Injil Damai Sejahtera (Efesus 6:15)
Sesuai dengan Efesus 6:15, “…kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera;” sesungguhnya setiap orang Kristen dipanggil oleh Tuhan untuk memiliki kerelaan menyampaikan Injil Tuhan sebagai berita damai sejahtera di mana pun ia berada. Yang dimaksud dengan ‘kerelaan’ adalah kesiapan hati untuk pergi menjalankan tugas penginjilan.
Ketika berada dalam pergumulan akan panggilan Tuhan maka salah satu hal yang perlu disadari ialah bahwa kehidupan Kekristenan tidak berhenti hanya untuk diri sendiri melainkan merupakan panggilan Allah untuk bertempur guna memenangkan banyak jiwa yang tersesat di tengah dunia namun tanpa disertai dengan semangat imperialisme, feodalisme, kolonialisme dan berbagai upaya penjajahan untuk memanipulasi dan merenggut kebebasan orang lain serta mendapatkan keuntungan sebagai ekspresi egoisme pribadi dan kebencian manusia.
Ketika berada dalam pergumulan akan panggilan Tuhan maka salah satu hal yang perlu disadari ialah bahwa kehidupan Kekristenan tidak berhenti hanya untuk diri sendiri melainkan merupakan panggilan Allah untuk bertempur guna memenangkan banyak jiwa yang tersesat di tengah dunia namun tanpa disertai dengan semangat imperialisme, feodalisme, kolonialisme dan berbagai upaya penjajahan untuk memanipulasi dan merenggut kebebasan orang lain serta mendapatkan keuntungan sebagai ekspresi egoisme pribadi dan kebencian manusia.
Dengan demikian, dalam peperangan Kristen, setiap anak Tuhan tidak sepantasnya hanya berdiam diri pada posisi sebagai korban yang terus-menerus bertahan dalam menghadapi serangan musuh yang sedang berusaha menghancurkannya sehingga Kekristenan tidak mungkin dapat memenangkan peperangan tersebut.
Alkitab justru menginginkan semua orang Kristen menjadi utusan Allah. Dengan kata lain, Gereja Tuhan dipanggil untuk menjadi satu biji sesawi yang kecil namun setelah ditanam dan bertumbuh, ia berubah menjadi sebuah pohon yang sangat besar di mana banyak burung bernaung di dalamnya. Artinya, Gereja Tuhan merupakan bibit Kerajaan Allah yang terus bertumbuh hingga menjadi sangat besar di tengah dunia.
Inti peperangan Kristen sesungguhnya justru diletakkan tepat di bagian tengah dari perikop Efesus 6:10-20 yaitu pada ayat 15 mengenai perlengkapan ketiga, kasut kerelaan untuk memberitakan Injil. Kedua kebenaran yang disebutkan pada ayat sebelumnya menyangkut kebenaran yang secara essensi berada dalam kekekalan sekaligus sedang berproses, bertumbuh dan terus diubah menuju pada kebenaran sejati. Karena itu, kedua kebenaran dasar ini harus dikembalikan dan tidak boleh lepas dari essensi iman Kristen yaitu Kristus sendiri yang mewahyukan dan menyatakan diri-Nya sebagai kebenaran yang hidup dengan mengatakan, “Akulah jalan, kebenaran dan hidup.”
Paulus memandang bahwa fondasi tersebut sangat penting dan termasuk dalam golongan perlengkapan aktif yang pasif. Yang dimaksud dengan perlengkapan aktif yang pasif adalah perlengkapan yang digunakan untuk memperlengkapi diri sendiri secara aktif demi diri sendiri. Ketika memasang ikat pinggang dan breast-plate, seseorang harus aktif melakukannya tapi ia masih tetap berdiri pada posisinya dan belum bergerak menuju medan pertempuran. Tetapi ketika mulai memakai sepatu, berarti ia sedang mempersiapkan diri untuk pergi. Jika orang Kristen hanya berdiri di tempat sambil memperlengkapi diri, berarti ia mencari kebebasan bagi dirinya saja dalam kondisi yang seolah-olah aktif namun sebenarnya pasif dan tidak membawa hasil terhadap dunia maupun Kerajaan Allah. Karena itu, Paulus menghendaki satu keaktifan sejati yaitu dengan berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil.
Sejak jaman dulu hingga sekarang, sepatu perang harus diikat dengan erat sampai ke lutut sebagai pelindung. Karena itu, jika seorang tentara telah memakai kasutnya maka itu pertanda bahwa ia hendak pergi berperang dan tidak akan melepaskan sepatunya lagi. Dengan ilustrasi ini, Paulus hendak menegaskan bahwa Kekristenan bukan sekedar sibuk memakai breast-plate dan ikat pinggang namun tidak mau pergi berperang. Artinya, Tuhan menghendaki orang Kristen tidak hanya sibuk memperlengkapi diri hingga memilki pengetahuan yang cukup karena panggilan Kekristenan yang terpenting adalah pergi memberitakan Injil.
Pada kenyataanya sering kali dalam Kekristenan muncul dua golongan ekstrim. Golongan pertama adalah mereka yang belajar, menggumulkan dan memproses kebenaran hingga hidupnya menjadi sangat solid dalam kebenaran namun tidak pernah pergi memberitakan Injil. Sedangkan golongan kedua bersemangat untuk menginjili orang lain dengan kerelaan hati namun tidak memiliki fondasi yang tepat dan kuat. Akibatnya, mereka yang berpengertian benar dan tepat hanya mampu melakukan tindakan defensive dan berdebat namun pada akhirnya tidak dapat memenangkan jiwa. Sedangkan golongan kedua telah memberitakan Injil yang salah.
Pdt. Stephen Tong juga melihat kenyataan tersebut terjadi dalam sejarah Gereja dan sepanjang perjalanan pergumulan pelayanannya. Sering kali orang Reformed digambarkan sebagai orang yang kaku, berpengetahuan banyak dan suka berdebat. Sebaliknya, orang Injili terkenal ramah dan suka bersekutu dengan orang lain tapi tidak berpengetahuan yang tepat dan benar.
Memang, sepanjang sejarah tidak satu pun arus teologi selain Reformed yang bersemangat untuk mengerti atau mendalami Firman Tuhan dengan setia dan rela menanggalkan diri agar dapat masuk ke dalam kebenaran. Sebagai hasilnya, ajaran Reformed menjadi sangat solid dan kokoh dengan kebenaran sejati sebagai fondasinya sehingga orang Kristen tidak mudah disesatkan.
Alkitab justru menginginkan semua orang Kristen menjadi utusan Allah. Dengan kata lain, Gereja Tuhan dipanggil untuk menjadi satu biji sesawi yang kecil namun setelah ditanam dan bertumbuh, ia berubah menjadi sebuah pohon yang sangat besar di mana banyak burung bernaung di dalamnya. Artinya, Gereja Tuhan merupakan bibit Kerajaan Allah yang terus bertumbuh hingga menjadi sangat besar di tengah dunia.
Inti peperangan Kristen sesungguhnya justru diletakkan tepat di bagian tengah dari perikop Efesus 6:10-20 yaitu pada ayat 15 mengenai perlengkapan ketiga, kasut kerelaan untuk memberitakan Injil. Kedua kebenaran yang disebutkan pada ayat sebelumnya menyangkut kebenaran yang secara essensi berada dalam kekekalan sekaligus sedang berproses, bertumbuh dan terus diubah menuju pada kebenaran sejati. Karena itu, kedua kebenaran dasar ini harus dikembalikan dan tidak boleh lepas dari essensi iman Kristen yaitu Kristus sendiri yang mewahyukan dan menyatakan diri-Nya sebagai kebenaran yang hidup dengan mengatakan, “Akulah jalan, kebenaran dan hidup.”
Paulus memandang bahwa fondasi tersebut sangat penting dan termasuk dalam golongan perlengkapan aktif yang pasif. Yang dimaksud dengan perlengkapan aktif yang pasif adalah perlengkapan yang digunakan untuk memperlengkapi diri sendiri secara aktif demi diri sendiri. Ketika memasang ikat pinggang dan breast-plate, seseorang harus aktif melakukannya tapi ia masih tetap berdiri pada posisinya dan belum bergerak menuju medan pertempuran. Tetapi ketika mulai memakai sepatu, berarti ia sedang mempersiapkan diri untuk pergi. Jika orang Kristen hanya berdiri di tempat sambil memperlengkapi diri, berarti ia mencari kebebasan bagi dirinya saja dalam kondisi yang seolah-olah aktif namun sebenarnya pasif dan tidak membawa hasil terhadap dunia maupun Kerajaan Allah. Karena itu, Paulus menghendaki satu keaktifan sejati yaitu dengan berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil.
Sejak jaman dulu hingga sekarang, sepatu perang harus diikat dengan erat sampai ke lutut sebagai pelindung. Karena itu, jika seorang tentara telah memakai kasutnya maka itu pertanda bahwa ia hendak pergi berperang dan tidak akan melepaskan sepatunya lagi. Dengan ilustrasi ini, Paulus hendak menegaskan bahwa Kekristenan bukan sekedar sibuk memakai breast-plate dan ikat pinggang namun tidak mau pergi berperang. Artinya, Tuhan menghendaki orang Kristen tidak hanya sibuk memperlengkapi diri hingga memilki pengetahuan yang cukup karena panggilan Kekristenan yang terpenting adalah pergi memberitakan Injil.
Pada kenyataanya sering kali dalam Kekristenan muncul dua golongan ekstrim. Golongan pertama adalah mereka yang belajar, menggumulkan dan memproses kebenaran hingga hidupnya menjadi sangat solid dalam kebenaran namun tidak pernah pergi memberitakan Injil. Sedangkan golongan kedua bersemangat untuk menginjili orang lain dengan kerelaan hati namun tidak memiliki fondasi yang tepat dan kuat. Akibatnya, mereka yang berpengertian benar dan tepat hanya mampu melakukan tindakan defensive dan berdebat namun pada akhirnya tidak dapat memenangkan jiwa. Sedangkan golongan kedua telah memberitakan Injil yang salah.
Pdt. Stephen Tong juga melihat kenyataan tersebut terjadi dalam sejarah Gereja dan sepanjang perjalanan pergumulan pelayanannya. Sering kali orang Reformed digambarkan sebagai orang yang kaku, berpengetahuan banyak dan suka berdebat. Sebaliknya, orang Injili terkenal ramah dan suka bersekutu dengan orang lain tapi tidak berpengetahuan yang tepat dan benar.
Memang, sepanjang sejarah tidak satu pun arus teologi selain Reformed yang bersemangat untuk mengerti atau mendalami Firman Tuhan dengan setia dan rela menanggalkan diri agar dapat masuk ke dalam kebenaran. Sebagai hasilnya, ajaran Reformed menjadi sangat solid dan kokoh dengan kebenaran sejati sebagai fondasinya sehingga orang Kristen tidak mudah disesatkan.
Dan Pdt. Stephen Tong juga mengatakan bahwa Reformed harus dipadukan dengan unsur kedua yaitu Injili dengan semangat kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera (the Gospel of Peace) yang dibutuhkan oleh dunia. Dengan demikian, semua perlengkapan Kekristenan yaitu pengetahuan akan kebenaran dapat menjadi berkat bagi orang lain. Setiap orang Kristen yang memahami the Gospel of Peace akan dipakai oleh Tuhan secara utuh dan luar biasa antara berdiri tegap pada kebenaran dengan kemauan untuk maju. Kedua unsur itulah yang mengikat orang Kristen ketika menjalankan panggilan Kerajaan Allah.
Di tengah pembicaraan tentang perang, Paulus justru membicarakan damai sejahtera untuk menunjukkan bahwa peperangan Kristen memiliki unsur filsafat yang berbeda dengan yang dunia mengerti. Biasanya peperangan di segala bidang tidak pernah membawa damai sejahtera melainkan ketegangan, kesengsaraan, kebencian dan permusuhan walaupun tujuannya untuk membela diri atau memenangkan sesuatu dan berakhir dengan kemenangan, karena banyaknya korban. Paulus justru mengatakan peperangan Kristen tidaklah demikian karena pertempuran ini terjadi di antara tidak hanya dua parties tapi tiga parties dan musuh yang sesungguhnya bukanlah the second party melainkan the third party yaitu dosa dan Setan yang tidak kelihatan. Inilah keunikan peperangan Kristen
Pertempuran rohani memiliki nuansa berbeda. Ketika berada di dalamnya, yang terjadi adalah orang Kristen bukannya melawan sesama manusia yang memusuhinya tetapi melawan Setan yang telah menguasai manusia. Dengan demikian, ia dan lawan bicaranya harus tetap dalam keadaan damai sejahtera tapi Setan merasa tidak tenang.
Di tengah pembicaraan tentang perang, Paulus justru membicarakan damai sejahtera untuk menunjukkan bahwa peperangan Kristen memiliki unsur filsafat yang berbeda dengan yang dunia mengerti. Biasanya peperangan di segala bidang tidak pernah membawa damai sejahtera melainkan ketegangan, kesengsaraan, kebencian dan permusuhan walaupun tujuannya untuk membela diri atau memenangkan sesuatu dan berakhir dengan kemenangan, karena banyaknya korban. Paulus justru mengatakan peperangan Kristen tidaklah demikian karena pertempuran ini terjadi di antara tidak hanya dua parties tapi tiga parties dan musuh yang sesungguhnya bukanlah the second party melainkan the third party yaitu dosa dan Setan yang tidak kelihatan. Inilah keunikan peperangan Kristen
Pertempuran rohani memiliki nuansa berbeda. Ketika berada di dalamnya, yang terjadi adalah orang Kristen bukannya melawan sesama manusia yang memusuhinya tetapi melawan Setan yang telah menguasai manusia. Dengan demikian, ia dan lawan bicaranya harus tetap dalam keadaan damai sejahtera tapi Setan merasa tidak tenang.
Jadi, peperangan rohani adalah bagaimana seorang anak Tuhan mentransfer berita damai sejahtera kepada orang dunia sehingga ia mulai mengenal dan menerima Injil serta akhirnya merasakan damai sejahtera Allah tapi Setan tidak merasa damai sejahtera. Inilah filsafat penginjilan Kristen. Maka seorang anak Tuhan harus menyadari bahwa dunia bukanlah musuh Kekristenan melainkan objek damai sejahteranya.
Ketika keluar dari Injil damai sejahtera, manusia akan ditangkap oleh penguasa kejahatan dan berada dalam kehancuran dan kebinasaan. Karena itu, setelah bertemu dan berbicara dengan orang Kristen, biarlah dunia mendapatkan ketenangan hati untuk menghadapi situasi pelik walaupun masalah dan kesengsaraannya belum terselesaikan. Dengan demikian, seluruh perlengkapan kebenaran yang diperoleh, mampu membekali orang Kristen agar tidak menyesatkan orang lain yang kurang pengetahuan sekaligus menghindari kompromi dengan dunia.
Sering kali dunia sulit menerima the Gospel of Peace. Karena itulah, nyali orang Kristen mulai menciut karena ketidakrelaan, ketidaksiapan atau ketakutan untuk menghadapi perlawanan. Seharusnya orang Kristen mempersiapkan diri dengan baik sehingga mampu menolong dunia yang mengalami kesulitan untuk merubah konsepnya sendiri. Namun sering kali kesulitan itu di peringan dengan prinsip penginjilan:
1. memberitakan dosa;
2. memberitakan keselamatan;
3. membawa orang bertobat;
4. hidup dalam jaminan keselamatan. Prinsip tersebut memang tidak salah tapi terlalu naif dan dangkal untuk jaman sekarang. Ketika seorang intelektual yang terkenal sangat kritis mengajukan berbagai pertanyaan maka orang Kristen yang kurang persiapan akan mengalami kebingungan dan akhirnya tidak lagi rela untuk memberitakan Injil. Penginjilan tidaklah sederhana dan diperlukan kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Paulus menunjukkan the Gospel of Peace karena manusia sulit mendapatkan damai sejahtera kecuali ia kembali kepada Alkitab. Hampir sepanjang hidupnya, ia tidak pernah merasakan damai sejati terutama ketika berada dalam kondisi insecure (tidak aman). Ia akan kembali merasa aman pada saat mendapatkan pegangan yang kokoh untuk menghadapi berbagai situasi. Karena itu, tugas Kekristenan adalah membawa orang dunia kepada pengharapan sejati yaitu Kristus karena di dunia ini seluruh kepandaian, kekayaan dan jabatan tidaklah kekal.
Ketika keluar dari Injil damai sejahtera, manusia akan ditangkap oleh penguasa kejahatan dan berada dalam kehancuran dan kebinasaan. Karena itu, setelah bertemu dan berbicara dengan orang Kristen, biarlah dunia mendapatkan ketenangan hati untuk menghadapi situasi pelik walaupun masalah dan kesengsaraannya belum terselesaikan. Dengan demikian, seluruh perlengkapan kebenaran yang diperoleh, mampu membekali orang Kristen agar tidak menyesatkan orang lain yang kurang pengetahuan sekaligus menghindari kompromi dengan dunia.
Sering kali dunia sulit menerima the Gospel of Peace. Karena itulah, nyali orang Kristen mulai menciut karena ketidakrelaan, ketidaksiapan atau ketakutan untuk menghadapi perlawanan. Seharusnya orang Kristen mempersiapkan diri dengan baik sehingga mampu menolong dunia yang mengalami kesulitan untuk merubah konsepnya sendiri. Namun sering kali kesulitan itu di peringan dengan prinsip penginjilan:
1. memberitakan dosa;
2. memberitakan keselamatan;
3. membawa orang bertobat;
4. hidup dalam jaminan keselamatan. Prinsip tersebut memang tidak salah tapi terlalu naif dan dangkal untuk jaman sekarang. Ketika seorang intelektual yang terkenal sangat kritis mengajukan berbagai pertanyaan maka orang Kristen yang kurang persiapan akan mengalami kebingungan dan akhirnya tidak lagi rela untuk memberitakan Injil. Penginjilan tidaklah sederhana dan diperlukan kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
Paulus menunjukkan the Gospel of Peace karena manusia sulit mendapatkan damai sejahtera kecuali ia kembali kepada Alkitab. Hampir sepanjang hidupnya, ia tidak pernah merasakan damai sejati terutama ketika berada dalam kondisi insecure (tidak aman). Ia akan kembali merasa aman pada saat mendapatkan pegangan yang kokoh untuk menghadapi berbagai situasi. Karena itu, tugas Kekristenan adalah membawa orang dunia kepada pengharapan sejati yaitu Kristus karena di dunia ini seluruh kepandaian, kekayaan dan jabatan tidaklah kekal.
Tetapi, keselamatan yang dari Tuhan merupakan pengharapan yang bersifat kekal. Ketika seorang anak Tuhan memiliki jiwa pelayanan dan semangat kerelaan untuk memberitakan Injil agar dunia mulai mengenal Tuhan Yesus maka ia akan belajar lebih banyak lagi dan imannya akan bertumbuh dengan cepat. Bagaimanapun juga, ilmu pengetahuan yang tidak digunakan demi perluasan Kerajaan Allah adalah sia-sia dan tidak berguna. Pdt. Sutjipto Subeno