4 CORAK PEMIMPIN KRISTEN (MARKUS 10:35-45)

Panggilan kita ialah untuk melayani, bukan untuk menguasai. Panggilan kita ialah menjadi hamba dan bukan menjadi raja. Oleh sebab itu kepemimpinan Kristen berpusat pada Allah. Allah oleh kedaulatan-Nya dan memanggil setiap pemimpin kepada tugas dan tanggung jawab kepemimpinan (Matius 20:23b, Markus 10:40 ; band: Roma 12:6-8 : 8:29-30).
4 CORAK PEMIMPIN KRISTEN (MARKUS 10:35-45)
insurance
Memang setiap pemimpin mempunyai kebesaran dan otoritas, kedudukan semata, karena tanpa kedudukan, otoritas orang lain tidak bisa menghargai, baik penginjil maupun pendeta pada masa sekarang harus mempunyai otoritas (Band I Tesalonika 5:12 dst), harus di taati (I Br 13-17). Dalam hal ini Jhon stott mangatakan bahwa:

Namun, titik berat yang dilotarkan oleh Yesus bukanlah atas otoritas pemimpin-pemimpin- penguasa, melainkan atas kerendahan hati. Pemimpin- hamba otoritas pemimpin kritiani bukanlah kekuasaan melainkan kasih, bukan kekerasan melainkan teladan, bukan paksaan melainkan persuasi. Pemimpin-pemimpin memiliki kekuasaan tapi kekuasaan hanya aman dalam tangan mereka yang merendahkan dirinya untuk melayani.

Pelayanan yang menderita telah dinyatakan oleh Tuhan Yesus di mana dia mati disalibkan di kayu salib setelah dia mati akan bangkit dan Dia dipermuliakan sesuai dengan janji bapa-Nya yang telah mengutus-Nya ke dalam dunia. Jadi, kebesaran harus melalui penderitaan dan pelayanan yang menghamba untuk kepentingan orang banyak.

1. Pemimpin Kristen sebagai “Pelayan-Menyangkal diri”

Pelayan yang menyangkal sangat tegas ditulis dalam, Filipi 2:7, “Melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan ia mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Ini menunjukkan sikap kepemimpinan Yesus dan pelayanan-Nya dalam dunia yang mengambil rupa seorang hamba dan pelayan yang tidak mempunyai hak sama sekali.

Mengosongkan diri dan menyangkal diri berarti Yesus mengesampingkan kedudukan, gelar dan kekuasaan yang ada dalam diri-Nya yang artinya mengesampingkan kemuliaan (Yohanes 17:4), kedudukan (Yohanes 5:30 ; Ibrani 5:8), kekayaan (2 Korintus 8:9), segala hak surgawi (Lukas 22:27) : Matius 20:28), dan penggunaan sifat-sifat Illahi-Nya (Yohanes 5:19 ; 8:28 ; 14:10). Berarti bahwa pengosongan dan penyangkal diri adalah tidak sekedar secara sukarela menahan diri untuk menggunakan kemampuan dan hak istimewa Ilahi-Nya, tetapi juga menerima penderitaan, kesalahpahaman, perlakuan buruk, kebencian, kematian yang terkutuk di kayu salib.

Dengan demikian sebagai pemimpin yang berhati pelayan menerapkan prinsip “Penyangkalan Diri” dan mengesampingkan ambisi dan kedudukan dan kekuasaan tetapi menerapkan pelayanan yang berdedikasi tinggi. Berdedikasi tinggi dalam pelayanan maksudnya: memberi diri, mencurahkan perhatian pada, mengabdikan diri. Hal ini telah Yesus terapkan dalam pelayanan-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.

2. Pemimpin Kristen sebagai “Pelayan-Hamba”


Kepemimpinan Kristen berfokus kepada “melayani” (Service) dengan memberikan yang terbaik. Yakob Tomatala mengatakan bahwa, pemimpin Kristen harus memahami dasar kepemimpinan Kristen bahwa ia terpanggil sebagai “Pelayan-Hamba” (Markus 10:42-45), seorang pemimpin Kristen terpanggil oleh Allah kepada tugas dan tanggung jawab sebagai seorang pelayan dengan status sebagai hamba Allah. Panggilan pemimpin Kristen bukan pada kedudukan sebagai kedudukan yang menghamba yang bersifat ilahi. Dengan cara memberi diri kepada mereka dalam pelayanan tanpa “Pamrih”.

Myron Rush berpendapat bahwa,

Asas pemimpin pelayan yang diajarkan dan diterapkan oleh Yesus Kristus mempunyai dampak yang dalam kepada para pengikut-Nya dan merupakan salah satu sebab bagi pertumbuhan pesat bagi Gereja pertama. Banyak penulis perjanjian Baru membuka surat mereka dengan memperkenalkan diri sebagai pelayan.

Jadi, pemimpin Kristen melayani dengan segenap kekuatan dan kemampuan dan bukan untuk mengeksploitasi setiap yang dilayani atau bukan memanipulasi tetapi melayani dengan memberi yang terbaik bagi yang dilayani. Jhon White menegaskan bahwa: Kitab Suci melarang keras sikap “Memerintah atas orang lain”. Petrus menghimbau para penatua Gereja agar tidak “memerintah atas ... kawanan domba itu (I Petrus 5:3).

Pemimpin harus menaruh setiap kepemimpinannya dalam dasar kepemimpinan yang ilahi oleh karena pada masa ini merupakan masa kompetisi dalam segala sesuatu, seperti yang idungkapkan oleh Octavianus bahwa: kita justru berada dalam masa jabatan memegang peranan utama. Kedudukan dan gengsi lebih berperan dari pada pelayanan menjadi motivasi utama untuk pekerjaan dan pelayanan. Dengan demikian jikalau setiap pemimpin Kristen tidak kembali dan tidak berdasarkan kepemimpinan yang sejati yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus maka pelayanan dan kepemimpinan akan menjadi hancur.

Pemimpin Kristen harus menyikapi pengaruh yang ada dimana kedudukan dan kekuasaan yang diprioritaskan maka setiap pelayanan Kristen meneladani Yesus Kristus sebagai dasar kepemimpinan yang sejati dan menaruh jiwa-Nya bagi banyak orang, bukan kedudukan dan kekuasaan.

Selanjutnya Yakob Tomatala menegaskan bahwa:

“Sikap hamba” yang ada pada seorang pemimpin Kristen dinyatakan dalam kesadaran diri akan “status” di hadapan Tuhan sebagai hamba Tuhan. Status sebagai hamba Tuhan ini didukung oleh tekad yang mau mengabdi hanya kepada Tuhan dengan tidak ada pilihan lain. Sebagai hamba, ia berhamba kepada Tuhan, sikap berhamba kepada Tuhan ini yang di buktikan dengan penyerahan diri untuk mengabdi dan mengabdi dengan setia.

3. Pemimpin Kristen sebagai “Pelayan-Menderita”

Seorang pemimpin bukan hanya saja melayani dan memberi kebutuhan bagi setiap yang dilayani (umat Allah), memberitakan Injil, khotbah serta mengajar dan mengatur segala administrasi dalam Gereja, tetapi setiap pemimpin harus menderita bagi setiap yang dilayani.

Dalam hal ini Oktavianus mengatakan bahwa:

Memimpin dengan banyak mengalami penderitaan perjuangan dan cucuran air amta merupakan sumber wibawa. Bukan maksudnya kita harus mencari-cari penderitaan tetapis etiap pemimpin rohani ialah yang sungguh bergumul dengan pelayanan yang Tuhan percayakan dan tanggung jawab yang berada di atas pundaknya.

Ini mengindikasikan bahwa setiap pemimpin harus mengorbankan segala sesuatu untuk kepentingan yang dilayani dalam bentuk pengabdian dan menekankan kinerja yang super-aktif dalam pelayanan.

Rasul Paulus juga menekankan pelayanan yang menderita bagi banyak orang terbukti dalam perjalanannya dalam penginjilan, dia dipenjara dan dihina tetapi Paulus mengambil prinsip pelayanan yang menderita karena Paulus tahu bahwa pelayanan untuk mengikut Yesus harus memikul salib dan menyangkal diri. Yesus juga memberitahukan kepada murid-murid-Nya syarat untuk mengikut-Nya dalam Matius 16:24, “lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku”.

Ayat ini suatu penegasan dalam pelayanan agar setiap yang mengambil bagian dalam pelayanan, baik pendeta dan pemimpin Kristen harus mengenakan jubah palayan yang menderita. Bertolak dari hal itu maka setiap pemimpin-pemimpin Kristen pada umumnya harus meneladani kepemimpinan Yesus yang mau rela mati dalam pelayanan.

4. Pemimpin Kristen sebagai “Pelayan-Rendah Hati”

Gaya kepemimpinan Yesus ditengah-tengah murid-Nya ialah bahwa ihwal saling melayani dengan rendah hati merupakan tujuan utama Tuhan untuk menetapkan jabatan-jabatan dalam gereja-Nya. Oleh sebab itu dalam pelayanan atau dalam kepemimpinan harus memiliki sifat atau sikap kerendahan hati seperti yang di ungkapkan Budi Sugiharto bahwa: seorang pemimpin harus mempunyai sifat rendah hati, dekat Tuhan dan bertanggung jawab. Sikap kerendahan hati merupakan ciri iman Kristen yang sejati.

Hal ini telah Yesus nyatakan dalam Yohanes 13:5, “Kemudian ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu. Hal ini menunjuk pada sikap pelayanan yang rendah hati dan sekaligus merupakan teladan bagi murid-murid-Nya agar dalam pelayanan mengambil sikap kerendahan hati. Dalam hal ini Gottified memberi komentar bahwa: Ketika Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya, ia gamblang menunjukkan prinsip bahwa pelayanan dengan rendah hati sekali-kali tidak bertentangan dengan harkat dan martabat suatu jabatan. Yupiter Gulo, Arif

Next Post Previous Post