Kisah Para Rasul 5:27-28 Ketaatan kepada Allah di Atas Segala Otoritas
Pendahuluan
Kitab Kisah Para Rasul memberikan gambaran tentang bagaimana gereja mula-mula hidup, bertumbuh, dan menghadapi berbagai tantangan di bawah pimpinan Roh Kudus. Di dalamnya, kita menemukan ketegangan yang terus-menerus antara pewartaan Injil Yesus Kristus dan perlawanan dari pihak otoritas keagamaan Yahudi. Kisah Para Rasul 5:27-28 merupakan salah satu bagian penting yang menunjukkan benturan ini, ketika para rasul dihadapkan kembali kepada Mahkamah Agama (Sanhedrin) karena memberitakan Yesus yang telah bangkit.
Teks ini berbunyi:
“Maka datanglah mereka membawa rasul-rasul itu, lalu menghadapkannya kepada Mahkamah Agama. Imam besar mulai menanyai mereka, katanya: ‘Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam nama itu! Namun kamu telah memenuhi Yerusalem dengan pengajaranmu dan hendak menanggungkan darah orang itu kepada kami.’” (Kis. 5:27-28, LAI TB).
Ayat ini penting karena mengandung beberapa dimensi teologis: pertama, mengenai otoritas manusia versus otoritas Allah; kedua, kesaksian Injil yang tidak dapat dibungkam; dan ketiga, implikasi salib Kristus yang tidak bisa dihapuskan dari sejarah maupun hati nurani manusia.
I. Latar Belakang Konteks
1. Konteks Historis
Peristiwa ini terjadi setelah peristiwa Pentakosta (Kis. 2), ketika Roh Kudus dicurahkan dan para rasul dengan berani memberitakan Injil. Pertumbuhan gereja sangat pesat, ribuan orang bertobat, dan mukjizat menyertai pelayanan para rasul. Hal ini menimbulkan iri hati dan kemarahan dari pihak imam-imam serta orang Saduki (Kis. 5:17), yang merasa otoritas mereka terancam.
Sanhedrin, sebagai dewan agama Yahudi, merupakan otoritas tertinggi dalam urusan keagamaan pada waktu itu. Namun, karena mereka bersekongkol dalam penyaliban Yesus, berita kebangkitan Kristus dan karya para rasul menjadi tuduhan langsung atas mereka.
2. Konteks Literer
Kisah Para Rasul 5:27-28 merupakan kelanjutan dari penangkapan para rasul. Sebelumnya, mereka dipenjara (Kis. 5:18), tetapi malaikat Tuhan membebaskan mereka dan memerintahkan mereka untuk memberitakan Injil di Bait Allah (Kis. 5:19-20). Hal ini menunjukkan bahwa misi Allah tidak dapat dihalangi oleh kuasa manusia.
Kisah ini juga paralel dengan Kisah Para Rasul 4:18-20, ketika Petrus dan Yohanes diperintahkan untuk berhenti memberitakan nama Yesus, namun mereka menolak dengan berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah daripada kepada manusia.” Dengan demikian, pasal 5 mempertegas pola ketaatan kepada Allah di atas otoritas manusia.
II. Analisis Eksegesis Kisah Para Rasul 5:27-28
1. “Maka datanglah mereka membawa rasul-rasul itu, lalu menghadapkannya kepada Mahkamah Agama”
Kalimat ini menggambarkan kontras: para rasul adalah saksi-saksi Injil yang diutus oleh Allah, namun mereka harus dihadapkan kepada lembaga agama Yahudi yang seharusnya memimpin umat kepada Allah. Ada ironi teologis: lembaga yang mengaku mewakili Allah justru menentang karya Allah.
John Calvin menekankan bahwa para rasul tidak melawan secara fisik, melainkan tunduk secara lahiriah kepada proses hukum. Namun, secara rohani mereka tetap berpegang pada otoritas Allah. Calvin melihat hal ini sebagai teladan ketaatan Kristen: tunduk pada pemerintah selama tidak bertentangan dengan firman Allah, tetapi menolak bila otoritas manusia berusaha membungkam kebenaran Injil.
2. “Imam besar mulai menanyai mereka”
Imam besar (mungkin Kayafas atau penggantinya) mewakili otoritas tertinggi Yahudi. Pertanyaannya bukan sekadar legal, tetapi sarat dengan muatan teologis dan politis. Ia merasa berhak mengendalikan narasi tentang Yesus.
Bagi para teolog Reformed seperti F. F. Bruce, hal ini menunjukkan konflik antara auctoritas ecclesiastica (otoritas keagamaan manusia) dan auctoritas divina (otoritas ilahi). Gereja sejati harus setia pada suara Allah meski bertentangan dengan lembaga keagamaan yang menyimpang.
3. “Dengan keras kami melarang kamu mengajar dalam nama itu!”
Ungkapan “dengan keras” (Yun. parangelia parÄ“ngeilamen) menegaskan larangan yang mutlak, sebuah bentuk absolutisme manusia. Namun, larangan itu ironis: para pemimpin Yahudi tidak sanggup menyebut nama Yesus, mereka hanya berkata “nama itu”.
Menurut Matthew Henry, ini mencerminkan kebencian hati mereka terhadap Yesus, sehingga mereka bahkan enggan menyebut nama-Nya. Namun, justru nama itulah yang menjadi pusat keselamatan (Kis. 4:12). Ini menunjukkan kebutaan rohani dan hati yang keras dari pemimpin agama.
4. “Namun kamu telah memenuhi Yerusalem dengan pengajaranmu”
Pernyataan ini tanpa sengaja mengakui keberhasilan misi para rasul. Injil telah memenuhi Yerusalem, meski baru beberapa waktu setelah kebangkitan Kristus. Ini adalah bukti kuasa Roh Kudus yang melampaui segala oposisi.
Dalam perspektif Reformed, ini merupakan penggenapan janji Kristus dalam Kisah Para Rasul 1:8 bahwa Injil akan dimulai dari Yerusalem dan menyebar ke seluruh dunia. Seperti dicatat oleh Herman Ridderbos, pertumbuhan Injil bukanlah hasil strategi manusia semata, melainkan karya ilahi yang tidak dapat dihalangi.
5. “Dan hendak menanggungkan darah orang itu kepada kami”
Inilah inti persoalan teologis. Para pemimpin Yahudi takut dituduh bertanggung jawab atas kematian Yesus. Padahal, dalam Matius 27:25, orang banyak sendiri berteriak, “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!”
John Stott mencatat bahwa keberatan imam besar bukanlah karena alasan kebenaran, tetapi karena rasa bersalah yang ingin ditutupi. Injil selalu membongkar hati nurani manusia. Injil tidak bisa dipisahkan dari salib Kristus, dan salib itu menyatakan dosa manusia.
III. Dimensi Teologis
1. Otoritas Allah vs. Otoritas Manusia
Kisah ini memperlihatkan konflik antara perintah Allah untuk memberitakan Injil dan larangan manusia. Bagi teologi Reformed, ini menegaskan prinsip sola Scriptura dan ketaatan mutlak kepada Allah. Calvin menegaskan bahwa bila pemerintah memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan firman Allah, orang percaya wajib menaati Allah terlebih dahulu.
2. Kuasa Nama Yesus
Nama Yesus tidak dapat dihapuskan dari sejarah. Meskipun para pemimpin menolak menyebut nama-Nya, Injil justru tersebar dengan kuasa nama itu. Nama Yesus adalah pusat pewartaan gereja, sebab di dalam nama itu ada keselamatan.
3. Injil Membongkar Dosa
Pernyataan imam besar tentang darah Yesus menunjukkan bahwa Injil selalu membawa manusia pada konfrontasi dengan dosanya. Tidak ada pewartaan Injil sejati tanpa salib. Teologi Reformed menekankan bahwa penebusan Kristus menyingkapkan dosa manusia sekaligus menawarkan pengampunan melalui iman.
4. Kesetiaan Gereja dalam Penganiayaan
Gereja mula-mula menjadi teladan bagaimana umat Allah harus setia di tengah perlawanan. Kuasa dunia bisa mengikat tubuh, tetapi tidak bisa membungkam Injil. Dalam tradisi Reformed, hal ini menguatkan doktrin perseverantia sanctorum (ketekunan orang kudus).
IV. Implikasi Praktis
-
Keberanian Memberitakan Injil
Gereja masa kini dipanggil untuk tidak malu bersaksi tentang Kristus, meski menghadapi tekanan sosial, politik, atau budaya. -
Ketaatan kepada Allah di atas Segalanya
Orang percaya harus tunduk kepada pemerintah, tetapi ketaatan itu bukan tanpa batas. Bila hukum manusia melawan hukum Allah, maka kita dipanggil meneladani para rasul: taat kepada Allah lebih daripada manusia. -
Nama Yesus sebagai Pusat Kehidupan Gereja
Segala kegiatan pelayanan, khotbah, dan penginjilan harus berpusat pada Kristus. Mengabaikan nama Yesus berarti kehilangan inti Injil. -
Injil Menghadirkan Pertobatan
Pemberitaan Injil yang sejati akan selalu menyingkapkan dosa dan memanggil manusia untuk bertobat. Gereja tidak boleh melemahkan pesan salib hanya demi diterima oleh dunia.
Kesimpulan
Kisah Para Rasul 5:27-28 menunjukkan ketegangan antara Injil Kristus dan kuasa manusia. Para rasul dengan berani berdiri di hadapan Mahkamah Agama, bukan karena kekuatan mereka sendiri, melainkan karena Roh Kudus yang bekerja. Larangan manusia tidak mampu membungkam Injil, karena nama Yesus adalah nama di atas segala nama.
Dalam terang teologi Reformed, teks ini mengingatkan gereja bahwa otoritas Allah lebih tinggi daripada otoritas manusia, bahwa Injil pasti terus menyebar oleh kuasa Roh Kudus, dan bahwa kesetiaan kepada Kristus adalah panggilan utama gereja. Dengan demikian, orang percaya masa kini pun dipanggil untuk berdiri teguh dalam iman, memberitakan nama Yesus, dan menanggung segala risiko demi kemuliaan Allah.