Doktrin Rekonsiliasi: Jembatan Damai antara Allah dan Manusia

The Doctrine of Reconciliation Menurut Teologi Reformed
“Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Dan Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.” – 2 Korintus 5:19 (TB)
Pendahuluan
Rekonsiliasi adalah salah satu doktrin terindah dalam Kekristenan, tetapi juga salah satu yang paling sering disalahpahami atau diremehkan. Banyak orang mengira bahwa rekonsiliasi hanya berarti “berdamai dengan Tuhan”, seakan itu hanya menyangkut perasaan tenang. Namun teologi Reformed mengajarkan bahwa rekonsiliasi adalah inti dari keselamatan, sebuah karya besar dari Allah yang memulihkan hubungan yang rusak secara radikal antara Pencipta dan ciptaan.
Artikel ini akan membahas:
-
Apa itu doktrin rekonsiliasi menurut Alkitab dan teologi Reformed
-
Mengapa rekonsiliasi sangat penting dalam Injil
-
Bagaimana Allah melakukan rekonsiliasi melalui Kristus
-
Dampaknya bagi hidup orang percaya
-
Pandangan para teolog Reformed tentang doktrin ini
I. Apa Itu Rekonsiliasi?
1. Definisi Rekonsiliasi dalam Alkitab
Kata “rekonsiliasi” dalam Perjanjian Baru berasal dari kata Yunani καταλλάσσω (katallassō), yang berarti “mengembalikan ke keadaan semula”, atau lebih khusus, memulihkan hubungan antara dua pihak yang bermusuhan.
Manusia, karena dosa, menjadi musuh Allah (Roma 5:10). Maka, rekonsiliasi bukan sekadar menghapus rasa bersalah, tetapi pemulihan relasi yang rusak karena pemberontakan manusia terhadap Allah.
2. Rekonsiliasi dalam Teologi Reformed
Dalam teologi Reformed, rekonsiliasi adalah salah satu aspek dari karya penebusan Kristus, yang mencakup pembenaran (justification), penebusan (redemption), adopsi (adoption), dan pendamaian (atonement).
R.C. Sproul menjelaskan:
“Rekonsiliasi adalah buah dari penebusan. Ini bukan sesuatu yang kita capai, tapi yang Allah lakukan untuk kita di dalam Kristus.”
II. Masalah Utama: Permusuhan antara Manusia dan Allah
1. Manusia dalam Keadaan Bermusuhan
Menurut Roma 8:7, pikiran manusia yang dikuasai oleh dosa adalah “permusuhan terhadap Allah.” Ini bukan netralitas, tapi kebencian aktif terhadap kedaulatan dan kekudusan Allah.
Jonathan Edwards menulis dalam khotbah terkenalnya, Sinners in the Hands of an Angry God, bahwa manusia “secara alami membenci Tuhan, meskipun tidak selalu menyadarinya.”
Permusuhan ini ditunjukkan lewat:
-
Ketidaktaatan terhadap Firman
-
Pemberontakan terhadap hukum Allah
-
Menciptakan allah lain (berhala hati)
2. Allah yang Kudus Tidak Bisa Berkompromi dengan Dosa
Teologi Reformed menekankan keadilan dan kekudusan Allah. Karena itu, Allah tidak bisa sekadar “memaafkan” tanpa penghukuman terhadap dosa.
John Calvin berkata:
“Allah tidak berdamai dengan manusia dengan mengabaikan dosa, tetapi dengan menghukum dosa itu di dalam diri Anak-Nya.”
III. Rekonsiliasi Dikerjakan oleh Kristus
1. Kristus sebagai Pendamai (Mediator)
1 Timotius 2:5 menyatakan bahwa hanya ada satu pengantara antara Allah dan manusia, yaitu Kristus Yesus. Dia adalah Imam Besar yang mempersembahkan diri-Nya sebagai korban pendamaian (Ibrani 9:11–14).
Sinclair Ferguson menjelaskan:
“Kristus tidak hanya membawa kita kepada Allah, tetapi juga menghapus semua halangan yang membuat kita terpisah dari-Nya.”
2. Salib: Tempat Terjadinya Rekonsiliasi
Kolose 1:20 mengatakan bahwa melalui salib, Kristus memperdamaikan segala sesuatu dengan Allah. Di salib:
-
Murka Allah ditumpahkan kepada Anak
-
Kutuk dosa ditanggung oleh Kristus
-
Dinding pemisah antara Allah dan manusia dihancurkan
R.C. Sproul berkata:
“Di salib, Kristus menjadi musuh Allah untuk sementara, agar kita—yang adalah musuh sejati—dapat menjadi sahabat Allah selamanya.”
3. Rekonsiliasi Bukan Usaha Manusia
Rekonsiliasi tidak dihasilkan oleh pertobatan manusia, melainkan justru memampukan pertobatan. Allah adalah inisiator. Manusia hanya bisa menerima, bukan menghasilkan damai itu.
John Calvin menegaskan:
“Rekonsiliasi berasal dari Allah, bukan karena kita layak, tapi karena Ia berbelaskasihan.”
IV. Buah Rekonsiliasi: Damai Sejati dengan Allah
1. Damai Sejahtera yang Tidak Bergantung pada Keadaan
Roma 5:1 berkata: “Sebab itu, kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah.” Ini bukan perasaan, tapi status rohani yang objektif: tidak ada lagi permusuhan antara kita dan Allah.
Sinclair Ferguson menulis:
“Damai yang diberikan oleh Kristus bukan tergantung situasi, tapi karena relasi dengan Allah telah dipulihkan.”
2. Identitas Baru: Dari Musuh Menjadi Anak
Rekonsiliasi bukan hanya membawa kita ke nol, tetapi juga ke status baru. Kita bukan hanya diampuni, tapi diadopsi (Galatia 4:4–7). Kita sekarang disebut anak-anak Allah.
3. Kekuatan untuk Berdamai dengan Sesama
Efesus 2:14–16 menjelaskan bahwa rekonsiliasi dengan Allah menciptakan dasar untuk rekonsiliasi antar manusia. Salib menghancurkan dinding pemisah antara orang Yahudi dan bukan Yahudi—dan hari ini, antar ras, kelas sosial, dan latar belakang.
Tim Keller menekankan:
“Kita tidak bisa mengklaim berdamai dengan Allah sambil terus memelihara kebencian terhadap sesama. Injil menyatukan.”
V. Rekonsiliasi dalam Kehidupan Sehari-hari
1. Menghidupi Damai Sejahtera secara Aktif
Orang percaya dipanggil untuk menjadi pembawa damai, bukan hanya penerima damai. Dalam 2 Korintus 5:18-20, kita disebut sebagai “duta Kristus” yang membawa berita pendamaian kepada dunia.
2. Mengampuni karena Sudah Diampuni
Efesus 4:32 – “Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.”
John Owen mengajarkan bahwa pengampunan kepada sesama adalah salah satu buah nyata dari kehidupan yang telah mengalami rekonsiliasi dengan Allah.
3. Bersyukur dan Hidup Kudus
Hidup dalam terang rekonsiliasi berarti hidup dengan sukacita, rasa syukur, dan pengudusan. Kita bukan lagi musuh Allah—jadi kita tidak hidup dalam ketakutan, tetapi dalam kasih dan hormat kepada Bapa.
VI. Mengapa Doktrin Ini Penting untuk Zaman Sekarang
1. Dunia Penuh Konflik Membutuhkan Berita Rekonsiliasi
Dunia modern penuh dengan permusuhan—antar bangsa, antar ras, dalam keluarga, bahkan dalam gereja. Injil adalah satu-satunya kekuatan yang benar-benar bisa memulihkan hubungan secara mendalam, karena ia menyentuh akar konflik: hati manusia.
2. Menghindari Injil Palsu yang Hanya Bicara Kasih Tanpa Keadilan
Banyak pengajaran masa kini berbicara tentang kasih Allah tanpa menyinggung murka-Nya. Tetapi rekonsiliasi yang sejati hanya terjadi jika keadilan Allah ditegakkan—dan itu hanya terjadi di salib Kristus.
R.C. Sproul memperingatkan:
“Injil yang tidak menyebut murka Allah bukanlah Injil yang lengkap.”
Kesimpulan: Diperdamaikan untuk Mendamaikan
Doktrin rekonsiliasi bukan hanya teori teologis. Ini adalah jantung dari Injil. Kita dahulu adalah musuh, sekarang sahabat Allah. Kita dahulu asing, kini anak-anak Allah. Semua karena karya Kristus di kayu salib.
Sebagai orang percaya, kita dipanggil:
-
Untuk menghidupi damai itu setiap hari
-
Untuk membawa kabar pendamaian kepada orang lain
-
Untuk bersyukur dan hidup dalam kekudusan karena kasih yang tak ternilai
“Rekonsiliasi adalah jembatan dari kematian menuju kehidupan, dari penghukuman menuju pengampunan, dari permusuhan menuju kasih kekal.” – Sinclair Ferguson