PENGKHOTBAH 2 :17-26 - BERSENANG-SENANG DALAM KELIMPAHAN

Matthew Henry ( 1662 – 1714)

PENGKHOTBAH 2 :17-26 - SUMBER KETIDAK-PUASAN : BERSENANG-SENANG DALAM KELIMPAHAN.

Kegiatan merupakan hal yang disukai orang berhikmat. Mereka sangat suka apabila sedang melakukan kegiatan, dan mengeluh bila tidak ada yang bisa dikerjakan. Adakalanya mereka merasa letih karena kegiatan mereka, namun mereka tidak merasa bosan dengannya atau ingin meninggalkannya. Oleh karena itu, di sini orang mungkin berharap menemukan kebaikan yang harus dilakukan orang, tetapi Salomo telah mencoba hal ini juga. 
PENGKHOTBAH 2 :17-26 - BERSENANG-SENANG DALAM KELIMPAHAN
Sesudah menjalani kehidupan penuh perenungan dan gairah, ia pergi mencari kehidupan penuh kesibukan. Ternyata ia tidak menemukan lebih banyak kepuasan di dalamnya dibanding dalam hal lain. Semua ini masih tetap merupakan kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Di dalam ayat-ayat di atas tadi ia memberikan pernyataan yang perlu kita amati.

[I]. Kegiatan yang dicoba Salomo merupakan kegiatan di bawah matahari (Pengkhotbah 2:17-20), yaitu tentang hal-hal duniawi yang berkaitan dengan bumi, kekayaan, kehormatan, dan kesenangan masa kini. Ini adalah kegiatan seorang raja. Ada pula kegiatan di atas matahari, kegiatan kekal yang merupakan berkat selamanya. Perbuatan kita yang sesuai dengan kegiatan itu (melakukan kehendak Allah di bumi seperti di sorga), dan dalam mencari berkat tersebut, akan membawa kebaikan.

Kita tidak mempunyai alasan untuk membenci jerih payah itu atau kehilangan harapan karenanya. Namun, segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah di bawah matahari, jerih payah untuk makanan yang akan dapat binasa (Yohanes 6:27; Yesaya 55:2) yang dibicarakan Salomo di sini, memberi dia begitu sedikit kepuasan.

Ini merupakan jenis kesibukan yang lebih baik, bukan seperti yang dilakukan tukang belah kayu dan tukang timba air (tidak begitu mengherankan apabila orang membenci jerih payah semacam itu), melainkan hikmat, pengetahuan dan kecakapan (Pengkhotbah 2:21).

Ini adalah kegiatan yang membutuhkan banyak pemikiran, yang berhubungan dengan pemerintahan kerajaannya serta kemajuan kepentingan-kepentingannya. Ini adalah jerih payah yang dikelola dengan suara hikmat, dengan tuntunan pengetahuan yang diperoleh secara alami, dan sesuai petunjuk keadilan. Ini merupakan jerih payah yang dilakukan di dewan penasihat dan di gedung pengadilan. Ini adalah jerih payah yang dengannya Salomo mempergunakan hikmat (Pengkhotbah 2:19), yang menjadikan kita sekutu para malaikat. Jerih payah ini menunjukkan manusia itu kuat karena karunia akal budi, melebihi karunia kemampuan jasmani, yang juga dimiliki binatang.

Apa yang oleh banyak orang dipandang lebih mulia daripada apa pun dalam menjalankan kegiatan duniawi mereka, hanyalah menunjukkan bahwa mereka mempergunakan hikmat, untuk memperoleh nama baik sebagai orang yang berakal, berperasaan, dan penuh jerih payah.

[II]. Salomo menghentikan kegiatan ini, karena segera merasa jenuh dengannya.

1. Ia membenci segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah, sebab ia tidak memperoleh kepuasan yang diharapkannya. Setelah membangun rumah-rumah indah, taman-taman, dan kolam-kolam pengairan, beberapa waktu kemudian ia mulai merasa muak dengan semua itu, lalu memandangnya dengan rasa jijik. Mirip anak-anak yang menginginkan mainan dan awalnya sangat menyukainya, namun setelah bermain dengannya beberapa saat, merasa bosan dan membuangnya, lalu menginginkan mainan lain.

Tindakannya ini bukanlah suatu kebencian yang mulia terhadap benda-benda ini, yang harus menjadi kewajiban kita, yaitu untuk tidak mencintainya melebihi Allah dan agama (Lukas 14:26). Tindakannya ini juga bukan merupakan sebuah kebencian yang memandang semuanya itu dosa, yang merupakan kebodohan kita karena merasa jenuh dengan tempat yang telah ditetapkan Allah bagi kita dan pekerjaan di dalamnya. Tindakannya ini adalah karena kebencian alami terhadap hal-hal itu, yang timbul akibat kejenuhan dan kekecewaan terhadap semuanya itu.

2. Salomo mulai putus asa terhadap segala usaha yang dilakukan dengan jerih payah (Pengkhotbah 2:20). 

Ia berusaha keras memiliki pemahaman mendalam perihal kesia-siaan kesibukan duniawi, dan menemukan semuanya itu tidak akan memberinya keuntungan serta kepuasan yang selalu diingininya.
Hati kita sangat enggan berhenti mengharapkan hal-hal hebat dari benda-benda ciptaan. Kita harus berusaha, memberi arah, untuk meyakinkan hati kita bahwa tidak ada keuntungan dan kepuasan dalam benda-benda duniawi yang kita janjikan kepada diri sendiri. Apakah kita telah begitu sering menggali dan mencari sumber kepuasan duniawi, kemudian sama sekali tidak menemukan tanda-tanda keberadaannya, senantiasa merasa kecewa dalam pencarian itu? Akankah hati kita beristirahat dan patah arang saja untuk mencari-cari?

3). Akhirnya Salomo menyadari bahwa ia membenci hidup ( Pengkhotbah 2:17), karena hidup ini cenderung penuh dengan kerja keras dan kesulitan, serta kekecewaan tanpa henti. Allah telah memberi Salomo hati yang begitu lapang dan kecakapan pikiran yang begitu besar hingga ia mengalami lebih banyak dari siapa pun segala macam hal dalam hidup ini yang tidak mampu membuatnya puas dan bahagia. Hidup itu sendiri yang begitu berharga bagi manusia dan merupakan berkat bagi orang yang baik, bisa saja menjadi beban bagi orang yang giat dengan berbagai pekerjaan.

[III]. Alasan pertentangan Salomo dengan hidup dan jerih payahnya. Dua hal membuatnya jemu dengan semua itu:

(1). Bahwa kegiatannya itu merupakan kerja keras baginya: Ia menganggap menyusahkan apa yang dilakukan di bawah matahari (Pengkhotbah 2:17). Segala pikiran dan perhatian yang harus diberikannya bagi jerih payahnya itu dan pemikiran penuh dan terus-menerus yang diperlukan untuk itu merupakan beban yang meletihkan, apalagi ketika usianya mulai lanjut. Ini merupakan dampak kutukan bahwa kita harus bekerja keras.

Telah dikatakan bahwa kesibukan kita merupakan pekerjaan yang penuh susah payah di tanah yang telah terkutuk oleh TUHAN (Kejadian 5:29) dan mengurangi kemampuan kita untuk bekerja, serta menjadi hukuman yang dijatuhkan kepada kita, bahwa dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu. Jerih payah kita disebut keinginan hati (Pengkhotbah 2:22), yang bagi kebanyakan orang merupakan kekuatan yang menindih mereka. Bagi kita, sangat menyukai kenyamanan adalah hal yang begitu wajar. 

Orang yang giat bekerja digambarkan sebagai orang yang merasa tidak nyaman baik ketika ia keluar maupun masuk (Pengkhotbah 2:23).

(a). Ia kehilangan kesenangan pada siang hari, sebab seluruh hidupnya penuh kesedihan. Tidak saja rasa sedih, tetapi bahkan berbagai kesedihan. Kerja keras atau jerih payahnya penuh kesusahan hati. Orang-orang yang dipenuhi kesibukan akan segera menjumpai hal yang menjengkelkan hati mereka, dan mendatangkan amarah atau kesedihan bagi mereka.

Orang yang mudah menjadi resah mendapati bahwa semakin banyak urusan yang harus mereka tangani di dunia ini, semakin sering juga mereka merasa resah. Dunia ini bagaikan lembah air mata, bahkan bagi mereka yang kaya. Orang-orang yang berjerih payah disebut berbeban berat, dan oleh sebab itu dipanggil agar datang kepada Kristus untuk mendapatkan kelegaan (Matius 11:28).

(b). Pada malam hari tidurnya juga terganggu. Saat dilanda kesibukan pada siang hari dan mengharapkan kelegaan saat meletakkan kepala di bantal, ia merasakan kekecewaan di situ. Kesusahan membuat matanya tetap terbuka, atau, saat ia tertidur pun hatinya tetap terjaga. Akibatnya pada malam hari hatinya tidak tenteram. Lihatlah betapa bodoh orang-orang dunia yang melakukan pekerjaan membosankan, dan tidak mencari kelegaan pada Allah. Mau tidak mau, mereka akan merasa gelisah baik malam maupun siang.

Jadi secara keseluruhan, semua itu adalah kesia-siaan belaka (ayat 17). Khususnya, ini pun sia-sia (Pengkhotbah 2: 19, 23). Bahkan lebih dari itu, ini merupakan kesia-siaan dan kemalangan yang besar (Pengkhotbah 2:21). Hal ini merupakan penghinaan besar terhadap Allah dan mendatangkan kerugian bagi diri mereka sendiri. Itulah sebabnya hal ini disebut kemalangan yang besar. Sungguh sia-sia apabila orang bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam guna mengejar kekayaan duniawi yang tidak pernah dimaksudkan menjadi kebaikan utama kita.

(2). Bahwa seluruh keuntungan yang didapatkan dari kegiatannya itu harus ditinggalkan untuk orang lain. Harapan untuk memperoleh keuntungan merupakan sumber tindakan dan dorongan untuk melakukan kegiatan. Itulah sebabnya orang berjerih payah, karena mereka berharap bisa meraih keuntungan. Tanpa pengharapan, jerih payah itu akan mengendur. Itulah sebabnya Salomo berdebat dengan semua hasil karyanya, karya luar biasa yang telah dihasilkannya, sebab semua itu tidak mampu memberi dia manfaat yang kekal.

a). Salomo terpaksa meninggalkan semua itu. Saat ajal menjemput, ia tidak akan dapat membawa semua itu bersamanya, bahkan sebagiannya. Ia juga tidak dapat kembali kepada semua itu (Ayub 7:10). Bahkan kenangan terhadap semua itu takkan ada gunanya bagi dia (Lukas 16:25). Aku harus meninggalkannya kepada orang yang datang sesudah aku, kepada angkatan yang datang ke ruang yang akan berlalu.

Sama seperti banyak orang sebelum kita yang membangun rumah-rumah yang kita tempati, berikut benda-benda yang mereka beli dan per oleh melalui jerih payah yang bisa kita nikmati. Begitu pula akan datang banyak orang sesudah kita yang akan menempati rumah-rumah yang kita bangun, dan menikmati segala yang kita beli dan per oleh dengan jerih payah. Belum pernah ada tanah yang terhilang karena tidak adanya pewaris. Bagi jiwa yang penuh kasih karunia, ini sama sekali tidak membuatnya merasa tidak nyaman.

Untuk apa kita enggan memberikan giliran kepada orang lain untuk menikmati kesenangan dunia ini? Bukankah lebih baik kita merasa senang bahwa setelah kita tiada, orang-orang yang datang sesudah kita akan lebih berhasil berkat hikmat dan kerajinan kita? Sebaliknya, bagi orang dengan pikiran duniawi yang mencari kebahagiaan sendiri melalui apa pun yang ada, akan menjengkelkan baginya bila harus meninggalkan kekayaan yang sangat dicintainya itu kepada keadaan yang tidak pasti ini.

b). Ia harus meninggalkan semua itu kepada orang-orang yang tidak perlu bersusah payah mendapatkannya dan dengan demikian membebaskan diri dari berlelah-lelah. Orang yang mengumpulkan kekayaan, telah memperolehnya dengan hikmat, pengetahuan dan kecakapan. Sementara orang yang menikmati dan menghamburkannya (boleh jadi demikian halnya), tidak berlelah-lelah untuk itu (Pengkhotbah 2:21), dan lebih dari itu mungkin tidak akan pernah melakukannya. Lebah bekerja keras mempertahankan lebah pejantan.

Bahkan lebih dari itu, hal ini justru bisa menjerat pejantan tersebut, sebab ia harus meninggalkan bagiannya, tempat ia hinggap dan mengisapnya. Alangkah malang orang yang diambil bagiannya. Padahal, jika kekayaan tidak datang semudah itu kepadanya, siapa tahu ia justru menjadi orang yang rajin dan saleh? Walaupun demikian, janganlah kita bingung memikirkan hal ini, sebab bisa saja kenyataan akan berkata lain, bahwa apa yang diperoleh dengan baik, akan jatuh ke tangan orang yang akan menggunakannya dengan baik juga, serta berbuat baik dengan apa yang diterimanya itu.

c). Ia tidak tahu kepada siapa ia harus meninggalkan semua itu, apakah kepada orang yang berhikmat atau bodoh. Orang berhikmat yang akan memperbanyaknya, atau orang bodoh yang akan menghabiskannya. Meskipun demikian ia akan berkuasa atas segala usaha yang kulakukan, dan dengan bodoh membatalkan apa yang telah dikerjakan ayahnya dengan bijaksana. Boleh jadi Salomo menuliskan hal ini dengan penuh perasaan, karena takut apa yang akan dibuktikan oleh Rehabeam kelak.

Dalam tafsirannya atas perikop ini, Bapa Gereja Jerome menerapkan pernyataan Salomo ini pada kitab-kitab berharga yang ditulis Salomo, bahwa di dalam kitab-kitabnya yang baik itu Salomo telah memperlihatkan dirinya berhikmat, tetapi ia tidak tahu ke tangan siapa buku-bukunya yang baik itu akan jatuh. Mungkin saja ke tangan orang bodoh, yang sesuai dengan kedegilan hatinya, justru menyalahgunakan apa yang telah ditulisnya dengan baik itu.

Oleh sebab itu, mengenai seluruh perkara itu ia bertanya (Pengkhotbah 2:22), Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payahnya? Apa yang diperolehnya bagi diri dan kepentingannya sendiri? Apa gerangan harta miliknya yang bisa dibawa ke dunia lain bersamanya?

[IV]. Bagaimana cara terbaik untuk menggunakan kekayaan dunia ini. Yaitu, menggunakannya dengan senang hati, menikmatinya, dan berbuat baik dengannya. Dengan kata-kata inilah Salomo mengakhiri pasal ini (Pengkhotbah 2:24-26).

Di dalam kekayaan tidak dapat ditemukan kebahagiaan sejati. Semua-nya sia-sia, dan bila orang mengharapkan kebahagiaan dari situ, kekecewaan yang akan didapatnya, seperti usaha menjaring angin. Walaupun begitu, Salomo menuntun kita untuk memanfaatkan kekayaan dengan sebaik mungkin, dan menghindari kesusahan yang telah diamatinya.

Janganlah kita membanting tulang berlebihan seperti misalnya mengejar lebih banyak kekayaan, tetapi kehilangan kesempatan untuk menikmati apa yang kita miliki. Jangan pula kita menimbun kekayaan dengan berlebihan untuk masa depan, atau kehilangan kenikmatan terhadap apa yang kita miliki itu untuk ditinggalkan bagi orang yang akan datang sesudah kita. Sebaliknya, kita harus menikmatinya sendiri terlebih dahulu.
Amatilah,

[1]. Kebaikan apa yang di sini ditawarkan kepada kita. Apa yang merupakan kesenangan dan keuntungan paling besar yang bisa kita harapkan atau gali dari kegiatan serta keuntungan duniawi ini, serta upaya sejauh apa yang bisa kita lakukan untuk menjauhkannya dari kesia-siaan dan usaha menjaring angin yang terdapat di dalamnya.

(a). Kita harus menjalankan kewajiban kita dengan semua itu, dan lebih berhati-hati dalam menggunakan harta milik kita dengan baik, demi tujuan untuk apa hal itu dipercayakan kepada kita, daripada memperbanyak atau menambah kekayaan. Hal ini dinyatakan di dalam Pengkhotbah 2:26, bahwa hanya orang yang di kenan-Nya sajalah yang dapat menikmati hidup ini. Selain itu, menjadi orang yang di kenan Allah, benar-benar diperkenan, seperti halnya Nuh, yang dilihat benar di hadapan-Nya.

Kita harus senantiasa mendahulukan Allah, dan tekun mengerjakan segala sesuatu untuk membuktikan diri kepada-Nya. Ungkapan dalam bahasa Aram berbunyi, Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada bersenang-senang dengan memelihara perintah Allah dan menempuh jalan orang-orang benar. Dan juga (Pengkhotbah 2:25) dengan membaca segala perkataan hukum Taurat, dan memperhatikan hari penghakiman yang akan datang.

(b). Kita harus mencari kenyamanan dari semua itu. Hal-hal ini tidak akan mendatangkan kebahagiaan bagi jiwa. Semua kebaikan yang kita per oleh darinya adalah untuk tubuh. Jika kita menggunakannya demi mendukung kenyamanan tubuh, supaya dapat berfaedah bagi jiwa dan melayani Allah dengannya, maka semua itu akan menjadi hal yang baik.

Oleh sebab itu, sehubungan dengan hal-hal ini tak ada yang lebih baik bagi manusia daripada menggunakan semua itu dengan senang hati namun bijaksana, sesuai dengan kedudukan dan keadaannya. Ia boleh makan dan minum seorang diri, bersama keluarga dan teman-temannya, sehingga dengan demikian memuaskan indranya dan membuat jiwanya bersenang-senang, semua kesenangan yang dapat diperoleh dari hal-hal tersebut. Jangan sampai kehilangan hal itu karena mengejar kesenangan yang tidak dapat diperoleh.

Namun, amatilah bahwa Allah tidak akan menyuruh kita berhenti melakukan kegiatan dan tidak berbuat apa-apa, dan hanya makan dan minum. Tidak, kita harus bersenang-senang dalam jerih payah kita. Kita harus memanfaatkan hal-hal ini, tidak menghindarinya, tetapi harus rajin serta bergembira dalam melakukan kegiatan di dunia ini.

(c). Oleh sebab itu, di dalam hal ini kita harus mengakui Allah. Kita harus melihat bahwa ini pun dari tangan Allah. Artinya :

1. Segala yang baik yang kita nikmati itu memang baik, tidak saja karena merupakan hasil ciptaan-Nya, tetapi juga merupakan pemberian dari penyelenggaraan-Nya yang berlimpah kepada kita. Baru sesudah itulah semuanya bisa menyenangkan bagi kita, saat kita menerimanya dari tangan Allah sebagai Bapa, saat kita melihat bagaimana dengan hikmat-Nya Ia memberi kita apa yang paling sesuai bagi kita, dan kita harus menerimanya tanpa membantah, mengecap kasih dan kebaikan-Nya, menikmatinya, serta mensyukurinya.

2. Hati yang menikmati pemberian-Nya memang demikian halnya, dan ini merupakan kasih karunia Allah. Kecuali Ia memberi kita hikmat untuk menggunakan dengan benar apa yang melalui penyelenggaraan-Nya telah dilimpahkan kepada kita, dan pada saat yang sama juga hati nurani yang tenteram sehingga kita dapat membedakan perkenan Allah di tengah bujuk rayu dunia, kita tidak akan dapat membuat jiwa kita menikmati kebaikan apa pun darinya.

[2]. Mengapa kita harus memperhatikan hal ini dalam membawa diri di dunia ini, dan berharap kepada Allah untuknya.

1). Sebab Salomo sendiri, dengan segala harta miliknya, tidak dapat mengharapkan lebih banyak lagi dan menginginkan yang lebih baik lagi ( Pengkhotbah 2:25): " Siapa dapat merasakan kenikmatan di luar Dia lebih dari aku? Inilah yang aku cita-citakan, aku tidak menginginkan yang lebih lagi. 

Orang-orang yang hanya memiliki sedikit dibanding apa yang kumiliki, dapat melakukan hal ini, yaitu merasa puas dengan apa yang mereka miliki, dan menikmati manfaat darinya." Namun, Salomo tidak mampu melakukannya melalui hikmatnya sendiri tanpa anugerah khusus Allah. Oleh sebab itu ia mengarahkan kita agar mengharapkannya dari tangan Allah dan berdoa kepada-Nya untuk itu.

2). Sebab kekayaan merupakan berkat atau justru kutukan bagi seseorang, tergantung apakah ia mempergunakannya dengan baik atau tidak.

a). Allah membuat kekayaan itu menjadi berkat bagi orang yang baik, apabila Ia juga mengaruniakan hikmat, pengetahuan dan kesukaan kepada orang itu untuk dinikmati sendiri dengan senang hati dan dengan murah hati membagikannya kepada orang lain juga.

Kepada orang-orang yang di kenan-Nya, yang memiliki watak yang baik, jujur dan tulus, menghormati Allah mereka, serta menaruh perhatian kepada umat manusia, Allah akan memberikan kebijaksanaan dan pengertian di dunia ini, serta sukacita bersama orang benar di dunia yang akan datang.

Demikianlah yang tertulis dalam bahasa Aram. Atau, Ia akan memberikan kebijaksanaan dan pengertian dalam hal-hal yang bersifat alami, moral, ilahi, dan yang bersangkutan dengan pemerintahan. Semua ini akan senantiasa menjadi sukacita dan kesukaan bagi mereka yang di kenan-Nya.

b). Allah menjadikan kekayaan itu hukuman bagi orang jahat jika ia tidak mau menerima penghiburan dari kekayaan mereka, dan hanya menguasainya dengan sewenang-wenang. Orang berdosa ditugaskan-Nya bekerja keras dengan membiarkan dia berbuat sesuka hati menurut rencana bodohnya sendiri, yaitu menghimpun dan menimbun sesuatu yang tidak saja akan menjadi beban bagi diri sendiri bagaikan barang gadaian (Habakuk 2:6), tetapi juga menjadi kesaksian terhadapnya dan akan memakan dagingnya seperti api (Yakobus 5:3).

Sebaliknya, melalui penyelenggaraan-Nya, Allah bermaksud memberikannya kepada orang yang di kenan-Nya. Sebab kekayaan orang berdosa disimpan bagi orang benar, dan dikumpulkan untuk orang-orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang-orang lemah.

Perhatikanlah:

Pertama, ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar, dan hanya mereka yang di kenan-Nya sajalah yang memiliki kebahagiaan sejati, yang menerimanya dari Dia dan di dalam Dia.

Kedua, orang-orang yang tidak beriman acap kali dihukum dengan rasa tidak puas dan ketamakan yang tidak terpuaskan, yang merupakan dosa-dosa yang menjadi hukuman bagi mereka sendiri.

Ketiga, ketika Allah memberikan kelimpahan kepada orang fasik, hal itu dimaksudkan untuk memaksa mereka menyerahkannya kepada anak-anak-Nya sendiri ketika mereka sudah cukup umur dan siap untuk menerimanya, seperti orang Kanaan yang memiliki negeri yang subur itu hingga tiba saat yang sudah ditentukan bagi Israel untuk memasukinya.

c). Pokok di dalam sajak itu masih sama: Ini pun kesia-siaan dan usaha menjaring angin. Tidak peduli sehebat apa pun, hal itu tetap merupakan kesia-siaan, bahkan bagi orang yang di kenan Allah sekalipun. Ketika ia memperoleh segala sesuatu yang telah dikumpulkan orang berdosa, semua itu tidak akan membuatnya bahagia bila tidak ditambah dengan yang lain.

Namun, semua itu bagaikan usaha menjaring angin bagi orang berdosa, ketika melihat bahwa apa yang telah dikumpulkannya itu ternyata dinikmati oleh orang yang di kenan Allah, dan oleh karena itu semua itu sia-sia saja di matanya. Karena itu, pilihlah jalan mana yang akan kau tempuh, kesimpulannya sudah pasti, segala sesuatu adalah kesia-siaan dan usaha menjaring angin.
Next Post Previous Post