WAJIBKAH ORANG KRISTEN MENGGUNAKAN NAMA YAHWEH (TUHAN)

Pdt.Samuel T. Gunawan 
WAJIBKAH ORANG KRISTEN MENGGUNAKAN NAMA YAHWEH
WAJIBKAH ORANG KRISTEN MENGGUNAKAN NAMA YAHWEH. Kesalahan pertama dari kelompok Yahweisme adalah mewajib orang Kristen menggunakan nama YAHWEH yang sebenarnya tidak diwajibkan dalam Perjanjian Baru berdasarkan prinsip hermeneutik (penafsiran) Alkitab yang sehat. Mereka menyalahkan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) ketika menerjemahkan kata YHWH dengan TUHAN. Sebagai contoh di dalam kejadian 2:4 dikatakan “Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika TUHAN (YHWH) Allah menjadikan bumi dan langit”. Disini jelas LAI menerjemahkan kata “YHWH” dengan “TUHAN”.[1] Menurut Yahweisme, nama YHWH adalah nama diri (personal name), sehingga tidak boleh diterjemahkan. Mereka mengatakan, bahwa nama diri tidak boleh diterjemahkan karena YHWH itu nama diri dan bukan bahasa. Berikut kutipan pernyataan Yakub Sulistyo seorang teolog gerakan Yahweisme yang mengatakan, “Yahweh itu nama diri bukan bahasa, jadi kita bisa dalam bahasa apa saja tetapi nama diri tidak diterjemahkan.. Perjanjian Baru pun mau pakai bahasa apa saja tidak masalah, asal nama Yahweh jangan diubah”.[2] Jadi menurut mereka, Alkitab boleh memakai bahasa apa saja asalkan nama diri YHWH tidak diterjemahkan. Bahkan menerjemahkan nama YHWH ke dalam bahasa lain dianggap menghujat Allah. Karena itu orang Kristen harus menyebut TUHAN dengan namaNya, yaitu YAHWEH (Pelafalan dugaan dari (YHWH). 

Tanggapan saya terhadap kesalahan Yahweisme yang mewajibkan pemakaian nama YHWH ini adalah sebagai berikut. 

1. Jika pertanyaannya “bolehkah menggunakan nama YHWH?” maka jawabannya “ya”. Alasannya karena nama YHWH (TUHAN) adalah salah satu nama Allah dalam bahasa Ibrani yang disebutkan di dalam Alkitab. Sebutan lainnya adalah Elohim (Allah). Dalam Perjanjian Baru (bahasa Yunani) nama YHWH disebut dengan Kurios dan Elohim dengan Theos. Carles C. Ryrie menjelaskan, “Banyak nama Allah di dalam Alkitab memberikan pernyataan tambahan tentang sifatNya. Ini bukan sekedar nama yang diberikan oleh orang, tetapi pada kebanyakan kasus di Alkitab, merupakan penggambaran Allah tentang diriNya sendiri. Nama-nama itu menyatakan aspek-aspek sifatNya.” [3] Karena itu disini saya menegaskan bahwa saya tidak anti nama YHWH dan saya juga tidak melarang orang-orang menggunakan nama YHWH karena nama YHWH itu memang ada di dalam Alkitab yang diperkenalkan kepada Musa dan orang Israel pada saat itu.[4] Tetapi jika pertanyaannya “haruskah menggunakan nama YAHWEH (Pelafalan dugaan dari YHWH) ?” maka jawabannya “tidak diharuskan”. Alasanya mengapa kita tidak diwajibkan memakai nama YAHWEH adalah : (1) YAHWEH adalah transliterasi (pelafalan) yang masih merupakan dugaan dari Tetagramaton YHWH. Jadi memaksa untuk menyebut YHWH dengan YAHWEH adalah sebuah kesalahan yang serius; (2) Orang Yahudi tidak menyebut nama YHWH tetapi menggantinya dengan Adonay; (3) Di dalam Septaguinta (Perjanjian Lama berbahasa Yunani) yang diterjemahkan dari Tanakh (Perjanjian Lama berbahasa Ibrani) oleh 70 Sarjana Yahudi atas perintah Imam Besar Eliaser, sama sekali tidak menggunakan kata YHWH, tetapi menerjemahkannya dengan Kurios. Septaguinta ini diterjemahkan sekitar 200 tahun sebelum Kristus; (4) Yesus dan para rasul dalam Perjanjian Baru tidak menggunakan nama YHWH tetapi menggunakan kata Kurios untuk YHWH. Alasannya karena pada saat itu mereka membaca dan memakai Septaguinta bukan Tanakh. Lagi pula bahasa Yunani Koine merupakan bahasa umum yang diwajibkan untuk digunakan pada masa itu. (5) Semua manuskrip Perjanjian Baru (sebanyak lebih dari 5000 manuskrip) dari abad I - V membuktikan bahwa Perjanjian Baru ditulis memakai bahasa Yunani koine dan tidak satupun memakai kata YHWH tetapi menggantinya dengan Kurios.[5] Jadi pada dasarnya saya sepakat dengan kelompok Yahweisme bahwa orang Kristen boleh memakai nama YHWH, tetapi saya tidak sepakat bila penggunaan itu diwajibkan bagi umat Kristen masa kini karena memang Perjanjian Baru tidak memerintahkan, mewajibkan, ataupun mengindikasikan keharusan tersebut. Justru jika ingin konsisten dengan Perjanjian Baru baru maka nama yang digunakan adalah Kurios yang menunjuk pada YHWH. 

2. Perlu diketahui bahwa nama berkaitan erat dengan pribadi dan bukan hanya kepada nama diri. Dalam kebudayaan orang Yahudi, nama selalu berkaitan erat dengan pribadi. Nama bukan menunjuk kepada nama diri, melainkan berkaitan erat dengan pribadi yang empunya nama itu.[6] Dalam Alkitab nama dapat dirumuskan dalam 3 makna, yaitu: (1) Nama adalah pribadi itu sendiri (Mazmur 20:1); (2) Nama adalah pribadi yang diungkapkan (Amsal 18:10); (3) Nama adalah pribadi yang hadir secara aktif (Mazmur 76:1). [7] Nama YHWH bukan hanya menunjuk kepada nama diri, tetapi menunjuk kepada pribadi yang dinamakan. Dalam Mazmur 20:1 dituliskan seperti ini, “Kiranya TUHAN menjawab engkau pada waktu kesesakan! Kiranya nama Allah Yakub membentengi engkau!” Apakah nama bisa membentengi? Tidak mungkin! Yang membentengi adalah Pribadi yang memiliki nama itu, yaitu Allah sendiri. Ketika amsal 18:10 menuliskan “Nama TUHAN adalah menara yang kuat, kesanalah orang benar berlari dan ia menjadi selamat”. Apakah yang dimaksud bahwa namaNya yang menjadi menara yang kuat ataukah Pribadi YHWH sendiri adalah menara yang kuat? Tentu yang dimaksud bukan nama pribadi tetapi Pribadi Allah sendiri yang menjadi menara yang kuat. Karena itu yang dipentingkan bukan penyebutan nama Ilahi YHWH dalam bahasa Ibrani, melainkan lebih menunjuk kepada Pribadi Allah itu sendiri sebagai Allah yang Mahakekal, Mahahidup, dan menyatakan diri kepada manusia. Hal yang lebih penting adalah makna teologis, bukan sebutan hurufiahnya. Lagi pula nama YHWH bukanlah nama yang diurunkan dari surga! Nama itu sudah diketetahui sebelum Musa, tetapi Tuhan menyatakannya secara langsung kepada Musa, sebagaimana dijelaskan oleh Christoph Barth demikian, “Darimanakah datangnya nama itu? Orang cenderung berpikir bahwa nama Allah seharusnya datang dari surga. Namun, dapat dipastikan bahwa nama itu berakar di dalam bahasa Ibrani. Nama Allah tidak ‘diturunkan dari surga’, Dia sendirilah yang dikatakan ‘turun’ (keluaran 3:8). Ia berkenan menyatakan diri kepada umat Israel. Itu berarti bahwa Ia berkenan menyatakan diri di dalam bahasa yang cocok dengan telinga, hati, dan mulut orang Israel. NamaNya sendiripun ‘berasal’ dari bahasa mereka, ‘terambil’ dari nama-nama yang pernah menjadi biasa dalam pergaulan mereka, di daerah-daerah pengembaraan atau penumpangan mereka. Kita mempunyai alasan kuat (Kejadian 4:26) untuk menduga, bahwa nama YHWH memang ‘berasal’ dari daerah tertentu dan bahwa nama itu telah diikenal – sebagai nama Ilahi! – oleh bangsa-bangsa tertentu di daerah tersebut sebelum orang-orang Israel mulai membiasakannya. Beberapa nas yang tertua di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama mengetahui bahwa Allah dengan namaNya YHWH telah ‘berdiam’ di daerah padang gurun antara Mesir dan Kanaan; Padang Gurun Zin, Padang Gurun Paran dan Padang Gurun Sinai, semuanya merupakan daerah pengembaran suku-suku Arab sepertri Ismail, Amalek, Midian, dan Keni, berikut Pegunungan Seir, daerah orang Edom (Esau, Kejdian 33); terutama beberapa gunung keramat di wilayah yang luas itu – ‘gunung Allah’ (keluaran 3:1; 18:50, Gunung Sinai, Gunung Hoteb dan Gunung Paran, beberapa di antaranya mungkin bertepatan tempatnya – diperkenalkan kepada kita sebagai tempat kediaman YHWH” [8] (Lihat: Ulangan 32:2; Hakim-hakim 5:4-5; Habakuk 3:3,7). Selanjutnya Chistoph Barth menjelaskan bahwa melalui mertuanya Yitrolah Musa belajar mengenal Allah yang bernama YHWH itu, demikian, “Berbicara tentang orang-orang Midian, teringatlah kita kepada tokoh mertua Musa (yang bernama Reguel, Keluaran 2:18; Hobab, Hakim-hakim 1:11 dan 4:11; Hobab bin Reguel, Bilangan 10:29; Yitro, Keluaran 3:1 dan 18:1-12; Yeter, Keluaran 4:18), yang dikatakan berpangkat ‘imam di Midian’ atau ‘imam orang Midian’ (keluaran 2:16; 18:1). Sedang menurut nas-nas lain, ia mengepalai suku keni (Hakim-hakim 1:16; 4:11). Terkadang ia dikatakan orang Midian, terkadang orang Keni, terkadang malahan orang Kusy (Bilangan 12:1). Segala hal yang berbeda-beda ini melihat melihat mertua Musa itu sebagai seorang imam di ‘gunung Allah’ yang keramat, namun yang pasti adalah bahwa melalui Reguel (Yitro) itulah Musa belajar mengenal Allah yang bernama Yahweh. Allah menyatakan diri secara ‘langsung’ kepada Musa (Keluaran 3), tetapi kenyataannya tidak dapat disangkal bahwa nama YHWH telah dikenal lebih dulu oleh suku-suku itulahm- terutama suku Keni/Midian (Bandingkan Keluaran 18) – barulah orang-orang Israel berhubungan dengan Dia yang kemudian berkenan menjadi ‘Allah orang Israel”. [9]

3. Menerjemahkan atau mengganti nama YHWH menjadi Kurios (Yunani), Lord (Inggris) dan TUHAN (Indonesia) seharusnya tidak perlu dipermasalahkan. Namun para penganut Yahweisme bersikeras bahwa mengubah nama Tuhan berarti sama dengan menyebut namanya dengan sembarangan. Biasanya mereka menggunakan Ulangan 20:7 sebagai larangan mengganti nama YHWH tersebut dan berargumen bahwa menyebut nama Tuhan saja tidak boleh dengan sembarangan apalagi menggantinya dengan sembarangan. Namun yang perlu diperhatikan di dalam ayat tersebut ialah larangan menyebut atau mengucapkan nama Tuhan dengan sembarangan, bukan larangan mengubahnya dengan sebutan lain. Ketika Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) mengubah nama YHWH menjadi TUHAN itu tidaklah sama dengan menyebut nama Tuhan dengan sembarangan tetapi LAI telah mengubahnya dengan seksama dan penuh pertimbangan yang dibenarkan secara teologis, karena perubahan tersebut didukung oleh para Rabi Yahudi yang menulis Septaguinta dan para penulis Perjanjian Baru yang mengubah YHWH menjadi Kurios. Yesus maupun rasul-rasul tidak pernah dibagian manapun melarang perubahan tersebut. Bukankan dalam Alkitab ada nama-nama yang diterjemahkan dan diganti ke dalam bahasa lain, misalnya: Nama Ibrani Tabita dalam bahasa Yunani adalah Dorkas (Kisah Para Rasul 9:36a), nama Yunani Petrus dalam bahasa Aram adalah Kefas (Yohanes 1:42; 19:17), nama Yunani Matius dalam bahasa Ibraninya adalah Lewi (Matius 9:9; Markus 2:14; Lukas 5:27); nama Ibrani Baryesus dalam bahasa Yunani Elimas (Kisah Para Rasul 13:6-8): Nama Ibrani Paulus adalah Saulus dalam bahasa Yunani (Kisah Para Rasul 13:9). Di indonesia, saya kenal dengan seorang Indo-China dengan nama Lee (China) dan Rudi nama Indonesianya. Nama-nama tersebut walaupun diterjemahkan atau diganti tetapi menunjuk pada satu pribadi saja. Jadi jika Allah menyingkapkan YHWH sebagai namaNya maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh Yakub. B. Susabda adalah “Dia ingin dikenali umatNya sebagai Allah (Elohim) dari Abraham, Ishak, Yakub yang adalah YHWH (tetagramaton atau empat huruf konsonan yaiti Yod, He, Waw, dab He). YHWH tersebut sebenarnya bukan nama, karena pada saat mula pertama disingkapkan kepada Musa, Yang dikatakan Allah adalan Ehyeh Asher Ehyeh (I am that I am/Aku adalah Aku) itulah namaKu. Jadi, YHWH adalah identitas pribadi Allah yang begitu independen tak terpahami dan tidak terbandingkan sehingga YHWH bukan nama. Umat Israel tidak pernah berani menyebut nama YHWH secara verbal... Dalam Perjanjian Lama, sebutan YHWH sering kali diganti dengan Adonai”.[10] Selanjutnya Yakub B. Susabda menambahkan, “Setelah Tuhan Yesus Kristus menyelesaikan secara sempurna karya penebusanNya, Dia dikaruniakan kepadaNya nama di atas segala nama dan semua lidah akan mengaku bahwa Yesus adalah TUHAN (YHWH) yang adalah cahaya kemuliaan Allah, kemuliaan Bapa (Filipi 2:9-8). Diluar Kristus Yesus yang adalah YHWH, Allah Bapa tidak pernah dapat dikenali dan dipermuliakan oleh manusia. Kristus Yesus sendiri tidak pernah memanggil Allah dengan sebutan YHWH. Dalam doaNya, Dia memanggil Allah dengan sebutan ELOI atau AllahKu (Matius 27:46)”[11]

4. Menurut Alkitab, nama YHWH bukanlah satu-satunya nama diri. Loius Berkhof menjelaskan bahwa Allah mempunyai banyak nama, tidak hanya satu nama, “Nama-nam Allah membawa kesulitan-kesulitan bagi pemikiran manusia. Allah adalah Ia yang tak dapat sepenuhnya dipahami, yang ditinggikan secara tidak terbatas di atas segala sesuatu yang terbatas; akan tetapi di dalam nama-namaNya Ia turun kepada semua yang terbatas, dan menjadi seolah-olah setara dengan manusia. Disatu pihak kita tidak dapat menamai Dia, dan di lain pihak Ia mempunyai banyak nama”.[12] Sebenarnya Allah tidak terbatas oleh apapun apalagi oleh sebuah nama, oleh huruf-huruf atau kata-kata ucapan manusia. Ketika Musa bertanya soal namaNya, Ia menjawab “Ehyeh esyer Ehyeh” atau “Aku adalah Aku” (Keluaran 3:13-14). Sungguh suatu keagungan dan kesempurnaan Allah yang tidak terbatas oleh apapun di dunia ini. Namun, agar manusia bisa mengenalNya dengan lebih konkret dan spesifik, Allah rela memperkenalkan diriNya dengan berbagai nama. Itupun, nama-nama yang dikaitkan dengan natur dan sifat-sifatNya dalam keterbatasan bahasa manusia. [13] Menurut Charles C. Ryrie, “Nama utama yang kedua bagi Allah adalah nama Pribadi, YHVW, Tuhan atau Yahweh. Ini adalah nama yang paling sering dipakai, tercatat kira-kira 5.321 kali dalam Perjanjian Lama”.[14] Selain itu, nama utama yang pertama untuk Allah disebutkan oleh Ryrie adalah “Elohim”. Menurut Ryrie, istilah “Elohim” dalam pengertian umum Keallahan terdapat sekitar 2.570 kali dalam Perjanjian Lama. Kira-kira 2310 istilah ini digunakan bagi Allah yang benar. Pertama kali disebutkan dalam ayat pertama Alkitab (Kejadian 1:1). Namun kata ini juga dipakai untuk menunjuk kepada keallahan palsu dalam Kejadian 35:2,4; Keluaran 12:12; 18:11; 23:24.[15] Elohim adalah sebuah bentuk jamak, adalah khas Perjanjian Lama dan tidak muncul dalam bahasa Semitik yang lain”.[16] Menurut Hebert Wolf, “Kata Elohim ini sepadan dengan kata bahasa Ugarit “El” atau kata bahasa Akadia “Ilu”. Kata Elohim ialah kata yang dipergunakan diseluruh Kejadian pasal 1 yang menekankan karya Allah sebagai Pencipta. Kata Elohim ni sebenarnya berbertuk jamak, tetapi secara terus menerus dipakai bersama-sama dengan sebuah kata kerja tunggal. Para sarjana sudah menjelaskan bahwa ini adalah bentuk jamak yang menunjukkan keagungan atau rasa hormat”. [17] Paul Enns mengatakan bahwa nama Elohim berasal dari nama singkatan “El” yang kemungkinan besar memiliki akar kata yang berarti “menjadi kuat” (Kejadian 17:1; 28:3; 35:11 Yosua 3:10) atau “menjadi yang utama”.[18] Telah disebutkan di atas bahwa nama pertama utama untuk Allah di dalam bahasa Ibrani adalah Elohim, merupakan variasi bentuk jamak dari kata EL [19] dimana nama EL merupakan bentuk yang paling sederhana yang dengannya Allah disebut dalam Perjanjian Lama.[20] EL ini dipakai sebagai nama generik dan nama diri.[21] Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “Allah” atau “Allah Yang Mahatinggi”, misalnya “Akulah Allah (El) yang dibetel itu (Kejadian 31:13), atau “Allah (Elohim) Israel ialah Allah (El)” (Kejadian 33:20). Kata El ini digunakan sebagai nama diri yang spesifik ketika digabungkan dengan istilah lain misalnya: El Shaddai (Allah Yang Mahakuasa - Kejadian 17:1); El Kana (Allah Yang Cemburu - Keluaran 20:5); El Elyon (Allah Yang Mahatinggi - Kejadian 14:18,22); El Olam (Allah Yang Kekal, Yang Misterius, Yang Menyatakan DiriNya – Kejadian 21:33); El Roi (Allah Yang Mahamemelihara - Kejadian 16:13; Mazmur 23:1); dan El De’ot ( Allah yang Mahatahu - 1 Samuel 2:3). Selain Elohim, nama Eloah juga merupakan variasi dari kata El. Panggilan ini diterjemahkan juga dengan Allah, dipakai untuk menunjuk kepada Allah yang berbentuk tunggal (Misalnya, Ulangan 32:15; Mazmur 18:32.[22]

5. Perlu diketahui bahwa di dalam Septaguinta para sarjana Yahudi telah mengubah nama YHWH dan menggantinya dengan Kurios.[23] Septaguinta adalah Perjanjian Lama berbahasa Yunani merupakan terjemahan dari Tanakh Ibrani (naskah Perjanjian Lama berbahasa Ibrani; Tanakh merupakan singkatan dari Torah, Nevi'im dan Ketuvim) ditulis di Alexandria, Mesir antara tahun 250 – 150 SM,[24] Di revisi tiga orang Yahudi (Akwila, Symmachus, Theodotiaon) dan tiga orang Kristen (Hesychian, Hexaplaric, Lucianic).[25] Pada saat itu Raja Ptolomeus II memerintahkan agar kitab Suci Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani untuk kepentingan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani di Aleksandria.[26] Septuaginta atau dikenal dengan istilah LXX (angka Romawi tujuh puluh) karena diterjemahkan oleh sekitar 70 orang Yahudi berbahasa Yunani. Septuaginta adalah terjemahan tertua dan terpenting dari Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani. Nama Septuaginta berasal dari legenda yang diwariskan dalam surat Aristeas. Di dalam legenda itu disebutkan bahwa 72 orang Yahudi menyelesaikan terjemahannya selama 72 hari. Septuaginta dibuat di Aleksandria untuk memenuhi kebutuhan orang Yahudi diaspora, yang berbicara bahasa Yunani. Semula diterjemahkanlah Pentateukh (pertengahan abad 3 sebelum Masehi), kemudian secara lambat laun diterjemahkan pula kitab-kitab Perjanjian Lama lainnya (sampai menjelang tahun 100 sebelum Masehi). Terjemahan Septuaginta segera digunakan menjadi Alkitab resmi dalam Yudaisme helenis di dalam sinagoge-sinagoge. Grant R. Osbone menyatakan, “Berkenaan dengan Perjanjian Baru, sumber aslinya telah hilang, dan harus dibangun kembali melalui kritik teks. Namun septuaguinta tetap menjadi Alkitab utama di abad pertama, yang diterima bahkan di Palestina, dan banyak sekali kutipan Perjanjian Baru berasal dari Septaguinta. Misalnya dari delapan puluh kutipan dalam Matius, tiga puluh berasal dari Septuaginta. Namun semuanya dalam ucapan langsung Yesus dan Yohanes Pembaptis, meninggalkan kesan bahwa Yesus menggunakan Septuaginta. Hal yang serupa juga terlihat dari ucapan-ucapan dalam kisah Para Rasul. Bahkan surat rasuli yang paling bersifat Yahudi (Ibrani dan Yakobus) menggunakan septuaginta secara menyeluruh” [27] lebih lanjut Grant R. Osbone menyatakan, “Sebagai kesimpulan, gereja mula-mula menggunakan Septuaginta secara luas sebagai sumber kutipan, namun kanon mereka secara umum adalah dua puluh empat (=tiga puluh sembilan) Kitab Perjanjian Lama yang diterima”.[28] Yesus, para rasul, dan para penulis Perjanjian Baru lebih suka mengutip Perjanjian Lama dari Naskah Septaguinta ini. Gleason L. Archer menjelaskan, “Alasan untuk menggunakan Septaguinta berasal dari jangkauan pengabaran Injil oleh para utusan Injil dan para rasul pada zaman gereja mula-mula. Septaguinta telah menemukan jalan masuk ke setipa kota di lingkup kekaisaran Romawi ke mana bangsa-bangsa Yahudi terserak. Sebenarnya ini merupakan bentuk satu-satunya dari Perjanjian Lama yang dimiliki orang-orang percaya Yahudi yang tinggal di di luar daerah Palestina, dan pasti juga merupakan satu-satunya bentuk yang tersedia bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi yang beralih kepada kepercayaan Yahudatau kepada agama Kristen... Para rasul dan rekan kerja Yahudi mereka dari Palestina mungkin sudah cukup terdidik untuk membuat terjemahan asli mereka sendiri dari teks asli berbahasa Ibrani. Namun, tentu keliru kalau menggantikan bentuk Perjanjian Lama, yang telah berada di tangan para umat mereka dengan salinan mereka sendiri yang lebih bersifat harafia. Mereka benar-benar hampir-hampir tidak punya pilihan selain sebagian besar mengikuti Septaguinta dalam semua kutipan mereka tentang Perjanjian Lama. [29] Karena itu, sangat penting untuk diketahui bahwa Yesus tidak pernah sama sekali memprotes penggantian nama YHWH menjadi Kurios yang dilakukan oleh para sarjana Yahudi dalam naskah Septaguita yang dipakai secara luas pada saat itu. Septaguinta inilah yang dipakai oleh Yesus dan Para Rasul, serta penulis Perjanjian Baru sebagai acuan ketika mengutip Perjanjian Lama dalam tulisan-tulisan mereka.

6. Tuhan Yesus dan Penulis Perjanjian Baru tidak mempertahankan pemakaian kata YHWH. Bahkan Tuhan Yesus dan para rasul serta penulis Perjanjian Baru bukan hanya menerjemahkan nama YHWH melainkan juga mengganti nama YHWH itu dalam Perjanjian Baru. Misalnya dalam Yesaya 61:1-2 dituliskan : ”Roh Tuhan ALLAH (YHWH) ada padaku, oleh karena TUHAN (YHWH) telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN (YHWH) dan hari pembalasan Allah kita, untuk menghibur semua orang berkabung”. Pada waktu Penulis Perjanjian baru mengutip kembali Yesaya 61:1-2 ini, Lukas memberikan perubahan nama YHWW menjadi Kurios (Lukas 4:18-19) bahkan kata YHWH diganti menjadi Ia (Lukas 4:18). Lukas 4:18-19, “Roh Tuhan (Kurios) ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan (kurios) telah datang.” Contoh lain adalah dimana ketika Tuhan Yesus mengutip Ulangan 8:3 “Jadi Ia merendahkan hatimu, membiarkan engkau lapar dan memberi engkau makan manna, yang tidak kaukenal dan yang juga tidak dikenal oleh nenek moyangmu, untuk membuat engkau mengerti, bahwa manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi manusia hidup dari segala yang diucapkan TUHAN”. Pada waktu Tuhan Yesus dicobai, Tuhan Yesus mengutip kembali Ulangan 8:3 . Perhatikan perubahannya dalam Injil Matius dan Lukas. Matius 4:4, “Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Theou)." Lukas 4:4, “Jawab Yesus kepadanya: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja." Jadi Matius menceritakan bahwa Yesus mengubah kata YHWH menjadi Theou sedangkan Lukas menghilangkan kata YHWH itu. Masih banyak lagi contoh-contoh seperti itu (Ulangan 6:13 bandingkan Matius 4:10/Lukas 4:8; Mazmur 110:1 bandingkan Matius 22:44/Markus 12:36/Lukas 20:42-43/Kisah Para Rasul 2:34-35; Ulangan 6:5 bandingkan Matius 22:37/Markus 12:30/Lukas 10:27). Kelompok Yahweisme ini memaksakan untuk mengembalikan kata YAHWEH (sekali lagi, Yahweh adalah pelafalan dugaan dari YHWH) dalam Perjanjian Baru, padahal teks asli dari Perjanjian Baru sendiri tidak mempertahankan kata asli YHWH ini. Apakah Yahweisme dengan mekamaksakan pelafalan Yahweh bagi nama YHWH merasa lebih berotoritas daripada Yesus, rasul rasul dan penulis Perjanjian Baru yang tidak lagi memakai kata YHWH dalam tulisan-tulisan mereka? Karena itu ketika Yahweisme menyalahkan Lembaga Alkitab Indonesia dan gereja-gereja yang memakai kata Tuhan untuk YHWH, maka itu artinya mereka juga menyalahkan Para Rabi Yahudi (yang menerjemahkan Septeguinta), Tuhan Yesus dan para rasul yang telah mengganti kata YHWH menjadi Kurios. Ini juga berarti Yahweisme mengabaikan Septaguinta dan Perjanjian Baru. Atau dengan kata lain, Yahweisme ini tidak mengakui otoritas Perjanjian Baru yang di inspirasikan oleh Roh Kudus.[30] Jika mereka memahami ini, namun dengan sengaja mengabaikan apa yang dinyatakan Perjanjian Baru, maka mereka bukan hanya telah melakukan kesalahan melainkan sudah mengarah kepada kesesatan karena melawan otoritas Perjanjian Baru sebagai dasar pengajaran bagi Kekristenan.

7. Perlu diketahui, tidak seorang pun yang tahu mengucapkan kata YHWH dengan tepat.[31] Herbert Woft menjelaskan, “Cara mengucapkan yang tepat untuk nama ini tidak jelas; Hanya empat konsonan YHWH, diberikan dalam Alkitab bahasa Ibrani”.[32] Sejak Tetagramaton tidak diucapkan, melainkan dibaca dengan kata “Adonay (Tuhan) atau Ha Syem (Sang Nama), pembacaan sebenarnya dari YHWH itu tidak diketahui lagi, sampai abad ke 16 M para ahli mulai mengemukakan berbagai teori. Tetagramaton untuk pertama kalinya tercantum dalam Alkitab bahasa Inggris karya William Tyndale (1525 M). Tyndale membaca “IeHoVaH” dimana konsonan YHWH dibaca dengan vokal atau huruf hidup “AdOnAy”. Pola ini diikuti kemudian oleh Miles Coverdale’s (1560 M), The Bishop’s Bible (1568 M) dan The Authorized Version (1611 M), meskipun secara umum memakai terjemahan The Lord, tetapi mencantumkan “IeHoVaH” dibeberapa tempat. Akhirnya pengucapan “Jehovah” baru muncul dalam King James Version tahun 1762-1769 M. Karena itu, kita juga tidak harus menggunakan kata YHWH (apalagi melafalnya dengan Yahweh) karena sebenarnya kata Yahweh itu hanyalah dugaan dari pelafalan tetagramaton YHWH yang belum tentu tepat pengucapannya menurut aslinya ketika diperkenalkan kepada Musa dan bangsa Israel pada saat itu.[33] Bahasa Ibrani tidak mempunyai huruf hidup dan dalam penulisannya semuanya memakai huruf mati. Musa sendiri tentu saja bisa membaca kalimat YHWH itu. Mengapa? Karena ia sendiri mendengar langsung dari Tuhan bagaimana ucapan YHWH (Keluaran 3:14-15). Musa tentu mengajarkan pengucapan ini kepada bangsa Israel pada saat itu. Bangsa Israel saat itu juga pasti mengajarkannya kepada anak cucu mereka. Namun pada tahun 6 SM bangsa Israel sangat takut mengucapkan nama itu. Mereka menafsirkan secara berlebihan larangan untuk menyebut nama Tuhan dengan sembarangan. Karena itu mereka mengganti nama YHWH dengan Adonay. Setiap kali mereka menemukan kata YHWH dalam Alkitab mereka menyebutnya Adonay. akhirnya mereka sendiri tidak lagi tahu bagaimana mengucapkan dengan tepat kata YHWH ini. Kalau huruf mati yang lain dalam bahasa Ibrani tetap bisa dibaca dan diucapkan oleh orang Ibarni, itu karena mereka memakainya sehari hari. Namun YHWH ini sudah ratusan tahun tidak dipakai, sehingga tidak ada lagi yang tahu bagaimana mengucapkannya dengan tepat. Pengucapan orisinilnya sudah hilang dan dilupakan. Lalu mengapa muncul ucapan YAHWEH? Ucapan YAHWEH ini hanya bisa diduga-duga dan ahli-ahli Ibrani mengusulkan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda-beda. Pada umumnya YHWH sekarang diucapkan YAHWEH berdasarkan teks-teks Yunani dan Amorit kuno yang punya rumusan nama itu yang mirip YAHWEH.[34] Empat kombinasi konsonan YHVH itu jika dibubuhi vokal akan menjadi aneka ragam kombinasi, antara lain: YAHAVAH, YAHAVEH, YAHAVIH, YAHAVOH, YAHAVUH, YAHEVAH, YAHEVEH, YAHEVIH, YAHEVOH, YAHEVUH, YAHIVAH, YAHIVEH, YAHIVIH, YAHIVIH, YAHIVUH, YAHOVAH, YAHOVEH, YAHOVIH, YAHOVOH, YAHOVUH, YAHUVAH, YAHUVEH, YAHUVIH, YAHUVOH, YAHUVUH. Jadi kata YAHWEH sebagai pengucapan dari aksara Ibrani יהוה itu, sekali lagi, sebenanya hanya dugaan. Huruf vokal apakah yang ada di antara empat konsonan (huruf mati) kata sakral YHVH sehingga harus dibaca YAHWEH?[35] Ironisnya, para penganut Yahweisme dalam prakteknya, mengucapkan YHWH secara berbeda-beda, yaitu : YahVeh, Yahh, Yahweh, Iahueh, Yahwah, Yaohu, Yahuwah, Yahuah, masih banyak lagi.[36] Kalau ucapan YHWH saja diucapkan secara tidak seragam, tidak tepat, dan berbeda satu sama lainnya, lalu bagaimana mungkin masih tetap memaksa dan mewajibkan mengucapkan kata itu? Kalau Tuhan memang mengharuskan kita memakai dan memanggil namaNya dengan YHWH , lalu mengapa Dia tidak menjaga agar sebutan terhadap namaNya itu tidak hilang dan hanya menjadi dugaan saja saat ini? Kita perlu mengingat bahwa ketika Tuhan Yesus mengajarkan doa Bapa kami kepada murid muridNya, Dia tidak mengajarkan seperti ini, “YHWH kami yang ada di sorga” Dia mengajarkan seperti ini, “Bapa Kami yang di sorga”. Tuhan Yesus saja tidak mengharuskan kita berkomunikasi dengan Allah dengan memakai kata YHWH. Lalu mengapa Yahweisme begitu giat mengharuskannya? Ada apa gerangan dibalik pemkasaan ini? Adakah agenda lain yang dirancang dibalik skenario mewajibkan penggunaan nama Yahweh ini? Mungkinkah ini merupakan langkah mundur dalam Kekristenan untuk menggiringnya ke legalisme tradisi Yahudi ataupun tradisi rabinik Yudaisme? Ringkasnya, keharusan mengembalikan dan mewajibkan pemakaian kata TUHAN menjadi YAHWEH, sangatlah tidak tepat dan tidak Alkitabiah.

DAFTAR PUSTAKA:

[1] Lembaga Alkitab Indonesia tidak hanya menerjemahkan kata YHWH menjadi TUHAN. Tetapi juga menerjemahkan kata Elohim menjadi Allah, Adonai menjadi Tuhan. Pemakaian kata TUHAN paling sering dipakai untuk menerjemahkan YHWH, sedangkan kata ALLAH hanya muncul pada saat ada kata Adonai YHWH. Karena itu di dalam Perjanjian Lama kita seringkali menjumpai kata : TUHAN, Tuhan, ALLAH, Allah. Keempat kata ini merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani ke bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Namun kelompok Yahweisme menyalahkan penerjemahan kata YHWH, Elohim dan Adonai ini. Misalnya sebagai contoh perhatikan ayat-ayat berikut ini. “Pada mulanyaAllah (Elohim) menciptakan langit dan bumi” (Kejadian 1:1). “Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika TUHAN (YHWH) Allah (Elohim) menjadikan bumi dan langit” (Kejadian 2:4). “Abram menjawab: ‘Ya Tuhan (Adonai) ALLAH (YHWH), apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu” (Kejadian 15:2).

[2] Asali, Budi., 2008. Keharusan Menggunakan Nama Yahweh dan Larangan Menggunakan Kata Allah, pdf 1, Seminar GKRI Golgotha: Surabaya, hal. 6-7.

[3] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta, hal. 60.

[4] Ungkapan dalam bahasa Ibrani “ehyeh asyer ehyeh” dalam Keluaran 3:14 yang diterjemahkan “Aku adalah Aku” yang secara harafiah berarti “Aku (akan) ada yang Aku (akan) ada”. Para ahli sepakat bahwa kata kerja “ada” merupakan bentuk kekinian atau keakanan dalam arti “ada”, merupakan lawan dari “tidak ada”. Kata kerja “ada” ini juga berarti “ hadir sebgai Dia yang menyertai, mengadakan, dan bertindak”. Ungkapan “Aku adalah Aku” ini merupakan contoh cara bicara yang menerangkan sesuatu dengan menunjukkan kembali kepada hal itu sendiri. Cara itu dipakai bila pembicara tidak ingin atau tidak mampu membuat hal itu lebih jelas. Karena itu, cara tersebut dapat menyatakan sesuatu yang belum tentu, tetapi juga menyatakan keseluruhan atau ketegasan. Ungkapan “Aku akan memberi kasih karunia kepada siapa yang Kuberi kasih karunia dan mengasihi siapa yang Kukasih (Keluaran 33:19) berarti “Sesungguhnya Aku adalah Dia yang penuh kasih karunia dan belas kasihan”. Sejalan dengan itu, maka ungkapan “Aku adalah Aku” berarti “Sesungguhnya Aku adalah Dia yang ada”. Keberadaan ini bukanlah keberadaan metafisik, sebagaimana dalam pernyataan filosofis, tetapi keberadaan yang akstif “Akulah Dia yang ada disini (demi kamu), benar-benar hadir, siap untuk menolong dan bertindak”. Dengan mengungkapkan namaNya YHWH, Allah hendak menyatakan bahwa Ia telah membuka hakikat keberadaanNya kepada manusia, Ia membiarkan orang untuk menghampiriNya dalam persekutuan dengan Dia dan menyatakan diriNya sebagai penyelamat. Bentun nama YHWH itu sendiri dalam keluran 3:15 dan hubungannya dengan keterangan “Aku adalah Aku” dalam ayat 14. Dalam ayat 14 nama itu mempunyai bentuk orang ketiga tunggal, berasal dari kata kerja “haya “ada” yaitu “dia ada”. Tetapi ketika berbicara tentang diri Allah, Allah tidak mengatakan “Dia ada” melainkan “Aku ada”. Orang-orang lain bila berbicara tentang Allah harus berkata “Dia ada”. (lihat: Barth, Christoph., 2008. Teologi Perjanjian Lama 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 156; LaSor, W.S, D.a Hubard, D.W. Bush., 2014. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 196-197; Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 29-31).

[5] Lihat penjelasan pada bagian 2 tulisan ini yang menjelaskan dan menyajikan bukti-bukti bahwa asli Perjanjian Baru ditulis dalam Bahasa Yunani.

[6] Perlu diketahui bahwa dalam Perjanjian Lama, nama bukanlah semata-mata untuk mebedakan seseorang dari orang lain, tetapi berkaitan erat dengan keberadaan orang itu. Nama seseorang mewakili sifat maupun kepribadiannya. Mengetahui nama seseorang berarti memiliki suatu hubungan yang dalam sekali dengan dia (LaSor, W.S, D.a Hubard, D.W. Bush., 2014. Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 192-193).

[7] Noorsena, Bambang., 2005. The History of Allah. Penerbit Andi: Yogyakarta, hal 18-22. 

[8] Barth, Christoph., 2008. Teologi Perjanjian Lama 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 154-155.

[9] Ibid, hal. 155.

[10] Susabda, Yakub B., 2010. Mengenal dan Bergaul Dengan Allah. Penerbit Andi Offset: Yogyakarta, hal. 201-202.

[11] Ibid, hal. 202-203.

[12] Berkhof, Louis., 2011. Systematic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 68.

[13] Fances, Eddy., 2005. Murid Yesus, Jilid 1. Penerbit Yayasan Sinar Nusantara: Jakarta, hal. 156.

[14] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal 62.

[15] Ibid, hal. 60.

[16] Ibid, 61.

[17] Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, 28-29.

[18] Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 213.

[19] Fances, Eddy, Murid Yesus, Jilid 1, hal. 157.

[20] Berkhof, Louis., Systematic Theology. Jilid 1, hal. 70.

[21] Fances, Eddy, hal. 157.

[22] Jadi di dalam Perjanjian Lama (Tanakh) kita menjumpai variasi nama-nama ilahi seperti EL/ELOAH/ELOHIM yang umumnya dikenal sebagai common noun (kata generik), serta YHWH angg umumnya dikenal sebagai proper noun (nama diri). Jika mencermati penggunaannya dalamm Perjanjian Lama (Tanakh) kata EL/ELOAH/ELOHIM dalam teks tertentu dapat juga dipahami sebagai nama diri sesuai konteks yang ada (Misalnya Kej 33:30). Demikian pula nama diri YHWH digunakan nama pengganti seperti Adonai atau pun Ha Shem.

[23] Menurut Linwood Urban, “Hingga sekitar 200 SM sudah menjadi kebiasaan agar tidak pernaa mengucapkan nama yang sebenarnya dari Allah dalam Kitab Suci, Yahweh, dan sebagai gantinya selalu menyebut Adonai atau Tuhan (Lord). Kebiasaan yang bersifat tetapt ini, pada tahun 200 SM diperlihatkan oleh Septuaginta, terjemahan kitab Suci Ibrani dalam bahasa Yunani yang tidak mentransliterasi kata Yahweh, tetapi menggantinya dengan kata Yunani Kurios untuk Tuhan”. (Urban, Linwood.,2006. Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen. Terjemahan, Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 10.

[24] Enns, Paul., 2004. The Moody Handbook of Theology, jilid 1. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 186.

[25] Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 390).

[26] Wahono, S. Wismoady., 2011. Disini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 268.

[27] Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 390.

[28] Ibid.

[29] Archer, Gleason, L., 2009. Encyclopedia Of Bible Difficulties. Terjemahan, Penebit Gandum Mas : Malang, hal. 524.

[30] Gary Mink ,www.sacrednamemovement.com.

[31] Noorsena, Bambang., 2006. The History of Allah. Penerbit Andi: Yogyakarta, hal. 192-193.

[32] Wolf, Herbert., 2004. Pengenalan Pentateukh. Terjemahan, penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 29).

[33] Ucapan YEHOVÂH berasal dari kata YHVH dibubuhi vokal 'ADONÂY oleh para ahli Masora yang juga tidak mengetahui bagaimana pengucapan yang benar. Banyak yang hanya menebak atau menduga bahwa empat huruf ini dibunyikan YAHAVAH, YEHUWA, YAHEVEH, YAHUWEH, YAHAVEH, dan seterusnya, jadi semuanya hanya menduga sehingga akhirnya baik YEHOVÂH maupun YAHWEH hanyalah merupakan nama "dugaan". 

[34] Jacobs, Tom., 2005. Alkitab dalam Konteks Lintas Bahasa & Budaya.. Lembaga Alkitab Indonesia: Jakarta, hal. 53.

[35] Ada suatu tulisan menarik, yang tentu saja harus dibuktikan kebenarannya. Tulisan ini menyatakan bahwa tahun 1567 seseorang bernama Genebrardus menemukan bahwa nama "dugaan" tadi adalah IAHVE, JAHVE (Chronographia, Paris, 1567). Bagaimana kisahnya? Ternyata Genebrardus meminjam istilah Klemen dari Aleksandria dari kalangan Platois Gnostik, ejaan Yunani dari nama dewa Zeus yaitu IAOVE, yang juga dikenal sebagai JOVE, dewa Yupiter Romawi. Ejaan IAOVE ini diubah menjadi YAOVE kemudian menambah huruf H dan membuang huruf O sehingga menjadi YAHVE. Agar penemuannya ini ada dukungannya, ia mengutip pula Alkitab Samaria yaitu kata IABE. Diubahnya menjadi YABE, dan terakhir mengubah B menjadi V sehingga menjadi YAVE, tinggal disesuaikan dengan empat huruf sakral YHVH yakni menambah dua huruf H di tengah dan di akhir kata, jadilah YAHVEH. Jika ingin baca selengkapnya, kunjungi saja http://jesus-messiah.com

[36] Gary Mink,www.sacrednamemovement.com
Next Post Previous Post