ay 5b-7 itu satu per satu.
1. “untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan”.
KJV/RSV/ASV/NJKV: ‘virtue’ (= kebaikan / sifat baik).
NIV: ‘goodness’ (= kebaikan).
NASB: ‘moral excellence’ (= keunggulan moral).
Barnes’ Notes: “The word here rendered ‘virtue’ is the same which is used in 2 Pet. 1:3; and there is included in it, probably, the same general idea which was noticed there. All the things which the apostle specifies, unless ‘knowledge’ be an exception, are ‘virtues’ in the sense in which that word is commonly used; and it can hardly be supposed that the apostle here meant to use a GENERAL term which would include all of the others. The probability is, therefore, that by the word here he has reference to the common meaning of the Greek word, as referring to manliness, courage, vigor, energy; and the sense is, that he wished them to evince whatever firmness or courage might be necessary in maintaining the principles of their religion, and in enduring the trials to which their faith might be subjected. True ‘virtue’ is not a tame and passive thing. It requires great energy and boldness, for its very essence is firmness, manliness, and independence” (= Kata yang di sini diterjemahkan ‘kebajikan’ adalah kata yang sama yang digunakan dalam 2Pet 1:3; dan mungkin tercakup di dalamnya suatu gagasan umum yang sama yang diperhatikan di sana. Semua hal-hal yang ditetapkan oleh sang rasul, kecuali ‘pengetahuan’ merupakan suatu perkecualian, adalah ‘kebajikan’ dalam arti yang umum digunakan untuk kata itu; dan tidak bisa dianggap bahwa sang rasul di sini memaksudkan untuk menggunakan suatu istilah UMUM yang mencakup semua yang lain. Karena itu, kemungkinannya adalah bahwa dengan kata ini di sini ia menunjuk pada arti yang umum dari kata Yunaninya, sebagai menunjuk pada kejantanan, keberanian, kekuatan, tenaga; dan artinya adalah bahwa ia ingin mereka menunjukkan dengan jelas keteguhan atau keberanian apapun yang bisa diperlukan dalam mempertahankan prinsip-prinsip dari agama mereka, dan dalam menahan pencobaan-pencobaan yang menyerang iman mereka. ‘Kebajikan’ yang sejati bukanlah sesuatu yang jinak dan pasif. Itu membutuhkan tenaga dan keberanian yang besar, karena hakekatnya adalah keteguhan, kejantanan, dan ketidak-tergantungan).
Catatan: dalam 2Petrus 1:3 secara salah kata Yunani itu diterjemahkan ‘ajaib’ dalam Kitab Suci Indonesia; tetapi KJV menterjemahkan ‘virtue’ (= kebaikan / sifat baik).
Matthew Henry: “He must get virtue, by which some understand justice; ... by virtue here we may understand strength and courage, without which the believer cannot stand up for good works, ... The righteous must be bold as a lion (Prov. 28:1); a cowardly Christian, who is afraid to profess the doctrines or practise the duties of the gospel, must expect that Christ will be ashamed of him another day” [= Ia harus mendapatkan kebajikan, yang oleh sebagian orang dimengerti sebagai keadilan; ... dengan kebajikan di sini kita bisa mengertinya sebagai kekuatan dan keberanian, tanpa mana orang percaya tidak bisa berdiri untuk perbuatan baik, ... Orang benar harus berani seperti seekor singa (Amsal 28:1); seorang Kristen yang pengecut, yang takut untuk mengakui ajaran-ajaran atau mempraktekkan kewajiban-kewajiban injil, harus mengharapkan bahwa pada suatu hari Kristus akan malu tentang dia].
Amsal 28:1 - “Orang fasik lari, walaupun tidak ada yang mengejarnya, tetapi orang benar merasa aman seperti singa muda”.
Adam Clarke: “‘Virtue.’ ARETEEN. Courage or fortitude, to enable you to profess the faith before men, in these times of persecution” (= ‘Kebajikan’. ARETEEN. Keberanian atau ketabahan / keuletan, untuk memampukanmu untuk mengakui iman di hadapan manusia pada masa-masa penganiayaan).
Barclay: “To faith must be added what the Revised Standard Version calls ‘virtue’ and we have called ‘courage.’ The word is ARETE; it is very rare in the New Testament but it is the supreme Greek word for virtue in every sense of the term. It means ‘excellence.’ ... ARETE is that virtue which makes a man a good citizen and friend; it is that virtue which makes him an expert in the technique of living well. ... ARETE often means ‘courage.’ Plutarch says that God is a hope of ARETE, not an excuse for cowardice. In 2 Maccabees we read of how Eleazar died rather than be false to the laws of God and his fathers; and the story ends by saying that he left his death for an example of noble courage (ARETE) and a memorial of virtue, not only to young men, but also to all the nation (2 Maccabees 6:31)” [= Pada iman harus ditambahkan apa yang RSV sebut ‘kebaikan / sifat baik’ dan kami menyebutnya ‘keberanian’. Kata yang digunakan adalah ARETE, kata itu sangat jarang dalam Perjanjian Baru, tetapi itu adalah kata Yunani yang tertinggi untuk ‘kebaikan / sifat baik’ dalam setiap arti dari istilah itu. Kata itu berarti ‘keunggulan / mutu yang sangat baik’. ... ARETE adalah kebaikan / sifat baik yang membuat seseorang menjadi seorang warga negara dan teman yang baik; itu adalah kebaikan / sifat baik yang membuat dia seorang ahli dalam tehnik untuk hidup dengan baik. ... ARETE sering berarti ‘keberanian’. Plutarch berkata bahwa Allah adalah suatu pengharapan dari ARETE, bukan suatu alasan untuk suatu sifat / sikap pengecut. Dalam 2Makabe kita membaca bagaimana Eleazar mati dari pada menjadi tidak benar / menyalahi hukum (Taurat) Allah dan nenek moyangnya; dan ceritanya berakhir dengan mengatakan bahwa ia meninggalkan kematiannya sebagai suatu contoh / teladan dari keberanian yang mulia (ARETE) dan suatu peringatan dari kebaikan / sifat baik, bukan hanya bagi orang-orang muda, tetapi juga bagi seluruh bangsa (2Makabe 6:31)] - hal 301-302.
Saya berpendapat bahwa sangat sering terjadi bahwa untuk bisa menjadi baik, kita harus mempunyai keberanian. Mengapa? Karena dunia yang jahat tidak menyenangi kebaikan itu dan pasti akan menentang kebaikan itu dan juga orang yang melakukan kebaikan itu. Kalau kita tidak berani menghadapi serangan dari dunia terhadap kebaikan yang sedang / akan kita lakukan, maka kita akan berhenti / batal melakukan kebaikan itu.
Bdk. Ef 6:18b-20 - “(18b) Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus, (19) juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil, (20) yang kulayani sebagai utusan yang dipenjarakan. Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara”.
Bdk. 2Timotius 1:7 - “Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban”.
2. “dan kepada kebajikan pengetahuan”.
Keberanian, semangat dsb, tak ada gunanya, bahkan menjadi sesuatu yang negatif kalau tidak ada pengetahuan, apalagi kalau pengetahuannya salah / sesat.
Amsal 19:2 - “Tanpa pengetahuan kerajinanpun tidak baik; orang yang tergesa-gesa akan salah langkah”.
Roma 10:1-3 - “(1) Saudara-saudara, keinginan hatiku dan doaku kepada Tuhan ialah, supaya mereka diselamatkan. (2) Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Allah, tetapi tanpa pengertian yang benar. (3) Sebab, oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk kepada kebenaran Allah”.
Adam Clarke: “‘Knowledge.’ True wisdom, by which your faith will be increased, and your courage directed, and preserved from degenerating into rashness” (= ‘Pengetahuan’. Hikmat yang sejati, dengan mana iman akan ditingkatkan, dan keberanianmu diarahkan, dan dijaga / dilindungi dari kemerosotan ke dalam tindakan terburu-buru / gegabah).
Barnes’ Notes: “It is the duty of every Christian to make the highest possible attainments in ‘knowledge.’” (= Merupakan kewajiban dari setiap orang Kristen untuk membuat pencapaian setinggi mungkin dalam ‘pengetahuan’).
Barclay: “To courage must be added ‘knowledge.’ The word is GNOSIS. In ethical Greek language there are two words which have a similar meaning with a very significant difference. SOPHIA is wisdom, in the sense of ‘knowledge of things both human and divine, and of their causes.’ It is knowledge of first causes and of deep and ultimate things. GNOSIS is ‘practical knowledge;’ it is the ability to apply to particular situations the ultimate knowledge which SOPHIA gives. GNOSIS is that knowledge which enables a man to decide rightly and to act honourably and efficiently in the day to day circumstances of life. So, then, to faith must be added courage and effectiveness; to courage and effectiveness must be added the practical wisdom to deal with life” (= Pada keberanian harus ditambahkan ‘pengetahuan’. Kata yang digunakan adalah GNOSIS. Dalam bahasa Yunani yang bersifat etika / moral, ada dua kata yang mempunyai arti yang mirip tetapi dengan perbedaan yang sangat penting / berarti. SOPHIA adalah hikmat, dalam arti ‘pengetahuan tentang hal-hal baik yang manusiawi dan ilahi, dan tentang penyebab-penyebab mereka’. Itu adalah pengetahuan tentang penyebab-penyebab pertama dan tentang hal-hal yang dalam dan pokok / akhir. GNOSIS adalah ‘pengetahuan praktis’; itu adalah kemampuan untuk menerapkan pada keadaan tertentu pengetahuan pokok / akhir yang diberikan oleh SOPHIA. GNOSIS adalah pengetahuan yang memampukan seorang manusia untuk memutuskan dengan benar dan bertindak dengan terhormat dan dengan efisien dalam keadaan kehidupan hari demi hari. Maka, pada iman harus ditambahkan keberanian dan keefektifan; pada keberanian dan keefektifan harus ditambahkan hikmat praktis untuk menangani kehidupan) - hal 302.
3. “dan kepada pengetahuan penguasaan diri”.
Barclay: “To this practical knowledge must be added ‘self-control,’ or ‘self-mastery.’ The word is EGKRATEIA, and it means literally ‘the ability to take a grip of oneself.’ This is a virtue of which the great Greeks spoke and wrote and thought much. In regard to a man and his passions Aristotle distinguishes four states in life. There is SOPHROSUNE, in which passion has been entirely subjugated to reason; we might call it ‘perfect temperance.’ There is AKOLASIA, which is the precise opposite; it is the state in which reason is entirely subjugated to passion; we might call it ‘unbridled lust.’ In between these two states there is AKRASIA, in which reason fights but passion prevails; we might call it ‘incontinence.’ There is EGKRATEIA, in which reason fights against passion and prevails; we call it ‘self-control,’ or ‘self-mastery.’” (= Pada pengetahuan praktis ini harus ditambahkan ‘penguasaan diri / kontrol terhadap diri sendiri’. Kata yang digunakan adalah EGKRATEIA, dan kata itu secara hurufiah berarti ‘kemampuan untuk untuk menguasai diri sendiri’. Ini merupakan suatu kebaikan / sifat baik tentang mana orang-orang Yunani yang agung banyak berbicara dan menulis dan berpikir. Berkenaan dengan seorang manusia dan nafsu-nafsunya Aristotle membedakan empat keadaan dalam kehidupan. Ada SOPHROSUNE, dimana nafsu telah sepenuhnya ditaklukkan / ditundukkan pada akal; kita bisa menyebutnya ‘penguasaan diri yang sempurna’. Ada AKOLASIA, yang adalah persis sebaliknya; itu adalah keadaan dimana akal sepenuhnya ditaklukkan / ditundukkan pada nafsu; kita bisa menyebutnya ‘nafsu yang tidak dikekang’. Di antara kedua keadaan itu ada AKRASIA, dimana akal melawan tetapi nafsu menang; kita bisa menyebutnya ‘ketidakmampuan menguasai diri’. Lalu ada EGKRATEIA, dimana akal melawan nafsu dan menang) - hal 302-303.
Barclay: “EGKRATEIA is one of the great Christian virtues; ... That ethic does not contemplate a situation in which a man is emasculated of all passion; it envisages a situation in which his passions remain, but are under perfect control and so become his servants, not his tyrants” (= EGKRATEIA merupakan salah satu dari kebaikan / sifat baik Kristen yang agung; ... Etika itu tidak memikirkan suatu keadaan dimana seseorang dikebiri dari semua nafsu; itu menggambarkan suatu keadaan dimana nafsu-nafsunya tetap ada, tetapi ada dalam kendali yang sempurna dan dengan demikian menjadi pelayan-pelayannya, bukan tiran-tirannya / tuan-tuannya yang kejam) - hal 303.
Bandingkan ini (khususnya bagian yang saya garis-bawahi) dengan banyak orang yang memberikan kesaksian yang mengatakan bahwa setelah ia bertobat, ia sama sekali tidak menyenangi / menginginkan perempuan lain selain istrinya. Bodohlah orang yang percaya pada dusta / bualan seperti ini! Kalau nafsu jahat itu hilang sama sekali, maka tidak lagi diperlukan penguasaan diri!
Barnes’ Notes: “‘And to knowledge temperance.’ ... The word here refers to the mastery over all our evil inclinations and appetites. We are to allow none of them to obtain control over us. ... This would include, of course, abstinence from intoxicating drinks; but it would also embrace all evil passions and propensities. Everything is to be confined within proper limits, and to no propensity of our nature are we to give indulgence beyond the limits which the law of God allows” (= ‘Dan pada pengetahuan penguasaan diri’. ... Kata itu di sini menunjuk pada penguasaan atas semua kecenderungan dan nafsu / keinginan. Kita tidak boleh mengijinkan yang manapun dari mereka untuk mendapatkan kendali atas diri kita. ... Tentu saja ini mencakup pertarakan / penahanan nafsu dari minuman yang memabukkan; tetapi itu juga mencakup semua nafsu dan kecenderungan yang jahat. Segala sesuatu harus dibatasi dalam batasan yang tepat / benar, dan tidak ada kecenderungan dari sifat kita pada mana kita boleh memberikan pemuasaan melebihi batasan yang diijinkan oleh hukum Allah).
Matthew Henry: “We must add temperance to our knowledge. We must be sober and moderate in our love to, and use of, the good things of this life; and, if we have a right understanding and knowledge of outward comforts, we shall see that their worth and usefulness are vastly inferior to those of spiritual mercies. Bodily exercises and bodily privileges profit but little, and therefore are to be esteemed and used accordingly; ... We must be moderate in desiring and using the good things of natural life, such as meat, drink, clothes, sleep, recreations, and credit; an inordinate desire after these is inconsistent with an earnest desire after God and Christ; and those who take more of these than is due can render to neither God nor man what is due to them” [= Kita harus menambahkan penguasaan diri pada pengetahuan kita. Kita harus waras dan moderat dalam kasih / kecintaan kita pada, dan penggunaan dari, hal-hal yang baik dari kehidupan ini; dan, jika kita mempunyai suatu pengertian dan pengetahuan yang baik tentang kesenangan-kesenangan lahiriah, kita akan melihat bahwa nilai dan kegunaan mereka jauh lebih rendah dibandingkan dengan belas kasihan rohani. Latihan jasmani (olah raga) dan kelebihan jasmani hanya memberi sedikit keuntungan, dan karena itu harus dihargai dan digunakan secara sesuai; ... Kita harus bersikap moderat dalam mengingini dan menggunakan hal-hal yang baik dari kehidupan alamiah, seperti makanan, minuman, pakaian, tidur, rekreasi, dan uang tabungan; suatu keinginan yang sangat banyak terhadap hal-hal ini tidaklah konsisten dengan suatu keinginan yang sungguh-sungguh terhadap Allah dan Kristus; dan mereka yang mengambil hal-hal ini lebih banyak dari yang seharusnya, tidak bisa memberikan apa yang seharusnya kepada Allah maupun manusia].
1Timotius 4:8 - “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah (kesalehan) itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang”.
KJV: ‘For bodily exercise profiteth little’ (= Karena olah raga jasmani memberikan keuntungan sedikit).
NIV: ‘For physical training is of some value’ (= Karena latihan jasmani sedikit nilainya).
4. “kepada penguasaan diri ketekunan”.
KJV: ‘patience’ (= kesabaran).
RSV: ‘steadfastness’ (= kesetiaan / keteguhan).
NIV/NASB: ‘perseverance’ (= ketekunan).
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “Patience is the ability to endure when circumstances are difficult. Self-control has to do with handling the pleasures of life, while patience relates primarily to the pressures and problem of life. ... Often, the person who ‘gives in!’ to pleasures is not disciplined enough to handle pressures either, so he ‘gives up.’ Patience is not something that develops automatically, we must work at it. James 1:2-8 gives us the right approach. We must expect trials to come, because without trials we could never learn patience. We must, by faith, let our trials work for us and not against us, because we know that God is at work in our trials” (= Kesabaran adalah kemampuan untuk bertahan pada waktu keadaan sukar. Penguasaan diri berurusan dengan penanganan kesenangan-kesenangan dari kehidupan, sementara kesabaran terutama berhubungan dengan tekanan dan problem dari kehidupan. ... Seringkali, orang yang menyerah pada kesenangan-kesenangan juga tidak cukup mempunyai disiplin untuk menangani tekanan sehingga ia menyerah. Kesabaran bukanlah sesuatu yang berkembang secara otomatis, kita harus mengerjakannya. Yak 1:2-8 memberi kita pendekatan yang benar. Kita harus mengharapkan pencobaan-pencobaan untuk datang, karena tanpa pencobaan-pencobaan kita tidak pernah bisa mempelajari kesabaran. Kita harus, dengan iman, membiarkan pencobaan-pencobaan kita bekerja untuk kita dan bukan menentang kita, karena kita tahu bahwa Allah bekerja dalam pencobaan-pencobaan kita).
Barclay: “The word is HUPOMONE. ... HUPOMONE does not simply accept and endure; there is always a forward look in it. It is said of Jesus, by the writer to the Hebrews, that for the joy that was set before him, he ‘endured’ the Cross, despising the shame (Hebrews 12:2). That is HUPOMONE, Christian stedfastness. It is the courageous acceptance of everything that life can do to us and the transmuting of even the worst event into another step on the upward way” [= Kata yang digunakan adalah HUPOMONE. ... HUPOMONE tidak hanya menerima dan menahan; tetapi selalu ada pandangan ke depan di dalamnya. Dikatakan tentang Yesus oleh penulis surat Ibrani, bahwa untuk / sebagai ganti sukacita yang diletakkan di hadapanNya, Ia ‘menahan’ Salib, meremehkan rasa malu (Ibrani 12:2). Itulah HUPOMONE, kesetiaan / keteguhan Kristen. Itu adalah penerimaan yang berani dari segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh kehidupan kepada kita, dan pengubahan bahkan peristiwa yang terburuk menjadi langkah lain yang menuju ke atas] - hal 303.
Matthew Henry: “Add to temperance patience, which must have its perfect work, or we cannot be perfect and entire, wanting nothing (James 1:4), for we are born to trouble, and must through many tribulations enter into the kingdom of heaven; and it is this tribulation (Rom. 5:3) which worketh patience, that is, requires the exercise and occasions the increase of this grace, whereby we bear all calamities and crosses with silence and submission, without murmuring against God or complaining of him, but justifying him who lays all affliction upon us, owning that our sufferings are less than our sins deserve, and believing they are no more than we ourselves need” [= Tambahkan pada penguasaan diri kesabaran, yang harus mempunyai pekerjaannya yang sempurna, atau kita tidak bisa sempurna dan utuh, tak kekurangan apapun (Yakobus 1:4), karena kita dilahirkan pada kesukaran / problem, dan harus melalui banyak kesengsaraan untuk masuk ke dalam kerajaan surga; dan kesengsaran inilah (Ro 5:3) yang mengerjakan kesabaran, artinya, membutuhkan latihan dan menyebabkan peningkatan dari kasih karunia ini, dengan mana kita menanggung semua bencana dan salib dengan diam / tenang dan ketundukan, tanpa bersungut-sungut terhadap Allah atau mengeluh tentang Dia, tetapi membenarkan Dia yang meletakkan semua penderitaan pada kita, sambil mengakui bahwa penderitaan kita lebih sedikit / kecil dari pada yang layak didapatkan oleh dosa-dosa kita, dan dengan percaya bahwa penderitaan itu tidaklah lebih dari yang kita butuhkan].
5. “dan kepada ketekunan kesalehan”.
Barclay: “To this steadfastness must be added ‘piety.’ The word is EUSEBEIA and is quite untranslatable. ... The great characteristic of EUSEBEIA is that it looks in two directions. The man who has EUSEBEIA always correctly worships God and gives him his due; but he always correctly serves his fellow-men and gives them their due. The man who is EUSEBES (the corresponding adjective) is in a right relationship both with God and his fellow-men. EUSEBEIA is piety but in its most practical aspect. ... EUSEBEIA is the nearest Greek word for ‘religion;’ and, when we begin to define it, we see the intensely practical character of the Christian religion. When a man becomes a Christian, he acknowledges a double duty, to God and to his fellow-men” [= Pada kesetiaan / keteguhan ini harus ditambahkan ‘kesalehan’. Kata yang digunakan adalah EUSEBEIA dan kata ini tidak bisa diterjemahkan. ... Karakteristik yang besar dari EUSEBEIA adalah bahwa itu melihat pada dua arah. Orang yang mempunyai EUSEBEIA selalu menyembah Allah dengan benar dan memberikan apa yang adalah hakNya; tetapi ia selalu melayani secara benar sesama manusianya dan memberikan kepada mereka apa yang adalah hak mereka. Orang yang EUSEBES (kata sifatnya yang bersesuaian) ada dalam hubungan yang benar, baik dengan Allah maupun dengan sesama manusianya. EUSEBEIA adalah kesalehan tetapi dalam aspeknya yang paling praktis. ... EUSEBEIA adalah kata Yunani yang paling dekat untuk ‘agama’; dan, pada waktu kita mulai mendefinisikannya, kita melihat karakter yang sangat praktis dari agama Kristen. Pada waktu seseorang menjadi orang Kristen, ia mengakui suatu kewajiban ganda, kepada Allah dan kepada sesama manusianya] - hal 303-304.
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “‘Godliness’ simply means ‘God-likeness.’ ... It described the man who was right in his relationship with God and with his fellowman. ... He seeks to do the will of God and, as he does, he seeks the welfare of others. We must never get the idea that godliness is an impractical thing, because it is intensely practical. The godly person makes the kinds of decisions that are right and noble. He does not take an easy path simply to avoid either pain or trial. He does what is right because it is right and because it is the will of God” (= ‘Kesalehan’ berarti ‘kemiripan dengan Allah’. ... Itu menggambarkan manusia yang benar dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusianya. ... Ia berusaha untuk melakukan kehendak Allah dan pada waktu ia melakukannya ia mengusahakan kesejahteraan dari orang-orang lain. Kita tidak pernah boleh mendapatkan pengertian bahwa kesalehan adalah suatu hal yang tidak praktis, karena itu sangat praktis. Orang yang saleh membuat jenis-jenis keputusan yang benar dan mulia. Ia tidak mengambil jalan yang mudah hanya untuk menghindari rasa sakit atau pencobaan. Ia melakukan apa yang benar karena itu adalah benar, dan karena itu adalah kehendak Allah).
6. “dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara”.
Barclay: “The word is PHILADELPHIA, which literally means love of the brethren. The point is this - there is a kind of religious devotion which separates a man from his fellow-men. The claims of his fellow-men become an intrusion on his prayers, his study of God’s word and his meditation. The ordinary demands of human relationships become a nuisance. ... What Peter is saying is that there is something wrong with the religion which finds the claims of personal relationships a nuisance” (= Kata yang digunakan adalah PHILADELPHIA, yang secara hurufiah berarti ‘kasih akan saudara-saudara’. Pointnya adalah ini - ada sejenis pembaktian agamawi yang memisahkan seorang manusia dari sesama manusianya. Claim dari sesama manusianya menjadi gangguan pada doa-doanya, pelajarannya akan Firman Allah dan meditasinya. Tuntutan biasa dari hubungan-hubungan manusia menjadi gangguan. ... Apa yang dikatakan oleh Petrus adalah bahwa di sana ada sesuatu yang salah dengan agama yang mendapati claim dari hubungan-hubungan pribadi suatu gangguan) - hal 304-305.
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “‘Brotherly kindness’ (PHILADELPHIA in the Greek) is a virtue that Peter must have acquired the hard way, for the disciples of our Lord often debated and disagreed with one another. If we love Jesus Christ, we must also love the brethren. We should practice an ‘unfeigned [sincere] love of the brethren’ (1 Peter 1:22) and not just pretend that we love them. ‘Let brotherly love continue’ (Heb 13:1). ‘Be kindly affectioned one to another with brotherly love’ (Rom 12:10). The fact that we love our brothers and sisters in Christ is one evidence that we have been born of God (1 John 5:1-2)” [= ‘Kebaikan persaudaraan’ (PHILADELPHIA dalam bahasa Yunani) adalah suatu kebaikan / sifat baik yang harus didapatkan oleh Petrus dengan cara yang keras, karena murid-murid dari Tuhan kita sering berdebat dan tidak setuju satu dengan yang lain. Jika kita mengasihi Yesus Kristus, kita juga harus mengasihi saudara-saudara kita. Kita harus mempraktekkan suatu ‘kasih yang tidak pura-pura (tulus / sungguh-sungguh) akan saudara-saudara’ (1Pet 1:22) dan bukan hanya berpura-pura bahwa kita mengasihi mereka. ‘Hendaklah kasih persaudaraan berlanjut’ (Ibr 13:1). ‘Kasihilah dengan baik satu sama lain dengan kasih persaudaraan’ (Roma 12:10). Fakta bahwa kita mengasihi saudara-saudara dan saudari-saudari dalam Kristus adalah suatu bukti bahwa kita telah dilahirkan dari Allah (1Yohanes 5:1-2)].
1Petrus 1:22 - “Karena kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu”.
Ibrani 13:1 - “Peliharalah kasih persaudaraan!”.
KJV: ‘Let brotherly love continue’ (= Hendaklah kasih persaudaraan berlanjut).
Ro 12:10a - “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara”.
KJV: ‘Be kindly affectioned one to another with brotherly love’ (= Kasihilah dengan baik satu sama lain dengan kasih persaudaraan).
1Yohanes 5:1-2 - “(1) Setiap orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi Dia yang melahirkan, mengasihi juga Dia yang lahir dari padaNya. (2) Inilah tandanya, bahwa kita mengasihi anak-anak Allah, yaitu apabila kita mengasihi Allah serta melakukan perintah-perintahNya”.
7. “dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang”.
Kata-kata ‘akan semua orang’ sebetulnya tidak ada.
KJV: ‘and to brotherly kindness charity’ (= dan pada kebaikan persaudaraan kasih).
RSV: ‘and brotherly affection with love’ (= dan kasih persaudaraan dengan kasih).
NIV: ‘and to brotherly kindness, love’ (= dan pada kebaikan persaudaraan, kasih).
NASB: ‘and in your brotherly kindness, love’ (= dan dalam kebaikan persaudaraanmu, kasih).
Tetapi boleh dikatakan semua penafsir menafsirkan seperti terjemahan Kitab Suci Indonesia.
Calvin: “‘Brotherly-kindness,’ filadelfi>a, is mutual affection among the children of God. Love extends wider, because it embraces all mankind” [= ‘Kebaikan persaudaraan’, filadelfi>a (PHILADELPHIA), adalah saling mengasihi di antara anak-anak Allah. Kasih menjangkau lebih luas, karena kasih mencakup seluruh umat manusia].
Barnes’ Notes: “‘And to brotherly kindness charity.’ Love to all mankind. There is to be a special affection for Christians as of the same family; there is to be a true and warm love, however, for all the race” (= ‘Dan pada kebaikan persaudaraan kasih’. Kasih pada seluruh umat manusia. Di sana harus ada kasih yang khusus untuk orang-orang Kristen sebagai dari keluarga yang sama; tetapi di sana harus ada suatu kasih yang sungguh-sungguh dan hangat untuk seluruh umat manusia).
Bdk. Galatia 6:10 - “Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman”.
Barclay: “The ladder of Christian virtue must end in Christian love. Not even affection for the brethren is enough; the Christian must end with a love which is as wide as that love of God which causes his sun to rise on the just and on the unjust, and sends his rain on the evil and the good. The Christian must show to all men the love which God has shown to him” (= Tangga dari kebaikan / sifat baik Kristen harus berakhir dalam kasih Kristen. Bahkan kasih untuk saudara-saudara tidaklah cukup; orang Kristen harus berakhir dengan suatu kasih yang sama lebarnya / luasnya dengan kasih Allah yang menyebabkan matahariNya muncul pada orang benar dan pada orang yang tidak benar, dan mengirimkan hujan pada orang jahat dan orang baik. Orang Kristen harus menunjukkan kepada semua manusia kasih yang Allah telah tunjukkan kepada dia) - hal 305.
Bdk. Matius 5:43-48 - “(43) Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. (44) Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (45) Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. (46) Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? (47) Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? (48) Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.’”.
Adam Clarke: “‘Charity.’ AGAPEEN. Love to the whole human race, even to your persecutors: love to God and the brethren they had; love to all mankind they must also have. True religion is neither selfish nor insulated; where the love of God is, bigotry cannot exist. Narrow, selfish people, and people of a party, who scarcely have any hope of the salvation of those who do not believe as they believe, and who do not follow with them, have scarcely any religion, though in their own apprehension none is so truly orthodox or religious as themselves” (= ‘Kasih’. AGAPEEN. Kasih kepada seluruh umat manusia, bahkan kepada penganiaya-penganiayamu: kasih kepada Allah dan saudara-saudara mereka miliki; kasih kepada seluruh umat manusia juga harus mereka miliki. Agama yang benar tidaklah egois ataupun terisolasi; dimana kasih Allah ada, kefanatikan tidak bisa ada. Orang-orang yang sempit / picik, egois, dan orang-orang dari suatu kelompok / golongan, yang hampir tidak mempunyai pengharapan apapun tentang keselamatan dari mereka yang tidak percaya seperti mereka percaya, dan yang tidak mengikuti bersama mereka, hampir tidak mempunyai agama, sekalipun dalam pengertian mereka sendiri tidak ada yang begitu sungguh-sungguh ortodox atau religius seperti diri mereka sendiri).
Catatan: bagian yang saya garis bawahi itu membahayakan! Apakah kita harus percaya bahwa orang agama lain juga selamat? Tetapi saya yakin bukan itu yang dimaksudkan oleh Clarke, karena ia jelas mempercayai Yesus sebagai satu-satunya jalan ke surga. Mungkin maksudnya, orang-orang itu tidak memberitakan Injil kepada orang-orang non Kristen, karena menganggap orang-orang itu toh tak ada harapan untuk diselamatkan.
Bahwa Adam Clarke memang mempercayai Yesus sebagai satu-satunya jalan ke surga terlihat dari komentarnya tentang Kis 4:12 - “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.’”.
Adam Clarke (tentang Kisah Para Rasul 4:12): “Not only no other person, but no name except that divinely appointed one, Matt 1:21, by which salvation from sin can be expected - none given under heaven - no other means ever devised by God himself for the salvation of a lost world. All other means were only subordinate, and referred to him, and had their efficacy from him alone. He was the Lamb slain from the foundation of the world; and no man ever came, or can come, to the Father but by him” (= Bukan hanya tidak ada pribadi yang lain, tetapi tidak ada nama kecuali yang ditetapkan secara ilahi, Mat 1:21, oleh mana keselamatan dari dosa bisa diharapkan - tidak ada yang diberikan di bawah kolong langit - tidak ada jalan / cara yang pernah dipikirkan / direncanakan oleh Allah sendiri untuk keselamatan dari dunia yang terhilang. Semua cara / jalan yang lain hanya lebih rendah, dan menunjuk kepada Dia, dan mempunyai kemujaraban mereka dari Dia saja. Ia adalah Anak Domba yang disembelih sejak penciptaan dunia; dan tidak pernah ada orang yang datang, atau bisa datang, kepada Bapa kecuali oleh Dia).
Catatan: bagian yang saya garis-bawahi mungkin menunjuk pada keselamatan dalam Perjanjian Lama, dimana mereka kelihatannya diselamatkan oleh korban-korban binatang dsb, padahal semua itu menunjuk kepada Yesus Kristus, dan mendapatkan kemujaraban dari Dia saja.
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “But there is more to Christian growth than brotherly love; we must also have the sacrificial love that our Lord displayed when He went to the cross. The kind of love (‘charity’) spoken of in 2 Peter 1:7 is agape love, the kind of love that God shows toward lost sinners. This is the love that is described in 1 Cor 13, the love that the Holy Spirit produces in our hearts as we walk in the Spirit (Rom 5:5; Gal 5:22). When we have brotherly love, we love because of our likenesses to others; but with agape love, we love in spite of the differences we have” [= Tetapi di sana ada lebih banyak pertumbuhan Kristen dari kasih persaudaraan; kita juga harus mempunyai kasih yang berkorban yang Tuhan kita tunjukkan pada waktu Ia pergi ke salib. Jenis kasih yang dibicarakan dalam 2Pet 1:7 adalah kasih AGAPE, jenis kasih yang Allah tunjukkan kepada orang-orang berdosa yang terhilang. Ini adalah kasih yang digambarkan dalam 1Kor 13, kasih yang Roh Kudus hasilkan dalam hati kita pada waktu kita berjalan dalam Roh (Roma 5:5; Galatia 5:22). Pada waktu kita mempunyai kasih persaudaraan, kita mengasihi karena kemiripan kita dengan orang-orang lain; tetapi dengan kasih AGAPE, kita mengasihi sekalipun kita mempunyai perbedaan-perbedaan].
d) Menjadi serupa dengan Kristus tak berarti kehilangan keunikan / kepribadian kita.
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “God wants us to be ‘conformed to the image of His Son’ (Rom 8:29). ... And the amazing thing is this: as the image of Christ is reproduced in us, the process does not destroy our own personalities. We still remain uniquely ourselves! One of the dangers in the church today is imitation. People have a tendency to become like their pastor, or like a church leader, or perhaps like some ‘famous Christian.’ As they do this, they destroy their own uniqueness while failing to become like Jesus Christ. They lose both ways! just as each child in a family resembles his parents and yet is different, so each child in God’s family comes more and more to resemble Jesus Christ and yet is different. Parents don’t duplicate themselves, they reproduce themselves; and wise parents permit their children to be themselves” [= Allah menghendaki kita untuk menjadi ‘serupa dengan gambar AnakNya’ (Ro 8:29). ... Dan hal yang mengherankan adalah ini: pada waktu gambar Kristus direproduksi dalam diri kita, proses itu tidak menghancurkan kepribadian kita sendiri. Kita tetap unik! Salah satu dari bahaya-bahaya dalam gereja jaman sekarang adalah peniruan. Orang-orang mempunyai kecenderungan untuk menjadi seperti pendeta mereka, atau seperti seorang pemimpin gereja, atau mungkin seperti beberapa ‘orang Kristen yang termasyhur’. Pada waktu mereka melakukan hal ini mereka menghancurkan keunikan mereka sendiri sementara mereka gagal untuk menjadi seperti Yesus Kristus. Mereka kehilangan kedua-duanya! sama seperti setiap anak dalam suatu keluarga menyerupai orang tuanya tetapi tetap berbeda (satu dengan yang lain), demikian juga setiap anak dalam keluarga Allah makin lama makin menyerupai Yesus Kristus tetapi tetap berbeda (satu dengan yang lain). Orang tua tidak menggandakan / menduplikat diri mereka sendiri, mereka mereproduksi diri mereka sendiri; dan orang tua yang bijaksana mengijinkan anak-anak mereka untuk menjadi diri mereka sendiri].
Roma 8:29 - “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya, supaya Ia, AnakNya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara”.
Catatan Matthew Henry tentang 2 Petrus 5-7: Disini, tiada jalan lain lagi yang bisa kita amati selain bahwa jalan orang percaya itu ditandai langkah demi langkah.
1. Ia harus memperoleh kebajikan, yang oleh sebagian orang dipahami sebagai keadilan, dan kemudian pengetahuan, penguasaan diri, dan diikuti oleh ketekunan. Dengan menggabungkan semuanya bersama-sama, Rasul Petrus tampaknya menasihatkan mereka untuk berusaha mendapatkan empat kebajikan utama atau empat unsur yang membentuk setiap kebajikan menjadi perbuatan yang luhur. Namun dengan memandang nasihat itu sebagai perkataan yang benar dan terus-menerus ditegaskan agar mereka yang sudah percaya kepada Allah sungguh-sungguh berusaha melakukan pekerjaan yang baik (Titus 3:8), maka kebajikan di sini dapat kita pahami sebagai kekuatan dan keberanian, yang tanpa keduanya orang-orang percaya tidak dapat kokoh berdiri untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik dengan berlimpah dan unggul. Orang benar harus berani seperti seekor singa muda (Ams. 28:1). Seorang Kristen pengecut, yang takut mengakui ajaran-ajaran atau takut mengerjakan kewajiban-kewajiban Injil, harus bersiap-siap mengalami bahwa Kristus akan malu mengakuinya pada suatu hari kelak. “Janganlah berkecil hati di hari yang jahat, tetapi tunjukkan kegagahberanianmu dalam menghadapi semua perlawanan, dan lawanlah setiap musuh, dunia, kedagingan, Iblis, ya, dan juga maut.” Selagi kita hidup, kita membutuhkan kebajikan dan akan luar biasa sangat berguna ketika kita akan mati.
2. Orang percaya harus menambahkan pengetahuan kepada kebajikannya, kebijaksanaan atau kehati-hatian kepada keberaniannya. Pengetahuan akan nama Allah harus berjalan di hadapan iman (Mazmur 9:11), karena kita tidak akan tahu akan kehendak baik, perkenanan dan kehendak sempurna dari Allah sampai kita memiliki pengenalan akan Allah. Namun, ada keadaan-keadaan tertentu yang patut kita ketahui dan lakukan saat mengerjakan kewajiban kita. Kita harus menggunakan cara-cara yang telah ditetapkan dan mengamati waktu yang tepat. Kehati-hatian Kristen memperhatikan siapa orang-orang yang akan kita layani, dan seperti apa tempat dan teman-teman yang bersama kita. Setiap orang percaya harus berusaha mendapatkan pengetahuan dan hikmat yang berguna untuk memberi arahan, baik sebagai cara yang tepat maupun sebagai perintah bagaimana kewajiban-kewajiban Kristen harus dilaksanakan sesuai dengan cara dan peraturan pelaksanaannya.
3. Kita harus menambahkan penguasaan diri kepada pengetahuan kita. Kita harus bisa menguasai diri dan tidak berlebihan dalam mencintai dan menggunakan hal-hal yang baik dari kehidupan ini. Dan jika kita memiliki pemahaman dan pengetahuan yang benar tentang kenyamanan-kenyamanan lahiriah atau jasmani, maka kita akan melihat bahwa nilai dan kegunaannya jauh lebih rendah daripada belas kasihan rohani. Latihan-latihan jasmani dan keistimewaan tubuh hanya sedikit gunanya, dan itulah sebabnya harus dinilai dan digunakan sesuai dengan keadaannya itu. Injil mengajarkan penguasaan diri dan juga kejujuran (Titus 2:12). Kita harus bersikap sepantasnya dan tidak berlebihan dalam mengingini dan menggunakan hal-hal baik dari kehidupan alamiah, seperti makanan, minuman, pakaian, tidur, rekreasi, dan penghargaan. Keinginan yang berlebihan akan hal-hal ini tidak sesuai dengan keinginan yang bersungguh-sungguh akan Allah dan Kristus. Dan orang-orang yang mengambil lebih banyak hal-hal ini daripada yang sepantasnya, tidak akan dapat bersikap kepada Allah dan sesama manusia dengan sepantasnya.
4. Tambahkan ketekunan kepada penguasaan diri, yang harus dapat menunjukkan kesempurnaan kerjanya, atau kita tidak dapat menjadi sempurna dan utuh dengan tidak kekurangan apa pun (Yakobus 1:4), sebab kita dilahirkan untuk menghadapi masalah, dan untuk masuk kerajaan sorga harus melalui banyak kesukaran, dan kesukaran inilah yang menghasilkan ketekunan (Roma 5:3), artinya kesukaran menghendaki banyak latihan dan membuat bertambahnya kasih karunia ini, sehingga dengan jalan tersebut kita menanggung semua malapetaka dan salib dengan diam dan penuh penyerahan diri, tanpa bersungut-sungut terhadap Allah atau berkeluh kesah terhadap Dia, tetapi sebaliknya membenarkan Dia yang meletakkan penderitaan itu di atas kita, mengakui bahwa penderitaan kita lebih ringan daripada hukuman dosa yang sebenarnya layak kita terima, dan percaya bahwa penderitaan itu tidak lebih daripada yang kita butuhkan.
5. Kepada ketekunan kita harus menambahkan kesalehan, dan inilah hal yang persis dihasilkan oleh ketekunan, sebab ketekunan menimbulkan pengalaman (Roma 5:4). Ketika orang-orang Kristen menanggung kesukaran dengan sabar, maka melalui pengalaman itu mereka memperoleh pengetahuan tentang kebaikan kasih dari Bapa sorgawi mereka, yang tidak akan pernah mengambil kembali kebaikan dari anak-anak-Nya, meskipun ketika Dia membalas pelanggaran mereka dengan gada dan kesalahan mereka dengan pukulan-pukulan (Mazmur 89:33-34), dan dengan ini mereka dibawa untuk mengalami rasa takut kanak-kanak dan kasih yang mengandung rasa hormat di mana terdapat kesalehan yang sejati: seperti ini,
6. Kita harus menambahkan kasih akan saudara-saudara, kasih sayang yang lembut kepada sesama saudara-saudara Kristen kita, yang adalah anak-anak dari Bapa yang sama, pelayan-pelayan dari Tuan yang sama, anggota-anggota dari keluarga yang sama, musafir-musafir yang berjalan menuju negeri yang sama, dan ahli waris dari harta pusaka yang sama, dan itulah sebabnya mereka harus sungguh-sungguh dikasihi dengan hati yang murni, dengan kasih yang penuh dengan rasa puas, sebagai orang-orang yang secara khusus memiliki hubungan dekat dan sangat kita sayangi, yang olehnya hati kita sangat bersuka (Mazmur 16:3).
7. Kemurahan hati, atau kasih akan semua orang, harus ditambahkan kepada kasih yang menggembirakan yang kita berikan kepada mereka yang menjadi anak-anak Allah. Allah telah menjadikan semua bangsa menjadi satu darah, dan semua anak manusia turut mengambil bagian dari kodrat manusia yang sama, semua bisa menerima kemurahan yang sama, dan cenderung mengalami penderitaan yang sama, dan karena itu, meskipun secara rohani orang-orang Kristen dibedakan dan dimuliakan di atas orang-orang yang tidak memiliki Kristus, mereka harus bersimpati, jika mempunyai kesempatan, terhadap orang lain yang sedang mengalami bencana, dan meringankan beban kebutuhan mereka, dan meningkatkan kesejahteraan mereka baik tubuh jasmani mereka maupun jiwa mereka. Demikianlah semua orang percaya di dalam Kristus harus membuktikan bahwa mereka adalah anak-anak Allah, yang baik kepada semua orang, tetapi khususnya kepada Israel.
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America