Bukti Kristologi

Pdt. Yakub Tri Handoko, Th. M.
Bukti Kristologi
Keilahian Yesus:Kesetaraan Yesus dengan Allah.

Pada bagian ini kita akan membahas tentang keilahian Yesus dari berbagai sisi. Pertamatama kita akan melihat dari sisi kesetaraan-Nya dengan Allah melalui ucapan dan tindakan Yesus sendiri. Kita juga akan menyelidiki topik ini dari sisi gelar-gelar Yesus dan identifikasi Yesus sebagai YHWH. Pada bagian terakhir kita akan membahas tentang teks-teks yang secara eksplisit menyebut Yesus sebagai Allah. Pada pertemuan minggu ini kita hanya akan mempelajari dari sisi yang pertama.

Ucapan & tindakan Yesus sebagai dasar  

Sebelum membahas tentang bagaimana Yesus menyamakan diri-Nya dengan Allah, kita lebih dahulu harus membahas dua masalah yang saling terkait: kredibilitas historis kitab-kitab injil dan kesadaran Yesus terhadap status diri-Nya. Apakah ucapan dan tindakan Yesus dalam kitab-kitab injil sungguh-sungguh mewakili apa yang Dia katakan selama Dia di dunia? Seandainya iya, apakah ada petunjuk-petunjuk dalam teks yang membuktikan bahwa Yesus sungguh-sungguh memiliki kesadaran bahwa diri-Nya adalah Allah?

Pertanyaan pertama di atas berkaitan dengan isu tentang kualitas historis kitab-kitab injil. Teolog liberal membantah adanya kontinuitas antara Yesus yang pernah hidup di dunia (Hisotrical Jesus) dengan Kristus yang ditampilkan dalam kitab-kitab injil (The Christ of Faith). Yesus yang ditampilkan dalam Alkitab sangat berbeda dengan Yesus yang pernah hidup dalam sejarah. Menurut teori demitologisasi yang dipopulerkan Bultmann, gambaran tentang Yesus dalam kitab-kitab injil hanyalah merupakan refleksi teologis para penulis terhadap Yesus. Refleksi ini tidak selalu mencerminkan perkataan atau tindakan Yesus yang sebenarnya. Lebih jauh, refleksi ini juga sangat dipengaruhi oleh pola pikir Hellenis (Yunani) yang dipegang oleh para penulis Alkitab. Mereka dianggap hanya mempresentasikan Yesus sesuai kultur hidup mereka waktu itu.1 Teolog liberal lain yang memiliki pandangan senada dengan Bultmann – walaupun dengan pednekatan yang berbeda – adalah mereka yang tergabung dalam Jesus Seminar. Kelompok ini telah menerbitkan ”kitab injil” yang membedakan antara ucapan Yesus yang benar berasal dari Dia dan yang hanya sekedar karangan para penulis Alkitab.2

Pertanyaan kedua berkaitan dengan isu tentang kesadaran diri Yesus. Para teolog berusaha menjawab satu pertanyaan: apakah selama inkarnasi Yesus Dia sungguh-sungguh menyadari siapa diri-Nya yang sebenarnya? Para teolog liberal memberikan jawaban negatif: Yesus tidak menyadari semua atribut keilahian yang selama ini dikenakan kepada-Nya. Semua atribut tersebut merupakan hanyalah gagasan para penulis Alkitab – terutama Paulus - yang

1Beberapa tulisan Bultmann yang penting seputar topik ini antara lain Theology of the New Testament (SCM Press, London, vol. I, 1952, vol. II, 1955); Essays – Philosophical and Theological, translated by C. G. Greig (New York: Macmillan, 1955), Jesus Christ and Mythology (New York: Scribners, 1958 ; London: SCM Press, 1960).  2Robert W. Funk, Roy W. Hoover and The Jesus Seminar, The Five Gospels: What Did Jesus Really Say?  (New York: Macmillan, 1993).

dialamatkan kepada Yesus setelah kebangkitan-Nya.3 Di sisi lain, sebagian teolog tetap meyakini bahwa Yesus sungguh-sungguh menyadari status ilahi-Nya.4  Terhadap pertanyaan pertama kita harus menegaskan kredibilitas historis kitab-kitab injil dalam Alkitab. Walaupun kita tidak mungkin membahas isu ini secara detil dalam tulisan ini, namun paling tidak beberapa poin berikut ini dapat memberikan petunjuk yang mendukung kredibilitas historis Alkitab.

(1) Kriteria otentisitas yang dipakai tidak konklusif.

Para teolog berusaha untuk menerapkan pedoman-pedoman tertentu untuk menemukan ucapan atau tindakan Yesus yang asli. Pedoman-pedoman ini dikenal dengan nama kriteria otentisitas. Mereka berharap melalui semua kriteria ini akan dihasilkan ucapan atau tindakan Yesus yang murni (sungguh-sungguh dilakukan Yesus selama Dia ada di dunia).

 Kenyataannya, kriteria yang diterapkan mereka tidak valid maupun representatif bagi semua teks yang ada. Sebagai contoh, kriteria ketidaksamaan. Berdasarkan kriteria ini, ayat-ayat Alkitab yang diterima adalah yang menunjukkan bahwa ucapan Yesus berbeda dengan Yudaisme maupun ajaran gereja mula-mula. Darrell Bock, salah seorang teolog injili, dengan tepat menunjukkan kesalahan dari kriteria ini. Kriteria ini mengasumsikan bahwa Yesus mengajarkan sesuatu dalam kevakuman (tidak memiliki akar pada Yudaisme/Perjanjian Lama) dan tidak ada ajaran-Nya yang mempengaruhi para pengikutNya 5 Contoh kesalahan lain adalah kriteria kemajemukan yang hanya hanya mengakui otentisitas suatu ayat jika ayat itu muncul dalam sumber-sumber lain. Kriteria seperti ini jelas sulit diaplikasikan pada teks-teks tertentu yang hanya ada di satu kitab, karena tidak semua sumber tertulis yang dipakai seorang penulis Alkitab sudah ditemukan melalui arkeologi.6

Selain itu, mereka yang mempraktikkan kriteria otentisitas seringkali tidak konsisten dalam menerapkan kriteria tersebut (suatu teks yang seharusnya menurut kriteria mereka otentik ternyata diktegorikan sebagai tidak otentik). Contoh: Lukas 5:33-39 (murid-murid Yesus tidak berpuasa) seharusnya memenuhi kriteria ketidaksamaan, karena orang Yahudi maupun gereja mula-mula sangat menekankan puasa, tetapi para teolog liberal tetap menganggap teks ini tidak otentik. Begitu pula dengan sebutan “Anak Manusia” yang seharusnya diterima otentisitasnya, karena ditemukan di semua kitab Injil dan Q (Mat 11:19//Luk 7:34; Luk 19:10; Mar 10:45).7

3Lihat Jacques Guillet, S. J., The Consciousness of Jesus, translated by Edmond Bonin  (Paramus, N.J.: Newman Press, 1972). William Wrede, The Messianic Secret (London: J. Clarke, 1971). John Hick (ed.), The Myth of God Incarnate (Philadelphia: Westminster, 1977) 4Aquila H. I. Lee, From Messiah to Pre-existent Son: Jesus' Self-Consciousness and Early Christian Exegesis of Messianic Psalms, WUNT 2.192 (Tubingen: Mohr Siebeck, 2005). 5Darrell L. Bock, Studying the Historical Jesus: A Guide to Sources and Methods (Grand Rapids/Leicester: Baker Academic/Apollos, 2002), 201.  6Robert H. Stein, Gospels and Tradition: Studies on Redaction Criticism of the Synoptic Gospels (Grand Rapids: Baker Book House, 1991), 158-162. 7Bock, “The Words of Jesus in the Gospels: Live, Jive, or Memorex”, Jesus Under Fire, ed. by Michael J. Wilkins and J. P. Moreland (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1995), 90-93.

(2) Beban terletak pada mereka yang menolak kredibilitas

historis kitab injil. Robert Stein dan Craig Blomberg dengan tepat menyatakan bahwa tidak ada petunjuk apapun dalam kitab-kitab injil yang mengarah pada nilai historis mereka yang rendah. Semua data yang ada sejauh ini tidak menimbulkan masalah pelik yang membuat kita meragukan kredibilitas historis kitab-kitab injil. Berdasarkan hal ini, mereka berpendapat bahwa beban untuk membuktikan terletak pada mereka yang meragukan Alkitab. Mereka berdua juga memaparkan beberapa argumen yang mendukung hal ini, misalnya: (1) penghargaan para rasul yang sangat tinggi terhadap ajaran yang berasal dari Yesus (mereka kadangkala membedakan apakah suatu ajaran berasal dari Yesus atau tafsiran mereka sendiri, 1Korintus 7:10, 12); (2) kesetiaan para penulis terhadap tradisi dari Yesus yang kadangkala sulit untuk dipahami (Markus 6:56; 10:10-12, 18; 13:32); keberadaan gereja di Yerusalem sebagai sebagai pengontrol ajaran (Kis 8:14; 11:1-3; 15:1-2; 21:17-25).8

(3) Perjanjian Baru telah melewati ujian historis yang objektif.

Suatu kitab kuno yang dapat dipercaya harus lulus dalam tiga ujian: bibliographical test (jarak peristiwa, penulisan dan salinan yang dekat; jumlah salinan yang banyak), internal evidence test (indikasi dalam teks yang menunjukkan kejujuran penulis atau ketertarikannya pada fakta) dan external evidence test (sesuai bukti lain di luar kitab itu). Dari tiga pengujian ini, Alkitab muncul sebagai kitab yang paling dapat dipercaya. Jika kredibilitas historis Alkitab diragukan atau ditolak, maka semua kitab kuno lain juga harus ditolak, karena kualitas historis mereka jauh di bawah Alkitab.9

 Sekarang tentang pertanyaan kedua, yaitu kesadaran Yesus tentang status diri-Nya. Jika semua ucapan Yesus yang dicatat oleh para penulsi kitab injil diterima historisitasnya, maka kita dapat memulai diskusi tentang kesadaran diri-Nya. Upaya untuk mengetahui kesadaran diri (self-consciousness) Yesus bukanlah hal yang mudah. Salah satu faktor yang menjadi kendala adalah perbedaan kultur antara abad ke-1 dan abad modern. Sebagian teolog modern menuntut bukti yang eksplisit menurut perspektif modern. Yang termasuk bukti eksplisit ini misalnya ucapan Yesus yang berkata “Akulah Allah Anak”, “Akulah Allah yang sejati” atau “Akulah Allah Yang Mahakuasa, sama seperti YHWH” atau “Aku memiliki hakekat yang sama dengan Bapa dan Roh Kudus”.10 Jika yang dituntut adalah ungkapanungkapan seperti ini, jelas semua itu tidak akan ditemukan dalam ucapan Yesus. Bagaimanapun, penyelidikan di bawah ini dalam perspektif Yahudi abad ke-1 M sudah sangat jelas menunjukkan kesadaran Yesus terhadap status keilahian-Nya.

Yesus menyamakan diri dengan Allah

Walaupun Yesus tidak pernah membuat klaim eksplisit (menurut perspektif modern) bahwa Dia adalah Allah, namun dari ucapan dan tindakannya jelas menunjukkan bahwa Dia

 8Stein, Gospels, 155; Blomberg, “Where Do We Start Studying Jesus”, Jesus Under Fire, 30-34. 9Untuk pembahasan detil tentang hal ini, lihat Josh McDowell dan Bill Wilson, He Walked Among Us: Evidence for the Historical Jesus (San Bernardino: Here’s Life Publishers, Inc., 1988), 112-118; Josh McDowell, A New Evidence that Demands the Verdict, 33-45. 10 Penganut non-trinitarian seringkali menyatakan bahwa Yesus hanya mengaku sebagai Anak Allah, tetapi bukan Allah Anak. Lihat Frans Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal (t.t.: Borobudur Indonesia Publishing, 2007), xxiv; Brian Holt, Jesus: God or the Son of God (Mt. Juliet, Tennessee: TellWay Pablishing,

memandang diri-Nya lebih dari sekedar manusia atau malaikat. Pernyataan-pernyataan Yesus tidak pantas jika diucapkan oleh seorang pribadi yang lebih rendah daripada Allah.11 Begitu jelasnya bukti keilahian ini sampai-sampai John Frame mengkategorikan hal ini sebagai bukti-bukti keilahian Yesus yang diasumsikan kebenarannya tanpa dibuktikan (is taken for granted).12

Pertama, kotbah Yesus di bukit (Matius 5 – 7). Dalam salah satu kotbah bahagia yang Dia sampaikan Yesus menjanjikan kebahagiaan bagi mereka yang menderita aniaya karena Dia (Mat 5:11). Menariknya, Yesus kemudian menyamakan hal ini dengan para nabi yang telah menderita karena Allah (Mat 5:12). Dengan demikian Yesus secara tidak langsung sedang membandingkan diri-Nya dengan Allah di Perjanjian Lama.13

Selanjutnya di ayat 17 Yesus mengantisipasi kesalahpahaman yang mungkin muncul bahwa Dia datang untuk meniadakan Hukum Taurat dan kitab para nabi. Dia menegaskan bahwa Dia tidak meniadakan kitab suci. Kalimat ini jelas akan menjadi percuma jika Yesus hanyalah seorang manusia, karena tidak ada seorang manusia pun yang layak maupun mampu meniadakan firman Tuhan.14 Pernyataan ini hanya dapat dipahami dalam konteks keilahian Yesus yang sebenarnya “dapat” meniadakan kitab suci, tetapi Dia tidak melakukan itu.

Yesus selanjutnya menunjukkan otoritas-Nya dengan mengoreksi tafsiran para ahli agama Yahudi maupun memberikan pengertian yang lebih mendalam tentang Taurat (Mat 5:22-48). Perubahan terhadap Hukum Taurat yang disiratkan dengan ucapan “tetapi Aku berkata kepadamu...” (Matius 5:22, 28, 32, 34, 39, 44) merupakan tindakan yang menyiratkan keilahian Yesus, sebab sebelumnya Dia sendiri menyatakan bahwa “satu iota pun dari Hukum Taurat tidak akan lenyap” selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat” (Matius 5:18).

 Pihak non-Trinitarian berusaha menyanggah pandangan di atas dengan menyatakan bahwa Yesus hanya menyampaikan apa yang berasal dari Bapa (Yoh 7:16-17).15 Dengan kata lain, Yesus hanya bertindak sama seperti para nabi. Sanggahan ini jelas tidak sesuai dengan ciri khas pemberitaan para nabi. Para nabi biasanya menyatakan “Firman TUHAN datang kepada-Ku” (Yer 1:11; Yeh 1:3), sedangkan Yesus, “Aku berkata kepadamu...”.16

Sanggahan lain yang diberikan pihak non-Trinitarian didasarkan pada sikap para rasul yang juga meniadakan Hukum Taurat. Secara khusus Holt memberi contoh dari keputusan konsili Yerusalem yang tidak mau menuruti tuntutan Taurat berdasarkan keputusan Roh Kudus (Kis 15:1, 5, 19-20, 28). Holt berpendapat bahwa jika pengubahan Taurat oleh Yesus di Matius 5:18-48 membuktikan Yesus adalah Allah, maka pengubahan oleh Yakobus juga seharusnya membuktikan bahwa Yakobus adalah Allah.17 Sanggahan seperti ini mengabaikan apa yang Yesus katakan di Matius 5:18 “Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi (lit. “digenapi”)”. Kedatangan Yesus ke dalam dunia jelas untuk menggenapi Hukum Taurat

11 Millard J. Erickson, Christian Theology (2nd ed., Grand Rapids: Baker Books, 2002 dari 1998), 701. 12 The Doctrine of God (Phillipsburg: P&R Publishing, 2002), 647. 13 Ibid. 14 Ibid. 15 Holt, Jesus: God or the Son of God?, 29. 16 Erickson, Christian Theology, 704. 17 Holt, Jesus: God or the Son of God?, 29-30.

(Matius 5:17),

sehingga setelah karya Yesus di dunia ada perbedaan sikap terhadap Taurat. Apa yang diputuskan dalam konsili Yerusalem harus dipahami dalam konteks bahwa Taurat telah digenapi di dalam Yesus.          

Kedua, tuntutan dalam mengikuti Yesus. Suatu kali seorang muda yang kaya mendatangi Yesus untuk mengetahui rahasia memperoleh hidup kekal. Yesus memerintahkan Dia untuk menjalankan seluruh perintah Allah. Yesus secara khusus hanya menyebutkan  perintahperintah yang berhubungan dengan relasi horizontal (antar sesama manusia, hukum ke-5 sampai ke-10, Mat 19:18-19). Ketika orang tersebut mengakui bahwa dia sudah melakukan semua perintah horizontal itu, maka Yesus seharusnya menyatakan “kalau begitu lakukan perintah lain yang bersifat vertikal (relasi dengan Allah, hukum ke-1 sampai ke-4)” atau “kasihilah Allah”. Ternyata, Yesus justru memerintahkan orang itu untuk menjual seluruh kekayaannya supaya dia dapat mengikuti Yesus (Mat 19:21).18 Dari jawaban ini terlihat bahwa melakukan hukum ke-1 sampai ke-4 (mengasihi Allah) sama dengan mengasihi Yesus.

Bagi mereka yang mau mengikuti Dia, Yesus menuntut loyalitas yang tertinggi, bahkan melebihi loyalitas terhadap orang tua (Matius 10:37//Lukas 14:26). Dalam budaya Yahudi yang sangat menekankan penghormatan terhadap orang tua (Kel 20:12),19 tuntutan Yesus tampak sangat janggal. Yesus sendiri bahkan pernah menegur orang-orang Farisi yang memberikan persembahan untuk Allah tetapi melupakan tanggung-jawab terhadap orang tua mereka (Mat 15:4-6//Markus 7:11-13). Tuntutan Yesus hanya dapat dipahami jika Yesus memang menyamakan diri-Nya dengan Allah, karena itu Dia menuntut loyalitas tertinggi atas segala sesuatu.20

Ketiga, klaim Yesus tentang kekekalan-Nya. Dalam Yohanes 8:58 Yesus mengatakan bahwa “sebelum Abraham jadi, Aku telah ada”. Secara hurufiah ayat ini seharusnya diterjemahkan “sebelum Abraham dulu jadi, Aku terus-menerus ada”. Perhatikan dengan seksama! Ketika menunjuk pada eksistensi Abraham, penulis Injil Yohanes memakai kata “menjadi” (ginomai), sedangkan untuk Yesus dipakai kata “adalah” (eimi). Kata pertama menyiratkan proses dari yang tidak ada menjadi ada, sedangkan yang kedua menyiratkan keadaan yang tetap ada. Lebih jauh, keberadaan Yesus memakai bentuk present. Jika Yesus hanya ditampilkan sebagai Pribadi yang sudah ada sebelum Abraham, maka penulis tidak akan memakai bentuk present untuk keberadaan Yesus. Ayat ini secara eksplisit menunjukkan bahwa keberadaan Yesus bersifat kekal.21 Dengan kata lain, Yesus sedang mengklaim diri sebagai Allah.

 Teks di atas akan semakin jelas menunjukkan keilahian Yesus apabila kita menghubungkan ucapan Yesus “Aku adalah” (egw eimi) dengan ucapan YHWH di Keluaran 3:14 “egw eimi ho wn.22 Sebelumnya Yesus telah mengatakan bahwa “Akulah Dia” (ayat 24, 28, egw eimi, lit. “Aku adalah”), sekarang Dia menjelaskan identitas-Nya yang sebenarnya dalam cara yang mutlak, yaitu bahwa Dia terus-menerus ada, bahkan sebelum Abraham ada. Ucapan ini 18 Frame, The Doctrine of God, 647. 19 Di antara enam perintah yang berkaitan dengan relasi antar manusia, perintah untuk menghormati orang tua diletakkan di bagian awal untuk menunjukkan betapa pentingnya perintah ini.

 20 Frame, The Doctrine of God, 648. 21 Leon Morris, The Gospel According to John, The New International Commentary on the New Testament (rev. ed., Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1995), 419-430.  22 Ibid. Wayne Grudem, Systematic Theology (Nottingham: InterVarsity Press, 1994), 546.

sangat berkaitan dengan ucapan YHWH bahwa “Aku, TUHAN, yang terdahulu, dan bagi mereka yang terkemudian Aku tetap Dia juga” (Yes 41:4; frase “Aku tetap Dia” di ayat ini dalam LXX memakai egw eimi).23 Begitu jelasnya maksud Yesus dalam ucapan-Nya, tidak heran orang-orang Yahudi berusaha melempari Dia dengan batu karena dianggap menghujat Allah.

Kekekalan Yesus di atas juga mendapat dukungan dari penulis Alkitab yang sama. Dalam Wahyu 22:13 Yesus berkata “Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir”. Ucapan yang sama muncul di pasal 21:6, walaupun konteks tidak memberi indikasi jelas apakah ucapan ini berasal dari mulut Bapa atau Yesus. Dalam pasal 1:8 ucapan “Aku adalah Alfa dan Omega” keluar dari mulut Bapa.24

Keempat, klaim Yesus tentang kemahahadiran-Nya. Yesus
pernah berjanji bahwa di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Nya, maka Dia akan hadir di tengah mereka (Mat 18:20). Setelah kebangkitan Yesus menjanjikan penyertaan yang terus-menerus sampai akhir jaman (Mat 28:20). Janji ini hanya dapat dipenuhi jika Yesus maha hadir. Mengapa? Cakupan murid-Nya adalah segala bangsa. Mereka juga tersebar di semua tempat. Jika Yesus tidak maha hadir, maka Dia tidak akan bisa berada di semua tempat secara bersamaan.25

Kelima, tindakan Yesus menunjukkan keilahian-Nya. Dalam Yohanes 5:19 Yesus mengatakan bahwa Dia melakukan apa saja yang dikerjakan oleh Bapa. Ungkapan ini merupakan kalimat yang sangat berani apabila yang mengucapkannya hanyalah seorang ciptaan. D. A. Carson menyatakan, “satu-satunya yang mungkin dapat melakukan apapun yang Bapa lakukan harus sama besarnya dengan Bapa, sama ilahinya dengan Bapa”.26

Ada beberapa tindakan Yesus yang menyiratkan keilahian-Nya. Yesus berkali-kali menunjukkan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam hati manusia. Dia tahu dari jauh bahwa Natanael berada di bawah pohon ara (Yoh 1:48). Dia mengetahui apa yang ada dalam pikiran orang (Mar 2:8). Dia mengetahui isi hati manusia, termasuk kesungguhan mereka dalam mengikuti Dia. Dia tahu siapa yang akan tidak sungguh-sungguh mengikuti Dia (Yoh 2:24-25) maupun yang akan menyerahkan Dia (Yoh 6:64). Berdasarkan semua pengalaman ini, murid-murid-Nya sampai pada pengakuan, “Sekarang kami tahu, bahwa Engkau mengetahui segala sesuatu” (Yoh 16:30; band. 21:17).27 Tindakan lain dicatat dalam Markus 2:5. Dalam kisah ini diceritakan tentang Yesus yang mengampuni dosa seorang yang sakit lumpuh.

Tindakan ini langsung memantik reaksi para ahli Taurat yang berpikir dalam hati mereka bahwa Yesus telah menghujat Allah, karena tindakan itu hanya boleh dilakukan oleh Allah saja (Mar 2:6-7). Dalam Perjanjian Lama (Kel 34:6-7; Yes 43:25; 44:22) maupun kitab-kitab Yahudi di luar Alkitab (Tg Isa 53:5-12)

 23 Carson, The Gospel According to John, 358. Carson juga menyebutkan Yesaya 43:13 (“Juga seterusnya Aku tetap Dia”) sebagai latar belakang dari ucapan Yesus di Yohanes 5:58, namun dalam LXX hal itu tidak terlalu jelas, karena frase egw eimi tidak muncul di sana. 24 Grudem, Systematic Theology, 546. 25 Ibid. 26 The Gospel According to John, Pillar New Testament Commentary  (Leicester/Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company/Apollos, 1991), 251. 27 Grudem, Systematic Theology, 548.

ditegaskan bahwa tidak ada yang layak mengampuni dosa selain Allah, bahkan mesias pun hanya dapat berdoa syafaat supaya orang lain diampuni.28

 Apakah ini hanya sekedar kesalahpahaman dari pihak ahli Taurat (dalam arti Yesus sebenarnya tidak memposisikan diri sebagai Allah)? Apakah otoritas yang dimaksudkan Yesus dalam kisah ini hanya menyiratkan bahwa Dia adalah utusan Allah yang memberitakan pengampunan, sama seperti murid-murid-Nya (Yoh 20:23)? Tidak! Jika ini hanyalah sebuah kesalahpahaman, maka ini adalah kesempatan emas bagi Yesus untuk menjelaskan kesalahpahaman tersebut.29 Ternyata Yesus tidak menggunakan kesempatan ini. Sebaliknya, indikasi di dalam teks justru memberikan dukungan terhadap keilahian Yesus. Yesus ditampilkan sebagai Pribadi yang mengetahui hati manusia (Mar 2:6, 8). Dia menegaskan bahwa Dia berkuasa mengampuni dosa (Mar 2:10). Bagi Dia, menyembuhkan maupun mengampuni dosa merupakan tindakan yang sama mudahnya (Mar 2:9, 11).

Tindakan Yesus yang lain yang menunjukkan keilahian-Nya adalah sikap-Nya yang mau menerima sembah. Beberapa orang dalam Alkitab pernah menyembah (proskynew) Yesus selama Dia ada di dunia. Walaupun kata ini memang dapat ditujukan kepada manusia biasa sebagai bentuk rasa hormat (Why 3:9; 13:4b) atau kepada  iblis (Mat 4:9; Why 9:20) dan berhala (Kis 7:43), namun dalam kata ini seringkali dipakai sebagai penyembahan kepada Allah (Mat 4:10; Yoh 4:20-24; 12:20; Kis 8:27). Dalam beberapa konteks terlihat jelas bahwa orang yang menyembah (proskynew) Yesus menyembah Dia sebagai Allah. Salah satunya adalah Matius 9:18. Dalam kisah ini ada seorang kepala rumah ibadat yang menyembah Yesus dan memohon agar Ia membangkitkan anaknya yang baru saja meninggal dunia. Orang ini tidak memohon supaya Yesus berdoa kepada Allah. Dia minta agar Yesus menumpangkan tangan-Nya, maka anaknya akan bangkit kembali. Apa yang dicatat di sini jelas sangat berbeda dengan kisah kebangkitan anak janda Sarfat di 1Raja-raja 17:17-24, karena Yesus hanya perlu memegang anak itu, persis seperti yang diyakini oleh ayahnya (Mat 9:25). Jadi, kita harus menyadari bahwa ketika kata proskynew dipakai dalam konteks keagamaan, maka hal itu memiliki makna penyembahan (bukan sekedar penghormatan) dan hanya boleh dilakukan terhadap Allah.30

Tindakan Yesus yang mau menerima sembah dari orang lain merupakan sesuatu yang perlu digarisbawahi. Alkitab sendiri memberikan beberapa contoh dari para rasul atau malaikat yang menolak penyembahan. Dalam Kisah Rasul 10:25-26 Petrus melarang Kornelius menyembah (proskynew) dia karena dia adalah manusia biasa. Paulus dan Barnabas juga menolak diperlakukan seperti dewa (Kis 14:13), walaupun kata tidak muncul dalam konteks ini. Malaikat juga melarang Yohanes menyembah (proskynew), karena malaikat hanyalah ciptaan saja (Why 19:10; 22:8-9). Ketika Yesus disembah dan dia tidak melarang hal itu, maka Yesus jelas menerima penyembahan tersebut dan dengan demikian memposisikan diriNya sebagai Allah.

Tindakan lain yang dilakukan Yesus untuk menunjukkan keilahian-Nya adalah menghakimi semua manusia. Dalam Perjanjian Lama, hakim seluruh bumi adalah Allah (Kej 18:25; Mazmur 94:2). Dalam Perjanjian Baru, Yesus beberapa kali disebut sebagai Pribadi yang akan menghakimi semua manusia (Matius 25:31-46). Walaupun Alkitab menyatakan Bapa

 28 Robert A. Guelich, Mark 1-8:26, Word Biblical Commentary (Waco: Word, 1989), electronic edition. 29 Erickson, Christian Theology, 701. 30 Anthony A. Hoekema, The Four Major Cults (Exeter: The Paternoster Press, 1963), 42.

menyerahkan penghakiman kepada Anak (Yoh 5:22), namun hal ini tetap tidak meniadakan bukti-bukti tentang keilahian Yesus. Untuk menjadi hakim semua manusia, maka hakim itu haruslah mahatahu. Supaya Dia dapat memberikan keputusan yang adil Dia harus mempertimbangkan jumlah dosa, kualitas dosa (Kel 21:12; 22:1), tingkat pemahaman pelaku terhadap kebenaran (Luk 12:47-48; Yak 3:1), pengaruh dosa yang ditimbulkan (Mar 12:40b; Luk 20:47b), tingkat godaan yang mendorong terjadinya dosa (Rom 1:32).31 Selain itu, kemahatahuan juga diperlukan karena yang dihakimi termasuk hal-hal yang tersembunyi dalam hati manusia (band. Rom 2:16).

 Tindakan terakhir yang ditunjukkan Yesus untuk membuktikan keilahian-Nya adalah berbagai mujizat yang Dia lakukan. Pertama-tama kita harus memulai dengan sebuah pemahaman bahwa tidak semua pribadi yang melakukan mujizat berarti memiliki hakekat keilahian. Para nabi, rasul maupun nabi palsu dan iblis dapat melakukan hal-hal yang ajaib. Dengan demikian ada dua kriteria yang harus dipakai untuk menyelidiki apakah mujizat yang dilakukan seorang pribadi membuktikan hakekat keilahian-Nya: (1) apakah mujizat itu dimaksudkan untuk membawa orang pada kebenaran atau Allah? Walaupun nubuat nabi palsu digenapi tetapi apabila dia mengajak orang berpaling dari Taurat (Ulangan 13:1-5); (2) apakah mujizat itu dilakukan dengan kuasa mereka sendiri? Para rasul jelas tidak dapat dianggap sebagai Allah, karena kuasa mereka berasal dari Yesus (Mat 10:1).

 Bagaimana mujizat Yesus dilihat dari dua kriteria tersebut? Mujizat Yesus jelas lolos dari kriteria pertama, karena mujizat-mujizat itu justru menjadi tanda kedatangan Kerajaan Allah sekaligus tawaran untuk masuk ke dalamnya (Matius 12:28). Dari sisi kriteria kedua, kita harus mengakui bahwa Alkitab menyatakan bahwa Yesus melakukan mujizat oleh kuasa Allah (Matius 12:28; Lukas 4:14, 18, 40; Kisah Para Rasul 2:22). Bagaimanapun, kita juga tidak boleh mengabaikan petunjuk Alkitab yang lain bahwa mujizat-mujizat itu juga mendemonstrasikan keilahian sendiri sendiri. Perhatikan beberapa contoh berikut ini. Ketika Yesus mengubah air menjadi anggur, Alkitab mencatat “Hal itu dibuat Yesus di Kana yang di Galilea, sebagai yang pertama dari tanda-tanda-Nya dan dengan itu Ia telah menyatakan kemuliaan-Nya, dan murid-murid-Nya percaya kepada-Nya” (Yoh 2:11). Ketika Dia meredakan angin ribut, murid-murid-Nya takjub dan berkata, “Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?” (Mat 8:27). Ketakjuban ini sangat dapat dipahami karena Alkitab berkalikali mengajarkan bahwa Allahlah yang berkuasa atas laut maupun meredakan badai (Mzm 65:8; 89:10; 107:29).32  #

31 Budi Asali, Christology (rev. ed.), tidak diterbitkan, 12-13. 32 Grudem, Systematic Theology, 547-548. 8/8

Keilahian Yesus: Gelar "Anak Allah"
Alkitab mencatat beragam gelar yang dikenakan kepada Yesus. Sebagian gelar ini merupakan sebutan yang dipakai oleh Yesus sendiri, sedangkan yang lain diucapkan oleh orang lain untuk Yesus. Di antara semua gelar yang ada, beberapa memiliki keterkaitan dengan keilahian Yesus, karena gelar-gelar tersebut sekaligus menyiratkan bahwa Yesus adalah figur yang ilahi. Yang termasuk kategori ini adalah gelar “Allah”, “Tuhan”, “Anak Allah”, “Mesias” dan “Anak Manusia”. Dua gelar pertama – “Allah” dan “Tuhan” – akan dibahas secara terpisah dalam pembahasan berikutnya. Kali ini kita hanya akan menyoroti sebutan “Anak Allah”

Yesus sebagai Anak Allah menurut non-Trinitarian

Kaum non-Trinitarian tidak menyangkal bahwa dalam Alkitab Yesus beberapa kali disebut sebagai “Anak Allah”. Sebutan ini bukan hanya diucapkan oleh murid-murid-Nya (Matius 16:16), tetapi juga dari roh-roh jahat (Matius 8:29; Markus 5:7; Lukas 8:28) maupun Bapa di surga (Matius 3:17; Luk 9:35). Yesus sendiri berkali-kali menyebut diri-Nya sebagai “Anak”, terutama dalam Injil Yohanes. Yesus jelas disebut sebagai “Anak Allah”.

Bagaimanapun, pihak non-Trinitarian berpendapat bahwa gelar “Anak Allah” untuk Yesus tidak membuktikan bahwa Dia adalah Allah. Bagi mereka, sebutan “Anak Allah” sangat berbeda maknanya dengan sebutan “Allah Anak”. Sebutan “Anak Allah” berasal dari Alkitab, sedangkan “Allah Anak” adalah hasil rumusan konsili gereja. Dua sebutan ini tidak identik.1 Untuk membuktikan perbedaan tersebut, mereka memberikan beberapa argumen.2

Pertama, mitos Yunani tentang “anak dewa” tidak mengajarkan bahwa pribadi itu memiliki hakekat yang sama persis dengan dewa. Seorang pribadi dapat disebut sebagai “anak dewa” sekalipun dia sebenarnya hanyalah hasil persetubuhan antara dewa dan seorang perempuan biasa. Sebagai contoh, Hercules disebut sebagai anak dewa Zeus, tetapi hakekatnya tidak sama dengan hakekat Zeus.

Kedua, Natanael yang baru berjumpa dengan Yesus dan menyadari pengetahuan Yesus yang luar biasa langsung menyebut Yesus sebagai “Anak Allah” (Yohanes 1:49). Pengakuan yang didasarkan pada mujizat yang kecil seperti ini pasti tidak menyiratkan bahwa “Anak Allah” sama dengan Allah sendiri, apalagi pada jaman itu pengetahuan supranatural seperti ini kadangkala ditunjukkan oleh setan-setan (Kis 16:16). Jika Natanael memaksudkan sebutan “Anak Allah” sebagai Allah sendiri, maka Dia akan memakai sebutan “Allah” yang lebih jelas.

1Frans Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal (t.t.: Borobudur Indonesia Publishing, 2007), xxiv. Brian Holt, seorang penganut Saksi Yehuwah yang setia, bahkan secara eksplisit menyiratkan perbedaan makna antara dua sebutan di atas dalam judul bukunya Jesus: God or the Son of God? (Mt. Juliet: Tellway Publishing, 2002). 2Holt, Jesus: God or the Son of God?, 18-25

Ketiga, sebutan “anak Allah” dalam Alkitab muncul berkali-kali dan dikenakan pada pribadipribadi yang berlainan. Sebutan ini bisa dipakai untuk bangsa Israel (Ulangan 14:1), para malaikat (Ay 1:6; 2:1), Salomo (1Taw 22:10) atau orang-orang Kristen (Hos 1:10; Rom 8:15; Gal 3:26). Dari semua penggunaan ini terlihat bahwa sebutan “anak allah” tidak membuktikan suatu pribadi memiliki hakekat ilahi, tetapi hanya menunjukkan bahwa mereka memiliki relasi yang khusus dengan Allah. Terhadap pandangan non-Trinitarian di atas kita dapat memberikan beberapa jawaban.

Pertama, latar belakang sebutan “Anak Allah” untuk Yesus bukanlah dari tradisi mitos Yunani. Walaupun dalam mitos Yunani “anak dewa” tidak memiliki hakekat yang sama dengan dewa, hal itu tidak memberikan pengaruh apapun. Penggunaan gelar “Anak Allah” dalam Alkitab secara jelas mengindikasikan latar belakang Yahudi yang kental. Ketika Bapa memproklamasikan Yesus sebagai Anak Allah pada peristiwa baptisan (Mat 3:17), ucapan Bapa merupakan kutipan dari nubuat mesianis di Mazmur 2:7 dan Yesaya 42:1. Ketika proklamasi ini kembali dilakukan Bapa pada waktu Yesus dimuliakan di gunung (Mat 17:5), Yesus tampil bersama dua tokoh Perjanjian Lama, yaitu Musa dan Elia. Dalam beberapa teks, sebutan “Anak Allah” muncul bersama-sama dengan sebutan “Mesias” (Mat 16:16; 26:63; Yoh 11:27; 20:31).

 Kedua, pemahaman Natanael tentang Yesus memang tidak menyiratkan makna yang sesungguhnya dari ungkapan itu. Ada kemungkinan Natanael tidak sungguh-sungguh memahami arti yang penuh dari gelar “Anak Allah”.3 Dia mungkin memikirkan makna lain dari sebutan itu. Hal ini sama dengan pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Anak Allah (Mat 16:16), tetapi setelah peristiwa selanjutnya membuktikan bahwa Dia tidak sepenuhnya memahami hal itu (Mat 16:21-23).

Ketiga, gelar “Anak Allah” memang tidak selalu menyiratkan kesamaan hakekat dengan Allah. Beberapa pribadi yang memakai sebutan ini jelas bukan Allah dalam arti yang sesungguhnya. Bagaimanapun, kita perlu mengerti keunikan sebutan “Anak Allah” yang dikenakan pada Yesus. Keunikan ini terlihat dari pemakaian kata “Anak Tunggal” (huios monogenhs) yang dikenakan pada Yesus (Yoh 3:16; 1Yoh 4:9). Walaupun kata monogenhs memang tidak menyiratkan ide “anak satu-satunya” seperti dalam kasus Ishak sebagai monogenhs Abraham (Ibr 11:17),4 namun sebutan yang dikenakan pada Yesus ini tetap mengindikasikan bahwa Dia unik di antara pribadi-pribadi lain yang disebut sebagai “anak Allah”.

 Keunikan lain terlihat dari fakta bahwa Yesus tidak pernah mengelompokkan diri-Nya bersama murid-murid-Nya sebagai “anak-anak Allah”.5 Dalam Yohanes 20:17 Yesus menyatakan ini melalui ungkapan “kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu”. Seandainya ke-Anakan Yesus tidak unik, maka kita berharap Yesus akan memakai ungkapan yang lebih sederhana tetapi jelas, yaitu “kepada Bapa kita dan kepada Allah kita”.

3D. A. Carson, The Gospel According to John. Pillar New Testament Commentary (Leicester/Grand Rapids: Apollos/Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1991), 162. 4D. A. Carson, Exegetical Fallacies (2nd ed., Grand Rapids: Baker Books: 1996), 30-31. Ishak jelas bukan satu-satunya anak Abraham, karena Abraham masih memiliki Ismael dari Hagar (Kej 16) dan anak-anak lain dari Ketura (Kej 25:1-4). Dia disebut monogenhs dalam arti memiliki relasi khusus dengan Abraham (anak perjanjian). 5George Eldon Ladd, A Theology of the New Testament, revised by Donald A. Hagner (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1993), 84.

Dalam doa yang Yesus ajarkan kepada murid-murid-Nya, Dia memerintahkan mereka menyebut Allah sebagai “Bapa kami yang ada di surga” (Mat 6:9), tetapi Dia sendiri tidak termasuk dalam kategori “kami” dalam doa ini. Jika Dia termasuk dalam kategori “kami” di sini, maka permohonan “ampunilah kesalahan kami” (Mat 6:12a) akan berkontradiksi dengan kesucian hidup Yesus (2Kor 5:21; Ibr 4:15; 7:26; 1Pet 2:22; 3:18; 1Yoh 3:5).   Sebutan Anak Allah untuk Yesus menyiratkan kesetaraan dengan Allah

Kita sudah mempelajari bahwa gelar “Anak Allah” untuk Yesus adalah unik. Keunikan ini tidak boleh diabaikan. Kita tidak boleh menyamakan status Yesus sebagai “anak Allah” dengan pribadi-pribadi lain yang disebut “anak Allah”. Pertanyaannya, sejauh mana keAnakan Yesus itu unik dibandingkan dengan yang lain? Apakah keunikan ini mencakup hakekat-Nya yang ilahi? Beberapa bukti berikut ini tampaknya mendukung gagasan bahwa Yesus sebagai “Anak Allah” memang berkaitan dengan hakekat keilahian-Nya.

Yohanes 5:18

 “Sebab itu orang-orang Yahudi lebih berusaha lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena Ia mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah”. Teks ini sebenarnya secara eksplisit menyiratkan bahwa klaim sebagai “Anak Allah” sama dengan menyamakan diri dengan Allah. Karena itulah orang-orang Yahudi berusaha membunuh Yesus yang dianggap telah menghujat Allah.

Pihak non-Trinitarian biasanya menyanggah pendapat di atas dengan mengatakan bahwa orang-orang Yahudi telah salah menangkap maksud ucapan Yesus. Dia tidak bermaksud menyamakan diri dengan Allah melalui sebutan “Anak (Allah)” tetapi merekalah yang menafsirkan seperti itu. Untuk mendukung pandangan ini mereka menyoroti tuduhan pertama di ayat ini – yaitu Yesus meniadakan Hari Sabat – sebagai tuduhan yang tidak tepat. Jika tuduhan pertama saja sudah tidak tepat, apakah tidak mungkin tuduhan yang selanjutnya – yaitu Yesus menyamakan diri dengan Bapa – juga mengandung kesalahan yang sama?6 Argumen lain didapat dari beberapa catatan Alkitab tentang kesalahpahaman orang-orang Yahudi, termasuk para pemimpin mereka (Yoh 3:4, 10).7

Apakah tuduhan bahwa Yesus meniadakan Sabat adalah salah? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus memahami bahwa peraturan Sabat menyangkut dua aspek: beribadah bersama dan tidak boleh melakukan aktivitas pekerjaan. Yang dipermasalahkan orang Yahudi pasti bukan aspek yang pertama. Mereka pasti tahu kalau Yesus tetap beribadah pada Hari Sabat (Mar 1:21; 3:1-5). Mereka hanya mempermasalahkan aspek yang kedua.

Apakah benar Yesus meniadakan aspek yang kedua dari peraturan Sabat ini? Dari data Alkitab yang tersedia, tuduhan ini tampaknya memang tepat. Ketika Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat dan memerintahkannya untuk mengangkat tilamnya (Yoh 5:8-16), Dia tidak hanya meniadakan tafsiran orang-orang Yahudi tentang Sabat;8 Dia sekaligus menyatakan otoritasnya yang melebihi Hari Sabat. Dia menegaskan bahwa apa yang Dia                                               

6 Holt, Jesus: God or the Son of God?, 62-63. 7 Ibid. 8 Tentang berbagai peraturan Sabat Yahudi, lihat C. K. Barrett, ed., The New Testament Background

lakukan merupakan pekerjaan Allah (ayat 17). Dalam kontroversi seputar Hari Sabat di Yohanes 7:22-23 Yesus mengajarkan bahwa ada hal-hal tertentu yang melebihi Sabat, misalnya peraturan sunat pada hari ke-8 yang sudah ada sebelum Taurat (band. Kej 17:12). Dalam Matius 12:1-8 Dia secara eksplisit mengklaim bahwa Dia melebihi bait Allah (ayat 6) maupun Sabat (ayat 8//Mar 2:28//Luk 6:5). Setelah kebangkitan Yesus, orang-orang Kristen bahkan berani mengganti Hari Sabat menjadi Hari Minggu (Hari Tuhan, Kis 20:7; 1Kor 16:2; Why 1:10).

Sekarang mari kita menyelidiki tuduhan selanjutnya di Yohanes 5:18. Apakah Yesus menyebut Allah sebagai Bapa-Nya? Dari ayat 17 terlihat dengan jelas bahwa Yesus memang menyebut Allah sebagai Bapa-Nya. Seandainya Yesus sekedar menyebut Allah sebagai  Bapa dari semua orang, maka orang-orang Yahudi pasti tidak akan mempersoalkan pernyataan seperti itu.9 Jadi, kalimat ini benar (bukan sekedar tuduhan tanpa bukti). Apakah kalimat ini berarti bahwa Yesus menyamakan diri-Nya dengan Bapa? Sekali lagi, konteks memberi dukungan ke arah itu. Dalam bagian lain, Yesus menyatakan bahwa Dia dan Bapa adalah satu (10:30) dalam arti setara (10:33), sehingga atas pernyataan ini Dia juga sekali lagi akan dibunuh oleh orang-orang Yahudi (10:31). 

Berkaitan dengan fenomena kesalahpahaman seputar ucapan Yesus secara umum, kita harus mengakui bahwa orang-orang Yahudi memang kadangkala salah memahami Yesus (Yoh 2:18-21). Jangankan mereka, murid-murid-Nya pun berkali-kali salah menangkap ucapan Yesus (Mat 16:6-12; Yoh 4:32-33). Secara khusus dalam Injil Yohanes, kesalahpahaman seperti ini malah menjadi salah satu karakteristik, sebagaimana dibahas oleh D. A. Carson dalam artikelnya.10 Menariknya, Carson sendiri meyakini bahwa tidak ada kesalahpahaman seperti ini dalam kasus Yohanes 5:18. Ia bahkan berpendapat bahwa respon Yesus di ayat 1924 justru semakin membenarkan kesetaraan-Nya dengan Bapa.11 Pendapat berlawanan dikemukakan oleh Holt.12 Jadi, yang paling penting adalah memperhatikan konteks (jawaban Yesus di ayat 19-24).

Apakah jawaban Yesus menegaskan atau menyangkali kesetaraan-Nya dengan Bapa? Hal pertama yang harus dipahami adalah bahwa ayat 19-24 berusaha menjawab dua isu sekaligus: Yesus menyebut Allah sebagai Bapa dan menyamakan diri-Nya dengan Allah. Dua hal ini akan sangat menolong kita ketika kita menemukan makna subordinasi maupun kesetaraan Yesus terhadap Bapa di ayat 19-24. Dalam konteks Allah sebagai Bapa, Ia jelas lebih besar daripada Anak (band. Yoh 14:28b). Bapa mengajarkan kepada Anak apa yang harus dilakukan (ayat 19a) sebab Anak bertugas mengerjakan semua pekerjaan Bapa (ayat 19b-22). Sebagai seorang Bapa, Allah mengasihi, memberi tugas dan kuasa kepada Anak-Nya (ayat 19b-22).

                                                 9 Leon Morriss, The Gospel According to John. New International Commentary on the New Testament (rev. ed., Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1995), 275. 10 “Understanding Misunderstandings in the Fourth Gospel”, TynB 33 (1982), 59-89. 11 D. A. Carson, The Gospel According to John, 249-255.  12 Jesus: God or the Son of God?, 190-191.Ia justru melihat ayat 19-24 sebagai penjelasan Yesus bahwa Dia bukan menyamakan diri dengan Bapa-Nya.

Bagaimanapun, makna subordinasi di atas tidak meniadakan kesetaraan Anak dengan Bapa. Makna tersebut hanya menjelaskan relasi Anak-Bapa. Ayat 19-24 memberikan beberapa indikasi kuat tentang kesetaraan antara Yesus dan Bapa.13
(1) Anak melakukan apa saja yang dilakukan oleh Bapa (ayat 19b).14 Untuk mampu melakukan apa saja yang dilakukan Bapa, maka Yesus harus memiliki kuasa yang setara dengan Bapa.
 (2) Anak memberi hidup kepada barangsiapa yang dikehendaki-Nya (ayat 21). Otoritas ini setara dengan otoritas Bapa (band. “sama seperti Bapa membangkitkan orang mati dan menghiudpkannya...”). Bukan hanya itu, Anak juga memiliki kebebasan penuh untuk menghidupkan barangsiapa yang dikehendaki-Nya.
 (3) Anak menjalankan penghakiman atas semua manusia (ayat 22). Pernyataan ini menyiratkan kesetaraan dengan Bapa, karena bagi orang Yahudi Hakim seluruh bumi adalah Allah (Kej 18:25). Dalam tulisan para rabi disebutkan bahwa hak ini merupakan prerogatif Allah yang tidak akan diberikan kepada siapapun, termasuk kepada mesias.
 (4) Anak dan Bapa menerima penghormatan yang sama (ayat 23). Ungkapan ini bukan sekedar menyiratkan konsep penghormatan kepada utusan karena yang mengutus, tetapi kesetaraan antara yang diutus dan yang mengutus. Makna ini diindikasikan oleh frase “sama seperti menghormati Bapa”. Selain itu, penegasan ulang di ayat 23b turut memperjelas makna tersebut.
 Jika semua poin di atas digabungkan, maka kita dapat melihat dengan jelas bahwa Yesus memang meneguhkan “tuduhan” orang-orang Yahudi di ayat 18. Dia memang Anak Allah dalam arti yang unik, yaitu memiliki kesetaraan dengan Bapa.

Markus 14:61-63 (Matius 26:63-65)

Dalam teks ini beberapa sebutan Yesus muncul secara bersamaan, yaitu “Mesias”, “Anak dari Yang Terpuji” dan “Anak Manusia”. Walaupun ketiga gelar ini memiliki kaitan yang erat, tetapi kita hanya akan memfokuskan pada yang kedua. Yang menarik untuk disimak adalah sikap diam yang ditunjukkan Yesus terhadap semua tuduhan yang ditujukan kepada-Nya (ayat 60-61a). Dari konteks dapat dilihat bahwa sikap ini merupakan respon Yesus terhadap kepalsuan dari tuduhan-tuduhan tersebut (band. ayat 55-59). Yesus merasa tidak perlu memberikan respon terhadap apa yang tidak benar.

Bagaimanapun, sikap Yesus berubah ketika imam besar menanyakan apakah Dia mengklaim diri sebagai Mesias, Anak Yang Terpuji.15 Kita harus memahami apa yang diharapkan oleh imam besar melalui pertanyaan ini. Karena tidak ada satu kesaksian/tuduhan pun yang dapat dibenarkan, maka dia harus menemukan tuduhan yang valid untuk menangkap Yesus. Dia ingin menjebak Yesus melalui pertanyaan ini. Yang paling penting dari pertanyaan ini bukanlah gelar “mesias”. Jika Yesus mengaku sebagai mesias, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai penghujatan,16 karena sudah banyak orang yang mengaku sebagai
                                             
 13 Dikembangkan dari Carson, The Gospel According to John, 249-255; Morris, The Gospel According to John, 276-280. 14 LAI:TB tidak menerjemahkan kata ha...tauta yang seharusnya diterjemahkan ”apa saja”. Lihat semua versi Inggris. 15 Sebutan “Anak Yang Terpuji” memiliki arti yang sama persis dengan “Anak Allah”. Ungkapan ini mungkin dipakai untuk menghindari penyebutan nama ”Allah”. 16 Kalau Yesus mengklaim sebagai mesias, maka Dia mungkin hanya akan didebat dan diminta untuk memberikan bukti. R. Alan Cole, Mark. The Tyndale New Testament Commentary (2nd ed., Surabaya: Momentum, 2007), 306.

mesias. Sikap Mahkamah Agama terhadap isu-isu seperti ini juga relatif cukup positif (band. Kis 7:34-37). Jadi, yang menjadi inti jebakan adalah gelar “Anak Yang Terpuji”.

Pertanyaan tentang “Anak Yang Terpuji” di sini jelas memiliki makna yang khusus. Jika imam besar hanya memaksudkan sebutan “Anak Allah” dalam arti “malaikat” atau “hamba Allah yang khusus”, maka jebakan ini akan kehilangan signifikansinya. Yesus sangat mengerti apa yang mereka maksudkan. Ketika mendapat pertanyaan ini, Yesus justru memberikan jawaban positif “ya” (ayat 62a). Ia bahkan memberi penjelasan terhadap hal itu supaya imam besar tidak salah menangkap maksud-Nya (ayat 62b). Sikap Yesus ini jelas sangat penting untuk diperhatikan, karena sebelumnya Dia sama sekali tidak mau menjawab tuduhan-tuduhan yang palsu. Jika Dia sampai mau menjawab “tuduhan” ini, maka “tuduhan” ini memang benar. Di samping itu, jika Dia menolak untuk menjawab pertanyaan ini, maka Mahkamah Agama pasti akan mencari cara lain untuk menangkap Dia.17

Dari jawaban Yesus ini imam besar langsung mengambil konklusi bahwa Yesus telah menghujat Allah. Apakah konklusi ini sekedar kesalahpahaman dari pihak imam besar? Sama sekali tidak! Jika ini sekedar salah paham, maka Yesus memiliki kesempatan untuk mengoreksi hal itu dan dengan demikian akan terhindari dari penghukuman.18

Yohanes 20:31

Dalam teks ini Yohanes memberitahukan tujuan injilnya, yaitu untuk meyakinkan bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah. Walaupun pihak non-Trinitarian menganggap bahwa gelar “Anak Allah” tidak sama dengan “Allah”, namun pandangan ini tidak sesuai dengan karakteristik Injil Yohanes secara keseluruhan. Sebelum tujuan ini dinyatakan, Yohanes menutup dengan kisah pengakuan Tomas sebagai klimaks dari kesluruhan. Ternyata Tomas mengaku Yesus sebagai “Allah”, bukan “Anak Allah” (20:28). Di samping itu, Yohanes memulai kitabnya dengan pernyataan tegas bahwa Yesus adalah Allah (1:1). Jika “Anak Allah” tidak sama dengan “Allah”, maka pendahuluan dan klimaks cerita di Injil Yohanes menjadi tidak sesuai. 

Matius 11:25-27

Teks ini merupakan salah satu teks yang menjelaskan keunikan status Yesus sebagai “Anak Allah”. Robert Reymond memaparkan empat kesejajaran penting antara Anak dan Bapa dalam perikop ini.19 Yang paling penting, Anak memiliki pengetahuan yang eksklusif tentang Bapa, begitu pula sebaliknya (ayat 27). Pengetahuan ini tidak dimiliki oleh pribadi lain, sebagaimana tampak dari ungkapan “tidak ada seorang pun”. Pengetahuan ini juga bersifat mutual. Artinya, sebagaimana Bapa mengenal (epiginwskei) Anak, demikian pula Anak mengenal (epiginwskei) Bapa.

Kedua, baik Anak maupun Bapa sama-sama menjadi kunci keselamatan manusia dalam hal pewahyuan. Mereka yang diselamatkan adalah mereka yang kepadanya Bapa menyatakan diri (ayat 25-26). Jika Bapa tidak menyembunyikan diri, maka orang tidak akan sampai pada
                                             
 17 Mark, EBC Vol. 8. electronic edition. 18 Millard J. Erickson, Christian Theology (2nd. ed., Grand Rapids: BakerBooks, 1998), 703. 19 A New Systematic Theology of the Christian Faith (2nd ed., Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1998), 218-220

keselamatan. Demikian pula dengan Anak. Orang hanya bisa mengenal Bapa kalau Anak berkenan menyatakannya.

Ketiga, baik Anak maupun Bapa sama-sama memiliki otoritas yang tertinggi. Bapa disebut sebagai “Tuhan langit dan bumi” (ayat 25). Anak dikatakan telah menerima segala otoritas dari Bapa (ayat 27a).

Keempat, keduanya memiliki saling ketergantungan dalam hal pewahyuan. Bapa hanya menyatakan diri kepada mereka yang Ia berkenan (ayat 26). Begitu pula Anak berhak menyatakan Bapa kepada siapa saja yang Ia perkenan. #

Keilahian Yesus: Gelar “Anak Manusia” 
Sekarang kita akan membahas tentang gelar yang lain, yaitu “Anak Manusia”. Dalam banyak hal gelar ini sangat terkait dengan gelar-gelar lain – terutama “Mesias” -  namun kita akan mencoba melihat gelar ini secara terpisah. Bagian ini akan membuktikan bahwa dua gelar tersebut turut mempertegas keilahian Yesus.

Keilahian Anak Manusia

Gelar “Anak Manusia” sangat jarang dihubungkan dengan keilahian Yesus. Sebaliknya, bapa-bapa gereja memahami sebutan ini sebagai bukti bagi kemanusiaan Yesus.1 Sebagian teolog modern juga menekankan sisi kemanusiaan Yesus melalui sebutan ini. Menurut mereka sebutan ini membuktikan bahwa Yesus benar-benar manusia, karena dia adalah anak manusia.2

Kesalahpahaman di atas disebabkan mereka kurang menyadari bahwa sebutan “Anak Manusia” adalah sebuah gelar, bukan sekedar ungkapan. Mereka juga kurang memahami latar belakang Perjanjian Lama dari sebutan ini.

Sebutan “Anak Manusia” sebenarnya sangat berkaitan dengan keilahian Yesus. Contoh yang paling jelas tentang hal ini adalah ketika Yesus diadili oleh imam besar (Mat 26:57-68//Mar 14:53-65//Luk 22:54-55, 63-71//Yoh 18:12-14, 19-24). Imam besar bertanya kepada Yesus apakah Dia benar-benar Mesias, Anak Allah (Matius 26:63). Terhadap pertanyaan ini Yesus menjawab “engkau telah mengatakannya” (Mat 26:64a). Jawaban ini harus dilihat sebagai bentuk peneguhan, karena di Matius 26:25 Yesus juga memberikan jawaban yang sama ketika Yudas bertanya, “bukan aku yang rabi?”.

Bagaimanapun, Yesus juga menyadari bahwa mesias yang dimaksud oleh orang-orang Yahudi adalah mesias secara politik/militer, karena itu Dia perlu menegaskan di ayat 64b bahwa Dia benar-benar mesias tetapi bukan seperti yang mereka harapkan.3 Dia adalah Anak Manusia yang duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit. Mendengar penjelasan seperti ini, imam besar bukan hanya menganggap Yesus telah menghujat, tetapi ia juga mengoyakkan jubahnya, walaupun tindakan ini sebenarnya tabu untuk dilakukan oleh seorang imam besar (Im 21:10).4 Ia langsung memahami bahwa Yesus telah menghujat Allah.

                                                 1 George E. Ladd, A Theology of the New Testament, rev. by Donald Hagner (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1993), 144. 2 Misalnya Augustus H. Strong, Systematic Theology (London/Glasgow: Pickering & Inglis, Limited, 1907),  673-674. 3 R. T. France, Matthew, TNTC (Surabaya: Momentum, 2007), 380-381. 4 Ibid., 382. 

Sikap imam besar dalam kisah ini bukanlah sebuah kesalahpahaman. Sikap ini adalah respon yang dapat ditebak terhadap ucapan Yesus di ayat 62b. Pernyataan Yesus di ayat ini memang menyiratkan klaim khusus yang menegaskan bahwa Dia lebih dari sekedar manusia. Yesus pun tidak mengoreksi sikap imam besar maupun membela diri seandainya itu hanya sebuah kesalahpahaman.

Latar belakang pemakaian gelar “Anak Manusia”

Mengapa imam besar sampai melakukan tindakan yang tampak berlebihan seperti ini? Mengapa dia menganggap Yesus telah menghujat Allah? Jawaban atas dua pertanyaan ini sangat berkaitan dengan beberapa nubuat mesianis dalam Perjanjian Lama. Jawaban Yesus menunjukkan bahwa Dia adalah mesias yang dijanjikan di Mazmur 110:1 dan Daniel 7:13.5 Teks pertama berbicara tentang mesias yang akan duduk di sebelah kanan Allah, sedangkan teks kedua tentang Anak Manusia yang datang di awan-awan serta diberi otoritas atas segala sesuatu oleh Allah. Jawaban Yesus sekaligus menunjukkan bahwa dua nubuat tersebut merujuk pada pribadi yang sama.

Dua teks di atas sama-sama menunjukkan bahwa Yesus bukan sekedar manusia biasa yang berfungsi sebagai utusan Allah. Dia adalah mesias yang ilahi. Beberapa hari sebelum Yesus diadili, Dia juga mengutip Mazmur 110:1 dalam dialog dengan orang-orang Farisi untuk membuktikan bahwa mesias lebih besar daripada Daud (Mat 22:41-46), karena Daud sendiri menyebut mesias sebagai tuannya (Mat 22:41-46).6 Penjelasan ini membuat orang-orang Farisi terdiam dan tidak mampu menyanggah Dia (Mat 22:46).

Sehubungan dengan Daniel 7:13, nubuat ini juga menyiratkan keberadaan seseorang yang lebih dari sekedar manusia. Konteks memberikan beberapa indikasi yang jelas tentang hal ini.
(1) Anak Manusia dalam nubuat Daniel dikontraskan dengan empat binatang buas  (Dan 7:28). Keempat binatang ini sama dengan empat kerajaan besar di Daniel 2. Perbedaan gambaran ini menyiratkan perbedaan natur, sama seperti binatang berbeda dengan manusia, sama seperti kerajaan dunia berbeda dengan kerajaan Allah.7
(2) Penglihatan tentang Anak Manusia terjadi dalam setting surgawi di mana tahta Yang Lanjut Usia berada (Dan 7:9-13).8 Setting ini berbeda dengan empat binatang yang muncul dari dalam laut (Dan 7:3) atau dari dalam bumi (Dan 7:17).
(3) Anak Manusia datang dalam awan-awan.9 Dalam Alkitab ungkapan seperti ini sangat berhubungan dengan ide tentang kekuasaan atau kemuliaan. Perjanjian Lama berkali-kali menggambarkan kemuliaan kehadiran Allah dalam kaitan dengan awan-awan (Mzm 18:10-12; 97:2; Yes 19:1; Nah 1:3; Yer 4:13). Yesus sendiri dalam Markus 13:26 menjelaskan bahwa kedatangan yang kedua kali adalah sebagai berikut: “pada waktu itu orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan-awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya”.
 (4) Anak Manusia dapat mendekati tahta Allah dengan leluasa (Dan 7:13).10
 (5) Anak Manusia memiliki otoritas yang universal dan kekal (Dan 7:14). Otoritas seperti ini menunjukkan bahwa ia memiliki kesejajaran otoritas dengan Allah.11

                                                 5 Ibid., 381. D. A. Carson, Matthew, EBC Vol. 8, electronic edition. 6 Poin ini akan dibahas secara lebih detil pada waktu kita mempelajari gelar “Mesias”. 7 Robert L. Reymond, Jesus: Divine Messiah (Ross-shire: Christian Focus Publication, 2003), 136. 8 Ibid., 140. 9 Ibid., 141. 10 Ibid. 

Salah satu keberatan yang dikemukakan untuk menentang penjelasan di atas adalah pendapat beberapa teolog yang menganggap “Anak Manusia” di Daniel 7:13-14 tidak merujuk pada satu individu tertentu. Sebutan ini merupakan perwakilan dari semua orang percaya, karena dalam penjelasan tentang penglihatan tersebut di ayat 16-27 yang memegang kekuasaan adalah orang-orang kudus (ayat 27), apalagi pemerintahan mereka ini sifatnya juga kekal (band. ayat 14).

Teolog injili biasanya meresponi sanggahan ini dengan memaparkan argumen seperti berikut ini:
(1) Pemerintahan “Anak Manusia” dan “orang-orang kudus” memiliki perbedaan mendasar. Anak Manusia sudah menerima otoritas itu di surga (ayat 13-14), sedangkan orang-orang kudus baru akan menerima itu di bumi setelah penderitaan usai (ayat 27).12
(2) Jika “Anak Manusia” identik dengan “orang-orang kudus”, maka kita menemukan gambaran yang aneh tentang sebuah kerajaan mesianis yang tidak memiliki mesias sebagai raja mereka.13
(3) Jika empat binatang berarti empat raja, maka “Anak Manusia” – yang dikontraskan dengan mereka – juga seharusnya seorang raja, bukan sebuah kerajaan.14

Pendeknya, kita seharusnya membedakan antara “Anak Manusia” dan “orang-orang kudus”, namun keduanya memiliki kaitan yang erat. Pemerintahan orang-orang kudus tidak dapat dipisahkan dari otoritas dan karya Anak Manusia. Pemerintahan mereka hanya dapat direalisasikan melalui Anak Manusia, sehingga mereka dapat memerintah bersama Mesias (Why 20:4; band. Rom 8:17).

Sanggahan umum

Sanggahan umum terhadap keunikan sebutan Anak Manusia pada diri Yesus berhubungan dengan keberagaman makna “anak manusia”. Sebutan ini diyakini berasal dari ungkapan Aramik “bar anasa” (anak manusia) yang artinya tidak berbeda dengan “manusia”. Dengan kata lain, sebutan “anak manusia” memiliki arti yang sama dengan kata “manusia”. Dalam beberapa teks, kedua sebutan itu muncul sebagai sinonim (band. Bil 23:19; Mzm 144:3). Ungkapan Ibrani “ben adham” (anak manusia) juga muncul di bagian lain Alkitab tanpa menyiratkan keunikan apapun (Bil 23:19; Ay 16:21; 25:6; 35:8; Mzm 8:5; 146:3; Yes 51:12; 56:2; Yer 49:18, 33; 50:40; 51:43). Dalam kitab Yehezkiel sendiri, sebutan “anak manusia” muncul lebih dari 90 kali tanpa menyiratkan ide tentang keilahian.

Untuk menjawab sanggahan di atas kita perlu menunjukkan satu fakta penting bahwa sebutan “Anak Manusia” yang muncul lebih dari 80 kali dalam kitab-kitab injil hanya dikenakan pada Yesus.15 Dari semua pemunculan ini, hampir semuanya merupakan ucapan Yesus sendiri. Di samping itu, sebutan “Anak Manusia” selalu memakai artikel, sehingga merujuk pada sesuatu yang spesifik. Alkitab versi bahasa Inggris secara konsisten menerjemahkan fenomena ini dengan “the Son of Man”.
                                                                                                                                                        11 Ibid. 12 Ladd, A Theology of the New Testament, 146. 13 Reymond, Jesus: Divine Messiah, 137. 14 Ibid., 138. 15 Wayne Grudem, Systematic Theology (Nottingham: Inter-Varsity Press, 1994), 546;, Ladd, A Theology of the New Testament, 144. 

Semua data ini menunjukkan bahwa sebutan “Anak Manusia” yang dipakai untuk Yesus merupakan sebutan yang unik. Sebutan ini bukan sekedar sinonim dari kata “manusia”. Jika memang “anak manusia” (ho huios tou anqrwpou) hanyalah sebutan umum untuk semua manusia, maka kita berharap sebutan itu juga dipakai untuk orang lain selain Yesus. Kenyataannya, Perjanjian Baru tidak mengenal pemakaian seperti itu. Jika penulis Alkitab memaksudkan “Anak Manusia” sebagai sinonim dari “manusia”, maka mereka pasti akan memakai bentuk jamak “anak-anak manusia”, seperti dalam kasus Markus 3:28.16 Teks lain yang memuat sebutan “anak manusia” (tunggal) adalah Ibrani 2:6 (kutipan dari Mazmur 8:5). Dalam teks ini, sebutan “anak manusia” muncul tanpa artikel, sehingga dapat merujuk pada manusia secara umum, sekalipun dalam konteks Ibrani 2 sebutan ini diterapkan juga pada Yesus (band. ayat 7-8).

Dukungan lain berasal dari Matius 16:13-20. Dalam kisah ini Yesus bertanya kepada muridmurid-Nya, “siapakah Anak Manusia itu?” (ayat 13). Jika “Anak Manusia” sama dengan “manusia”, maka Yesus tidak perlu menayakan hal itu kepada murid-murid karena mereka pasti sudah mengetahui jawabannya. Kenyataannya, mereka justru mengidentifikasikan Anak Manusia dengan beberapa nabi (ayat 14). Jawaban terakhir diberikan oleh Petrus – yaitu Mesias, Anak Allah (ayat 16) - dan Yesus memuji jawaban ini (ayat 17-19). Dari kisah ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa “Anak Manusia” adalah sebuah gelar yang khusus yang sangat berkaitan dengan mesias, Anak Allah.

Bukti-bukti keilahian yang lain 

Berikut ini adalah beberapa indikasi lain tentang keilahian Anak Manusia.17
 (1) Asalnya dari surga (Yoh 3:13; 6:62).
 (2) Memiliki otoritas untuk mengampuni dosa (Mat 9:6//Mar 2:10//Luk 5:24).
(3) Memiliki otoritas atas hari Sabat (Mat 12:8; Mar 2:28; Luk 6:5).
 (4) Bukan hanya datang dalam kemuliaan Bapa-Nya (Mat 16:27; Mar 8:38), tetapi juga dalam kemuliaan-Nya sendiri (Mat 24:30; 25:31; band. 19:28).
 (5) Memiliki otoritas untuk menghakimi karena Dia adalah Anak Manusia (Yoh 5:27).
(6) Memberi hidup kekal atas dasar relasi seseorang dengan diri-Nya (Yoh 6:27, 53).
 (7) Memiliki kemuliaan yang setara dengan Allah (Why 1:13-17).18
Kemuliaan-Nya membuat orang merasa seperti orang mati, sama seperti pada waktu orang-orang berjumpa dengan Allah (Why 1:13-17; band. Kej 32:30; Ul 5:24; Yeh 1:28; Dan 8:17; 10:7-9). Kemuliaan ini mirip dengan kemuliaan Allah di Daniel 7:9 dan 10:6. Di samping itu, Ia menyebut diri sebagai Yang Awal dan Yang Akhir (Why 1:17), sama seperti gelar yang dipakai oleh Yang Mahakuasa (Why 1:8). #

                                                 16 Ladd, A Theology of the New Testament, 144-145.  17 Robert Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (rev. ed., Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1998), 217-218. Reymond juga memberi bukti-bukti lain, tetapi bukti-bukti itu tidak terlalu tepat, misalnya: sebutan “malaikat-malaikat-Nya” (Mat 13:41) dan perkataan melawan Yesus disebut “penghujatan” (Mat 12:32). Bukti  pertama tidak tepat jika dilihat dari Wahyu 12:7, 9, karena ungkapan “malaikat-malaikatnya” juga diterapkan pada Mikhael dan Iblis. Bukti kedua juga tidak tepat karena kata “menghujat” tidak selalu ditujukan pada Allah yang benar (Kis 13:45; 19:37).     18 Poin ke-7 ini tidak disinggung oleh Reymond, padahal poin ini sangat penting

Keilahian Yesus: Gelar “Mesias” 

Gelar “Mesias” (Yunani “cristos”) merupakan salah satu gelar Yesus yang paling terkenal. Gelar ini dalam Perjanjian Baru muncul sekitar 500 kali. Jumlah ini belum termasuk ungkapan-ungkapan lain yang sangat berkaitan dengan Mesias, misalnya “Anak Daud”, “Anak Manusia”, dsb.

Istilah

Kata Ibrani masiah secara hurufiah berarti “yang diurapi”. Kata benda masiah muncul sebanyak 38 kali dalam seluruh Perjanjian Lama. Kata ini seringkali dikenakan pada pribadi, walaupun dalam beberapa kasus bisa juga dikenakan pada benda (Kel 29:2; Im 2:4; 7:12; Bil 6:15).1

Dalam kaitan dengan dengan pribadi, baik kata benda masiah atau kata kerja masah seringkali dikaitkan dengan jabatan-jabatan tertentu. Pertama, jabatan raja. Raja yang paling sering disebut sebagai “yang diurapi” adalah Daud (1Sam 16:3, 12; 2Sam 2:4, 7; 5:3, 17; 12:7; Mzm 89:21; 1Taw 11:3; 14:8). Raja lain termasuk Saul (1Sam 9:16; 10:1; 15:1, 17), Salomo (1Raj 1:34, 39, 45; 5:15; 1Taw 29:22), Yoas (2Raj 11:12; 2Taw 23:11), Yoahas (2Raj 23:30), Yehu (1Raj 19:15). Di luar raja-raja Israel pun ada yang diurapi oleh Tuhan, yaitu Hazael, raja Aram (1Raj 19:15) dan Koresh, raja Persia (Yes 45:1).

Kedua, jabatan imam. Dalam beberapa teks imam besar disebut sebagai “yang diurapi” (Im 4:3, 5, 16; 6:15). Hal yang sama berlaku juga untuk para imam (Kel 28:41; 30:30; 40:15; Im 7:36; Bil 3:3). Mayoritas teolog cenderung melihat pengurapan atas imam lebih sebagai simbol penyucian dan pengkhususan daripada pemberian kuasa.

Ketiga, jabatan nabi. Alkitab juga memberi petunjuk bahwa nabi adalah orang yang diurapi oleh Tuhan. Tuhan memerintahkan Elia untuk mengurapi Elisha sebagai nabi menggantikan dia (1Raj 19:16). TUHAN memberi pelindungan khusus bagi para patriakh yang juga berperan sebagai nabi-nabi-Nya dengan menyebut mereka sebagai orang-orang yang diurapi (Mzm 105:15).

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa gelar “mesias” memang bukan hanya dipakai untuk Yesus. Banyak orang dalam Alkitab disebut sebagai mesias. Kalau begitu, apakah gelar “Mesias” untuk Yesus merupakan sesuatu yang unik? Apakah Yesus bukan sekedar salah satu dari sekian banyak mesias dalam Alkitab? Untuk mengetahui jawabannya, kita perlu memperhatikan perkembangan konsep tentang pengharapan mesianis dalam sejarah bangsa Yahudi.

                                                 1 Grundmann, “criw”, in Theological Dictionary of the New Testament Vol. IX, ed. by Gerhard Friedrich, trans by Geoffrey W. Bromiley (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1974), 502. 

Perkembangan konsep tentang pengharapan mesianis

Studi tentang perkembangan konsep mesianis merupakan tugas yang sangat kompleks dan problematis. Bagaimanapun, para teolog telah mencapai konsensus bahwa berbagai nubuat Perjanjian Lama yang dahulu dilihat sebagai nubuat-nubuat yang terpisah tentang kedatangan utusan atau hamba TUHAN pada masa setelah Perjanjian Lama nubuat-nubuat itu mulai disatukan. Secara umum dapat dikatakan bahwa bangsa Yahudi tidak mengharapkan banyak mesias, tetapi satu mesias yang akan menggenapi semua nubuat mesianis dalam Perjanjian Lama. Walaupun figur mesias yang dinantikan sangat beragam, namun mereka semua mengharapkan kehadiran satu mesias tertentu.

Salah satu aspek penting dari perkembangan tersebut adalah nubuat tentang datangnya seorang keturunan Daud yang akan memerintah sebagai raja dengan kekuasaan yang universal dan kekal. Pengharapan seperti ini tercermin dalam beberapa mazmur yang disebut sebagai Mazmur Raja (2:6; 21:9-13; 110:1, 3; 89:19; 132:11). Para sarjana meyakini bahwa akar dari pengharapan ini berasal dari konteks kenabian, terutama 2Samuel 7:12-16. Dalam teks terakhir ini disebutkan bahwa keturunan Daud akan memiliki kekuasaan yang kekal. Teks lain menyebutkan bahwa pemerintahan tersebut juga bersifat universal (Mzm 110:1).

Nubuat ini terus dikumandang para nabi sesudah jaman Daud. Yesaya menubuatkan kedatangan keturunan Daud yang pemerintahannya bersifat kekal (9:5-6) dan universal (11:15, 10; band. 11:6-9; 16:5). Yeremia menubuatkan kedatangan seorang tunas Daud yang akan menjadi raja dan membawa bangsa Israel pulang dari pembuangan (23:5-8). Yehezkiel menubuatkan raja seperti Daud yang akan menggembalakan umat Allah (34:23-24; 37:2225). Mikha menjelaskan bahwa pemerintahan keturunan Daud bersifat kekal dan universal (5:1-4).

Semua pengharapan di atas akhirnya mendapat interpretasi baru setelah masa pembuangan. Pembuangan ke Babel menunjukkan bahwa pemerintahan keturunan Daud tidak bersifat kekal maupun universal. Apakah hal ini berarti bahwa semua nubuat itu tidak digenapi? Tidak mungkin! Apa yang dijanjikan Allah melalui nubuat para nabi-Nya pasti digenapi (Bil 23:19; Ibr 11:11; 2Pet 3:9), sebab kalau tidak digenapi hal itu berarti bahwa mereka bukanlah nabi yang benar (band. Ul 18:21-22). Apakah janji itu tidak digenapi karena raja-raja keturunan Daud berlaku tidak setia (band. 1Raj 4:2)? Mereka memang tidak setia, tetapi Allah tetap setia sehingga janji itu tidak mungkin batal (Rom 3:3-4; 2Tim 2:13). Kesetiaan Allah terhadap janji-Nya ini ditunjukkan melalui pelayanan para nabi sesudah pembuangan yang tetap memberitakan kedatangan raja dari keturunan Daud (Zak 9:9-10), walaupun dalam kenyataan waktu itu keturunan Daud sudah tidak memerintah sebagai raja. Allah tetap setia. Jadi, bagaimana bangsa Yehuda mengharmonisasikan antara janji tersebut dengan fakta pembuangan ke Babe? Pembuangan ke Babel telah mendorong mereka untuk menginterpretasikan ulang semua nubuat tersebut di atas. Mereka mulai menyadari bahwa nubuat-nubuat itu tidak dapat dipahami secara hurufiah (politik/militer) dan dalam waktu yang dekat. Nubuat itu merujuk pada kedatangan “anak Daud” secara eskhatologis.2

Selama masa-intertestamental (periode 400 tahun antara masa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru), interpretasi baru terhadap datangnya keturunan Daud bercampur dengan pengharapan

                                                 2 George E. Ladd, A Theology of the New Testament (rev. by Donald Hagner; Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1994), 135. 

mesianis yang lain. Beberapa kitab Yahudi pada masa ini mengindikasikan adanya pengharapan yang kuat terhadap kedatangan seorang figur yang akan memulihkan bangsa Yahudi. Sebutan “Mesias” (dengan artikel, “the Messiah”) ditemukan beberapa kali dalam beragam tulisan Yahudi pada masa ini. Berdasarkan penyelidikan terhadap teks-teks mesianis dalam berbagai tulisan Yahudi pada masa intertestamental,3 kita dapat menarik beberapa kesimpulan: (1) Sebutan “Mesias” bukan hanya merujuk pada raja eskhatologis, tetapi juga nabi dan imam besar yang eskhatologis. (2) Mesias akan memiliki kekuasaan yang universal dan itu akan menjadi penggenapan dari berbagai nubuat Perjanjian Lama tentang kedatangan keturunan Daud dengan pemerintahannya yang kekal dan universal. (3) Mesias sudah ada sebelum dia menyatakan diri (band. Dan 7:13-14; Mik 5:2). (4) Mesias menggenapi berbagai nubuat dalam Perjanjian Lama yang dulu tampaknya saling terpisah, misalnya Mesias adalah nabi yang akan datang (Ul 18:18), anak Daud (Mzm 2:7), hamba yang menderita dalam kitab Yesaya (Yes 53; 42:1-4; 61:1-3), seorang seperti anak manusia (Dan 7:13-14), dsb.

Pada masa Perjanjian Baru bangsa Yahudi tetap mengharapkan kedatangan Mesias (Yoh 1:20, 41; 4:29; 7:31; Luk 3:15). Dalam konteks seperti inilah Yesus tampil dan menggenapi semua nubuat mesianis dalam Perjanjian Lama. Dia adalah keturunan Daud yang akan memerintah sebagai raja atas umat-Nya (Mat 2:2, 5-6; 21:9; 22:42; band. Yoh 6:15). Dia adalah nabi yang akan datang (Yoh 7:40-42). Dia adalah Anak Manusia yang akan memegang segala otoritas universal (Mat 26:63-64; 28:18). Dia juga adalah Mesias yang menderita dalam nubuat Yesaya (Mat 3:17; Luk 4:17-21).

Mesias yang ilahi

Ada beberapa cara yang dipakai penulis Alkitab untuk menunjukkan keilahian Yesus sebagai mesias, keturunan Daud, yang akan memerintah secara kekal dan universal.4 Pertama, mesias digambarkan sebagai seseorang yang lebih besar daripada Daud. Dia bukan sekedar “anak Daud”, tetapi Dia akan melebihi Daud dalam segala hal. Walaupun Daud dan mesias samasama dari suku Yehuda, namun kekuasaan mesias sudah ada sejak dahulu kala (Mik 5:1-2). Mesias disebut sebagai tuannya Daud (Mzm 110:1; Mat 22:41-46).5 Kedua, mesias beberapa kali ditampilkan sebagai figur ilahi, bahkan disamakan dengan Allah sendiri.6

(1) Dalam Mazmur 2:7 mesias disebut sebagai Anak yang diperanakkan oleh TUHAN. Penulis kitab Ibrani mengutip ayat ini dan menjelaskan pentingnya status mesias sebagai anak Allah. Sebagai anak Allah, Yesus tidak ada duanya di antara semua malaikat, bahkan semua malaikat harus menyembah Dia (Ibr 1:5-6).                                               

3 Lihat Grundmann, “criw”, 509-527; Ladd, A Theology, 135-137. Khusus untuk pembahasan sederhana tentang pengharapan mesianis dari Masyarakat Qumran yang hidup di dekat Laut Mati sekitar abad ke-2 SM, lihat Joseph A. Fitzmyer, Responses to 101 Qeustions on the Dead Sea Scrolls (New York/Mahwah: Paulist Press, 1992), 53-56.  4 Lihat John Frame, The Doctrine of God (Phillipsburg: P&R Publishing, 2002), 661-663; Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (rev. ed., Nashville: Thomas Nelson Publishers, 1998), 212-214.  5 Lihat pembahasan selanjutnya.  6 Semua pembahasan dalam poin ini diambil dari tulisan Robert L. Reymond, Jesus: Divine Messiah (Ross-shire: Christian Focus Publications, 2003). Beberapa poin tertentu yang diambil dari sumber lain akan ditandai dengan catatan kaki.
(2) Bani Korah menyebut mesias sebagai “Allah” yang diurapi oleh Allah untuk memerintah secara kekal (Mzm 45:7-8). Teks ini selanjutnya dikutip oleh penulis kitab Ibrani dan dikenakan kepada Yesus (Ibr 1:8).

(3) Mazmur 102 merupakan salah satu mazmur mesianis, karena penulis kitab Ibrani mengutip dan mengenakan teks ini kepada Yesus dalam kapasitas-Nya sebagai Anak (Ibr 1:8 “tentang Anak...”; ayat 10 “dan...”; band. Mzm 2:7). Sebagai tambahan, dalam konteks ini penulis Ibrani beberapa kali mengutip mazmur yang juga diakui sebagai mazmur mesianis (band. Ibr 1:5-6 [Mzm 2:7], 8 [Mzm 45:7-8], 13 [Mzm 110:1]). Dalam Mazmur 102 pemazmur membandingkan kesementaraan hidup manusia atau bangsa Israel (Mzm 102:3, 4-9, 10-11, 13-17) dengan kekekalan TUHAN (Mzm 102:12, 26-28). Menariknya, penulis kitab Ibrani menerapkan teks ini pada Yesus (Ibr 1:10-12). Penulis kitab Ibrani bahkan menyebut Yesus sebagai “Tuhan” (Ibr 1:10), padahal dalam Mazmur 102:25 tidak ada sebutan “Tuhan”. Penambahan ini sangat mungkin dimaksudkan untuk mengidentikkan Yesus dengan TUHAN di Mazmur 102:1-2, 12, 15-16, 18-19, 21-22
(4) Mazmur 110:1-7. Tidak dapat diragukan lagi, mazmur ini termasuk mazmur mesianis. Bahkan mazmur ini merupakan mazmur yang paling sering dikutip dan dikenakan pada Yesus (Mat 22:24; 26:64; Mar 12:36; 14:62; Luk 20:42-43; 22:69; Kis 2:34-35; 5:31; 7:55-56; Rom 8:34; 1Kor 15:25; Ef 1:20; Kol 3:1; Ibr 1:3, 13; 5:6, 10; 7:17, 21; 8:1; 10:12-13; 12:2; 1Pet 3:22; Why 3:21). Dari semua pengutipan tersebut, ada dua teks yang penting untuk diperhatikan secara seksama.

1. Matius 22:41-46. Dialog dalam teks ini menunjukkan beberapa kesamaan konsep antara Yesus dan orang-orang Farisi, antara lain: Mesias adalah Anak Daud, Mazmur 110:1 ditulis oleh Daud melalui pimpinan Roh Kudus, Mazmur 110:1 adalah mazmur mesianis. Kesamaan ini tidak berarti bahwa mereka memiliki tingkat pemahaman yang sama. Orang-orang Farisi hanya memandang Mesias sebagai Anak Daud yang lebih rendah atau paling tidak setara dengan dia, sedangkan Yesus memiliki pandangan terhadap mesias yang sangat tinggi. Dia menjelaskan bahwa Daud sendiri menyebut Mesias sebagai Tuhannya, dengan demikian menunjukkan bahwa Mesias lebih mulia daripada Daud sendiri. Dalam sebuah komunitas yang menekankan usia lanjut sebagai kehormatan dan yang memandang Daud sebagai raja terbesar, ucapan Daud di Mazmur 110:1 merupakan pernyataan yang tidak dapat dibantah oleh orang-orang Farisi.7

2. Kisah Rasul 2:34-36. Dalam kotbah ini Petrus banyak mengutip Daud yang dia sebut sebagai nabi (ayat 30) yang mengetahui bahwa Mesias adalah dari keturunan Daud dan bahwa Mesias akan bangkit setelah mengalami penderitaan dan kematian (ayat 25-31). Petrus akhirnya menutup kotbah ini dengan mengutip Mazmur 110:1 dan menyimpulkan bahwa Yesus adalah Tuhan dan Kristus. Dua sebutan ini jelas membuktikan bahwa keduanya sangat berkaitan. Bagaimana Petrus memahami sebutan “Tuhan” di sini? Apakah “Tuhan” di sini  memiliki arti yang sama dengan TUHAN dalam Perjanjian Lama? Jika kita memeprhatikan konteks yang ada, maka kita akan menemukan jawaban “iya” dan “tidak” sekaligus. Di ayat 20-21 Petrus mengutip nubuat dalam Yoel 2:31-32 dan menerjemahkan kata YHWH menjadi “Tuhan” (kurios). Siapakah yang dimaksud

                                                 7 Leon Morris, The Gospel According to Matthew, PNTC (Grand Rapids/Leicester: Wm. B. Eerdmans Publishing Company/InterVarsity Press, 1992), 566. 
Publishing Company/InterVarsity Press, 1992), 566. 
5/6 

dengan “Tuhan” yang kepada kita berseru dan diselamatkan? Dalam Perjanjian Baru, ungkapan “berseru kepada nama Tuhan” beberapa kali diterapkan pada Yesus (Kis 22:16b, 19, 21; 1Kor 1:2). Jadi, yang dimaksud “Tuhan” di Kisah Rasul 2:20-21 adalah Yesus. Di sisi lain, dalam Kisah Rasul 2:25 (kutipan dari Mazmur 16:8), “Tuhan” dibedakan dari mesias.

(5) Yesaya 9:5-6. Teks ini bukan hanya mengindikasikan kelahiran mesias (band. Mat 1:2223 dan Luk 1:32-33), tetapi juga mesias yang ilahi, karena semua nama yang ada dalam ayat 5 menunjukkan keilahian Anak yang akan dilahirkan. Yang paling jelas adalah sebutan “Allah yang perkasa” (‘el gibbor). Ungkapan ini beberapa kali dikenakan untuk Allah sendiri (Ul 10:17; Mzm 24:8; Yer 32:18; Neh 9:32). Secara khusus ungkapan ini dipakai dalam Yesaya 10:21 “suatu sisa akan kembali, sisa Yakub akan bertobat di hadapan Allah yang perkasa (‘el gibbor). Penyebutan mesias sebagai “Allah yang perkasa” sebelumnya sudah dicatat oleh pemazmur. Dalam Mazmur 45 mesias disebut sebagai gibbor (ayat 4, LAI:TB “pahlawan”) dan ‘elohim (ayat 7).

(6) Dalam Zakaria 2:8-11 Mesias disebut sebagai utusan TUHAN sekaligus TUHAN sendiri yang akan diam di tengah umat-Nya. Hal ini sejalan dengan ajaran Alkitab tentang kelahiran Mesias yang juga menjadi momen di mana “Allah beserta dengan kita” (Yes 7:14//Mat 1:22-23).

(7) Maleakhi 3:1. Teks ini merupakan respon TUHAN terhadap pertanyaan orang-orang Yehuda di pasal 2:17. Mereka sedang menanyakan tentang “di mana Allah yang menghukum?”. Sebagai jawaban, TUHAN semesta alam lalu berjanji akan mengirim seorang utusan (Mal 3:1a). Siapakah yang dimaksud dengan “Aku” maupun “utusan” dalam ayat ini? Dari konteks terlihat bahwa “Aku” di sini adalah TUHAN semesta alam: “mempersiapan jalan di hadapan-Ku”; “Tuhan yang kamu cari” (band. 2:17); “bait-Nya”. “Utusan” yang dimaksud adalah “Elia yang akan datang” (4:5-6), yaitu Yohanes Pembaptis (Mat 11:10-14; 17:10-13; Luk 1:16-17, 76). Jika ini diterima, maka yang dimaksud Tuhan yang akan datang untuk menjalankan keadilan di bumi adalah Yesus sendiri. Dengan demikian Yesus adalah TUHAN di Maleakhi 2:17 yang sedang dicari oleh bangsa Yehuda. Jadi, Yesus adalah mesias yang ilahi.     

Ketiga, sebutan mesias dihubungkan secara erat dengan sebutan-sebutan lain yang menyiratkan keilahian. Gelar “Mesias” sering dikaitkan dengan sebutan “Anak Allah” (Mat 16:16; 26:63; Mar 12:35; Luk 4:41; Yoh 11:27; 20:31) atau “Anak Manusia” (Mat 26:63-64; Yoh 12:34). Jika dua sebutan ini menyiratkan keilahian – sebagaimana kita telah bahas sebelumnya – maka sebutan mesias juga menyiratkan aspek keilahian.

Keempat, mesias yang berbeda dengan pengharapan umum. Perjanjian Baru memberikan petunjuk bahwa Yesus tidak identik dengan mesias yang dinantikan bangsa Yahudi. Perbedaan ini bukan hanya terletak pada fakta Yesus adalah mesias yang menderita dan memulihkan kerajaan Allah secara rohani, tetapi juga pada aspek keilahian Yesus. Dalam pembahasan sebelumnya kita sudah melihat bahwa tindakan Yesus mengampuni dosa di Markus 2:5, 10 merupakan merupakan prerogatif Allah, bahkan seorang mesias pun tidak layak untuk mengampuni dosa orang. Kita juga sudah mempelajari bahwa hak Yesus untuk menghakimi semua orang merupakan hak prerogatif Allah yang tidak diserahkan pada siapapun, termasuk kepada mesias (band. Yoh 5:22).
Kelima, peristiwa transfigurasi (Mat 17:1-13//Mar 9:2-13//Luk 9:28-36). Peristiwa ini memiliki nuansa mesianis yang sangat kental. Dalam konsep berpikir bangsa Yahudi, kehadiran Musa dan Elia merupakan simbol dari kedatangan era mesianis. Secara khusus dalam peristiwa ini Bapa menyebut Yesus sebagai Anak yang Dia kasihi dan memerintahkan murid-murid untuk mendengarkan Yesus (Mat 17:5). Ayat 5a bersumber dari Mazmur 2:7 dan Yesaya 42:1, sedangkan ayat 5b dari Ulangan 18:15.

Keilahian Yesus dalam kisah ini dapat dilihat dari catatan Alkitab bahwa peristiwa transfigurasi merupakan “cicipan pertama” dari kedatangan Anak Manusia sebagai Raja dalam kemuliaan-Nya (Mat 16:28). Petunjuk lain didapat dari superioritas Yesus atas Musa dan Elia: hanya Yesus yang disebut sebagai “Anak Allah” (Mat 17:5) dan hanya kemuliaan Yesus yang tetap bersinar (Mat 17:8). Dari kisah ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa Yesus bukan sekedar “nabi seperti Musa” (Ul 18:18), tetapi Ia jauh melebihi Musa (band. Mat 5:17-48). #

 Keilahian Yesus: Gelar “Tuhan” 
Sama seperti gelar “Mesias” (cristos), gelar “Tuhan” (kurios) merupakan sebutan yang sangat umum untuk Yesus. Dia sendiri pernah menyebut diri sebagai Tuhan, yaitu Tuhan atas hari Sabat (Luk 6:5). Murid-murid berkali-kali menyebut Yesus sebagai Tuhan (Mat 16:22; 17:4; 18:21; Luk 5:8; 10:40; 11:1). Pada masa selanjutnya sebutan ini tampaknya sudah menjadi sebutan umum di kalangan orang Kristen awal (Kis 1:21; 4:33; 7:59; 8:16; 9:17; 15:11, 26; 19:5). Dalam tulisan para rasul sebutan Yesus sebagai Tuhan juga menjadi sebutan favorit, terutama dalam tulisan Paulus (Rom 1:4, 7; 4:24; 5:1, 11, 21; 6:23; 7:25; 8:39; 13:14; 14:14; 15:6; 16:20, 24).1

Pentingnya sebutan kurios juga dapat dilihat dari fakta bahwa sebutan inilah yang menjadi inti pemberitaan injil. Jemaat mula-mula membawa berita bahwa Yesus adalah Tuhan (Kis 11:20). Demikian pula dengan para rasul. Ketika kepala penjara Filipi menanyakan apa yang harus ia perbuat, Paulus berkata, “percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus” (Kis 16:31; band. 20:21). Dalam Roma 10:9 Paulus bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa keselamatan seseorang ditentukan oleh pengakuannya bahwa Yesus adalah Tuhan.2 Petrus memberitakan kepada Kornelius dan seluruh keluarganya bahwa Yesus adalah Tuhan atas semua orang (Kis 10:36). Pengakuan seperti ini bahkan menjadi salah satu tanda apakah seseorang sudah menerima karya Roh Kudus dalam hatinya atau belum (1Kor 12:3).   Penggunaan kurios kurios kurios kurios dalam Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru sebutan kurios dipakai secara beragam. Kata ini kadangkala dipakai untuk manusia biasa. Dalam konteks ini kurios kadangkala dipakai untuk mereka yang memiliki budak (Mat 10:24; 18:25, 27; 25:19; Luk 12:36, 46; Ef 6:5, 9; Kol 3:22). Sebutan ini juga dapat dipakai untuk pemilik ladang (Mat 15:27; Mar 12:9; Luk 19:33; Gal 4:1) atau orang yang mempunyai bawahan (Luk 16:3, 5). Suami juga disebut sebagai kurios (1Pet 3:5; band. Kej 18:12). Sebagai sebuah sapaan, sebutan kurios dapat dipakai untuk menekankan kuasa/otoritas orang yang disapa (Mat 9:28; 16:22; 20:30; Luk 5:8; 10:40; 22:49) atau sekedar sapaan yang sopan (Yoh 12:21), namun batasan antara dua makna tersebut seringkali sulit untuk dipastikan.

Selain untuk manusia, sebutan kurios juga dapat diterapkan pada pribadi ilahi dari surga. Kornelius menyapa malaikat yang menampakkan diri kepadanya dengan sebutan kurios (Kis 10:4). Yohanes memanggil salah seorang tua-tua di tahta Allah sebagai kurios (Why 7:1314). Paulus menyebut pribadi yang menampakkan diri kepadanya dari surga dengan sebutan

                                                 1 Sebutan kurios paling banyak ditemukan dalam tulisan Lukas (210) dan Paulus (275), walaupun tidak semua sebutan ini merujuk pada Yesus. Lihat H. Bietenhard, ”LORD”, NIDNTT Vol. 2., ed. by Collin Brown (Exeter: The Paternoster Press, 1976), 513.  2 Robert Duncan Culver menegaskan bahwa pengakuan ini bukan sekedar “Yesus sebagai Tuhan”, tetapi “Yesus adalah Tuhan”. Systematic Theology: Biblical & Historical (Ross-shire: Christian Focus Publication, 2001), 449 

kurios, walaupun mula-mula dia tidak mengetahui siapa pribadi tersebut (Kis 9:5; 22:8, 10; 26:15).

Kurios juga sering dipakai untuk Allah. Fenomena ini sama dengan kebiasaan para penerjemah Septuaginta yang memakai kata kurios untuk menerjemahkan kata “YHWH” atau “Adonay”. Penggunaan kurios untuk Allah dalam Perjanjian Baru dapat dikelompok menjadi beberapa kategori: (1) Dalam kutipan teks Perjanjian Lama di Perjanjian Baru. Ketika suatu teks Perjanjian Lama yang memuat kata “YHWH” atau “Adonay” dikutip, para penulis Perjanjian Baru mengganti dua sebutan itu dengan kata kurios (Mat 4:7, 10; Rom 4:8).
 (2) Dalam formula pengutipan. Yang termasuk kategori ini antara lain “hal itu terjadi supaya genaplah firman yang disampaikan Tuhan oleh nabi” (Mat 1:22; 2:15), “[beginilah] firman Tuhan” (Rom 12:19//Ul 32:35; 1Kor 15:54; 2Kor 6:17//Yes 52:11; Why 1:8//Kel 3:14), “ada tertulis dalam hukum Tuhan” (Luk 2:23).
(3) Dalam ungkapan-ungkapan tertentu yang bersumber dari konsep Perjanjian Lama. Beberapa ungkapan berikut ini berakar dari Perjanjian Lama: tangan Tuhan (Luk 1:66; Kis 11:21), malaikat Tuhan (Mat 1:20; 2:13; 28:2; Luk 1:11; 2:9; Kis 5:19; 8:26; 12:7), nama Tuhan (Yak 5:10, 14), Roh Tuhan (Kis 5:9; 8:39), firman Tuhan (Kis 8:25; 12:24; 13:48; 15:35).
(4) Sebutan umum untuk Allah. Banyak teks menunjukkan bahwa pada waktu orang-orang Yahudi sudah terbiasa menyebut Allah dengan sebutan kurios (Luk 1:8, 25, 28, 38, 45-46, 58; 2:22, 26, 29). Sebutan “Tuhan Allah” bahkan muncul beberapa kali (Luk 1:32, 68). Yesus sendiri menyebut Bapa-Nya dengan sebutan kurios (Mat 5:33; 11:25).

Sebutan kurios paling sering dipakai untuk Yesus. Sebagian orang menganggap bahwa penggunaan sebutan ini untuk Yesus merupakan suatu hal yang tidak istimewa. Mereka cenderung memandang hal ini sebagai sebuah sapaan sopan atau penghormatan kepada Yesus. Kalaupun sebutan ini memiliki makna lebih daripada sekedar sapaan sopan, maka makna yang ada dianggap tidak lebih dari sekedar pengakuan tentang kuasa atau posisi Yesus. Pendeknya, sebutan tersebut tidak menyiratkan hakekat ilahi Yesus. Apakah pendapat ini dapat dibenarkan?

Sebutan kurios kurios kurios kurios untuk Yesus

Para teolog biasanya membagi sebutan kurios untuk Yesus ke dalam tiga kategori: sapaan hormat, pengakuan terhadap kuasa Yesus dan otoritas-Nya yang mutlak atas segala sesuatu (sebagai Allah).3 Di luar kategori ini kadangkala ditambahkan sebutan kurios yang menyiratkan pengakuan kepada Yesus sebagai pemimpin dan berhak untuk ditaati.4

Pertama-tama kita harus mengakui bahwa dalam beberapa kasus, sebutan kurios untuk Yesus memang tidak menyiratkan keilahian-Nya. Sebutan ini bisa berupa sapaan sopan kepada orang yang mereka hargai. Hal ini hampir dapat dipastikan berasal dari tradisi kerabian

                                                 3 Herman Hoeksema, Reformed Dogmatic (Grand Rapids: Reformed Free Publishing Association, 1966), 340-341. 4 Bietenhard, ibid., 514.  

Yahudi.5 Salah satu contoh paling jelas tentang hal ini dapat kita lihat apabila kita membandingkan sapaan Petrus kepada Yesus pada waktu peristiwa transfigurasi. Matius 17:4 memakai kata dasar kurios, Markus 9:5 memakai rabbi, sedangkan Lukas 9:33 memakai epistaths. Contoh lain adalah sebutan kurios yang dipakai oleh orang-orang yang tidak terlalu mengenal Yesus secara mendalam, misalnya perempuan Samaria (Yoh 4:15) atau orang lumpuh di Kolam Bethesda (Yoh 5:7).

Dalam beberapa kasus penyebutan kurios untuk Yesus bukan sekedar sapaan biasa, tetapi menyiratkan pengakuan terhadap kuasa Yesus. Perempuan Kanaan memanggil Yesus sebagai kurios dan meyakini bahwa Yesus mampu menolong anaknya (Mat 15:22, 25). Hal yang sama ditunjukkan oleh seorang penderita kusta yang memohon kesembuhan dari Yesus (Mat 8:2). Yesus bahkan pernah menanyakan keyakinan dua orang buta terhadap kuasa yang Dia miliki dan mereka menjawab, “Ya Tuhan, kami percaya” (Mat 9:28). Dari kisah-kisah ini terlihat bahwa sebutan kurios tidak sekedar sapaan hormat, tetapi menunjukkan pengakuan terhadap kuasa Yesus.

Selain sapaan hormat dan pengakuan terhadap kuasa Yesus, sebutan kurios dalam beberapa kasus secara eksplisit menunjukkan keilahian Yesus. Pertama, Lukas 1:43. Dalam teks ini Elizabet menyebut Maria sebagai “ibu Tuhanku”. Karena Yesus waktu itu belum lahir, Elizabet tidak mungkin memahami sebutan kurios di sini hanya sebagai sapaan hormat.6 Sebutan ini juga tidak sekedar menyiratkan pengakuan terhadap kuasa Yesus, karena Yesus belum melakukan apapun. Jika sebutan kurios ini menyiratkan kuasa Yesus, maka Yohanes Pembaptis pasti juga akan disebut sebagai kurios, karena dia penuh Roh Kudus sejak dari kandungan Elizabet (ayat 15) dan dia juga berkuasa (ayat 17). Kenyataannya, sebutan kurios tidak dipakai untuk Yohanes Pembaptis.

Jika kita setia pada konteks yang ada, maka kita seharusnya mengakui bahwa sebutan ini menyiratkan keilahian Yesus.
 (1) Sebutan kurios yang muncul dalam Lukas 1 semuanya merujuk pada Allah dalam Perjanjian Lama (ayat 6, 8, 15-17, 25, 28, 32, 38, 45-46, 58, 66, 68, 76).
(2) Sebutan kurios di ayat 17 secara jelas merujuk pada Yesus dan ini merupakan penggenapan dari nubuat kitab suci tentang kedatangan YHWH (Mal 3:1; band. 2:17).7
(3) Dalam konsep berpikir Elizabet dan orang-orang Yahudi waktu itu, mereka hanya mengakui Allah sebagai kurios.
(4) Pengakuan Elizabet ini berasal dari pekerjaan Roh Kudus (ayat 41), karena dia secara manusia belum mengetahui apapun tentang peristiwa yang dialami Maria. Maria baru saja datang dan memberi salam (ayat 40-41a), sehingga belum sempat menceritakan kepada Elizabet apa yang dia dengar sebelumnya (ayat 26-38).
(5) Elizabet merasa sangat tersanjung sekaligus tidak layak menerima kedatangan Maria sebagai “ibu Tuhan” (ayat 43). Jika anak yang dikandung Maria bukanlah Allah sendiri, maka Elizabet tidak akan menunjukkan perasaan seperti itu.

Kedua, Lukas 2:11. Dalam teks ini disebutkan bahwa bayi yang lahir adalah Kristus, Tuhan. Sekilas kita mungkin menganggap informasi ini tidak istimewa, tetapi pernyataan ini sangat mengagetkan orang-orang Yahudi abad ke-1. Bagaimana mungkin seorang bayi disebut

                                                 5 Ibid. 6 Wayne Grudem, Systematic Theology (Nottingham: InterVarsity Press, 1994), 544. 7 Lihat pembahasan tentang Maleakhi 3:1 di bab sebelumnya. 

sebagai kurios, sedangkan mereka waktu itu hanya mengakui Allah sebagai kurios satusatunya? Tidak heran, semua yang mendengar cerita dari para gembala itu menjadi heran (ayat 18).8

Ketiga, Matius 12:8//Markus 2:28//Lukas 6:5. Teks ini mencatat klaim Yesus bahwa Dia adalah kurios atas Hari Sabat. Sebagai Tuhan atas Hari Sabat, Dia lebih besar daripada Daud, para imam maupun bait Allah sendiri (Mat 12:3-6). Klaim seperti ini jelas menunjukkan keilahian Yesus, karena tidak ada manusia pun yang lebih besar daripada bait Allah.9 Di samping itu, dalam Perjanjian Lama Hari Sabat adalah hari yang YHWH klaim bagi diri-Nya sendiri (Kel 20:9-10). Berdasarkan hal ini, klaim Yesus sebagai Tuhan atas Hari Sabat harus dipahami sebagai klaim keilahian.10

Keempat, Mazmur 110:1//Matius 22:44//Markus 12:36//Lukas 20:42. Sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya,11 cara Yesus mengaplikasikan ayat ini pada diri-Nya sendiri merupakan klaim yang eksplisit tentang keilahian-Nya, karena klaim ini menyiratkan kesejajaran kuasa dan otoritas dengan Bapa. Dengan klaim ini Yesus menempatkan diri-Nya jauh lebih tinggi daripada sekedar manusia (bahkan Raja Daud sekalipun yang dianggap sebagai raja Israel yang terbesar, Mat 22:45) maupun malaikat (Ibr 1:13). Tidak heran, imam besar menganggap klaim ini sebagai sebuah penghujatan (Mat 26:64//Mar 14:62).

Kelima, Yohanes 20:28. Dalam bagian ini penyebutan Yesus sebagai kurios dihubungkan dengan pengakuan bahwa Yesus adalah Allah.12 Hal ini menyiratkan bahwa keduanya sangat berkaitan dan ini sesuai dengan data Alkitab lain yang memang sering menggabungkan sebutan “Allah” dan “Tuhan” bersama-sama (frase “Tuhan Allah” dalam Alkitab muncul sebanyak 705 kali). Berdasarkan kaitan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebutan kurios dalam konteks ini pasti menyiratkan keilahian Yesus.

Keenam, Markus 5:19-20. Kepada orang yang baru saja dibebaskan dari roh jahat Yesus memerintahkan agar dia menceritakan kepada keluarganya “segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan (kurios) atasnya dan bagaimana Ia telah mengasihi dia” (ayat 19). Ungkapan ini merupakan ungkapan umum untuk merujuk pada berkat-berkat ilahi dari Allah. Dalam ayat 20 disebutkan bahwa orang tersebut menceritakan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya.13

Ketujuh, Filipi 2:11. Sebutan kurios untuk Yesus dalam teks ini dikaitkan dengan kemuliaan yang diterima Yesus. Dia memiliki nama di atas segala nama (ayat 9) dan segala makhluk – di surga maupun di bumi - akan menyembah Dia (ayat 10) sambil mengaku bahwa Dia adalah Tuhan (ayat 11). Bagi orang-orang Yahudi yang sangat menekankan monoteisme, pernyataan ini pasti memberi kesan yang luar biasa. Dalam Perjanjian Lama YHWH berkalikali menguduskan nama-Nya dan tidak mau membagi kemuliaan dengan siapa pun (Yes 42:8; 48:11). Dia bahkan melarang orang Israel memiliki allah lain yang kepadanya mereka memberi penyembahan (Kel 20:3, 5).

                                                 8 Grudem, ibid. 9 Lihat pembahasan sebelumnya. 10 John Frame, The Doctrine of God (Phillipsburg: P&R Publishing, 2002), 654. 11 Lihat pembahasan tentang gelar “Mesias”. 12 Pembahasan detil tentang ayat ini akan diberikan di bab selanjutnya.  13 Frame, The Doctrine of God, 654

Kedelapan, 1Korintus 8:6. Keunikan dari gelar kurios untuk Yesus dalam teks ini terlihat dari fakta bahwa Dia adalah satu-satunya kurios. Klaim ini merupakan sesuatu yang menunjukkan keilahian-Nya karena: (1) Ke-Tuhanan-Nya berbeda dengan kurios yang lain; (2) ke-Tuhanan-Nya tetap tunggal walaupun Bapa juga adalah Tuhan (Mat 11:25). Yesus adalah Tuhan di atas segala tuan (Why 19:16).

Terakhir, Yesus disebut sebagai Tuhan kemuliaan (1Kor 2:8; Yak 2:1). Tambahan “kemuliaan” dalam frase ini sebenarnya tidak diperlukan jika Yesus hanya ditampilkan sebagai kurios yang biasa saja, karena sebutan kurios pasti sudah menyiratkan kemuliaan dari pribadi yang disebut kurios itu. Sebutan “Tuhan kemuliaan” secara eksplisit menegaskan kurios seperti apakah Yesus itu. Dia bukan sembarang kurios. Dia adalah kurios yang mulia (ilahi).14

Seberapa jauh keilahian Yesus ditunjukkan melalui gelar kurios yang dikenakan kepadaNya? Apakah Yesus benar-benar Allah dalam arti yang sesungguhnya ataukah Dia hanya pribadi ilahi yang secara hakekat berbeda dengan Allah? Pertanyaan ini akan terjawab dengan tuntas apabila kita mengetahui bahwa Yesus adalah YHWH dalam Perjanjian Lama, sebagaimana akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

Yesus adalah YHWH

Dalam Perjanjian Baru Yesus seringkali ditampilkan sebagai Tuhan dalam cara yang sama dengan YHWH ditampilkan sebagai Tuhan dalam Perjanjian Lama. John Frame menyebut kebenaran ini sebagai datum Alkitab yang paling fundamental.15 Sebagaimana seluruh ajaran Perjanjian Lama dapat dirangkum dalam satu frase “YHWH adalah Tuhan”, demikian pula dengan ajaran Perjanjian Baru yang berpusat kepada Yesus sebagai Tuhan (Rom 10:9; 1Kor 12:3; Flp 2:11).

Kita harus memulai penyelidikan ini dengan pemahaman bahwa orang-orang Yahudi pada jaman Yesus (terutama mereka yang berbudaya Yunani) sudah terbiasa mengganti sebutan “YHWH” atau “adonay” dengan sebutan kurios. Kebiasaan ini tercermin dalam terjemahan Septuaginta dan berbagai tulisan Yahudi lain pada masa itu. Para penulis Perjanjian Baru pun seringkali menyebut Allah sebagai kurios.

Berikut ini adalah bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Yesus adalah YHWH dalam Perjanjian Lama.16
(1) Yesus disebut sebagai “Tuhan kebenaran kita” (Yer 23:5-6).
 (2) Yesus adalah YHWH yang akan datang setelah Yohanes Pembaptis (Mal 3:1; 4:5-6; Luk 1:17, 76). Dalam Matius 3:3 Yesus disamakan dengan YHWH di Yesaya 40:3.
(3) Dalam Matius 21:16 Yesus mengutip Mazmur 8:3 untuk membenarkan tindakan anakanak kecil yang memuji Dia, padahal mazmur tersebut ditujukan kepada YHWH (band. Mzm 8:2).
(4) Dalam Yohanes 1:14 disebutkan bahwa Yesus (Firman) diam di antara kita. Kata Yunani di balik kata “diam” adalah skhnow, yang seharusnya diterjemahkan

                                                 14 Ayat ini akan semakin jelas mengindikasikan keilahian Yesus apabila kita mengingat bahwa dalam Perjanjian Lama Allah adalah Tuhan kemuliaan (Mzm 24:1, 8-10). Culver, Systematic Theology, 449. 15 The Doctrine of God, 650. 16 Dimodifikasi dari Frame, The Doctrine of God, 652-657. 

“bertabernakel”. Kata ini mengingatkan kita pada YHWH yang membuat kediamanNya di antara umat-Nya. Dalam Perjanjian Baru kata skhnow hanya dipakai untuk Allah yang berdiam di antara umat-Nya (Why 7:15; 12:12; 13:6; 21:3).
 (5) Yohanes 12:41 menyatakan bahwa Yesaya telah melihat kemuliaan Yesus. Berdasarkan konteks yang ada, ayat ini pasti merujuk balik pada kemuliaan Allah yang dilihat Yesaya di Yesaya 6:1-10 (band. Yoh 12:40).17 Jika ini benar, maka Yesus adalah Tuhan semesta alam di Yesaya 6:1, 3, 5.
 (6) Yesus disebut sebagai gembala yang baik bagi umat-Nya (Yoh 10:11), padahal dalam Perjanjian Lama YHWH disebut sebagai gembala (Mzm 23:1). Bukan hanya itu, pernyataan Yesus tersebut merupakan penggenapan dari nubuat YHWH bahwa Dia sendiri akan menggembalakan umat-Nya yang tidak terpelihara oleh para pemimpin agama mereka (Yeh 34:11-16).
 (7) Yesus ditampilkan sebagai objek seruan yang oleh-Nya orang diselamatkan (Rom 10:13). Hal ini merupakan pengutipan dari Yoel 2:32 yang merujuk pada YHWH.
 (8) Dalam 1Korintus 2:16 Paulus sedang membicarakan tentang hikmat Allah yang tidak terselami oleh pikiran manusia (1Kor 2:7, 10). Untuk menunjukkan hal ini dia mengutip Yesaya 40:13 yang membicarakan tentang Roh TUHAN. Menariknya, di 1Korintus 2:16b dia malah menghubungkan hal ini dengan “pikiran Kristus”. Semua ini menyiratkan bahwa ada kesatuan dan perbedaan antara Allah, Roh TUHAN dan Kristus.
(9) Dalam Efesus 4:8-10 Yesus ditampilkan sebagai YHWH yang telah naik ke tempat tinggi untuk membawa tawanan-tawanan (Mzm 68:19).
 (10) Dalam Ibrani 1:10 Yesus ditampilkan sebagai YHWH yang telah meletakkan dasar bumi (Mzm 102:26-27, band. ayat 13).
(11) Kita harus menguduskan Yesus sebagai Tuhan dan kepada-Nyalah saja kita harus takut dan gentar (1Pet 3:14-15). Hal ini sesuai dengan Yesaya 8:13.
 (12) Wahyu 1:7 “semua mata akan melihat Dia, juga mereka yang telah menikam Dia” merupakan penggenapan dari Zakaria 12:10 “mereka akan memandang kepada dia [lit. “Aku”] yang telah mereka tikam”. Jika kita perhatikan konteks Zakaria 12, maka “Aku” di sana adalah YHWH sendiri (ayat 1-2).
 (13) Yesus adalah YHWH yang menguji hati dan batin orang serta menghakimi orang menurut perbuatan mereka (Why 2:23//Yer 17:10).
 (14) Yesus adalah Yang Awal dan Yang Akhir (Why 2:8; 22:13), sama seperti YHWH (Yes 44:6; 48:12). Kesamaan ini penting untuk digarisbawahi karena hal ini merupakan salah satu perbedaan fundamental antara Allah dan yang bukan Allah (Yes 44:6b “tidak ada allah selain daripada Aku”).

Yesus adalah kurios kurios kurios kurios yang dijadikan kurios kurios kurios kurios

Salah satu penyebab mengapa sebagian orang sulit menerima ke-Tuhanan Yesus secara mutlak adalah beberapa teks Alkitab yang seakan-akan menyiratkan bahwa Yesus baru dijadikan kurios setelah kebangkitan-Nya. Kebangkitan Yesus bertujuan untuk menjadikan Dia sebagai Tuhan (Rom 14:9). Petrus menyatakan bahwa Allah menjadikan Yesus sebagai Tuhan dan Kristus (Kis 2:32). Semua otoritas Yesus adalah pemberian dari Allah (Mat 28:19)                                               

17 Walaupun dalam konteks ini Yohanes mengutip Yesaya 53 (Yoh 12:38) dan Yesaya 6 (Yoh 12:40), namun yang dimaksud dalam Yohanes 12:41 pasti adalah Yesaya 6, karena di Yesaya 53 tidak ada pembahasan tentang kemuliaan. Di samping itu, frase “ia [Yesaya] telah melihat kemuliaan-Nya” (Yoh 12:41) sesuai dengan Yesaya 6:1 “aku melihat”. 

dan bila waktunya tiba Ia sendiri harus menaklukkan diri di bawah Bapa yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah kaki-Nya (1Kor 15:24-28).

Bagaimana kita menjelaskan semua data di atas? Yang paling penting, kita tidak boleh melupakan fakta bahwa sebelum kebangkitan-Nya Yesus sudah diakui sebagai Tuhan dalam arti yang ilahi. Dia adalah Tuhan yang menjadi manusia (Luk 1:43; 2:11). Dia mengklaim diri sebagai Tuhan atas Hari Sabat dan kurios-nya Daud.

Satu-satunya cara untuk mengharmonisasikan dua data Alkitab di atas adalah dengan menyatakan bahwa kebangkitan-Nya merupakan jalan sekaligus bukti bahwa Dia benar-benar telah dan akan sepenuhnya mengaplikasikan ke-Tuhanan yang Dia sudah miliki sebelumnya. Sebelumnya Dia memang Tuhan yang mutlak, tetapi banyak pihak masih mencoba melawan Dia. Akan datang waktunya bahwa Dia akan memerintah secara total dan semua musuh akan dikalahkan (Ibr 10:12-13). Bagaimanapun, hal ini baru akan terjadi jika Dia mengalami kematian dan kebangkitan. #

Keilahian Yesus: Yesus sebagai Allah 
Dalam pembahasan kali ini kita akan membuktikan keilahian Yesus dari teks-teks Alitab yang secara eksplisit menyebut Dia sebagai Allah. Harus diakui, eksplisit atau tidaknya suatu teks memang ditentukan oleh penafsiran seseorang terhadap teks-teks tersebut. Pihak nontrinitarian akan selalu memiliki celah untuk memahami teks-teks tersebut dalam cara yang berbeda. Bahkan di kalangan penganut trinitarian sendiri masih terdapat perbedaan pendapat tentang seberapa banyak teks yang secara eksplisit menyebut Yesus sebagai Allah.1 Terlepas dari semua ini, teks-teks yang akan dibahas kali ini secara umum dapat dikategorikan sebagai teks yang cukup gamblang menyebut Yesus sebagai Allah. Benar atau tidaknya para pembaca dipersilahkan untuk menilai sendiri berdasarkan pembahasan yang akan diberikan.

Yohanes 1:1c   Dalam teks ini disebutkan “dan Firman itu adalah Allah”. Dalam bahasa Yunani, kalimat yang dipakai adalah kai qeos hn ho logos. Walaupun kalimat yang digunakan relatif pendek, sederhana dan jelas, tetapi pihak non-trinitarian berusaha mencari celah untuk menafsirkan teks ini sesuai dengan pemikiran mereka. Mereka biasanya memberikan beberapa alasan untuk menyanggah teks ini sebagai teks yang eksplisit tentang keilahian Yesus.2

Alasan pertama berkaitan dengan ketidakadaan artikel di depan kata qeos (“Allah”). Sesuai prinsip umum tata bahasa Yunani, sebuah kata benda yang tidak memiliki artikel berarti menunjukkan suatu benda yang tidak tertentu. Berdasarkan prinsip ini sebagian orang menafsirkan Yohanes 1:1c dengan “dan Firman itu adalah sebuah allah”. Penafsiran seperti ini bukan hanya diusulkan oleh para penganut Saksi Yehuwah,3 tetapi juga sebagian penerjemah lain.4

Kemungkinan lain yang diusulkan adalah dengan memahami qeos di sini sebagai kata sifat, sehingga ayat 1c diterjemahkan “dan Firman itu adalah ilahi”.5 Menurut mereka, sebuah kata

                                                 1 Secara umum ada 9 teks yang dianggap mengajarkan keilahian Kristus secara eksplisit (Yoh 1:1, 18; 20:28; Kis 20:28; Rom 9:5; Tit 2:13; Ibr 1:8; 2Pet 1:1; 1Yoh 5:20). Tidak semua penafsir setuju bahwa semua teks ini benar-benar mengajarkan keilahian Kristus. Ada yang mengamini semua teks tersebut, tetapi ada hanya menerima beberapa teks. Paling sedikit ada dua teks yang dianggap secara meyakinkan mengajarkan keilahian Kristus, yaitu Yohanes 1:1 dan 20:28. Lihat daftar lengkap di Murray J. Harris, Jesus As God: The New Testament Use of Theos in Reference to Jesus (Grand Rapids: Baker, 1992), 274. Harris sendiri memegang pandangan berikut ini (hlm. 271): pasti (Yoh 1:1; 20:28), sangat mungkin (Rom 9:5; Tit 2:13; Ibr 1:8; 2Pet 1:1), mungkin (Yoh 1:18), ada kemungkinan tetapi tampaknya tidak (Kis 20:28; Ibr 1:9; 1Yoh 5:20). 2 Lihat Brian Holt, Jesus: God or Son of God? (Tennesse: TellWay Publishing, 2002), 49-59; Frans Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal: Perihal Ke-allah-an Yesus (t.t.: Borobudur Indonesia Publishing, 2007), 1-14. 3 Lihat Yohanes 1:1c dalam Alkitab Terjemahan Baru (New World Translation) milik Saksi Yehuwah; WT 7/15/1898, 2337.   4 Lihat daftar versi Alkitab bahasa Inggris dalam buku Holt, Jesus, 49-50; Donald, Menjawab, 6-7. 5 Moffat Translation.

benda yang tidak memiliki artikel dapat berfungsi sebagai kata sifat. Salah satu contoh adalah Yohanes 6:70b “salah seorang di antaramu adalah iblis”. Kata benda “iblis” (diabolos) di teks ini tidak memiliki artikel dan fungsinya jelas sebagai kata sifat (Yesus tidak mungkin mengidentikkan Yudas sebagai iblis).

Alasan kedua masih berhubungan dengan alasan pertama. Jika Yesus hanyalah sebuah allah atau bersifat ilahi, maka pengertian “allah” untuk Yesus di sini harus dibedakan dengan pengertian “allah” untuk Bapa. Sebutan “allah” untuk Yesus bukan sesuatu yang istimewa. Dalam Alkitab sebutan “allah” memang dapat dikenakan pada pribadi-pribadi lain selain Allah yang benar, misalnya malaikat, raja, hakim-hakim, makhluk surgawi maupun Musa.6 Jadi, pihak non-trinitarian merasa tidak masalah dengan menerima Yesus sebagai “allah”, sejauh hal itu tidak menunjukkan kesetaraan hakekat antara Yesus dengan Bapa.

Bagaimana kita meresponi penafsiran di atas? Penyelidikan Alkitab yang lebih mendalam dan bertanggung-jawab menunjukkan bahwa penafsiran seperti itu memiliki kelemahan yang sangat serius.

Pertama, tidak adanya artikel di depan kata qeos merupakan hal yang secara tata bahasa justru dibenarkan. Dalam tata bahasa Yunani, struktur kalimat “A adalah B” disebut predicate nominative (dua subjek dihubungkan dengan kata kerja “adalah”). Khusus berkaitan dengan Yohanes 1:1c, secara tata bahasa artikel yang dibutuhkan memang hanya satu dan itu diletakkan di depan kata benda yang berfungsi sebagai subjek utama.7 Dalam hal ini artikel diletakkan di depan kata logos (“Firman”), sehingga “Firman” berfungsi sebagai subjek pertama. Menariknya, dalam teks asli Yohanes 1:1c kata qeos justru muncul lebih dahulu daripada logos, untuk memberikan penekanan bahwa Yesus benar-benar Allah.

Tidak adanya artikel di depan suatu kata benda dalam suatu struktur predicate nominative tidak berarti bahwa kata benda tersebut bersifat tidak tertentu. Alkitab memberi banyak contoh bahwa sekalipun tanpa artikel tetapi arti kata benda itu tetap spesifik.8 Yohanes 1:49b “Engkau adalah Raja orang Israel”. Ayat ini jelas menunjukkan bahwa Yesus adalah raja Israel keturunan Daud yang dijanjikan oleh para nabi dan disebut sebagai Anak Allah (spesifik), walaupun di depan kata basileus (“raja”) tidak ada artikel. Yohanes 17:17b “Firman-Mu adalah kebenaran”. Kebenaran di sini tidak memiliki artikel, tetapi kita dapat mengetahui dari konteks bahwa artinya sudah sangat spesifik. Yesus tidak sedang membicarakan tentang sebuah kebenaran di antara kebenaran-kebenaran yang lain, karena “kebenaran” di sini adalah kebenaran yang menguduskan orang percaya (ayat 17a “kuduskanlah mereka dalam kebenaran”).

                                                 6 Lihat pembahasan sebelumnya tentang “Nama dan Sebutan Allah dalam Perjanjian Lama”. 7 Peraturan ini merupakan pengetahuan umum dalam tata bahasa Yunani, sehingga buku tata bahasa yang paling mendasar sampai yang lanjutan juga menyinggung hal ini: John Wenham The Elements of New Testament Greek (Crambridge: Cambridge University Press, 1965), 35; Daniel B. Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics (Grand Rapids: Zondervan, 1996), 41, 43; Lane C. McGaughty, Toward A Descriptive Analysis of EINAI as a Linking Verb in the New Testament (SBLDS 6: Missoula, Mont: SBL, 1972), 49-53, 7377. 8 D. A. Carson, The Gospel According to John, PNTC (Leicester/Grand Rapids: 
Apollos/Eerdmans, 1991), 117.

Kedua, jika Yohanes menambahkan artikel di depan kata qeos, maka ayat 1c justru akan berkontradiksi dengan ayat 1b. Perhatikan arti Yohanes 1:1 jika di depan kata qeos diberi artikel. Pada mulanya adalah Firman itu (ada artikel) Firman itu (ada artikel) bersama-sama dengan Allah itu (ada artikel) Dan Firman itu (ada artikel) adalah Allah itu (ada artikel).

Penambahan artikel di depan qeos seperti di atas akan memberi kesan bahwa qeos di ayat 1c identik dengan qeos di ayat 1b. Hal ini jelas kontradiktif, karena di ayat 1b disebutkan bahwa “Firman itu bersama dengan Allah”. Bagaimana Firman itu bisa bersama-sama dengan Allah jika Firman itu identik dengan Allah?9 Lebih masuk akal jika kita memahami bahwa baik “Allah” di ayat 1c (Bapa) dan “Allah” di ayat 1c (Yesus) secara hakekat adalah samasama Allah, tetapi secara pribadi keduanya berbeda.

Pihak non-trnitarian sebenarnya sudah menyadari hal tersebut di atas. Mereka justru memahami perbedaan qeos di ayat 1b dan ayat 1c sebagai perbedaan dalam tingkat hakekat. Mereka berargumentasi bahwa karena Firman itu bersama-sama Allah, maka Firman itu tidak mungkin Allah: “seseorang yang berada bersama-sama dengan ‘seorang’ yang lain tidak mungkin sama dengan orang lain tersebut”.10 Cara berlogika seperti ini jelas tidak tepat jika dipakai untuk menekankan perbedaan hakekat. Sebagai contoh, saya bisa berada bersamasama dengan orang lain (hakekat kami adalah sama, yaitu sebagai manusia), tetapi pribadi kami tetap berbeda.

Selain itu, pandangan non-trinitarian tersebut juga didasarkan pada asumsi bahwa jika “A adalah B” maka “B adalah A”. Menurut mereka, jika Firman adalah Allah, maka Allah adalah Firman, jadi keduanya tidak dapat berada bersama-sama karena keduanya identik. Logika seperti ini dari sisi tata bahasa Yunani tidak dapat dipertahankan. Konstruksi predicate nominative tidak dapat dipahami dalam silogisme seperti itu. Contoh: “Allah adalah kasih” (1Yoh 4:8) berbeda dengan “kasih adalah Allah”, “Allah adalah roh”  (Yoh 4:24) berbeda dengan “roh adalah Allah”.11 Ketika kita mengatakan bahwa “Firman itu adalah Allah”, itu tidak sama dengan mengatakan bahwa Allah adalah Firman itu. Frase “Firman itu bersama-sama dengan Allah” dan “Firman itu adalah Allah” justru semakin memperkuat ajaran ortodoks Kristen: Firman itu memang bukan Allah yang ada di ayat 1b, tetapi Firman itu tetaplah Allah.

Ketiga, dalam Alkitab kata qeos yang tanpa artikel muncul ratusan kali. Walaupun tanpa artikel namun dari sisi konteks sudah sangat jelas bahwa yang disebut adalah Allah yang benar. Fenomena ini bahkan dapat kita temukan dalam Injil Yohanes. Berdasarkan hasil riset menggunakan program Grammcord for Windows versi 2.3, kata qeos dalam Injil Yohanes yang merujuk pada Allah Bapa tapi tanpa disertai artikel muncul sebanyak 23 kali. Seandainya mau konsisten, maka pihak non-trinitarian seharusnya menerjemahkan semua pemunculan itu dengan “sebuah allah”. Perhatikan beberapa ayat berikut yang diambil hanya dari Yohanes pasal 1 saja.12

                                                 9 Leon Morris, The Gospel According to John (rev. ed., Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1995), 68, n. 15.Carson, ibid. 10 Should You Believe in the Trinity? (New York: Watchtower Bible and Tract Society, 1989), 27. 11 Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics, 41. 12 Poin ini juga disinggung oleh John Frame, The Doctrine of God (Phillipsburg: P&R Publishing, 2002), 666 dan Wayne Grudem, Systematic Theology (Nottingham: InterVarsity Press, 1994), 235. 

Yoh 1:6 “ada seorang yang diutus dari (sebuah?) Allah”

Yoh 1:12  “mereka diberi kuasa untuk menjadi anak-anak (sebuah?) Allah”
Yoh 1:13  “bukan secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari (sebuah?) Allah” Yoh 1:18  “tidak ada seorang pun yang pernah melihat (sebuah?) Allah”

Keempat, sekalipun kata qeos yang tanpa artikel untuk Yesus di Yohanes 1:1c dipermasalahkan, namun dalam Injil Yohanes Yesus juga pernah disebut sebagai qeos dengan memakai artikel di depannya. Contoh: Yohanes 20:28 “Ya Allahku dan Tuhanku”. Kata qeos di ayat ini memakai artikel. Contoh lain adalah Yohanes 1:18. Jika salinan ”Allah Yang Tunggal” (bukan “Anak Yang Tunggal”) diterima,13 maka ayat ini juga dapat dipkai sebagai dukungan, karena memakai artikel ho. Dengan demikian, pandangan non-trinitarian bahwa dalam Perjanjian Baru Yesus tidak pernah disebut sebagai qeos dengan artikel14 merupakan pernyataan yang keliru. 

Kelima, usulan untuk menerjemahkan ayat 1c dengan “Firman itu adalah ilahi” sama sekali tidak dapat diterima karena dalam bahasa Yunani sudah ada kata sifat khusus yang berarti “ilahi”, yaitu qeios.15 Kata sifat qeios sendiri dalam Perjanjian Baru muncul beberapa kali, misalnya Kisah Rasul 17:29 “keadaan ilahi”, 2Petrus 1:3 “kuasa ilahi-Nya”, 2Petrus 1:4 “kodrat ilahi”. Jika Yohanes sekedar ingin menjelaskan bahwa Yesus bersifat ilahi tetapi bukan Allah, maka dia akan memakai kata qeios, bukan qeos.

Sebenarnya jika Yohanes memakai kata qeios sekalipun, maka hal itu tetap tidak dapat dijadikan alasan untuk membedakan keilahian Yesus dengan Bapa. Dalam Septuaginta (LXX), kata sifat qeios seringkali muncul dan dikenakan pada Allah. Dalam Keluaran 31:3 dan 35:31 frase “Roh Allah” dalam bahasa aslinya secara hurufiah berarti “Roh ilahi”. Dalam Amsal 2:17b “melupakan perjanjian Allahnya” secara hurufiah berarti “melupakan perjanjian ilahinya”.  Begitu pula frase “Roh Allah” di Ayub 27:3 dan 33:4 secara hurufiah berarti “Roh ilahi”. Walaupun di semua teks ini hanya dipakai kata “ilahi”, namun rujukannya sudah sangat jelas, yaitu Allah sendiri (bukan sekedar makhluk surgawi). Jadi, kembali pada Yohanes 1:1c, sekalipun dipakai kata qeios (kenyataannya tidak), namun hal ini tetap tidak meniadakan kemungkinan bahwa Yesus memiliki hakekat keilahian yang sama dengan Bapa.

Bagaimana dengan contoh dalam Yohanes 6:70 yang diberikan oleh pihak non-trinitarian? Apakah kata benda diabolos dalam teks ini berfungsi sebagai kata sifat karena tidak memiliki artikel di depannya? Tentu saja tidak! Hampir semua versi menerjemahkan kata diabolos di sini sebagai kata benda. Hal ini dapat dipahami karena sekalipun kata diabolos muncul tanpa artikel, tetapi kata ini selalu muncul dalam bentuk tunggal dan sudah menjadi istilah teknis yang merujuk pada Setan, penguasa kegelapan (Yoh 8:44; 13:2, 27). Berdasarkan hal ini para penafsir bahkan menolak jika Yohanes 6:70 hanya sekedar diterjemahkan “salah seorang di antaramu adalah salah seorang iblis”. Mereka menekankan bahwa ayat ini harus diterjemahkan “salah seorang di antaramu adalah iblis”.16 Yesus memang menyebut Yudas sebagai iblis, tetapi pernyataan ini tentu saja tidak boleh ditafsirkan secara hurufiah, karena iblis hanya satu.17 Yudas disebut iblis karena dia termasuk

                                                 13 Topik ini akan dibahas secara mendetail di pembahasan selanjutnya. 14 WT 7/15/1898, 2337. 15 Carson, The Gospel According to John, 117. 16 Ibid., 304. 17 Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics, 249.

ke dalam orang yang menolak Yesus, sama seperti Petrus yang disebut “setan” karena menghalangi rencana penebusan (Mat 16:23).

Keenam, arti qeos yang dipakai untuk Yesus di Yohanes 1:1c tidak boleh ditentukan oleh pemakaian kata yang sama di beberapa konteks yang berbeda. Arti qeos untuk Yesus di Yohanes 1:1c sangat berbeda dengan kata yang sama yang ditujukan pada Musa (Kel 4:16; 7:1). Dalam kasus Musa, penyebutan qeos adalah secara fungsional (Musa berperan sebagai Allah, tetapi secara hakekat dia bukanlah Allah), sedangkan dalam kasus Yesus, penyebutan qeos bermakna ontologikal (Yesus secara  hakekat adalah Allah). Harris menjelaskan perbedaan ini dengan sangat baik: dalam konteks Keluaran 4:16 maupun 7:1, ini adalah suatu kasus di mana seseorang menjadi qeos bagi yang lain, sedangkan dalam konteks Yohanes 1:1c tidak ada keterangan “bagi/untuk kita” atau “dalam kaitan dengan kita”.18

Karena kita tidak boleh mengartikan kata qeos di Yohanes 1:1c secara sembarangan berdasarkan pemakaian kata yang sama di konteks lain, maka konteks Yohanes 1 harus menjadi tolak ukur utama. Kontekslah yang harus menjadi penentu.19 Jika kita memperhatikan konteks, maka kita akan menemukan beberapa petunjuk untuk melihat makna dari kata qeos yang dikenakan kepada Yesus. Dia adalah qeos yang menjadikan langit dan bumi (ayat 3-4; band. Kol 1:15; Ibr 1:3). Petunjuk ini sangat penting untuk diperhatikan karena dalam Yesaya 44:24 TUHAN pernah berkata, “Akulah TUHAN, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit, yang menghamparkan bumi siapakah yang mendampingi Aku?”. Ketika TUHAN menantang illah-illah palsu yang disembah umat-Nya, Dia berkata, “Para allah yang tidak menjadikan langit dan bumi akan lenyap dari bumi dan dari kolong langit ini." (Yer 10:11). Keilahian Yesus akan tampak semakin jelas apabila kita menyadari bahwa dalam kosmologi biblikal hanya ada dua kategori: Pencipta dan ciptaan, tidak ada sesuatu pun yang terletak di antara dua kategori ini, baik secara logis maupun biblikal.20 Dalam Yohanes 1:1-3 Yesus secara eksplisit disebut qeos yang menciptakan segala sesuatu; berarti Dia tidak termasuk pada ciptaan, tetapi Pencipta.

Petunjuk lain ada di ayat 14. Seperti yang sudah disinggung dalam pembahasan sebelumnya, kata “diam” (skhnow) di ayat ini berarti “bertabernakel” dan kata ini dalam Perjanjian Baru hanya dipakai untuk Allah (Why 7:15; 12:12; 13:6; 21:3). Jadi, ayat ini jelas menampilkan Yesus sebagai Allah dalam Perjanjian Lama yang bertabernakel di tengah umat-Nya. Lebih jauh dari itu, sama seperti kehadiran Allah di tabernakel-Nya memancarkan kemuliaan (Ke 33:9-10), demikian pula ketika Yesus bertabernakel disebutkan “kita semua telah melihat kemuliaan-Nya” (Yoh 1:14b). Sama seperti ketika TUHAN memperlihatkan kemuliaan-Nya pada Musa Ia menyerukan kasih-Nya (Kel 34:6), demikian pula kemuliaan Yesus menampilkan kasih dan kebenaran-Nya (Yoh 1:14c).21

                                                 18 Jesus as God, 284-285. 19 Poin ini cukup mendapat penekanan dari Grudem, Systematic Theology, 234 (note 12-13). 20 Frame, The Doctrine of God, 664. 21 Untuk perbandingan detail antara Yohanes 1:14 dan Kel 32-34, lihat Carson, The Gospel According to John, 126-130; Morris, The Gospel According to John, 92.  Rujukan tentang Musa dalam Yohanes 1:14-18 turut mendukung pandangan bahwa Yesus ditampilkan sebagai Allah Perjanjian Lama yang bertabernakel di tengah umat-Nya: Musa tidak dapat melihat wajah Allah (Kel 33:11, 20), tetapi Yesus satu-satunya yang melihat Allah (Yoh 1:18), Hukum Taurat diberikan melalui Musa (Yoh 1:17; Kel 32:15-16)

Penjelasan di atas sudah cukup untuk memberi petunjuk tentang bagaimana kita seharusnya memahami keilahian Yesus. Dia bukanlah suatu allah di antara allah-allah lain (band. Yoh 10:34). Dia adalah Allah yang sejati. Jika pihak non-trinitarian menafsirkan keilahian Yesus dalam pengertian yang berbeda, maka mereka memiliki tugas yang sangat berat (mustahil) untuk menyanggah penjelasan di atas. Selain itu, mereka juga perlu merenungkan dua pertanyaan berikut ini: mengapa keilahian Yesus dibedakan dari keilahian Bapa, padahal Kedua-Nya sama-sama disebut sebgai qeos dalam ayat yang sama dan diterangkan keallahan-Nya dengan cara yang sama (Yesus ditampilkan sebagai TUHAN yang menciptakan langit dan bumi serta yang bertabernakel di tengah umat-Nya)? Atas dasar apa mereka memberi makna berbeda untuk kata qeos yang dikenakan pada Yesus di ayat 1c (juga ayat 18), padahal semua kata qeos lain di pasal ini merujuk pada keallahan Bapa dalam arti yang mutlak? Mengutip pernyataan John Frame, dibutuhkan sebuah argumen yang sangat kuat untuk membuktikan bahwa arti kata qeos telah mengalami perubahan makna dari ayat 1b ke ayat 1c.22 #

Keilahian Yesus: Yesus sebagai Allah 
 Yohanes 1:18

Jika kita membandingkan terjemahan ayat ini dalam berbagai versi Alkitab, maka kita akan menemukan suatu perbedaan penting. Sebagian versi menyebut Yesus sebagai “Anak Tunggal” (KJV/ASV/RSV; band. LAI:TB “Anak Tunggal Allah”), sedangkan yang lain sebagai “Allah yang tunggal” (NIV/NASB). Perbedaan ini berkaitan dengan variasi dalam manuskrip Alkitab. Sebagian manuskrip memiliki bacaan monogenhs huios (lit. “Anak Tunggal”), sedangkan yang lain  monogenhs qeos (“Allah yang tunggal”).

Manakah bacaan yang lebih bisa dipercaya: monogenhs huios atau monogenhs qeos? Hampir semua teolog modern mempercayai bahwa bacaan yang terakhir adalah yang benar. Sejak studi intensif tentang ayat ini yang dilakukan oleh Hort (1876), bacaan monogenhs qeos diterima secara umum oleh para sarjana, karena bukti-bukti manuskrip yang ada sangat melimpah dan tidak terbantahkan.1 Pandangan ini juga menjadi pandangan para editor Alkitab Yunani modern yang standar, baik edisi NA maupun UBS.2

Yang pertama dan terutama, salinan-salinan Alkitab yang memakai monogenhs qeos lebih tua daripada yang memakai monogenhs huios. Bacaan monogenhs qeos didukung oleh p66 (abad ke-2), p75 (abad ke-3), a* dan a1 (abad ke-4), dan B (abad ke-4),3 sedangkan manuskrip tertua yang mendukung bacaan monogenhs huios adalah A (abad ke-5) dan C3 (abad ke-5).

Hal yang sama dapat dijumpai pada kutipan bapa-bapa gereja. Bapa-bapa gereja yang memakai bacaan monogenhs qeos adalah Irenaeus (abad ke-2), Origen (abad ke-3) dan Didymus dari Alexandria (abad ke-4), sedangkan yang mendukung monogenhs huios adalah Crysostom (abad ke-5) dan bapa-bapa gereja Latin lainnya.

Alasan lain berkaitan dengan kemungkinan kesalahan dalam penyalinan (istilah teknis untuk hal ini adalah transcriptional probability). Mayoritas teolog meyakini bahwa para penyalin di abad-abad yang lebih kemudian berusaha untuk mengubah bacaan monogenhs qeos yang tampak asing dan sedikit sulit untuk dipahami. Upaya ini dapat dimengerti karena dalam keseluruhan Perjanjian Baru Yesus seringkali disebut sebagai monogenhs huios, bukan monogenhs qeos. Mereka kemungkinan mengubah bacaan ini dengan maksud untuk menyesuaikannya dengan Yohanes 3:16, 18 maupun 1Yohanes 4:9.4                                               
1 J. H. Bernard, The Gospel According to John, Vol. I, ICC (Edinburg: T&T Clark, 1928), 31. Salah satu penafsir yang menolak pandangan umum ini adalah Herman Ridderbos, The Gospel of John, trans. by John Virend (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1997), 59, note 140.  2 Versi Alkitab Yunani NA dan UBS merupakan versi standar yang dipakai oleh hamper semua penerjemah dan penafsir modern. 3 Khusus untuk p75 dan a1, ada tambahan artikel ho di depan kata monogenhs.    4 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament (2nd ed., Stuttgart: United Bible Society, 1994), 169. 

Di samping dua alasan di atas, kita juga perlu mengetahui bagaimana pada bidat nonTrinitarian kuno memahami ayat ini. Ternyata mereka - misalnya Valentinian, Eunomius dan Arius - juga menerima penyebutan Yesus sebagai qeos dalam ayat ini.5 Keterangan ini sangat menarik untuk dicermati karena membuktikan bahwa dalam kontroversi seputar Tritunggal, otentisitas bacaan qeos di ayat ini tidak pernah dipermasalahkan oleh pihak ortodoks (Trinitarian) maupun non-Trinitarian.

Jika bacaan monogenhs qeos diterima, maka Yohanes 1:18 merupakan salah satu teks yang secara eksplisit menyebut Yesus sebagai Allah. Lebih jauh, kita perlu mengetahui hubungan antara kata monogenhs dan qeos di ayat ini. Apakah kata monogenhs menerangkan qeos (monogenhs qeos diterjemahkan “Allah yang satu/tunggal”) atau berdiri sendiri-sendiri? Mayoritas teolog modern umumnya memilih alternatif yang terakhir:6 Yesus adalah monogenhs dan qeos.7 Dengan demikian, penyebutan qeos di sini merupakan upaya Yohanes untuk menekankan ke-Allahan Yesus. Kalau di ayat 14 Yesus hanya disebut sebagai monogenhs dari Bapa (NIV “the One and Only who came from the Father”), maka di ayat 18 Yohanes mempertegas lagi bahwa Dia adalah qeos.

Dalam pengertian apakah Yesus disebut qeos dalam ayat ini? Dia adalah satu-satunya yang melihat Allah (ayat 18 “tidak seorang pun pernah melihat Bapa, tetapi...”). Dalam tradisi keagamaan Yahudi, sifat Allah yang tidak dapat dilihat merupakan ajaran yang diterima secara luas (Kel 33:20; Ul 4:12; Keb. Sal 43:31; Philo). Paulus juga menyebut Allah sebagai Pribadi yang tidak kelihatan (Kol 1:15; 1Tim 1:17). Dalam Injil Yohanes Yesus bahkan menegaskan hal ini beberapa kali (5:37; 6:46).

Dalam pengertian apakah Allah tidak dapat dilihat oleh siapa pun? Bukankah beberapa tokoh Alkitab pernah “melihat” Allah (Kel 24:9-11)? Bukankah Musa bercakap-cakap dengan Tuhan “muka dengan muka” (Kel 33:11; Ul 34:10)? Bukankah Akitab mencatat beberapa peristiwa penampakan diri TUHAN, baik dalam rupa manusia (Kej 18; 32:24-32), benda tertentu (Kel 3) maupun penglihatan (Yes 6)? Satu-satunya cara untuk menjelaskan hal ini adalah dengan membedakan makna “melihat” yang dimaksud dalam peristiwa-peristiwa di atas. Apa yang mereka lihat dengan mata jasmani mereka sebenarnya hanyalah penampakan diri Allah. Mereka tidak pernah melihat esensi Allah, karena Allah berada dalam terang yang tidak terhampiri (1Tim 6:16). Esensi inilah yang dilihat oleh dan dinyatakan melalui Yesus, karena Dia juga adalah Allah sejati, sehakekat dengan Bapa. Rujukan pada esensi Allah ini mendapat dukungan dari fakta bahwa kata qeos di ayat 18 tidak memakai artikel.8

Pertanyaan berikut yang perlu kita renungkan adalah “apakah para malaikat dapat melihat esensi Allah?”. Pertama-tama kita harus mengakui bahwa “tidak seorang pun” (oudeis) di Yohanes 1:18 terutama ditujukan pada manusia, namun dari kesaksian Alkitab di tempat lain
                                             
 5 Leon Morris, The Gospel According to John, NICNT (rev. ed., Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1994), 100, note 125. Lihat juga Bernard, The Gospel According to John, 31. 6 Morris, The Gospel According to John, 101; Bernard, The Gospel According to John, 31. 7 Berikut ini adaah beberapa argument yang mendukung pemisahan antara monogenhs dan qeos; (1) di ayat 14 Yesus hanya disebut sebagai monogenhs; (2) terjemahan “Allah yang satu/tunggal” bisa menyiratkan bahwa tidak ada Allah lain selain Yesus, padahal ayat 1 dan 18 secara jelas menyebut Bapa sebagai Allah; (3) sebutan “Allah yang satu/tunggal” untuk Yesus tampaknya agak aneh dan bisa membuat ayat 18 menjadi sulit dipahami (Allah yang tunggal berada di pangkuan Bapa yang juga adalah Allah?).   8 Merrill C. Tenney, “The Gospel of John” in Frank E. Gaebelein, ed., The Expositor’s Bible Commentary, IX, electronic edition. 

kita dapat mengetahui bahwa malaikat termasuk dalam kategori yang tidak dapat melihat Allah. Para serafim yang menutupi wajah dan kaki mereka pada saat mereka berada di tahta Allah (Yes 6:2) mengindikasikan bahwa mereka pun tidak tahan melihat kemuliaan Allah. Sebagai ciptaan, para malaikat tidak mungkin mampu memahami Pencipta-Nya. Antara Pencipta dan ciptaan terbentang jurang yang tidak terselami. Tidak ada yang dapat memahami pikiran Allah selain Roh Allah sendiri (Yes 40:13-14; 55:8; Roma 11:33-35; 1Kor 2:10-11).

Jika tidak ada seorang manusia maupun malaikat mampu melhat esensi Allah, maka penyebutan Yesus sebagai qeos yang mampu melihat Allah menandaskan keunikan keilahian Yesus. Dia bukan hanya ilahi, tetapi Dia adalah Allah sendiri. Dia bukan sekedar manusia, bukan malaikat, bukan ciptaan yang lain. Dia adalah qeos dalam arti yang mutlak.

Yohanes 20:28

Teks ini mencatat tentang pengakuan Tomas kepada Yesus sebagai “Tuhan” dan “Allah”. Penggunaan artikel ho di depan kata kurios (“Tuhan”) dan qeos (“Allah”) turut mempertegas pernyataan Tomas, karena artikel ini menyiratkan sesuat yang spesifik. Bagi dia, Yesus bukanlah salah satu dari sekan banyak Tuhan atau Allah. Dia adalah Tuhan itu dan Allah itu.

Walaupun pembacaan sekilas terhadap teks ini sebenarnya sudah cukup untuk menunjukkan secara eksplisit bahwa Yesus adalah Allah, namun pihak non-Trnitarian berusaha menolak kesan tersebut. Mereka memakai beberapa alasan untuk mendukung pandangan mereka.

Pertama, pernyataan Tomas hanya merupakan sebuah seruan keterkejutan, sama seperti kebiasaan beberapa orang yang menyebut nama “Allah” atau “Tuhan” ketika mereka sedang kaget atau melihat sesuatu yang mencengangkan. Apa yang disampaikan Tomas bukanlah sebuah pengakuan.9

Kedua, seruan Tomas tidak ditujukan kepada Yesus. Argumen ini sebenarnya sangat berhubungan dengan poin sebelumnya. Hanya saja, mereka menambahkan argumen dari sisi tata bahasa untuk menunjukkan bahwa pernyataan ini memang tidak ditujukan kepada Yesus. Mereka berpendapat bahwa kata benda yang dipakai dalam kata kurios dan qeos berkasus nominatif, bukan vokatif. Menurut mereka dalam Yunani klasik, bentuk sapaan selalu dipakai kasus vokatif. Jika Tomas menujukan kalimatnya kepada Yesus, maka dia pasti akan memakai kasus vokatif. Kenyataannya, Tomas memakai bentuk nominatif, sehingga hal ini menyiratkan bahwa ucapan tersebut tidak ditujukan kepada Yesus.10

Penganut non-Trinitarian lain mencoba membagi ucapan Tomas ini menjadi dua bagian: sebutan kurios ditujukan kepada Yesus, sedangkan qeos untuk Allah. Fenomena seperti ini menurut mereka sering ditemukan dalam Alkitab. Beberapa orang berkata-kata kepada malaikat seolah-olah para malaikat itu adalah Allah (Kej 16:7-11, 13; 18:1-5, 22-23; 32:2430; Hak 6:11-15; 13:20-22). Semua ucapan dalam teks ini sekilas secara langsung ditujukan pada malaikat padahal para tokoh itu memaksudkan ucapan mereka kepada Allah.11

                                                 9 Frans Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal (t.t.: Borobudur Indonesia Publishing, 2007), 55. 10 Ibid. 11 Brian Holt, Jesus: God or the Son of God? (Mt. Juliet: TellWay, 2002), 80. 

 Ketiga, sebutan qeos dalam ayat ini bukan bermakna “Allah yang sejati”.12 Untuk mendukung pendapat ini pihak non-Trinitarian biasanya memakai beberapa argumen:

(1) Yohanes 20:17. Dalam teks ini Yesus menyebut Bapa sebagai Allah-Nya. Jika Yesus memiliki Allah, maka Dia tidak mungkin sebagai Allah juga
 (2) Yohanes 20:31. Tujuan Yohanes menulis kitabnya adalah untuk membuktikan Yesus sebagai Anak Allah. Sebagai Anak Allah, Yesus tidak mungkin Allah itu sendiri.
(3) Konsep tentang Allah yang tidak dapat mati. Semua orang Yahudi meyakini bahwa Allah yang sejati tidak mungkin mengalami kematian (1Tim 6:16). Karena Yesus mengalami kematian, maka murid-murid tidak mungkin memahami Dia sebagai Allah yang sejati. Kebangkitan Yesus dari kematian hanya membuktikan bahwa Dia adalah salah satu “allah”.

Bagaimana kita meresponi sanggahan-sanggahan di atas? Walaupun sekilas argumen yang dipaparkan pihak non-Trinitarian tampak sangat menarik, namun semua itu sangat jauh dari kebenaran. Sebagian terlalu mengada-ada, sebagian kurang memperhatikan tata bahasa Yunani dan yang lain dipengaruhi oleh asumsi dasar yang mereka anut.

Hal pertama yang perlu kita tegaskan adalah bahwa pernyataan Tomas tidak mungkin hanya sekedar ungkapan keterkejutan. Tomas hidup dalam budaya yang berbeda dengan kita. Pada jaman Tomas, nama Allah sangat dijunjung tinggi secara hurufiah. Mengucapkan nama Allah secara sembarangan, apalagi dalam situasi sepele (seperti keterkejutan), pasti akan dikategorikan sebagai sebuah penghujatan.13 Sebagai seorang Yahudi yang taat, Tomas tidak mungkin melakukan hal itu. Jika ia melakukan itu, Yesus pasti akan menegur dia. Kenyataanya, Yesus malah menerima pengakuan Tomas, walaupun Dia menjelaskan bahwa iman seperti Tomas bukanlah iman yang sempurna.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah penjelasan Alkitab sendiri. Yohanes 20:28 secara jelas mencatat “Tomas menjawab Dia”. Dalam kalimat Yunani tertulis “Tomas menjawab dan berkata kepada Dia”.14 Petunjuk ini jelas membuktikan bahwa ucapan Tomas ditujukan kepada Yesus, apalagi di ayat 29 Yesus memberikan respon terhadap ucapan Tomas. Di samping itu, respon Yesus terkait di ayat 29 terkait dengan iman Tomas kepada-Nya (“karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya”). Jika pernyataan Tomas hanyalah sebuah seruan keterkejutan semata-mata, maka Yohanes pasti akan memakai kata lain yang lebih sesuai, misalnya krazw (lit. “berseru”).

Tentang kasus nominatif yang dipakai dalam pernyataan Tomas, kita perlu memahami pergeseran tata bahasa dari jaman ke jaman. Walaupun dalam Yunani klasik sapaan biasanya diungkapkan dalam kasus vokatif, namun dalam Yunani Koine peraturan seperti ini telah berubah. Dalam periode ini sudah umum ditemukan penggunaan kata benda nominatif dengan arti seperti kata benda vokatif. Alkitab sendiri memberikan beberapa contoh tentang hal ini, antara lain:15
                                             
 12 Holt, Jesus: God or the Son of God?, 79-81; Donald, Menjawab Doktrin Tritunggal, 54-55.   13 D. A. Carson, The Gospel According to John, PNTC (Leicester/Grand Rapids: Apollos/William B. Eerdmans Publshing Company, 1991), 658. 14 Carson, ibid., Morris, 753, note 81. 15 Lihat Bernard, 683; Untuk pembahasan cukup lengkap, lihat Daniel B. Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics (Grand Rapids: Zondervan Publishing Company, 1996), 56-60. 

(1) Markus 14:36. “Ya Abba, Ya Bapa”. Kata “Ya Bapa” di ayat ini memakai kasus nominatif ho pathr. (2) Mazmur 63:2 (LXX). Kata “Ya Allah” memakai kasus nominatif ho qeos. Hal yang sama dapat kita jumpai di Mazmur 65:2, 71:17.  (3) Yang paling penting adalah Mazmur 35:23. Dalam teks ini Daud memakai ungkapan yang hampir sama dengan ucapan Tomas, walaupun posisinya terbalik, yaitu ho qeos mou kai ho kurios mou. (4) Yohanes 19:3. Dalam teks ini sapaan “Hai Raja orang Yahudi” memakai kasus nominatif ho basileus twn Ioudaiwn. (5) Wahyu 15:3. Dalam teks ini kata “Ya Tuhan” memakai vokatif (kurie), tetapi “Allah” dan “Yang Mahakuasa” memakai nominatif (ho qeos, ho pantokratwr).

Berdasarkan semua contoh di atas dan kalimat “kepada Dia” di Yohanes 20:28 kita dengan pasti dapat meyakini bahwa kalimat Tomas adalah memang ditujukan kepada Yesus, bukan kepada Bapa maupun sekedar seruan keterkejutan semata-mata.

Seandainya kita menganggap ucapan Tomas dalam arti nonimatif, hal itu tetap tidak mengurangi bobot pengakuan Tomas. Jika kalimat Tomas ini diambil sebagai nominatif murni, maka kalimat yang diucapkan oleh Tomas bukanlah kalimat sempurna. Kita perlu menjelaskan apa maksud Tomas. Dari sisi tata bahasa, jika kita memahami kalimat Tomas secara nominatif, maka maksud dari pernyataan ini ada dua: (1) “Inilah Tuhanku dan Allahku”; (2) “Allahku dan Tuhanku” [telah bangkit].16 Manapun yang kita pilih tetap menunjukkan keilahian Yesus. Jika pihak non-Trinitarian tidak menerima ini, maka mereka harus memberi alternatif penjelasan lain yang tepat tentang maksud Tomas di ayat ini. Jelas, kalimat pendek yang ditujukan kepada Yesus seperti ini jauh lebih masuk akal jika dipahami dalam arti vokatif.

Tentang argumen pihak non-Trinitarian bahwa ucapan Tomas sebagian ditujukan kepada Yesus dan sebagian kepada Allah, kita harus menyatakan bahwa argumen seperti ini terlalu mengada-ada dan dipaksakan. Semua contoh dari teks-teks Perjanjian Lama yang diberikan tidak ada satu pun yang mirip dengan kasus Tomas. Tidak ada satupun contoh tersebut yang menunjukkan ada satu kalimat yang sebagian ditujukan kepada malaikat dan sebagian lagi kepada Allah.

Berkaitan dengan makna sebutan qeos untuk Yesus di Yohanes 20:28, sedikit banyak hal ini dipengaruhi oleh asumsi dasar yang dipegang masing-masing orang. Jika kita memahami sebutan “Anak Allah” di 20:31 sebagai Allah dalam arti yang sejati,17 maka pengakuan Tomas juga harus dimengerti dalam arti yang sama, karena pengakuan ini merupakan klimaks sebelum Yohanes memberitahu tujuan penulisannya di 20:31. Tentang perkataan Yesus di 20:17, ayat ini justru semakin meneguhkan keilahian Yesus dalam arti yang sesungguhnya. Di pasal 20:17 Yesus menyiratkan bahwa Allah-Nya dan Allah murid-murid adalah sama (“Allah-Ku dan Allah-Mu”). Sekarang Yesus sendiri justru menerima pengakuan murid-Nya bahwa Dia adalah Allah mereka. Hal ini jelas menunjukkan bahwa keilahian Yesus setara dengan keilahian Bapa.18 

                                                 16 Lihat Morris, 753, note 81. 17 Lihat pembahasan sebelumnya. 18 Robert L. Reymond, Jesus: Divine Messiah (Ross-shire: Mentor/Christian Focus Publications, 2003), 390. 

 Jika kita memahami bahwa sebutan “Tuhan” dan “Allah” seringkali digabungkan untuk merujuk pada TUHAN Allah di Perjanjian Lama (terutama Mazmur 35:23), maka kita pasti akan melihat signifikansi dari pengakuan Tomas ini. Melalui pengakuan Tomas ini kita dapat melihat bahwa Yesus mendapat sebutan yang sama yang dipakai oleh bangsa Israel untuk TUHAN Allah.19 Hal ini akan menjadi semakin jelas apabila kita melihat pengakuan Tomas ini sebagai penggenapan dari pernyataan Yesus sebelumnya  kepada Tomas “sekiranya kamu mengenal Aku, pasti kamu juga mengenal Bapa-Ku. Sekarang ini kamu mengenal Dia dan kamu telah melihat Dia” (14:7, band. ayat 5).20 #
                                                 19 Raymod E. Brown, The Gospel According to John XIII-XXI, AB (New York: Doubleday, 1970), 1047. 20 Andrew T. Lincoln, The

Keilahian Yesus: Kisah Rasul 20:28 dan Roma 9:5 

Kisah Rasul 20:28

Dalam ayat ini Paulus menyebut orang-orang Kristen di Efesus sebagai “jemaat Allah” yang diperoleh dengan “darah Anak-Nya sendiri”. Jika kita hanya melihat terjemahan LAI:TB (juga RSV), maka kita tidak akan menemukan apapun dalam ayat ini yang menunjukkan keilahian Yesus. Jika kita membandingkan dengan mayoritas versi bahasa Inggris, maka kita pasti menemukan sesuatu yang lain. Baik ASV, KJV, NIV maupun NASB menerjemahkan bagian terakhir dari ayat ini dengan ”darah-Nya sendiri”. Seandainya terjemahan ini benar, maka yang dimaksud dengan ”Allah” pada frase ”jemaat Allah” adalah Yesus Kristus.

Mengapa bisa terjadi perbedaan terjemahan seperti di atas? Terjemahan manakah yang lebih tepat? Apa signifikansi ayat ini bagi pembahasan tentang doktrin Tritunggal? Semua pertanyaan ini akan dijawab di bagian awal makalah kita kali ini.

Keberagaman terjemahan seputar ayat ini berkaitan dengan cara seseorang memahami kebiasaan Paulus dalam menggunakan sebutan ”Allah”. Ia biasanya memakai sebutan ini bukan untuk Yesus, tetapi Bapa. Untuk Yesus Paulus lebih sering memakai sebutan ”Tuhan”. Salah satu ayat yang paling jelas menggambarkan perbedaan tersebut adalah 1Korintus 8:6 ”namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang olehNya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup”.

Berdasarkan kebiasaan secara umum di atas, para penafsir bergumul untuk memahami ayat ini. Jika ”Allah” merujuk pada ”Bapa”, bagaimana bisa Dia memberikan darah-Nya sendiri sebagai penebusan? Bukankah penebusan melalui darah Yesus Kristus? Beberapa penyalin Alkitab pada jaman dahulu berusaha memberikan solusi dengan cara mengganti kata ”Allah” (qeos) di ayat ini dengan ”Tuhan” (kurios).1 Sebagian yang lain bahkan menggabungkan kata qeos dan kurios di ayat ini.2 Yang lain tetap memakai qeos saja.3 Dari beragam alternatif ini, yang terakhir tampaknya lebih masuk akal.4 Para penyalinan cenderung mengubah sesuatu yang sulit dimengerti menjadi lebih mudah dipahami. Dalam hal ini kata ”Allah” yang dikaitkan dengan ”darah-Nya” jelas sulit dipahami sehingga mendorong para penyalin untuk mengganti qeos menjadi kurios, sehingga lebih mudah dipahami. Jika yang asli adalah kurios, maka ayat ini tidak akan menimbulkan masalah berarti, sehingga para penyalin tidak memiliki alasan untuk mengganti kurios dengan qeos. Alasan inilah yang mendorong mayoritas penerjemah modern untuk tetap memakai ”jemaat Allah”.
                                               
1 P75 A C* D E Y 33. 36. 453. 945. 1739. 1891 al gig p syhmg co; Ir Lat Lcf. Terjemahan modern yang mengadopsi bacaan ini adalah ASv “the church of the Lord”. 2 C3 Majority text. 3 a A B C D E Y 33. 36. 945. 1175. 1739. 1891 al; Cyr.  4 Bruce M. Metzger, A Textual Commentary on the Greek New Testament (2nd ed., Stuttgart/New York: Deutsche Bibelgesellschaft/United Bible Societies), 425-427.

 Jika bacaan yang asli adalah ”jemaat Allah”, bagaimana kita menjelaskan frase ”yang diperoleh dengan darah-Nya sendiri”? Apakah itu berarti bahwa Allah (dalam hal ini ”Bapa”) mencurahkan darah-Nya bagi gereja atau bagaimana? Jawaban terhadap pertanyaan ini tergantung pada dua hal; (1) apakah ”Allah” di sini merujuk pada Bapa atau Yesus; (2) apakah “darah-Nya sendiri” (tou haimatou tou idiou) di ayat ini berarti ”darah milik Allah” atau “darah milik dari Milik-Nya”.

Kita akan membahas dua hal tersebut secara terbalik. Pertama-tama kita harus menyelidiki terlebih dahulu apa arti “tou idiou” dalam frase “dia tou haimatou tou idiou (“melalui darah-Nya sendiri”). Apakah frase ini harus diterjemahkan “His own blood” (mayoritas versi) atau “the blood of His own [Son]” (RSV/NRSV)? Beberapa teolog memilih alternatif terakhir karena frase “jemaat Allah” dalam tulisan Paulus selalu merujuk pada “jemaat milik [Allah] Bapa”.5 Selain itu, mereka berpendapat bahwa sebutan ho idios (bentuk nominatif/subjek tou idiou) kadangkala dipakai dalam arti seseorang yang memiliki hubungan kekeluargaan.6 Dengan dasar ini mereka menganggap bahwa tou haimatou tou idiou di Kisah Rasul 20:28 harus dipahami sebagai rujukan untuk darah Yesus Kristus, Anak Allah.

Walaupun pendapat tersebut memiliki bobot argumen yang cukup baik, namun dari sisi penggunaan kata tou idiou dalam Perjanjian Baru, kita harus menolak kemungkinan ini. Mengapa? Karena setiap kali suatu kata benda muncul dengan keterangan tou idiou, maka konteks secara jelas menyatakan bahwa tou idiou merujuk pada pemilik dari benda tersebut. Perhatikan beberapa contoh berikut ini:
1. Lukas 6:44 ” setiap pohon dikenal pada buahnya [sendiri]”.
2. Roma 8:32 ” Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri”.
3. 1Korintus 7:4 ” istri/suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri”.
4. Ibrani 9:12 “Ia membawa darah-Nya sendiri”.
5. Ibrani 13:12 ”Yesus...untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri”.

Dalam kasus Kisah Rasul 20:28, tou idiou jelas merujuk pada qeos ”karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah (qeou) yang diperoleh-Nya dengan darah-Nya sendiri”. Sangat janggal apabila kita menerjemahkan bagian terkahir dari ayat ini dengan “darah milik dari milik-Nya”.

Di samping alasan di atas, kita juga dapat menambahkan alasan lain dari kebiasaan para penulis Alkitab. Mereka tidak pernah satu kali pun menyebut Yesus sebagai ho idios (bentuk nominatif/subjek tou idiou) Allah. Apakah tou idiou di Kisah Rasul 20:28 adalah perkecualian? Sama sekali tidak! Jika yang dimaksud adalah darah “Anak-Nya sendiri”, maka frase yang dipakai seharusnya ”tou huiou tou idiou”, seperti yang dipakai di Roma 8:32. Lebih jauh, Ibrani 9:12 memberikan contoh lain bahwa frase “darah-Nya sendiri” jelas merujuk pada Yesus Kristus.

Sekarang mari kita gabungkan apa yang sudah kita dapatkan. Jika salinan yang benar adalah “jemaat Allah” dan darah di bagian akhir ayat ini merujuk pada darah Allah, bagaimana kita menjelaskan hal ini? Kita jelas tidak dapat memahami “Allah” dalam frase “jemaat Allah” sebagai “Bapa”, karena Bapa tidak pernah mencurahkan darah-Nya untuk gereja. Yesus

                                                 5  I. Howard Marshall, Acts, TNTC (Surabaya: Momentum, 2007), 334;.  6 F. F. Bruce, The Acts of the Apostles (3rd rev. ed. Eugene: Wipt and Stock Publishers, 2000), 434.

Kristuslah yang melakukan hal itu. Jadi, solusi yang paling wajar dan masuk akal adalah dengan memahami “Allah” di sini sebagai rujukan pada diri Yesus Kristus. Hal ini tentunya tidak perlu membuat kita terkejut, karena Paulus beberapa kali menyebut Yesus sebagai “Allah” dalam surat-suratnya (Rom 9:5; Kol 2:9; Tit 2:13; juga Kol 1:15-20; Flp 2:5-11).7 Selain itu, Alkitab juga pernah mengajarkan bahwa orang-orang percaya disebut sebagai umat Yesus Kristus, misalnya Ibrani 13:12 “Itu jugalah sebabnya Yesus telah menderita di luar pintu gerbang untuk menguduskan umat-Nya dengan darah-Nya sendiri”. Lebih jelas lagi adalah Roma 16:16. Dalam ayat ini orang-orang percaya disebut sebagai jemaat Kristus.

Penjelasan di atas membawa kita pada satu kebenaran penting lainnya. Jika Yesus disebut sebagai Allah dan orang-orang percaya adalah jemaat-Nya, maka kebenaran ini menempatkan Yesus dalam kesejajaran dengan Yahweh di Perjanjian Lama maupun Allah dalam Perjanjian Baru. Dalam Septuaginta (LXX), bangsa Israel sering disebut sebagai “jemaat TUHAN” (ekklhsia kuriou, Ul 23:2, 3, 4, 9; 28:8; 29:20; Mik 2:5). Dalam Perjanjian Baru, orang-orang percaya disebut sebagai “jemaat Allah” (ekklhsia qeou, 1Kor 1:2; 10:32; 11:22; 15:9; 2Kor 1:1; Gal 1:13; 1Tim 3:5, 15).

Roma 9:5

Perdebatan tentang ayat ini berkaitan dengan identitas “Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya“ di bagian akhir teks ini. Apakah frase tersebut merujuk pada “Kristus” atau “Allah”?8 Kesulitan ini berkaitan dengan tidak adanya tanda baca dalam naskah asli maupun salinan-salinan Alkitab yang sangat kuno. Hampir semua bapa gereja memilih kemungkinan pertama, tetapi hal ini tidak dapat dijadikan patokan, karena para penyalinan Alkitab kuno justru lebih memilih yang kedua.

Mereka yang menganggap frase itu tidak merujuk pada Kristus berpendapat bahwa kita seharusnya meletakkan tanda baca titik setelah kata “manusia/daging” dan memperlakukan frase selanjutnya sebagai kalimat baru yang terpisah. Jika ini diterima, maka ayat 5 akan berbunyi sebagai berikut “Mereka adalah keturunan bapa-bapa leluhur, yang menurunkan Mesias dalam keadaan-Nya sebagai manusia. Allah yang di atas semuanya harus dipuji selama-lamanya. Amin!”. Terjemahan seperti ini tampaknya diadopsi oleh penerjemah RSV “to them belong the patriarchs, and of their race, according to the flesh, is the Christ. God who is over all be blessed for ever. Amen” maupun NEB “May God, supreme above all, be blessed for ever”.

Beberapa argumen telah dipaparkan untuk mendukung penafsiran di atas. Thomas Schreiner memberikan rangkuman yang bermanfaat tentang hal ini:9
(1) Kata “terpujilah” (euloghtos) dalam Perjanjian Baru selalu ditujukan pada Allah (Mar 14:61; Luk 1:68; Rom 1:25; 2Kor 1:3; 11:31; Ef 1:3; 1Pet 1:3).
(2) Paulus tidak pernah memakai sebutan “Allah” (theos) untuk Kristus.
                                               
7 A. Robertson, Word Pictures in the New Testament. Vol.V c1932, Vol.VI c1933 by Sunday School Board of the Southern Baptist Convention. Logos Research Systems: Oak Harbor, 1997. 8 John Stott dengan tepat menjelaskan bahwa yang menjadi persoalan bukanlah pernyataan Paulus bahwa Kristus adalah “di atas segala sesuatu” (hal ini berkali-kali ditegaskan Paulus, Rom 14:9; Ef 1:20; Flp 2:9; Kol 1:18), tetapi pada isu apakah Kristus disebut sebagai Allah atau tidak dalam ayat ini. The Message of Romans, BST (Leicester/Downer Grove: Inter-Varsity Press, 1994), 265. 9 Romans, BECNT (Grand Rapids: Baker Academic, 1998), 487

(3) Penempatan kata “Allah” di depan “terpujilah” merupakan cara Paulus menekankan keTuhanan Allah atas segala sesuatu dan ini merupakan tipikal doksologi orang-orang Ibrani.

(4) Dalam tulisan Paulus tidak pernah ditemukan adanya doksologi yang ditujukan kepada Kristus. (5) Frase “Allah yang di atas semua” di Efesus 4:6 memiliki kemiripan struktur dengan Roma 9:5b dan dalam teks tersebut frase itu ditujukan kepada Allah.
(6) Tulisan Yahudi biasanya memang ditutup dengan doksologi kepada Allah.
(7) Doksologi di Roma 11:33-36 ditujukan kepada Allah, karena itu doksologi di Roma 9:5b juga kemungkinan besar ditujukan pada Pribadi yang sama.
(8) Jika Paulus menyebut Kristus sebagai Allah di ayat ini, maka dia akan kehilangan tempat pijakan (common ground) dengan orang-orang Yahudi. Dalam konteks monotheisme Yahudi yang sangat ketat, Paulus tampaknya tidak mungkin menekankan keilahian Kristus, apalagi dia sedang membangun interaksi dengan orang-orang Yahudi.10

Penelitian yang lebih seksama menunjukkan bahwa pandangan di atas tidak begitu kuat. Frase “Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya” jelas merujuk pada Yesus Kristus. Penafsiran ini lebih wajar dan sesuai dengan struktur kalimat yang dipakai Paulus. Sebaliknya, penafsiran lain tampak janggal dan tidak wajar.11

Pertama, frase yang mengikuti kata “manusia” dimulai dengan ho wn (lit. “yang adalah”) yang dalam tata bahasa Yunani selalu berfungsi sebagai anak kalimat.12 Kita tidak mungkin akan menjumpai sebuah kalimat baru yang dimulai dengan ho wn. Jika frase ini merupakan kalimat baru, maka tambahan wn menjadi mubazir, karena kata sandang ho saja sebenarnya sudah cukup.13 Tambahan wn mempertegas fakta bahwa frase ini adalah anak kalimat. Jika frase ini adalah anak kalimat, maka kita harus menemukan kata benda yang muncul sebelumnya yang dirujuk oleh frase ini.14 Sesuai konteks yang ada, frase ini jelas merujuk pada Kristus. Tidak ada alasan dari sisi sintaks (susunan kalimat) maupun tata bahasa yang memungkinkan kita untuk memahami ho wn sebagai rujukan pada pribadi lain selain Kristus di ayat 5a.15

Kedua, jika kita menerapkan frase ini kepada Kristus, maka penjelasan terhadap Kristus di Roma 9:5 menjadi sempurna (seimbang), karena ayat ini memaparkan keadaan insani maupun ilahi Kristus. Bagian awal ayat 5 (“dalam keadaan-Nya sebagai manusia”) menerangkan sisi kemanusiaan Kristus, sedangkan bagian akhir (“yang adalah Allah yang di atas semuanya dan terpuji selamanya”) merujuk pada sisi keilahian-Nya. Kaitan antara Kristus dengan bangsa Israel secara manusiawi telah disinggung di bagian awal, karena itu
                                            
10 Poin terakhir ini tidak ada dalam rangkuman yang diberikan Schreiner, tetapi disinggung oleh Douglas J. Moo, The Epistle to the Romans, NICNT (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1996), 568. 11 Metzger, Textual Commentary, 460. 12 Everett F. Harrison, “Romans”. In The Expositor’s Bible Commentary, Vol. 10. Grand Rapids: Zondervan, 1976. Electronic edition; Moo, The Epistle to the Romans, 567. 13 Metzger, Textual Commentary, 461; C. E. B. Cranfield, The Epistle to the Romans Vol. II, ICC (Edinburgh: T&T Clark, 1979.), 468. 14 Susunan kata ini ditekankan oleh Leon Morris, The Epistle to the Romans, PNTC (Leicester/Grand Rapids: Apollos/Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1988), 350. Menurut dia, kata benda yang diterangkan oleh ho wn pasti sudah muncul sebelumnya. 15 John Murray, The Epistle to the Romans, Vol. II, NICNT (combined edition; Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publhsing Company, 1968), 246. 

sangat wajar apabila Paulus selanjutnya menjelaskan kaitan tersebut dari sisi keilahian Kristus.16 Hal ini diperkuat dengan penggunaan frase “dalam keadaan-Nya sebagai manusia” di ayat 5a yang menyiratkan bahwa bagian selanjutnya adalah “dalam keadaan-Nya sebagai Allah”.17 Contoh lain dari kebiasaan Paulus menjelaskan dua sisi hakekat Kristus dapat dijumpai di Roma 1:3-4 “tentang Anak-Nya, yang menurut daging diperanakkan dari keturunan Daud dan menurut Roh kekudusan dinyatakan oleh kebangkitan-Nya dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa”.18

Ketiga, doksologi dalam tulisan Paulus tidak pernah berdiri sendiri tanpa kaitan dengan apa yang mendahului doksologi tersebut.19 Dengan kata lain, doksologi adalah respon terhadap apa yang diungkapkan Paulus sebelumnya. Tidak heran, semua doksologi Paulus selalu diawali dengan anak kalimat (Rom 1:25; 11:36; 2Kor 11:31; Gal 1:5; Ef 3:21; Flp 4:20; 1Tim 1:17; 2Tim 4:18). Jika hal ini diterapkan pada Roma 9:5, maka ayat 5b harus dilihat dalam kaitan dengan ayat 5a. Jika ayat 5b harus dipahami sebagai doksologi, maka pujian ini ditujukan pada Kristus yang sudah disinggung sebelumnya. Salah satu teks yang perlu diperhatikan secara khusus karena memiliki kemiripan struktur dengan Roma 9:5b adalah 2Korintus 11:31.20 Dalam teks ini ditulis “Allah dan Bapa Tuhan Yesus yang (ho wn) terpuji sampai selama-lamanya”. Kata ganti “yang” di ayat ini jelas merujuk pada “Allah dan Bapa”.

Keempat, doksologi dalam Alkitab selalu mengikuti struktur “terpujilah” (euloghtos) + “Allah” (qeos), bukan sebaliknya.21 Paulus juga mengikuti pola seperti ini, misalnya di 2Korintus 1:3 maupun Efesus 1:3. Dalam Roma 9:5 kita menemukan bahwa kata “Allah” muncul lebih dahulu, baru diikuti kata “terpujilah”. Konstruksi seperti ini sangat janggal. Satu-satunya perkecualian mungkin adalah Mazmur 68:19-20 (LXX Mzm 67:19-20 “kurios ho qeos euloghtos, euloghtos kurios”), tetapi kata euloghtos yang pertama  kemungkinan besar hanyalah pengulangan (baca: penambahan) terjemahan, karena dalam teks Ibraninya tidak ada kata itu.22

Kelima, dalam konteks Paulus sedang bersusah hati atas ketidakpercayaan teman-teman sebangsanya (Rom 9:1-3), sulit dipahami apabila dia justru mengungkapkan doksologi kepada Allah.23 Pujian seperti ini secara psikologis sulit dijelaskan. Walaupun kita tetap harus mengucap syukur atas segala sesuatu – termasuk atas ketidakpercayaan orang lain kepada Allah (Mat 11:25, band. ayat 20-24; Rom 1:25) - namun dalam konteks Roma 9:1-5 Paulus sedang mengungkapkan kesedihannya yang mendalam. Kalau pun dia harus memuji Allah di tengah situasi seperti ini, dia pasti akan memberikan penjelasan yang memadai tentang alasan
                                            
16 Harrison, “Romans”, ibid. John Frame, The Doctrine of God (Phillipsburg: P&R Publishing, 2002), 667. 17 Cranfield, The Epistle to the Romans, 467. Morris, The Epistle to the Romans, 350. Cranfield sendiri memandang poin ini tidak terlalu konklusif, tetapi poin ini turut memberi dukungan yang penting. 18 Moo, The Epistle to the Romans, 567. 19 Metzger, Textual Commentary, 461; Moo, The Epistle to the Romans, 567. 20 Schreiner, Romans, 488. 21 Moo, ibid.; Harrison, “Romans”, ibid; Frame, The Doctrine of God, 667; Morris, The Epistle to the Romans, 350; Schreiner, Romans, 488. Schreiner memberikan sebuah daftar panjang tentang doksologi dalam Alkitab yang mengikuti pola seperti ini. Dalam Septuaginta (LXX) adalah Kej 9:26; 14:20; 24:27, 31; Kel 18:10; Rut 4:14; 1Sam 25:32; 2Sam 6:21; 18:28; 1Raj 1:48; 8:15, 56; 2Taw 2:11; 6:4; Mzm 17:47; 27:6; 30:22; 40:14; 65:20; 67:20, 36; 71:18; 88:53; 105:48; 123:6; 143:1; Dan 3:95; Zak 11:5; 1Esdr 4:40; Ez 7:27; Tob 11:17; 13:2, 18. Dalam Perjanjian Baru termasuk Luk 1:68; 2Kor 1:3; Ef 1:3; 1Pet 1:3. 22 Metzger, Textual Commentary, 461; Schreiner, Romans, 488. 23 Metzger, ibid.; Harrison, “Romans”, ibid; Morris, The Epistle to the Romans, 350

pujian tersebut. Jika dia tidak melakukan itu, maka pujian tersebut hanyalah sindiran kasar terhadap orang-orang Yahudi. Lebih masuk akal apabila kita memahami pengagungan kepada Kristus di sini sebagai upaya Paulus untuk mempertegas kesedihannya, yaitu bangsa Israel telah menolak Kristus yang adalah Allah sendiri yang seharusnya dipuji di atas segala sesuatu dan selama-lamanya!24

Setelah memberikan argumen yang mendukung pandangan bahwa Roma 9:5b merujuk pada Yesus, sekarang kita akan memberikan jawaban terhadap sanggahan pihak lain, seperti yang telah disinggung dalam bagian sebelumnya. (1) Bukankah doksologi selalu ditujukan pada Allah dan bukan pada Kristus? Ya, Roma 9:5b memang bukan sebuah doksologi, melainkan penjelasan tentang siapa Kristus sebenarnya dalam hakekat keilahian-Nya. Kalau pun harus dipahami sebagai sebuah doksologi, tidak berlebihan jika doksologi ini ditujukan kepada Kristus yang dalam bagian lain di surat-surat Paulus dinyatakan sebagai Allah. Ibrani 13:21 bahkan sangat mungkin merupakan doksologi yang ditujukan kepada Kristus (band. mayoritas versi Inggris “through Jesus Christ; to whom be the glory for ever and ever. Amen”).25 (2) Apakah Paulus tidak pernah memakai sebutan “Allah” untuk Yesus? Beberapa teks secara eksplisit membantah pendapat ini (Flp 2:5-11; Kol 2:9; Tit 2:13). (3) Apakah Paulus tidak pernah memakai doksologi untuk Kristus? Ya, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan. Paulus berkali-kali memberikan penghormatan yang tertinggi untuk Kristus: dia menerapkan sebutan kurios (TUHAN) di LXX kepada Kristus (Rom 10:13); dia menyejajarkan Kristus dan Allah dalam berbagai konteks (Rom 1:7b; 8:35, 39); dia mengajarkan Kristus sebagai bojek doa/seruan (Rom 10:12-14); dia menegaskan bahwa Yesus selalu berada dalam rupa Allah (Flp 2:6).26 Jadi, walaupun bukan dalam bentuk doksologi secara formal, namun pujian kepada Kristus tetap merupakan salah satu ciri khas dalam teologi Paulus. Tidak heran kalau Roma 9:5b merupakan doksologi kepada Kristus. (4) Apakah jika Paulus memahami Roma 9:5b sebagai penjelasan terhadap keilahian Kristus maka dia justru sedang meruntuhkan tempat pijakan (common ground) dengan orang-orang sebangsanya? Sama sekali tidak! Paulus sebelumnya sudah membangun tempat pijakan yang kuat, yaitu bangsa Israel adalah anak-anak Allah, penerima segala berkat rohani, janji Allah, dipakai Allah sebagai nenek moyang Kristus (ayat 4-5). Mereka bahkan dipilih Allah untuk melahirkan Kristus yang adalah Allah sendiri (ayat 5b). Jadi, ayat 5b memiliki fungsi ganda: menjelaskan keistimewaan sekaligus kegagalan bangsa Israel: mereka tidak mempercayai Kristus sebagai Allah, padahal secara manusiawi Kristus justru adalah keturunan mereka.27 #

                                                 24 Schreiner, Romans, 488. 25 Stott, The Message of Romans, 266. 26 Cranfield, The Epistle to the Romans, 468; Murray, The Epistle to the Romans, 247-248. 27 Moo, The Epistle to the Romans, 568. 

Keilahian Yesus: Filipi 2:6 

Filipi 2:6 sebenarnya tidak termasuk teks yang menegaskan keilahian Yesus Kristus secara eksplisit, dalam arti teks ini tidak menyebut Yesus sebagai Allah dalam cara yang sama yang telah kita lihat di Yohanes 1:1, Yohanes 1:18, Yohanes 20:28, Kisah Rasul 20:28 maupun Roma 9:5. Filipi 2:6 hanya menjelaskan bahwa Yesus ”berada dalam rupa Allah”. Bagaimanapun, jika kita menyelidiki lebih lanjut, maka kita akan melihat bahwa teks ini cukup jelas mengajarkan tentang keilahian Kristus.

Rupa Allah (morphe theou)

Apakah arti ”berada dalam rupa Allah” ? Para teolog memberikan jawaban yang berbeda-beda, tergantung penafsiran mereka terhadap makna kata morphe theou (”rupa Allah”). Ada beberapa faktor yang memicu perbedaan ini:
(1) kata morphe dalam Perjanjian Baru hanya muncul dua kali, yaitu di teks yang sedang kita bahas: ayat 6 (”rupa Allah”) dan ayat 7 (”rupa hamba”);
(2) dalam literatur-literatur filsafat Yunani kata morfh seringkali berarti ”apa yang ditangkap oleh panca indera”,1 padahal definisi ini jelas tidak dapat dikaitkan pada Allah, karena Allah adalah roh (Yoh 4:24) dan tidak terlihat (Kol 1:15; 1Tim 1:17), sehingga tidak bisa dipahami melalui indera manusia;
(3) dalam Septuaginta (LXX) kata morphe hanya muncul empat kali dan itu pun untuk menerjemahkan empat kata yang berbeda (Hak 8:18; Ay 4:16; Yes 44:13; Dan 3:19); (4) Filipi 2:6-11 adalah sebuah hymne,2 sehingga tidak boleh ditafsirkan seperti sebuah prosa atau pernyataan teologis.

Di antara beragam pendapat di atas, ada tiga pandangan utama tentang makna morphe theou yang perlu mendapat perhatian khusus. Pertama, morphe theou dipahami sebagai ”kemuliaan Allah”.3 Argumen yang dipakai untuk mendukung gagasan ini adalah beragam teks Perjanjian Lama (Septuaginta) yang menghubungkan penampakan diri Allah (theofani) dengan morphe (”rupa”, Ay 4:16) atau doxa (”kemuliaan”, Kel 16:10; 24:15; Im 9:6, 23; Bil 12:8; 14:10). Jika ini diterima, maka gambaran tentang Kristus di Filipi 2:6 sama dengan Yohanes 17:5.4 Walaupun pandangan ini menarik, tetapi makna kata morfh seperti ini tidak dapat diaplikasikan ke frase ”rupa hamba” (Flp 2:7). Kita tidak dapat memahami ”rupa hamba” sebagai ”kemuliaan hamba”. Selain itu, jika arti morphe tersebut dipaksakan di ayat 7 (rupa hamba = penampakan hamba), maka kita akan terjebak pada bidat doketisme yang melihat kemanusiaan Yesus hanya sebagai penampakan saja (Yesus bukan sungguh-sungguh manusia).

                                                 1 Behm, “morphe”, TDNT Vol. IV, ed., G. Kittel, 745. 2 Ibid., 750. 3 Lihat Ralph P. Martin, Carmen Christi (Cambridge: University Press, 1967), 108-109; Behm, “morphe”, 751. 4 Robert B. Strimple, “Philippians 2:5-11 in Recent Studies: Some Exegetical Studies”, WTJ 41 (1979), 261.

Kedua, morphe theou dipahami sebagai ”gambar Allah”. Mereka yang memegang pandangan ini menganggap bahwa Yesus sedang ditampilkan sebagai Adam terakhir. Adam yang pertama diciptakan dalam gambar dan rupa Allah (Kej 1:26) tetapi gagal dalam pencobaan karena ingin menjadi seperti Allah (Kej 3:1-5), sedangkan Yesus adalah Adam terakhir dan gambar Allah yang tidak mau menjadi seperti Allah. Jika pandangan ini diterima, maka Filipi 2:6 memiliki makna yang sama dengan 2Korintus 4:4 dan Kolose 1:15 yang menampilkan Yesus sebagai gambar Allah.

Pandangan ini harus diakui lebih berbobot daripada pandangan yang pertama. Bagaimanapun, pandangan ini tetap sulit untuk diterima. Ada beberapa kelemahan fundamental dari pandangan ini: (1) frase “gambar Allah” dalam Alkitab memakai kata Yunani eikon theou, bukan morph theou. Beberapa orang memang sudah mencoba membuktikan bahwa eikwn sinonim dengan morphe, tetapi argumen yang dipakai sangat tidak memadai;5
(2) dalam LXX kata morphe tidak pernah dipakai untuk menerjemahkan “gambar” atau “rupa” Allah di Kejadian 1:26, 5:1 maupun 9:6;6
(3)  teks secara jelas menyatakan bahwa Yesus “berada dalam rupa Allah”, bukan “adalah rupa Allah”, sebagaimana kita temui di 2Korintus 4:4 dan Kolose 1:15;7
(4) makna morphe yang diusulkan tidak dapat diterapkan pada frase “rupa hamba” di Filipi 2:7.8 Kalau “rupa Allah” merujuk balik pada Adam, bagaimana dengan “rupa hamba”? Apakah frase ini juga berkaitan dengan Adam?
(5) “rupa Allah” di Filipi 2:6 merujuk pada pra-inkarnasi Kristus, sehingga sangat janggal apabila kita membandingkannya dengan Adam sebagai manusia.9 Perbandingan ini akan menjadi sejajar apabila “rupa Allah” merujuk pada status Kristus yang sudah berinkarnasi.

Ketiga, gambar Allah dipahami sebagai “hakekat Allah”. Pandangan ini adalah yang paling konsisten dengan arti kata morphe dan konteks Filipi 2:6. Sesuai sejarah pemakaian kata morphe, baik di literatur Alkitab maupun di luar Alkitab, akar kata morph- selalu menunjukkan pada “sifat-sifat esensial dari sesuatu”. Jika dikaitkan dengan Allah, maka morphe theou merujuk pada sesuatu/pribadi yang memiliki sifat-sifat esensial Allah. Dengan demikian, frase “berada dalam rupa Allah” menyiratkan bahwa Yesus memiliki hakekat ilahi seperti Allah.10

Pendapat di atas juga didukung oleh konteks yang ada. Dalam Filipi 2:1-11 Paulus sedang menasehati jemaat untuk saling rendah hati dan mengutamakan orang lain (ayat 1-4). Sebagai dasar sekaligus contoh bagi nasehatnya (ayat 5), Paulus lalu memaparkan hymne di ayat 611. Jika Kristus bukan Allah yang sejati, maka frase “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan” (ayat 6b) tidak memiliki bobot apapun. Jika Kristus bukan Allah sejati, maka sikap-Nya di ayat 6b tidak menunjukkan sebuah kerendahhatian. Bukankah sudah seharusnya bagi seseorang yang bukan Allah untuk tidak mencoba menjadi Allah? Kerendahhatian Yesus justru akan terlihat jelas apabila kita menyadari bahwa Dia memiliki hakekat keilahian yang sempurna, tetapi Ia mau mengambil rupa seorang hamba.

                                                 5 Robert L. Reymond, Jesus: Divine Messiah (Ross-shire: Christian Focus Publication/Mentor, 2002), 447. 6 Ibid. 7 Ibid., 448. 8 Ibid., 448; Gerald F. Hawthrone, Philippians, WBC 43 (Waco: Word, 1983), electronic edition. 9 Hawthrone, ibid. 10 J. B. Lightfoot, Saint Paul’s Epistle to the Philippians (Grand Rapids: Zondervan, 1953), 110; Hawthrone, ibid.; Reymond, Jesus: Divine Messiah, 448-449.

Lebih jauh, pendapat di atas juga dapat diterapkan secara konsisten pada frase “rupa hamba” di ayat 7. Yesus mengambil rupa hamba dalam arti Ia benar-benar memiliki sifat-sifat esensial dari seorang hamba, yaitu ketaatan yang total. Dia mau menjadi manusia yang hidupNya hanya untuk menaati kehendak Bapa-Nya (ayat 7-8). Ketaatan ini bahkan harus dibayarNya dengan kematian yang sangat hina di atas kayu salib (ayat 8b).

Yang terakhir, pendapat di atas didukung oleh ayat 6b “kesetaraan dengan Allah itu”. Frase ini dimulai dengan sebuah artikel (to), sehingga menunjukkan bahwa kesetaraan ini sudah disinggung sebelumnya. Kapan hal ini disinggung? Pada waktu Paulus menegaskan bahwa Yesus “berada dalam rupa Allah”!11 Dengan kata lain, “berada dalam rupa Allah” memiliki makna yang sama dengan “setara dengan Allah”.

Berada

Setelah kita meneliti makna “berada dalam rupa Allah”, sekarang kita akan menyelidiki pentingnya pemakaian kata “berada” (huparcwn) di ayat 6. Supaya semakin jelas, kita perlu membandingkan frase “berada dalam rupa Allah” (ayat 6) dengan “mengambil rupa seorang hamba” (ayat 7). Kristus tidak mengambil (lambanw) rupa Allah; Dia memang berada ( dari akar kata “adalah”) dalam rupa Allah. Keberadaan-Nya sebagai Allah bukanlah sesuatu yang Dia usahakan, tetapi sesuatu yang memang sudah begitu dari awalnya.

Perbandingan lain yang perlu dicermati adalah pemakaian keterangan waktu (tense). Kata huparcwn memakai tense present yang menyiratkan bahwa Kritus terus-menerus berada dalam rupa Allah. Keterangan waktu ini bukan hanya menunjukkan bahwa selama inkarnasi Kristus tetap sebagai Allah, tetapi sebelum inkarnasi pun Dia terus-menerus berada dalam rupa Allah. Sebaliknya, ketika Dia menjadi hamba, peristiwa ini tidak terus-menerus. Bentuk tense aorist pada kata “mengambil” (labwn) dalam konteks Filipi 2:6-11 merujuk pada tindakan yang pernah terjadi di masa lampau. Pemuliaan Kristus di ayat 9-11 turut mempertegas ide bahwa posisi Yesus sebagai hamba tidak berlangsung terus-menerus. Dia kini adalah Tuhan atas segala sesuatu.

Bantahan dan jawaban

Walaupun keilahian Kristus dalam Filipi 2:6-11 sudah cukup jelas dinyatakan, tetapi sebagian orang tetap berusaha membantah hal tersebut. Bantahan pertama berkaitan dengan frase “tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai milik yang harus dipertahankan”. Yang menjadi inti masalah adalah kata “milik yang harus dipertahankan” (arpagmos). Kata ini diterjemahkan secara beragam dalam berbagai versi, misalnya “perampokan” (KJV/NKJV/WEB), “sesuatu yang ditangkap/dipegang” (ASV/RSV/NIV/NASB) atau “sesuatu yang dieksploitasi” (NRSV). Jika arpagmos diterjemahkan “perampokan”, maka Yesus jelas tidak setara dengan Allah. Dia berada di bawah Allah. Dia hanya tidak mau menyamai Allah. Apakah arti kata arpagmos yang sebenarnya? Kata benda arpagmos hanya muncul sekali. Kata lain yang berkaitan dengan arpagmos memang bisa merujuk pada sesuatu yang diambil dengan paksa, misalnya arpagh (Mat 23:25//Luk 11:39; Ibr 10:34) atau arpazw (Mat 12:29; 13:19; Yoh 10:28). Kata kerja arpazo juga bisa berarti “mengangkat”, tetapi tanpa ada
                                               
11 Hawthrone, ibid.

unsur paksaan (2Kor 12:2; 1Tes 4:17). Jadi, arti mana yang paling sesuai dengan konteks Filipi 2:6?

Ternyata, studi kata tentang arpagmos tidak akan banyak membantu kita memahami apa yang dimaksud Paulus di Filipi 2:6b jika kita hanya menyelidiki kata ini saja. Sekarang semakin banyak teolog yang menyadari bahwa kata arpagmos tidak boleh ditafsirkan secara independen. Kata ini harus dipahami bersamaan dengan kata hgeomai (“menganggap”), karena dua kata ini dalam literatur Yunani memang seringkali muncul bersamaan dan kemunculan keduanya dalam bentuk ungkapan. Sebagai sebuah ungkapan, dua kata tersebut berarti “menganggap sesuatu sebagai kemujuran, durian jatuh atau sebuah nasib baik”.12 Jika diterapkan pada Filipi 2:6b, maka ungkapan ini menyiratkan sikap Kristus yang tidak mau menganggap kesetaraan diri-Nya dengan Allah sebagai sebuah batu loncatan untuk menyenangkan diri sendiri, sebagaimana yang biasa dilakukan orang yang mendapatkan kekayaan/keberuntungan secara tiba-tiba. Kesetaraan Kristus dengan Allah bukanlah sebuah keberuntungan (Kristus memang dari kekal berada dalam rupa Allah). Kesetaraan ini juga bukan alasan bagi Kristus untuk menyenangkan diri-Nya.

Penafsiran di atas bukan hanya didukung oleh bukti-bukti linguistik yang kuat, tetapi juga sesuai dengan konteks yang ada. Di Filipi 2:1-4, sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, Paulus sedang mengajarkan jemaat Filipi untuk saling rendah hati, memikirkan kepentingan orang lain, menganggap orang lain lebih utama daripada diri sendiri. Dalam konteks seperti ini sangat cocok apabila Paulus menampilkan Kristus sebagai teladan. Kristus lebih utama dari segala sesuatu (karena Dia berada dalam rupa Allah dan setara dengan Allah), tetapi Dia justru tidak mau menggunakan kelebihan ini untuk kepentingan-Nya sendiri. Sebaliknya, Dia mau mengosongkan dan merendahkan diri untuk kepentingan orang lain (ayat 7-8). Jika Kristus hanya ditampilkan sebagai Pribadi yang lebih rendah dari Allah dan tidak mau merampok kesetaraan dengan Allah, maka makna seperti ini jelas kurang sesuai dengan konsep tentang kerendahhatian dan kerelaan melepas hak bagi orang lain yang sedang diajarkan Paulus di ayat 1-4.13

Walaupun bukti linguistik dan analisa konteks di atas sudah cukup jelas, kita masih bisa menambahkan argumen lain untuk mendukung hal itu. Pembacaan yang sederhana sebenarnya sudah cukup untuk melihat kelemahan pendapat yang menafsirkan arpagmos sebagai perampokan. Arti seperti ini jelas tidak cocok jika dikaitkan dengan kesetaraan dengan Allah, karena kesetaraan dengan Allah tidak mungkin dirampok.14 Mengapa? Perampokan selalu berakibat hilangnya kepemilikan dari orang yang dirampok. Jika Kristus “merampok” kesetaraan dengan Allah, maka Allah tidak akan memiliki kesetaraan itu lagi. Hal ini tentu saja tidak masuk akal. Kesetaraan dengan Allah tidak mungkin dirampok. Sekalipun beberapa orang berpikir bahwa itu mungkin, maka pada saat hal itu berhasil dirampok, maka yang merampok tidak akan setara dengan Allah. Dia lebih besar daripada Allah yang berhasil dia rampok.

Seandainya pun kita memaksakan arti kata arpagmos sebagai perampokan, maka hal itu tidak secara otomatis melemahkan keilahian Kristus. Hal ini tergantung pada pemahaman kita                                               
12 Strimple, “Philippians 2:5-11 in Recent Studies: Some Exegetical Studies”, 263-264; untuk mengetahui berbagai tulisan Yunani di luar Alkitab yang memakai ungkapan seperti ini, lihat BAGD, 108. 13 William Hendriksen, A Commentary on the Epistle to the Philippians, GSC (London: Banner of Truth Trust, 1962), 129, note 87. 14 BAGD, 108.

tentang fungsi participle huparchon (“berada”) di ayat 6a. Terjemahan “yang walaupun berada dalam rupa Allah” (LAI:TB/NASB/RSV) mengasumsikan bahwa participle huparchon adalah concessive participle. Jika kita memahami huparchon sebagai  causative participle (menunjukkan sebab/alasan), maka ayat 6a akan memiliki arti “yang karena berada dalam rupa Allah”.15 Jika fungsi participle yang terakhir ini tepat, maka ayat 6a menjelaskan mengapa Kristus tidak menganggap kesetaraan dengan Allah sebagai “sesuatu yang tidak perlu dirampok”, yaitu karena Kristus sudah memiliki hal tersebut. Dengan kata lain, karena Kristus berada dalam rupa Allah, maka Dia tidak perlu merampok hal itu.16

Bantahan kedua yang sering diajukan untuk menetang keilahian Yesus di Filipi 2:6 adalah dari pertimbangan konteks. Filipi 2:6-11 berbicara tentang pra-inkarnasi Kristus (ayat 6), inkarnasi (ayat 7-8) dan pemuliaan Kristus (ayat 9-11). Jika sebelum inkarnasi Kristus sudah mulia (setara dengan Allah), maka pemuliaan di ayat 9-11 menjadi tidak berguna. Otoritas dan kemuliaan Kristus di atas segala sesuatu merupakan hasil ketaatan-Nya di kayu salib, bukan sesuatu yang secara esensial Dia miliki.

Untuk meresponi bantahan ini kita perlu melihat ajaran Alkitab secara keseluruhan lebih dahulu. Apakah otoritas Kristus atas segala sesuatu dimiliki-Nya oleh Kristus sebelum atau sesudah kebangkitan-Nya? Dua-duanya benar. Di satu sisi Alkitab mencatat dengan jelas bahwa sebelum kematian dan kebangkitan Kristus, Dia sudah memiliki otoritas atas segala sesuatu.17 Dia menciptakan segala sesuatu (Yoh 1:3; Kol 1:16) dan menopang semuanya itu (Kol 1:17). Selama inkarnasi Dia memiliki otoritas atas alam (Mat 8:26), penyakit (Mat 4:23; 9:35), kematian (Yoh 11) dan hukum Allah (Mat 5:17-48). Di sisi lain Alkitab juga menuliskan tentang otoritas Yesus yang Dia terima setelah kematian dan kebangkitan-Nya. Dia dinyatakan sebagai Anak Allah yang penuh kuasa melalui kebangkitan-Nya (Rom 1:4). Segala otoritas di surga dan di bumi telah diserahkan kepada-Nya (Mat 28:18).

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa membicarakan kemuliaan Kristus sebelum dan sesudah inkarnasi-Nya bukanlah dua hal yang asing bagi para penulis Alkitab. Mereka mengakui dua aspek kemuliaan ini. Kemuliaan yang pertama berkaitan dengan Yesus Kristus dalam keilahian-Nya sebelum inkarnasi (Filipi 2:6), sedangkan kemuliaan yang kedua mencakup keilahian dan kemanusiaan-Nya sebagai Mesias yang menderita dan dimuliakan (Filipi 2:911). Penjelasan ini tidak berarti ada dua jenis kemuliaan yang berbeda. Kita tidak boleh melupakan bahwa Pribadi yang sedang dibicarakan di ayat 6-11 adalah Pribadi yang sama, walaupun ada perubahan (penambahan) hakekat selama inkarnasi. #
                                             
 15 Hawthrone, ibid. 16 Secara tata bahasa fungsi participle seperti ini memang dapat dibenarkan. Bagaimanapun, hal ini tampaknya kurang mendapat dukungan dari teks. Paulus sedang mengajarkan kerendahhatian, sedangkan penafsiran seperti ini tidak terlalu jelas menampilkan kerendahhatian Kristus. 17 Reymond, Jesus: Divine Messiah, 453. 

Keilahian Yesus: Kolose 2:9 dan Titus 2:13 

Kolose 2:9

Sama seperti Filipi 2:6, Kolose 2:9 tidak menyatakan “secara eksplisit” bahwa Yesus adalah theos dalam bentuk kalimat sederhana “A = B”. Ayat ini juga tidak secara langsung menyebut Yesus sebagai Allah. Kolose 2:9 hanya menyatakan bahwa “dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan”. Walaupun demikian, bukan berarti ayat ini kurang jelas dalam menegaskan keilahian Kristus. John Frame menyatakan bahwa teks ini mengajarkan keilahian Kristus dalam nuansa yang paling kuat, bahkan lebih kuat daripada teks-teks yang secara langsung menyebut Yesus sebagai theos.1

Untuk mengetahui bagaimana teks tersebut mengajarkan keilahian Kristus, kita harus memperhatikan beberapa petunjuk yang ada di dalam teks.
Pertama, konteks. Paulus tidak menulis dalam sebuah kevakuman. Dia menulis sebagai respon terhadap ajaran sesat (bidat) yang muncul dan mempengaruhi jemaat Kolose (2:3, 8, 11, 16, 18, 23; 3:11). Walaupun identitas yang jelas dari bidat ini terus menimbulkan perdebatan di kalangan para penafsir, namun mereka sepakat bahwa bidat ini berkaitan dengan keutamaan Kristus (1:15-19).2 Jika bidat ini adalah semacam pemikiran gnostik yang menganggap Kristus hanyalah sebuah emanasi ilahi yang lebih rendah daripada Allah dan tidak mungkin mengambil bentuk tubuh (materi), maka Kolose 2:9 merupakan jawaban tegas dari Paulus bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh menyatakan diri dalam bentuk materi. Jika bidat ini berakar dari keagamaan Yahudi yang mengagungkan malaikat dan menjadikannya sebagai objek penyembahan (2:18), maka Kolose 2:9 merupakan penjelasan Paulus bahwa Kristus lebih daripada sekedar malaikat. Semua malaikat bahkan diciptakan oleh dan bergantung kepada Dia (1:16-17). Dia adalah Pencipta dari segala sesuatu.

Dari pertimbangan konteks di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang disampaikan Paulus di Kolose 2:9 harus dipahami sebagai upaya untuk menempatkan Kristus pada posisiNya yang tertinggi. Kolose 1:15-19 jelas membedakan Kristus dengan ciptaan lain. Kristus disamakan dengan Allah sebagai Pencipta dari segala sesuatu. Hal ini di kalangan teolog sering disebut dengan istilah “High Christology”. Jika Paulus hanya menampilkan Kristus sebagai hasil emanasi ilahi yang hakekatnya lebih rendah dari Allah, maka hal itu sama saja dengan menegaskan pandangan gnostik. Jika Kristus hanyalah penghulu malaikat Mikhael, maka hal itu justru memberi dukungan bagi sebagian jemaat yang terjebak ke dalam penyembahan kepada malaikat.
                                           
1 The Doctrine of God (Phillipsburg: P&R Publishing, 2002), 671. 2 D. A. Carson & Douglas J. Moo, An Introduction to the New Testament (2nd ed., Grand Rapids: Zondervan, 2005), 526-528. Ada beberapa usulan utama sehubungan dengan bidat di Kolose: (1) bidat Hellenis, terutama pemikiran gnostik atau praktik agama misteri; (2) bidat Yahudi, terutama berkaitan dengan praktik asketisisme (menjauhi hal-hal yang dianggap duniawi); (3) gabungan antara Hellenis dan Yahudi; (4) ajaran tertentu yang hanya ada di kota Kolose pada waktu itu; (5) tidak ada satu ajaran tertentu yang dibahas, karena terdiri dari banyak ajaran atau ajaran-ajaran itu sudah sangat umum sehingga tidak mewakili satu aliran pemikiran tertentu.

Kedua, kata “ke-Allahan” (theotetos, dari kata dasar theotes). Saksi Yehuwah berusaha menerjemahkan kata ini dengan “kualitas keilahian”.
3 Beberapa penafsir juga memandang theotes sebagai sinonim dari kata theiotes (Rom 1:20) atau theios (Kis 17:29; 2Pet 1:4).
4 Jika pandangan ini benar, maka tidak ada yang istimewa dari istilah theotes yang diterapkan pada Kristus. Dia bukanlah satu-satunya yang memiliki theotes.
Untuk menentukan benar atau tidaknya pandangan di atas memang tidak mudah, karena kata theotes dalam Alkitab hanya muncul sekali di Kolose 2:9. Bagaimanapun, bukti linguistik yang ada tampaknya menunjukkan bahwa pandangan di atas tidak tepat. Yang paling jelas adalah perbedaan kata dasar yang dipakai. theotes berasal dari kata dasar theos (“Allah”), sedangkan theiotes atau theios berasal dari theios (“ilahi”). Perbedaan ini membawa perbedaan dalam tingkat makna juga, karena “theotes berbeda dengan theiotes, sama seperti hakekat/esensi berbeda dari sifat atau kualitas”.
5 Theotes adalah bentuk abstrak dari kata theos,
6 sedangkan kata theiotes lebih mengarah pada sifat/kualitas keilahian.
7 Seandainya Paulus hanya ingin menekankan bahwa Kristus adalah ilahi tetapi bukan Allah, sulit dimengerti mengapa dia tidak memakai kata dasar qeios yang lebih umum. Berdasarkan semua pertimbangan ini, mayoritas Alkitab bahasa Inggris memilih terjemahan “deity” (“keAllahan”), dan bukan “divinity” (“keilahian”).

Satu hal yang sering dilupakan oleh para penafsir adalah posisi “kepenuhan ke-Allahan” di pasal 2:9. Frase ini merupakan subjek kalimat. Dalam pasal 1:19 “kepenuhan” juga sebagai subjek yang “berkenan untuk diam” di dalam Kristus (LAI:TB/RSV). Konstruksi kalimat seperti ini sedikit mengagetkan, karena kita cenderung memahami “kepenuhan [ke-Allahan]” hanya sebagai benda yang tidak dapat melakukan suatu tindakan. Dalam pasal 1:19 beberapa penerjemah berusaha menghindari posisi “kepenuhan” sebagai subjek dengan cara menyisipkan kata “Allah” (NIV) atau “Bapa” (KJV/NASB) sebagai subjek, tetapi usaha ini jelas terlalu dipaksakan karena secara tata bahasa kata “kepenuhan” sudah pantas berfungsi sebagai subjek sehingga tidak memerlukan tambahan subjek yang tersirat. Selain itu, usaha ini tidak konsisten dengan pasal 2:9 yang secara eksplisit menyatakan “kepenuhan keAllahan” sebagai subjek. Penjelasan ini semakin meyakinkan kita bahwa “kepenuhan keAllahan” merujuk pada hakekat ke-Allahan yang dapat melakukan sesuatu, baik itu “berkenan” (1:19) maupun “berdiam” (2:9). “Kepenuhan ke-Allahan” bukanlah objek dari tindakan Allah, melainkan Allah sendiri. Dengan demikian, definisi theotes sebagai “bentuk abstrak dari theos” mendapat dukungan dari konteks surat Kolose.

Di samping itu, dari cara Paulus menekankan ke-Allahan Kristus di Kolose 2:9 terlihat bahwa dia memahami keilahian ini sebagai sesuatu yang sangat unik:
(1) Paulus meletakkan frase “di dalam Dia” (en auto) di awal kalimat seolah-olah dia ingin menegaskan bahwa hanya di dalam Dialah berdiam seluruh kepenuhan ke-Allahan. Ini merupakan koreksi terhadap pengajar sesat yang memberitakan bahwa kepenuhan ke-Allahan dapat ditemukan di tempat
                                           
3 Alkitab Terjemahan Dunia Baru (New World Translation). 4 Louw-Nida Lexicon. 5 Thayer’s Greek Lexicon of the New Testament. 6 BAGD, A Greek-English Lexicon of the New Testament (Chicago: University of Chicago, 1957), 359. 7 Sebagaimana sudah sering disinggung dalam berbagai tafsiran, salah satu contoh yang secara jelas membedakan kata qeoths dan qeioths ada dalam tulisan Plutarch yang berjudul Moralia. Contoh ini menjadi popular setelah dikutip oleh J. B. Lightfoot, St. Paul’s Epistles to the Colossians and to the Philemon (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1959), 179. 

lain;8

(2) ke-Allahan yang berdiam di dalam Kristus dijelaskan dengan kata “seluruh” (pan) dan “kepenuhan” (pleroma). Keterangan semacam ini menegaskan bahwa tidak ada bagian dari “ke-Allahan” itu yang tidak berdiam di dalam Kristus dan bahwa tidak ada tempat lain yang di dalamnya ke-Allahan itu berdiam – bahkan dalam porsi yang paling kecil sekalipun – selain di dalam Kristus.9 Jika bidat di Kolose berhubungan dengan pemikiran gnostik yang menganggap pleroma sebagai sebuah sistem keilahian yang terdiri dari banyak dewa yang ber-emanasi dari Allah, maka frase “seluruh kepenuhan” di Kolose 2:9 menegaskan bahwa Kristus bukanlah salah satu dari dewa-dewa itu.10 Dia adalah kepenuhan ke-Allahan yang sempurna dan satu-satunya.
(3) penggunaan tense present pada kata “berdiam” (katoikei). Keterangan waktu ini merujuk pada peristiwa inkarnasi, karena dikaitkan dengan kata somatikos (LAI:TB “secara jasmaniah”).11

Begitu uniknya ke-Allahan Kristus tersebut, Paulus sangat berhati-hati dalam membedakan kepenuhan Allah di dalam Kristus (2:9) dengan kepenuhan kita di dalam Kristus (2:10 “kamu telah dipenuhi di dalam Dia”). Di ayat 10 Paulus tidak memakai kata theotes.12. Dia bahkan tidak berani memakai kata benda pleroma (“kepenuhan”) untuk menghindari kesan bahwa kepenuhan di ayat 10 sama dengan kepenuhan di ayat 9. Sebaliknya, dia memakai bentuk participle perfect pepleromenoi (“telah dipenuhi”). Jika Paulus ingin menyamakan kepenuhan di ayat 9 dan 10 maka dia pasti akan memakai kata benda pleroma yang disertai dengan artikel to di depan kata itu. Keunikan ini cukup untuk meyakinkan kita bahwa keilahian yang dinyatakan di dalam alam (Rom 1:20) maupun yang dibagikan kepada kita (2Pet 1:4) tidak sama dengan ke-Allahan yang ada di dalam Kristus. Kristus bukan hanya memiliki sifat ilahi, tetapi juga hakekat ilahi.

Ketiga, kesejajaran arti pleroma di pasal 1:19 dan 2:9. Semua penafsir setuju bahwa dua teks ini harus dilihat secara bersama-sama. Ada beberapa alasan bagi hal ini:
(1) dua ayat ini sama-sama menyebutkan bahwa kepenuhan [Allah] berdiam di dalam Kristus;
(2) kata benda pleroma dalam surat Kolose hanya muncul dalam dua ayat ini;
(3) kata benda pleroma di 2:9 memiliki artikel di depannya, yang menyiratkan bahwa pleroma ini sudah pernah disinggung sebelumnya, yaitu di 1:19;
(4) kata ini dikaitkan dengan kata kerja katoikeo (“berdiam”).

Jika dua teks di atas dilihat secara bersamaan, maka kita akan mendapatkan petunjuk lain untuk memahami makna dari “kepenuhan ke-Allahan” yang ada di dalam Kristus. Artikel to di depan kata pleroma di 1:19 menyiratkan bahwa kepenuhan ini adalah sesuatu yang spesifik yang sudah disinggung sebelumnya. Karena kata pleroma tidak muncul sebelum 1:19, maka kita harus melihat ayat 15-18 sebagai gambaran dari pleroma. Dengan kata lain,                                               

 8 Robert L. Reymond, Jesus: Divine Messiah (Ross-shire: Christian Focus Publication, 2003), 439-440. 9 Lihat Peter T. O’Brien, Colossians, Philemon, WBC Vol. 44 (Dallas: Word Books Publisher, 1998), electronic edition. 10 Frame, The Doctrine of God, 671. 11 Dalam pasal 1:19 kata “berkenan” maupun “berdiam” memakai bentuk lampau. Perbedaan tense yang dipakai di 1:19 dan 2:9 sangat mungkin dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa sejak kekekalan kepenuhan ke-Allahan sudah ada di dalam Kristus dan tetap di dalam Dia selama inkarnasi, walaupun tentu saja dalam pengertian yang berbeda. Dalam kekekalan kepenuhan itu tidak bersangkut-paut dengan apa pun yang jasmaniah.  12 Di Kolose 1:19 Paulus juga tidak memakai kata qeoths pada waktu ia berbicara tentang kepenuhan Kristus, tetapi di ayat ini dia memakai artikel to di depan kata plhrwma (“kepenuhan”), sehingga kepenuhan yang dimaksud sudah jelas, yaitu kepenuhan/hakekat Allah sebagaimana dijelaskan di ayat 15-18. Makna yang spesifik ini tercermin dalam terjemahan NASB “the fulness”, NIV “His fulness” atau RSV “the fulness of God”. 
ayat 15-18 memberikan penjelasan tentang makna kepenuhan [ke-Allahan] di ayat 19. Kristus adalah Pencipta dan Penopang segala sesuatu, sehingga Dia lebih utama dari semua yang ada (band. kata “segala” yang muncul di ayat 15-18). Inilah makna dari “kepenuhan ke-Allahan” di dalam Kristus. Jika ini diterima, maka “sangat sulit menemukan teks Alkitab lain yang menyatakan kesempurnaan dan keseluruhan ke-Allahan Yesus Kristus secara lebih terusterang daripada Kolose 1:15-20”.13

Titus 2:13

Ayat ini berbunyi “dengan menantikan penggenapan pengharapan kita yang penuh bahagia dan penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus”. Ayat ini termasuk salah satu teks penting dalam diskusi tentang ke-Allahan Kristus. Fokus pembahasan terletak pada bagian terakhir “penyataan kemuliaan Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus”. Apakah ayat ini berbicara tentang dua Pribadi: Allah Yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus ataukah sebutan “Allah Yang Mahabesar dan Juruselamat sama-sama merujuk pada satu Pribadi, yaitu Yesus Kristus? Jika alternatif terakhir ini benar, maka ayat ini menyebut Yesus Kristus sebagai Allah Yang Mahabesar.

Mereka yang memegang alternatif pertama memberikan beberapa argumen. Pertama, sebutan theos dalam tulisan Paulus jarang ditujukan pada Kristus. Kedua, kedatangan Kristus yang kedua kali dalam kemuliaan-Nya di Lukas 9:26 dikaitkan dengan kemuliaan Bapa.

Bagaimana kita meresponi pandangan di atas? Seperti sudah kita bahas sebelumnya, argumen pertama di atas tidak dapat diterapkan pada segala konteks. Roma 9:5, Filipi 2:6 dan Kolose 2:9 secara definitif menyebut Kristus sebagai Allah. Perkataan Paulus di Kisah Rasul 20:28 juga menyatakan hal yang sama. Argumen yang kedua memang memungkinkan, tetapi dalam kasus Titus 2:13 pertimbangan kontekslah yang paling menentukan (lihat pembahasan di bawah ini).

Beberapa argumen berikut ini memberikan dasar yang kuat untuk memilih sebutan “Allah Yang Mahabesar dan Juruselamat” sebagai rujukan pada Kristus saja.14 Pertama, frase ini hanya memiliki satu artikel di depan kata theos. Sesuai dengan Granville Sharp Rule,15 konstruksi “artikel + benda 1 + kai + benda 2” seperti ini menyiratkan bahwa artikel ini memayungi kata benda “Allah” (theos) dan “Juruselamat” (soter) serta merujuk pada pribadi/hal yang sama. Dalam hal ini, baik theos maupun soter merujuk pada Yesus Kristus.

Kedua, dalam tulisan Paulus kata “penyataan” (epiphaneia) yang merujuk pada akhir jaman selalu dikaitkan dengan Yesus Kristus saja (1Tim 6:14; 2Tim 1:20; 2Tim 4:8; Tit 2:13). Salah satu ayat yang perlu dicermati secara khusus adalah 2Timotius 4:1. Walaupun dalam ayat ini Allah dan Yesus Kristus muncul bersamaan, namun kata “penyataan” hanya ditujukan pada
                                               
13 Reymond, Jesus: Divine Messiah, 437; lihat juga tulisan Reymond yang lain, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville: Thomas Nelson Publisher, 1998), 250-251. 14 Dikembangkan dari Reymond, Jesus: Divine Messiah, 472-473; D. Edmond Hiebert, “Titus”, Ephesians – Philemon, EBC Vol. XI, ed. by Frank Gaebelein (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1978), electronic edition; Frame, The Doctrine of God, 669. 15 Beberapa orang telah berusaha mematahkan prinsip ini termasuk yang berkaitan dengan teks-teks seputar doktrin Tritunggal. Bagaimanapun, usaha ini tidak pernah berhasil dan dalam konteks tulisan Perjanjian Baru – terutama Titus 2:13 dan 2Petrus 1:1 – prinsip ini tetap berlaku. Daniel B. Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1996), 276

Kristus. Hal ini terlihat dari kata ganti “dia” (autou) yang dipakai, bukan “mereka” (auton). Sehubungan dengan Lukas 9:26, dalam ayat ini dinyatakan dengan jelas bahwa yang “datang” adalah Anak Manusia (band. “apabila Ia datang kelak”), bukan “Anak Manusia dan Bapa”.

Ketiga, dalam tulisan-tulisan keagamaan Yunani waktu itu istilah theos dan soter beberapa kali muncul secara bersamaan dan tentu saja selalu merujuk pada satu pribadi. Fenomena ini menunjukkan bahwa orang-orang waktu itu sudah terbiasa dengan ungkapan tersebut dan tidak akan berpikir bahwa ungkapan itu merujuk pada dua pribadi. Jika ini diterima, maka kita dapat menambahkan poin penting di sini: penambahan “Yang Mahabesar” merupakan tambahan dari Paulus untuk menekankan ke-Allahan Yesus Kristus. Jika “Allah” di ayat ini merujuk pada “Bapa”, maka tambahan “Yang Mahabesar” tampaknya tidak terlalu diperlukan, karena hal itu sudah sangat jelas.

Keempat, penjelasan di ayat 14 (“menyerahkan diri-Nya” dan “menguduskan bagi diri-Nya”) secara jelas hanya merujuk pada Yesus Kristus. Seandainya ayat 13 merujuk pada dua pribadi, maka kita berharap akan ada penjelasan untuk keduanya di ayat 14. Argumen ini sekalipun kurang konklusif, namun tetap mendukung pandangan yang kita anut.

Kelima, terjemahan yang paling wajar dari ayat ini memang merujuk pada satu pribadi. Beberapa penafsir sudah menyatakan bahwa tidak akan pernah ada pertanyaan tentang apakah “Allah” dan “Juruselamat” merujuk pada satu pribadi seandainya teks ini berakhir di kata “kita” (tanpa “Yesus Kristus”). Jika tanpa “Yesus Kristus”, maka orang akan membaca ayat ini sebagai rujukan pada satu pribadi. Jadi, satu-satunya penghalang untuk memahami ayat ini dengan benar adalah presuposisi seseorang terhadap Yesus Kristus. Seandainya dia mengakui Yesus Kristus sebagai Allah, maka dia secara wajar akan menganggap frase “Allah Yang Mahabesar dan Juruselamat kita” sebagai rujukan pada satu pribadi.

Terakhir, dilihat dari semua penjelasan di atas, orang sulit untuk tidak memikirkan satu pribadi dalam frase “Allah Yang Mahabesar dan Juruselamat”. Jika ini bukan yang dimaksud oleh Paulus, dia pasti akan meminimalisasi semua petunjuk yang dapat mengarah pada satu pribadi. Ada banyak cara yang dia bisa lakukan tetapi kenyataannya dia tidak melakukan itu, misalnya menambahkan artikel di depan kata soter16 atau menambahkan kata “Bapa” (pater) setelah kata “Allah Yang Mahabesar” (band. 1:4). Jika dia tidak melakukan itu, maka dia pasti memaksudkan Titus 2:13 sebagai rujukan pada Yesus Kristus saja. #
                                          
16 Nigel Turner, A Grammar of New Testament Greek J. H. Moulton, Vol. III: Syntax (Edinburgh: T&T Clark, 1963.), 181. 

 Keilahian Yesus Dipersoalkan: Amsal 8:22 
Pendahuluan

LAI:ITB 1974 menerjemahkan ayat ini dengan ‘TUHAN telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala’. Terjemahan yang sama dapat kita temukan dalam versi RSV maupun NRSV (“The LORD created me at the beginning of his work, the first of his acts of old”). Terjemahan ini sangat mungkin didasarkan pada terjemahan LXX yang menggunakan kata ektisen (dari kata ktizw yang artinya “menciptakan”). Sejumlah besar penafsir juga memilih terjemahan ini.1

Berdasarkan terjemahan LXX di atas, Arius - pelopor ajaran sesat Arianisme yang menolak keilahian Kristus - menafsirkan ayat ini sebagai rujukan pada Yesus Kristus.2 Pendapat yang sama juga dipakai oleh mereka yang menolak doktrin Tritunggal. Jika terjemahan dan tafsiran di atas diterima, maka ayat ini mengajarkan bahwa Yesus adalah ciptaan Allah yang pertama.

Pandangan seperti di atas sebenarnya sempat populer di kalangan bapa-bapa gereja, walaupun mereka memiliki pandangan yang berbeda dengan Arius.3 Mereka tetap tidak setuju bahwa Kristus adalah ciptaan pertama. Athanasius bahkan menolak bahwa Amsal 8:22 berkaitan dengan Kristus4 (De Decretis or Defence of the Nicene Definition, 13); kalaupun dikaitkan, hal itu hanya berhubungan dengan kapasitas-Nya sebagai manusia.5

Yesus bukanlah hikmat di Amsal 8:22

Apakah pandangan tersebut dapat dibenarkan? Ternyata, tidak! Pandangan ini memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, kata Ibrani qanah di ayat ini sebenarnya memiliki  arti yang luas. Kata ini bisa berarti “memiliki, membayar, mendapatkan, melahirkan”.6 Keberagamam arti ini juga dapat dilihat dari berbagai versi Inggris, misalnya KJV/ASV/NASB “possessed”, NIV “brought...forth”. Untuk menentukan arti mana yang paling tepat, kita harus memperhatikan konteks yang ada. Berdasarkan hal ini, maka arti “menciptakan” tampaknya harus dihapus sebagai salah satu pilihan. Dalam bagian ini digambarkan bahwa sejak penciptaan hikmat sudah berada bersama Allah. Jika kita memilih terjemahan “menciptakan”,                                               

1 Mitchell Dahood, S.J., “Proverb 8, 22-31”, CBQ 1968. R. Laird Harris, “qana”, Theological Wordbook of the Old Testament Vol. II, ed. by R. Laird Harris, Gleason L. Archer, Jr., Bruce K. Waltke (Chicago: Moody Press, 1980), 804 (walaupun Harris juga menyatakan bahwa pendapat ini sangat diperdebatkan). 2 Proverb, EBC Vol., electronic edition. 3 Orang pertama yang menghubungkan Amsal 8:22 dengan Kristus adalah Justin Martyr, abad ke-2 M, dalam bukunya Dialogue CXXIX. Steve Rudd, “Sola Scriptura: Mistakes made by the Apostolic Fathers based on tradition”, http://www.bible.ca/sola-scriptura-tradition-fathers-mistakes.htm. 29 Juli 2008. 4 De Decretis or Defence of the Nicene Definition, 13. Lihat Rudd, “Sola Scriptura”.  5 Robert Letham, The Holy Trinity: In Scripture, History, and Worship (Phillipsburg: P&R Publishing, 2004), 133. 6 BDB dan TWOT.

maka teks ini akan berkontradiksi dengan ajaran Alkitab lainnya. Terjemahan “menciptakan” mengindikasikan bahwa hikmat Allah bukanlah sifat yang kekal, padahal seluruh sifat Allah adalah kekal. Jika ini hikmat Allah tidak kekal, maka akan menimbulkan kesan bahwa Allah sebelumnya tidak berhikmat.7 Allah kurang berhikmat sehingga Dia harus menciptakan hikmat lebih dahulu sebelum menciptakan segala sesuatu.8

Kedua, sekalipun sebagian orang mungkin tetap memaksakan arti “menciptakan”, makna ini tetap tidak akan terlalu berpengaruh jika diterapkan pada Kristus. Mengapa? Karena kata “menciptakan” di sini memakai kata qanah, bukan bara. Dalam Alkitab kata bara dipakai untuk penciptaan dari sesuatu yang tidak ada menjadi ada. Jika penulis Amsal ingin menyatakan bahwa hikmat Allah adalah ciptaan Allah dalam arti hikmat ini dulu pernah tidak ada lalu menjadi ada, maka dia akan memilih kata kerja bara.9 Di samping itu, keberadaan hikmat yang sudah lebih dulu ada sebelum segala sesuatu10 dan yang melaluinya Allah menciptakan langit dan bumi (Ams 3:19) menunjukkan bahwa hikmat bukanlah bagian dari segala sesuatu yang diciptakan tersebut.11 

Ketiga, dari arti dasar kata qanah, kita menemukan bahwa kata ini berarti “mendapatkan”. Arti ini pula yang dominan dalam seluruh pemunculan kata qanah di kitab Amsal (1:5; 4:5, 7; 15:32; 16:16; 17:16; 18:15; 19:8; 20:14; 23:23). Kita sebaiknya mengambil arti ini, karena didukung oleh pemakaiannya yang konsisten dalam kitab Amsal. Jika kita menerima ini, maka teks ini menjelaskan bahwa hikmat sudah ada sebelumnya. Apa yang dicari bukanlah sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Keberadaan hikmat Allah ini jelas ada dalam diri Allah sendiri. Dengan kata lain kita dapat mengatakan bahwa dalam bahasa figuratif Allah ”mendapatkan” hikmat ini, walaupun asal dari hikmat ini adalah dari diri-Nya sendiri.

Keempat, dalam perkembangan selanjutnya, kata qanah berarti mendapatkan sesuatu melalui kelahiran (Kej 4:1), penciptaan (Kej 14:19, 22) maupun pembelian (Kej 25:10). Karena dalam konteks Amsal 8:22 hikmat digambarkan sebagai orang, maka beberapa penafsir memandang bahwa makna yang lebih tepat adalah “mendapatkan dengan cara kelahiran” atau, dengan kata lain, melahirkan (band. Kej 4:1).12 Tafsiran ini juga didukung oleh ayat 2425 “Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir, sebelum ada sumber-sumber yang sarat dengan air. Sebelum gunung-gunung tertanam dan lebih dahulu dari pada bukit-bukit aku telah lahir” dan ayat 30-31 ” aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main di atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku”. Sekalipun tafsiran ini dianggap benar, Amsal 8:22 tetap tidak mengajarkan bahwa hikmat adalah diciptakan oleh                                      

7 John Frame, The Doctrine of God (Phillipsburg: P&R Publishing, 2004), 681. 8 Allan P. Rose, “Proverbs”, EBC Vol. 5. Electronic edition. 9 Lihat C. F. Keil and F. Delitzsch, Commentary on the Old Testament Volume 6 (Grand Rapids: Hendrickson Publishers, 2006), 134; Wayne Grudem, Systematic Theology (Nottingham: InterVarsity Press, 1994), 229 . Kata kerja qanah dalam Alkitab pernah dikaitkan dengan langit dan bumi (Kej 14:19, 22) sehingga menimbulkan kesan bahwa maknanya sinonim dengan bara, tetapi pemakaian seperti ini termasuk sangat jarang dan artinya pun masih diperdebatkan. Penerjemah KJV, ASV dan NASB menerjemahkan dua teks ini dengan “Pemilik langit dan bumi”, bukan “Pencipta langit dan bumi” (NIV/RSV).  10 Pra-eksistensi hikmat ini ditekankan oleh penulis Amsal dengan cara mengulang kata  “sebelum” sebanyak 4 kali (ayat 24-26). Roland E. Murphy, Proverb, WBC Vol. 22. electronic edition. 11 Ibid. 12 Eugen Pentiuc, “A Self-Offering God and His Begotten Wisdom (Proverb 8:22-24)”, GOTR 46:3-4 2001 

Allah dan sebelumnya tidak ada. Bahasa figuratif ”melahirkan” mengindikasikan bahwa Allah mendapatkan hikmat dari keberadaan-Nya sendiri.13

Kelima, ayat ini sebenarnya tidak berbicara tentang Yesus Kristus sama sekali. Dugaan sebagian penafsir bahwa teks ini di kemudian hari dipahami sebagai rujukan pada Kristus tidak dapat dibenarkan. Dalam kitab Sirakh 24 dan Kebijaksanaan Salomo 7, yang banyak mengutip dari Amsal 8, tidak ada indikasi sama sekali bahwa teks ini berbicara tentang Mesias (Kristus).14 Para penulis PB pun tidak ada yang menerapkan teks ini pada Yesus,15 sekalipun beberapa sarjana menganggap Yohanes 1:1 dan Wahyu 3:14 merujuk balik pada Amsal 8:22. Yohanes 1:1 tidak bersumber dari Amsal karena dalam Injil Yohanes tidak ada istilah-istilah tertentu yang biasa kita temukan dalam kitab-kitab hikmat.16 Bahkan kata “hikmat” sendiri tidak pernah muncul dalam Injil Yohanes.17 Tentang Wahyu 3:14,18 kaitan dengan Amsal 8:22 hanyalah dugaan semata-mata. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa kata “firman” dan “permulaan dari ciptaan” merujuk pada Amsal. Sebaliknya, terjemahan “permulaan” di sini bahkan harus dipertanyakan.19

Keenam, Amsal 8 merupakan gaya bahasa personifikasi untuk menggambarkan nilai dan karakter hikmat. Teks ini tidak menunjuk pada pribadi tertentu. Personifikasi seperti ini dengan mudah kita temukan di Amsal 1-8. Hikmat digambarkan sebagai orang yang berseruseru di dalam kota (1:20-33) maupun orang tua (2:1-3:26). Sebaliknya, kebodohan digambarkan seperti perempuan yang bebal (8:13-18). Personifikasi, apalagi yang dituangkan dalam bentuk puisi, tidak bisa diterapkan secara hurufiah, kata per kata. Seandainya Amsal 8 secara konsisten diterapkan secara langsung (hurufiah) pada Yesus, maka teks ini akan menjadi tidak masuk akal.20
• Jika hikmat adalah Kristus, lalu siapakah yang dimaksud dengan “kecerdasan” di ayat 12 yang tinggal bersama-sama dengan hikmat?21
• Bagaimana pula dengan pengetahuan dan kebijaksanaan yang didapatkan oleh hikmat (ayat 12)?
• Apakah para raja dan hakim dunia menetapkan keadilan karena mereka memiliki Kristus (ayat 15-16)?

Yesus sebagai hikmat Allah

Walaupun kita sudah membuktikan bahwa Yesus bukanlah hikmat di Amsal 8:22, namun kita harus mengerti bahwa Yesus juga beberapa kali dikaitkan dengan hikmat Allah (1Kor 1:24, 30; Kolose 2:3). Hal ini tidak bertentangan dengan penafsiran di atas tentang Amsal 8:22. Yesus sebagai hikmat di 1Korintus 1:30 dan Kolose 2:3 tidak berhubungan sama sekali
                                               
13 Frame, Doctrine of God, 681. 14 C. F. Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary: Old Testamnet: Proverb (Chicago: Moody Press, 1962). 15 Norman L. Geisler & R. Rhodes, When Cultics Ask: A Popular Handbook on Cultic misinterpretations (Grand Rapids: Baker Nooks, 1997), h. 72. 16 D. A. Carson, The Gospel According to John, PNTC (Leicester/Grand Rapids: Apollos/Wm. B. Eerdmans Publishing Company), 115-116. 17 Andreas Kostenberger, John, BECNT (Grand Rapids: BakerAcademic, 2004), 27. 18 Penerjemah LAI:TB memberikan Wahyu 3:14 sebagai rujukan dari Amsal 8:22 (lihat bagian referensi ayat di bawah Amsal 8). 19 Lihat pembahasan dentil tentang Wahyu 3:14 di bagian selanjutnya. 20 Geisler, When Cultic Asks, 72. 21 Steve Rudd, “Sola Scriptura” 

dengan topik penciptaan, sedangkan hikmat di Amsal 8:22 berkaitan dengan penciptaan. Hikmat di 1Korintus 1:30 berhubungan dengan keselamatan, bukan penciptaan. Ayat ini juga tidak mengatakan bahwa Kristus adalah hikmat. Kristus menjadi hikmat, itupun bagi kita, bukan bagi semua orang atau seluruh ciptaan. Di Kolose 2:3 Kristus bukanlah hikmat, tetapi tempat/sumber yang di dalamnya terdapat hikmat dan pengetahuan. #

 Keilahian Kristus Dipersoalkan: Yohanes 17:3 

Ayat ini merupakan salah satu teks favorit dari pihak non-Trinitarian, karena secara eksplisit menyebut Bapa sebagai “satu-satunya Allah yang benar” (menyiratkan bahwa pribadipribadi lain yang disebut “allah” memiliki kualitas keallahan yang berbeda dengan Bapa). Seperti kita ketahui, non-Trinitarian percaya bahwa Kristus (bahkan pribadi-pribadi lain) dalam Alkitab disebut sebagai “allah”, tetapi mereka memberi pengertian yang berbeda terhadap sebutan tersebut. Bagi mereka, sebutan “Allah” untuk Bapa bersifat mutlak (Allah dalam arti yang sebenarnya), sedangkan untuk yang lain bersifat tidak mutlak.

Berkaitan dengan Yohanes 17:3, mereka biasanya menggabungkan ayat ini dengan Yohanes 10:34 yang mencatat perkataan Yesus tentang orang-orang berkuasa yang disebut “allah” oleh Allah. Jika Yesus sendiri mengakui adanya pribadi-pribadi lain sebagai “allah” sedangkan Yesus yang sama menyatakan bahwa Bapa adalah satu-satunya Allah yang benar, maka kesimpulannya adalah “semua pribadi yang disebut allah – selain Bapa – tidak memiliki kualitas yang setara dengan Bapa”. Brian Holt mengatakan, “non-Trinitarian bersandar pada perkataan-perkataan Yesus bahwa Bapa-Nya (bukan Dia) adalah “SATUSATUNYA Allah yang benar” dan bahwa Bapa-Nya memanggil mereka yang memiliki otoritas besar sebagai “allah”.1 Selanjutnya dia mencatat, “Yesus menyebut Bapa-Nya satusatunya Allah yang benar dan membedakan diri-Nya dari Allah yang benar”2 dan “ketika Yesus menyebut Bapa-Nya sebagai “satu-satunya” Allah yang benar, Ia sungguh-sungguh menyatakan bahwa Dia bukanlah Allah yang benar”.3 

Bagaimana kita menanggapi pendapat di atas? Apakah benar bahwa sebutan theos untuk Yesus memiliki makna yang berbeda dengan sebutan yang sama untuk Bapa? Untuk menjawab ini kita perlu memperhatikan konteks Yohanes 17 guna mengetahui makna “satusatunya” (monos) dan “benar” (alethinos). Kita akan memulai dari kata alethinos lebih dahulu.

Alethinos

Menurut berbagai kamus Yunani yang standard, kata alethinos bisa memiliki beragam arti. Keberagaman arti ini juga sudah diketahui oleh pihak non-Trinitarian. Greg Stafford – misalnya – mengatakan, “kata Yunani yang diterjemahkan “benar” (alethinos) dapat memiliki beberapa arti tergantung pada konteks atau penggunaan penulis maupun pembicara”.4 BAGD memberi tiga kemungkinan arti:
(1) “benar dalam arti dapat dipercaya”;
(2) “benar dalam arti sesuai dengan kebenaran”;
(3) “asli atau riil” dalam arti realitas yang hanya dimiliki oleh
                                               
1 Jesus: God or the Son of God (Mt. Juliet: TellWay Publishing, 2002), 49. 2 Ibid., 114. 3 Ibid., 210. 4 Jehovah’s Witnesses Defended: An Answer to Scholars and Critics (2nd ed., Huntington Beach: Elihu Books, 2000), 121.

yang asli [archetype] dan bukan tiruan/salinannya atau dalam arti dikontraskan dengan yang salah.5

Sehubungan dengan diskusi seputar Yohanes 17:3, ada dua kemngkinan arti bagi alethinos:
(1) benar dalam arti realitas yang hanya dimiliki oleh yang asli;
(2) benar dalam arti dikontraskan dengan yang salah.
Dari dua kemungkinan arti ini, pihak non-Trinitarian memegang yang pertama.6 Mereka tentu saja tidak berani mengambil arti kedua, karena hal itu akan menyiratkan bahwa Yesus dan pribadi-pribadi lain yang disebut allah oleh Allah adalah allah yang palsu/tidak benar. Menurut mereka, Yesus bukanlah allah yang palsu, tetapi hanya allah yang tidak sesungguhnya. Bapa(Yahweh)lah satu-satunya Allah yang sesungguhnya.

Pendapat non-Trinitarian di atas memiliki beberapa kelemahan serius. Pertama, kamus-kamus Yunani standard – yang beberapa di antaranya sebenarnya juga dikutip oleh mereka – tidak ada satu pun yang mengartikan alhqinos di Yohanes 17:3 seperti pihak non-Trinitarian. Sebagai contoh, BAGD mengutip ayat ini dan memahami alethinos sebagai “kontras terhadap allah-allah lain yang tidak riil”.7 Thayer mengartikan “benar” di sini sebagai “kontras terhadap sesuatu yang fiktif, palsu, imajinatif, simulatif dan pura-pura”.8 Louw-Nida mengomentari pemakaian alethinos untuk Allah di sini dengan “satu-satunya Allah yang ada atau Allah dan tidak ada yang lain”.9 Makna yang sama juga diberikan oleh Vine.10 Beberapa kamus standard lain memang tidak secara jelas memberikan arti alethinos di Yohanes 17:3 seperti di atas, namun tetap tidak ada satu pun yang mengartikan seperti pihak non-Trinitarian.11

Kedua, dalam Alkitab kata alethinos yang dikenakan pada Allah memiliki dua kemungkinan arti: “Allah yang benar/setia” atau “Allah yang sejati [sebagai kontras terhadap para berhala]”.12 Arti pertama akan kita jumpai dalam konteks Allah dikaitkan dengan janji atau perkataan-Nya (Kel 34:6; Ul 32:4; Yoh 7:18, 28; Why 6:10; 15:3), sedangkan arti kedua akan kita temui dalam konteks Allah dibandingkan dengan para illah (2Taw 15:3; Yes 65:16; 1Tes 1:9; 1Yoh 5:20). Di luar dua kemungkinan ini, tidak ada arti yang lain. Arti seperti yang diusulkan oleh pihak non-Trinitarian tidak akan pernah kita temui dalam Alkitab ketika alethinos dikenakan pada Allah. Kata alethinos yang dikenakan pada Allah tidak pernah memiliki arti “Allah yang mutlak dibandingkan dengan allah lain yang kualitasnya lebih rendah”. Pihak non-Trinitarian harus memilih salah satu dari dua arti yang ada untuk Yohanes 17:3: entah Bapa disebut sebagai Pribadi yang benar dalam janji/perkataan-Nya atau
                                               
5 Walter Bauer, William F. Arndt, F. Wilbur Gingrich, Frederick W. Danker, A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (Chicago: University of Chicago Press, 1979), 37. 6 Stafford, Jehovah’s Witnesses Defended, 121. 7 BAGD, 37. 8 Joseph Thayer, Thayer’s Greek Lexicon of the New Testament Coded with Strong’s Concordance Numbers (Peabody: Hendrickson Publisher, 1999). Electronic edition. 9 J. P. Louw and E. A. Nida, eds., Greek-English Lexicon of the New Testament: Based on Semantic Domain, 2 vols. (New York: United Bible Societies, 1988). Electronic edition.  10 W. E. Vine, Merrill F. Unger, William White, Jr., Vine’s Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words (Nashville: Thomas Nelson Publisher, 1985), 645. 11 A. C. Thiselton, “Truth”, New International Dictionary of New Testament Theology Vol. 3., ed. by Collin Brown (Exeter: The Paternoster Press, 1978), 893; Bultmann, “alhqinoj”, Theological Dictionary of the New Testament Vol. I, ed. by Gerhard Kittel (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing 
Company, 1964), 249-250.  12 TDNT, Vol. I, 249. 

Bapa dikontraskan dengan allah-allah lain. Alternatif manapun yang diambil tidak akan melemahkan ke-Allahan Yesus. 

Ketiga, kata alethinos akan memiliki arti seperti yang diinginkan oleh pihak non-Triitarian hanya jika konteks memberi petunjuk yang cukup bahwa ada dua hal yang sedang dibandingkan. Injil Yohanes memberikan beberapa contoh yang cukup jelas tentang hal ini. Di pasal 1:9 Yesus disebut sebagai terang yang sesungguhnya (alethinos) karena Dia dibandingkan dengan Yohanes Pembaptis yang disebut “bukan terang itu” (1:8). Di pasal 4:23 para pengikut Yesus disebut “para penyembah yang benar” (alethinos) karena mereka dibandingkan dengan orang-orang Yahudi maupun Samaria yang menyembah dengan dibatasi oleh tempat (4:21) tanpa mengetahui siapa yang disembah (4:22). Di pasal 6:32 Yesus disebut sebagai roti yang benar dari sorga (band. 6:33, 35) karena Dia dibandingkan dengan manna secara fisik yang diterima oleh bangsa Yahudi di padang gurun (6:31). Di pasal 15:1 Yesus menyebut diri-Nya sebagai pokok anggur yang benar karena Dia membandingkan diri dengan bangsa Israel sebagai pokok anggur yang tidak berbuah.13

Sesuai dengan konteks Yohanes 17:3, tidak ada satu petunjuk pun yang mengarah pada perbandingan antara Bapa dan Yesus. Sebaliknya, keduanya justru ditampilkan sebagai dua Pribadi yang sangat erat. Keduanya sama-sama saling memuliakan dan berbagi kemuliaan (17:4-5). Apa yang dimiliki Anak adalah milik Bapa juga (17:6-10). Keduanya adalah satu (17:20-23). Keduanya selalu bersama-sama (17:24-25). Kesatuan yang luar biasa ini membuat pengenalan terhadap Allah dan kepemilikan hidup kekal tidak dapat dipisahkan dari mengenal Yesus Kristus yang diutus Allah (band. 3:36; 5:39-40; 14:6; 20:31).14 Lincoln menegaskan, “karena yang menjadi utusan adalah satu dengan Allah, maka pengetahuan yang menyelamatkan ini bukanlah sebuah pengetahuan ganda – pertama mengenal Allah lalu mengenal Yesus”.15 Begitu eratnya kesatuan antara keduanya, sehingga tidak salah kalau kita mengatakan, “Ia adalah Allah yang dikenal melalui dan di dalam Anak-Nya, Yesus Kristus, sehingga seseorang yang tidak mengakui Anak tidak mengakui ‘satu-satunya Allah yang benar’”.16

Dari penjelasan di atas terlihat bahwa pendapat non-Trinitarian yang memahami pernyataan “satu-satunya Allah yang benar” di Yohanes 17:3 sebagai perbandingan antara Bapa (Allah yang sejati) dan Yesus (allah yang lebih rendah) tidak dapat dipertahankan. Dari sisi arti kata, kata alethinos yang dikenakan pada Allah tidak pernah memiliki makna seperti itu. Dari sisi konteks, tidak ada petunjuk bahwa Bapa dikontraskan dengan Yesus. Keduanya bahkan ditampilkan dalam kesatuan yang istimewa. Jika pihak non-Trinitarian memaksa membandingkan Bapa dan Yesus dalam konteks ini, maka mereka juga harus menerima bahwa Yesus adalah allah palsu.

                                                 13 Dalam teks ini memang tidak secara eksplisit disebutkan Yesus dibandingkan dengan apa, namun semua orang Yahudi pada jaman Yesus tidak akan kesulitan menemukan perbandingan antara Yesus sebagai pokok anggur yang benar dan bangsa Israel yang gagal memberikan buah (band. Mzm 80:7-8, 14-17). Lihat, D. A. Carson, The Gospel According to John, PNTC (Leicester/Grand Rapids: APollos/Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1991), 513-514; Leon Morris, The Gospel According to John, NICNT (rev. ed., Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1995), 593-594; Andrew T. Lincoln, The Gospel According to John, BNTC (Peabody/London: Hendrickson Publishers/Continuum, 2005), 402; Thiselton, “Truth”, NIDNTT Vol. 3, 893. 14 Colin G. Kruse, John, TNTC (Surabaya: Momentum, 2007), 339. 15 The Gospel According to John, 435. 16 The Gospel According to John XIII-XXI, AB 29A (New York: Doubleday, 1970), 752.

Monos

Pihak non-Trinitarian tampaknya memahami arti kata monos secara mutlak. Jika suatu benda/pribadi dikatakan monos, maka tidak akan ada benda/pribadi lain sama dengan itu. Jika Allah disebut sebagai satu-satunya Allah yang benar (sejati), maka hal itu berarti tidak ada allah lain yang benar (sejati).17

Pendapat di atas sulit untuk dipertahankan secara konsisten. Pertama, dalam Yudas 1:4 Yesus disebut sebagai “satu-satunya Penguasa dan Tuhan” (monos despotes kai kurios).18 Jika monos di sini secara konsisten diartikan secara mutlak, maka kita harus menerima bahwa tidak ada pribadi lain sebagai despoths atau kurios, termasuk Bapa sendiri. Hal ini tentu saja akan ditolak oleh pihak non-Trinitarian, karena sangat mengganggu konsep monoteisme mereka yang sempit. Alkitab sendiri secara eksplisit menampilkan Bapa sebagai despoths (Luk 2:29; Kis 4:24; Why 6:10) maupun kurios (Mat 1:20, 22, 24; 2:13). Penyebutan Yesus sebagai monos despotes kai kurios di Yudas 1:4 jelas tidak berarti bahwa Bapa bukanlah despotes atau kurios. Demikian pula dengan Yohanes 17:3. Penyebutan Bapa sebagai “satusatunya Allah yang benar” tidak berarti bahwa Yesus bukanlah Allah yang benar.

Kedua, dalam Yohanes 5:44 Bapa disebut sebagai “Allah yang esa” (monos theos), ungkapan yang sama yang diterjemahkan dengan “satu-satunya Allah yang benar” di Yohanes 17:3. Berbeda dengan di pasal 17:3, dalam pasal 5:44 kata theos tidak diberi keterangan apapun. Dengan kata lain, kata theos di sini dalam arti mutlak. Jika kita mau konsisten terhadap arti kata monos yang mutlak dan kata theos yang tanpa keterangan ini, maka ayat ini harus ditafsirkan sebagai bukti bahwa tidak ada satu allah pun di dunia ini, termasuk allah-allah yang lebih rendah daripada Bapa. Dengan demikian pandangan nonTrinitarian yang memahami Yesus sebagai allah yang lebih rendah dari Bapa akan runtuh. Jika kita memegang pandangan Trinitarian yang menekankan kesatuan hakekat ilahi, maka ayat ini dapat dijelaskan dengan baik: hakekat ilahi memang esa, tetapi Pribadi di dalamnya ada tiga.

Ketiga, dalam 1Timotius 6:15-16 Allah disebut sebagai “satu-satunya Penguasa” dan “satusatunya yang tidak takluk kepada maut”. Walaupun kata Yunani yang dipakai untuk “Penguasa” di sini (dunastes) berbeda dengan di Yudas 1:4 (despotes), namun makna di dalamnya tetap sama. Keduanya menyiratkan seseorang yang memiliki otoritas. Kalau begitu, apakah 1Timotius 6:15 bertentangan dengan Yudas 1:4? Jelas, kita harus menegaskan bahwa Alkitab tidak mungkin berkontradiksi. Lebih jauh, apakah maksud “tidak mengalami maut” di sini? Jika “tidak mengalami maut” berarti tidak pernah mengalami kematian fisik, maka kita memiliki Henokh (Kej 5:24), Elia (2Raj 2:11) dan para malaikat yang tidak pernah mengalami hal itu juga. Jika maut di sini kita pahami secara rohani – yaitu keterpisahan dengan Allah – maka para malaikat pilihan (1Tim 5:21) pun tidak mengalami hal ini. Dari

                                                 17 Mereka sebenarnya menyadari bahwa kata monos tidak selalu berarti mutlak, tetapi untuk Yohanes 17:3 mereka menafsirkannya secara mutlak. Http://www.forananswer.org/John/Jn17_3.htm. Diakses tanggal 4 Agustus 2008. 18 Terjemahan KJV “denying the only Lord God, and our Lord Jesus Christ” memberi kesan bahwa yang disangkal ada dua Pribadi: Tuhan Allah dan Tuhan kita Yesus Kristus. Terjemahan seperti ini tidak tepat, karena dari sisi struktur kalimat Yunani yang dipakai despoths dan kurios merujuk pada Pribadi yang sama dan kedua kata ini dipayungi dengan kata sifat “only” (monos). Inilah pilihan dari mayoritas versi Inggris (ASV/NASB/NIV/RSV).

sini kita dapat melihat sekali lagi bahwa arti kata monos tidak selalu dapat dipahami secara mutlak.

Dari semua penjelasan tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika salah satu Pribadi dalam Tritunggal disebut sebagai “satu-satunya” (monos) dalam suatu kategori tertentu, maka hal itu tidak berarti mengeluarkan Pribadi lain dalam kategori tersebut. Kita perlu memperhatikan konteks untuk mengetahui setiap pemunculan kata monos. Dalam konteks Yohanes 17:3, Bapa disebut sebagai satu-satunya Allah yang benar dalam kaitan dengan allah-allah lain yang palsu (berhala).19 #

                                                 19 John Frame, The Doctrine of God (Phillipsburg: P&R Publishing, 2002), 683; Millard J. Erickson, Christian Theology (2nd ed., Grand Rapids: BakerBooks, 1998), 714.

Keilahian Yesus Dipersoalkan: Kolose 1:15 

 Pandangan non-Trinitarian

Teks lain yang sering digunakan sebagai “senjata” oleh pihak non-Trinitarian untuk menyangkal doktrin Tritunggal adalah Kolose 1:15. Dalam ayat ini Yesus disebut sebagai yang sulung dari ciptaan (“the firstborn of all creation”).1 Berdasarkan kata “sulung” (prototokos) di ayat ini mereka meyakini bahwa Yesus hanyalah ciptaan pertama. Setelah Allah menciptakan Yesus, Allah lalu menggunakan Yesus sebagai instrumen untuk menciptakan segala sesuatu yang lain (band. ayat 16).2

Menurut mereka, kata “sulung” di ayat 15 harus ditafsirkan secara hurufiah dalam arti “pertama dalam hal urutan waktu”. Mereka beralasan bahwa di ayat 18 Yesus disebut sebagai “yang sulung, yang pertama bangkit dari kematian” juga secara hurufiah, dalam arti Yesus adalah pribadi pertama yang dibangkitkan dalam kehidupan roh ke surga. Jika di ayat 18 Yesus secara hurufiah memang yang pertama kali dibangkitkan ke surga, maka di ayat 15 Yesus juga harus dipahami secara hurufiah sebagai ciptaan yang pertama.

Di samping itu, mereka berpendapat bahwa “yang sulung dari ciptaan” menyiratkan ide bahwa Yesus adalah bagian dari ciptaan.3 Beberapa contoh yang mereka kemukakan antara lain: Daud sebagai yang sulung dari anak sulung Isai dan yang terutama di antara raja-raja di bumi, tetapi Daud tetaplah salah seorang dari anak Isai sekaligus bagian dari raja-raja di bumi (Mzm 89:28). Bangsa Israel disebut sebagai yang sulung di antara segala bangsa (Kel 4:22; Yer 31:9), namun mereka tetaplah bagian dari bangsa di bumi.

Prototokos: hurufiah atau figuratif?

Sekilas penjelasan di atas tampak sangat meyakinkan. Bagaimanapun, ketika kita menyelidiki teks ini secara lebih teliti dan konsisten dengan konteks Kolose 1:15-20 maupun dengan ajaran Alkitab secara keseluruhan, maka kita akan menemukan banyak kelemahan dari pandangan non-Trinitarian. Pandangan mereka lebih didasarkan pada asumsi teologis mereka daripada penyelidikan teks yang bertanggung-jawab.

Untuk melihat kelemahan di atas kita perlu mempelajari pemunculan kata prototokos di dalam seluruh Alkitab untuk mengetahui apakah kata ini selalu memiliki arti hurufiah (pertama kali dilahirkan secara urutan waktu) atau bisa bermakna figuratif. Jika prototokos selalu memiliki arti hurufiah, maka pandangan non-Trinitarian dapat dibenarkan. Jika prototokos dapat bermakna figuratif, maka kita perlu menyelidiki konteks Kolose 1:15-20
                                                 
1 Terjemahan LAI:TB “yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan” merupakan upaya penerjemah untuk menjelaskan arti kata “sulung” dalam ayat ini. Di teks aslinya, kata “lebih utama” tidak ada. Hal ini berbeda dengan di ayat 18b yang dalam teks aslinya memang tertulis “lebih utama dari segala sesuatu”. 2 Penjelasan versi non-Trinitarian dalam bagian ini disarikan dari Brian Holt, Jesus: God or the Son of God (Mt. Juliet: TellWay Publishing, 2002), 249-256. 3 Pendapat ini sering dikenal dengan sebutan “partitive genitive”. 

untuk menemukan arti figuratif yang dimaksud dan menguji arti ini dengan arti figuratif prwtotokos yang terdapat di teks-teks Alkitab yang lain.

Penyelidikan ini akan membawa kita pada kesimpulan bahwa prototokos dapat memiliki kedua arti tersebut, tergantung pada konteks pemakaian. Arti hurufiah dari prototokos dapat ditemukan beberapa kali dalam Alkitab, misalnya di Lukas 2:7 (Yesus adalah anak sulung Maria) dan Ibrani 11:28 (anak sulung pada kisah tulah di Mesir). Di sisi lain, arti figuratif prototokos juga dapat kita jumpai beberapa kali dalam Alkitab. Efraim disebut sebagai anak sulung (Yer 31:9b), walaupun dia sebenarnya adalah anak bungsu (Kej 48:14). Daud disebut sebagai yang sulung, walaupun dia adalah anak Isai yang paling bungsu (Mzm 89:28).

Jika prototokos dapat memiliki arti figuratif, kira-kira makna apa yang terkandung di dalam kata ini? Berdasarkan semua pemunculan kata prototokos yang bermakna figuratif terlihat bahwa prototokos menyiratkan ide tentang keutamaan. Efraim disebut “sulung” dalam arti dia melebihi Manasye (band. Kej 48:19-20). Daud disebut sulung di antara semua raja di bumi dalam arti posisinya akan ditinggikan (Mzm 89:25), kekuasaannya akan terus bertambah (Mzm 89:26) dan tahtanya melebihi semua raja (Mzm 89:30). Penyakit parah disebut sebagai “anak sulung kematian” (Ay 18:13, versi Inggris “the firstborn of death”). Ayat ini tentu saja tidak berbicara tentang penyakit yang pertama yang menyebabkan kematian, tetapi penyakit yang sangat parah. Yang paling hina dari antara orang miskin disebut sebagai “anak sulung orang miskin” (Yes 14:30). Ayat ini jelas merujuk pada orang yang tingkatan kemiskinannya paling parah. Contoh-contoh ini secara jelas mengajarkan bahwa prototokos mengandung makna “keutamaan”.

Ide tentang “keutamaan” yang terkandung dalam kata prototokos mendapat dukungan dari tradisi Yahudi. Alkitab memberi contoh yang jelas bahwa hak kesulungan membuat penerimanya menjadi lebih utama daripada yang lain, baik dalam hal kepemimpinan rohani, sosial maupun pembagian warisan.4 Penerima hak kesulungan menerima bagian lebih banyak daripada saudara yang lain (Ul 21:17). Penerimanya juga dapat dianggap sebagai tuan atas saudara yang lain (Kej 25:23; 27:37). Fakta bahwa penerima hak kesulungan tidak selalu anak yang pertama kali dilahirkan (Yakub atas Esau, Kej 25:34; Yusuf atas Ruben, 1Taw 5:12; Efraim atas Manasye, Kej 48:14) membuktikan bahwa kesulungan bukan semata-mata berkaitan dengan urutan waktu kelahiran. Hak kesulungan berkaitan dengan keutamaan seseorang atas yang lain, terlepas dari urutan lahir mereka. Para rabi juga menggunakan kata prototokos dalam makna figuratif yang sama (keutamaan). Kata ini mereka kenakan pada mesias yang dijanjikan Allah, para patriakh, Taurat maupun bait Allah.5

Prototokos di Kolose 1:15: makna figuratif 

Dalam konteks Kolose 1:15, apakah prototokos di sini memiliki arti hurufiah atau figuratif? Jika figuratif, apakah makna yang tersirat sesuai dengan makna figuratif prototokos di tempat lain? Berkaitan dengan dua pertanyaan ini, kita memiliki bukti yang cukup kuat untuk memahami di Kolose 1:15 secara figuratif.
                                             
 4 W. E. Vine, Merrill F. Unger, William White, Jr., Vine’s Complete Expository Dictionary of Old and New Testament Words (Nashville: Thomas Nelson Pblishers, 1985), 83. 5 Peter O’Brien, Collosians, Philemon, WBC Vol. 44 (Dallas: Word Book Publishers, 1998). Electronic edition; K. H. Bartels, prwto,tokoj, NIDNTT Vol. I, ed. by Colin Brown (Exeter: Paternoster Press, 1975), 668. 

Pertama, di ayat 18 Yesus disebut sebagai prototokos dalam hal kebangkitan. Dia adalah yang pertama bangkit dari antara orang mati. Pernyataan ini jelas tidak dapat dipahami secara hurufiah dalam arti urutan waktu. Alkitab mencatat beberapa orang yang sudah pernah bangkit dari kematian sebelum Yesus, misalnya anak janda di Sarfat (1Raj 17:17-24), anak perempuan Sunem (2Raj 4:18-37), mayat yang terjatuh di kuburan Elisa (2Raj 13:21), pemuda di Nain (Luk 7:11-17) dan Lazarus (Yoh 11:17-44).

Pihak non-Trinitarian sudah mengetahui problem ini, sehingga mereka berusaha membedakan kebangkitan Yesus di sini dengan orang-orang lain yang sebelumnya sudah bangkit. Mereka menafsirkan kebangkitan Yesus secara khusus, yaitu yang pertama bangkit dalam kehidupan roh ke surga. Pengertian seperti ini jelas sangat membingungkan dan tidak konsisten dengan ajaran Akitab secara keseluruhan. Jika yang ditekankan adalah kebangkitan dengan tubuh khusus, maka hal ini bertentangan dengan catatan Alkitab bahwa sebelum Yesus bangkit sudah ada orang-orang lain yang bangkit (Mat 27:52) dan pada saat Yesus bangkit orang-orang itu keluar dari kubur untuk menampakkan diri kepada orang banyak (Mat 27:53). Jika yang ditekankan adalah kehidupan roh di surga, maka ini berkontradiksi dengan ajaran Alkitab tentang Henokh (Kej 5:24) dan Elia (2Raj 2:11) yang sudah mendahului Yesus ke surga, walaupun keduanya tidak mengalami kematian selama di dunia.

Kedua, ayat 16 secara eksplisit membedakan Yesus dari segala ciptaan. Untuk memperjelas apa saja yang tercakup dalam kata “segala sesuatu”, Paulus memberi keterangan “yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan”. Keterangan ini jelas bersifat all-inclusive: mencakup setiap hal yang berasal dari proses penciptaan. Hal ini juga mendapatkan dukungan dari bentuk tunggal pases ktiseos di ayat 15 yang sebaiknya diterjemahkan “setiap ciptaan” (KJV “every creature”), bukan “semua ciptaan” (ASV/NASB/NIV/RSV “all creation”). Jika Yesus memang dibedakan dari “segala sesuatu” dan “segala sesuatu bersifat all-inclusive”, maka dengan demikian Yesus tidak termasuk dalam cakupan ‘segala’ tersebut.6

Konsekuensi logis seperti ini sudah diketahui oleh pihak non-Trinitarian dan mereka berusaha menghilangkan kesan yang sebenarnya sudah jelas tersebut. Dalam terjemahan resmi mereka, mereka menambahkan kata “other” (yang lain) di depan kata “semua” yang muncul empat kali di ayat 16-17. Jadi dua ayat ini oleh mereka diterjemahkan sebagai berikut:

Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu [yang lain], yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu [yang lain] diciptakan oleh Dia dan untuk Dia, Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu [yang lain] dan segala sesuatu [yang lain] ada di dalam Dia

Penambahan seperti ini tidak didasarkan pada pertimbangan konteks maupun tata bahasa Kolose 1:15-20 (dalam teks asli tidak ada kata “yang lain”), tetapi pada keyakinan teologis mereka bahwa Yesus hanyalah Anak Allah (bukan Allah) dan sekedar instrumen dalam penciptaan.7
                                             
 6 John Frame, The Doctrine of God (Phillipsburgh: P&R Publishing, 2002), 685. 7 Alasan ini tercermin dalam tulisan Saksi Yehuwah “Further Enrichment of Understanding”, WT 10/15/1950, 396. Dikutip dari Robert M. Bowman, Jr., & J. Ed Komoszewski, Putting Jesus in His Place: The Case for the Deity of Christ (Grand Rapids: Kregel Publication, 2007), 105. 

Ketiga, teologi Paulus secara keseluruhan tidak memberi petunjuk sedikit pun tentang Yesus sebagai ciptaan pertama. Tidak ada satu ayat pun dalam tulisan Paulus yang mengindikasikan Kristus sebagai ciptaan pertama. Pandangan non-Trinitarian tentang Kolose 1:15 bertentangan dengan ajaran Paulus secara umum tentang pribadi dan karya Kristus.8

Tiga poin di atas cukup untuk membuktikan bahwa penyebutan Yesus sebagai prototokos ciptaan tidak boleh dipahami secara hurufiah, seolah-olah Yesus adalah ciptaan yang pertama. Selanjutnya, jika memang prototokos di sini bermakna figuratif, apakah makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan makna figuratif prototokos di tempat lain (yaitu ide tentang keutamaan)? Jawabannya adalah “ya!”. Makna ini diekspresikan dengan baik oleh penerjemah NIV “the firstborn over all creation”.

Konteks Kolose 1:15-20 memberikan beberapa petunjuk yang jelas tentang ide ini:
(1) Kata sambung “karena” (hoti) di ayat 16 menerangkan alasan mengapa Yesus disebut sebagai “prototokos ciptaan” di ayat 15. Alasannya adalah karena segala sesuatu diciptakan di dalam, oleh dan untuk Dia. Jika prototokos di ayat 15 memiliki makna seperti yang diyakini pihan non-Trinitarian, maka alasan di ayat 16 kira-kira mungkin akan berbunyi seperti berikut: “karena Dia adalah yang pertama kali dijadikan oleh Bapa di antara semua ciptaan”.
(2) Ayat 18a menyebut Yesus sebagai “kepala tubuh [jemaat]”, yang menyiratkan keutamaan-Nya atas orang-orang percaya.
(3) Ayat 18b18b secara eksplisit menghubungkan kata prototokos dengan “lebih utama daripada segala sesuatu”
(4) Sebagai tambahan, ayat 13 menyinggung tentang status Yesus sebagai Anak [Allah] dan Kerajaan yang dimiliki-Nya. Hal ini cukup jelas mengekspresikan ide tentang keutamaan atas segala sesuatu. Dalam hal ini, pemunculan kata prototokos di Mazmur 89:28 yang dianggap sebagai mazmur mesianis merupakan teks yang penting, karena teks ini juga mendasari Kolose 1:13.9

Selain pertimbangan konteks Kolose 1:15-20, penggunaan kata prototokos yang dikenakan pada Yesus di tempat lain juga menyiratkan makna keutamaan.
(1) Yesus disebut sebagai prototokos di antara orang-orang percaya (Rom 8:29). Ayat ini jelas tidak menyatakan bahwa Yesus adalah orang yang pertama kali percaya kepada Allah. Sebaliknya, Yesus adalah yang paling utama, karena Dia adalah pangkal keselamatan orang percaya.
(2) Di Ibrani 1:6 Yesus disebut sebagai prototokos Bapa dalam konteks semua malaikat harus menyembah Yesus. Ayat ini jelas menampilkan keutamaan Yesus atas malaikat.
(3) Penyebutan Yesus sebagai yang pertama bangkit dari antara orang mati di Wahyu 1:5 dikaitkan dengan kekuasaan-Nya atas raja-raja di bumi. 

Penjelasan tambahan     

Sejauh ini kita baru membuktikan bahwa prototokos di Kolose 1:15 bermakna figuratif dan merujuk pada keutamaan Yesus di atas segala sesuatu. Bagaimanapun, kita belum membahas tentang argumen non-Trinitarian yang mengatakan bahwa prototokos dari segala yang
                                               
8 O’Brien, Collosians, Philemon. Electronic edition. 9 John Behr, “Colossians 1:13-20: A Chiastic Reading”, St. Vladimir’s Theological Quarterly 254.

dijadikan berarti Yesus adalah bagian dari yang dijadikan tersebut. Apakah pendapat seperti ini dapat diterima?

Pertama-tama kita perlu mengetahui bahwa kata prototokos tidak selalu menyiratkan urutan maupun perbandingan dengan yang lain. Kata ini kadangkala dipakai untuk menunjuk pada keunikan dari sesuatu, tanpa ada sesuatu yang lain dalam kategori tersebut yang dibandingkan.10 Alkitab memberi beberapa contoh tentang hal ini. Ketika bangsa Israel disebut sebagai prototokos TUHAN (Kel 4:22), maka hal itu tidak berarti bahwa Allah memiliki bangsa-bangsa yang lain sebagai anak-Nya pula. Ketika Daud disebut sebagai prototokos TUHAN di antara semua raja di bumi (Mzm 89:28), maka hal itu tidak berarti bahwa raja-raja tersebut juga adalah anak TUHAN, karena mereka jelas tidak memanggil TUHAN sebagai “Bapa” maupun “Allah” (band. Mzm 89:27).

Jika kita terapkan terapkan hal ini pada Kolose 1:15, maka kita tidak perlu menganggap Yesus sebagai bagian dari ciptaan. Ungkapan “prototokos dari segala yang dijadikan” tidak harus dipahami dalam konteks relasi Yesus dengan ciptaan.11 Jika pihak non-Trinitarian memaksakan sebutan prototokos untuk Yesus di ayat 15 dalam relasi dengan seluruh ciptaan, maka mereka justru akan mendapat kesulitan, karena di ayat 13 ke-Anakan Yesus dikaitkan dengan Kerajaan-Nya. Pandangan non-Trinitarian akan memberi kesan bahwa semua ciptaan juga akan mewarisi kerajaan Allah, karena Yesus sebagai yang sulung di antara mereka akan memerintah dalam Kerajaan-Nya tersebut. Konsep seperti ini jelas tidak dapat diterima, baik oleh pihak Trinitarian maupun non-Trinitarian. Kita sama-sama mengakui bahwa malaikat-malaikat jahat, orang-orang fasik dan hal-hal yang material tidak dapat mewarisi kerajaan Allah, padahal mereka termasuk dalam kategori “ciptaan” di ayat 15-16.

Sebagai penutup, kita perlu menambahkan bahwa penggunaan kata prototokos tidak selalu menyiratkan awal  eksistensi dari sesuatu yang disebut prototokos, karena prototokos tidak selalu merujuk pada urutan waktu kelahiran.12 Dalam Alkitab kata prototokos bahkan beberapa kali dikaitkan dengan kata kerja “menjadikan” yang bernuansa “futuris”. Mazmur 89:28 “Aku akan menjadikan dia anak sulung” (LAI:TB “mengangkat”). Roma 8:29 “...supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara”. Ketika Daud dijadikan prototokos, hal ini bukan berarti sebelumnya dia tidak ada. Demikian pula dengan status Yesus sebagai prototokos dari orang percaya. Dia sudah ada, tetapi Dia nanti akan dijadikan prototokos. #
                                           
10 Bartels, prwtot,okoj, 873-874; J. P. Louw and E. A. Nida, eds., Greek-English Lexicon of the New Testament: Based on Semantic Domain, 2 vols. (New York: United Bible Societies, 1988). Electronic edition. 11 Penjelasan secara detil dan teknis tentang hal ini dapat dilihat di Larry L. Helyer, “Arius Revisited: The Firstborn Over All Creation”, JETS 31/1 (March 1988), 59-67. 12 Poin ini disinggung oleh John Frame, The Doctrine of God, 684.

Keilahian Yesus Dipersoalkan: Wahyu 3:14 

 Dalam teks ini Yesus memperkenalkan diri kepada jemaat Laodikia dengan tiga sebutan: Amin, Saksi Yang Setia dan Benar, serta Permulaan dari ciptaan Allah. Yang menjadi fokus sorotan adalah sebutan yang terakhir. Dalam teks asli, sebutan “permulaan dari ciptaan Allah” adalah he arche tes ktiseos tou theou. Fokus perdebatan diarahkan pada arti kata hh arch. Apakah kata ini berarti “permulaan” (KJV/ASV/NASB/RSV) atau “pemimpin” (NIV)? Seandainya he arche berarti “permulaan”, apakah itu berarti bahwa Yesus adalah permulaan dalam arti “yang pertama” (ciptaan pertama, NWT) atau “asal/sumber” (Yesus adalah pencipta dari segala sesuatu, NAB/NRSV)?

Pihak non-Trinitarian menafsirkan teks ini sebagai petunjuk bahwa Yesus adalah ciptaan yang pertama. Argumen yang dipakai oleh mereka dapat dikategorikan ke dalam dua jenis: argumen teologis dan lexical.1 Di antara dua argumen ini, yang pertama tampak jelas lebih mendominasi. Dari sisi argumen teologis mereka lebih dahulu meyakini bahwa Yesus adalah ciptaan pertama (Ams 8:22; Kol 1:15). Ketika mereka membaca Wahyu 3:14, maka mereka menafsirkan teks ini dari kacamata penafsiran mereka terhadap Amsal 8:22 dan Kolose 1:15.2 Dari sisi argumen lexical mereka berpendapat bahwa pemunculan kata arche yang diikuti oleh kata benda berkasus genitif – seperti dalam kasus Wahyu 3:14 – selalu menyiratkan makna “bagian/urutan pertama” dari kata benda yang berbentuk genitif (disebut sebagai partitive genitive).

Dalam bagian ini kita tidak akan meresponi argumen mereka yang pertama (argumen teologis), karena dua teks yang dipakai sebagai dukungan sudah kita buktikan sebelumnya bahwa dua teks itu tidak mengajarkan bahwa Yesus adalah ciptaan pertama. Dengan demikian kita hanya perlu meresponi argumen yang kedua. 

Arti arche 

Selain di Wahyu 3:14 kata arche juga pernah muncul bersamaan dengan kata ktisis di Markus 10:6, 13:19 dan 2Petrus 3:4. Dalam tiga teks ini kata arche tidak merujuk pada pribadi maupun ciptaan tertentu, namun pada waktu atau proses penciptaan di Kejadian 1 (LAI:TB “awal dunia” atau “waktu dunia dijadikan”). Karena arche di tiga teks ini bersifat tidak berpribadi dan artinya tidak mungkin cocok dengan Wahyu 3:14, maka dengan demikian dari tiga teks ini kita tidak menemukan petunjuk apapun yang berarti untuk memahami arti pemunculan kata arche dan ktisis di Wahyu 3:14. Baik Trinitarian maupun                                                 
1 Gregg Stafford, Jehovah’s Witnesses Defended (2nd ed. Huntington Beach: Elihu, 1999), 237-239. 2 Beberapa penafsir memang menduga bahwa Wahyu 3:14 berakar dari konsep “hikmat” di Amsal 8:22 atau Kolose 1:15. Sebagian penafsir yang lain menolak dugaan ini dan mengusulkan Yesaya 65:16-17. Semua pendapat ini tidak akan dibahas dalam bagian ini, karena apapun jawabannya tetap tidak membawa pengaruh yang besar bagi keilahian Yesus. Jika memang berasal dari Amsal 8:22 dan Kolose 1:15, hal itu tidak berarti bahwa Yesus adalah ciptaan pertama, karena kita sudah melihat bahwa baik Amsal 8:22 maupun KOlose 1:15 tidak membuktikan Yesus adalah ciptaan pertama. Sebaliknya, jika Yesaya 65:16-17 merupakan latar belakang Wahyu 3:14, maka keilahian Yesus juga tidak terpengaruh.

non-Trinitarian tidak mendapatkan apapun dari tiga teks ini untuk mendukung pandangan mereka.

Mengingat teks-teks yang memuat kata arche dan ktisis secara bersamaan tidak memberi petunjuk yang berarti, maka kita perlu menyelidiki kata arche secara terpisah lebih dahulu. Penyelidikan ini bukanlah tugas yang mudah, karena kata arche memiliki jangkauan arti yang sangat luas, baik dalam Alkitab maupun literatur kuno di luar Alkitab. Arche dapat merujuk pada peristiwa pertama dari serangkaian peristiwa (protemporal), penyebab/asal secara logis (causal), bagian pertama dari sebuah objek (propartial), objek pertama dari serangkaian objek yang tidak harus memiliki natur/kualitas yang sama (prosequential), kekuatan politik atau jabatan tertentu (governmental), bagian pertama dari sesuatu dalam arti fisik dan bukan secara logis maupun kronologis (prospatial), keutamaan atas yang lain yang berkaitan dengan natur atau usaha (preeminent), prinsip yang mendasar atau fundamental (elemental). Semua kategori ini tidak termasuk arti-arti lain yang bersifat minor dan berada di luar kateori tersebut.3 Begitu luasnya jangkauan arti kata arche ini, sehingga tafsiran apapun terhadap arti arche di Wahyu 3:14 tampaknya menjadi mungkin.   

He arche tes ktisis di Wahyu 3:14   

Walaupun dari sisi jangkauan arti yang ada tafsiran non-Trinitarian yang dapat dikategorikan sebagai arti propartial (Yesus adalah ciptaan pertama dari rangkaian seluruh ciptaan) tetap memiliki kemungkinan untuk benar, namun kemungkinan ke arah sana tampaknya sangat kecil. Ada beberapa bukti yang bertentangan dengan tafsiran mereka.

Pertama, pertimbangan statistik arti kata arche. Berdasarkan penyelidikan yang komprehensif dan teliti terhadap arti kata arche, Svigel memberikan konklusi yang menarik dan mungkin akan membantu kita dalam memahami arti kata arche di Wahyu 3:14.4 Dari 8 kategori yang ada, 5 di antaranya bersifat non-personal (kata arche tidak pernah dikenakan pada pribadi), sedangkan 3 yang lain adalah personal (dikenakan pada pribadi). Lima kategori nonpersonal masing-masing adalah protemporal, prospatial, causal, propartial dan elemental. Tiga kategori personal adalah govermental, prosequential dan preeminent. 

Apa manfaat dari statistik tersebut? Statistik di atas berguna untuk memberi batasan arti, meskipun arti umum dari suatu kata tidak dapat diterapkan begitu saja pada suatu konteks. Maksudnya, karena arche di Wahyu 3:14 dikenakan pada pribadi (Yesus Kristus), maka jangkuan arti yang yang terkandung di dalamnya sangat mungkin hanya terbatasi pada tiga kategori: governmental (Yesus sebagai pemimpin/penguasa dari ciptaan), prosequential (Yesus adalah yang pertama dari rangkaian segala sesuatu, tetapi Dia memiliki natur atau kualitas yang berbeda), preeminent (Yesus lebih utama daripada segala ciptaan karena naturNya yang ilahi). Usulan pihak non-Trinitarian tampaknya agak sulit diterima berdasarkan statistik di atas, karena arti seperti itu hanya cocok jika kata arche dikenakan pada benda yang tidak berpribadi. Karena itu, tidak peduli berapa pun banyaknya ayat yang dipakai oleh mereka guna mendukung arti arch secara propartial,5 tetapi kalau contoh tersebut tidak ada

                                                 3 Lihat Michael J. Svigel, “Christ As ‘Arch, in Revelation 3:14”, BibSac 161 (April-June 2004):218224. 4 Ibid., 223. 5 Keyakinan pihak non-Trinitarian tampaknya sangat dipengaruhi oleh banyaknya teks yang mengarah pada arti propartial. Stafford, Jehovah’s Witnesses Defended, 109; Brian Holt, Jesus: God or the Son of God? (Mt. Juliet: TellWay Publihsing, 2002), 288-289.  

satu pun yang dikenakan pada benda yang berpribadi, maka semua contoh itu menjadi tidak relevan bagi Wahyu 3:14, karena dalam teks ini arch dikenakan pada pribadi.

Kedua, penggunaan kata arche dalam kitab Wahyu. Kata ini hanya muncul tiga kali (termasuk di pasal 3:14). Dua pemunculan yang lain dikenakan pada Allah (21:6) maupun Yesus (22:13).6 Keduanya sama-sama disebut sebagai “Yang Awal [he arche] dan Yang Akhir”. Terlepas dari arti ungkapan ini, yang jelas sebutan he arche tidak mungkin berarti ciptaan yang pertama. Jika pihak non-Trinitarian memaksakan tafsiran mereka, maka mereka juga harus konsisten dengan cara menerapkan arti itu kepada Allah. 

Data di atas merupakan bukti yang sangat signifikan, walaupun kata arche tersebut tidak diikuti oleh kata benda ktisis:
(1) ketiganya ada di kitab yang sama;
(2) ketiganya sama-sama diterapkan pada kata benda yang berpribadi;
(3) ketiganya sama-sama memiliki artikel [he arche]. Mungkin pihak non-Trinitarian akan berkelit bahwa he arche di 21:6 dan 22:13 berdiri sendiri, sedangkan hh arch di 3:14 mendapat keterangan “[dari] ciptaan Allah”. Terhadap keberatan ini kita dapat menunjukkan tulisan Josephus, seorang ahli sejarah Yahudi abad ke-1 M, yang menyatakan bahwa Allah adalah “Yang Awal dan Yang Akhir dari segala sesuatu” (arche kai telos ton hapanton).7

Ketiga, penggunaan protos (pertama) dan arche (permulaan). Dua kata ini memang samasama bisa dipakai untuk menunjuk pada sesuatu yang berada di urutan pertama, namun kata prwtos tampaknya lebih tegas dan tidak terlalu bias, karena kata ini hanya memiliki arti pertama dari sisi urutan atau keutamaan. Walaupun kata protos dan arche dalam kitab Wahyu kadangkala dipakai secara sinonim,8 tetapi hal itu tetap tidak meniadakan fakta bahwa kata protos akan lebih tepat dipakai di Wahyu 3:14 apabila Yohanes bermaksud menampilkan Yesus sebagai ciptaan pertama. Pemakaian kata protos di bagian lain kitab Wahyu juga memberi dukungan untuk dugaan ini, karena dalam kitab ini protos memang lebih jelas menyatakan ide tentang urutan peristiwa/benda (2:4-5, 19; 4:1, 7; 8:7; 13:12; 16:2; 20:5-6; 21:1, 4; 21:19).


Keempat, pertimbangan konteks. Wahyu 3:14 merupakan pendahuluan bagi surat kepada jemaat Laodikia. Seperti sudah banyak diungkapkan oleh para penafsir kitab Wahyu, sebutan yang dipakai Yesus di awal surat selalu berkaitan dengan apa yang ingin disampaikan dalam surat tersebut. Karena itulah sebutan-sebutan yang dipakai tidak monoton. Sesuai konteks Wahyu 3:14-22, kata arch di ayat 14 tampaknya lebih mengarah pada makna “pemimpin” (govermental, NIV ‘the ruler’). Petunjuk tentang hal ini dapat kita temukan di ayat 20-21 yang merupakan janji bahwa orang-orang yang menang akan duduk bersama-sama dengan Yesus dan Bapa di tahta-Nya. Ide tentang “tahta” jelas menyiratkan ide tentang kekuasaan atau kepemimpinan. Janji seperti ini hanya bisa diberikan oleh Pribadi yang merupakan Pemimpin (he arche) segala ciptaan. 

                                                 6 Wahyu 22:13 tidak diragukan lagi merujuk pada Yesus Kristus (band. Ayat 16). Dengan demikian pendapat Brian Holt yang mengatakan bahwa kata arch yang dikenakan pada Yesus hanya ditemukan di Wahyu 3:14 dan Kolose 1:15 tidak dapat dibenarkan. Lihat Jesus: God or the Son of God?, 289.  7 Antiquities 2.280 dan Against Apion 2.190. Lihat James Stewart, “Revelation 3”, The Apologist Bible Commentary (http:/www.forananswer.org/); Wayne Grudem, Systematic Theology (Nottingham: InterVarsity Press, 1994), 243, n24. 8 Misalnya sebutan “Yang Awal [hh arch] dan Yang Akhir” di 21:6 dan 22:13 tampaknya identik dengan “Yang Pertama [ho prwtos] dan Terakhir” di 1:17, 2:8 maupun 22:13

Petunjuk lain dapat kita temukan dari perbandingan antara Wahyu 3:14 dan Wahyu 1:5. Dua dari tiga sebutan untuk Yesus di 3:14 ada di 1:5, yaitu “saksi yang setia” dan “penguasa”. Ungkapan “saksi yang setia” (ho martus ho pistos) muncul dalam bentuk yang identik. Kata “penguasa” di 1:5 muncul dalam bentuk ho archon (dari akar kata yang sama dengan arche di 3:14). Berdasarkan kesamaan ini dapat dibenarkan jika kita mencoba memahami arti he arche di 3:14 berdasarkan arti kata ho archon di 1:5. Jika ini diterima, maka kita dengan yakin dapat melihat bahwa he arche harus diartikan “penguasa”.9

Kelima, konsep teologis secara umum. Argumen ini memang bersifat subjektif, tetapi bukan berarti tidak memiliki bobot sama sekali. Dalam Alkitab kaitan Yesus dengan ciptaan selalu sebagai pencipta dan objek penciptaan. Tidak ada satu pun ayat yang secara eksplisit menampilkan Yesus sebagai ciptaan pertama (kecuali kita menerima tafsiran non-Trinitarian terhadap Amsal 8:22 dan Kolose 1:15). Di luar dua teks ini tidak ada ayat lain yang memiliki kemungkinan ke arah sana. Di sisi lain, Alkitab memuat beberapa teks yang secara eksplisit menunjukkan aktivitas penciptaan yang dilakukan Yesus. Segala sesuatu diciptakan oleh Dia (Yoh 1:3; Ibr 1:2b), di dalam dan untuk Dia (Kol 1:16). Yesus menopang segala sesuatu yang ada (Kol 1:17; Ibrani 1:3). Jika kita setia kepada data ini, maka ada kemungkinan yang lebih besar bahwa Yesus sebagai he arche tes ktisis di Wahyu 3:14 tidak bermakna bahwa Dia adalah ciptaan pertama. 

Penjelasan tambahan

Pihak non-Trinitarian biasanya mencari dukungan dari salah satu buku standar dalam kamus Yunani – dikenal dengan sebutan BAGD – yang mencatat bahwa secara linguistik ada kemungkinan arch di Wahyu 3:14 merujuk pada ciptaan pertama.10 Dalam edisi selanjutnya BAGD bahkan meningkatkan keyakinan tersebut dari “possible” menjadi “probable”.11 Bagaimana kita menanggapi hal ini?

Apa yang diyakini penulis BAGD tidak dapat dipandang sebagai sebuah kebenaran yang konklusif, sekalipun kamus ini memang diakui kredibilitasnya. Kita tidak boleh mengabaikan bahwa para penulis BAGD masih memakai kata “mungkin”. Di samping itu, kamus lain yang tidak kalah kredibilitasnya dibandingkan BADG – dikenal dengan nama TDNT – berpendapat bahwa arche di Wahyu 3:14 ada kemungkinan berkaitan dengan konsep “Yang Awal dan Yang Akhir” di 21:6 dan 22:13.12 NIDNTT cenderung menafsirkan arche di Wahyu 3:14 sebagai permulaan mutlak sebelum ada waktu atau penyebab pertama.13

Dari pemaparan tersebut terlihat bahwa tidak ada satu kamus pun yang memberikan jawaban yang pasti. Semua yang diusulkan hanyalah kemungkinan. Dengan demikian kita tidak boleh
                                                 
9 Robert M. Bowman Jr & J. Ed Komoszewski, Putting Jesus in His Place: The Case for the Deity of Christ (Grand Rapids: Kregel Publications, 2007), 108. 10 Stafford, Jehovah’s Witnesses Defended, 237; Walter Bauer, William F. Arndt, F. Wilbur Gingrich, Frederick W. Danker, A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (2nd ed., Chicago: University of Chicago Press, 1979), 112. 11 Walter Bauer, William F. Arndt, F. Wilbur Gingrich, Frederick W. Danker, A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature (3rd ed. Chicago: University of Chicago Press, 2000), 138; Svigel, “Christ As  Avrch in Reveation 3:14”, 215.  12 Herhard KIttel, ed., Theological Dictionary of the New Testament Vol. I (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Company, 1964.), 484. 13 H. Bietenhard, “Beginning”, The New International Dictionary of New Testament Theology Vol. I, edited by Colin Brwon (Exeter: The Paternoster Press, 1975), 166.

menyandarkan diri pada salah satu alternatif tanpa mengadakan penyelidikan sendiri secara mendalam. Dari apa yang sudah dipaparkan sebelumnya, saya lebih cenderung menafsirkan he arche di Wahyu 3:14 sebagai “pemimpin” (NIV). # Bukti Kristologi.
Next Post Previous Post