Biografi Martin Luther

PDT. BUDI ASALI, M. DIV.
Biografi Martin LutherBiografi Martin Luther. Roma 1:16-17 - “(Roma 1:16) Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. (Roma 1:17) Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman.’”.

Bagian yang saya beri garis bawah tunggal salah terjemahan.

KJV/RSV/NASB/ASV/NKJV: ‘For I am not ashamed of the gospel of Christ’ [= Karena aku tidak malu karena Injil Kristus].

NIV: ‘I am not ashamed of the gospel of Christ’ [= Aku tidak malu karena Injil Kristus].

Efesus 2:8-9 - “(8) Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, (9) itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”.

I) Kelahiran dan masa muda Martin Luther.

Martin Luther dilahirkan pada tanggal 10 Nopember 1483, di Eisleben, di propinsi Saxony, Prussia / Jerman (dimana ia nantinya mati pada tanggal 18 Februari 1546), dan keesokan harinya ia dibaptiskan. Ia adalah anak pertama dan ia mempunyai 3 saudara laki-laki dan 3 saudara perempuan. 6 bulan setelah kelahirannya, keluarganya pindah dan menetap di Mansfield. Keluarganya adalah orang-orang kelas bawah yang amat miskin, tetapi jujur, rajin, dan saleh. Luther tidak pernah merasa malu terhadap asal usulnya yang rendah itu.

Luther mengalami masa kecil yang keras, tanpa kenangan manis, dan ia dibesarkan dibawah disiplin yang sangat keras. Ibunya pernah menghajarnya sehingga mengeluarkan darah hanya karena ia mencuri kacang, dan ayahnya pernah mencambuknya dengan begitu hebat sehingga menyebabkan ia lalu lari meninggalkan rumahnya, tetapi ia mengerti akan maksud baik mereka.

Dalam hal rohani ia diajar untuk berdoa kepada Allah dan para orang suci, menghormati gereja dan pastor, dan cerita-cerita mengerikan tentang setan dan ahli-ahli sihir, yang menghantuinya sepanjang hidupnya.

Di sekolah ia juga mengalami pendisiplinan yang sangat keras. Ia ingat bahwa pernah dicambuk 15 x dalam satu pagi. Di sekolah itu ia juga belajar Katekisasi, yang mencakup Pengakuan Iman, doa Bapa Kami dan 10 hukum Tuhan, dan juga beberapa lagu dalam bahasa Latin dan Jerman.

II) Martin Luther di Universitas.

Pada usia 18 tahun (tahun 1501) ia masuk Universitas di Erfurt dan mempelajari scholasticism [= sistim logika, filsafat, dan theology abad 10-15]. Universitas ini adalah salah satu yang terbaik pada saat itu. Di sini, pada waktu ia berusia 20 tahun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat satu copy yang lengkap dari Alkitab (bahasa Latin)! (Catatan: Ingat bahwa sebetulnya gereja Roma Katolik melarang orang awam untuk membaca atau bahkan memiliki Alkitab). Ia membacanya dengan sukacita dan mengalami suatu kejutan karena Alkitab itu mengajarkan banyak hal yang tidak pernah dibacakan / diajarkan dalam gereja.

Tetapi dari pembacaan itu ia bukannya mendapat gambaran tentang Allah yang penuh kasih dan belas kasihan, tetapi sebaliknya tentang Allah yang benar yang murka terhadap manusia berdosa.

Pada tahun 1502, ia mendapat gelar B.A. (Bachelor of Arts), dan pada tahun 1505 ia mendapat gelar M.A. (Master of Arts).

III) Martin Luther menjadi biarawan.

Sebetulnya, sesuai dengan keinginan ayahnya, setelah lulus ia mempersiapkan diri untuk bekerja dalam bidang hukum, tetapi ada peristiwa yang menyebabkan ia lalu pindah haluan.

Pada usia antara 21-22 tahun, ia lolos dari kematian akibat sambaran petir, sementara teman seperjalanannya yang ada di sebelahnya, mati tersambar (Catatan: ada yang mengatakan bahwa temannya bukan mati kena petir tetapi karena suatu duel). Tidak lama setelah itu, pada tanggal 2 Juli 1505, ia mengalami hujan badai yang sangat hebat di dekat Erfurt setelah kembali dari perkunjungan terhadap orang tuanya. Ia menjadi begitu takut sehingga ia menjatuhkan diri ke tanah dan berdoa dan bernazar dengan gemetar:

“Help, beloved Saint Anna! I will become a monk!” [= Tolonglah Santa Anna yang kekasih. Aku akan menjadi seorang biarawan!] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 112.

Ia memang selamat dari hujan badai itu, dan untuk menggenapi nazarnya ia lalu masuk the Augustinian convent pada tahun 1505.

Tentang Augustinian convent itu, yang menggunakan nama Augustine / Agustinus, Schaff memberikan komentar sebagai berikut:

“... it is an error to suppose that this order represented the anti-Pelagian or evangelical views of the North African father; on the contrary it was intensely catholic in doctrine, and given to excessive worship of the Virgin Mary, and obedience to the papal see which conferred upon it many special privileges” [= ... adalah sesuatu yang salah untuk mengira bahwa ordo ini mewakili pandangan-pandangan yang anti-Pelagian atau injili dari bapa Afrika Utara ini; sebaliknya ordo ini bersifat sangat katolik dalam doktrin / pengajaran, dan sangat memuja Perawan Maria, dan taat pada Paus yang memberikan kepada ordo ini banyak hak istimewa] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 114.

Tentang masuknya Luther ke biara untuk menjadi biarawan:

• “Martin Luther himself declared in later years, that his monastic vow was forced from him by terror and the fear of death and the judgment to come; yet he never doubted that God’s hand was in it” [= Dalam tahun-tahun belakangan, Luther sendiri menyatakan bahwa nazar kebiarawanannya dipaksakan dari dia oleh teror dan ketakutan pada kematian dan pada penghakiman yang akan datang; tetapi ia tidak pernah meragukan bahwa tangan Allah ada di dalamnya] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.

• “He was never an infidel, nor a wicked man, but a pious Catholic from early youth; but now he became overwhelmed with a sense of the vanity of this world and the absorbing importance of saving his soul, which, according to the prevailing notion of his age, he could best secure in the quiet retreat of a cloister” [= Ia tidak pernah menjadi orang kafir, atau orang jahat, tetapi ia adalah orang Katolik yang saleh sejak masa kecilnya; tetapi sekarang ia diliputi oleh suatu perasaan akan kesia-siaan dari dunia ini dan kepentingan untuk menyelamatkan jiwanya, yang, menurut pemikiran umum jaman itu, bisa ia pastikan dengan cara yang terbaik dalam pengunduran diri / pengucilan diri yang tenang dalam biara] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113.

Pada waktu Luther menjadi seorang biarawan ia berusaha mati-matian untuk hidup sesuai dengan ajaran gereja Katolik pada waktu itu. Ia berusaha untuk mendapatkan keselamatan melalui usahanya sendiri dengan membuang dosa, berbuat baik, dsb. Tetapi ia tidak pernah merasakan damai, sukacita atau ketenangan. Ia terus-menerus dihantui oleh perasaan berdosa yang luar biasa hebatnya, dan pemikiran tentang Allah yang suci, adil, bahkan bengis.

• “If there was ever a sincere, earnest, conscientious monk, it was Martin Luther. His sole motive was concern for his salvation. To this supreme object he sacrificed the fairest prospects of life. He was dead to the world and was willing to be buried out of the sight of men that he might win eternal life. His latter opponents who knew him in convent, have no charge to bring against his moral character except in certain pride and combativeness, and he himself complained of his temptations to anger and envy” [= Jika pernah ada seorang biarawan yang tulus dan sungguh-sungguh, maka itu adalah Martin Luther. Motivasi satu-satunya adalah perhatian untuk keselamatannya. Untuk tujuan tertinggi ini ia mengorbankan harapan terbaik hidupnya. Ia mati terhadap dunia, dan rela dikubur terhadap pandangan manusia supaya ia bisa mendapatkan hidup yang kekal. Penentang-penentangnya, yang mengenalnya di biara, tidak mempunyai tuduhan terhadap karakter moralnya kecuali dalam hal kesombongan tertentu dan kesukaannya melawan, dan ia sendiri mengeluh tentang pencobaan-pencobaan yang ia alami terhadap kemarahan dan iri hati] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 113-114.

• “He assumed the most menial offices to subdue his pride: he swept the floor, begged bread through the streets, and submitted without murmur to the ascetic severities” [= Ia menerima jabatan-jabatan yang paling rendah untuk menundukkan kesombongannya: ia mengepel lantai, mengemis roti di jalan-jalan, dan tunduk tanpa menggerutu pada kekerasan / kesederhanaan hidup pertapa] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115.

• “He said twenty-five Paternosters with the Ave Maria in each of the seven appointed hours of prayer. He was devoted to the Holy Virgin ... He regularly confessed his sins to the priests at least once a week. At the same time a complete copy of the Latin Bible was put into his hands for study, ... At the end of the year of probation Luther solemnly promised to live until death in poverty and chastity according to the rules of the holy father Augustin, to render obedience to Almighty God, to the Virgin Mary, and to the prior of the monastery. ... His chief concern was to become a saint and to earn a place in heaven. ‘If ever,’ he said afterward, ‘a monk got to heaven by monkery, I would have gotten there’. He observed with minutest details of discipline. No one surpassed him in prayer, fasting, night watches, self-mortification” [= Ia mengucapkan 25 x doa Bapa Kami dengan Salam Maria dalam setiap dari 7 jam doa yang ditetapkan. Ia berbakti kepada Perawan yang Kudus ... Ia mengaku dosa secara rutin kepada imam / pastor sedikitnya sekali seminggu. Pada saat yang sama suatu copy Alkitab Latin yang lengkap ada di tangannya untuk dipelajari, ... Pada akhir dari tahun percobaan Luther berjanji dengan khidmat / sungguh-sungguh untuk hidup sampai mati dalam kemiskinan dan kesederhanaan / kesucian menurut peraturan-peraturan bapa kudus Agustinus, taat kepada Allah yang mahakuasa, kepada Perawan Maria, dan kepada kepala biara. ... Perhatiannya yang terutama adalah untuk menjadi orang suci dan mendapatkan tempat di surga. ‘Jika ada,’ katanya belakangan, ‘seorang biarawan mencapai surga melalui kebiarawanan, Aku sudah sampai di sana’. Ia menjalankan disiplin dengan sangat terperinci. Tidak seorangpun melampaui dia dalam doa, puasa, jaga malam (?), mematikan diri sendiri] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 115-116.

• “He sought by the means set forth by the Church and the monastic tradition to make himself acceptable to God and to earn salvation of his soul. He mortified his body. He fasted, sometimes for days on end and without a morsel of food. He gave himself to prayers and vigils beyond those required by the rule of his order. He went to confession, often daily and for hours at a time. Yet assurance of God’s favour and inward peace did not come and the periods of depression were acute” [= Ia mencari melalui cara-cara yang dinyatakan oleh Gereja dan tradisi biara untuk membuat dirinya sendiri diterima oleh Allah dan mendapatkan keselamatan jiwanya. Ia mematikan dirinya. Ia berpuasa, kadang-kadang selama berhari-hari tanpa makanan sedikitpun. Ia menyerahkan dirinya untuk berdoa dan berjaga-jaga melebihi apa yang dituntut oleh peraturan ordonya. Ia mengaku dosa, seringkali setiap hari dan untuk berjam-jam dalam satu kali pengakuan. Tetapi keyakinan akan perkenan Allah dan damai di dalam tidak datang dan ia mengalami masa depresi yang parah] - Kenneth Scott Latourette, ‘A History of Christianity’, vol II, hal 705.

• “But he was sadly disappointed in his hope to escape sin and temptation behind the walls of the cloister. He found no peace and rest in all his pious exercises. The more he seemed to advance externally, the more he felt the burden of sin within. He had to contend with temptations of anger, envy, hatred and pride. He saw sin everywhere, even in the smallest trifles. The Scriptures impressed upon him the terrors of divine justice. He could not trust in God as a reconciled Father, as a God of love and mercy, but trembled before him, as a God of wrath, as a consuming fire. He could not get over the words: ‘I, the Lord thy God, am a jelous God’” [= Tetapi ia sangat kecewa dalam harapannya untuk lepas dari dosa dan pencobaan di balik tembok-tembok biara. Ia tidak mendapatkan damai dan ketenangan dalam semua hal-hal saleh yang ia lakukan. Makin ia kelihatan maju secara lahiriah, makin ia merasa beban dosa di dalam. Ia harus berjuang melawan pencobaan untuk marah, iri, kebencian, dan kesombongan. Ia melihat dosa dimana-mana, bahkan dalam hal-hal yang paling remeh. Kitab Suci memberikan kesan kepadanya tentang keadilan ilahi. Ia tidak bisa percaya kepada Allah sebagai Bapa yang diperdamaikan, sebagai Bapa yang kasih dan berbelas kasihan, tetapi gemetar di hadapanNya, sebagai Allah yang murka, sebagai api yang menghanguskan. Ia tidak bisa mengatasi kata-kata: ‘Aku, Tuhan Allahmu, adalah Allah yang cemburu’] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 116.

• “He entered the confessional and stayed for hours every day. On one occasion Luther spent six hours confessing the sins he had committed in the last day!” [= Ia masuk ke dalam ruang pengakuan dosa dan berada di sana berjam-jam setiap hari. Pada suatu kali Luther menghabiskan waktu 6 jam untuk mengaku dosa-dosa yang ia lakukan pada hari terakhir] - R.C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114.

• Pengakuan dosa Martin Luther ini menyebabkan Staupitz menjadi marah dan berkata:

“‘Look here,’ he said, ‘if you expect Christ to forgive you, come in with something to forgive - parricide, blasphemy, adultery - instead of all these peccadilloes. ... Man, God is not angry with you. You are angry with God. Don’t you know that God commands you to hope?’” [= ‘Lihatlah,’ katanya, ‘Jika kamu berharap supaya Kristus mengampuni kamu, datanglah dengan sesuatu untuk diampuni - pembunuhan orang tua, penghujatan, perzinahan - dan bukannya semua dosa-dosa remeh ini. ... Bung, Allah tidak marah kepadamu. Kamu yang marah kepada Allah. Tidak tahukah kamu bahwa Allah memerintahkan kamu untuk berharap?’] - R. C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 114, dimana ia mengutip dari Roland Bainton, dalam bukunya ‘Here I Stand’.

• Pada tahun 1505, sebagai seorang pastor muda ia memimpin misa untuk pertama kalinya. Pada waktu ia mengangkat roti dan mengucapkan kata-kata “Ini adalah tubuhKu”, ia mengalami rasa takut yang luar biasa karena ia merasakan dirinya penuh dosa di hadapan Allah yang tak terbatas dalam kekudusanNya.

IV) Pertobatan Martin Luther.

Seorang biarawan tua menghibur Luther dalam kesedihan dan keputus-asaannya, dan mengingatkan dia tentang kata-kata Paulus bahwa orang berdosa dibenarkan oleh kasih karunia melalui iman. Juga Johann von Staupitz, yang adalah teman baik, sekaligus penasehat dan bapa rohani Luther, mengarahkan Luther dari dosa-dosanya kepada apa yang Kristus lakukan di kayu salib, dari hukum Taurat kepada salib, dan usaha berbuat baik kepada iman. Ia juga yang mendorong Luther untuk belajar Kitab Suci. Melalui bantuan biarawan tua dan Staupitz, dan khususnya melalui penyelidikannya terhadap surat-surat Paulus, perlahan-lahan Luther sadar bahwa orang berdosa bisa dibenarkan bukan karena mentaati hukum, tetapi hanya karena iman kepada Yesus Kristus.

“He pondered day and night over the meaning of ‘the righteousness of God’ (Rom. 1:17), and thought that it is the righteous punishment of sinners; but toward the close of his convent life he came to the conclusion that it is the righteousness which God freely gives in Christ to those who believe in him. Righteousness is not acquired by man through his own exertions and merits; it is complete and perfect in Christ, and all the sinner has to do is to accept it from Him as a free gift” [= Ia merenungkan siang dan malam tentang arti dari ‘kebenaran Allah’ (Ro 1:17), dan mengira bahwa itu adalah hukuman yang adil terhadap orang-orang berdosa; tetapi menjelang akhir dari kehidupan biaranya ia sampai pada kesimpulan bahwa itu adalah kebenaran yang Allah berikan dengan cuma-cuma dalam Kristus kepada mereka yang percaya kepadaNya. Kebenaran tidak didapatkan oleh manusia melalui usaha dan kebaikan / jasanya sendiri; kebenaran itu lengkap dan sempurna dalam Kristus, dan semua yang harus dilakukan oleh orang berdosa adalah menerimanya dari Dia sebagai pemberian cuma-cuma] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 122.

Cerita tentang pertobatannya agak simpang siur, dan sukar dipastikan kapan persisnya ia sungguh-sungguh bertobat dan diselamatkan. Pengertiannya dan kepercayaannya akan keselamatan / pembenaran karena iman yang diajarkan oleh Ro 1:17 itupun melalui pergumulan hebat dan cukup lama. Karena itu, pada tahun 1510, sekalipun ia sudah tahu tentang pembenaran karena iman, tetapi karena ia belum betul-betul mantap dalam hal itu, maka ia masih melakukan ziarah / perjalanan agama (pilgrimage) ke Roma. Ia berharap untuk bisa mendapatkan penghiburan untuk jiwanya dengan melakukan perjalanan ini.

“He ascended on bended knees the twenty-eight steps of the famous Scala Santa (said to have been transported from the Judgment Hall of Pontius Pilate in Jerusalem), that he might secure the indulgence attached to his ascetic performance since the days of Pope Leo IV. in 850, but at every step the word of the Scripture sounded as a significant protest in his ears: ‘The just shall live by faith’ (Rom. 1:17). Thus at the very height of his medieval devotion he doubted its efficacy in giving peace to the troubled conscience” [= Dengan menggunakan lututnya ia menaiki 28 anak tangga dari Scala Santa yang terkenal (dikatakan bahwa Scala Santa itu telah dipindahkan dari Ruang Pengadilan Pontius Pilatus di Yerusalem), supaya ia bisa memastikan pengampunan dosa yang dicantelkan pada pelaksanaan pertapaannya sejak jaman Paus Leo IV pada tahun 850, tetapi pada setiap langkah kata-kata Kitab Suci terngiang di telinganya sebagai suatu protes: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’ (Ro 1:17). Jadi, pada puncak dari kebaktian keagamaannya ia meragukan kemujarabannya dalam memberikan damai pada hati nurani yang kacau] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 129.

Tetapi, setelah ia betul-betul mengerti dan percaya, maka kegagalannya dalam mencapai ‘keselamatan / pembenaran melalui perbuatan baik’, dan pengalamannya dalam mendapatkan ‘keselamatan / pembenaran karena iman’, menyebabkan ia sangat membenci doktrin ‘keselamatan karena perbuatan baik’. Ia berkata:

“The most damnable and pernicious heresy that has ever plagued the mind of men was the idea that somehow he could make himself good enough to deserve to live with an all-holy God” [= Ajaran sesat yang paling terkutuk dan jahat / merusak yang pernah menggoda pikiran manusia adalah gagasan bahwa entah bagaimana ia bisa membuat dirinya sendiri cukup baik sehingga layak untuk hidup dengan Allah yang mahasuci] - Dr. D. James Kennedy, ‘Evangelism Explosion’, hal 31-32.

V) Reformasi.

Gereja Roma Katolik membutuhkan uang, dan ini menyebabkan terjadinya penjualan surat pengampunan dosa / letter of indulgence.

Seorang yang bernama Tetzel, pada waktu menjual surat pengampunan dosa ini berkata: “The moment the coin in the collection box rings, that moment the soul from purgatory springs” [= Pada saat koin berdenting di kotak kolekte, saat itu jiwa meloncat dari api penyucian] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 28.

Tetzel ini dengan begitu tidak tahu malu berkata bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api penyucian dari pada apa yang dilakukan oleh Petrus melalui khotbahnya!

David Schaff menggambarkan Tetzel ini dengan kata-kata sebagai berikut: “who was not ashamed to boast that he saved more souls from purgatory by his letters of indulgence than St. Peter by his preaching” [= yang tidak malu untuk membanggakan bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api penyucian oleh surat-surat pengampunan dosanya dari pada Santo Petrus oleh khotbahnya] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.

David Schaff: “Martin Luther had experienced the remission of sin as a free gift of grace to be apprehended by a living faith. This experience was diametrically opposed to a system of relief by means of payments in money” [= Martin Luther telah mengalami pengampunan dosa sebagai suatu pemberian cuma-cuma oleh iman yang hidup. Pengalaman ini sama sekali bertentangan dengan sistim pembebasan dengan cara membayar dengan uang] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.

Penjualan surat pengampunan dosa itu menyebabkan pada tanggal 31 Oktober 1517 Luther menempelkan 95 thesisnya pada pintu gereja Wittenberg, Jerman.

• Tanggal 31 Oktober 1517 ini akhirnya diperingati sebagai hari Reformasi.

• Tulisan Luther ini menyerang penjualan surat pengampunan dosa itu, dan tulisannya ditujukan kepada para ahli theologia jaman itu untuk diperdebatkan. Dan tulisannya ini memang menimbulkan pertentangan / perdebatan yang luar biasa.

Dalam bulan Juli 1519 Luther dan teman sejawatnya yang bernama Andreas Carlstadt bertemu dengan John Eck, yang merupakan ahli debat top pada saat itu. Mereka mengadakan debat di depan umum di Leipzig. Dalam perdebatan itu John Eck menunjukkan bahwa beberapa pandangan Luther sesuai dengan pandangan John Hus, yang saat itu dianggap sebagai ajaran sesat oleh gereja Roma Katolik. Akhirnya Luther terpaksa mengakui dengan segan, sesuai dengan keinginan John Eck, sebagai berikut:

“Among the condemned beliefs of John Hus and his disciples, there are many which are truly Christian and evangelical and which the Catholic Church cannot condemn” [= Di antara kepercayaan-kepercayaan John Hus dan murid-muridnya yang dikecam, ada banyak yang adalah benar-benar Kristen dan injili dan yang Gereja Katolik tidak bisa mengecam] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 31.

Catatan / keterangan:

John Hus (1373-1415) adalah pemimpin dari The Bohemian Brethren di Bohemia, Cekoslowakia. John Hus dipengaruhi oleh theologia dari Augustine dan Wycliffe. Dalam suatu tulisannya yang berjudul ‘On the Church’ ia berkata bahwa hanya Kristus sendiri yang adalah kepala gereja. Ia menyerang penjualan indulgence / pengampunan dosa dan juga menyerang kejahatan dari gereja dan pastor. Ini menimbulkan konflik, dan Sigismund, kaisar Romawi, mendesak supaya John Hus hadir dalam the Council of Constance dalam tahun 1415, dan kepada John Hus diberikan jaminan keamanan di sana sampai ia bisa kembali dengan selamat. Tetapi ternyata begitu sampai, ia langsung ditangkap, dipenjarakan, diadili dengan cepat, dinyatakan bersalah, dan dihukum mati dengan dibakar, karena ia menolak untuk menarik kembali tulisannya kecuali ia diyakinkan kesalahannya berdasarkan Kitab Suci.

Dengan pengakuan yang mendukung John Hus itu, Martin Luther sudah menentang Council!

Dr. Albert Freundt mengomentari dengan berkata:

“He intended no revolution; he aimed at purifying the Catholic Church and preserving its truth. But the Leipzig debate tore down the last barrier which held him to Rome” [= Ia tidak memaksudkan revolusi; ia bertujuan memurnikan Gereja Katolik dan memelihara kebenarannya. Tetapi perdebatan di Leipzig menghancurkan halangan terakhir yang menahannya pada Roma] - ‘History of Modern Christianity’, hal 31.

Dan pada bulan Februari 1520 Martin Luther mengakui lebih jauh dari pada pengakuannya di Leipzig dengan berkata: “We are all Hussites without knowing it,” [= Kita semua adalah pengikut Hus tanpa kita sadari] tulisnya, “St. Paul and St. Augustine are Hussites” [= Santo Paulus dan Santo Agustinus adalah pengikut-pengikut Hus / mempunyai pandangan seperti Hus] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 31.

Pada bulan Juni 1520, Roma mengeluarkan ‘the Bull’ [= surat keputusan dari Paus], yang diberi nama ‘Exsurge Domine’, yang mengecam 41 usul / gagasan Luther sebagai sesat, dan memerintahkan orang yang setia kepada Roma Katolik untuk membakar buku-buku Luther dimanapun bisa ditemukan. Luther diberi waktu 2 bulan untuk menarik kembali ucapan / tulisannya atau ia akan dikucilkan.

Pada tanggal 10 Desember 1520, pada pk 9 pagi, Luther membakar bull tersebut beserta buku-buku Katolik lain, di depan umum. Dan pada tanggal 3 Januari 1521, pengucilan terhadap Luther dilaksanakan.

Luther lalu berkata:

“I said (at the Leipzig disputation of 1519) that the Council of Constance condemned some propositions of Hus that were truly Christian. I retract. All his propositions were Christian, and in condemning him the Pope has condemned the Gospel” [= Aku berkata (pada perdebatan Leipzig pada tahun 1519) bahwa Council of Constance mengecam beberapa pernyataan dari Hus yang adalah benar-benar Kristen. Aku menarik kembali. Semua pernyataannya adalah Kristen, dan dalam mengecam dia Paus sudah mengecam Injil] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 33.

24 hari setelah pengucilan Martin Luther, Charles V (kaisar Romawi) membuka Diet of Worms (Catatan: Diet = pertemuan formil, Worms adalah nama kota) yang pertama. Ia memberi jaminan keselamatan bagi Martin Luther. Luther datang, sekalipun ia tentu tahu bahwa sekitar 1 abad sebelumnya John Hus dibakar hidup-hidup sekalipun ada jaminan keselamatan.

Luther berkata:

“I shall go to Worms, though there were as many devils there as tiles on the roofs” [= Aku akan pergi ke Worms, sekalipun di sana ada setan-setan sebanyak genteng pada atap-atap] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 298.

Dalam perjalanan ke Worms, ia menulis surat kepada Spalatin:

“‘You may expect every thing from me,’ he wrote Spalatin, ‘except fear or recantation. I shall not flee, still less recant. May the Lord Jesus strengthen me’” [= ‘Kamu boleh mengharapkan segala sesuatu dari aku,’ tulisnya kepada Spalatin, ‘kecuali rasa takut atau penarikan kembali / pengakuan kesalahan. Aku tidak akan lari, dan lebih-lebih aku tidak akan menarik kembali / mengaku salah. Kiranya Tuhan Yesus menguatkan aku’] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 294.

Dalam Diet of Worms itu, pada waktu ia diminta untuk menarik kembali buku-bukunya / ajarannya, ia berkata:

“Unless I am refuted and convicted by testimonies of the Scriptures or by clear arguments (since I believe neither the Pope nor the councils alone; it being evident that they have often erred and contradicted themselves), I am conquered by the Holy Scriptures quoted by me, and my conscience is bound in the word of God: I can not and will not recant any thing, since it is unsafe and dangerous to do any thing against the conscience” [= Kecuali aku disangkal / dibuktikan salah dan diyakinkan oleh kesaksian Kitab Suci atau oleh argumentasi-argumentasi yang jelas (karena aku tidak percaya kepada Paus ataupun councils saja; adalah jelas bahwa mereka sering salah dan bertentangan dengan diri mereka sendiri), aku ditaklukkan oleh Kitab Suci yang Kudus yang aku kutip, dan hati nuraniku terikat pada firman Allah: aku tidak bisa dan tidak mau menarik kembali apapun, karena adalah tidak aman dan berbahaya untuk melakukan apapun yang bertentangan dengan hati nurani] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 304-305.

“Here I stand. (I can not do otherwise.) God help me! Amen” [= Di sinilah aku berdiri (Aku tidak bisa berbuat yang lain.) Kiranya Allah menolong aku! Amin] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 305.

Luther menceritakan Diet of Worms sebagai berikut:

“‘I expected,’ he wrote to the artist Cranach, ‘that his Majesty the Emperor would have collected fifty doctors of divinity to confute the monk in argument. But all they said was: ‘Are these books yours?’. ‘Yes’. ‘Will you recant?’. ‘No’. ‘Then get out!’” [= ‘Aku berharap,’ tulisnya kepada artis Cranach, ‘bahwa Yang Mulia Kaisar telah mengumpulkan 50 doktor theologia untuk membantah / membuktikan kesalahan biarawan ini dalam perdebatan. Tetapi semua yang mereka katakan adalah: ‘Apakah buku-buku ini milikmu?’. ‘Ya’. ‘Maukah kamu menariknya kembali?’. ‘Tidak’. ‘Kalau begitu keluarlah!’] - Dr. Albert Freundt, ‘History of Modern Christianity’, hal 34.

Setelah pulang dari Worms, ia bertemu dengan Spalatin:

“To Spalatin, in the presence of others, he said, ‘If I had a thousand heads, I would rather have them all cut off one by one than make one recantation’” [= Kepada Spalatin, di depan orang-orang lain, ia berkata, ‘Jika aku mempunyai 1000 kepala, aku lebih suka semuanya itu dipenggal satu demi satu dari pada membuat satu penarikan kembali / pengakuan salah’] - David Schaff, ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 306.

VI) Kematian Martin Luther.

Luther meninggal dunia pada tanggal 18 Februari 1546, dan dikuburkan pada tanggal 22 Februari 1546.

Kenneth Scott Latourette: “His later years had been marked by a complication of various physical illneses, presumably aggravated by the strains and labours of a tempestuous life. This may in part account for his frequent irascibility and occasional outburst of wrath and coarse vituperation” [= Tahun-tahun terakhir hidupnya ditandai oleh komplikasi dari bermacam-macam penyakit fisik, rupanya diperparah oleh ketegangan dan pekerjaan dari hidup yang bergejolak. Ini merupakan sebagian penyebab dari sikap mudah marahnya yang sering terjadi dan kemarahannya yang kadang-kadang meledak dan makian dengan kata-kata kasar] - ‘A History of Christianity’, vol II, hal 729.

VII) Kesimpulan tentang Martin Luther.

R. C. Sproul dalam bukunya ‘The Holiness of God’ [= Kekudusan / kesucian Allah] menuliskan sebuah bab yang berjudul ‘The Insanity of Luther’ [= Kegilaan Luther], dimana ia menceritakan banyak ‘kegilaan’ yang dilakukan Luther. R. C. Sproul akhirnya menutup bab itu dengan kata-kata sebagai berikut:

“Was Luther crazy? Perhaps. But if he was, our prayer is that God would send to this earth an epidemic of such insanity that we too may taste of the righteousness that is by faith alone” [= Apakah Martin Luther gila? Mungkin. Tetapi kalau ia gila, doa kita adalah supaya Allah akan mengirimkan ke dunia ini suatu epidemi kegilaan seperti itu supaya kita juga boleh merasakan kebenaran yang hanya karena iman] - R.C. Sproul, ‘The Holiness of God’, hal 126.

Penafsiran-penafsiran Martin Luther setelah pertobatannya berkenaan dengan Injil dan hukum Taurat, kebenaran oleh iman atau perbuatan, dan sebagainya.

a) Penafsiran Luther tentang Roma 1:16-17.

1. Roma 1:16 - “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.”.

Kata-kata ‘aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil’ salah terjemahan!

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘for I am not ashamed of the gospel’ [= karena aku tidak malu tentang injil].

Martin Luther (tentang Ro 1:16): “he who does not truly believe is even today not merely ashamed of the Gospel, but he also contradicts it, at least in his heart and in his action. The reason for this is the following. He who finds pleasure and enjoyment in the things that are of the flesh and of the world cannot have a taste or pleasure for the things that are of the Spirit of God. Therefore he is not only ashamed to proclaim the Gospel to others, but he fights against it and does not want it to be spoken to him. He hates the light and loves the darkness. For this reason he does not suffer the salutary truth to be spoken to him.” [= ia yang tidak sungguh-sungguh percaya sekarang bukannya semata-mata malu tentang Injil, tetapi ia juga menentangnya, setidaknya dalam hatinya dan dalam tindakannya. Alasan untuk ini adalah sebagai berikut. Ia yang mendapati kesenangan dan penikmatan dalam hal-hal yang dari daging dan dari dunia tidak bisa mempunyai suatu selera atau kesenangan untuk hal-hal yang dari Roh Allah. Karena itu ia bukan hanya malu untuk memberitakan Injil kepada orang-orang lain, tetapi ia berperang melawannya dan tidak ingin / mau itu diucapkan kepada dia. Ia membenci terang dan mencintai kegelapan. Untuk alasan ini ia tidak membiarkan kebenaran yang sehat diucapkan kepadanya.] - ‘Luther’s Works, Vol 25, Lectures on Romans’ (Libronix).

Bdk. 1Korintus 2:14 - “Tetapi manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, karena hal itu baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu hanya dapat dinilai secara rohani.”.

Apakah ia memaksudkan tentang Staupitz dalam kata-katanya di atas ini?

Martin Luther (tentang Ro 1:16): “Moreover, to be ashamed of the Gospel is a fault of cowardice in pastors, but to contradict it and not to listen to it is a fault of stupidity in church members. This is obvious when the preacher is afraid of the power, influence, and number of his hearers and is silent concerning the essential truth and when the unresponsive hearer despises the lowliness and humble appearance of the Word.” [= Lebih lagi, malu tentang Injil adalah suatu kesalahan tentang / dari kepengecutan dalam pendeta-pendeta, tetapi menentangnya dan tidak mendengarnya adalah suatu kesalahan dari kebodohan dalam diri anggota-anggota gereja. Ini adalah jelas pada waktu sang pengkhotbah takut pada kuasa, pengaruh, dan jumlah dari pendengar-pendengarnya, dan pengkhotbah itu diam berkenaan dengan kebenaran yang hakiki dan pada waktu pendengar yang tidak menanggapi (kebenaran) menghina / merendahkan kerendahan dan penampilan yang rendah dari Firman.] - ‘Luther’s Works, Vol 25, Lectures on Romans’ (Libronix).

Siapapun yang malu atau takut karena Injil atau diam dan tidak memberitakan Injil, harus memperhatikan ayat-ayat di bawah ini.

Bdk. Markus 8:38 - “Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataanKu di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan BapaNya, diiringi malaikat-malaikat kudus.’”.

Dari pada ‘malu’ atau ‘takut’ pada saat kita memberitakan Injil dan ditolak, sikap yang benar diberikan dalam text di bawah ini:

Matius 10:12-15 - “(12) Apabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka. (13) Jika mereka layak menerimanya, salammu itu turun ke atasnya, jika tidak, salammu itu kembali kepadamu. (14) Dan apabila seorang tidak menerima kamu dan tidak mendengar perkataanmu, keluarlah dan tinggalkanlah rumah atau kota itu dan kebaskanlah debunya dari kakimu. (15) Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya pada hari penghakiman tanah Sodom dan Gomora akan lebih ringan tanggungannya dari pada kota itu.’”.

Catatan: ay 14b harus dikontextualisasikan (disesuaikan dengan jaman / tempat dengan tradisi yang berbeda), karena cara itu bukan merupakan tradisi di negara kita. Yang jelas kita harus menunjukkan suatu ketidak-senangan, dan memberi peringatan, bahwa penghakiman dan penghukuman dari Allah menantikan mereka yang menolak Injil!

Memang ‘diam’ tentang Injil, bukanlah suatu sikap yang netral, tetapi suatu sikap yang negatif.

Bdk. Matius 12:30 - “Siapa tidak bersama Aku, ia melawan Aku dan siapa tidak mengumpulkan bersama Aku, ia mencerai-beraikan.”.

Dan kalau pengkhotbah itu diam, karena takut atau malu karena Injil, itu tentu lebih buruk lagi!

2. Roma 1:17 - “Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘Orang benar akan hidup oleh iman.’”.

Kata-kata ‘yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman’ diterjemahkan secara agak berbeda-beda dalam Kitab Suci bahasa Inggris.

KJV/NASB: ‘from faith to faith’ [= dari iman kepada iman].

RSV: ‘through faith for faith’ [= melalui iman untuk iman].

NIV: ‘that is by faith from first to last’ [= yaitu oleh iman dari awal sampai akhir].

KJV: ‘For therein is the righteousness of God revealed from faith to faith: as it is written, The just shall live by faith.’ [= Karena di dalamnya kebenaran Allah dinyatakan dari iman kepada iman: seperti ada tertulis, Orang benar akan hidup oleh iman.].

Martin Luther (tentang Roma 1:17): “‘The righteousness of God is revealed.’ ... Only in the Gospel is the righteousness of God revealed (that is, who is and becomes righteous before God and how this takes place) by faith alone, by which the Word of God is believed, as it is written in the last chapter of Mark (16:16): ‘He who believes and is baptized will be saved; but he who does not believe will be condemned.’ For the righteousness of God is the cause of salvation. And here again, by the righteousness of God we must not understand the righteousness by which He is righteous in Himself but the righteousness by which we are made righteous by God. This happens through faith in the Gospel. ... The righteousness of God is so named to distinguish it from the righteousness of man, which comes from works, as Aristotle describes it very clearly in Book III of his Ethics. According to him, righteousness follows upon actions and originates in them. But according to God, righteousness precedes works, and thus works are the result of righteousness, just as no person can do the works of a bishop or priest unless he is first consecrated and has been set apart for this. Righteous works of people who are not yet righteous are like the works of a person who performs the functions of a priest and bishop without being a priest; in other words, such works are foolish and tricky and are to be compared with the antics of hucksters in the marketplace.” [= ‘Kebenaran Allah dinyatakan’. ... Hanya di dalam Injil kebenaran Allah dinyatakan (yaitu, siapa yang adalah dan menjadi benar di hadapan Allah dan bagaimana ini terjadi) oleh iman saja, dengan mana Firman Allah dipercaya, seperti ada tertulis dalam pasal terakhir dari Markus (16:16): ‘Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum.’ Karena kebenaran Allah adalah penyebab keselamatan. Dan lagi di sini, dengan kebenaran Allah kita tidak boleh mengertinya sebagai kebenaran dengan mana Ia adalah benar dalam diriNya sendiri tetapi kebenaran dengan mana kita dibuat jadi benar oleh Allah. Ini terjadi melalui iman dalam Injil. ... Kebenaran Allah disebut demikian untuk membedakannya dari kebenaran manusia, yang datang dari perbuatan baik, seperti Aristotle menggambarkannya dengan sangat jelas dalam Buku III dari Ethics-nya. Menurut dia, kebenaran mengikuti tindakan-tindakan dan berasal-usul di dalam tindakan-tindakan itu. Tetapi menurut Allah, kebenaran mendahului perbuatan baik, dan dengan demikian perbuatan baik adalah hasil dari kebenaran, sama seperti tak ada orang yang bisa melakukan pekerjaan dari seorang uskup atau pastor kecuali ia pertama-tama ditahbiskan dan telah dipisahkan untuk hal ini. Pekerjaan-pekerjaan kebenaran dari orang-orang yang belum benar adalah seperti pekerjaan-pekerjaan dari seorang yang melakukan aktivitas dari seorang pastor dan uskup tanpa menjadi seorang pastor; dengan kata lain, pekerjaan-pekerjaan seperti itu adalah bodoh dan bersifat menipu dan harus dibandingkan dengan tindakan bodoh dari tukang berjualan di pasar.] - ‘Luther’s Works, Vol 25, Lectures on Romans’ (Libronix).

Catatan: bagian akhir yang saya beri warna hijau ini merupakan suatu illustrasi yang bagus.

Martin Luther (tentang Ro 1:17): “Second, we must note that what is said here, ‘from faith to faith,’ is interpreted in different ways. Lyra wants it understood thus: ‘From unformed faith to formed faith.’ But this won’t work, because no righteous person lives from an ‘unformed faith,’ neither does the righteousness of God come from it. Yet he says both of these things in this passage. It could be that he wants to understand the ‘unformed faith’ as the faith of a beginner and the ‘formed faith’ as the faith of a perfect believer. But the ‘unformed faith’ is no faith at all but rather the object of faith. I do not believe that a person can believe with an ‘unformed faith.’ But this he can do well: He can see what must be believed and thus remain in suspense. Others interpret it in this way: ‘From the faith of the fathers of the old law to the faith of the new law.’ This exegesis may be acceptable, even though it may obviously be attacked and contradicted by the argument that the righteous person does not live by the faith of past generations, even though he says: ‘The righteous shall live by his faith.’ The fathers believed the same as we do. There is only one faith, even though it may have been less clear then; just as educated people now believe the same things as the uneducated, but more clearly. Therefore, the meaning of this passage seems to be: The righteousness of God is completely from faith, but in such a way that through its development it does not make its appearance but becomes a clearer faith according to that expression in 2 Cor. 3:18: ‘We are being changed … from one degree of glory to another,’ and also in Ps. 84:8: ‘They go from strength to strength.’ So also ‘from faith to faith,’ by growing more and more, so that ‘he that is righteous, let him be made righteous still’ (Rev. 22:11). In other words, no one should be of the opinion that he has already obtained (Phil. 3:12) and thus stops growing, that is, starts declining. Blessed Augustine says in chapter 11 of his On the Spirit and the Letter: ‘From the faith of those who confess with their mouth to the faith of those who are obedient.’ Paul of Burgos says: ‘From the faith of the synagog (as a starting point) to the faith of the church (as a goal).’ But the apostle says that righteousness comes from faith, yet the heathen had no faith from which they could have been led to another faith in order to be justified.” [= Kedua, kita harus memperhatikan bahwa apa yang dikatakan di sini, ‘dari iman kepada iman’, ditafsirkan dengan cara berbeda-beda. Lyra mau mengertinya seperti ini: ‘Dari iman yang belum dibentuk kepada iman yang sudah dibentuk’. Tetapi ini tak akan berhasil, karena tak ada orang benar hidup dari ‘iman yang belum dibentuk’, juga kebenaran Allah tidak akan datang darinya. Tetapi ia mengatakan kedua hal ini dalam text ini. Bisa jadi ia mau mengerti ‘iman yang belum dibentuk’ sebagai iman dari seorang pemula dan ‘iman yang sudah dibentuk’ sebagai iman dari seorang percaya yang sempurna. Tetapi ‘iman yang belum dibentuk’ bukanlah iman sama sekali tetapi obyek dari iman. Saya tidak percaya bahwa seseorang bisa percaya dengan ‘iman yang belum dibentuk’. Tetapi ini yang bisa ia lakukan dengan baik: Ia bisa melihat apa yang harus dipercaya tetapi tetap tinggal dalam ketidak-pastian. Orang-orang lain menafsirkannya dengan cara ini: ‘Dari iman bapa-bapa dari hukum yang lama kepada iman dari hukum yang baru’. Exegesis ini mungkin bisa diterima, sekalipun itu jelas bisa diserang dan dibantah oleh argumentasi bahwa orang benar itu tidak hidup oleh iman dari generasi-generasi yang sudah lalu, sekalipun ia berkata: ‘Orang benar akan hidup oleh imannya’. Bapa-bapa percaya hal yang sama seperti kita percaya. Di sana hanya ada satu iman, sekalipun itu bisa kurang jelas pada saat itu; sama seperti orang-orang berpendidikan sekarang percaya hal-hal yang sama seperti orang-orang yang tak berpendidikan, tetapi dengan lebih jelas. Karena itu, arti dari text ini kelihatannya adalah ini: Kebenaran Allah adalah sepenuhnya dari iman, tetapi dengan suatu cara sedemikian rupa sehingga melalui perkembangannya itu tidak kelihatan tetapi menjadi suatu iman yang lebih jelas sesuai dengan ungkapan dalam 2Kor 3:18: ‘kita sedang diubah ... dari satu tingkat kemuliaan ke tingkat yang lain’, dan juga dalam Maz 84:8: ‘Mereka berjalan dari kekuatan kepada kekuatan’. Demikian juga ‘dari iman kepada iman’, dengan makin bertumbuh, sehingga ‘ia yang benar, hendaklah ia dibuat tetap benar’ (Wahyu 22:11). Dengan kata lain, tak seorangpun harus mempunyai pandangan bahwa ia telah mencapai (Fil 3:12) dan dengan demikian berhenti bertumbuh, artinya, mulai mundur / menurun. Agustinus yang terpuji berkata dalam pasal 11 dari bukunya ‘Tentang Roh dan Huruf’: ‘Dari iman dari mereka yang mengaku dengan mulut mereka kepada iman dari mereka yang taat’. Paul dari Burgos berkata: ‘Dari iman dari sinagog (sebagai suatu titik awal) kepada iman dari gereja (sebagai suatu tujuan)’. Tetapi sang rasul berkata bahwa kebenaran datang dari iman, tetapi orang-orang kafir tidak mempunyai iman dari mana mereka bisa telah dibimbing kepada iman yang lain supaya bisa dibenarkan.] - ‘Luther’s Works, Vol 25, Lectures on Romans’ (Libronix).

Jadi Luther menafsirkan kata-kata ‘from faith to faith’ dalam Ro 1:17 sejalan dengan kata-kata ‘from glory to glory’ dalam 2Kor 3:18, dan ‘from strength to strength’ dalam Mazmur 84:8. Yang dalam Wah 22:11 agak berbeda ungkapannya.

2Korintus 3:18 - “Dan kita semua mencerminkan kemuliaan Tuhan dengan muka yang tidak berselubung. Dan karena kemuliaan itu datangnya dari Tuhan yang adalah Roh, maka kita diubah menjadi serupa dengan gambarNya, dalam kemuliaan yang semakin besar.”.

KJV: ‘are changed into the same image from glory to glory,’ [= diubah menjadi gambar yang sama dari kemuliaan kepada kemuliaan,].

Mazmur 84:8 - “Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion.”.

KJV/RSV/NIV/NASB: ‘They go from strength to strength,’ [= Mereka berjalan dari kekuatan kepada kekuatan,].

Wah 22:11 - “Barangsiapa yang berbuat jahat, biarlah ia terus berbuat jahat; barangsiapa yang cemar, biarlah ia terus cemar; dan barangsiapa yang benar, biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!’”.

KJV: ‘and he that is righteous, let him be righteous still:’ [= dan ia yang adalah benar, hendaklah ia tetap benar:].

Filipi 3:12 - “Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena akupun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.”.

b) Penafsiran Luther tentang text lain dalam Alkitab yang menekankan tentang keselamatan karena iman saja, bukan karena perbuatan baik dsb.

Kej 15:6 - “Lalu percayalah Abram kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.”.

Ayat ini dikutip oleh Paulus dalam Ro 4:3, untuk membuktikan doktrin ‘justification by faith alone’ [= pembenaran oleh iman saja].

Roma 4:1-5 - “(1) Jadi apakah akan kita katakan tentang Abraham, bapa leluhur jasmani kita? (2) Sebab jikalau Abraham dibenarkan karena perbuatannya, maka ia beroleh dasar untuk bermegah, tetapi tidak di hadapan Allah. (3) Sebab apakah dikatakan nas Kitab Suci? ‘Lalu percayalah Abraham kepada Tuhan, dan Tuhan memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.’ (4) Kalau ada orang yang bekerja, upahnya tidak diperhitungkan sebagai hadiah, tetapi sebagai haknya. (5) Tetapi kalau ada orang yang tidak bekerja, namun percaya kepada Dia yang membenarkan orang durhaka, imannya diperhitungkan menjadi kebenaran.”.

Catatan: kata ‘hadiah’ dalam ay 4, diterjemahkan dari kata Yunani KHARIS, yang oleh KJV diterjemahkan secara hurufiah sebagai ‘grace’ [= kasih karunia].

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “And Paul has not only expounded this passage most carefully; he also takes great pains to commend it to the church when he adds this statement (Rom. 4:23): "But the words ‘it was reckoned to him’ were written not for his (Abraham’s) sake alone" - who later on died - but (Rom. 15:4) ‘for our instruction, that … we might have hope.’” [= Dan Paulus bukan hanya telah menjelaskan dengan mendetail text ini dengan sangat hati-hati / teliti; ia juga berusaha keras untuk merekomendasikannya kepada gereja pada waktu ia menambahkan pernyataan ini (Ro 4:23): "Tetapi kata-kata ‘itu diperhitungkan kepadanya’ dituliskan bukan demi / bagi Abraham saja" - yang belakangan mati - tetapi (Ro 15:4) ‘bagi pengajaran kita, supaya ... kita bisa mempunyai pengharapan’.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Ro 4:23-25 - “(23) Kata-kata ini, yaitu ‘hal ini diperhitungkan kepadanya,’ tidak ditulis untuk Abraham saja, (24) tetapi ditulis juga untuk kita; sebab kepada kitapun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia, yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati, (25) yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita.”.

Roma 15:4 - “Sebab segala sesuatu yang ditulis dahulu, telah ditulis untuk menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci.”.

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “At this point there arises an important debate concerning the Law and faith: whether the Law justifies, whether faith does away with the Law, etc.” [= Pada titik ini muncul suatu perdebatan yang penting berkenaan dengan hukum Taurat dan iman: apakah hukum Taurat membenarkan, apakah iman menyingkirkan hukum Taurat, dsb.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “In this connection Paul learnedly stresses the matter of time: that in this chapter Moses is speaking about righteousness and a righteous or justified Abraham prior to the Law, prior to the works of the Law, yes, prior to the people of the Law and before Moses, the lawgiver, was born. Accordingly, he says that righteousness is not only not from the Law but is prior to the Law, and that neither the Law nor the works of the Law contribute anything toward it.” [= Dalam hubungan ini Paulus secara terpelajar menekankan persoalan waktu: bahwa dalam pasal ini Musa sedang berbicara tentang kebenaran dan seorang Abraham yang benar atau yang dibenarkan sebelum hukum Taurat, sebelumpekerjaan-pekerjaan dari hukum Taurat, ya, sebelum bangsa / orang-orang dari hukum Taurat dan sebelum Musa, sang pemberi hukum Taurat, dilahirkan. Karena itu, ia berkata bahwa kebenaran bukan saja bukan dari hukum Taurat tetapi sebelum hukum Taurat, dan bahwa baik hukum Taurat ataupun pekerjaan-pekerjaan dari hukum Taurat tidak memberi sumbangsih apapun terhadapnya.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “Then what? Is the Law useless for righteousness? Yes, certainly. But does faith alone, without works, justify? Yes, certainly. Otherwise you must repudiate Moses, who declares that Abraham is righteous prior to the Law and prior to the works of the Law, not because he sacrificed his son, who had not yet been born, and not because he did this or that work, but because he believed God who gave a promise.” [= Lalu bagaimana? Apakah hukum Taurat tak berguna untuk kebenaran? Ya, tentu. Tetapi apakah iman saja, tanpa pekerjaan-pekerjaan / perbuatan-perbuatan baik, membenarkan? Ya, tentu. Kalau tidak, kamu harus menolak otoritas Musa, yang menyatakan bahwa Abraham adalah benar sebelum hukum Taurat dan sebelum pekerjaan-pekerjaan dari hukum Taurat, bukan karena ia mengorbankan anaknya, yang belum dilahirkan, dan bukan karena ia melakukan pekerjaan / perbuatan baik ini atau itu, tetapi karena ia percaya kepada Allah yang memberi suatu janji.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Martin Luther (tentang Kejadian 15:6): “In this passage no mention is made of any preparation for grace, of any faith formed through works, or of any preceding disposition. This, however, is mentioned: that at that time Abraham was in the midst of sins, doubts, and fears, and was exceedingly troubled in spirit.” [= Dalam text ini tak disebutkan apapun tentang persiapan apapun untuk kasih karunia, tentang iman apapun yang dibentuk melalui pekerjaan-pekerjaan / perbuatan-perbuatan baik, atau tentang kecenderungan apapun yang mendahuluinya. Tetapi ini disebutkan: bahwa pada saat itu Abraham ada di tengah-tengah dosa, keragu-raguan, dan rasa takut, dan sangat bingung / kacau dalam roh (bdk. Kej 15:1-2).] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Catatan: ada catatan kaki yang berbunyi: “Here Luther is contending against the scholastic definition of faith as fides (charitate) formata, ‘faith formed by love,’ and therefore not true faith until and unless love is present.” [= Di sini Luther sedang mendebat / berargumentasi terhadap definisi Gereja Katolik dari iman sebagai FIDES (CHARITATE) FORMATA, ‘iman yang dibentuk oleh kasih’, dan karena itu bukanlah iman yang benar / sungguh-sungguh sampai dan kecuali kasih itu hadir / ada.].

Bdk. Kej 15:1-3 - “(1) Kemudian datanglah firman TUHAN kepada Abram dalam suatu penglihatan: ‘Janganlah takut, Abram, Akulah perisaimu; upahmu akan sangat besar.’ (2) Abram menjawab: ‘Ya Tuhan ALLAH, apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu.’ (3) Lagi kata Abram: ‘Engkau tidak memberikan kepadaku keturunan, sehingga seorang hambaku nanti menjadi ahli warisku.’”.

Apakah Kej 15:2-3 yang menunjukkan bahwa Abraham takut dan ragu-ragu bertentangan dengan Ro 4:18-19?

Ro 4:18-19 - “(18) Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.’ (19) Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup.”.

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “How, then, did he obtain righteousness? In this way: God speaks, and Abraham believes what God is saying. Moreover, the Holy Spirit comes as a trustworthy witness and declares that this very believing or this very faith is righteousness or is imputed by God Himself as righteousness and is regarded by Him as such. But because the words which the Lord is speaking relate especially to Christ, the spiritual Seed, Paul unfolds this mystery and declares clearly that righteousness comes through faith in Christ (Gal. 2:16). Let us, then, accept this statement and not allow ourselves to be dislodged from it by the ragings of Satan and the popes.” [= Lalu, bagaimana ia mendapatkan kebenaran? Dengan cara ini: Allah berbicara, dan Abraham percaya apa yang Allah katakan. Lebih lagi / selanjutnya, Roh Kudus datang sebagai saksi yang layak dipercaya dan menyatakan bahwa kepercayaan atau iman ini adalah kebenaran atau diperhitungkan oleh Allah sendiri sebagai kebenaran dan dianggap olehNya seperti itu. Tetapi karena kata-kata yang Tuhan katakan itu berhubungan secara khusus dengan Kristus, Benih / Keturunan rohani itu, Paulus menyingkapkan misteri ini dan menyatakan bahwa kebenaran datang melalui iman kepada Kristus (Gal 2:16). Maka, hendaklah kita menerima pernyataan ini dan tidak mengijinkan diri kita sendiri dikeluarkan / disingkirkan darinya oleh kemarahan / kekejaman dari Iblis dan para Paus.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Catatan: bagian yang saya garis-bawahi itu menunjuk pada Kej 12:1-3, dan memang Kej 15:4-5 merupakan pengulangan dari Kej 12:1-3.

Kej 15:4-5 - “(4) Tetapi datanglah firman TUHAN kepadanya, demikian: ‘Orang ini tidak akan menjadi ahli warismu, melainkan anak kandungmu, dialah yang akan menjadi ahli warismu.’ (5) Lalu TUHAN membawa Abram ke luar serta berfirman: ‘Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.’ Maka firmanNya kepadanya: ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.’”.

Kej 12:2-3 - “(2) Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. (3) Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.’”.

Catatan: bagian yang saya garis-bawahi itu tidak bisa tidak menunjuk kepada Kristus!

Gal 2:16 - “Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: ‘tidak ada seorangpun yang dibenarkan’ oleh karena melakukan hukum Taurat.”.

Sebetulnya bisa ditekankan lagi, bahwa janji berkat kepada semua kaum di muka bumi itu, bukan hanya berhubungan dengan Kristus, tetapi juga dengan PENEBUSANKristus!

Bdk. Ro 3:25a - “Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darahNya.”.

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “This is the source from which Paul has drawn his discussions in Romans and Galatians, where he ascribes righteousness to faith, not to works or the Law.” [= Ini adalah sumber dari mana Paulus telah mengambil diskusinya dalam Roma dan Galatia, dimana ia menganggap kebenaran berasal dari iman, bukan dari pekerjaan-pekerjaan / perbuatan-perbuatan baik, atau dari hukum Taurat.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “Here the testimony of Scripture is clear and beyond doubt. Righteousness is imputed to faith, that is, Abraham is reckoned as righteous by God because he believes God. Scripture makes no such statement about works.” [= Di sini kesaksian Kitab Suci adalah jelas dan tanpa keraguan. Kebenaran diperhitungkan pada / bagi iman, artinya, Abraham dianggap sebagai benar oleh Allah karena ia percaya Allah. Kitab Suci tidak membuat pernyataan tentang pekerjaan-pekerjaan / perbuatan-perbuatan baik.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “Moreover, we must give heed to Holy Scripture, which proves abundantly that nobody can satisfy the Law. The Law demands that you love God with all your heart and your neighbor as yourself (Lev. 19:18). But who, I ask, is there who does this? Even the love of the saints is imperfect and is often troubled by fear, often by lack of trust, and often by impatience in misfortune. At such times what becomes of faith produced by love? If God will not consider you just unless you have loved Him with all your heart and have fulfilled the Law, you will never be justified.” [= Lebih lagi / selanjutnya, kita harus memperhatikan Kitab Suci Kudus, yang membuktikan dengan berlimpah-limpah bahwa tak seorangpun bisa memuaskan hukum Taurat. Hukum Taurat menuntut bahwa kamu mengasihi Allah dengan segenap hatimu dan sesamamu seperti dirimu sendiri (Im 19:18). Tetapi siapa, saya bertanya, yang melakukan ini? Bahkan kasih dari santo-santo tidak sempurna dan sering diganggu oleh rasa takut, sering oleh kurangnya kepercayaan, dan sering oleh ketidak-sabaran dalam nasib buruk / bencana. Pada saat-saat seperti itu apa yang terjadi dengan iman yang dihasilkan oleh kasih? Jika Allah tak mau menganggap kamu benar kecuali kamu telah mengasihi Dia dengan segenap hatimu dan telah menggenapi hukum Taurat, kamu tidak akan pernah dibenarkan.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “Learn, therefore, not to attribute righteousness to your love or to your works and merits; for they are always unclean, imperfect, and polluted. Consequently, they call for a confession of our unworthiness and for humbling ourselves with a prayer for forgiveness. But attribute your righteousness to mercy alone, to the promise concerning Christ alone, the promise which faith accepts and by means of which it protects and defends itself against conscience when God sits in judgment.” [= Karena itu belajarlah, untuk tidak menganggap kebenaran muncul dari kasihmu atau pekerjaan-pekerjaan / perbuatan-perbuatan baik dan jasa-jasamu; karena semua itu selalu najis, tak sempurna, dan tercemar. Karena itu, mereka menuntut suatu pengakuan tentang ketidak-layakan kita dan perendahan diri kita dengan suatu doa untuk pengampunan. Tetapi anggaplah kebenaranmu muncul dari belas kasihan saja, dari janji berkenaan dengan Kristus saja, janji yang iman terima dan dengan cara mana itu melindungi dan mempertahankan dirinya sendiri terhadap hati nurani pada waktu Allah duduk dalam penghakiman.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “This is the sound and true doctrine. On the other hand, the scholastic doctrine concerning an unformed and a formed faith is of the devil; it destroys the doctrine of faith ... Therefore let us reject it as a hellish pest.” [= Ini adalah doktrin yang sehat dan benar. Di sisi lain, doktrin Gereja Katolik berkenaan dengan iman yang belum dibentuk dan iman yang sudah dibentuk adalah DARI SETAN; itu menghancurkan doktrin tentang iman ... Karena itu hendaklah kita menolaknya sebagai SUATU WABAH DARI NERAKA.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Catatan: kalau saya dianggap banyak orang sebagai pengkhotbah yang keras / kasar, coba bandingkan dengan kata-kata Luther di sini!

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “Furthermore, every promise of God includes Christ; for if it is separated from this Mediator, God is not dealing with us at all.” [= Selanjutnya, setiap janji Allah mencakup Kristus; karena jika itu dipisahkan dari Pengantara ini, Allah tidak berurusan dengan kita sama sekali.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’(Libronix).

Martin Luther (tentang Kej 15:6): “Therefore the only difference between Abraham’s faith and ours is this: Abraham believed in the Christ who was to be manifested, but we believe in the Christ who has already been manifested; and by that faith we are all saved.” [= Karena itu satu-satunya perbedaan antara iman Abraham dan iman kita adalah ini: Abraham percaya kepada Kristus yang akan dimanifestasikan, tetapi kita percaya kepada Kristus yang sudah dimanifestasikan; dan oleh iman itu kita semua diselamatkan.] - ‘Luther’s Works, Vol 3, Lectures on Genesis’ (Libronix).

Jadi, iman orang-orang jaman Perjanjian Lama dan iman kita adalah sama. Perbedaannya hanyalah mereka percaya kepada Kristus yang akan datang, sedangkan kita percaya kepada Kristus yang sudah datang! Kita mempunyai terang yang lebih banyak, sehingga kita mempunyai tanggung jawab yang lebih besar, untuk percaya kepada Kristus!

Martin Luther di Roma.

Cerita tentang pertobatan Luther agak simpang siur, dan sukar dipastikan kapan persisnya ia sungguh-sungguh bertobat dan diselamatkan. Pengertiannya dan kepercayaannya akan keselamatan / pembenaran karena iman yang diajarkan oleh Ro 1:17 itupun melalui pergumulan hebat dan cukup lama. Karena itu, pada tahun 1510, sekalipun ia sudah tahu tentang pembenaran karena iman, tetapi karena ia belum betul-betul mantap dalam hal itu, maka ia masih melakukan ziarah / perjalanan agama (pilgrimage) ke Roma. Ia berharap untuk bisa mendapatkan penghiburan untuk jiwanya dengan melakukan perjalanan ini.

Catatan: kalau menurur Dr. Albert Freundt Jr. dalam kutipan dalam pelajaran yang sudah lalu, ia bertobat pada sekitar tahun 1512-1513. Kalau demikian, maka pada saat ia pergi ke Roma ini, ia memang belum betul-betul bertobat, dan masih dalam tahap pergumulan.

David Schaff: “An interesting episode in the history of Luther’s training for the Reformation was his visit to Rome. ... In the autumn of the year 1510, after his removal to Wittenberg, but before his graduation as doctor of divinity, Luther was sent to Rome ... When Luther came in sight of the eternal city he fell upon the earth, raised his hands and exclaimed, ‘Hail to thee, holy, Rome! Thrice holy for the blood of martyrs shed here.’ ... he ran, ‘like a crazy saint,’ through all the churches and crypts and catacombs with an unquestioning faith in the legendary traditions about the relics and miracles of martyrs. He wished that his parents were dead that he might help them out of purgatory by reading mass in the most holy place, according to the saying: ‘Blessed is the mother whose son celebrates mass on Saturday in St. John of the Lateran.’ He ascended on bended knees the twenty-eight steps of the famous Scala Santa (said to have been transported from the Judgment Hall of Pontius Pilate in Jerusalem), that he might secure the indulgence attached to this ascetic performance since the days of Pope Leo IV. in 850, but at every step the word of the Scripture sounded as a significant protest in his ear: ‘The just shall live by faith’ (Rom. 1:17). Thus at the very height of his mediaeval devotion he doubted its efficacy in giving peace to the troubled conscience.” [= Suatu episode / kejadian yang menarik dalam sejarah dari pelatihan Luther untuk Reformasi adalah kunjungannya ke Roma. ... Pada musim rontok pada tahun 1510, setelah perpindahannya ke Wittenberg, tetapi sebelum kelulusannya sebagai Doctor of Divinity, Luther diutus ke Roma ... Pada waktu Luther melihat kota kekal itu ia berlutut, mengangkat tangannya dan berteriak dengan emosionil, ‘Salam kepadamu, Roma kudus! Tiga kali kudus untuk darah dari para martir yang dicurahkan di sini’. ... ia lari, ‘seperti orang kudus yang gila’, melalui semua gereja-gereja dan ruangan-ruangan bawah tanah dan kuburan-kuburan bawah tanah dengan suatu iman tanpa keraguan kepada tradisi-tradisi yang didasarkan pada dongeng tentang relics dan mujijat-mujijat dari para martir. Ia berharap orang tuanya sudah mati supaya ia bisa menolong mereka keluar dari api penyucian dengan membacakan missa di tempat maha kudus, menurut kata-kata: ‘Diberkatilah ibu yang anaknya merayakan missa pada hari Sabtu di Santo Yohanes dari Lateran (sebuah istana di Roma)’. Dengan menggunakan lututnya ia menaiki 28 anak tangga dari Scala Santa yang terkenal (dikatakan bahwa Scala Santa itu telah dipindahkan dari Ruang Pengadilan Pontius Pilatus di Yerusalem), supaya ia bisa memastikan pengampunan dosa yang dilekatkan pada pelaksanaan pendisiplinan dirinya sejak jaman Paus Leo IV pada tahun 850, tetapi pada setiap langkah kata-kata Kitab Suci terngiang di telinganya sebagai suatu protes: ‘Orang benar akan hidup oleh iman’ (Ro 1:17). Jadi, pada puncak dari kebaktian keagamaannya ia meragukan kemujarabannya dalam memberikan damai pada hati nurani yang kacau.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 126-129.

Renungkan: kira-kira apa dasar Alkitabnya yang mengatakan orang naik tangga bisa diampuni dosa-dosanya????

SEDIKIT PEMBAHASAN TENTANG SCALA SANCTA.

Wikipedia (tentang Scala Sancta): “The Scala Sancta (English: Holy Stairs, Italian: Scala Santa) ... According to Roman Catholic tradition, the Holy Stairs are the steps leading up to thepraetorium of Pontius Pilate in Jerusalem on which Jesus Christ stepped on his way to trial during his Passion. The Stairs reputedly were brought to Rome by St. Helena in the fourth century. For centuries, the Scala Sancta has attracted Christian pilgrims who wish to honor the Passion of Jesus Christ. ... In the Roman Catholic Church, a plenary indulgence has been conceded for climbing the stairs on the knees. Pope Pius VII on 2 September 1817 granted those who ascend the Stairs in the prescribed manner an indulgence of nine years for every step. Finally, Pope St. Pius X, on 26 February 1908, conceded a plenary indulgence as often as the Stairs are devoutly ascended after Confession and Holy Communion. ... Martin Luther climbed these steps on his knees in 1510. As he did so, he repeated the Our Father on each step. It was said, by doing this work one could ‘redeem a soul from purgatory.’ But when Luther arrived at the top he could not suppress his doubt, ‘Who knows whether this is true?’” [= The Scala Sancta (Inggris: Holy Stairs / Tangga Kudus, Italia: Scala Santa) ... Menurut tradisi Roma Katolik, Tangga Kudus adalah anak-anak tangga yang mengarah pada praetorium / ruang pengadilan Pontius Pilatus di Yerusalem pada mana Yesus Kristus melangkah pada jalanNya pada pengadilan selama penderitaanNya. Tangga itu pada umumnya dianggap telah dibawa ke Roma oleh Santa Helena pada abad keempat. Selama berabad-abad, Tangga Kudus itu telah menarik peziarah-peziarah Kristen yang ingin menghormati Penderitaan Yesus Kristus. ... Dalam Gereja Roma Katolik, suatu pengampunan dosa yang lengkap / sempurna telah diberikan untuk menaiki tangga itu dengan menggunakan lutut. Paus Pius VII pada tanggal 2 September 1817 memberikan mereka yang menaiki Tangga itu dengan cara yang sudah ditetapkan suatu pengampunan dosa dari 9 tahun untuk setiap langkah. Akhirnya, Paus Santo Pius X, pada tanggal 26 Februari 1908, memberikan suatu pengampunan dosa yang lengkap / sempurna sesering Tangga itu dinaiki dengan sungguh-sungguh percaya setelah Sakramen Pengakuan dosa dan Perjamuan Kudus. ... Martin Luther menaiki anak-anak tangga dengan menggunakan lututnya pada tahun 1510. Pada saat ia melakukan hal itu, ia mengulang Doa Bapa Kami pada setiap langkah. Dikatakan, dengan melakukan pekerjaan ini seseorang bisa ‘menebus satu jiwa dari api penyucian’. Tetapi pada waktu Luther sampai pada puncak ia tidak bisa menekan keragu-raguannya, ‘Siapa tahu apakah ini benar?’] - https://en.wikipedia.org/wiki/Scala_Sancta

Dari sumber Katolik sendiri dikatakan sebagai berikut: “Scala Sancta (Holy Stairs) ... Consisting of twenty-eight white marble steps, at Rome, near the Lateran; according to tradition the staircase leading once to the prætorium of Pilate at Jerusalem, hence sanctified by the footsteps of Our Lord during his Passion. ... In its new site the Scala Sancta is flanked by four other stairs, two on each side, for common use, since the Holy Stairs may only be ascended on the knees, a devotion much in favour with pilgrims and the Roman faithful, especially on Fridays and in Lent. Not a few popesare recorded to have performed this pious exercise; ... Pius VII on 2 Sept., 1817 granted those who ascend the stairs in the prescribed manner an indulgence of nine years for every step. Finally Pius X, on 26 Feb., 1908, granted a plenary indulgence to be gained as often as the stairs are devoutly ascended after confession and communion.” [= Scala Sancta (Tangga Kudus) ... Terdiri dari 28 anak-anak tangga marmer putih, di Roma, dekat Lateran; menurut tradisi tangga yang pernah membimbing menuju Praetorium / gedung pengadilan Pilatus di Yerusalam (bdk. Mark 15:16),dan karena itu dikuduskan oleh langkah-langkah dari Tuhan kita selama masa penderitaanNya. ... Di tempatnya yang baru Scala Sancta itu diletakkan dekat dengan 4 tangga yang lain, 2 pada masing-masing sisi, untuk penggunaan biasa, karena Tangga Kudus itu hanya boleh dinaiki dengan menggunakan lutut, suatu pembaktian yang banyak diterima / dihormati oleh peziarah-peziarah dan orang-orang setia / percaya Roma, khususnya pada hari Jumat dan pada masa Lent. Tak sedikit Paus dicatat telah melaksanakan tindakan saleh ini; ... Paus Pius VII pada tanggal 2 September 1817 memberikan kepada mereka yang menaiki tangga ini dengan cara yang ditetapkan suatu pengampunan dosa dari 9 tahun untuk setiap langkah. Akhirnya Paus Pius X, pada tanggal 26 Februari 1908, memberikan suatu pengampunan dosa lengkap / penuh untuk didapatkan sesering tangga itu dinaiki secara berbakti setelah pengakuan dosa dan komuni.] - http://www.newadvent.org/cathen/13505a.htm

Catatan:

1. Lateran adalah nama beberapa bangunan di Roma.

Lengkapnya bisa dilihat di link ini: https://en.wikipedia.org/wiki/Lateran

2. Markus 15:16 - “Kemudian serdadu-serdadu membawa Yesus ke dalam istana, yaitu gedung pengadilan, dan memanggil seluruh pasukan berkumpul.”.

KJV: ‘praetorium’.

RSV/NIV/NASB: ‘the praetorium’.

3. Lent adalah masa 40 hari yang dimulai pada Rabu Abu, selama sekitar 6 minggu, sampai menjelang Paskah.

Dikatakan bahwa “The purpose of Lent is the preparation of the believer through prayer, doing penance, mortifying the flesh, repentance of sins, almsgiving, and self-denial. This event is observed in the Anglican, Eastern Orthodox, Lutheran, Methodist, and Roman Catholic Churches. Some Anabaptist and evangelical churches also observe the Lenten season.” [= Tujuan dari Lent adalah persiapan dari orang percaya melalui doa, melakukan pengakuan dosa, mematikan daging, pertobatan dari dosa-dosa, memberi sedekah, dan penyangkalan diri. Peristiwa ini dirayakan / diperingati dalam Gereja-gereja Anglikan, Ortodox Timur, Lutheran, Metodist, dan Roma Katolik. Sebagian gereja-gereja Anabaptist dan injili juga merayakan / memperingati masa Lent.] - https://en.wikipedia.org/wiki/Lent

Saya sendiri tidak gubris sama sekali hal ini.

4. Langkah-langkah Yesus menguduskan tangga? Adakah dasar Alkitabnya?

5. Dua Paus dalam urusan indulgence itu memberikan keputusan yang berbeda. Yang pertama pengurangan 9 tahun dalam setiap langkah dengan lutut, yang kedua pengampunan penuh. Yang mana yang benar???

David Schaff: “This doubt was strengthened by what he saw around him. He was ... shocked by the unbelief, levity and immorality of the clergy. Money and luxurious living seemed to have replaced apostolic poverty and self-denial. He saw nothing but worldly splendor at the court of Pope Julius II., ... He heard of the fearful crimes of Pope Alexander VI. and his family, which were hardly known and believed in Germany, but freely spoken of as undoubted facts in the fresh remembrance of all Romans. While he was reading one mass, a Roman priest would finish seven. ... He heard priests, when consecrating the elements, repeat in Latin the words: ‘Bread thou art, and bread thou shalt remain; wine thou art, and wine thou shalt remain.’ ... He was told that ‘if there was a hell, Rome was built on it,’ and that this state of things must soon end in a collapse.” [= Keraguan ini diperkuat oleh apa yang ia lihat di sekitarnya. Ia ... terkejut oleh ketidak-percayaan, ketidak-seriusan yang tidak pada tempatnya, dan ketidak-bermoralan dari para pemimpin rohani. Uang dan kehidupan yang mewah kelihatannya telah menggantikan kemiskinan dan penyangkalan diri rasuli. Ia tak melihat apapun kecuali kemegahan duniawi di istana dari Paus Julius II, ... Ia mendengar kejahatan-kejahatan yang menakutkan dari Paus Alexander VI dan keluarganya, yang hampir tak diketahui dan dipercayai di Jerman, tetapi dibicarakan secara bebas sebagai fakta-fakta yang tak diragukan dalam ingatan yang segar dari semua orang Roma. Pada waktu ia membacakan satu missa, seorang pastor Roma telah menyelesaikan tujuh missa. ... Ia mendengar pastor-pastor, pada waktu menguduskan elemen-elemen, mengulang dalam bahasa Latin kata-kata: ‘Engkau adalah roti, dan engkau tetap adalah roti; engkau adalah anggur, dan engkau tetap adalah anggur’. ... Ia diberitahu bahwa ‘jika di sana ada neraka, Roma dibangun di atasnya’, dan bahwa keadaan dari hal-hal ini pasti segera berakhir dalam keambrukan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 129-130.

V) Luther di Wittenberg & ‘persiapan’ untuk Reformasi.

1) Keadaan kota Wittenberg.

David Schaff: “Wittenberg was a poor and badly built town of about three thousand inhabitants in a dull, sandy, sterile plain on the banks of the Elbe, and owes its fame entirely to the fact that it became the nursery of the Reformation theology. Luther says that it lay at the extreme boundary of civilization, a few steps from barbarism, and speaks of its citizens as wanting in culture, courtesy and kindness. He felt at times strongly tempted to leave it. Melanchthon who came from the fertile Palatinate, complained that he could get nothing fit to eat at Wittenberg. Myconius, Luther’s friend, describes the houses as ‘small, old, ugly, low, wooden.’ Even the electoral castle is a very unsightly structure. The Elector laughed when Dr. Pollich first proposed the town as the seat of the new university. But Wittenberg was one of his two residences (the other being Torgau), had a new castle-church with considerable endowments and provision for ten thousand masses per annum and an Augustinian convent which could furnish a part of the teaching force, and thus cheapen the expenses of the institution.” [= Wittenberg adalah suatu kota miskin dan dibangun dengan buruk dengan sekitar 3000 penghuni di suatu dataran yang tidak menarik / tidak aktif, berpasir, tidak subur di tepi Sungai Elbe, dan berhutang kemasyhurannya sepenuhnya pada fakta bahwa itu menjadi tempat pertumbuhan / perkembangan dari theologia Reformasi. Luther berkata bahwa kota itu terletak di perbatasan yang extrim dari kebudayaan, beberapa langkah dari barbarisme / kebiadaban, dan berbicara tentang warganya sebagai kekurangan kebudayaan, kesopanan dan kebaikan. Kadang-kadang ia mempunyai perasaan yang kuat untuk meninggalkannya. Melanchthon yang datang dari kota Palatinate yang subur, mengeluh bahwa ia tidak bisa mendapatkan apapun yang cocok untuk dimakan di Wittenberg. Myconius, sahabat Luther, menggambarkan rumah-rumah sebagai ‘kecil, tua, jelek, rendah, dari kayu’. Bahkan benteng pemilihan / pemerintahan adalah suatu struktur yang sangat tidak menarik / tidak menyenangkan. Sang Pangeran tertawa ketika Dr. Pollich pertama-tama mengusulkan kota itu sebagai tempat dari Universitas yang baru. Tetapi Wittenberg adalah salah satu dari dua tempat (yang lain adalah Torgau), yang mempunyai suatu gereja-benteng yang baru dengan banyak dana dan penyuplaian untuk 10.000 missa per tahun dan suatu biara Augustinian yang bisa menyediakan sebagian tenaga pengajar, dan dengan demikian mempermurah pengeluaran dari institusi itu.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 134.

2) Universitas Wittenberg.

David Schaff: “The university was opened October 18, 1502. The organization was intrusted to Dr. Pollich, the first rector, who on account of his extensive learning was called ‘lux mundi,’ and who had accompanied the Elector on a pilgrimage to Jerusalem (1493), and to Staupitz, the first Dean of the theological faculty, who fixed his eye at once upon his friend Luther as a suitable professor of theology.” [= Universitas itu dibuka pada tanggal 18 Oktober tahun 1502. Pengorganisasiannya dipercayakan pada Dr. Pollich, rektor yang pertama, yang karena pembelajarannya yang luas / banyak disebut ‘lux mundi’, dan yang telah menemani Sang Pangeran dalam perjalanan ziarah ke Yerusalem (1493), dan pada Staupitz, dekan yang pertama dari fakultas theologia, yang segera mengarahkan matanya pada sahabatnya, Luther, sebagai seorang yang cocok untuk menjadi profesor theologia.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 134.

Catatan: ‘lux mundi’ = ‘light of the world’ / terang dunia.

3) Wittenberg dan kota-kota saingannya.

David Schaff: “Wittenberg had powerful rivals in the neighboring, older and better endowed Universities of Erfurt and Leipzig, but soon overshadowed them by the new theology. The principal professors were members of the Augustinian order, most of them from Tuebingen and Erfurt. The number of students was four hundred and sixteen in the first semester, then declined to fifty-five in 1505, partly in consequence of the pestilence, began to rise again in 1507, and when Luther and Melanchthon stood on the summit of their fame, they attracted thousands of pupils from all countries of Europe. Melanchthon heard at times eleven languages spoken at his hospitable table.” [= Wittenberg mempunyai saingan-saingan yang kuat di sekitarnya, Universitas-universitas Erfurt dan Leipzig yang lebih tua dan diperlengkapi dengan lebih baik, tetapi segera membuat mereka kurang penting oleh theologia yang baru itu. Profesor-profesor utama adalah anggota-anggota dari ordo Augustinian, kebanyakan dari mereka berasal dari Tuebingen dan Erfurt. Jumlah mahasiswa adalah 416 orang pada semester pertama, lalu menurun menjadi 55 pada tahun 1505, sebagian karena wabah, lalu mulai naik lagi pada tahun 1507, dan pada waktu Luther dan Melanchthon berdiri pada puncak kejayaan mereka, mereka menarik ribuan murid dari semua negara Eropah. Melanchthon kadang-kadang mendengar 11 bahasa digunakan di meja tamu / penerimaannya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 134-135.

4) Luther dipanggil ke Wittenberg.

David Schaff: “Luther was suddenly called by Staupitz from the Augustinian Convent of Erfurt to that of Wittenberg with the expectation of becoming at the same time a lecturer in the university. He arrived there in October, 1508, was called back to Erfurt in autumn, 1509, was sent to Rome in behalf of his order, 1510, returned to Wittenberg, 1511, and continued there till a few days before his death, 1546.” [= Luther mendadak dipanggil oleh Staupitz dari biara Augustinian di Erfurt ke biara Wittenberg dengan pengharapan pada saat yang sama menjadi seorang pengajar di Universitas. Ia sampai di sana dalam bulan Oktober tahun 1508, dipanggil kembali ke Erfurt pada musim rontok tahun 1509, diutus ke Roma demi kepentingan ordonya pada tahun 1510, kembali ke Wittenberg pada tahun 1511, dan terus di sana sampai beberapa hari sebelum kematiannya pada tahun 1546.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 135.


David Schaff: “He lived in the convent, even after his marriage. ... The lowliness of his work-shop forms a sublime contrast to the grandeur of his work. From their humble dwellings Luther and Melanchthon exerted a mightier influence than the contemporary popes and kings from their gorgeous palaces.” [= Ia tinggal di biara, bahkan setelah pernikahannya. ... Kerendahan dari tempat kerjanya membentuk suatu kontras yang mengesankan dengan kemegahan dari pekerjaannya. Dari tempat tinggalnya yang rendah, Luther dan Melanchthon menghasilkan suatu pengaruh yang lebih hebat dari pada paus-paus dan raja-raja yang sejaman dari istana-istana indah mereka.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 135-136.

Catatan: pendeta memang perlu perlengkapan, tetapi yang terpenting adalah orangnya adalah orang yang bagaimana. Banyak pendeta, yang sekalipun diberi perlengkapan yang terbaik, dan buku-buku sebanyak satu perpustakaan, tetap tidak belajar, dan tetap tidak menghasilkan apa-apa.

5) Pelayanan Luther di Wittenberg.

David Schaff: “With the year 1512 his academic teaching began in earnest and continued till 1546, at first in outward harmony with the Roman church, but afterward in open opposition to it.”[= Pada tahun 1512 pengajaran akademisnya mulai serius dan berlanjut sampai tahun 1546, mula-mula dalam keharmonisan lahiriah dengan Gereja Roma, tetapi belakangan dalam pertentangan terbuka dengannya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 137.

David Schaff: “Although a doctor of divinity, he relied for several years almost exclusively on the Latin version of the Scriptures. Very few professors knew Greek, and still less, Hebrew. Luther had acquired a superficial idea of Hebrew at Erfurt from Reuchlin’s Rudimenta Hebraica. The Greek he learned at Wittenberg, we do not know exactly when, mostly from books and from his colleagues, Johann Lange and Melanchthon. As late as Feb. 18th, 1518, he asked Lange, ‘the Greek,’ a question about the difference between ἀνάθημα and ἀνάθεμα, and confessed that he could not draw the Greek letters. His herculean labor in translating the Bible forced him into a closer familiarity with the original languages, though he never attained to mastery. As a scholar he remained inferior to Reuchlin or Erasmus or Melanchthon, but as a genius he was their superior, and as a master of his native German he had no equal in all Germany. Moreover, he turned his knowledge to the best advantage, and always seized the strong point in controversy. He studied with all his might and often neglected eating and sleeping.” [= Sekalipun ia adalah seorang Doctor of Divinity, ia bersandar untuk beberapa tahun hampir secara exclusive / sepenuhnya pada versi Latin dari Kitab Suci. Sangat sedikit profesor mengerti bahasa Yunani, dan lebih sedikit lagi, bahasa Ibrani. Luther telah mendapatkan suatu pengertian yang dangkal tentang bahasa Ibrani di Erfurt dari Reuchlin’s Rudimenta Hebraica. Bahasa Yunani ia pelajari di Wittenberg, kami tidak tahu kapan persisnya, mayoritas dari buku-buku dan dari rekan-rekannya, Johann Lange dan Melanchthon. Sampai sangat belakangan, pada tanggal 18 Februari 1518, ia bertanya kepada Lange, ‘bahasa Yunani’, suatu pertanyaan tentang perbedaan antara ἀνάθημα dan ἀνάθεμα, dan mengakui bahwa ia tidak bisa menggambar / menulis huruf-huruf Yunani. Jerih payahnya yang sangat besar dalam menterjemahkan Alkitab memaksanya ke dalam keakraban yang lebih dekat dengan bahasa-bahasa asli, sekalipun ia tidak pernah mencapai penguasaan / keahlian yang baik. Sebagai seorang sarjana / seorang yang terpelajar ia tetap menjadi seorang yang lebih rendah dibanding dengan Reuchlin atau Erasmus atau Melanchthon, tetapi sebagai seorang genius ia lebih tinggi dari mereka, dan sebagai seorang penguasa dari bahasa kelahirannya Jerman tak ada yang setara dengan dia di seluruh Jerman. Lebih lagi, ia menggunakan pengetahuannya pada manfaat yang terbaik, dan selalu memfokuskan perhatian pada titik kuat dalam kontroversi / perdebatan. Ia belajar dengan sepenuh kekuatannya dan sering mengabaikan makan dan tidur.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 138.

Catatan:

a) ἀνάθημα (ANATHEEMA) artinya ‘votive gift, offering’ [= pemberian sebagai penggenapan nazar, korban / persembahan].

b) ἀνάθεμα (ANATHEMA) artinya ‘cursed, under a curse of God’ [= terkutuk, di bawah suatu kutuk dari Allah].

David Schaff: “Luther opened his theological teaching with David and Paul, who became the pillars of his theology. The Psalms and the Epistles to the Romans and Galatians remained his favorite books. His academic labors as a commentator extended over thirty-three years, from 1513 to 1546, his labors as a reformer embraced only twenty-nine years, from 1517 to 1546. Beginning with the Psalms, 1513, he ended with Genesis, November 17th, 1545, three months before his death.” [= Luther membuka / memulai pengajaran theologianya dengan Daud dan Paulus, yang menjadi tiang-tiang utama dalam theologianya. Mazmur dan Surat-surat Roma dan Galatia tetap merupakan kitab-kitab favoritnya. Jerih payah akademisnya sebagai seorang penafsir mencapai lebih dari 33 tahun, dari tahun 1513 sampai 1546, jerih payahnya sebagai seorang Tokoh Reformasi mencakup hanya 29 tahun, dari tahun 1517 sampai 1546. Mulai dengan kitab Mazmur, pada tahun 1513, ia mengakhiri dengan kitab Kejadian, tanggal 17 Nopember 1545, 3 bulan sebelum kematiannya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 138.

Renungkan: tanpa banyak belajar, tidak mungkin Luther bisa menjadi seorang tokoh yang luar biasa seperti itu. Ini perlu diperhatikan, dan ditiru oleh pendeta, yang hanya belajar sedikit atau nol, dan banyak ‘cari duit’!


David Schaff: “These exegetical lectures made a deep impression. They were thoroughly evangelical, without being anti-catholic.” [= Pelajaran-pelajaran exegesis ini membuat kesan yang dalam. Mereka sepenuhnya injili, tanpa menjadi anti Katolik.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 141.

Catatan: kata-kata ini sebetulnya tidak masuk akal. Mungkin maksudnya ‘tak menyerang Katolik’. Saya berpendapat ini memang harus dilakukan, bukan karena takut, tetapi supaya injil bisa diberitakan. Pada waktu melayani gereja yang kacau balau dalam theologia, kita bisa memberitakan Injil saja, tanpa menyerang kebrengsekan gereja itu. Tetapi memang hal seperti ini tak bisa berlangsung selamanya.

David Schaff: “Luther and Mysticism. ... There are various types of mysticism, orthodox and heretical, speculative and practical. Luther came in contact with the practical and catholic type through Staupitz and the writings of St. Augustin, St. Bernard, and Tauler. It deepened and spiritualized his piety and left permanent traces on his theology. ... But mysticism alone could not satisfy him, especially after the Reformation began in earnest. It was too passive and sentimental and shrunk from conflict. It was a theology of feeling rather than of action. Luther was a born fighter, and waxed stronger and stronger in battle. His theology is biblical, with such mystic elements as the Bible itself contains.” [= Luther dan Mysticisme. ... Ada bermacam-macam jenis dari Mysticisme, ortodox dan bersifat bidat, bersifat spekulasi dan praktis. Luther mendapatkan kontak dengan jenis yang bersifat praktis dan Katolik melalui Staupitz dan tulisan-tulisan dari Santo Agustinus, Santo Bernard, dan Tauler. Itu memperdalam dan merohanikan kesalehannya dan meninggalkan jejak-jejak permanen pada theologianya. ... Tetapi hanya Mysticisme tidak bisa memuaskan dia, khususnya setelah Reformasi mulai menjadi serius. Itu terlalu pasif dan sentimentil / bersifat perasaan dan mengkerut dari konflik. Itu lebih merupakan suatu theologia dari perasaan dari pada dari tindakan. Luther adalah seorang yang dilahirkan sebagai pejuang, dan bertambah kuat dalam pertempuran. Theologianya Alkitabiah, dengan elemen-elemen mistik seperti yang ada dalam Alkitab sendiri.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 141,142.

Catatan: kata ‘mysticism’ diterjemahkan ‘kebatinan’ dalam bahasa Indonesia.

Dalam Free Dictionary diterjemahkan: “Belief in direct experience of transcendent reality or God, especially by means of contemplation and asceticism instead of rational thought.” [= Kepercayaan dalam pengalaman langsung tentang kenyataan transenden atau Allah, khususnya dengan cara perenungan dan pertapaan dan bukannya dengan pemikiran rasionil.].

Yang ingin mempelajari lebih lanjut tentang ‘mysticism’ ini bisa membacanya dalam link ini: https://en.wikipedia.org/wiki/Christian_mysticism

6) ‘Persiapan’ untuk Reformasi.

David Schaff: “Luther was now approaching the prime of manhood. He was the shining light of the young university, and his fame began to spread through Germany. But he stood not alone. He had valuable friends and co-workers such as Dr. Wenzeslaus Link, the prior of the convent, and John Lange, who had a rare knowledge of Greek. Carlstadt also, his senior colleague, was at that time in full sympathy with him. Nicolaus von Amsdorf, of the same age with Luther, was one of his most faithful adherents, but more influential in the pulpit than in the chair. Christoph Scheurl, Professor of jurisprudence, was likewise intimate with Luther. Nor must we forget Georg Spalatin, who did not belong to the university, but had great influence upon it as chaplain and secretary of the Elector Frederick, and acted as friendly mediator between him and Luther. The most effective aid the Reformer received, in 1518, in the person of Melanchthon.” [= Sekarang Luther mendekati masa puncak dari kematangan / kedewasaan. Ia adalah terang yang bersinar dari Universitas muda itu, dan kemasyhurannya mulai tersebar di seluruh Jerman. Tetapi ia tidak berdiri sendirian. Ia mempunyai teman-teman yang berharga dan rekan-rekan sekerja seperti Dr. Wenzeslaus Link, pendahulunya dari biara, dan John Lange, yang mempunyai pengetahuan yang jarang tentang bahasa Yunani. Juga Carlstadt, rekan seniornya, pada saat itu bersimpati secara penuh dengan dia. Nicolaus von Amsdorf, berusia sama dengan Luther, adalah salah satu dari pendukung-pendukungnya yang paling setia, tetapi lebih berpengaruh di mimbar dari pada di kursi. Christoph Scheurl, Professor filsafat / ilmu hukum, juga akrab dengan Luther. Dan kita tidak boleh melupakan Georg Spalatin, yang tidak termasuk dalam Universitas, tetapi mempunyai pengaruh yang besar padanya sebagai anggota pimpinan rohani dan sekretaris dari Pangeran Frederick, dan bertindak sebagai pengantara yang bersahabat antara dia dengan Luther. Penolong yang paling efektif diterima oleh sang Reformator, pada tahun 1518, dalam diri dari Melanchthon.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 143-144.

Dari kutipan di atas ini bisa kita pelajari bahwa dalam terjadinya suatu gerakan rohani yang besar seperti ini, tokoh seperti Luther membutuhkan orang-orang, yang pada umumnya di belakang layar, yang membantu dia. Dan pada jaman sekarang atau jaman kapanpun juga sama. Tuhan sering menggunakan satu orang yang ditonjolkan, dan banyak orang di belakang layar, untuk membantu orang itu. Kalau orang-orang di belakang layar itu tak mau bekerja, semua itu tak akan terjadi.

David Schaff: “The working forces of the Reformation were thus fully prepared and ready for action. The scholastic philosophy and theology were undermined, and a biblical, evangelical theology ruled in Wittenberg. It was a significant coincidence, that the first edition of the Greek Testament was published by Erasmus in 1516, just a year before the Reformation.” [= Jadi kekuatan bekerja dari Reformasi dipersiapkan secara penuh dan siap untuk beraksi. Filsafat dan theologia scholastic (Katolik) dilemahkan secara bertahap, dan suatu theologia yang Alkitabiah dan injili memerintah / menguasai di Wittenberg. Merupakan suatu kebetulan yang berarti, bahwa edisi pertama dari Perjanjian Baru bahasa Yunani dipublikasikan oleh Erasmus pada tahun 1516, hanya satu tahun sebelum Reformasi.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 144.

David Schaff: “Luther had as yet no idea of reforming the Catholic church, and still less of separating from it. All the roots of his life and piety were in the historic church, and he considered himself a good Catholic even in 1517, and was so in fact. He still devoutly prayed to the Virgin Mary from the pulpit; he did not doubt the intercession of saints in heaven for the sinners on earth; he celebrated mass with full belief in the repetition of the sacrifice on the cross and the miracle of transubstantiation; he regarded the Hussites as ‘sinful heretics’ for breaking away from the unity of the church and the papacy which offered a bulwark against sectarian division.” [= Luther belum / tidak mempunyai pemikiran tentang mereformasi gereja Katolik, dan lebih-lebih memisahkan diri darinya. Semua akar dari kehidupan dan kesalehannya ada dalam gereja yang dikenal, dan ia menganggap dirinya sendiri seorang Katolik yang baik bahkan pada tahun 1517, dan dalam faktanya memang demikian. Ia tetap secara berbakti berdoa kepada Perawan Maria dari mimbar; ia tidak meragukan pengantaraan dari santo-santo (atau santa-santa) di surga untuk orang-orang berdosa di bumi; ia melaksanakan missa dengan kepercayaan penuh dalam pengulangan pengorbanan di salib dan mujijat transubstantiation; ia menganggap para pengikut John Huss sebagai ‘bidat-bidat / orang-orang sesat berdosa’ karena memisahkan diri dari kesatuan gereja dan kepausan yang menawarkan suatu benteng terhadap perpecahan yang bersifat sekte.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 144.

Catatan: doktrin Perjamuan Kudus dalam Gereja Katolik disebut ‘transubstantiation’ [= a change of substance {= perubahan zat}] karena mereka percaya bahwa dalam Perjamuan Kudus itu, roti dan anggur betul-betul berubah menjadi tubuh dan darah Kristus, tetapi penampilannya / kelihatannya, baunya, rasanya tetap seperti roti dan anggur. Ini dianggap sebagai mujijat. Saya tidak mempercayai doktrin ini sama sekali.

David Schaff: “But by the leading of Providence he became innocently and reluctantly a Reformer. A series of events carried him irresistibly from step to step, and forced him far beyond his original intentions. Had he foreseen the separation, he would have shrunk from it in horror. ... This is the case with all men of Providence: they are led by a divine hand while they are leading their fellow-men.” [= Tetapi oleh bimbingan dari Providensia ia menjadi seorang tokoh Reformasi dengan tak bersalah dan dengan segan. Suatu seri peristiwa membawa dia secara tak bisa ditahan dari langkah ke langkah, dan memaksa dia jauh melebihi maksud-maksud orisinilnya. Andaikata ia melihat lebih dulu perpisahan /. perpecahan itu, ia akan sudah mengkerut darinya dalam ketakutan. ... Ini adalah kasus dari semua orang dari Providensia: mereka dibimbing oleh suatu tangan Ilahi pada waktu mereka memimpin sesama manusia mereka.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 144-145.

Catatan: ini mirip seperti kasus dari Pdt. Esra Alfred Soru dari Kupang, pada waktu keluar dari GMIT dan akhirnya mendirikan GKIN Revival. Ia tidak ingin, dan dengan segan, melakukan hal itu.

VI) Penjualan surat pengampunan dosa.

1) Asal usul penjualan surat pengampunan dosa.

David Schaff: “In the legal language of Rome, INDULGENTIA is a term for amnesty or remission of punishment. In ecclesiastical Latin, an INDULGENCE means the remission of the temporal (not the eternal) punishment of sin (not of sin itself), on condition of penitence and the payment of money to the church or to some charitable object. It may be granted by a bishop or archbishop within his diocese, while the Pope has the power to grant it to all Catholics. The practice of indulgences grew out of a custom of the Northern and Western barbarians to substitute pecuniary compensation for punishment of an offense. The church favored this custom in order to avoid bloodshed, but did wrong in applying it to religious offenses. Who touches money touches dirt; and the less religion has to do with it, the better. The first instances of such pecuniary compensations occurred in England under Archbishop Theodore of Canterbury (d. 690). The practice rapidly spread on the Continent, and was used by the Popes during and after the crusades as a means of increasing their power. It was justified and reduced to a theory by the schoolmen, especially by Thomas Aquinas, in close connection with the doctrine of the sacrament of penance and priestly absolution.” [= Dalam bahasa hukum dari Roma (Katolik), INDULGENTIA adalah suatu istilah untuk pengampunan atau pengurangan hukuman. Dalam gereja Latin, suatu INDULGENCE berarti pengurangan dari hukuman sementara (bukan hukuman kekal) dari dosa (bukan dari dosa itu sendiri), dengan syarat pertobatan dan pembayaran uang kepada gereja atau suatu tujuan / obyek kasih. Itu bisa diberikan oleh seorang uskup atau uskup agung di dalam keuskupannya, sedangkan Paus mempunyai kuasa untuk memberikannya kepada semua orang Katolik. Praktek indulgence / pengampunan dosa muncul dari suatu tradisi / kebiasaan dari bangsa barbar di Utara dan Barat untuk menggantikan kompensasi pembayaran uang untuk hukuman dari suatu pelanggaran. Gereja menyetujui tradisi / kebiasaan ini untuk menghindari pertumpahan darah, tetapi melakukan hal yang salah dalam menerapkannya pada pelanggaran-pelanggaran agamawi. Siapa menyentuh uang menyentuh kotoran; dan makin sedikit agama berurusan dengannya, makin baik. Contoh pertama dari kompensasi pembayaran uang seperti itu terjadi di Inggris di bawah Uskup Agung Theodore dari Canterbury (mati tahun 690). Praktek ini menyebar dengan cepat di Benua, dan digunakan oleh Paus-Paus selama dan setelah perang salib sebagai suatu cara meningkatkan kuasa mereka. Itu dibenarkan dan disederhanakan / diatur secara sistimatis oleh sarjana-sarjana, khususnya oleh Thomas Aquinas, dalam hubungan yang dekat dengan doktrin dari sakramen pengakuan dosa dan pengampunan dari imam / pastor.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 147.

David Schaff: “The sacrament of penance includes three elements, - contrition of the heart, confession by the mouth (to the priest), and satisfaction by good works, such as prayer, fasting, almsgiving, pilgrimages, all of which are supposed to have an atoning efficacy. God forgives only the eternal punishment of sin, and he alone can do that; but the sinner has to bear the temporal punishments, either in this life or in purgatory; and these punishments are under the control of the church or the priesthood, especially the Pope as its legitimate head. There are also works of supererogation, performed by Christ and by the saints, with corresponding extra-merits and extra-rewards; and these constitute a rich treasury from which the Pope, as the treasurer, can dispense indulgences for money. This papal power of dispensation extends even to the departed souls in purgatory, whose sufferings may thereby be abridged. This is the scholastic doctrine.” [= Sakramen pengakuan dosa mencakup 3 elemen, - penyesalan / pertobatan dari hati, pengakuan dengan mulut (kepada imam / pastor), dan kompensasi / perbaikan oleh perbuatan-perbuatan baik, seperti doa, puasa, pemberian sedekah, perjalanan ziarah, SEMUA INI DIANGGAP MEMPUNYAI KEMUJARABAN PENEBUSAN. ALLAH HANYA MENGAMPUNI HUKUMAN KEKAL DARI DOSA, DAN HANYA DIA BISA MELAKUKAN ITU; TETAPI ORANG BERDOSA ITU HARUS MENANGGUNG HUKUMAN SEMENTARA, ATAU DALAM HIDUP INI ATAU DALAM API PENYUCIAN; DAN HUKUMAN-HUKUMAN INI ADA DI BAWAH KONTROL DARI GEREJA ATAU KEIMAMAN / IMAMAT, KHUSUSNYA PAUS SEBAGAI KEPALANYA YANG SAH. Di sana juga ada perbuatan-perbuatan baik yang melebihi ketentuan / tuntutan, dilakukan oleh Kristus dan oleh orang-orang kudus (santo-santo), dengan jasa extra dan upah / pahala extra yang sesuai; dan ini membentuk suatu simpanan / dana yang kaya, dari mana Paus, sebagai bendahara / orang yang berwenang atas simpanan / dana tersebut, bisa memberikan pengampunan dosa untuk uang. Kuasa kepausan untuk memberikan pengampunan dari dana ini meluas bahkan pada jiwa-jiwa yang telah mati dalam api penyucian, yang penderitaannya bisa dengan itu dipersingkat. Ini adalah doktrin scholastic (Katolik).] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 147-148.

Ini harus menjadi peringatan bagi kita. Adanya suatu doktrin yang salah / sesat bisa menyebabkan dibangunnya doktrin lain yang lebih salah lagi di atasnya. Dengan demikian sebuah gereja bisa makin lama makin salah / sesat. Karena itu semua gereja / pendeta harus waspada terhadap setiap ajaran yang salah / sesat.

2) Pembangunan gereja / katedral di Roma.

David Schaff: “St. Peter’s Dome is at once the glory and the shame of papal Rome. It was built over the bones of the Galilaean fisherman, with the proceeds from the sale of indulgences which broke up the unity of Western Christendom. The magnificent structure was begun in 1506 under Pope Julius II., and completed in 1626 at a cost of forty-six millions scudi, and is kept up at an annual expense of thirty thousand scudi (dollars).” [= Kathedral Santo Petrus sekaligus merupakan kemuliaan / kemegahan dan sesuatu yang memalukan dari kepausan Roma. Itu dibangun di atas tulang-tulang dari nelayan-nelayan Galilea, dengan banyak uang dari penjualan surat pengampunan dosa yang memecah kesatuan kekristenan Barat. Bangunan yang megah itu mulai dibangun pada tahun 1506 di bawah Paus Julius II, dan diselesaikan pada tahun 1526 dengan biaya 46 juta scudi, dan dipelihara dengan biaya tahunan 30 ribu scudi (dollar).] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 146.

Catatan:

a) Saya tidak terlalu mengerti apa yang Schaff maksudkan dengan ‘nelayan-nelayan Galilea’. Orang-orang miskin?

b) Kalau dilihat dalam kamus di internet, scudi (bentuk jamak dari scudo) bukan dollar, tetapi mata uang di Italia pada saat itu.

Penerapan: berhati-hatilah dalam membangun gereja yang megah, karena membutuhkan banyak uang untuk membangunnya maupun untuk memeliharanya, dan ini bisa mendorong gereja itu untuk melakukan praktek-praktek yang salah untuk mendapatkan uang yang dibutuhkan itu. Bisa dengan secara memalukan ‘mengemis’ tiap Minggu dari mimbar, atau ‘menodong’ jemaat-jemaat yang kaya untuk memberi persembahan, atau mengadakan acara-acara dengan tiket yang harganya selangit, menjual buku-buku dan DVD dengan harga yang mencekik, dan sebagainya. Bagi saya, gereja yang sederhana, tanpa praktek-praktek terkutuk seperti itu, jauh lebih baik.

David Schaff: “The rebuilding of St. Peter’s Church in Rome furnished an occasion for the periodical exercise of the papal power of granting indulgences. Julius II. and Leo X., two of the most worldly, avaricious, and extravagant Popes, had no scruple to raise funds for that object, and incidentally for their own aggrandizement, from the traffic in indulgences. Both issued several bulls to that effect. Spain, England, and France ignored or resisted these bulls for financial reasons, refusing to be taxed for the benefit of Rome. But Germany, under the weak rule of Maximilian, yielded to the papal domination.” [= Pembangunan ulang / renovasi dari Gereja Santo Petrus di Roma menyediakan suatu peristiwa untuk pelaksanaan secara periodik dari kuasa kepausan tentang pemberian pengampunan dosa. Julius II dan Leo X, dua dari Paus-Paus yang paling duniawi, tamak, dan boros, tidak mempunyai keberatan untuk menggalang dana untuk tujuan itu, dan terpisah dari tujuan utama, untuk peningkatan kekayaan mereka sendiri, dari perdagangan pengampunan dosa. Keduanya mengeluarkan beberapa dokumen resmi yang menghasilkan hal itu. Spanyol, Inggris, dan Perancis mengabaikan atau menentang dokumen-dokumen resmi itu dengan alasan keuangan, menolak untuk dipajak untuk keuntungan Roma. Tetapi Jerman, di bawah pemerintahan yang lemah dari Maximilian, menyerah pada dominasi kepausan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 149-150.

3) Ajaran yang sebenarnya dan ajaran yang dimengerti oleh orang-orang pada umumnya tentang surat pengampunan dosa.

Dr. Albert H. Freundt Jr.: “Indulgences had been granted by papal dispensation to crusaders, to pilgrims, and finally to any who contributed to some such cause as building a church. Indulgences were very lucrative. The revenue which they brought was greatly increased in the fifteenth century by the popular belief that an indulgence could not only assure divine forgiveness of sins with a minimum of contrition, but also release the souls of the dead from purgatory. The best teaching of the church insisted on the necessity of full contrition and was very cautious about asserting the Pope’s power over purgatory. But extravagant claims were made by some. Now subtle theologians could make a distinction between selling indulgences and making a contribution toward the penalty for sin and securing the forgiveness of sins. In practice, however, ignorant people could not help thinking that they were buying forgiveness for themselves or for their loved ones in the hereafter, or at least that by their generosity they were doing a good work which the Pope declared to be effective toward forgiveness in the hereafter. ” [= Pengampunan dosa telah diberikan oleh sistim kepausan kepada tentara pada perang salib / para penentang, kepada peziarah-peziarah, dan akhirnya kepada siapapun yang memberi sumbangsih pada perkara seperti pembangunan sebuah gereja. Pengampunan dosa adalah sangat menguntungkan / menghasilkan uang. Pemasukan yang mereka bawa sangat meningkat pada abad ke 15 olehKEPERCAYAAN POPULER bahwa suatu pengampunan dosa bukan hanya memastikan pengampunan ilahi tentang dosa-dosa dengan pertobatan yang minimum, tetapi juga melepaskan jiwa-jiwa orang mati dari api penyucian. Pengajaran terbaik dari gereja BERKERAS PADA PERLUNYA PERTOBATAN PENUH dan sangat berhati-hati tentang menyatakan / meneguhkan kuasa Paus atas api penyucian. Tetapi claim-claim yang melampaui batasan dibuat oleh beberapa orang. Para ahli theologia yang pandai (pada saat itu) bisa membuat suatu perbedaan antara penjualan pengampunan dosa dan membuat suatu kontribusi berhubungan dengan hukuman dosa dan memastikan pengampunan dosa. Tetapi DALAM PRAKTEKNYA, orang-orang yang tidak mempunyai pengertian tidak bisa terhindar dari pemikiran bahwa mereka sedang membeli pengampunan untuk diri mereka sendiri atau untuk orang-orang yang mereka cintai di alam baka, atau setidaknya bahwa oleh kemurahan hati mereka mereka sudah melakukan suatu perbuatan baik yang Paus nyatakan sebagai efektif berhubungan dengan pengampunan di alam baka.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 28.

Perbedaan antara ajaran yang sebenarnya dengan apa yang ditangkap / dimengerti oleh jemaat awam, lebih-lebih kalau ada orang-orang kurang ajar yang mengextrimkan ajaran yang sebenarnya itu, merupakan sesuatu yang sangat sering terjadi. Karena itu, semua pendeta / pengkhotbah / pengajar harus berhati-hati dalam mengajar, dan menekankan hal-hal tertentu, supaya jangan muncul hal-hal seperti ini. Ini secara khusus harus diperhatikan dan diwaspadai pada waktu mengajarkan doktrin-doktrin yang memang mudah diselewengkan / disalah-gunakan, seperti doktrin Predestinasi, Providensia Allah, bahkan doktrin keselamatan / pembenaran oleh iman saja!

4) Reaksi terhadap penjualan surat pengampunan dosa.

David Schaff: “The granting of indulgences degenerated, after the time of the crusades, into a regular traffic, and became a source of ecclesiastical and monastic wealth. A good portion of the profits went into the papal treasury. ... The idea of selling and buying by money the remission of punishment and release from purgatory was acceptable to ignorant and superstitious people, but revolting to sound moral feeling. It roused, long before Luther, the indignant protest of earnest minds, such as Wiclif in England, Hus in Bohemia, John von Wesel in Germany, John Wessel in Holland, Thomas Wyttenbach in Switzerland, but without much effect.” [= Pemberian pengampunan dosa memburuk secara moral, setelah jaman / masa dari penentang-penentang, menjadi suatu perdagangan, dan menjadi suatu sumber kekayaan gereja dan biara. Suatu bagian yang besar dari keuntungan masuk ke dalam dana kepausan. ... Gagasan tentang penjualan dan pembelian pengurangan hukuman dan pembebasan dari api penyucian dengan uang bisa diterima oleh orang-orang yang tak mempunyai pengertian dan percaya takhyul, tetapi menjijikkan bagi perasaan moral yang sehat. Itu membangkitkan, jauh sebelum Luther, protes kemarahan dari pikiran-pikiran yang sungguh-sungguh / tulus, seperti Wycliffe di Inggris, Hus di Bohemia, John von Wesel di Jerman, John Wessel di Belanda, Thomas Wyttenbach di Swiss, tetapi tanpa banyak hasil.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 148.

Tetzel dan penjualan surat pengampunan dosa.

1) Siapa Tetzel itu?

David Schaff: “The Archbishop appointed Johann Tetzel (Diez) of the Dominican order, his commissioner, who again employed his sub-agents.” [= Uskup Agung menetapkan Johann Tetzel (Diez) dari ordo Dominican, anggota komisinya, yang lalu mempekerjakan agen-agen bawahan.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 151.

David Schaff: “Tetzel was born between 1450 and 1460, at Leipzig, and began his career as a preacher of indulgences in 1501. He became famous as a popular orator and successful hawker of indulgences. He was prior of a Dominican convent, doctor of philosophy, and papal inquisitor (haereticae pravitatis inquisitor). At the end of 1517 he acquired in the University of Frankfurt-on-the-Oder the degree of Licentiate of Theology, and in January, 1518, the degree of Doctor of Theology, by defending, in two disputations, the doctrine of indulgences against Luther. He died at Leipzig during the public debate between Eck and Luther, July, 1519. He is represented by Protestant writers as an ignorant, noisy, impudent, and immoral charlatan, who was not ashamed to boast that he saved more souls from purgatory by his letters of indulgence than St. Peter by his preaching. On the other hand, Roman Catholic historians defend him as a learned and zealous servant of the church. He has only an incidental notoriety, and our estimate of his character need not affect our views on the merits of the Reformation. We must judge him from his published sermons and anti-theses against Luther. They teach neither more nor less than the usual scholastic doctrine of indulgences based on an extravagant theory of papal authority. He does not ignore, as is often asserted, the necessity of repentance as a condition of absolution. But he probably did not emphasize it in practice, and gave rise by unguarded expressions to damaging stories. His private character was certainly tainted, if we are to credit such a witness as the papal nuncio, Carl von Miltitz, who had the best means of information, and charged him with avarice, dishonesty, and sexual immorality.” [= Tetzel dilahirkan antara 1450 dan 1460, di Leipzig, dan memulai karirnya sebagai seorang pengkhotbah dari pengampunan dosa pada tahun 1501. Ia menjadi terkenal sebagai seorang orator yang populer dan penjual agresif yang sukses dari pengampunan dosa. Ia adalah petugas / pejabat biara dari suatu biara Dominican, Doktor filsafat, dan penyelidik kesesatan dari kepausan (haereticae pravitatis inquisitor). Pada akhir dari tahun 1517 ia mendapatkan di Universitas Frankfurt-on-the-Oder gelar Licentiate of Theology, dan pada Januari 1518, gelar Doktor of Theology, dengan mempertahankan, dalam dua perdebatan, doktrin pengampunan dosa terhadap / melawan Luther. Ia mati di Leipzig dalam debat umum antara Eck dan Luther, pada bulan Juli 1519. Ia digambarkan oleh penulis-penulis Protestan sebagai seorang penjual obat palsu yang bodoh, ribut / banyak bicara, kurang ajar, dan tak bermoral, yang tidak malu untuk membanggakan bahwa ia menyelamatkan lebih banyak jiwa dari api penyucian dengan surat-surat pengampunan dosanya dari pada Santo Petrus dengan khotbahnya. Di sisi lain, ahli-ahli sejarah Roma Katolik membela / mempertahankan dia sebagai seorang pelayan gereja yang terpelajar dan bersemangat. Ia hanya mempunyai keterkenalan yang buruk sekali-sekali, dan penilaian kita tentang karakternya tidak perlu mempengaruhi pandangan-pandangan kita tentang jasa-jasa dari Reformasi. Kita harus menilai dia dari khotbah-khotbahnya yang dipublikasikan, dan anti thesisnya terhadap / menentang Luther. Mereka mengajar tak lebih atau kurang dari doktrin Katolik umum / biasa tentang pengampunan dosa yang didasarkan pada suatu teori berlebihan tentang otoritas kepausan. Ia tidak mengabaikan, seperti sering dinyatakan, perlunya pertobatan sebagai suatu syarat dari pengampunan. Tetapi mungkin ia tidak menekankannya dalam prakteknya, dan oleh ungkapan-ungkapan yang tak dijaga menimbulkan cerita-cerita yang merusak. Karakter moralnya pasti bercacat, jika kita mau mempercayai saksi seperti wakil Paus, Carl von Militz, yang mempunyai jalan informasi yang terbaik, dan menuduh dia dengan ketamakan, ketidak-jujuran, dan ketidak-bermoralan dalam hal sex.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 151-153.

David Schaff: “Tetzel traveled with great pomp and circumstance through Germany, and recommended with unscrupulous effrontery and declamatory eloquence the indulgences of the Pope to the large crowds who gathered from every quarter around him. He was received like a messenger from heaven. Priests, monks, and magistrates, men and women, old and young, marched in solemn procession with songs, flags, and candles, under the ringing of bells, to meet him and his fellow-monks, and followed them to the church; the papal Bull on a velvet cushion was placed on the high altar, a red cross with a silken banner bearing the papal arms was erected before it, and a large iron chest was put beneath the cross for the indulgence money. Such chests are still preserved in many places. The preachers, by daily sermons, hymns, and processions, urged the people, with extravagant laudations of the Pope’s Bull, to purchase letters of indulgence for their own benefit, and at the same time played upon their sympathies for departed relatives and friends whom they might release from their sufferings in purgatory ‘as soon as the penny tinkles in the box.’” [= Tetzel melakukan perjalanan dengan kemegahan dan upacara yang besar melalui Jerman, dan dengan keberanian yang tak mempedulikan kebenaran dan kefasihan bicara, memberi rekomendasi tentang pengampunan dosa dari Paus kepada kumpulan besar orang banyak yang berkumpul dari setiap sudut di sekitarnya. Ia diterima seperti seorang utusan dari surga. Pastor-pastor, biarawan-biarawan, dan magister-magister / pejabat-pejabat, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, berbaris dalam kelompok-kelompok yang khidmat dengan lagu-lagu, bendera-bendera, dan lilin-lilin, di bawah bunyi lonceng-lonceng, untuk menemuinya dan rekan-rekan biarawannya, dan mengikuti mereka ke gereja; ketetapan formil dari Paus pada suatu bantal empuk ditempatkan pada altar yang tinggi, suatu salib merah dengan suatu panji sutera menyimbolkan kuasa / otoritas Paus didirikan di hadapannya, dan suatu kotak kuat dari besi yang besar diletakkan di bawah salib untuk uang pengampunan dosa. Kotak-kotak seperti itu tetap dipelihara di banyak tempat. Pengkhotbah-pengkhotbah, dengan khotbah-khotbah harian, lagu-lagu pujian, dan musik, mendesak orang-orang, dengan pujian yang berlimpah-limpah tentang ketetapan Paus, untuk membeli surat-surat pengampunan dosa demi kepentingan mereka sendiri, dan pada saat yang sama memanipulasi simpati mereka untuk keluarga dan teman-teman yang sudah mati yang bisa mereka bebaskan dari penderitaan mereka dalam api penyucian ‘secepat uang logam / koin berdenting dalam kotak’.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 153.

Bdk. Lukas 6:26 - “Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.’”.

David Schaff: “The common people eagerly embraced this rare offer of salvation from punishment, and made no clear distinction between the guilt and punishment of sin; after the sermon they approached with burning candles the chest, confessed their sins, paid the money, and received the letter of indulgence which they cherished as a passport to heaven. But intelligent and pious men were shocked at such scandal. The question was asked, whether God loved money more than justice, and why the Pope, with his command over the boundless treasury of extra-merits, did not at once empty the whole purgatory for the rebuilding of St. Peter’s, or build it with his own money.” [= Orang-orang awam dengan tak sabar / dengan keinginan yang besar menerima tawaran yang jarang dari keselamatan dari hukuman ini, dan tak membedakan antara kesalahan dan hukuman dari dosa; setelah khotbah mereka mendekati kotak dengan lilin menyala, mengakui dosa-dosa mereka, membayar uangnya, dan menerima surat pengampunan dosa yang mereka hargai sebagai suatu paspor ke surga. Tetapi orang-orang yang pandai dan saleh terkejut oleh skandal seperti itu. Pertanyaan ditanyakan, apakah Allah mencintai uang lebih dari keadilan, dan mengapa Paus, dengan otoritasnya atas dana yang tak terbatas dari jasa / perbuatan baik yang kelebihan, tidak segera mengosongkan seluruh api penyucian untuk pembangunan kembali / renovasi (gereja) Santo Petrus, atau membangunnya dengan uangnya sendiri.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.

Bdk. Amsal 15:21 - “Kebodohan adalah kesukaan bagi yang tidak berakal budi, tetapi orang yang pandai berjalan lurus.”.

VIII) Reformasi: pemakuan 95 thesis oleh Luther.

David Schaff: “Tetzel approached the dominions of the Elector of Saxony, who was himself a devout worshiper of relics, and had great confidence in indulgences, but would not let him enter his territory from fear that he might take too much money from his subjects. So Tetzel set up his trade on the border of Saxony, at Jueterbog, a few hours from Wittenberg. There he provoked the protest of the Reformer, who had already in the summer of 1516 preached a sermon of warning against trust in indulgences, and had incurred the Elector’s displeasure by his aversion to the whole system, although he himself had doubts about some important questions connected with it.” [= Tetzel mendekati daerah kekuasaan dari Pangeran Saxony, yang dirinya sendiri adalah seorang penyembah relics yang berbakti, dan mempunyai keyakinan yang besar pada pengampunan dosa, tetapi tidak mau mengijinkan dia memasuki wilayahnya karena takut bahwa ia mengambil uang terlalu banyak dari orang-orang dibawah kekuasaannya. Jadi Tetzel menempatkan perdagangannya di perbatasan Saxony, di Jueterborg, beberapa jam dari Wittenberg. Di sana ia memprovokasi protes dari sang Reformator, yang pada musim panas tahun 1516 telah mengkhotbahkan suatu khotbah yang memperingatkan terhadap kepercayaan pada pengampunan dosa, dan telah menimbulkan ketidak-senangan sang Pangeran terhadapnya oleh kejijikannya pada seluruh sistim itu, sekalipun ia sendiri mempunyai keragu-raguan tentang beberapa pertanyaan penting berhubungan dengan hal itu.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154.

Dr. Albert H. Freundt Jr.: “The Elector of Saxony, Luther’s prince, forbade the sale of Tetzel’s indulgence in his territory. ... but his people went across the border a few miles to hear Tetzel preach in neighboring towns.” [= Pangeran dari Saxony, pangeran dari Luther, melarang penjualan pengampunan dosa Tetzel di wilayahnya. ... tetapi orang-orangnya / rakyatnya menyeberangi perbatasan beberapa mil untuk mendengar Tetzel berkhotbah di kota-kota yang berdekatan.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 28.

David Schaff: “Luther had experienced the remission of sin as a free gift of grace to be apprehended by a living faith. This experience was diametrically opposed to a system of relief by means of payments in money. It was an irrepressible conflict of principle. He could not be silent when that barter was carried to the very threshold of his sphere of labor. As a preacher, a pastor, and a professor, he felt it to be his duty to protest against such measures: to be silent was to betray his theology and his conscience.” [= Luther telah mengalami pengampunan dosa sebagai suatu pemberian cuma-cuma dari kasih karunia untuk dimengerti oleh suatu iman yang hidup. Pengalaman ini bertentangan secara frontal dengan suatu sistim pengurangan dengan cara pembayaran dengan uang. ITU MERUPAKAN SUATU KONFLIK TENTANG PRINSIP YANG TAK BISA DITEKAN / DIKEKANG. Ia tidak bisa diam pada waktu barter / pertukaran itu dibawa persis ke ambang pintu dari ruang lingkup jerih payahnya. Sebagai seorang pengkhotbah, seorang gembala, dan seorang profesor, ia merasakannya sebagai kewajibannya untuk memprotes terhadap / menentang ukuran (?) seperti itu: DIAM BERARTI MENGKHIANATI THEOLOGIANYA DAN HATI NURANINYA.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 154-155.

Bandingkan kutipan di atas ini dengan ayat-ayat di bawah ini:

a) Roma 3:23-24 - “(23) Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, (24) dan oleh kasih karunia telah dibenarkan DENGAN CUMA-CUMA karena penebusan dalam Kristus Yesus.”.

b) Yesaya 55:1-2 - “(1) Ayo, hai semua orang yang haus, marilah dan minumlah air, dan hai orang YANG TIDAK MEMPUNYAI UANG, marilah! Terimalah gandum TANPA UANG PEMBELI dan makanlah, juga anggur dan susu TANPA BAYARAN! (2) Mengapakah kamu belanjakan uang untuk sesuatu yang bukan roti, dan upah jerih payahmu untuk sesuatu yang tidak mengenyangkan? Dengarkanlah Aku maka kamu akan memakan yang baik dan kamu akan menikmati sajian yang paling lezat.”.

c) Matius 10:27 - “Apa yang Kukatakan kepadamu dalam gelap, katakanlah itu dalam terang; dan apa yang dibisikkan ke telingamu, beritakanlah itu dari atas atap rumah.”.

Edmund Burke: “All that is necessary for the triumph of evil is that good men do nothing.” [= Semua yang dibutuhkan supaya kejahatan menang adalah bahwa orang-orang yang baik tidak melakukan apa-apa.] - ‘Streams in the Desert’, vol 2, June 13.

David Schaff: “The jealousy between the Augustinian order to which he belonged, and the Dominican order to which Tetzel belonged, may have exerted some influence, but it was certainly very subordinate. ... The controversy with Tetzel (who is not even mentioned in Luther’s Theses) was merely the occasion, but not the cause, of the Reformation: it was the spark which exploded the mine. The Reformation would have come to pass sooner or later, if no Tetzel had ever lived; and it actually did break out in different countries without any connection with the trade in indulgences, except in German Switzerland, where Bernhardin Samson acted the part of Tetzel, but after Zwingli had already begun his reforms.” [= Sikap cemburu / waspada antara ordo Augustinian pada mana ia termasuk, dan ordo Dominican pada mana Tetzel termasuk, bisa / mungkin telah mendorong / memunculkan sedikit pengaruh, tetapi itu pasti sangat sekunder. ... Kontroversi dengan Tetzel (yang bahkan tak disebutkan namanya dalam thesis dari Luther) semata-mata hanyalah peristiwa / kesempatan, tetapi bukan penyebab, dari Reformasi: itu adalah percikan api yang meledakkan tambang. Reformasi akan terjadi cepat atau lambat, seandainya tak ada seorang Tetzel yang pernah hidup; dan itu sungguh-sungguh terjadi / menyebar di negara-negara yang berbeda tanpa hubungan apapun dengan perdagangan dalam pengampunan dosa, kecuali di Swiss Jerman, dimana Bernhardin Samson melakukan bagian Tetzel, tetapi setelah Zwingli telah memulai reformasinya.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 155.

Catatan:

1. Perbedaan ordo-ordo dalam Gereja Katolik, bukan berhubungan dengan perbedaan doktrin, tetapi hanya perbedaan dalam penekanan saja (misalnya ada yang menekankan doa, ada yang menekankan pelayanan / khotbah dsb). Itu bisa dibaca di link di bawah ini:

http://www.religious-vocation.com/differences_religious_orders.html#.Wg5XqHlx0dU

2. Khusus tentang Ordo Augustinian bisa dibaca di link di bawah ini:

https://en.wikipedia.org/wiki/Augustinians

3. Khusus tentang Ordo Dominican bisa dibaca di link di bawah ini:

https://en.wikipedia.org/wiki/Dominican_Order

Dr. Albert H. Freundt Jr.: “The crude way in which Tetzel hawked these indulgences didn’t help reassure Luther, who for some years had been troubled over the doctrine and practice of indulgences. Said Tetzel, who gave this invitation at the end of his emotional appeals: ‘The moment the coin in the collection box rings, that moment the souls from purgatory springs.’” [= Cara yang kasar / terang-terangan dalam mana Tetzel berkeliling sambil menjual pengampunan dosa itu secara agresif, tidak membantu untuk meyakinkan kembali Luther, yang untuk banyak tahun telah diganggu oleh doktrin dan praktek dari pengampunan dosa. Kata Tetzel, yang memberikan undangan ini pada akhir dari permohonan emosionilnya: ‘Saat koin berdenting dalam kotak kolekte, saat itu jiwa meloncat dari api penyucian’.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 28.

David Schaff: “After serious deliberation, without consulting any of his colleagues or friends, but following an irresistible impulse, Luther resolved upon a public act of unforeseen consequences. ... He wished to elicit the truth about the burning question of indulgences, which he himself professed not fully to understand at the time, and which yet was closely connected with the peace of conscience and eternal salvation. He chose the orderly and usual way of a learned academic disputation.” [= Setelah pemikiran yang serius, tanpa berkonsultasi dengan rekan-rekan atau sahabat-sahabat yang manapun, tetapi mengikuti dorongan hati yang tak bisa ditahan, Luther memutuskan suatu tindakan umum dari konsekwensi-konsekwensi yang tidak terlihat lebih dulu. ... Ia ingin mendapatkan kebenaran tentang pertanyaan yang mendesak tentang pengampunan dosa, yang ia sendiri akui tidak ia mengerti sepenuhnya pada saat itu, dan yang berhubungan dekat dengan damai dari hati nurani dan keselamatan kekal. Ia memilih cara yang teratur / sesuai dengan sistim dan umum / biasa dari suatu perdebatan akademik terpelajar.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 155.

Bdk. Galatia 1:15-17 - “(Galatia 1:15) Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karuniaNya, (16) berkenan menyatakan AnakNya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, MAKA SESAATPUN AKU TIDAK MINTA PERTIMBANGAN KEPADA MANUSIA; (17) juga aku tidak pergi ke Yerusalem mendapatkan mereka yang telah menjadi rasul sebelum aku, tetapi aku berangkat ke tanah Arab dan dari situ kembali lagi ke Damsyik.”.

David Schaff: “Accordingly, on the memorable thirty-first day of October, 1517, which has ever since been celebrated in Protestant Germany as the birthday of the Reformation, at twelve o’clock he affixed (either himself or through another) to the doors of the castle-church at Wittenberg, ninety-five Latin Theses on the subject of indulgences, and invited a public discussion. At the same time he sent notice of the fact to Archbishop Albrecht of Mainz, and to Bishop Hieronymus Scultetus, to whose diocese Wittenberg belonged. He chose the eve of All Saints’ Day (Nov. 1), because this was one of the most frequented feasts, and attracted professors, students, and people from all directions to the church, which was filled with precious relics.” [= Jadi, pada hari yang layak untuk diingat, tanggal 31 Oktober tahun 1517, yang sejak saat itu dirayakan di Jerman Protestan sebagai hari kelahiran dari Reformasi, pada pk 12 ia menempelkan (atau ia sendiri atau melalui orang lain) pada pintu-pintu dari gereja benteng di Wittenberg, 95 thesis berbahasa Latin tentang pokok tentang pengampunan dosa, dan mengundang suatu diskusi umum. Pada saat yang sama ia mengirimkan pengumuman formil / tertulis tentang fakta itu kepada Uskup Agung Albrecht dari Mainz, dan kepada Uskup Hieronymus Scultetus, dalam keuskupan siapa Wittenberg termasuk. Ia memilih malam dari ‘All Saints’ Day’ (tanggal 1 Nopember), karena ini adalah salah satu dari hari-hari raya yang paling sering dikunjungi, dan menarik profesor-profesor, mahasiswa-mahasiswa, dan orang-orang dari semua jurusan kepada gereja, yang dipenuhi dengan relics yang berharga.] - ‘History of the Christian Church’, vol VII, hal 155-156.

Catatan:

a) 95 thesis ini ditulis dalam bahasa Latin, sehingga jelas ditujukan kepada para ahli theologia, bukan untuk umum, yang tak mengerti bahasa Latin itu.

b) ‘All Saints’ Day’ (tanggal 1 Nopember) merupakan hari raya Gereja Katolik yang dirayakan untuk menghormati semua orang-orang kudus (santa / santo).

Dr. Albert H. Freundt Jr.: “Luther was troubled over the theory of indulgence, and his heart ached to hear that ignorant people supposed they had no more need for penitence because they had bought the indulgence. Luther was shown a copy of the Archbishop’s instruction to Tetzel, and he was shoched. On All Saints’ Eve, October 31, 1517, he nailed to the door of the castle church at Wittenberg a placard inscribed with ‘Ninity-Five Theses upon Indulgences.’ He announced thereby that he was ready to defend these theses at a public disputation. The placard was not intended to be revolutionary or to appeal to the general public. The theses were designed to be debated by theologians.” [= Luther terganggu oleh teori pengampunan dosa, dan hatinya sakit mendengar bahwa orang-orang yang bodoh / tidak mempunyai pengertian menganggap bahwa mereka tak lagi memerlukan pertobatan karena mereka telah membeli pengampunan dosa itu. Luther ditunjuki satu salinan dari instruksi Uskup Agung kepada Tetzel, dan ia terkejut. Pada malam dari hari ‘All Saints’, tanggal 31 Oktober 1517, ia memakukan pada pintu dari gereja di Wittenberg suatu poster bertuliskan dengan ‘Sembilan puluh lima Thesis tentang Pengampunan Dosa’. Ia dengan itu mengumumkan bahwa ia siap untuk mempertahankan thesis ini pada suatu perdebatan umum / terbuka. Poster itu bukan dimaksudkan untuk bersifat revolusi atau mendesak pada masyarakat umum. Thesis ini dirancang untuk diperdebatkan oleh ahli-ahli theologia.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 28.

Dr. Albert H. Freundt Jr.: “Luther main three points: He objected to the object of expenditure (St. Peter’s in Rome), for German would not profit from it. He denied the power of the Pope over purgatory; the Pope has no jurisdiction over purgatory, if he does, why not just release everyone from it. He claimed that indulgences gave a sinner a false sense of well-being. ... The most radical proposition is that ‘Any Christian whatever, who is truly repentant, enjoys full remission from penalty and guilt, and this is given him without letters of indulgence.’” [= Tiga pokok utama Luther: Ia keberatan terhadap tujuan dari pengeluaran / biaya (Gereja Santo Petrus di Roma), karena Jerman tidak akan mendapatkan manfaat darinya. Ia menyangkal kuasa Paus atas api penyucian; Paus tidak mempunyai hak hukum atas api penyucian, jika ia punya, mengapa tidak membebaskan semua orang dari api penyucian itu. Ia mengclaim bahwa pengampunan dosa itu memberi seorang berdosa suatu perasaan yang salah / palsu tentang kebahagiaan / kondisi yang baik. ... Persoalan / pokok yang paling radikal adalah bahwa ‘Orang Kristen manapun, yang bertobat dengan sungguh-sungguh, menikmati pengampunan penuh dari hukuman dan kesalahan, dan ini diberikan kepadanya tanpa surat pengampunan dosa’.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 29.

Dr. Albert H. Freundt Jr.: “Luther does not overstep the frontier between frank criticism and defiance of papal authority. In fact, as Luther looked back on this in 1545, he said: ‘When I first took up this cause I was a most vehement Papist, so intoxicated - so drowned - in papal dogmas that I stood ready beyond all others to kill, if I could, or at least to consent to and work with the killers, of every one who depreciated even by a single syllable the obedience due to the Pope ... This is why you will find in my earlier writings such a multitude of grovelling concessions to the Pope, which as time has proceeded I abominate and repudiate for extreme blasphemy ... In those early days I stood alone; I was fitted neither by experience nor education for dealing with such momentous subjects; and I call God to witness that I plunged into these controversies neither by choice nor conviction, but by chance. When, then, in 1517 Indulgences were being sold in these districts (or ‘promulgated,’ as I preferred to call it) for filthy lucre, I ... began to dissuade and deter the people from lending their ear to the cries of the Indulgence-mongers, ... ; and I conceived that in this I could claim the Pope as my protector, for I placed strong reliance on his good faith ... My concern was to shield the Pope’s honor by pressing not for the condemnation of Indulgences but for preference to be given to works of love.’” [= Martin Luther tidak melewati batasan antara kritik yang terbuka / tulus / jujur dan penentangan terhadap otoritas Paus / Gereja Roma Katolik. Dalam faktanya, pada waktu Luther melihat kembali tentang hal ini di tahun 1545, ia berkata: ‘Pada waktu aku pertama-tama mengangkat / memulai perkara ini aku adalah orang Katolik / pengikut Paus yang sangat bersemangat, begitu mabuk - begitu tenggelam - dalam dogma-dogma Gereja Roma Katolik sehingga aku siap melebihi yang lain untuk membunuh, jika aku bisa, atau setidaknya menyetujui dan bekerja sama dengan pembunuh-pembunuh, dari setiap orang yang merendahkan / menghina bahkan oleh satu suku kata ketaatan yang harus diberikan kepada Paus ... Ini sebabnya kamu akan menemukan dalam tulisan-tulisan awalku begitu banyak pengakuan yang merendahkan diri kepada Paus, yang pada saat waktu telah berlalu aku benci / merasa jijik dan menolak sebagai penghujatan yang extrim ... Pada hari-hari awal itu aku berdiri sendirian; aku tidak cocok / belum siap baik dengan pengalaman atau pendidikan untuk menangani pokok begitu besar / penting; dan aku memanggil Allah untuk bersaksi bahwa aku menceburkan diri ke dalam kontroversi-kontroversi ini bukan oleh pilihan ataupun keyakinan, tetapi oleh kekuatan yang tidak terkendali / serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan. Lalu, pada waktu dalam tahun 1517 Pengampunan dosa dijual di daerah-daerah ini (atau ‘disebar-luaskan / diumumkan’, seperti saya lebih memilih untuk menyebutnya) untuk uang yang kotor, saya ... mulai meminta dan mencegah orang untuk mendengarkan teriakan-teriakan dari pedagang / dealer dari Pengampunan dosa, ... ; dan saya mengira bahwa dalam hal ini saya bisa mengclaim Paus sebagai pelindungku, karena saya mempunyai keyakinan yang kuat pada imannya yang baik ... Kepedulianku / keinginanku adalah untuk melindungi kehormatan Paus dengan tidak menekankan pengecaman terhadap Pengampunan dosa tetapi supaya pilihan diberikan pada pekerjaan-pekerjaan kasih.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 29.

Dr. Albert H. Freundt Jr.: “From 1517 to 1521, however, Luther was in constant conflict with the papal party. He sent a copy of the Theses to Archbishop Albert of Mainz, who had not the slightest interest in the fine points of indulgence theology. He was interested in the revenue from the indulgence and found that the protest from this hitherto unknown Luther to be hurting the sales. He reported the Theses to the Pope, who thought that the quarrel was trivial - a monks’ squabble between Dominican and Augustinians - and simply told the head of the Friars to keep his men quiet. The Dominican theologians considered themselves the guardians of orthodoxy; they believed Luther was a heretic and tried to prove it. Since the doctrine of indulgence was doubtful, they had to demonstrate that Luther was assailing papal power. He had questioned the absolute authority of the Pope; to question the absolute authority of the Pope is heretical. The argument rapidly turned itself into a controversy over papal authority and its limits, and the debate over indulgences was left behind in a wider argument.” [= Tetapi, dari tahun 1517 sampai tahun 1521, Luther berada dalam konflik terus menerus dengan golongan Katolik. Ia mengirim sebuah copy / salinan dari Thesis itu kepada Uskup Agung dari Mainz, yang tidak mempunyai interest / kesenangan yang terkecilpun dalam pokok-pokok halus / tajam dari theologia pengampunan dosa. Ia punya interest dalam penghasilan dari pengampunan dosa dan mendapati bahwa protes dari Martin Luther yang tidak dikenal sampai saat itu merugikan penjualan. Ia melaporkan thesis itu kepada Paus, yang menganggap bahwa pertengkaran itu adalah sesuatu yang remeh - pertengkaran biarawan antara Dominican dan Augustinian - dan hanya memberitahu kepala biarawan untuk menjaga orang-orangnya supaya diam. Ahli-ahli theologia Dominican menganggap diri mereka sebagai penjaga-penjaga dari keortodoxan; mereka percaya Luther adalah seorang bidat dan berusaha untuk membuktikannya. Karena doktrin tentang pengampunan dosa merupakan sesuatu yang meragukan, mereka harus menunjukkan bahwa Luther sedang menyerang kekuasaan Paus. Ia telah mempertanyakan otoritas mutlak dari Paus; mempertanyakan otoritas mutlak dari Paus adalah sesuatu yang bersifat bidat. Argumentasi dengan cepat membelokkan dirinya sendiri ke dalam kontroversi tentang otoritas Paus dan batasan-batasannya, dan debat tentang pengampunan dosa ditinggalkan di belakang dalam suatu argumentasi yang lebih lebar.] - ‘History of Modern Christianity’, hal 29-30.

Yeremia 6:13-14 - “(13) Sesungguhnya, dari yang kecil sampai yang besar di antara mereka, semuanya mengejar untung, baik nabi maupun imam semuanya melakukan tipu. (14) Mereka mengobati luka umatKu dengan memandangnya ringan, katanya: Damai sejahtera! Damai sejahtera!, tetapi tidak ada damai sejahtera.”.

Catatan: dalam debat, orang yang tak bisa menjawab argumentasi, lalu mengalihkan pada sesuatu yang lain, merupakan hal biasa. Saya juga pernah ‘menyerang’ suatu gereja, dan karena mereka tak bisa serangannya, maka mereka mengalihkan pada hal-hal yang lain, seperti menyalahkan cara saya dalam menyerang / mengkritik dan sebagainya. Di face book ‘pengecut yang tidak fair’ seperti itu luar biasa banyak.

Next Post Previous Post