REFORMASI, CALVIN, DAN PERJAMUAN KUDUS

Pdt. Billy Kristanto, M.C.S.
REFORMASI, CALVIN, DAN PERJAMUAN KUDUS - Pdt. Billy Kristanto, M.C.SPendahuluan. Lima ratus tahun setelah reformasi, pandangan tentang Perjamuan Kudus masih merupakan perdebatan yang belum selesai. Tidak jarang kita mendengar penjelasan-penjelasan yang polemis sifatnya saat Perjamuan Kudus dilangsungkan. Penjelasan sedemikian agaknya ingin mengukuhkan pandangan konfesional sembari berusaha melindungi jemaat dari doktrin Perjamuan Kudus yang dianggap keliru. Ironisnya, Perjamuan Kudus yang seharusnya mendorong kita untuk menghayati kesatuan tubuh Kristus yang tidak kelihatan justru menjadi pemecah yang menghalangi kita untuk menghayati kesatuan itu. Tentu, di sisi yang lain, kita tidak bermaksud menciptakan persatuan tanpa kebenaran dengan slogannya yang terkenal: doktrin memecah-belah, kasih mempersatukan. Kasih pun memerlukan penjelasan dan batasan doktrinal. Karena itu, artikel ini juga tidak berusaha untuk merelativisasi perbedaan doktrin yang ada demi mempertahankan ‘kesatuan’ dalam kasih. Sebaliknya, artikel ini berusaha untuk mendiskusikan dengan jujur perbedaan yang ada di antara para reformator, dan mengusulkan pandangan Calvin sebagai solusi pandangan ekumenis yang berusaha untuk mengintegrasikan dan memetakan kompleksitas pemahaman 

tentang Perjamuan Kudus sehingga dapat diterima sebagai pengajaran yang sesuai dengan prinsip kebenaran dan kasih. Pada bagian pertama kita akan menelusuri perbedaan pandangan antara Luther dan Zwingli. Bagian kedua akan membicarakan bagaimana Calvin berusaha menengahi perbedaan pandangan ini, khususnya dalam tulisannya yang awal tentang Perjamuan Kudus. Bagian ketiga akan membahas perkembangan doktrin Perjamuan Kudus dalam pemikiran Calvin. Bagian keempat mencoba untuk melihat pandangan Calvin dari perspektif historis. Bagian terakhir menyajikan kesimpulan serta refleksi kontemporer. 

Pandangan Luther dan Zwingli Dalam Kolokium Marburg (Marburg Colloquy), Luther dan Zwingli sepakat atas empat belas poin namun tidak sepakat dalam poin terakhir tentang Perjamuan Kudus. Maka, mulailah perdebatan dan polemik tentang doktrin Perjamuan Kudus dalam kalangan kaum Protestan. Luther mengajarkan doktrin persatuan sakramental (unio sacramentalis): roti dan anggur yang terkonsekrasi dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus. Tentang ini Luther menulis,

Why then should we not much more say in the Supper, “This is my body,” even though bread and body are two distinct substances, and the word “this” indicates the bread? Here, too, out of two kinds of objects a union has taken place, which I shall call a “sacramental union,” because Christ’s body and the bread are given to us as a sacrament. This is not a natural or personal union, as is the case with God and Christ. It is also perhaps a different union from that which the dove has with the Holy Spirit, and the flame with the angel, but it is also assuredly a sacramental union.1

Luther menolak pandangan transubstansiasi yang mengajarkan bahwa substansi roti dan anggur berubah menjadi substansi tubuh dan darah Kristus. Roti dan tubuh Kristus tetap merupakan dua substansi yang berbeda, namun dipersatukan secara sakramental. Formula of Concord di 
----------------------------------------------------------------------------- 
1 Martin Luther, Luther’s Works, vol. 37: Word and Sacrament III, ed. J. J. Pelikan, H. C. Oswald & H. T. Lehmann (Philadelphia: Fortress Press, 1999), 299-300.

kemudian hari mengembangkan pemikiran Luther ini menjadi doktrin yang disebut konsubstansiasi: tubuh Kristus sungguhsungguh hadir “di bawah roti, dengan roti, di dalam roti.”2 Jadi, Luther mengajarkan doktrin kehadiran tubuh Kristus yang nyata (Christ’s real bodily presence). Tidak seperti Luther, Zwingli mengajarkan doktrin anamnesis: Perjamuan Kudus hanyalah suatu peringatan bersama (commemoration) akan penderitaan dan kematian Kristus, sementara roti dan anggur merupakan sebuah lambang. The ‘Eucharist,’ then, or ‘Synaxis,’ or Lord’s Supper, is nothing but commemoration by which those who firmly believe that by Christ’s death and blood they have become reconciled with the Father proclaim this life-giving death, that is, preach it with praise and thanksgiving.3

Dalam Perjamuan Kudus, tubuh Kristus, yang merupakan natur manusia-Nya, tidaklah hadir di mana-mana (ubique). Hadir di mana-mana merupakan natur ilahi, bukan natur manusia. Bagi Zwingli, kemahahadiran Allah ini mendasari kemahakuasaan Allah: “Akan tetapi, berada di mana-mana adalah suatu sifat khusus tersembunyi dan hanya ada pada yang ilahi. Dari sinilah kemahakuasaan berasal.”4 Zwingli mengutip Yesaya 42:8, “Aku tidak akan memberikan kemuliaan-Ku kepada yang lain,” untuk mendukung pandangannya tentang kemahakuasaan ilahi yang tidak diberikan kepada natur manusia. Menurut Oberman, ayat dari Yesaya ini memiliki kepentingan paradigmatis bagi pemahaman praanggapan filosofis dalam teologi Zwingli.5 Karena itu, dalam Perjamuan Kudus tidak ada kehadiran Kristus yang nyata. Zwingli menghindari segala bentuk bahasa yang menyatakan kehadiran Kristus secara jasmani (bodily presence) dengan alasan bahwa 
------------------------------------------------------------------------------- 
2 Formula of Concord Solid Declaration VII, 35. 3 Zwingli, Commentary, 18; dikutip dari Ford L. Battles, “Endnotes” dalam Calvin, Institutes of the Christian Religion: 1536 Edition (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 283. 4 “Ubique autem esse, intima ac sola numinis est proprietas. Hinc enim dimanat omnipotentia” (Zwingli, ZW XIV, 337.9–11). 5 Bdk. Heiko A. Oberman, The Reformation: Roots and Ramifications (London & New York: T&T Clark, 2004), 196. 

pemahaman seperti itu dapat membawa kepada penyembahan berhala terhadap roti dan anggur yang dianggap identik dengan tubuh dan darah Kristus. Bagi Zwingli, sejak Yesus terangkat ke sorga, tubuh-Nya berada di sana sehingga mustahil untuk menghayati kehadiran tubuh Kristus di saat Perjamuan Kudus. Sayangnya Zwingli kurang menjelaskan bagaimana natur persekutuan orang percaya dengan tubuh dan darah Kristus. Zwingli juga menggambarkan sakramen sebagai ikrar, yang bahkan dikaitkan dengan pengertian militer: And so [the word] ‘Sacrament’ really means a sworn oath, and it is still used to this day by the Italians and the French in their languages. It is also a Sacramentum militare, a statutory duty, which soldiers swear to their captain according to the customs and form of military law (for war also has its own law) … ‘Sacrament’ is nothing other than a commitment or obligation … If you commit yourself, and you have bound yourself by the sign [zeychen] and oath [pflicht] of your duty, you should remain true to your oath and honor your obligation.6

Ada dimensi politis dalam pemahaman Zwingli atas Perjamuan Kudus: melaluinya orang-orang percaya dipersatukan dalam persekutuan orang-orang Kristen secara lahir dan batin. Ini merupakan salah satu keunikan pandangannya. Dalam komentarnya atas Yoh 6:26 dst., Zwingli mengatakan bahwa “makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal” yang dibicarakan Kristus di sini tidak lain dan tidak bukan adalah iman/percaya dan bukan makanan sakramen.7 Dengan kata lain, makan roti yang dimaksud oleh Kristus artinya adalah percaya kepada Firman 
--------------------------------------------------------------------------
6 Zwingli, CRR 905-911/1-2265, 131, dikutip dari Kirk W. Goodlet, “Community, Confederation, and Corpus Christianum: Defining ‘Gemeinde’ in Huldrych Zwingli’s Thought, 1525-1531” dalam Past Imperfect 18 (2012), 15. 7 “Jesus antwortete deshalb und sagte ihnen: ’Das ist das Gottes-werk, glauben an den, den er gesandt hat’ ... Die Speise also, von der Christus hier redet, ist der Glaube. Das ist das erste Beweiszeichen für den gänzlichen Irrtum derer, die meinen, Christus rede in diesem ganzen Kapitel von der Sakramentsspeise ... Die Speise, die er suchen heißt, ist Glaube an den Sohn.” Zwingli Abendmahl. https://www.evangelischer-glaube.de/stimmen-der-v%C3%A4ter/zwingliabendmahl/ (diakses 21 Agustus 2017). 

Injil. Zwingli dididik menurut cara berpikir Via Antiqua, tidak seperti Luther yang dididik menurut Via Moderna. Via Antiqua ini menganut pandangan realisme yang sangat dipengaruhi oleh ajaran tentang ide dari Plato. Dalam paradigma ini, yang sungguh-sungguh nyata bukanlah yang berada dalam dunia yang kelihatan. Berbeda dengan Zwingli, Luther diajar dalam pendidikan Via Moderna yang menganut pandangan nominalisme. Dalam pandangan ini, universalia hanya ada pada hal-hal tertentu/partikular, bukan karena ide yang universal, melainkan disebut universal hanya berdasarkan sebutan/konsepnya.8 Dua paradigma yang berbeda ini agaknya sangat mempengaruhi perbedaan pemahaman Zwingli dan Luther tentang natur kehadiran Kristus. Luther mengritik pandangan yang hanya melihat roti dan anggur sebagai tanda belaka, sebagaimana dalam istilah figura yang digunakan oleh Oecolampadius; sebaliknya, Luther mengutip Tertullian, yang menggunakan istilah figura dalam pengertian bentuk atau Gestalt di dalam bahasa Jerman.9 Roti dan anggur adalah figura dalam arti Gestalt yang melaluinya tubuh Kristus ditawarkan. Luther dengan tegas menolak konsep figura dalam pengertian tanda semata, karena baginya ini bertentangan dengan prinsip inkarnasi.10 

Pandangan Calvin Awal Dalam edisi Institutes yang pertama (1536), Calvin memperlihatkan kedekatan pandangannya dengan Luther dan Melanchthon ketika ia menyebut sakramen sebagai “latihan iman.”11 Calvin juga mengadopsi pandangan Luther tentang “pertukaran bahagia” ketika ia menjelaskan bahwa dalam Perjamuan Kudus, Kristus menerima kemiskinan, 
------------------------------------------------------------------------------ 
8 Wilhelm von Ockham, Summa logicae, dikutip dari Historisches Wörterbuch der Philosophie, Bd. 11, 182. 9 Bdk. Luther, LW 37, 109-110. 10 Bdk. David C. Steinmetz, Luther in Context, ed. kedua (Grand Rapids: Baker Academic, 2002), 75. 11 Calvin, Institutes of the Christian Religion (1536) IV.24, terj. Ford L. Battles (Grand Rapids: Eerdmans, 2000), 102; lihat juga Melanchthon, Loci Communes (1521), 9 (terj. Ingg., LCC 19.137).

kelemahan, dan mortalitas kita dan menukarnya dengan kekayaan, kekuatan, dan immortalitas-Nya.12 Konsep substitusi ini menegaskan bahwa Calvin, sama seperti Luther, menganut pandangan pembenaran forensik. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa pandangan soteriologinya, sebagaimana juga tercermin dalam pengertiannya tentang Perjamuan Kudus, tidak memiliki aspek pengudusan. Sakramen-sakramen diberikan untuk “melindungi, membangkitkan, dan menambahkan” iman.13 Bahkan istilah “penanaman” (engrafted) yang digunakan Calvin untuk menjelaskan realita Perjamuan Kudus sebenarnya memiliki dimensi organis yang mencakup pertumbuhan terus-menerus.14 Calvin juga memperkenalkan doktrin pendakian mistis (mystical ascent) dalam karyanya yang awal ini: “… descending to earth, he has prepared an ascent to heaven for us; that, becoming Son of man with us, he has made us sons of God with him.”15 Jadi, dalam Perjamuan Kudus, bukan tubuh Kristus yang turun ke bawah (karena Kristus telah turun ke bawah pada saat inkarnasi dan tubuh-Nya telah terangkat ke sorga pada saat kenaikan), melainkan orang-orang percaya yang secara mistis diangkat ke atas melalui iman. Dengan pandangan seperti ini, Calvin membebaskan dirinya dari spekulasi kehadiran tubuh Kristus dalam Perjamuan Kudus. Doktrin pendakian mistis ini kelak dikembangkan lagi oleh Calvin dalam edisi Institutes yang belakangan. Jika Luther menjelaskan hubungan antara tubuh Kristus dan roti melalui pemahaman persatuan sacramental, sementara Zwingli melalui pemahaman simbolis, maka Calvin menjelaskan hubungan antara keduanya ini melalui analogi hal-hal rohani: And so as we previously stated, from the physical things set forth in the Sacraments we ought to be led by a sort of analogy to spiritual things. … 
-------------------------------------------------------------------- 
12 Bdk. Calvin, Institutes (1536), IV.24, 103; Luther menulis, “If Christ has all good things, including blessedness, these will also belong to the soul. If the soul is full of trespasses and sins, these will belong to Christ. At this point a contest of happy exchanges takes place” (Luther, The Freedom of a Christian, dalam B. L. Woolf, Reformation Writings of Martin Luther, 1.363). 13 Calvin, Institutes (1536), IV.24, 102. 14 Calvin, Institutes (1536), IV.24, 102. 15 Calvin, Institutes (1536), IV.24, 103. 

as bread nourishes, sustains, and keeps the life of our body, so Christ’s body is the food and protection of our spiritual life.16 

Dengan kata lain, Perjamuan Kudus tidak bertujuan untuk memamerkan tubuh Kristus, melainkan “to seal and confirm that promise by which he testifies that his flesh is food indeed and his blood is drink [John 6:56], feeding us unto eternal life [John 6:55] …”17 Calvin mengikuti konsep Zwingli tentang meterai dan konfirmasi. Istilah meterai ini membawa Calvin untuk memahami Perjamuan Kudus dalam perspektif pneumatologis. Dalam Perjanjian Baru, meterai seringkali dikaitkan dengan Roh Kudus (bdk. Efesus 1:13; 4:30; 2 Korintus 1:22). Dalam tulisannya A Short Treatise on the Holy Supper of our Lord Jesus Christ (1541), Calvin memperlihatkan penekanan perspektif pneumatologis dalam pemahamannya. Jika Luther pernah menulis bahwa kesatuan roti dan tubuh Kristus mungkin sedikit berbeda dengan persatuan merpati dan Roh (bdk. Yoh 1:32), Calvin justru menggunakan contoh ini untuk menjelaskan misteri persatuan roti dan tubuh Kristus: … we should reply that the bread and the wine are visible signs, which represent to us the body and blood; but that the name and title of body and blood is attributed to them, because they are like instruments by which our Lord Jesus Christ distributes them to us. … Our Lord, wishing at his Baptism to give visible appearance to his Spirit, represented it under the form of a dove. John the Baptist, relating this story, says that he saw the Holy Spirit descending. If we enquire more closely, we find that he saw only the dove, for the Holy Spirit is essentially invisible. Yet knowing that this vision is not an empty figure, but a certain sign of the presence of the Holy Spirit, he does not hesitate to say that he saw it, because it is represented to him according to his capacity. It is like this with the communion which we have with the body and blood of our Lord. It is a spiritual mystery, which cannot be seen by the eye, nor comprehended by the human understanding. It is therefore symbolized by visible signs, as our infirmity requires, but in such a way that it is not a bare figure, but joined to its reality and substance. It is therefore with good reason that the bread is called body, since not only does it represent it to us, but also 
------------------------------------------------------------------- 
16 Calvin, Institutes (1536), IV.25, 103. 17 Calvin, Institutes (1536), IV.26, 103. 

presents it to us.18

Calvin mengikuti Zwingli ketika ia menyebut roti dan anggur sebagai tanda dan instrumen. Namun, ia mengoreksi pandangan yang dianggapnya diwariskan oleh Zwingli ketika menegaskan bahwa roti dan anggur bukanlah sekedar figur yang kosong, melainkan bersatu dengan substansi tubuh dan darah Kristus.19 Pada bagian yang lain, Calvin menegaskan tentang kehadiran substansial Kristus (yang lebih dari sekedar simbolis): If there were nothing more, we have good reason to be satisfied when we realize that Jesus Christ gives us in the Supper the real substance of his body and his blood, so that we may possess him fully, and, possessing him, have part in all his blessings.20 

Ini berarti Perjamuan Kudus bukan hanya sekedar tindakan peringatan yang dihayati secara subyektif (a la Zwingli), melainkan ada dimensi obyektif dari khasiat atau berkat yang datang melalui sakramen. Calvin mengintegrasikan pemahaman Zwingli tentang perlunya iman dalam menerima Perjamuan Kudus dan pemahaman Luther tentang partisipasi nyata dalam tubuh dan darah Kristus: “In receiving the sacrament in faith, according to the ordinance of the Lord, we are truly made partakers of the real substance of the body and blood of Jesus Christ.”21 Bagi Calvin, ini semua dimungkinkan oleh Roh Kudus yang adalah ikatan partisipasi itu sendiri. Kita dapat menyimpulkan bahwa pandangan awal Calvin tentang Perjamuan Kudus telah menunjukkan tendensi resepsi baik pemikiran Luther maupun Zwingli. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri 
----------------------------------------------------------------- 
18 Calvin, A Short Treatise on the Holy Supper of our Lord Jesus Christ, dikutip dari John K. S. Reid, Calvin: Theological Treatises [The Library of Christian Classics 22] (Louisville: Westminster John Knox, 2006; cetak ulang dari 1954), 147. 19 Untuk membedakan pandangannya dari pandangan Luther, Zwingli bahkan pernah mengatakan, “I believe, indeed I know, that all the sacraments are so far from conferring grace that they do not even convey or distribute it” (Zwingli, Fidei ratio, dikutip dari John A. Maxfield, “Luther, Zwingli, and Calvin on the Siginificance of Christ’s Death” di Concordia Theological Quarterly 75 [2011], 100). 20 Calvin, A Short Treatise, dikutip dari Reid, 148. 21 Calvin, A Short Treatise, dikutip dari Reid, 166. 

bahwa Calvin mengembangkan pemikiran mereka untuk bisa menjembatani ketegangan yang ada. Calvin adalah seorang teolog yang berjiwa ekumenis. 


Perkembangan dalam Teologi Calvin Janse menyimpulkan bahwa di antara tahun 1537 sampai 1548 Calvin banyak dipengaruhi oleh pandangan Luther, sementara sebelumnya ia banyak dipengaruhi oleh Zwingli.22 Dalam komentarnya atas surat Efesus pada tahun 1548, Calvin mengritisi pemahaman Perjamuan Kudus hanya sebatas peringatan akan kematian Kristus tanpa penghayatan bahwa orang percaya sungguh-sungguh menikmati tubuh Kristus: When they admit that the death of Christ is commemorated in the supper, but not that such intercourse exists as we assert from the words of Christ, we quote this passage against them. Paul says that we are members of his flesh and of his bones. Do we wonder then, that in the Lord’s supper he holds out his body to be enjoyed by us, and to nourish us unto eternal life?23

Dalam kutipan di atas, kita dapat mendeteksi pandangan yang merapatkan diri pada pemikiran Luther. Dalam negosiasinya dengan Bullinger untuk mencapai konsensus tentang Perjamuan Kudus, Calvin juga bersikeras untuk mempertahankan pandangan bahwa dalam Perjamuan Kudus, tubuh Kristus sungguh-sungguh diberikan.24 Teks akhir dari Konsensus Zurich pertama-tama mencatat formulasi khas Zwingli ketika tujuan sakramen dijelaskan sebagai “marks and tokens of Christian profession and community” dan “incitements to gratitude and exercises of faith and a godly life;” sakramen-sakramen itu “signify nothing apart from what is announced by the 
---------------------------------------------------------------- 
22 Bdk. Wim Janse, “Calvin’s Doctrine of the Lord’s Supper” dalam Perichoresis 10.2 (2012), 155. 23 Calvin, Commentary on Ephesians 5:31. 24 Bdk. Emidio Campi, “Consensus Tigurinus: Werden, Wertung und Wirkung” dalam Campi, Consensus Tigurinus. Heinrich Bullinger und Johannes Calvin über das Abendmahl (Zürich: TVZ, 2009), 20.

Word itself, … At the same time they recall to our remembrance the death of Christ and all his benefits, that faith may be better exercised, and also that what has been pronounced by the mouth of God may be confirmed and ratified as it were by seals.”25 Namun, berikutnya Calvin juga menekankan dimensi pneumatologis yang menjadi keunikan pandangannya: “without any doubt he [God] truly offers inwardly by his Spirit that which the sacraments figure to our eyes and other senses.”26 Mengoreksi pandangan Zwingli yang cenderung memisahkan antara tanda dan yang ditunjuk oleh tanda dengan jelas dikatakan: Hence, although we distinguish between the signs and the things signified, as is right and proper, yet we do not separate the truth from the signs; but rather we confess that all who by faith embrace the promises there offered receive Christ spiritually together with his spiritual gifts, and who as long as they have been made partakers of Christ, continue and renew that fellowship.27

Di sisi yang lain, dimensi subyektif dalam pandangan Zwingli juga kembali ditegaskan yaitu bahwa yang diperhatikan dalam sakramen adalah janji Allah yang hanya akan membawa kita kepada Kristus melalui jalan iman (Art. 10). Calvin memang tidak mengembangkan dimensi politis dalam pandangannya tentang Perjamuan Kudus seperti Zwingli, namun latar belakang politik cukup berperan dalam mengondisikan perundingan menuju Konsensus Zurich.28 Konsensus Zurich ini segara mendapat perlawanan dari kubu Lutheran di Jerman. Salah satu tokoh yang menyerang pandangan Calvin 
------------------------------------------------------------------------------ 
25 Consensus Tigurinus, Art. 7, terj. Torrance Kirby dalam Campi, Consensus Tigurinus, 261; Busch menunjukkan bahwa Artikel 7 ini memiliki kemiripan dengan Artikel 13 dari Confessio Augustana sehingga dengan demikian Calvin tidak hanya memperhitungkan Zwingli dan Bullinger, melainkan juga para penganut Luther dalam pembentukan konsensus ini, hal mana sekali lagi menunjukkan jiwanya yang ekumenis (bdk. Eberhard Busch, “Die Tragweite von Artikel 7 im Consensus Tigurinus” dalam Campi, Consensus Tigurinus, 289-90). 26 Consensus Tigurinus, Art. 8. 27 Consensus Tigurinus, Art. 9. 28 Bdk. Campi, “Werden, Wertung und Wirkung,” 17-19.

adalah Joachim Westphal, seorang pastor di Hamburg. Edisi Institutes yang terakhir (1559) mendokumentasikan perdebatan Calvin dengan Westphal. Calvin membedakan orang-orang Lutheran, yang dengan jujur mengakui bahwa proposisi roti adalah tubuh [Kristus] tidak dapat dipertahankan, dari kaum literalis penganut pandangan Westphal, yang dengan berani menyatakan bahwa roti adalah tubuh.29 Kelompok yang terakhir ini tidak konsisten karena jika mereka diminta untuk mengakui bahwa roti itu adalah Allah, mereka akan menolaknya. Sama seperti Zwingli, Calvin tidak dapat menerima penafsiran literal bahwa roti (yang dapat rusak) itu adalah Kristus karena baginya itu merupakan suatu penghujatan. Pembedaan (bukan pemisahan) antara roti dan tubuh Kristus itu perlu. Mengikuti Lukas dan Paulus, Calvin mengatakan bahwa roti seharusnya dimengerti sebagai perjanjian dalam tubuh dan darah Kristus (bdk. Lukas 22:20; 1 Korintus 11:25).30 Pandangan Westphal yang mengajarkan bahwa dengan memakan daging Kristus kita menjadi satu dengan-Nya ditolak oleh Calvin.31 Calvin tidak dapat menerima percampuran antara daging Kristus dengan jiwa manusia. Bagi Calvin, daging Kristus tidak masuk ke dalam orang percaya melainkan substansi dari daging-Nyalah yang memberi nafas hidup ke dalam jiwa kita.32 Karena itu, Calvin (seperti Zwingli) juga menolak pandangan manducatio impiorum, yaitu bahwa orang tidak percaya dan orang fasik pun bisa makan tubuh Kristus.33 Bagi Calvin, mereka yang tidak beriman tidak akan mendapatkan manfaat apa-apa dari Perjamuan Kudus. Westphal mengajarkan bahwa Paulus tidak akan menyebut orang Korintus “berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan” (1 Korintus 11:27) seandainya tidak terjadi manducatio impiorum.34 Calvin 
------------------------------------------------------------------------------- 
29 Bdk. Calvin, Institutes, IV.17.20. 30 “Therefore, however often they argue from one word that the bread is the body, from more than one word I shall bring forth an appropriate interpretation, that it is the testament in the body” (Calvin, Institutes, IV.17.20). 31 Bdk. Joachim Westphal, Apologia confessionis, 142. 32 Bdk. Calvin, Institutes, IV.17.32. 33 Bdk. Calvin, Institutes, IV.17.33. 34 Bdk. Westphal, Recta fides de coena domini, G 1a–H 3a.

menjawab bahwa mereka berdosa bukan karena telah makan tubuh dan darah Kristus, melainkan karena menginjak-injak janji untuk dipersatukan dengan Allah. Penolakan Calvin terhadap konsep manducatio impiorum ini didukungnya dengan mengutip berbagai tulisan Agustinus yang membedakan antara makan secara sakramental dan secara nyata.35 Makan secara sakramental ini dilakukan oleh semua orang yang mengikuti Perjamuan Kudus, namun mereka yang tidak percaya tidak akan memperoleh manfaat apa-apa melaluinya. Makan secara nyata (yaitu dalam pengertian rohani) hanya dialami oleh mereka yang percaya, yang lapar rohani dan karena itu akan dipuaskan secara rohani pula. Pandangan Calvin dalam edisi Institutes yang terakhir ini seolah banyak berpolemik dengan pandangan Lutheran. Namun ini disebabkan karena adanya serangan dari tokoh seperti Westphal yang menganggap dirinya sebagai penjaga Ortodoksi Lutheran yang sejati. Calvin tidak kehilangan jiwa ekumenisnya sekalipun ia terlibat dalam perdebatan polemis dengan penganut Luther. Ini terbukti bahwa di antara tahun 1560-1562 Calvin kembali mendekati pandangan Luther tentang Perjamuan Kudus.36 

Tinjauan Historis Sekarang kita akan meninjau pandangan Calvin dari perspektif historis untuk kepentingan dialog ekumenis. Pandangan reformatoris seringkali dikontraskan dengan pandangan Roma Katholik dengan pengajar utamanya yaitu Thomas Aquinas. Sekalipun demikian, ada beberapa kesamaan dalam pandangan Aquinas dan Calvin. Walaupun Aquinas mengajarkan doktrin transubstansiasi,37 ia juga menekankan 
--------------------------------------------------------------- 
35 Bdk. Calvin, Institutes, IV.17.34; Agustinus misalnya menulis, “But this is what belongs to the virtue of the sacrament, not to the visible sacrament; he that eateth within, not without; who eateth in his heart, not who presses with his teeth” (Augustine, Tractate on the Gospel of John, XXVI.12, dikutip dari P. Schaff [ed.], NPNF I/7 [New York: Christian Literature Company, 1888], 172). 36 Bdk. Janse, “Calvin’s Doctrine,” 155. 37 Bdk. Thomas Aquinas, Summa theologica, III.75.2, terj. Fathers of the English Dominican Province.

pentingnya dimensi subyektif dalam Perjamuan Kudus, sebuah pandangan yang sangat ditekankan dalam pemahaman Calvin (dan Zwingli). “The presence of Christ’s true body and blood in this sacrament cannot be detected by sense, nor understanding, but by faith alone, which rests upon Divine authority.”38 Seperti Aquinas, Agustinus mengomentari Yohanes 6:63, What means “are spirit and life”? They are to be understood spiritually. Hast thou understood spiritually? “They are spirit and life.” Hast thou understood carnally? So also “are they spirit and life,” but are not so to thee.39

Menurut Agustinus, kegagalan penghayatan subyektif ini tidak mengubah fakta obyektif bahwa perkataan Yesus adalah roh dan hidup, namun hal ini tidak akan memberikan khasiat dan manfaat apa-apa dalam diri orang yang tidak percaya (yang hanya mengerti secara kedagingan). Perjamuan Kudus dijelaskan berdasarkan konsep similitudo: “… if sacraments had not some points of real resemblance [similitudo] to the things of which they are the sacraments, they would not be sacraments at all.”40 Dalam pengertian inilah roti dan anggur dapat disebut sebagai tubuh dan darah Kristus: “As, therefore, in a certain manner the sacrament of Christ’s body is Christ’s body, and the sacrament of Christ’s blood is Christ’s blood.”41 Meskipun demikian, Agustinus masih tetap dapat menggunakan konsep pembedaan antara tanda (signum) dan yang ditunjuk oleh tanda (res). Tanda yang kelihatan, yaitu roti dan anggur dimakan dengan cara jasmani, sementara yang ditunjuk oleh tanda, yaitu tubuh dan darah Kristus, dimakan dengan cara rohani. Agustinus juga mengajarkan bahwa sementara tubuh Kristus ada di sorga, Ia hadir dalam diri orang percaya melalui iman:
------------------------------------------------------------------------------ 
38 Aquinas, Summa theol., III.75.1 (italic ditambahkan penulis). 39 Augustine of Hippo, Homilies on the Gospel of John, XXVII.6, dalam P. Schaff (ed.), Gibb & J. Innes (penerj.), NPNF I/7 (New York: Christian Literature Company, 1888), 176. 40 Augustine of Hippo, Letter 98.9, dalam P. Schaff (ed.), J. G. Cunningham (penerj.), NPNF I/1 (New York: Christian Literature Company, 1886), 410. 41 Augustine, Letter 98.9, dalam NPNF I/1, 410.

Christ is always with the Father: in his bodily presence he is henceforth above the heavens, on the right-hand side of the Father; but in his presence of faith, he is in all Christians.42

Ketika Calvin mengajarkan bahwa tubuh Kristus ada di sorga sebenarnya ia hanya mengikuti pandangan Agustinus.43 Calvin juga menegaskan bahwa dengan menambahkan adverb similitudo, Agustinus sebenarnya mengajarkan bahwa Kristus tidak sungguhsungguh berada di bawah roti.44 Dalam bukunya On the Trinity, Agustinus memperkenalkan konsep jejak Tritunggal (vestigia trinitatis) yang salah satunya dapat ditemukan dalam kasih. Dalam kasih ada tiga hal: dia yang mengasihi, yang dikasihi, dan kasih itu sendiri.45 Di sini, jejak Roh Kudus didapati pada kasih yang merupakan pengikat dari Bapa yang mengasihi dan Anak yang dikasihi. Calvin mengembangkan konsep Agustinus bahwa Roh Kudus adalah ikatan dan menerapkannya dalam hubungan antara Kristus dan tubuh-Nya. Dalam bagian awal buku ketiga Institutes, Calvin menyebut Roh Kudus sebagai ikatan yang mempersatukan orang percaya dengan Kristus. Pneumatologi Calvin ini pun diterapkan dalam pandangannya tentang Perjamuan Kudus: Roh Kuduslah yang memastikan bahwa orang percaya sungguhsungguh dipersatukan dengan Kristus pada saat Perjamuan Kudus. Aquinas menganggap pengertian simbolis belaka atas Perjamuan Kudus sebagai pemahaman yang sesat, namun ia masih dapat menyebut sakramen ini “the sign of supreme charity, and the upliter of our hope” jika ditinjau dari perspektif “union of Christ with us.”46 Hal ini sangat mirip dengan Calvin yang mengerti sakramen sebagai tanda, bukan dalam pengertian Zwinglian, melainkan dalam kaitan yang tak terlepaskan 
------------------------------------------------------------------------ 
42 Augustine, Sermon 361. 43 Bdk. Calvin, Institutes, IV.17.26. 44 “For by inserting the adverb of likeness, Augustine makes sufficiently plain that He was not truly or really enclosed under the bread” (Calvin, Institutes, IV.17.28). 45 Augustine, On the Trinity, VIII.10.14, dalam P. Schaff (ed.), NPNF I/3 (Buffalo: Christian Literature Company, 1887), 124. 46 Aquinas, Summa theol., III.75.1.

dengan unio cum Christo. Seperti Calvin, Aquinas juga menggunakan perspektif pneumatologis untuk menjelaskan kehadiran Kristus dalam Perjamuan. “… He [Christ] is present after the manner of a body, that is, as it is in its visible appearance, but not as it is spiritually, that is, invisibly, after the manner and by the virtue of the spirit.”47 Beberapa hal dalam pandangan Calvin sesungguhnya sejalan bukan hanya dengan Luther dan Zwingli, melainkan juga dengan Agustinus dan bahkan Aquinas. Namun, tidak dapat disangkal bahwa Calvin tidak dapat mengikuti doktrin transubstansiasi Aquinas maupun simbolisme Zwinglian. Di atas kita telah mengutip Luther yang mengatakan bahwa kesatuan sakramental bukanlah kesatuan natural atau kesatuan personal. Penulis berpendapat bahwa sekalipun kesatuan roti dan tubuh Kristus ini tidak sama dengan kesatuan dua natur Kristus, namun kita dapat meninjau natur kesatuan ini secara analogis dari perspektif kesatuan dua natur Kristus setidaknya karena beberapa alasan: pertama, Perjamuan Kudus ini membicarakan tentang Pribadi Kristus; kedua, Perjamuan Kudus tidak dapat dipisahkan dari pemahaman inkarnasi Kristus, yaitu Firman yang mengambil natur manusia; ketiga, Perjamuan Kudus menyangkut natur yang kelihatan di satu sisi (roti dan anggur) dan yang tidak kelihatan di sisi yang lain (tubuh dan darah Kristus), sehingga kita bisa mencoba mengerti natur kesatuan ini dari perspektif dua natur Kristus. Sementara Aquinas mengajarkan doktrin transubstansiasi, pandangan Zwinglian memahami Perjamuan Kudus hanya sebagai lambang. Perdebatan tentang kesatuan dua natur Kristus telah diputuskan dalam Konsili Kalsedon: … one and the same Christ our Lord the only-begotten Son of two natures un-confusedly, unchangeably, inseparably indivisibly to be recognized, the peculiarities of neither nature being lost by the union but rather the proprieties of each nature being preserved, concurring in one Person and in one subsistence, not parted or divided into two persons but one and the 
---------------------------------------------------------------------- 
47 Aquinas, Summa theol., III.75.1.

same only-begotten Son of God, the Word, our Lord Jesus Christ.48

Dalam ajaran Aquinas, substansi roti berubah menjadi substansi tubuh Kristus sehingga hanya ada satu substansi di saat Perjamuan Kudus. Sementara menurut Kalsedon, di dalam Pribadi Kristus ada kesatuan dua natur/substansi, bukan satu substansi. Hubungan antara roti dan tubuh Kristus dalam pemahaman transubstansiasi sesungguhnya tidak sejalan dengan pemahaman kesatuan dua natur dalam satu Pribadi Kristus sebagaimana diajarkan dalam Konsili Kalsedon (un-confusedly, unchangeably). Di sisi yang lain, ajaran Zwinglian juga sulit diterima karena jika roti dan anggur hanyalah simbol belaka, maka sesungguhnya tidak ada kesatuan antara lambang dan yang dilambangkan. Pemahaman seperti ini terancam bahaya pemisahan/separasi. Memisahkan antara roti dan tubuh Kristus tidak sejalan dengan pengertian Kalsedon (inseparably). Jika roti hanya sekedar lambang, sementara tubuh Kristus sendiri ada di sorga, maka tubuh dan darah Kristus tidak sungguh-sungguh disajikan kepada kita saat Perjamuan Kudus.49 Calvin mengambil keputusan yang tepat ketika ia menolak baik ajaran transubstansiasi di satu sisi maupun simbolisme Zwinglian di sisi yang lain, karena keduanya sesungguhnya tidak sejalan dengan Konsili Kalsedon. 

Kesimpulan dan Refleksi Kontemporer Mencari jalan tengah di antara perdebatan pandangan yang sudah ada bukanlah hal yang mudah. Ini pun termasuk jalan salib. Apa yang diusulkan tidak tentu diterima sebagai pandangan yang memuaskan pihak-pihak yang sedang bertikai. Justru sebaliknya pandangan tengah yang baru itu mungkin mengalami serangan dan penolakan dari 
------------------------------------------------------------------------- 
48 P. Schaff, & H. Wace (ed.), The Third Council of Constantinople: The Definition of Faith, dalam H. R. Percival (penerj.), NPNF II/14 (New York: Charles Scribner’s Sons, 1900), 345. 49 Istilah lambang di sini tidak digunakan dalam pengertian seperti yang dipakai oleh Ferdinand de Saussure di mana lambang tidak dapat dimengerti sebagai sekedar, melainkan dalam pengertian yang dipakai di dalam zaman Reformasi, terutama oleh Calvin. 

berbagai pihak. Demikianlah yang dialami oleh Calvin dalam usahanya menengahi perdebatan antara kubu penganut Luther dan Zwingli. Sementara Luther menekankan kehadiran Kristus secara nyata (dan secara jasmani) dalam Perjamuan Kudus, Zwingli menolaknya dengan berargumen bahwa tubuh Kristus, sejak Ia terangkat ke sorga, sesungguhnya berada di sorga. Luther percaya bahwa dalam Perjamuan Kudus, orang sungguh-sungguh memakan tubuh dan darah Kristus, sementara Zwingli mengajarkan bahwa Perjamuan Kudus sebenarnya hanyalah peringatan dan bahwa roti dan anggur merupakan simbol atau tanda yang menunjuk kepada tubuh dan darah Kristus. Sudah pada fase awal, Calvin menunjukkan jiwa ekumenisnya dengan berusaha untuk menjembatani kedua pandangan yang berbeda di atas. Ia banyak meminjam istilah yang dipakai oleh Zwingli seperti misalnya instrumen/alat, tanda, dan meterai. Di sisi yang lain, Calvin juga meresepsi pikiran Luther dengan menyebut sakramen sebagai latihan iman yang melaluinya terjadi pertukaran bahagia. Hal ini nyata dalam edisi pertama Institutes. Sementara dalam tulisan awalnya yang lain A Short Treatise on the Holy Supper of our Lord Jesus Christ, Calvin menekankan bahwa substansi dari Perjamuan Kudus adalah Yesus Kristus sendiri. Konsep kehadiran substansial ini sangat dekat dengan pandangan Luther, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Calvin tidak menggunakan istilah substansial dalam pengertian yang sama persis dengan Luther. Calvin, seperti Zwingli, dididik dalam paradigma humanisme yang sangat dipengaruhi oleh paham realisme, sementara Luther dididik menurut paham nominalisme. Dua paradigma yang berbeda ini memberikan dampak yang tidak kecil dalam konsep mereka tentang Perjamuan Kudus. Dengan memperkenalkan penghayatan pendakian mistis, Calvin menghindarkan diri dari spekulasi penyelidikan natur kehadiran Kristus dalam kaitannya dengan roti dan anggur: bukan Kristus yang turun ke bawah, melainkan orang percaya yang diangkat ke atas untuk memandangi wajah Kristus yang bertahta di sorga. Konsep ini memiliki 

implikasi koheren dalam ibadah Reformed: saat ibadah, orangorang percaya diangkat secara mistis untuk bersekutu dengan Kristus dan orang-orang kudus yang ada di sorga. Ibadah, khususnya yang disertai dengan Perjamuan Kudus, merupakan cicipan perjamuan kekal bersama dengan Sang Anak Domba di mana orang-orang percaya akan duduk semeja dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. Karena alasan ini, Perjamuan Kudus sebaiknya dilakukan lebih sering dalam ibadah Reformed sebagaimana juga dianjurkan oleh Calvin. Bagaimana mungkin orang percaya menghalangi berkat yang begitu besar dengan mengurangi frekuensi Perjamuan Kudus, apalagi dengan alasan konyol agar menambah suasana menjadi lebih khidmat? Sumbangsih Calvin yang terpenting mungkin adalah koreksinya terhadap pandangan Zwinglian bahwa roti dan anggur bukanlah sekedar peringatan dan lambang yang kosong belaka dan bahwa Perjamuan Kudus tidak dapat dimengerti hanya berdasarkan penghayatan subyektif saja yaitu berdasarkan iman orang percaya. Iman pribadi memang penting, karena tanpanya Perjamuan Kudus tidak akan membawa manfaat apaapa, bahkan akan mendatangkan hukuman. Namun, Calvin juga menekankan bahwa substansi tubuh dan darah Kristus sungguhsungguh diberikan kepada orang percaya secara obyektif, sehingga partisipasi kita dalam tubuh Kristus sungguh-sungguh nyata. Sekali lagi, ada pemahaman mistis dari Calvin yang agaknya susah diterima oleh kaum Reformed yang cenderung rasionalis. Bahwa pandangan seperti ini agaknya temasuk golongan minoritas dalam Calvinisme belakangan nyata dari kesulitan Charles Hodge untuk menerima konsep kehadiran mistis dalam pandangan Calvin sebagaimana diperkenalkan oleh John Williamson Nevin dalam tulisannya Mystical Presence: A Vindication of the Calvinistic Doctrine of the Eucharist. Mempresentasikan nuansa mistis dalam Perjamuan Kudus bukan saja lebih peka terhadap milieu pascamodern (yang menolak reduksi rasionalisme), melainkan juga lebih setia kepada Firman Kristus. Kristus mengatakan, “daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman” 

(Yohanes 6:55) dan Paulus menulis bahwa roti dan anggur dalam Perjamuan Kudus adalah persekutuan dengan tubuh dan darah Kristus (bdk. 1 Korintus 10:16). Kita tidak mungkin mengerti kedua kalimat ini dalam pemahaman simbolis belaka. Demikian pula dalam perkembangan pandangan Calvin belakangan, ia tetap menekankan pentingnya pemahaman bahwa orang percaya sungguh-sungguh menikmati tubuh Kristus pada saat Perjamuan Kudus (dalam pengertian batiniah/rohani, bukan lahiriah/jasmani). Calvin bersikeras membujuk Bullinger untuk menerima aspek pneumatologis dari kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus: Roh Kuduslah yang memberikan secara batiniah tubuh dan darah Kristus menjadi makanan jiwa orang percaya. Ini berarti melalui Perjamuan Kudus, kita semakin dipersatukan dengan Kristus Sang Kepala dan tubuh-Nya yaitu orang-orang percaya. Dari perspektif historis, Calvin banyak mengikuti pemikiran Agustinus, Luther, Zwingli, dan bahkan ada kemiripan dengan Aquinas. Calvin mengembangkan pneumatologi Agustinus yang mengerti Roh Kudus sebagai ikatan kasih antara Bapa dan Anak menjadi ikatan antara Kristus dan orang percaya. Demikian pada saat Perjamuan Kudus, ikatan partisipatif dari orang-orang percaya di dalam tubuh Kristus sungguh-sungguh nyata karena dikerjakan oleh Roh Kudus sendiri. Sekalipun terjadi perdebatan polemis dengan Westphal, Calvin tidak meninggalkan jiwa ekumenisnya untuk merangkul berbagai pandangan yang ada dan memetakannya dengan seksama. Ekumenisitas Calvin bukanlah kesatuan yang murahan. Ini ditandai dengan sikapnya yang tidak segan untuk menolak pandangan yang dianggapnya tidak sesuai dengan Firman Allah. Pemahaman Calvin tentang Perjamuan Kudus juga lebih setia kepada Konsili Ekumenis Kalsedon jika dibandingkan dengan doktrin transubstansiasi (yang mencampur aduk dua substansi yang berbeda menjadi satu) maupun simbolisme Zwingli (yang cenderung memisahkan roti dari realita tubuh Kristus karena kekuatirannya terhadap pemberhalaan). Calvin mempertahankan pandangan bahwa 


roti bukanlah tubuh Kristus (sebagaimana natur manusia bukanlah natur ilahi) di satu sisi, sekaligus menekankan kesatuan antara roti dan tubuh Kristus di sisi yang lain. Pandangan ini sangat sesuai dengan profil teologi Injil Yohanes yang menggunakan tanda (semeia) yang kelihatan untuk menunjuk kepada realita yang tidak kelihatan yaitu Pribadi Kristus sendiri (bdk. Yohanes 6:26, 35; 11:25, 43-44). Melalui roti dan anggur, kita dibawa kepada realita tubuh dan darah Kristus.REFORMASI, CALVIN, DAN PERJAMUAN KUDUS - Pdt. Billy Kristanto, M.C.S.
Next Post Previous Post