INDIKATIF DAN IMPERATIF: RELASI HIDUP BARU DAN KETAATAN BARU DI DALAM KRISTUS

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
INDIKATIF DAN IMPERATIF: RELASI HIDUP BARU DAN KETAATAN BARU DI DALAM KRISTUS
INDIKATIF DAN IMPERATIF: RELASI HIDUP BARU DAN KETAATAN BARU DI DALAM KRISTUS. (Filipi 2:12-13) Hai saudara-saudaraku yang kekasih, kamu senantiasa taat; karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar, bukan saja seperti waktu aku masih hadir, tetapi terlebih pula sekarang waktu aku tidak hadir, (Filipi 2:13) karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya”

PENDAHULUAN

Pertama-tama, saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini saya dedikasikan kepada mereka yang berada dan tergabung dalam gerakan Injil kasih karunia, yaitu mereka yang pernah dibidik sebagai sasaran tembak oleh Michael L. 

Brown, Ph.D melalui bukunya yang berjudul “Hyper Grace”. Para pembaca buku dan pengikut buta Michael L. Brown yang kemudian menggunakan buku itu untuk menyerang para pemberita Injil kasih karunia dengan cara yang sporadis, dengan kata-kata yang kasar, penuh sindirin, fitnah, dan disertai makian, tanpa memeriksa terlebih dahulu apakah Dr. Brown telah melakukan penelitian, kutipan, dan analisis yang cermat terhadap gerakan Injil kasih karunia, yang diberinya label “hyper grace” atau “kasih karunia overdosis”. 

Sejauh yang dapat saya ketahui, mereka yang berada dalam gerakan Injil kasih karunia seperti Charles R. Swindoll, Philip Yancey, Max Lucido, Joseph Prince, Clark Whitten, Steve McVey, Andrew Farley, Rob Rufus, Paul Ellis, Andrew Wommack, Bob George, Michael S. Horton, Tullian Tchividjian, Ken Legg, dan lainnya. tidak mengajarkan hal-hal yang dituduhkan kepada mereka, antara lain : 

(1) Menentang pertobatan 

(2) Mengajarkan universalisme; 

(3) Membuang hukum Taurat; 

(4) Menentang kekudusan dan ketaatan dalam kehidupan Kristen; 

(5) Menolak mengajarkan tentang murka Allah dan neraka; 

(6) Mengijinkan orang berbuat dosa, menjadi pemalas, dan hidup tanpa tanggung jawab. Sebaliknya, justru saya melihat bahwa para pengajar dalam gerakan Injil Kasih Karunia ini mengajak orang Kristen untuk hidup dalam pengudusan, ketaatan, dan perbuatan baik serta kembali kepada Injil karena status (keberadaan) mereka yang telah diselamatkan hanya karena kasih karunia Allah di dalam Kristus. 

Kedua, ketika meneliti ketaatan baru kehidupan Kristen dan relasinya dengan hidup baru (regenerasi) dalam Kristus, saya sangat diberkati (dicerahkan) oleh karya dua pakar Perjanjian Baru, yaitu profesor Herman Ridderboss melalui karya yang berjudul Paulus: Pemikiran Utama Theologinya (Penerbit Momentum Jakarta), dan profesor George Eldon Ledd melalui karyanya Teologi Perjanjian Baru (penerbit Kalam Hidup Bandung). 

Di dalam kedua buku karya terbaik dua pakar Perjanjian Baru tersebut saya mendaptkan suatu pemahaman teologis tentang relasi hidup baru dalam Kristus dan ketaatan baru yang diperkenalkan sebagai fenomena relasi indikatif dan imperatif. Seluruh tulisan ini akan menjelaskan relasi indikatif dan imperatif yang sumber utamanya dari kedua buku tersebut.

ANALISIS TEOLOGIS TEKS FILIPI 2:12-13 

Beberapa orang yang mengajarkan bahwa keselamatan bisa hilang seringkali menggunakan ayat ini dengan penekanan pada frase “tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” untuk mendapat dukungan bagi pandangan mereka. Ayat ini mereka anggap seakan-akan rasul Paulus mengajarkan bahwa keselamatan adalah sesuatu yang akhirnya di dapat karena usaha atau dengan kata lain keselamatan merupakan upah dari mengikut Kristus. 

Benarkah yang Paulus maksud demikian? Jawabannya dengan tegas “tidak!”. Perhatikanlah frase Yunani “μετα φοβου και τρομου την εαυτων σωτηριαν κατεργαζεσθε (meta phobou kai tromou tên heautôn sôtêrian katergazesthe) yang dalam bahasa Indonesia telah diterjemahkan dengan baik, “tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar”. 

Disini, kata “Kerjakanlah” yang dipakai rasul Paulus adalah kata kerja Yunani “κατεργαζομαι (katergazomai)”. Kata kerja “katergazomai” ini muncul 20 kali dalam surat-surat rasul Paulus, dimana dalam kedua puluh kali penggunaan kata tersebut tidak satupun yang mengemukakan gagasan mendapatkan sesuatu berdasarkan kebaikan atau jasa atau perbuatan.Berikut ini daftar 20 kali pemakaian kata kerja Yunani “katergazomai” yaitu : Roma 1:27; 2:9; 4:15; 5:3; 7:8,13, 15, 17,18,20; 1 Korintus 5:3; 2 Korintus 4:17; 5:5; 7:10,11; 9:11; 12:12; Efesus 6:13; Filipi 2:12. 

Untuk mendapatkan ketepatan pengertian rasul Paulus ketika ia menggunakan kata kerja “katergazomai” dalam Filipi 2:12 di atas, maka ada baiknya kita membandingkannya dengan teks lainnya yang menggunakan kata itu. 

Berikut 2 teks lainnya dimana Paulus menggunakan kata kerja “katergazomai”, yaitu 2 Korintus 12:12 yang berbunyi, “Segala sesuatu yang membuktikan, bahwa aku adalah seorang rasul, telah dilakukan (katergazomai) di tengah-tengah kamu dengan segala kesabaran oleh tanda-tanda, mujizat-mujizat dan kuasa-kuasa”, dan dalam Roma 15:18 yang berbunyi, “Sebab aku tidak akan berani berkata-kata tentang sesuatu yang lain, kecuali tentang apa yang telah dikerjakan (katergazomai) Kristus olehku, yaitu untuk memimpin bangsa-bangsa lain kepada ketaatan, oleh perkataan dan perbuatan”. 

Dalam kedua teks tersebut ketika menggunakan kata kerja “katergazomai” jelas bahwa rasul Paulus tidak berbicara tentang mendapat upah karena perbuatan atau jasa. Sebab tanda-tanda kerasulan itu tidak diperoleh rasul Paulus dengan usahanya, tetapi dinyatakan atau ditunjukkan kepadanya (2 Korintus 12:12). 

Demikian juga Kristus tidak mendapatkan keselamatan bangsa-bangsa non Yahudi melalui khotbah rasul Paulus, melainkan Kristus sendirilah yang mengerjakannya (Roma 15:18). Dari cara rasul Paulus menggunakan istilah “katergazomai” dalam contoh-contoh di atas maupun pada bagian lainnya menunjukkan dengan jelas kepada kita bahwa kata tersebut dalam Filipi 2:12 tidak boleh ditafsirkan dengan pengertian sebagai “usaha supaya mendapatkan keselamatan”, melainkan sebagai “tindakan untuk menyatakan, mengamalkan atau mengerjakan keselamatan yang sudah dimiliki”. 

Jadi, istilah Yunani “katergazomai” dalam Filipi 2:12 tersebut jelas tidak mengacu pada mendapatkan upah atau sesuatu karena usaha kita dan dengan demikian tidak dapat mengacu pada mendapatkan keselamatan melalui usaha sendiri. Ini terungkap dengan jelas oleh hubungan sebab akibat di Filipi 2:13 dengan ayat sebelumnya. 

Orang-orang percaya di Filipi harus mengerjakan keselamatan mereka karena Allah sudah bekerja dalam hidup mereka. Ini karena mereka sudah menerima kasih karunia dan keselamatan dari Allah sehingga desakan ini diberikan untuk “mengerjakan (katergazomai)” keselamatan yang sekarang sudah mereka miliki. Mengerjakan keselamatan mereka berdasarkan pada kenyataan bahwa mereka sudah memiliki keselamatan dari Allah. 

Hubungan sebab akibat antara klausa ini juga dapat dilihat dalam contoh-contoh berikut: “Karena” memberitahukan penyebabnya (Roma 11:20; 30; 2 Korintus 2:13; Galatia 6:12; Efesus 2:8; 1 Tesalonika 5:9); “Demi” memberitahukan penyebabnya (Roma 12:1); “Oleh karena” memberitahukan penyebabnya (1 Korintus 1:21). Hubungan sebab akibat antara klausa ini oleh para pakar Perjanjian Baru disebut sebagai fenomena relasi indikatif dan imperatif. Sementara itu pakar Perjanjian Baru lainnya lebih suka menyebut fenomena ini sebagai “paradoks dialektikal” atau “antinomi”. 

FENOMENA RELASI INDIKATIF DAN IMPERATIF

Di dalam Perjanjian Baru, khusus dalam tulisan-tulisan Rasul Paulus kita melihat fenomena relasi indikatif dan imperatif ini. Dimana manifestasi moral (ketaatan) dari hidup baru sebagai buah karya penebusan Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus (indikatif) merupakan suatu tuntutan atau keharusan (imperatif) bagi setiap orang Kristen. Artinya, indikatif (hidup baru) mendahului imperatif (ketaatan). 

Dengan kata lain, fakta mengenai kematian dan kebangkitan Kristus yang menyelamatkan orang percaya dan dan fakta bahwa kita sudah dibenarkan, dikuduskan dan disempurnakan berdasarkan persembahan tubuh dan darah Kristus itulah yang disebut sebagai indikatif, sedangkan etika , moral dan cara hidup kekristenan yang baik itulah yang disebut sebagai bentuk imperatif. 

Kita tidak boleh membalik urutan indikatif dan imperatif ini menjadi imperative dan indikatif! karena di dalam Alkitab selalu indikatif mendahului imperatif. Disinilah keunikan dan perbedaan agama Kristen dari agama-agama lainya. Berbeda dari agama-agama lain mengajarkan keselamatan sebagai usaha manusia, maka Kekristenan mengajarkan bahwa keselamatan adalah karunia Allah tanpa syarat. 

Kita tidak diminta diperintahkan untuk menyucikan diri kita supaya selamat dan diteraima oleh Allah, melainkan sebaliknya, Allahlah yang telah menerima dan menyucikan kita. Karena Ia telah menerima dan menyucikan kita (indikatif), maka kita dipanggil supaya hidup dalam kesucian sebagai anak-anak Allah yang dikasihiNya (imperatif). Bahwa hidup baru merupakan suatu penegasan (indikatif) terhadap apa yang telah Allah laksanakan, sedangkan imperatifnya merupakan nasihat (paraentesis) untuk mempraktekkan kehidupan yang baru tersebut dijelaskan rasul Paulus dalam 2 Korintus 5:17. 

Kegagalan memahami relasi indikatif – imperatif inilah yang telah menyebabkan banyak orang Kristen jatuh ke dalam legalisme, moralisme dan atau peformanisme. Ketiganya, (legalisme, moralisme dan atau peformanisme walau berbeda dalam istilah tetapi merujuk pada hal yang satu) akan muncul ketika kewajiban-kewajiban perilaku terpisah dari deklarasi Injil (kasih karunia), ketika keharusan (imperatif) terputus dari indikasi Injil (indikatif), ketika apa yang perlu kita lakukan (imperatif) menjadi tujuan akhir, bukan apa yang Yesus telah lakukan (indikatif) bagi kita. 

Rasul Paulus dengan jelas memaparkan bahwa hidup baru adalah karya Allah. Hidup baru bersumber pada kematian dan kebangkitan Kristus yang dinyatakan melalui Roh Kudus, dan direalisasikan dalam setiap kita dalam rupa ciptaan baru (kelahiran kembali atau regenerasi), yang adalah buah dari bekerjanya kuasa ilahi. 

Rasul Paulus tidak melihat bahwa hidup baru itu sebagai usaha manusia itu sendiri. Karena rasul Paulus sendiri menjelaskan bahwa manusia telah mati secara rohani dan tidak mampu menghidupkan dirinya sendiri (Efesus 2:5). Sebab bagaimana mungkin orang mati dapat menghidupkan dirinya sendiri? Ia tidak bisa melakukannya sendiri. 

Maka jelaslah bahwa manusia memerlukan suatu perubahan yang radikal dan menyeluruh yang memampukannya untuk dapat kembali melakukan hal yang benar menurut pandangan Tuhan. Perubahan yang radikal itu adalah kehidupan rohani yang disebut dengan “kelahiran baru” di dalam Kristus (Efesus 2:5). 

Kelahiran baru merupakan suatu perubahan radikal dari kematian rohani menjadi kehidupan rohani yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang memampukan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa untuk dapat kembali melakukan hal yang benar menurut pandangan Tuhan. Istilah radikal berasal kata Latin “radix” yang berarti “akar”, sehingga hidup baru (regenerasi) merupakan suatu perubahan pada akar natur kita. 

Dengan demikian regenerasi berarti penanaman (pemberian) kehidupan rohani yang baru, karena pada dasarnya manusia telah mati secara rohani (Efesus 2:5; Kolose 2:13; Roma 8:7-8). Kelahiran baru ini terjadi secara seketika dan bersifat supernatural. Paulus mengatakan, “telah menghidupkan kita bersama-sama dengan Kristus, sekalipun kita telah mati oleh kesalahan-kesalahan kita - oleh kasih karunia kamu diselamatkan -” (Efesus 2:5). 

Kata kerja yang diterjemahkan “menghidupkan” adalah “synezoopoiesen”, memakai bentuk aorist tense yang berarti tindakan yang seketika atau sekejap. Tetapi, regenerasi juga merupakan perubahan yang supernatural, bukan peristiwa yang dapat dilaksanakan oleh manusia (Yohanes 3:6). Kelahiran baru sepenuhnya merupakan tindakan Allah. 

Kelahiran baru inilah memampukan manusia untuk percaya dan bertobat. Pada saat seseorang dilahirkan baru maka ia dimampukan percaya (beriman) kepada Kristus untuk keselamatannya dan bertobat dari dosa-dosanya. Seseorang dapat memberi respon di dalam iman dan pertobatan hanya setelah Tuhan memberikan kehidupan yang baru kepadanya. Iman dan pertobatan ini disebut dengan istilah perpalingan (convertion). 

Beriman berarti berpaling kepada Kristus untuk mengampuni dosa-dosa dan bertobat merupakan suatu keputusan sadar untuk berpaling dari dosa-dosa. Jenis iman ini mengakui bahwa seseorang tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri dan pada saat yang sama mengakui hanya Kristus yang dapat melakukannya (Yohanes 6:44). 

Selanjutnya, kelahiran baru ini walaupun tidak disadari atau tidak dirasakan saat terjadi, tetapi dapat diamati lewat kepekaan baru terhadap hal-hal rohani, arah hidup yang baru, serta kemampuan untuk hidup benar dan menaati Allah. Kelahiran baru tersebut mengakibatkan perubahan, menghasilkan hati yang diubahkan menghasilkan hidup yang diubahkan (2 Korintus 5:17). 

Rasul Paulus mengingatkan “..karena kamu telah menanggalkan (apekdysamenoi) manusia lama (palaion anthropos) serta kelakuannya, dan telah mengenakan (endysamneoi) manusia baru (kainon anhtropos) yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kolose 3:9-10). 

Paulus dalam ayat ini bukan bermaksud memberitahukan bahwa orang-orang percaya di Kolose, sekarang atau setiap hari harus menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru berulang-ulang kali, tetapi Paulus menegaskan bahwa mereka telah mengalaminya pada saat lahir baru (regenarasi) dan telah melakukannya perubahan ini ketika mereka pada saat konversi menerima dengan iman apa yang telah dikerjakan Kristus bagi mereka. 

Kata Yunani menanggalkan (apekdysamenoi) dan mengenakan (endysamneoi) menggunakan bentuk aorist tense yang mendeskripsikan kejadian seketika; Jadi Paulus sedang merujuk kepada apa yang telah dilakukan orang percaya di Kolose ini di masa yang lalu. Tetapi, walaupun orang-orang percaya adalah pribadi-pribadi baru, akan tetapi mereka belumlah mencapai kesempurnaan yang tanpa dosa; mereka masih harus bergumul melawan dosa. 

Serupa itu, rasul Paulus juga mengingatkan orang percaya “supaya kamu dibaharui (ananeousthai) di dalam roh dan pikiranmu” (Efesus 4:23). Bentuk infinitif ananeousthai yang diterjemahkan dengan “dibaharui” adalah bentuk present tense yang menunjuk kepada suatu proses yang berkelanjutan. Jadi, orang-orang percaya yang telah lahir baru dan menjadi ciptaan baru di dalam Kristus masih diperintahkan untuk mematikan perbuatan-perbuatan daging dan segala sesuatu yang berdosa di dalam diri mereka beruapa keinginan-keinginan daging (Roma 8:13; Kolose 3:5), serta menyucikan diri dari segala sesuatu yang mencemari tubuh dan roh (2 Korintus 7:1). 

Dengan demikian, karena indikatif mendahului imperatif maka itu artinya status kita (hidup baru) mendahului ketaatan (perilaku baru). Indikatif tidak dipengaruhi oleh imperatif, sebaliknya, indikatif mempengaruhi imperatif. Artinya, status kita tidak dipengaruhi oleh perbuatan kita, melainkan sebaliknya, perbuatan kita akan dipengaruhi oleh status kita. Semakin kita sadar dan percaya akan status kita, semakin perilaku kita akan sesuai dengan status kita. 

Kepada jemaat di Korintus yang sebagian anggotanya. Paulus menulis surat kepada orang-orang Korintus sebagai orang-orang kudus (1 Korintus 1:2), namun jika seseorang membaca surat tersebut ia akan terkejut melihat betapa berdosanya orang-orang kudus tersebut. Kenyataan ini kelihatannya seperti kontradiksi, tetapi sebenanya tidak demikian, apabila kita menyadari paradoksal ini: bahwa orang-orang percaya di Korintus telah dikuduskan (pengudusan definitif) dan terus menerus dikuduskan (pengudusan progresif) setiap hari. 

Itu sebabnya slogan reformasi tentang gereja “ecclesia reformata semper reformanda” yang artinya “gereja yang sudah diperbaharui dan terus menerus diperbaharui” adalah slogan yang Alkitabiah, dalam kaitan relasi indikatif dan imperatif.

IMPERATIF DIDASARKAN PADA INDIKATIF

Karena perjumpaan indikatif dan imperatif ini begitu umum dalam surat-surat rasul Paulus, bahkan juga di seluruh Perjanjian Baru, maka penjelasan di bawah ini hanya didasarkan pada beberapa contoh yang dianggap paling mendasar.

1. Indikatif merupakan hal yang fundamental. 

Hal ini dapat kita lihat saat rasul Paulus membicarakan tentang kematian dan kebangkitan Kristus, bahwa “mereka yang ada di dalam Kristus telah mati bagi dosa” (Roma 6:2). Ia kemudian memakai bentuk indikatif yang fundamental ini untuk menstimulasi (merangsang) tanggung jawab manusia dan membangkitkan tindakan, “sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana” dan “jangan kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman” (Roma 6:12-13). 

Dengan demikian, mati dan bangkit bersama dengan Kristus yang bersifat indikatif tidak dipisahkan dari pergumulan melawan dosa yang bersifat imperatif. Demikian juga sebagai respon terhadap indikatif fundamental “kamu telah mati dan hidupmu tersebunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah” (Kolose 3:3) segera diikuti dengan perintah (imperatif) yang mendesak untuk dilakukan, yaitu “matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala” (Kolose 3:5). 

Jadi, fakta bahwa kita telah mati dengan Kristus bukan berarti kita tidak perlu mematikan apa yang duniawi, tetapi fakta tersebut justru menjadi alasan yang mendesak untuk kita melakukannya. 

2. Imperatif dibangun di atas dasar indikatif. 

Sebagai contoh hal ini dapat kita temukan di dalam ayat-ayat yang membahas hidup di dalam Roh. Di satu sisi, hidup di dalam roh memiliki aspek indikatif, “Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dari hukum dosa dan hukum maut” (Roma 8:2,9), sementara disisi lainnya, hidup ini juga mengandung aspek impiratif, yang nampaknya membuat pernyataan penebusan kategori pertama menjadi bersyarat, “Jadi, saudara-saudara, kita adalah orang berhutang, tetapi bukan kepada daging, supaya hidup menurut daging. Sebab, jika kamu hidup menurut daging, kamu akan mati; tetapi jika oleh Roh kamu mematikan perbuatan-perbuatan tubuhmu, kamu akan hidup” (Roma 8:12-13). 

Jadi disini kita melihat bahwa aspek imperatif dibangun diatas dasar aspek indikatif (“jadi” dalam ayat 12), tetapi perubahan kepada imperatif juga disyaratkan (“sebab” dalam ayat 13) oleh apa yang pertama-tama dikategorikan sebagai Indikatif. Demikian juga di dalam surat Galatia, setelah menegaskan penerimaan Roh (Galatia 4:6-7), lahir dari Roh (Galatia 4:28-29), dan hidup oleh Roh (Galatia 5:25), rasul Paulus segera melanjutkan dengan perintah untuk memberi diri dipimpin oleh Roh (Galatia 5:16,18, 25), dan peringatan untuk tidak sesat karena Allah tidak membiarkan diriNya dipermainkan, dan apa yang ditabur orang juga akan dituainya, baik kebinasaan dalam daging ataupun hidup kekal dalam Roh (Galatia 6:7-8). 

Disini jelas kita melihat hal yang disebut oleh para pakar Perjanjian Baru sebagai “paradoks dialektikal” atau “antinomi” karena dalam beberapa paraentesis (nasihat) rasul Paulus bagi kehidupan orang percaya tersebut nampak adanya ketegangan (paradoks) yang sepertinya bertentangan (antinomi) dengan pemikiran manusia. 

3. Imperatif mengikuti indikatif sebagai kesimpulan. 

Hal ini dapat dilihat dalam ayat-ayat yang menyebutkan hidup baru sebagai ciptaan Allah, dimana manusia baru disebut sebagai diciptakan dalam Kristus (Efesus 2:15; 4:24), dan berada di dalam Kristus (Galatia 3:28). Tetapi dikatakan juga bahwa mereka yang di dalam Kristus “telah” menanggalkan manusia lama dan “telah” mengenakan manusia baru (Efesus 4:21-32; Kolose 3:9-17); dan “pengenaan” keberbagian manusia baru ini di dalam Kristus secara sakramental ditunjukkan oleh baptisan (Galatia 3:27); dan ada juga mandat atas tanggung jawab jemaat setiap hari, “kenakanlah Tuhan Yesus Kristus” (Roma 13:14). 

Dalam hal relasi diantara keduanya, rasul Paulus jelas mendasarkan imperatif pada indikatif, atau dengan kata lain, imperatif mengikuti indikatif sebagai kesimpulannya (“jadi”, “karena itu”, Roma 6:12-19; 12:1; Kolose 3:5-17), dan tatanan ini tidak bisa dibalik. Dalam setiap kasus, panggilan hidup baru diletakkan sebagai tujuan dari pernyataan penebusan yang positif (“sebab itu”, “supaya”, dan sebagainya, Roma 7:4; 2 Korintus 5:15, dan sebagainya). 

Relasi seperti ini jelas dinyataka di dalam Filipi 2:12-13, “Tetaplah kerjakanlah keselamatanmu dengan takut dan gentar,... karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kehendakNya”. Terlihat “karena” di dalam kalimat kedua mendasari paraentesis (nasihat) di dalam kalimat pertama. Maksudnya, Allah tidak bekerja menurut kerelaanNya karena manusia terlebih dahulu mengerjakan keselamatannya dengan takut dan gentar. 

Sebaliknya, karena Tuhan telah bekerja, maka manusia harus dan bisa bekerja. Allah telah mengerjakan di dalam kita apa yang kita perlukan agar bisa bekerja. Karena itu, pekerjaan kita terjadi sesuai dengan kuasaNya, yang bekerja dengan kuat di dalam kita (Kolose 1:29; Efesus 3:20). Jadi perbuatan baik yang harus kita lakukan telah Allah persiapkan dan Dia mau kita hidup di dalamnya (Efesus 2:10), Dan Ia akan meneruskan pekerjaan baik yang telah Ia mulai dalam kita (Filipi 1:6). 

Dengan demikian, apa yang kita nyatakan dalam hidup baru, apa yang kita kerjakan atau tunjukkan dalam buah-buah Roh Kudus dan perbuatan baik, kita dikerjakan oleh kekuatan Allah, melalui kuasa Roh Kudus, dan oleh status kita sebagai milik Kristus. Jadi Imperatif didasaran pada realitas yang diberikan oleh indikatif, merujuk kepadanya, dan dimaksudkan untuk membawa pertumbuhan yang sepenuhnya. 

4. Imperatif merupakan batu ujian bagi hadirnya indikatif. 

Disini perlu juga ditegaskan bahwa imperatif tidak hanya berfungsi memanifestasikan hidup baru yang ditujukan oleh indikatif, tetapi juga merupakan batu sentuhan konstan bagi indikatif. Imperatif merupakan batu ujian bagi hadirnya indikatif. Dengan kata lain, ketaatan baru (imperatif) dapat menjadi kriteria bagi berjalannya fungsi dan realitas diri dari hidup baru (indikatif), karena indikatif juga terus meletakkan hidup baru itu dibawah manifestasi hidup yang dituntut oleh imperatif yaitu ketaatan baru. 

Ciri khasnya adalah pemakaian imperatif sebagai klausal tanggapan (apodosis) yang mengikuti klausal pertama kondisional (protasis) seperti, “Karena itu, kalau kamu dibangkitkan bersama dengan Kristus, carilah perkara yang di atas” (Kolose 3:1). Perhatikanlah, “karena itu” di dalam kalimat pertama jelas bukan sekedar hipotesis, melainkan suposisi yang membuat imperatif menjadi fakta yang bisa diterima. Tetapi kata ini juga menekankan bahwa jika apa yang dituntut oleh imperatif tidak terlaksana, maka apa yang disuposisikan tadi tidak lagi dapat diterima (Bandingkan: Roma 8:9; Kolose 2:20; Galatia 5:25). 

Tetapi, dengan membuat indikatif dikondisikan oleh pelaksanaan imperatif (Galatia 6:7) tidak berarti membalikkan tatanan dan tidak sekedar untuk membongkar kemunafikan. Hal ini berlaku bagi orang percaya, bahwa hidup baru harus dinyatakan dalam ketaatan yang baru, dan tanpa keduanya tidak ada yang pertama. Alasannya, meski realitas yang dijabarkan oleh indikatif harus dilihat sebagai anugerah Allah dan anugerah ciptaan baru, hal ini terjadi melalui iman. 

Sebaliknya, pelaksanaan imperatif tidak berasal dari kuasa manusia itu sendiri, tetapi juga merupakan perkara iman. Indikatif dan imperatif adalah objek iman, yang satu dalam penerimaannya, tetapi yang lain dalam aktivitasnya. Karena itu kaitan antara keduanya begitu dekat dan tidak dapat dipisahkan. Keduanya mewakili dua sisi dari hal yang sama, yang tidak dapat ada jika salah satunya dibuang. 

PENUTUP: 

Sebagian orang Kristen yang belum memahami ajaran fenomena relasi indikatif dan imperatif ini mengira bahwa mereka berharga dihadapan Allah karena apa yang mereka telah capai dan hasilkan melalui perbuatan. Mereka mengira bahwa kasih Allah akan semakin dicurahkan kepada mereka tergantung kepada berapa banyak pencapaian yang telah mereka dapat. Pandangan ini membawa pada legalisme, moralisme dan peformanisme. 

Pandangan ini salah karena berbeda dari pandangan Perjanjian Baru yang mengajarkan bahwa kita berharga karena apa yang telah Allah karuniakan bagi kita, yaitu status baru sebagai anak-anakNya karena Yesus telah mati bagi kita. Kasih Allah tidak tergantung pada perbuatan kita, karena Allah telah memberikan Yesus yang telah mati di kayu salib bagi kita ketika kita masih berdosa dan memusuhi Allah. Jadi perbuatan kita tidak menambah atau mengurangi kasih Allah pada kita. 

Sebaliknya, pada sisi yang lain, sebagian orang Kristen mengira bahwa setelah mereka diselamatkan, mereka tidak perlu melakukan apapun lagi dan tidak perlu menghasilkan buah bagi Allah. Pandangan ini juga salah karena membawa kepada antinominianisme. 


Namun berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, bahwa imperatif (ketaatan baru) didasarkan pada indikatif (hidup baru) yang diterima oleh iman, sekali untuk selamanya dan terus menerus diperbaharui. Karena orang percaya sadar bahwa mereka telah mati bagi dosa dan hidup bagi Allah, maka mereka harus menyerahkan tubuh dan anggotanya untuk melayani kebenaran. 

Imperatif mengajarkan perlawanan terhadap musuh (dosa), yang melalui iman kita tahu dan harus terus mengetahui bahwa musuh kita telah dikalahkan. Jadi relasi aspek aktual dan kontinual dari hidup baru menjadi jelas. Hidup baru adalah hidup dan bukan tanda-tanda kehidupan yang silih berganti. Namun, hidup ini tidak pasif tetapi militan, hidup oleh iman. 

Imperatif (ketaatan baru) hanya dapat terlaksana ketika iman berjaga-jaga, sadar dan siap sedia (1 Korintus 16:13; 1 Tesalonika 5:5,8; Efesus 6:11). Sampai pada tingkat ini, setiap imperatif (ketaatan) merupakan pengaktualisasian dari indikatif (hidup baru), tetapi impratif tidak terhilang di dalam indikatif, ia mencari buah iman dan buah Roh Kudus melalui pengudusan dan ketaatan (Roma 6:21-22; Galatia 5:22). Ia mengarah menuju pertumbuhan, kemajuan dan kelimpahan dari hidup baru (Roma 5:3; 2 Korintus 8:7; 9:8; 1 Timotius 4:15).


Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta.

Clark, Howard, ed. 2010. The Learning Bible Contemporary English Version. Dicetak dan diterbitkan Lembaga Alkitab Indonesia : Jakarta.

Chamblin, J. Knox.,2006. Paulus dan Diri: Ajaran Rasul Paulus Bagi Keutuhan Pribadi. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta.

Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1 & 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 2009. New Dictionary of Theology. jilid 2, terjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House: Grand Rapids, Michigan.

Guthrie, Donald, dkk., 1982. Tafsiran Alkitab Masa Kini. Jilid 3. Terjemahan. Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.

Guthrie, Donald., 2010. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2, Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta.

Hoekema, Anthony A., 2010. Diselamatkan Oleh Anugerah, Penerbit Momentum: Jakarta.

Horton, Michael S.. 2011. The Gospel Driven Life. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yogyakarta

Klein, William W, Craig L. Blomberg, Robert L. Hubbard., 2012. Introduction Biblical Interpretation. Jilid 1, terjemahan, Literatur SAAT: Malang.

Ladd, Geoge Eldon, 1999. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 2, terjemahan Penerbit Kalam Hidup : Bandung.

Morris, Leon., 2006. Teologi Perjanjian Baru. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Osbone, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.

Peter, George W., 2006. A Biblical Theology of Missions. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Pfeiffer F. Charles & Everett F. Harrison., ed. 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Volume 1,2 & 3. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas Malang.

Ridderbos, Herman., 2004. Paul: An Outline of His Theology. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta. 

Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1 & 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.

Stein, Robert H., 2015. Prinsip-Prinsip Dasar dan Praktis Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset: Yogyakarta.

Stuart, Douglas & Gordon D. Fee., 2011. Hermeneutik: Menafsirkan Firman Tuhan Dengan Tepat. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang. 

Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

Tchividjian, Tullian., 2013. Yesus Ditambah Nihil Sama Dengan Segalanya. Terjemahan, penerbit Light Publising: Jakarta,

Zuck, Roy B, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
Next Post Previous Post