Matius 18:23-34: Hamba yang Kejam - Pelajaran Tentang Pengampunan
Pendahuluan:
Dalam Matius 18:23-34, Yesus menceritakan sebuah perumpamaan tentang seorang raja yang ingin mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Salah satu hamba berutang sepuluh ribu talenta kepada sang raja, tetapi ia tidak mampu membayarnya. Karena belas kasihan, raja menghapuskan utang hamba tersebut. Namun, ketika hamba itu bertemu dengan seorang rekannya yang berutang sedikit kepadanya, ia bersikap kejam dan tidak memberikan pengampunan yang sama.Perumpamaan ini mengajarkan pelajaran penting tentang pengampunan, belas kasihan, dan sikap hati yang harus dimiliki oleh orang percaya.
Latar Belakang Perumpamaan
Perumpamaan ini diawali dengan pertanyaan Petrus kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" (Matius 18:21). Yesus menjawab bahwa pengampunan tidak terbatas pada angka tertentu, tetapi "hingga tujuh puluh kali tujuh kali" (Matius 18:22), yang menunjukkan bahwa pengampunan harus diberikan tanpa batas.
Untuk memperjelas jawabannya, Yesus menceritakan perumpamaan tentang seorang raja yang mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Perumpamaan ini mencerminkan bagaimana Allah mengampuni manusia yang berdosa, dan menuntut agar manusia juga mengampuni sesamanya.
Utang yang Tak Terbayarkan
Dalam perumpamaan tersebut, hamba pertama berutang sepuluh ribu talenta kepada raja. Jumlah ini sangat besar, jauh di luar kemampuan hamba tersebut untuk melunasinya. Dalam konteks zaman itu, satu talenta adalah jumlah uang yang sangat besar, dan sepuluh ribu talenta adalah jumlah yang sangat mustahil untuk dikembalikan oleh seorang hamba biasa. Hal ini menggambarkan betapa besar dosa dan utang moral manusia kepada Allah—sesuatu yang tidak dapat kita bayar dengan usaha sendiri.
Ketika hamba tersebut tidak mampu membayar utangnya, raja memutuskan untuk menjual hamba itu beserta keluarganya dan semua miliknya sebagai bentuk ganti rugi. Namun, hamba itu memohon belas kasihan kepada raja, dan raja pun tergerak oleh belas kasihan, lalu menghapus seluruh utangnya. Ini adalah gambaran yang indah tentang belas kasihan Allah kepada umat manusia. Meskipun kita berdosa dan tidak mampu membayar utang dosa kita, Allah, melalui kasih karunia-Nya, mengampuni dan menghapuskan semua dosa kita.
Ketidakseimbangan dalam Pengampunan
Namun, cerita tidak berhenti di sana. Hamba yang baru saja diampuni bertemu dengan seorang rekan hamba yang berutang seratus dinar kepadanya—jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan sepuluh ribu talenta yang telah diampuni oleh raja. Bukannya menunjukkan belas kasihan yang sama, hamba tersebut menuntut agar rekannya segera membayar utang tersebut. Ketika rekannya memohon dengan cara yang sama seperti yang ia lakukan sebelumnya, hamba ini menolak dan melemparkannya ke dalam penjara hingga utangnya lunas.Sikap hamba ini sangat kontras dengan tindakan raja. Meskipun ia telah menerima pengampunan yang luar biasa besar, ia tidak bersedia memberikan pengampunan yang jauh lebih kecil kepada rekannya. Ini menggambarkan sikap yang sering terjadi dalam kehidupan manusia—ketika kita telah menerima pengampunan dari Allah, tetapi kita enggan mengampuni orang lain atas kesalahan-kesalahan kecil yang mereka lakukan terhadap kita.
Kemarahan Sang Raja dan Konsekuensi dari Ketidakpengampunan
Ketika raja mendengar apa yang dilakukan oleh hamba yang telah diampuni, ia menjadi sangat marah. Ia memanggil hamba tersebut dan berkata, "Hai hamba yang jahat, seluruh utangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?" (Matius 18:32-33). Akibat dari ketidakmampuannya untuk mengampuni, raja menyerahkan hamba itu kepada algojo-algojo untuk disiksa hingga ia melunasi seluruh utangnya. Ini adalah peringatan keras tentang akibat dari ketidakmauan untuk mengampuni.Baca Juga: Matius 5:14-15: Makna Menjadi Terang Dunia
Pelajaran Penting dari Perumpamaan
Pengampunan dari Allah Adalah Karunia Besar Perumpamaan ini mengingatkan kita bahwa Allah telah mengampuni kita dari utang dosa yang tak terbayarkan. Melalui pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib, dosa-dosa kita telah dihapuskan, dan kita menerima keselamatan sebagai karunia yang tidak bisa kita usahakan sendiri. Kasih karunia ini seharusnya memotivasi kita untuk hidup dalam kerendahan hati dan pengampunan.
Pengampunan Harus Diberikan Tanpa Batas Seperti yang dijelaskan dalam jawaban Yesus kepada Petrus, pengampunan tidak boleh dibatasi oleh angka atau frekuensi. Setiap kali seseorang berbuat salah kepada kita, kita dipanggil untuk mengampuni, sama seperti Allah telah mengampuni kita berkali-kali. Pengampunan yang tulus berasal dari hati yang menyadari betapa besar pengampunan yang telah diterima.
Ketidakmauan untuk Mengampuni Menunjukkan Kurangnya Kasih Hamba yang kejam dalam perumpamaan ini menunjukkan sikap hati yang tidak dipenuhi kasih. Meskipun ia telah menerima pengampunan yang besar, ia tidak memiliki belas kasihan terhadap orang lain. Ini adalah cerminan dari hati yang belum diubahkan oleh kasih Allah. Orang yang telah menerima pengampunan seharusnya memiliki hati yang penuh belas kasihan dan siap untuk mengampuni.
Pengampunan Adalah Perintah, Bukan Pilihan Mengampuni bukanlah sesuatu yang bisa kita pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Yesus menjelaskan bahwa pengampunan adalah perintah yang harus kita jalankan. Jika kita menolak untuk mengampuni, kita tidak hanya melukai orang lain, tetapi juga membahayakan diri kita sendiri. Ketidakmampuan untuk mengampuni membawa kita pada hukuman, seperti yang ditunjukkan dalam perumpamaan ini.
Kesimpulan
Perumpamaan tentang hamba yang kejam dalam Matius 18:23-34 adalah pengingat yang kuat bagi kita semua tentang pentingnya pengampunan dalam kehidupan orang percaya. Allah telah menunjukkan belas kasihan yang luar biasa kepada kita dengan mengampuni dosa-dosa kita yang tidak dapat kita bayar. Sebagai tanggapan, kita juga harus mengampuni orang lain tanpa batas, mencerminkan kasih dan belas kasihan Allah dalam hidup kita.
Pengampunan adalah tanda nyata dari hati yang diubahkan oleh kasih karunia Allah. Jika kita ingin hidup dalam kedamaian dan hubungan yang benar dengan sesama, kita harus belajar untuk mengampuni dengan tulus, sebagaimana Allah telah mengampuni kita. Perumpamaan ini mengajarkan bahwa pengampunan bukan hanya tentang memberi orang lain kesempatan kedua, tetapi juga tentang mencerminkan karakter Allah dalam kehidupan kita sehari-hari.