MENGENAL LOGIKA (PENGERTIAN, HUKUM DAN SYARAT)
Pdt.Samuel T. Gunawan.
Logika pertama kali dikembangkan secara sistematis oleh Aristoteles dalam bukunya yang berjudul “Organon”. Dalam buku tersebut Aristoteles menjelaskan bahwa untuk suatu pikiran yang benar maka diperlukan instrumen atau alat. Instrumen atau alat itu adalah logika. Jadi di dalam buku tersebut Aristoteles mengembangan rumusan-rumusan logika yang saat ini dikenal dengan istilah “logika aristotelian” atau “logika klasik”.
Ini tidak berarti bahwa sebelum Aristoteles tidak ada kaidah-kaidah berpikir logis. Diketahui bahwa di negara-negara Timur Kuno, seperti Mesir, Babilonia, India, dan Tiongkok yang mempunyai kebudayaan yang tinggi keberadaan berpikir secara logis tidak perlu diragukan lagi, hanya saja belum diatur secara sistematis. Aturan berpikir logis tersebut baru terwujud dengan usaha sisteminasi dari Aristoteles.[1] Pada akhir abad ke 19, oleh Geoge Boole logika klasik dikembangkan menjadi logika modern sehingga saat ini logika telah menjadi bidang pengetahuan yang sangat luas dan tidak hanya dibatasi pada filsafat tetapi juga pada pengetahuan yang bersifat teknis dan ilmiah.[2]
Logika klasik berfungsi untuk mengemukakan sesuatu itu benar apabila langkah-langkah yang diambil itu benar. Langkah-langkah ini terdiri dari kalimat-kalimat atau proposisi-proposisi yang terdiri dari suatu subjek dan suatu predikat.
Perhatikan contoh berikut: “Semua orang Kristen yang dilahirkan baru, menerima Yesus sebagai Juruselamat (A); Markus orang Kristen yang dilahirkan baru (B); Jadi Markus adalah orang Kristen yang menerima Yesus sebagai Juruselamat (C)”. Yang disebut subjek dalam kalimat ini adalah “semua orang Kristen” dan “Markus”, sedangkankan predikatnya adalah “dilahirkan baru” dan “menerima Yesus sebagai Juruselamat”.
Argumentasi yang terdiri dari tiga kalimat ini dalam logika klasik adalah: Kalimat A dan B disebut “premis-premis” dan kalimat C disebut “kesimpulan”. Fungsi logika adalah untuk menyelidiki syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh premis-premis untuk mendapatkan kesimpulan yang dianggap absah.[3]
1. Pengertian Logika
Istilah “logika” berasal dari kata Yunani “logikos” yang berasal dari kata benda “logos” yang berarti “sesuatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal atau pikiran, atau kata-kata pembicaraan yang berkenaan dengan bahasa”. Jadi secara etimologis logika berarti “suatu pertimbangan akal atau pikiran yang diutarakan lewat kata-kata dan dinyatakan dalam bahasa”.[4]
Aristoteles menyatakan bahwa “logika merupakan alat yang harus ada untuk menusia berpikir dan berkomunikasi”.[5] Louis O Kattsof menyatakan “logika ialah ilmu pengetahuan mengenai penyimpulan yang lurus (absah). Ilmu pengetahuan ini menguraikan tentang aturan-aturan serta cara-cara untuk mencapai kesimpulan, setelah didahului oleh suatu perangkat premis”.[6]
Paulus Daun menyebutkan berbagai pengertian dan definisi tentang logika antara lain sebagai berikut: “Sahakian memberikan definisi logika sebagai pengkajian untuk berpikir secara valid (sah). Hamersma memberikan pengertian logika sebagai cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berpikir, aturan-aturan mana yang perlu dihormati supaya pernyataan-pernyataan dianggap sah. Sutristo dan Hardiman memberi pengertian logika sebagai kerangka atau peralatan teknis yang diperlukan manusia supaya penalarannya berjalan dengan tepat”.[7]
W. Puspoprojo dan Ek. T. Gilarso menyatakan bahwa “logika adalah ilmu dan kecakapan menalar, berpikir dengan tepat (the science and art of correct thinking)”. Yang dimaksud dengan berpikir adalah kegiatan akal untuk mengolah pengetahuan yang diterima melalui panca indera dan ditunjukkan untuk mencapai kebenaran.
Jadi istilah berpikir merupakan suatu kegiatan akal yang khas dan terarah. Berpikir dengan tepat berarti berpikir sesuai dengan norma atau aturan-aturan. Sedangkan yang dimaksud dengan kecakapan adalah kemampuan menerapkan norma atau aturan-aturan pemikiran dengan tepat sehingga menghasilkan kesimpulan yang benar dan sehat.[8]
Lasiyo & Yuwono mendefinisikan logika sebagai “cabang filsafat tentang berfikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui adanya aturan-auran tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan-kesalahan dalam mengambil kesimpulan”.[9] Asmoro Achmadi menyebutkan, “logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari segenap asas, aturan dan tata cara penalaran yang betul (correct reasoning). Pada mulanya logika sebagai pengetahuan rasional (episteme)”.[10] Ringkasnya, logika adalah proses penalaran atau penyimpulan untuk mendapatkan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
2. Hukum-hukum Logika
Rick Cornish menyatakan bahwa “pilar-pilar yang mendasar untuk pemikiran, pencarian kebenaran, dan pengumpulan pengetahuan ialah hukum-hukum logika”.[11] Ini adalah bagian dari akal sehat yang diberikan oleh Tuhan. Hukum-hukum logika mengatur tentang bagaimana kita berpikir. Hukum logika adalah alat yang membantu bagaimana berpikir logis. Melalui hukum logika akan dapat diketahui apakah sesuatu itu kontradiksi atau tidak, benar atau tidak benar, absah atau tidak absah.
Selanjutnya Rick Cornish menyebutkan tiga hukum logika yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu : hukum non kontradiksi, hukum identitas, dan hukum excluded middle.[12] Berikut ini penjelasan hukum logika tersebut dengan beberapa penyesuian, untuk melengkapi penjelasannya.
(1) Hukum non kontradiksi. Hukum non kontradiksi menyatakan bahwa dua pernyataan yang kontradiktif tidak mungkin benar kedua-duanya pada saat yang bersamaan dan pengertian yang sama. Jadi “menurut hukum non kontradiksi A adalah A dan bukan non A pada waktu yang sama dan mengenai hal yang sama”. [13]
Atau seperti yang dikatakan R.C Sproul, “A tidak dapat A dan Non A pada saat yang sama dan dalam pemahaman yang sama”. [14] Contohnya, seseorang tidak mungkin berbicara dan sekaligus tidak berbicara pada saat yang bersamaan dan dalam hubungan yang sama.
(2) Hukum excluded middle. Hukum excluded middle menyatakan bahwa sesuatu itu adalah dirinya sendiri atau bukan dirinya sendiri. Atau dikenali dengan rumusan “A atau Non A”. Tidak dapat diterima kedua-duanya benar pada saat yang sama dan hubungannya yang sama. Contohnya, anda pastilah sedang membaca buku ini atau tidak membacanya. Anda tidak bisa menyatakan bahwa anda sedang membaca dan tidak membaca pada waktu yang bersamaan, atau anda tidak bisa berada ditengah tengah dari keduanya.
(3) Hukum identitas. Hukum identitas menyatakan bahwa sesuatu adalah dirinya dan bukan yang lain. Atau dikenal dengan rumusan “A adalah A dan bukan yang lain”. Contohnya, Allah adalah Allah dan bukan seseorang atau sesuatu yang lain; atau saya adalah saya bukan orang lain atau yang lainnya.
3. Syarat-Syarat Logika
Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell menyebutkan bahwa, “struktur inheren dari akal manusia dapat dilihat melalui tiga tindakan dari pikiran itu: (1) pengertian, (2) penilaian, dan (3) pemikiran. Ketiga tindakan dari pikiran ini diungkapan dalam: (1) istilah, (2) preposisi, dan (3) argumentasi. Istilah itu bisa jelas atau tidak jelas. Preposisi bisa benar atau tidak benar. Argumentasi bisa sahih secara logika atau tidak sahih”.[15]
Selanjunya Peter Kreeft, & Ronald K. Tacell menjelaskan “suatu istilah itu jelas bila istilah itu dapat dimengerti dan tidak kabur. Sebuah preposisi adalah benar bila preposisi itu cocok dengan realita dan menyatakan keadaannya. Sebuah argumentasi adalah sahih bila kesimpulan yang diambil sesuai dengan dasar-dasar pemikiran. Apabila argumen itu bebas dari kekeliruan logika, maka kesimpulan yang diambil itu pasti benar”.[16] Karena logika adalah bagaimana berpikir benar untuk mendapatkan kesimpulan yang benar, maka harus ada norma atau aturan yang ditaati.
W. Poesporodjo & Ek. T. Gilarso menyebutkan tiga syarat utama yang harus dipenuhi agar suatu pemikiran atau penalaran dapat menghasilkan kesimpulan yang benar.[17] Ketiga persyaratan itu adalah sebagai berikut dengan beberapa penyesuaian untuk melengkapi penjelasan.
(1) Penalaran harus berdasarkan kenyataan atau premis-premisnya harus benar. Suatu penalaran, meskipun logis bila tidak berdasarkan kenyataan atau premis-premis yang benar maka pemikiran tersebut tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar. Perhatikan contoh silogisme berikut ini:
“Semua manusia berkaki empat (premis 1); Sokrates adalah manusia (premis 2); Karena itu Sokrates berkaki empat (kesimpulan)”. Premis 1 dalam silogisme di atas tidak didasarkan pada kenyataan. Yang benar adalah bahwa semua manusia itu berkaki dua bukan berkaki empat. Sedangkan premis 2 berdasarkan kenyataan, bahwa Sokrates adalah manusia. Karena salah satu premis tersebut keliru atau tidak berdasarkan kenyataan maka hasilnya adalah kesimpulan yang tidak benar (tidak absah).
(2) Pemikiran yang diajukan harus disertai alasan-alasan yang tepat dan memadai. Pernyataan atau pendapat yang tidak dibuktikan atau tidak didukung oleh alasan-alasan yang memadai tidak dapat diterima sebagai pemikiran yang absah. Perhatikan contoh berikut: “Semua tetangga saya mempunyai mobil (premis 1); Budi teman saya juga mempunyai mobil (premis 2); Karena itu saya pun harus mempunyai mobil (kesimpulan)”. Dalam pemikiran tersebut, alasan yang diajukan tidak tepat sehingga tidak memadai untuk kesimpulan yang diambil.
(3) Argumentasinya harus mengikuti alur pikiran logis dan absah. Suatu pemikiran, walau pun premis-premisnya benar, tetapi jika alur atau langkah-langkahnya tidak tepat, maka kesimpulannya juga tidak akan tepat. Jika alurnya logis dan tepat, maka kesimpulannya disebut absah.
Karena itu, arthur F. Holmes menegaskan bahwa dalam penalaran “argumennya harus absah, atau dengan kata lain, kesimpulannya harus logis mengikuti hubungan antara premis-premisnya”.[18] Perhatikanlah contoh berikut: “Semua sapi itu binatang (premis 1); Semua kuda itu binatang (premis 2); Jadi sapi itu sama dengan kuda (kesimpulan)”. Premis 1 dan premis 2 dalam kalimat di atas benar, tetapi kesimpulannya yang salah karena alur argumentasinya tidak logis dan tidak tepat, yaitu tidak ada kaitannya antara premis-premis dan kesimpulan.
METODE PENALARAN DASAR
Pada umumnya para filsuf sepakat mengenai dua bentuk panalaran dasar, yaitu logika deduktif dan logika induktif. Louis O kattsoff menyebutkan “Logika dibagi dalam dua cabang pokok, yakni logika deduktif dan logika induktif”.[19]
Arthur F. Holmes menjelaskan, “Walaupun masih ada jenis penalaran lain dan yang kurang formal, tetapi dua ini cukup untuk memenuhi tujuan kita. Jenis pertama: deduksi, merupakan metode yang mendasar dalam logika formal dan mendapat contoh terbaiknya ada di dalam matematika. Jenis kedua: induksi, metode yang mendasar dalam logika material, yaitu penalaran tentang hal-hal faktual dan penggunaannya paling terkenal ialah dalam sain empiris”.[20]
Selanjutnya Arthur F. Holmes menyatakan, “Walaupun matematika dan sains empiris merupakan contoh dan ketelitian dan kesuksesan dalam penggunaan kedua metode ini, deduksi dan induksi juga digunakan dalam penalaran filosofis dan teologis dan dalam banyak konteks lain”.[21] Jadi disini Arthur F. Holmes menganggap logika deduktif sebagai yang mendasar bagi logika formal dan logika induktif sebagai yang mendasar bagi logika material.
Paulus Daun, menyatakan bahwa “metode deduksi adalah menelusuri masalah dari yang umum ke khusus, atau menelusuri hal-hal yang bersifat abstrak ke soal-soal konkret; sedangkan metode induksi menelusuri masalah dari khusus ke umum atau menelusuri masalah-masalah yang konkret ke soal-soal yang abstrak”.[22]
1. Logika Deduktif
Logika deduktif adalah cara-cara untuk mencapai kesimpulan–kesimpulan dengan lebih dahulu mengajukan pernyataan-pernyataan yang umum ke yang lebih khusus. Pernyataan-pernyataan ini disebut premis-premis. Bentuk penalaran yang paling sederhana dalam logika deduktif adalah silogisme, yaitu suatu kesimpulan yang diambil dari premis-premisnya. Logika silogisme ini juga dikenal sebagai logika aristotalian.
Sejak zaman aristoteles para ahli logika telah membedakan silogisme yang absah dan yang tidak absah dengan memeriksa apakah kesimpulannya mengikuti premis-premisnya secara deduktif atau tidak. Karena pemikiran atau penalaran manusia bisa salah, maka pemikiran atau penalaran tersebut harus diperiksa keabasahan dengan pembuktian-pembuktian.
Perhatikanlah dua contoh berikut:
(1) “Semua manusia itu mahluk yang fana (premis 1); Sokrates adalah manusia (premis 2); Karena itu Sokrates adalah mahluk yang fana (kesimpulan)”. Silogisme ini absah karena premis-premisnya benar dan kesimpulannya juga benar.
(2) “Semua manusia berkaki dua (premis 1); Semua burung berkaki dua (premis 2); Karena itu semua burung adalah manusia”. Walaupun premis-premis silogisme ini benar, kesimpulannya ternyata salah karena penarikan kesimpulan premis-premis itu tidak mengikuti logika yang absah. Argumen itu gagal melihat manusia dan burung sebagai dua jenis mahluk hidup yang berbeda. Karena itu, penalaran deduktif akan absah jika terdapat validitas logikanya dan premis-premis yang benar.
Pada dasarnya ada dua jenis silogisme, yaitu silogisme kategoris dan silogisme hipotesis. Secara sederhana, yang dimaksud dengan silogisme kategoris, yaitu silogisme yang premis-premisnya berupa pernyataan kategoris: Predikat (P) diakui atau dipungkiri tentang Subjek (S) secara mutlak tidak bergantung pada syarat (jika ... maka ...). Perhatikan contoh silogisme kategoris berikut: “setiap binatang harus makan (premis mayor); Sapi itu binatang (premis minor); Jadi sapi harus makan (kesimpulan)”. Sedangkan silogisme hipotesis, yaitu silogisme yang premisnya berupa pernyataan bersyarat: Predikat (P) diakui atau dipungkiri tentang Subjek (S) tidak secara mutlak, melainkan bergantung pada suatu syarat (jika ... maka ...). Perhatikan contoh silogisme hipotesis berikut: “Jika hujan turun, maka jalan-jalan menjadi basah”.[23]
2. Logika Induktif
Logika induktif merupakan penarikan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang khusus untuk mendapatkan penyimpulan yang lebih umum.[24] Jadi suatu penalaran atau pemikiran disebut induktif jika penarikan kesimpulan bersifat umum atau berlaku untuk semua, atas dasar pengetahuan tentang hal-hal yang khusus atau sedikit.[25] Agar mencapai kesimpulan yang benar dan pasti dalam metode induktif, maka alur pemikiran harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Walaupun persyaratan-persyaratan tersebut menurut Loius O.
Kattsoff bersifat sangat umum, seperti : (1) Pastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan umum tersebut mendapat cukup bukti dari peristiwa-peristiwa yang khusus; (2) Pastikan bahwa kesimpulan-kesimpulan itu tidak berdasarkan peristiwa-peristiwa yang istimewa.[26] Pernyataan “cukup” dan “istimewa” itu sendiri harus dijelaskan jumlah dan ukurannya, dengan demikian dapat dijadikan suatu aturan sebagai acuan dalam penarikan kesimpulan induktif.
Selanjutnya, Kattsoff memberikan contoh berikut. Misalkan kita melihat tiga peristiwa, yang di dalamnya, seseorang yang pergi ke gereja secara tetap memberikan bantuan kepada orang-orang miskin. Kita mungkin terpengaruh untuk menyimpulkan bahwa semua orang yang pergi ke gereja itu memberi bantuan kepada orang-orang miskin. Dalam hal ini sesungguhnya jumlah peristiwa yang kita dapat sulit untuk menjamin kebenaran generalisasi atau penyamarataan yang kita lakukan. Tetapi bagaimanapun, itulah contoh yang kita dapat dalam induksi.[27] Jadi pada dasarnya kesimpulan induktif bersifat probabilitas atau kemungkinan berdasarkan atas pernyataan-pernyataan yang telah diajukan.
Kelemahan utama metode induktif adalah bahwa seseorang dapat terjebak dengan terlalu cepat mengambil suatu kesimpulan umum, tanpa memperhatikan apakah cukup memiliki dasar untuk itu, atau menganggap sudah pasti sesuatu yang sama sekali belum pasti. Contoh generalisasi yang tergesa-gesa seperti dalam pernyataan-pernyataan berikut ini bersifat belum pasti, seperti: rambut gondrong sama dengan kurang ngajar; orang desa itu kolot; pegawai negeri itu malas; orang timur itu halus; dan sebagainya.
Pernyataan-pernyataan itu disampaikan seakan-akan berlaku secara universal (untuk semua), padahal sama sekali belum tentu. Kalau ada beberapa pemuda yang berambut gondrong yang bertingkah laku kurang ajar, belumlah cukup menjadi dasar untuk membuktikan bahwa semua pemuda berambut gondrong itu kurang ajar. Adanya penjahat yang berambut gondrong itu sama sekali tidak berarti bahwa semua yang berambut gondrong itu pasti penjahat. Kesalahan seperti itu disebut generalisasi tergesa-gesa, karena menyatakan sesuatu berlaku umum, untuk semua, padahal sebenarnya tidak berlaku umum.
Pada dasarnya terdapat dua jenis generalisasi, yaitu empiris dan yang diterangkan. Generalisasi empiris adalah suatu penyimpulan universal yang didasarkan pada pengetahuan empiris atau pengalaman. Pada saat pengetahuan empiris dipelajari secara kausalitas (menyelidiki sebab akibat) maka pengetahuan empiris menjadi generalisasi yang diterangkan.
BACA JUGA: 14 LOGICAL FALLACY (SESAT LOGIKA)
Karena itu saat melakukan penyimpulan dengan metode induktif, sangat berguna apabila didukung oleh penyimpulan kausalitas dan berdasarkan statistik. Penyimpulan kausalitas atau secara kausal adalah upaya untuk menemukan sebab-sebab dari hal-hal yang terjadi, dengan mengajukan seperangkat pertanyaan tentang “apakah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa itu terjadi?” Misalnya terjadi suatu epidemik flu burung, maka dapat diajukan pertanyaan apakah sebab-sebab epidemik flu burung tersebut. Sedangkan statistik merupakan data dalam bentuk tabel, grafik, angka-angka, daftar informasi yang sangat berguna didalam melakukan analisis, klasifikasi, dan komparasi, sebagai dasar bagi penyimpulan induktif yang benar dan absah.[28]
ANALOGIK DAN KOMPARATIF, SERTA VERIFIKASI PENALARAN
Analogik dan komparatif merupakan dua bentuk penyimpulan yang pada umumnya digunakan dalam logika. Penalaran analogi berusaha untuk mencapai kesimpulan dengan menggantikan sesuatu yang ingin dibuktikan dengan sesuatu yang serupa, namun yang lebih dikenal.[29] Sebagai contoh, kita ingin membuktikan adanya Tuhan dengan memakai argumen kosmologikal-teleologikal, berdasarkan susunan dunia tempat kita berada. Dalam hal ini kita dapat menggunakan sebuah jam sebagai analogi.
Perhatikanlah sebuah jam! Seperti halnya dunia, jam tersebut juga merupakan mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang sangat erat hubungannya yang satu dengan yang lain. Tidak seorangpun beranggapan bahwa sebuah jam dapat membuat dirinya sendiri atau terjadi secara kebetulan. Susunannya yang sangat rumit menunjukkan bahwa ada yang membuatnya, dan yang membuatnya ini pastilah seorang yang cerdas.
Dengan demikian, secara analogi adanya dunia juga menunjukkan adanya Pembuat; Karena dunia kita juga sangat rumit susunannya dan bagian-bagiannya berhubungan sangat erat satu dengan yang lain secara baik menunjukkan kecerdasan dari Sang Pembuatnya.[30] Perhatikan bahwa penalaran analogi ini terdiri dari memperbandingkan (komparatif) jam dengan dunia, dan dari persamaan-persamaan tersebut, menyimpulkan persamaan-persamaan yang lain.
Selanjutnya, supaya penalaran dapat membawa pada kesimpulan yang dapat diterima maka penalaran itu harus diverifikasi. Apalagi penalaran yang berkaitan dengan epistemonologis, maka tidak hanya harus absah melainkan kebenaran bahan yang mengawali penalaran itu harus ditetapkan. Penalaran yang didasarkan atas fakta-fakta yang diperkirakan benar dapat membawa seseorang pada kesimpulan yang benar. Namun mungkin kita tidak mengetahui cara membedakan manakah yang sesat dan manakah yang benar. Karena itu disini diperlukan alat verifikatif. Dua cara melakukan verifikasi yaitu melalui observasi (berdasarkan pengamatan) dan penalaran non kontradiktif (berdasarkan penalaran yang tidak bertentangan).[31]
Verifikasi dengan cara observasi adalah suatu pernyataan yang maknanya dapat diuji dengan pengalaman yang dapat diulangi baik oleh orang yang mempergunakan pernyataan tersebut maupun orang lain. Artinya pada prinsipnya penyataan tersebut dapat dilakukan verifikasi terhadapnya. Jika pernyataaan tersebut lulus dalam ujian pengalaman, maka pernyataan itu dikukuhkan, meskipun tidak sepenuhnya terbukti benar. Jika saya berkata, “diluar hujan turun”, dan saya pergi keluar serta melihat dan merasakan turunnya hujan, maka pernyataan saya tersebut menurut ukuran tadi telah diverifikasi.
Verifikasi dengan cara penalaran berdasarkan non kontradiksi adalah suatu cara menunjukkan kesesatan atau kebenaran suatu pernyataan yang dipersoalkan, apakah bertentangan (kontradiksi) atau tidak bertentangan (non kontradiksi) dengan dirinya; atau mengakibatkan pertentangan (kontradiktif) dengan pernyataan-pernyataan yang telah terbukti keabsahannya. Misalnya, menyatakan bahwa es itu panas adalah pernyataan yang kontradiktif, karena pada dasarnya es itu dingin.[32]
DAFTAR PUSTAKA:
[1] Daun, Paulus., Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen, hal 63.
[2] Achmadi, Asmoro., 2001. Filsafat umum. Penerbit PT. Rajagrafindo Persada: Jakarta, hal. 15-16.
[3] Off.cit, hal 63-64.
[4] Ibit, hal 61.
[5] Sproul, R.C., 1997. Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang, hal. 36.
[6] Kattsoff, Louis O., 1992. Elements of Philosophy. Terjemahan, Penerbit Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta, hal. 28.
[7] Ibit.
[8] Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso., Logika Ilmu Menalar, hal. 13-14.
[9] Lasiyo & Yuwono., Pengantar Ilmu Filsafat. hal 24.
[10] Achmadi, Asmoro., Filsafat umum, hal. 15.
[11] Cornish, Rick., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung, hal. 36.
[12] Ibit, hal. 37.
[13] Holmes, Arthur F., All Truth is God’s Truth, hal. 153.
[14] Sproul, R.C., Defending Your Faith: An Introduction To Apologetics, hal. 36.
[15] Kreeft, Peter & Ronald K. Tacell., 1994. Pedoman Apologetika Kristen. Jilid 1 Terjemahan, Penerbit Yayasan Kalam Hidup: Bandung, hal. 18-19.
[16] Ibit, hal. 19
[17] Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso., Logika Ilmu Menalar, hal. 20-22; Bandingkan dengan Holmes, Arthur F., All Truth is God’s Truth, hal. 148.
[18] Holmes, Arthur F., All Truth is God’s Truth. hal. 148.
[19] Kattsoff, Louis O., Elements of Philosophy, hal. 28.
[20] Ibit, hal. 146
[21] Ibid, hal 146-147.
[22] Daun, Paulus., Pengantar Ilmu Filsafat Dalam Perspektif Iman Kristen, hal 68.
[23] Penjelasan lebih lanjut lihat: Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso.,Logika Ilmu Menalar. hal. 149-164.
[24] Off.cit, hal. 30.
[25] Poesporodjo, W & Ek. T. Gilarso, Logika Ilmu Menalar, hal. 24.
[26] Off.cit, hal. 31.
[27] Ibit, hal. 31
[28] Bakhtiar, Amsal., 2010. Filsafat Ilmu. Edisi revisi. Penerbit, PT. Rajagrafindo Persada : Jakarta, hal. 197-199.
[29] Kattsoff, Louis O., Elements of Philosophy, hal. 32.
[30] Ibit, hal. 32; (Bandingkan Erickson J. Millard., Christian theology. Jilid 1. hal 249-250).
[31] Kattsoff, hal. 32.
[32] Ibit hal 33.