Teologi Reformed dan Ekonomi

Simon Lukmana.
Teologi Reformed dan EkonomiTeologi Reformed dan Ekonomi.“Where riches hold the dominion of the heart, God has lost His authority. True, it is not impossible that those who are rich shall serve God; but whoever gives himself up as a slave to riches must abandon the service of God; for covetousness makes us slaves of the devil.” Inilah penjelasan yang diberikan oleh Calvin dalam pembahasan ayat Matius 6:24. 

Ia menggambarkan ketegangan antara perhambaan uang dan pengabdian kepada Allah. Sebuah permasalahan klasik tetapi tetap relevan hingga saat ini. Dalam setiap zaman, perhambaan uang akan selalu kita jumpai. Baik orang miskin maupun orang kaya rentan terhadap hal ini, orang yang kurang terdidik maupun yang pintar, sama-sama dapat terjerat perhambaan ini. Permasalahan uang ini semakin parah di dalam beberapa tahun terakhir. 

Krisis ekonomi tahun 2008, krisis Eropa, hingga perlambatan ekonomi Tiongkok yang berdampak signifikan dalam kelesuan ekonomi dunia semakin jelas menunjukkan akan kerakusan manusia akan uang. Pengejaran akan keuntungan yang tinggi dengan mengorbankan pihak yang lain bahkan sampai merusak sistem ekonomi dunia, dengan kata lain mengambil kesempatan di dalam kesempitan.

Permasalahan utama bukan di dalam ekonomi itu sendiri, tetapi pada filsafat nilai atau etika yang berada di balik sistem ekonomi tersebut. John E. Stapleford mengatakan bahwa “Economics is obviously about value – the relative worth of the coin to that loaf of bread – But it’s also about values, and it always has been.” Filsafat nilai adalah dasar pemikiran, motivasi maupun semangat yang mengendalikan setiap tindakan ekonomi. Baik di dalam bekerja, berinvestasi, maupun konsumsi, kita sebagai pelaku ekonomi dikendalikan oleh sistem nilai tersebut. Ada beberapa pemikiran filsafat nilai dalam dunia ekonomi:

1. Environmentalism 

Pandangan ini dibangun dalam 3 dasar pemikiran: (1) tidak ada yang lebih berharga daripada alam, (2) pertumbuhan penduduk maupun peningkatan dalam konsumsi memeras dunia ini menuju pada kepunahan, (3) dunia ini begitu rapuh. Di satu sisi, mungkin alam akan lebih terjaga sehingga kerusakan alam akan berkurang banyak dalam pemikiran ekonomi seperti ini. Tetapi benarkah dengan penerapan ekonomi seperti ini akan membawa dunia ini ke dalam kondisi yang lebih baik?

Berdasarkan pemahaman ini, maka sistem ekonomi yang terbentuk akan meningkatkan standar dasar produksi serta biaya yang diperlukan. Mulai dari bahan baku yang dengan tidak dengan mudah diperoleh karena sangat selektif, proses produksi yang lebih kompleks, hingga kemasan yang lebih higienis, semua itu akan meningkatkan harga pokok produksi. Dengan kata lain, filsafat nilai ini akan mendorong kenaikan harga barang dengan cukup signifikan. Coba perhatikan harga produk-produk ramah lingkungan yang beredar di pasar, harga yang premium diberikan untuk produk-produk tersebut.

Harga yang premium akan menimbulkan permasalahan lain yaitu kesulitan ekonomi bagi golongan masyarakat kurang mampu. Hal ini akan menimbulkan gap yang semakin tinggi antara golongan ekonomi mampu dan kurang mampu, sehingga problema sosial pun akan semakin kompleks. Selain itu, tujuan menjaga lingkungan dari kerusakan pun masih diragukan karena bahan-bahan yang digunakan tetap harus diambil dari alam. Mereka hendak mengurangi penggunaan alam tetapi dengan cara menggunakan bagian alam yang lain, sehingga alam pun sering kali tetap mengalami kerusakan.

2. Socialism 

Ide utama dari pandangan ini adalah prinsip sama rata. Prinsip ini dipercaya mengurangi kesenjangan antara golongan sehingga mencegah pertikaian yang tidak perlu. Di dalam pandangan ini, hak kepemilikan pribadi tidak diperbolehkan karena semua dimiliki oleh bersama dan dikelola oleh pemerintah sebagai penanggung jawabnya. Selain itu, perlakuan sama rata pun diberikan dalam hal kompensasi atau skala gaji pekerja, sehingga pemilik jabatan paling tinggi dengan pemilik jabatan paling rendah akan memiliki gaji yang tidak jauh berbeda, karena prinsip sama rata yang ingin diterapkan.

Masalah kesenjangan sosial mungkin dapat berkurang melalui sistem ini tetapi akan timbul permasalahan sosial lainnya. Stapleford menyatakan, “Communal property rights encourage overuse and abuse of poverty and reward shirking one’s obligations. Private property rights encourage property to be treated as a long-term asset and provide direct link between individual effort and economic return.” Hilangnya tanggung jawab karena ketidakjelasan batasan antara kepemilikan satu dan yang lainnya, sehingga ketidakadilan pun akan terjadi di dalam sistem yang seperti ini. Inilah yang menjadi penyebab hancurnya negara-negara penganut socialism, karena penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah yang memegang kontrol akan perekonomian negaranya.

Masalah berikutnya yang mungkin terjadi adalah hilangnya dorongan untuk bekerja keras karena ketiadaan insentif atau kompensasi dari kerja keras tersebut. Bayangkan apa yang akan terjadi di saat orang yang bekerja keras dan orang yang bermalas-malasan mendapatkan kompensasi yang hampir sama? Bukankah hal ini akan mendorong orang yang malas menjadi semakin malas dan orang yang rajin menjadi malas? Inilah masalah yang akan timbul dalam sistem ini: hilangnya kerja keras dan produktivitas.

3. Capitalism 

Penghargaan terhadap kerja keras, itulah yang menjadi dasar dari pandangan ini. Hal ini akan mendorong produktivitas di dalam bekerja. Semakin rajin dan keras kita bekerja maka kompensasi yang kita peroleh pun akan semakin tinggi. Oleh karena itu, tidak heran kalau pandangan ini lebih populer dan dianggap berhasil dibandingkan dengan pandangan lainnya. Kemajuan ekonomi yang pesat dan meningkatnya kesejahteraan hidup adalah dampak positif dari pandangan ini.

Apresiasi yang tinggi terhadap capitalism, tidak menjadikan sistem ini kebal dari dampak negatif. Kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin cukup kentara terjadi, diperkuat dengan gaya hidup yang hedonis dari golongan pekerja kerah putih. Tidak hanya itu, permasalahan kerusakan alam pun cukup santer terdengar karena pengeksploitasian demi mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa kesadaran adanya tanggung jawab moral. 

Semua ini menjadikan ekonomi pada masa ini terlihat baik dan menjanjikan dalam beberapa periode tetapi begitu buruk dan suram di periode yang lain. Ketimpangan ini dapat terjadi karena kerakusan dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya pada masa ini dan tidak adanya tanggung jawab moral demi masa depan. Yang lebih parah adalah pola berpikir materialisme yang mendorong nafsu para pelaku bisnis untuk semakin lama semakin haus dengan harta dan kekayaan.

Di antara ketiga pandangan ini, kekristenan sering kali diidentikkan dengan capitalism. Tetapi ini adalah pandangan yang salah. Memang di dalam beberapa poin dasar, kekristenan mengajarkan nilai yang mirip dengan capitalism. Nilai mengenai kerja keras, kebebasan, hak kepemilikan adalah beberapa di antaranya. Kegagalan terbesar dari capitalism adalah hati dari para pelaku ekonomi di dalamnya yang condong hanya pada profit dan kekayaan tanpa memedulikan tanggung jawab kepada Tuhan, sesama, dan alam. 

Performa kerja yang tinggi tanpa disertai etika yang tepat hanya akan menjadi alat penghancur yang bukan hanya menghancurkan orang lain tetapi juga diri sendiri. Sedangkan socialism adalah suatu usaha yang kontradiktif, perjuangan menegakkan akan keadilan tetapi menciptakan ketidakadilan yang bahkan bisa lebih rusak adanya. Memperjuangkan keadilan tanpa kembali kepada etika yang sejati dari Sang Adil itu sendiri tidak akan membuahkan hasil, yang ada hanyalah menciptakan keadilan dengan menggunakan cara yang tidak adil, itulah kontradiksinya. Begitu juga dengan environmetalism yang berusaha untuk memperjuangkan perbaikan lingkungan tetapi tidak menegakkan kembali etika yang benar, hanya akan berakhir pada kesia-siaan.

Reformed Ethics

Salah satu prinsip utama dalam menegakkan etika Kristen khususnya dalam sudut pandang Theologi Reformed adalah dengan melihatnya secara komprehensif dan tidak parsial. Cornelius Van Til menyatakan bahwa reformed ethics harus melihat di dalam ketiga aspek tersebut: goal, standard, dan motive. John M. Frame merumuskannya di dalam 3 perspectives:

1. Normative Perspectives 

Normative yang dimaksudkan di sini adalah hukum atau standar yang harus diikuti oleh setiap orang Kristen. Tentu saja apa yang dinyatakan oleh Alkitab menjadi standar bagi hidup kita. Kita harus selalu merefleksikan hidup kita pada apa yang Alkitab ajarkan. Melalui Perjanjian Lama kita belajar bahwa 10 Hukum Taurat diberikan untuk menyatakan keberdosaan manusia dan membawa umat Allah untuk berpegang kepada janji Allah akan Mesias. 

Melalui Perjanjian Baru kita belajar bahwa kita sudah ditebus oleh Sang Anak Domba Allah yang tersalib, dan melalui-Nya yang telah bangkit kita dituntun dalam pengudusan hidup yang progresif sesuai dengan Hukum Allah. Oleh karena itu, konteks hidup kita saat ini sebagai orang percaya adalah hidup yang harus selalu sinkron dengan Alkitab sebagai standar hidup kita. Di dalam normative perspective, reformed ethics adalah etika yang sesuai dengan hukum yang Allah sudah nyatakan di dalam Alkitab.

2. Situational Perspectives

Etika Reformed tidak hanya berhenti dalam tataran menaati hukum saja, karena reformed ethics bukanlah etika seorang legalis. Perspektif situasional juga menjadi sudut pandang yang harus digumulkan dalam membangun kehidupan yang beretika. Dengan memerhatikan situasi tidak berarti kita mengompromikan kebenaran berdasarkan situasi. Standar tetap kita pertahankan, tetapi konteks pengudusan yang progresif lebih disoroti dalam perspektif ini. 

Etika kehidupan yang mengarahkan kehidupan saat ini kepada Kerajaan Allah sebagai goal atau etika bertujuan untuk memuliakan Allah. Di dalam perspektif ini kita diajak untuk melihat kehidupan sebagai suatu pekerjaan Allah yang progresif dan berkesinambungan. Kita dipimpin untuk menyadari kehidupan saat ini sebagai struktur yang Tuhan sudah kerjakan sejak masa lampau melalui karya penebusan-Nya, dan juga melihatnya sebagai kehidupan yang sedang diarahkan kepada titik konsumasi di mana segala sesuatu disempurnakan. 

Inilah kehidupan yang berada dalam paradoks already and not yet. Oleh karena reformed ethics berfokus kepada pekerjaan Allah yang dinamis tetapi juga memiliki kesinambungan dan konsistensi, maka reformed ethics bukanlah etika yang ‘bunglon’ terhadap situasi. Fokus reformed ethics bukan kepada situasi tetapi kepada pekerjaan Allah dalam sejarah.

3. Existential Perspectives

Motivasi termasuk dalam aspek yang penting dalam reformed ethics. Salah satu syarat dalam menilai baik atau tidaknya suatu tindakan adalah dengan memerhatikan motivasi di balik tindakan tersebut. Iman kepada Allah dan kasih terhadap sesama adalah motivasi yang benar dari orang percaya. 

Oleh karena itu, di dalam perspektif ini kita memiliki tugas untuk melihat kekudusan motivasi hati kita, sehingga perbuatan baik itu bukan hanya terlihat dari sisi eksternal saja tetapi secara motivasi dalam diri pun (internal) murni di hadapan Tuhan. Existential perspectives berbeda dengan etika ‘asal motivasi baik’. Sebagaimana pohon yang baik pasti menghasilkan buah yang baik, maka motivasi yang benar akan menghasilkan tindakan benar yang memuliakan-Nya dan sesuai dengan kehendak-Nya.

Reformed Ethics on Economy

Membangun ekonomi yang Alkitabiah dimulai dengan membereskan apa yang menjadi core dari ekonomi itu sendiri yaitu etika. Salah satu yang banyak dilupakan dalam mempelajari ekonomi pada saat ini adalah relasi yang erat antara pembelajaran ekonomi dan pembelajaran etika. Kalau kita telusuri dengan baik, para pemikir bidang ekonomi pada zaman dahulu adalah tokoh-tokoh yang menuangkan pemikirannya juga dalam bidang etika. 

Bahkan untuk memahami dengan baik akan tulisan Adam Smith mengenai ekonomi, kita perlu dengan baik mengerti akan pemikirannya dalam bidang etika. Oleh karena itu, menegakkan kembali etika dalam dunia ekonomi sangatlah penting. Maka, untuk menerangi bidang ekonomi dengan kebenaran firman Tuhan, kita perlu dengan ketat menegakkan prinsip etika yang kuat berakar pada Alkitab.

Situational Perspective: Worship the Triune God vs. Idolatry

Seluruh alam semesta diciptakan untuk kemuliaan Allah, karena hanya Allah Tritunggal yang layak untuk disembah dan dimuliakan. Di saat kita memuliakan Allah berarti sedang membina relasi pribadi dengan-Nya. Hal ini berarti kita mengakui, memuji, berkomunikasi, dan tunduk kepada-Nya. Setiap aktivitas yang kita lakukan, termasuk dalam aktivitas ekonomi, harus kita lakukan demi kemuliaan Allah. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang dunia ini kejar yaitu kekayaan. Di saat kita menetapkan mamon sebagai tujuan akhir kita maka sudah jelas seluruh hidup kita bukan hamba Tuhan tetapi sudah menjadi hamba mamon. 

Kita perlu kembali mengevaluasi akan setiap aktivitas ekonomi yang terjadi di sekeliling kita, sudahkah aktivitas tersebut bertujuan untuk memuliakan Tuhan, atau justru untuk pengejaran akan materi? Dari pagi sampai dengan malam hari kita bekerja, triliunan USD diputar setiap harinya di sektor keuangan maupun sektor riil, jutaan transaksi terjadi setiap harinya, apa yang sedang dikejar dari semua ini? Mayoritas semua dilakukan hanya untuk mengejar profit yang sebesar-besarnya dan menggunakannya untuk kesenangan diri. 

Tetapi Alkitab mengajarkan untuk kita melakukan semuanya itu untuk kemuliaan Tuhan. Prinsip ini kontras berbeda dengan capitalism yang berjalan saat ini, yang mendorong setiap pelaku ekonomi untuk mengejar kekayaan bukan untuk kemuliaan Tuhan. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau dunia ini semakin hari semakin dirusak oleh keserakahan manusia demi kekayaan sebesar-besarnya. Tetapi sebagai orang percaya, kita harus membawa kembali semangat yang benar, marilah kita sedikit demi sedikit mencoba untuk memikirkan, menggumulkan, dan membangun sistem ekonomi yang menempatkan kemuliaan Allah sebagai tujuannya.

Normative Perspective: Image of God and Stewardship

Selain semua dipersembahkan untuk kemuliaan Tuhan, etika Kristen pun menekankan akan siapa dan apa peranan kita di dalam dunia ini. Sebagai gambar dan rupa Allah, kita harus menyadari bahwa kita berada di dalam dunia ini untuk merefleksikan akan siapa Allah, maka setiap hal yang kita kerjakan harus sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki. 

Sebagai puncak ciptaan Allah, kita tetap harus menyadari bahwa seluruh dunia ini adalah milik Allah dan peranan kita adalah untuk menggarapnya dan mengembalikannya untuk kemuliaan Tuhan. Prinsip ini mengajarkan kita bahwa manusia adalah wadah dari kebenaran yang bertugas untuk menjalankan setiap kebenaran yang ia peroleh dari Allah dalam menggarap dunia ini. 

Oleh karena itu, ekonomi yang Alkitabiah adalah ekonomi yang dijalankan berdasarkan mandat dan hikmat Allah, bukan berdasarkan keinginan dan hikmat manusia yang bodoh dalam menggarap alam ini. Kesadaran bahwa alam ini adalah titipan Tuhan menjadikan manusia bertanggung jawab dalam menggunakannya. 

Dengan menggunakan hikmat Allah, manusia dapat dengan bijaksana menggunakan alam ini untuk kepentingan umat manusia. Berbeda dengan environmentalism, di dalam kebenaran kita menggarap alam untuk kesejahteraan manusia dan di dalam konsep stewardship kita bertanggung jawab menggunakan alam ini. Yang utama adalah mandat dan hikmat Allah dalam menggarap alam, bukan alam itu sendiri.

Existential Perspective: Justice, Righteousness and Fairness

Berbeda dengan socialism yang berusaha untuk menegakkan keadilan tetapi berujung pada ketidakadilan. Etika Kristen membangun ekonomi dengan motivasi yang berdasarkan justice, righteousness, dan fairness. Justice berarti setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diusahakannya, sedangkan righteousness berarti melakukan sesuatu secara benar dan memikirkan dampaknya secara komunal, serta fairness adalah setiap orang mendapatkan haknya yang sama sebagai manusia. 

Di dalam konsep ini maka setiap orang akan tetap bekerja keras dan mendapatkan kompensasi sesuai dengan usahanya karena adanya prinsip justice. Tetapi di sisi lain, usaha yang ia lakukan pun tidak boleh usaha yang egois tetapi memikirkan juga prinsip righteousness dengan melihat dampak dari usahanya serta memikirkan kepentingan orang lain juga, sehingga jangan sampai keuntungan yang ia peroleh didapatkan melalui kerugian orang lain. 

Dan di sisi yang lain, berdasarkan prinsip fairness kita membangun sistem ekonomi yang melibatkan setiap orang di dalamnya, karena setiap manusia berhak dan harus diberikan kesempatan untuk menjalankan aktivitas ekonomi bukan demi mendapatkan profit semata tetapi juga untuk berbagian dalam melayani dan memuliakan Tuhan melalui dijalankannya prinsip fairness tersebut. Melalui ketiga prinsip inilah maka keadilan yang benar dan sejati dapat dijalankan dengan tepat dan sesuai dengan kebenaran firman Tuhan.

Ketiga prinsip ini hanya beberapa prinsip yang dipaparkan untuk mengontraskan etika yang Alkitab tawarkan, khususnya dalam sudut pandang Theologi Reformed, dengan filsafat nilai yang dunia ini tawarkan. Masih begitu banyak prinsip etika Kristen yang diajarkan Alkitab serta sudut pandang yang juga diberikan oleh firman Allah tersebut. Tetapi biarlah melalui beberapa prinsip yang sederhana ini kita menyadari krusialnya Theologi Reformed dalam menjalankan mandat budaya untuk membangun masyarakat yang memiliki budaya yang sesuai dengan kebenaran dan memuliakan Allah.

Creational View - Reformed Metaphysics

Artikel sebelumnya membahas mengenai Reformed Ethics on Economy, menegakkan kembali etika Kristen (terutama dalam Reformed Theology framework). Seperti yang dikatakan oleh Stapleford bahwa inti dari ilmu ekonomi adalah mengenai value atau etika. Tetapi untuk membangun sebuah cara pandang yang komprehensif, tidak cukup hanya dengan etika. Maka pada beberapa artikel ini dan selanjutnya akan memberikan integrasi Reformed Theology dan bidang ekonomi dengan menggunakan framework Christian Worldview (CWV).

Framework in Christian Worldview
Selain etika (Theory of Value), untuk membangun sebuah cara pandang yang komprehensif kita perlu menyoroti juga aspek metafisika (Theory of Being) dan epistemologi (Theory of Knowledge). Ketiga bidang dalam filsafat ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Seperti yang John Frame katakan, “My general conclusion is that metaphysics, epistemology, and value theory are not independent of one another. Rather, they presuppose one another and influence one another.” 

Lebih lanjut, ia mengatakan, “Indeed, all epistemologies presuppose that the human subject is somehow connected to the world so that knowledge is possible that is a metaphysical presupposition. Similarly, value theory makes little sense unless there is a source of value. But to affirm that there is such a source and to identify it is a metaphysical task.”

Oleh karena itu, ketiga bidang ini harus kita lihat secara perspektif. Di saat mempelajari etika, kita harus mempresuposisikan apa yang menjadi fondasi metafisika atau apa yang kita percaya mengenai tatanan alam semesta ini. Begitu juga kita harus mempresuposisikan, bahwa apa yang kita ketahui ini adalah kebenaran yang sejati bukan ilusi atau tipuan. Metafisika dan epistemologi menjadi presuposisi di dalam mempelajari etika. 

Begitu juga epistemologi kita mempresuposisikan etika dan metafisika. Serta dalam metafisika, kita harus mempresuposisikan etika dan epistemologi. Melalui cara pandang yang seperti ini, kita dapat memiliki pengertian yang lebih komprehensif dan dinamis akan kebenaran yang hidup. Kerangka berpikir yang sama, perlu kita adopsi di dalam memikirkan integrasi ilmu ekonomi dengan theologi.

Selain cara pandang yang komprehensif, Christian Worldview (CWV) memandang kebenaran di dalam dinamika pergerakan sejarah umat manusia yang kita kenal sebagai CFRC (Creation – Fall – Redemption – Consummation). Keempat titik utama dalam sejarah umat manusia ini memberikan suatu realitas yang harus kita gumulkan di dalam melakukan integrasi antara Reformed theology dengan ekonomi.

Pada artikel kali ini kita membahas implikasi Reformed Theology (dalam konteks Creational view) dari sudut pandang metafisika.

Metafisika
Realitas yang dipercayai oleh kekristenan adalah realitas yang dimulai dengan titik penciptaan. Titik di mana Sang Pencipta melakukan karya penciptaan-Nya sehingga ciptaan bisa memiliki keberadaan. Berikut beberapa poin mengenai metafisika Alkitab dan implikasinya bagi ilmu ekonomi:

A. Creator – Creature Distinction
Terdapat perbedaan secara kualitas antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya. Keberadaan ciptaan yang sementara, bergantung kepada Sang Pencipta yang kekal. Hal ini berarti sebagai ciptaan, kita berada bukan bagi diri kita sendiri tetapi bagi Sang Pencipta. Bukan juga memperlakukan ciptaan lain untuk kesenangan diri manusia semata, karena kita hanyalah ciptaan. Sehingga fokus seluruh keberadaan ciptaan berada pada Allah, dengan kata lain seluruh ciptaan seharusnya God-centered.

Selain mencipta, Allah pun memelihara keberadaan ciptaan. Keberadaan alam semesta ini tidak berjalan secara mekanis layaknya sebuah jam yang diciptakan sang pembuat jam. Karena baik di dalam proses kerja yang reguler maupun yang tidak reguler Allah memegang kendali dan berkuasa mengatur semua. Beberapa implikasinya terhadap ekonomi:

Economics for the glory of God
Seperti yang sudah dibahas dalam artikel sebelumnya, bahwa tujuan dari ilmu ekonomi itu sendiri adalah for the glory of God. Baik manusia atau segala sesuatu yang ada di dalam ciptaan tidak pernah bisa menggantikan posisi Allah sebagai tujuan akhir. Hal ini berlainan dengan apa yang diajarkan oleh ilmu ekonomi. 

Pada umumnya ekonomi mengajarkan tujuan dari aktivitas ekonomi adalah untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Kedua hal ini tidak dapat ditempatkan sebagai tujuan akhir, melainkan hanya sebagai media atau sarana untuk mencapai tujuan akhir yaitu memuliakan Tuhan. Profit diperoleh bukan untuk pemuasan akan nafsu diri, dan bukan juga demi kesejahteraan umat manusia semata, itu hanyalah bagian dari proses untuk memuliakan Allah. Begitu juga umat manusia diperhatikan agar kita dapat hidup memuliakan Tuhan. 

Kalau tujuan dari ekonomi berhenti pada kesenangan diri atau kebaikan umat manusia, maka cepat atau lambat ketimpangan dan efek negatif yang nyata akan terjadi. Kesenjangan sosial, kerusakan lingkungan, kriminalitas adalah beberapa contoh efek negatif dari ketimpangan aktivitas ekonomi.

Knowing God through economics
Berbeda dengan pemikiran dunia yang menyatakan kebenaran itu ada karena chance, konspirasi, atau cara kerja yang mekanistik. Kekristenan percaya bahwa dunia ini adalah dunia yang terus berada karena pemeliharaan Allah. Baik dengan cara yang reguler (biasa) maupun spektakuler (di luar dari kebiasaan), bila direnungkan dengan baik, kita akan melihat akan topangan tangan Allah di dalam alam semesta ini. 

Ilmu pengetahuan pada umumnya sangat bergantung pada cara kerja Allah yang reguler untuk membangun teorinya. Walaupun cara kerja Allah yang tidak reguler pun akan memberikan pembelajaran tersendiri bagi ilmu pengetahuan.

Begitu juga dengan ilmu ekonomi. Teori ekonomi dibangun dengan metode empiris, yaitu mempelajari gejala sekitar dan mengambil kesimpulan, setelah melalui proses pengujian barulah kesimpulan itu menjadi teori. Objek penelitiannya adalah need and behavior manusia dan gejala yang terjadi pada alam. Baik kebutuhan manusia maupun gejala alam, berada karena Allah yang menopangnya. 

Adanya kebutuhan dan kebiasaan adalah karena Allah mendesain manusia memilikinya (sandang, pangan, papan), walaupun di sisi lain hal ini dapat terbentuk karena pengaruh kebudayaan (seperti kebutuhan akan social media, handphone berkamera, dan lain-lain). 

Alam pun memiliki pola yang diatur oleh Allah, seperti musim yang berkait dengan masa panen sayur-mayur atau buah-buahan. Karena itu ilmu ekonomi sangat bergantung kepada regularity Allah. Berdasarkan prinsip kerja reguler ini, ilmu ekonomi dapat terbentuk dengan tujuan untuk mengatur potensi yang terkandung di dalam alam dan mengelolanya bagi kemuliaan Allah dan kesejahteraan hidup umat manusia.

Seharusnya semakin kita mempelajari ekonomi, semakin kita dapat melihat jejak kemuliaan Allah melalui karya-karya-Nya. Semakin kita melakukan aktivitas ekonomi, semakin kita bersyukur kepada Tuhan karena topangan tangan-Nya yang memungkinkan aktivitas ekonomi terjadi.

B. Absolute Trinity – One and Many Reality
Allah yang kita percaya adalah Allah Tritunggal, satu Allah tiga pribadi. Oleh karena itu dunia ciptaan ini adalah dunia yang memiliki karakteristik seperti Sang Pencipta, yaitu one and many atau dikenal juga sebagai unity in diversity. Prinsip inilah yang kita jumpai saat kita mempelajari alam yang mencerminkan kemuliaan Allah. 

Dalam ciptaan ini kita dapat menggeneralisasi untuk mendapatkan gambaran umum atau klasifikasi terhadap berbagai jenis ciptaan. Tetapi di saat yang bersamaan kita pun dapat melakukan spesifikasi untuk mendapatkan keunikan yang ada di dalam detail setiap ciptaan ini. Prinsip ini dapat kita jumpai di dalam seluruh ciptaan, sehingga ilmu pengetahuan yang sejati pun harus mampu menunjukkan unity in diversity yang ada dalam realitas ini, termasuk bidang ekonomi. Implikasinya terhadap ekonomi:

Many possibility for creativity
Adanya prinsip unity in diversity dalam realitas dunia ini, memberikan kemungkinan yang banyak untuk kita bereksplorasi dan berkreasi. Kemungkinan ini Tuhan berikan baik dalam potensi yang terkandung di alam ini, maupun potensi yang dimiliki manusia untuk berkreasi. Yang menarik dalam kreativitas ini adalah nilai yang semakin tinggi dalam kondisi yang semakin terbatas. Maksudnya adalah semakin kita mampu menghasilkan suatu kreasi yang bernilai tinggi dalam keterbatasan bahan ala kadarnya, semakin kita mendapatkan apresiasi atas kreativitas kita.

Prinsip yang sama pun ada di dalam ilmu ekonomi. Kemajuan yang pesat bagi ekonomi terjadi saat kita dapat melakukan inovasi. Hal ini terbukti dengan membandingkan produktivitas pada masa sebelum Revolusi Industri dengan sesudahnya. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan karena adanya pergeseran cara berpikir mengenai pertumbuhan ekonomi. 

Dari cara berpikir yang mengidentikkan kemakmuran ekonomi dengan penguasaan wilayah dan sumber daya, berubah menjadi cara berpikir yang mengedepankan inovasi dan kreativitas dalam meningkatkan produktivitas. Di masa lalu kita melihat Revolusi Industri itu sendiri memberikan dampak negatif karena memfokuskan produktivitas dengan mengorbankan nilai sosial dan lingkungan. 

Meskipun begitu, tetap kreativitas adalah anugerah yang Tuhan berikan kepada manusia untuk menggarap akan potensi alam. Sehingga menghargai anugerah Allah dan menggunakannya dengan tepat akan memberikan dampak yang positif bagi kemanusiaan (salah satunya dengan kemajuan ekonomi), maupun kemungkinan manusia untuk memuliakan Allah melalui kehidupan sehari-harinya.

Possibility of trading because of uniqueness and dependent to others
Tuhan memberikan anugerah-Nya melalui alam dalam bentuk kekayaan yang berbeda di setiap wilayah. Perbedaan ini sering digunakan untuk memamerkan keunggulan demi kemuliaan diri – ini adalah salah kaprah. Seharusnya perbedaan adalah salah satu pengikat hubungan antar wilayah. Kekayaan alam suatu wilayah dapat digarap untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri maupun wilayah lainnya. 

Dan mereka pun pasti memerlukan kekayaan alam yang berada pada wilayah lain. Hal inilah yang memungkinkan terjadinya perdagangan. Dalam sejarah perekonomian dunia, terlihat perbedaan yang signifikan dalam pertumbuhan ekonomi yang didasarkan pada perdagangan antar wilayah dibandingkan dengan perekonomian berdasarkan penguasaan sumber daya.

Sebagaimana manusia saling melengkapi dalam komunitas demi mencapai suatu tujuan, maka perdagangan antar wilayah juga adalah salah satu bentuk komunitas yang saling melengkapi sehingga kemungkinan memuliakan Allah semakin terbuka lebar. Inilah peranan ekonomi, menggarap perdagangan bukan untuk mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya, tetapi untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang mendorong perkembangan budaya untuk kemuliaan nama Tuhan.

C. The Abundance of Creation
Prinsip lain dari Alkitab adalah alam semesta ini diciptakan dengan kondisi yang baik. Berkali-kali Alkitab menuliskan bahwa “Allah memandang ciptaan ini baik adanya”. Hal ini berarti seluruh ciptaan dalam kondisi yang tidak bercacat dan juga dalam jumlah atau potensi yang bukan saja cukup tetapi juga berlimpah. Allah memberikan alam kemampuan self-recovery. 

Maksudnya, katakanlah hasil alam diambil dan digunakan untuk kebutuhan manusia, alam dapat kembali menumbuhkan hasil itu selama manusia melakukan tanggung jawab untuk memelihara alam. Ini salah satu bentuk kelimpahan alam yang Tuhan berikan. Implikasinya bagi ilmu ekonomi:

The problem in economy is not scarcity
Masalah kelangkaan adalah presuposisi dasar yang sering kita jumpai pada bab awal hampir semua textbookekonomi. Kebutuhan manusia yang tidak terbatas harus dipenuhi oleh alam yang terbatas, inilah inti masalah kelangkaan. Kalau tidak berhati-hati, secara tidak sadar kita akan menanamkan pengertian dunia yang memiliki cacat, yaitu keterbatasan, untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas. 

Tetapi saat kita membaca Alkitab dengan benar, kita akan mengerti bahwa dunia ini diciptakan Allah dengan kondisi yang baik atau berlimpah. Memang alam ini diciptakan dalam keterbatasan, tetapi itu bukan masalahnya. Yang menjadi masalah utama adalah kerakusan manusia berdosa.

Kerangka berpikir seperti ini harus dilihat dengan kritis, karena ekonomi bukanlah juruselamat untuk mengatasi keterbatasan alam. Tetapi ekonomi adalah ilmu yang mengatur pengelolaan alam ini untuk menggali potensi dan mengelolanya menjadi hasil yang memiliki nilai tambah bagi kemuliaan Tuhan.

The abundance of creation is potential that must be actualized
Kelimpahan yang ada di dalam alam adalah kelimpahan yang sifatnya masih berupa potensi. Tantangannya adalah bagaimana potensi ini diaktualisasikan dengan pertambahan nilai. Kehandalan teori ekonomi adalah saat teori tersebut dapat mendorong manusia untuk mau mengelola potensi alam menjadi bentuk aktual yang bernilai. 

Kayu yang dipahat menjadi sebuah karya seni bernilai tinggi, tumbuh-tumbuhan yang dikelola menjadi makanan bergizi, semua ini adalah wujud nyata pengelolaan yang menambah nilai aktual. Seperti bahasan bagian sebelumnya, hal ini mungkin karena Tuhan sudah memberikan kemungkinan dalam kelimpahan alam dan daya kreativitas manusia. Ini adalah tugas ilmu ekonomi yang berdasarkan prinsip Alkitab.

Di dalam konteks ini, kita dapat melihat uang sebagai alat atau sarana bagi kemuliaan nama Tuhan dan bukan menjadikan uang sebagai objek atau tujuan akhir dari ekonomi (inilah yang disebut sebagai hamba mamon), karena uang hanyalah suatu alat tukar yang menilai suatu barang atau jasa. Tugas dari para pelaku ekonomi adalah meningkatkan nilai dari potensi yang terkandung di dalam alam dan memakai uang sebagai alat ukurnya secara fair.

D. Man as Image of God 
Alam diciptakan bagi manusia, dan manusia bagi Allah. Inilah posisi krusial manusia, yang diciptakan di antara Allah dan alam. Posisi ini membawa kita kepada konsep stewardship (seperti yang sudah dibahas dalam artikel sebelumnya). Stewardship berarti manusia berkuasa atas alam tetapi bukan sebagai tuan atas alam, melainkan sebagai hamba yang menjalankan tugas dari Sang Tuan. Beberapa implikasinya bagi ilmu ekonomi adalah:

Nature needs to be maintained not to be exploited
Alam diciptakan bagi manusia dan manusia diciptakan dengan kehormatan untuk menguasai alam. Tetapi hal ini bukan berarti kita dapat mengeksploitasi alam dengan seenaknya karena alam itu sendiri harus dipelihara. Maka kita dapat melihat adanya relasi timbal balik, di mana manusia mengambil yang ada dalam alam, tetapi memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan mengusahakan alam. 

Bila terjadi ketimpangan di dalam relasi ini, maka alam akan menjadi bumerang bagi manusia. Alam yang tidak lagi menghasilkan bagi manusia dan bencana alam adalah beberapa konsekuensi yang terjadi karena manusia melupakan tugasnya untuk memelihara alam ini.

Ilmu ekonomi yang Alkitabiah seharusnya membawa para pelaku ekonomi untuk memikirkan konsekuensi logis yang akan terjadi dalam setiap aktivitas ekonomi mereka. Dengan kebijaksanaan dari Tuhan memilih aktivitas mana yang akan dilakukan. Aktivitas yang memuliakan Tuhan, tetapi di saat bersamaan meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan memerhatikan efeknya terhadap lingkungan.

Exchanging God’s gift
Seperti alam yang memiliki keunggulan sumber daya yang berbeda di setiap wilayah, maka manusia pun diciptakan dengan talentanya masing-masing. Talenta ini bukan untuk dipamerkan tetapi juga bukan untuk diabaikan. Setiap talenta di dalam segala keunikannya diberikan untuk kita hargai, bukan dipilah-pilah mana yang bernilai jual tinggi, mana yang tidak. Semua talenta Tuhan berikan kepada umat manusia untuk di-nurture menjadi kemampuan yang saling melengkapi untuk mengembangkan kebudayaan bagi kemuliaan Allah.

Prinsip ini harusnya mengarahkan ilmu ekonomi untuk memikirkan bukan hanya talenta yang marketable tetapi juga talenta yang tidak mainstream, yang kurang digemari karena dianggap tidak dapat menghasilkan profit (seperti humanity studies). Karena talenta yang tidak marketable ini adalah aspek krusial yang membentuk budaya dalam keutuhan. Saat hal ini diabaikan, dampak negatifnya mungkin tidak dirasakan langsung tetapi lambat laun, dan sering kali tidak disadari, akan menggerogoti kehidupan manusia menjadi semakin rusak. Karena itu, setiap anugerah talenta harus dihargai dan ditempatkan sebagai bagian dalam membangun kebudayaan.

Conclusion
Ilmu ekonomi seharusnya tidak hanya mengajarkan bagaimana kita mengelola alam demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi juga harus mengajarkan keseimbangan pengertian antara meningkatkan kesejahteraan manusia dan pemeliharaan lingkungan. Keseimbangan ini hanya dapat tercapai saat manusia menyadari bahwa ilmu ekonomi adalah untuk kemuliaan Tuhan. Memandang ekonomi dalam perspektif yang balance sekaligus comprehensive.

Hal ini dapat dibangun saat kita kembali kepada prinsip-prinsip kebenaran Alkitab. Membentuk ilmu ekonomi yang bukan hanya membangun dalan aspek materi tetapi juga aspek edification manusia di dalam relasinya dengan Allah, alam, dan diri sendiri. Pada artikel selanjutnya kita akan membahas aspek epistemologi Alkitab dan implikasinya bagi ilmu ekonomi.

Creational View - Reformed Epistemology

Hidup sebagai seorang Kristen pada zaman ini mudah sekali untuk jatuh atau terjebak di dalam cara pandang yang sempit, yaitu memandang kekristenan hanya sebagai aktivitas religius dan kehidupan etika umum. Saat disodorkan ayat 1 Korintus 10:31, kebanyakan kita akan gagal dalam melihat bagian ini sebagai panggilan untuk memuliakan Allah dalam setiap aspek kehidupan. 

Kita cenderung mengidentikkan bagian ini dengan moralitas umum saja tetapi gagal untuk melihat aspek lain, seperti dunia pemikiran juga perlu dipersembahkan bagi kemuliaan Tuhan. Bukan hanya kehidupan yang Alkitabiah, tetapi juga terdapat ilmu pengetahuan yang Alkitabiah, dan itulah salah satu tugas dan panggilan kita sebagai orang Reformed dalam melakukan mandat budaya.

Hal ini berlaku juga dalam bidang ekonomi. Untuk menjalankan mandat budaya dalam ilmu ekonomi, kita tidak bisa asal terima ilmu yang sudah ada, langsung memakainya dengan ditempelkan embel-embel untuk kemuliaan Tuhan, lalu kita berkata bahwa kita sudah menjalankan mandat budaya. Kita harus membangun secara holistik mulai dari etika dan metafisika, seperti yang sudah kita bahas dalam dua artikel sebelumnya, hingga epistemology (theory of knowledge) yang akan kita bahas pada artikel ini.

Presupposition in Building Reformed Epistemology

Membangun Reformed Epistemology berarti menegakkan kembali supremasi Alkitab sebagai dasar atau fondasi dari ilmu pengetahuan, karena Alkitab adalah sumber segala pengetahuan dan kebijaksanaan Allah (Kolose 2:3, 1Kor. 1-3). Berkaitan dengan hal ini Cornelius Van Til menggunakan istilah Receptively Reconstructive, atau dengan kalimat lain adalah thinking after God’s own Thought. Ada juga yang mengatakan bahwa pengetahuan Allah adalah pengetahuan archetypal dan pengetahuan kita adalah ectypal. Terdapat perbedaan antara pencipta dan ciptaan dalam konteks pengetahuan. John 

Frame menjabarkan perbedaannya seperti demikian: 

God’s knowledge is original, ours derivative from His. 
God’s knowledge is exhaustive, ours is limited. 
God’s knowledge serves as the ultimate criterion of truth and right; our knowledge must observe those standards. 

God never needs information or illumination from outside himself. We cannot know anything without the help of God and our experience of the world outside ourselves. 

God knows what he knows without process, simply by being what he is. His knowledge has sometimes has been described as an eternal intuition. But our knowledge often requires hard efforts to accumulate facts and to figure out logical deductions. 

God’s knowledge of the facts of creation precedes the existence of the facts. But the facts precede our knowledge of them. 

God’s interpretation of the facts precedes the existence of the facts; our interpretation is a reinterpretation of God’s prior interpretation. So the facts of our experience are not “brute” or uninterpreted facts, as if human interpretation were the first. Rather, the facts are already interpreted before we come to know them. And God’s interpretation is the normative interpretation that should govern ours. 

Ilmu pengetahuan yang sejati adalah ilmu yang kembali kepada wahyu Allah. Sebagai garam dan terang dunia, kita harus membawa kebenaran ini ke dalam setiap bidang pengetahuan. Menegakkan firman Tuhan sebagai induk dari seluruh pengetahuan, membangun ilmu pengetahuan yang sejati, yang memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi umat manusia.

Berdasarkan pengertian ini, maka justifikasi kebenaran suatu pengetahuan bukan terletak pada otoritas manusia, bukan juga pada relevansi pengetahuan itu bagi suatu konteks zaman atau juga kesesuaiannya dengan teori atau hukum yang berlaku, tetapi kepada firman Tuhan. Hal ini bukan berarti Reformed epistemology membawa pengetahuan menjadi ilmu alien yang tidak bisa dipahami dan tidak relevan, tetapi Reformed epistemology membawa pengetahuan menjadi ilmu yang dapat menjawab kebutuhan yang sebenarnya dari umat manusia serta tantangan yang ada di dalam zaman itu berdasarkan interpretasi kebenaran firman Tuhan. 

Hal ini juga bukan berarti kita membuang semua tools yang tersedia, seperti logika, statistika, sejarah perkembangan ilmu, dan sebagainya, tetapi kita menggunakan semua ini di dalam metodologi, tujuan, dan motivasi yang benar.

Epistemology on Economics
Ekonomi adalah bidang yang cukup bergantung kepada metode empiris dalam pembentukan teorinya. Dimulai dengan mempelajari gejala sekitar lalu mengambil kesimpulan, setelah melalui proses pengujian barulah kesimpulan itu menjadi teori. Proses ini menunjukkan bahwa pengujian validitas atau justifikasi ilmu ekonomi berada pada relevansinya menjawab kebutuhan suatu konteks zaman. 

Pendekatan ilmu ekonomi seperti ini adalah pendekatan yang berkembang pada konteks zaman modern hingga saat ini, khususnya bermula dari pemikiran Adam Smith. Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan scientific atau dalam ekonomi hal ini disebut sebagai positive approach of economy.

Teori-teori ekonomi yang kita pelajari di dalam dunia akademis adalah positive economy. Teori supply-demand, kebijakan fiskal dan moneter, makroekonomi maupun mikroekonomi, semua itu adalah teori-teori yang kita peroleh melalui pendekatan positive economy. Positive economy berkaitan dengan deskripsi (what is) mengenai ekonomi sehingga statistika, empiris, dan metodologi penelitian adalah tools yang digunakan untuk membangun teori ekonomi. 

Pendekatan ini sangat membantu para pelaku ekonomi untuk membuat keputusan, karena ekonomi digambarkan sebagai sebuah sistem yang pergerakannya bisa diperkirakan dengan memerhatikan trend yang terjadi dalam indikator-indikator ekonomi. Walaupun bisa diperkirakan, tetap saja ada faktor eksternal yang memungkinkan terjadinya suatu kejutan atau fenomena yang tidak pernah terjadi di dalam sistem tersebut, sehingga sifatnya bukanlah suatu kepastian tetapi sebuah kemungkinan.

Pendekatan yang lain dalam ekonomi adalah normative approach. Dalam pendekatan ini kita belajar mengenai bagaimana seharusnya ekonomi itu dijalankan (how should) dengan memerhatikan aspek etika, moralitas, serta keunikan setiap manusia. Ini adalah pendekatan yang melihat ekonomi sebagai ilmu humaniora atau seni yang begitu fleksibel bergantung dengan konteks yang dihadapi. Pendekatan ini adalah pendekatan yang juga valid dalam perkembangan ilmu ekonomi karena objek dari ekonomi adalah manusia yang dinamis dan memiliki keunikan dari setiap pribadinya, sehingga perdekatan yang lebih personal dan luwes dapat relevan.

Analysis on Economy Epistemology
Kedua pendekatan ini sering kali dipisahkan saat kita mempelajari ekonomi. Misalnya saja, saat mempelajari keuangan kita akan dipaparkan mengenai mekanisme dalam mengelola dan mengembangkan keuangan dalam organisasi maupun pribadi dengan segala mekanisme yang tersedia seperti saham, forex, bahkan dalam money games yang masih diperdebatkan dalam aspek etikanya. 

Sedangkan saat kita mempelajari etika bisnis, kita dibawa untuk melihat sisi moralitas tanpa meninjau ulang mekanisme bisnis dan ekonomi atau sisi scientific. Dengan kata lain, apa yang terjadi dalam dunia ekonomi saat ini adalah dualisme antara etika dan epistemology.

Membangun positive economy yang terlepas dari normative economy tidaklah mungkin dilakukan. Sebagaimana science yang terlepas dari sistem nilai adalah sebuah mitos atau kemustahilan dalam realitas. Berikut beberapa poin yang menunjukkan ketidakmungkinan pemisahan antara positive dan normative economy: 

Sebuah riset ekonomi tidak dapat mengatur data yang ia dapatkan. Dalam riset, data yang diambil begitu beragam. Data ini bisa berasal dari berbagai latar belakang budaya, waktu yang berbeda, kondisi makroekonomi yang berbeda. Bahkan struktur pertanyaan, metode, dan media yang digunakan akan memengaruhi seluruh hasil riset tersebut. 

Semua hal ini menunjukkan bahwa sebuah riset yang scientific sangat bergantung kepada konteks atau latar belakang budaya dan etika yang sedang belaku. 
Riset itu sendiri pun dijalankan dengan setumpuk aturan dan etika yang harus dipatuhi. Dalam dunia riset kita mungkin pernah mendengar slogan “riset boleh salah tetapi tidak boleh berbohong”, kejujuran seorang peneliti akan menentukan validitas dan relevansi riset tersebut. Karena itu pembentukan ilmu ekonomi sangat erat dengan konteks etika. 

Positive economy yang tidak dibatasi dengan normative economy dapat menjadi salah satu bentuk usaha manusia di dalam membangun supremasi diri sebagai allah yang dapat memprediksi apa yang akan datang atau bahkan mengendalikan apa yang akan terjadi. Walaupun usaha ini hanya akan membuahkan kesia-siaan tetapi usaha menjaring angin ini harus dibatasi dan diperingatkan dengan adanya aturan atau hukum. Sehingga dengan adanya normative economy dapat menjadi pembatas atau pagar yang membatasi sekaligus pembimbing dari berkembangnya positive economy.

Begitu juga sebaliknya, normative economy yang berkembang tanpa disertai dengan positive economyhanya menjadikan ilmu ekonomi sebagai ilmu yang terbatas bagi kepentingan diri atau kelompok kecil orang tetapi sulit untuk menjadi ilmu yang berguna untuk khalayak. Atau dengan kata lain hanya menjadikan ilmu ini sebagai ilmu yang egois tanpa memikirkan effect maupun side-effect dari keputusan ekonomi diri atau sekelompok tertentu saja. 

Selain poin-poin ini, secara sejarah perkembangannya juga, ekonomi tidak terpisah dari etika dan moral. Ilmu ekonomi itu sendiri bermula dari filsafat moral. Sejak zaman Aristotle hingga Thomas Aquinas, ekonomi masih merupakan bagian dari filsafat moral. Baru pada zaman Adam Smith, ilmu ini berkembang menjadi ilmu yang lebih scientific.

Reformed Epistemology and Economy

Menerapkan Reformed epistemology ke dalam ilmu ekonomi berarti kita ingin mengembalikan pengujian atau justifikasi dari ilmu ekonomi kepada kebenaran. Hal ini tidak hanya bisa dilakukan dengan menyatukan positive dan normative economy menjadi sebuah ilmu ekonomi yang utuh tetapi kita harus membangun kerangka yang lebih komprehensif dan sesuai dengan apa yang Alkitab katakan. Dalam artikel ini penulis akan memakai triperspectivialism dari John Frame sebagai kerangka utamanya.

Normative perspective: Obedience to God’s norm holistically 

Kita sudah membahas, dalam artikel sebelumnya dalam Reformed metaphysics, mengenai beberapa prinsip dasar dari iman kekristenan dan implikasinya bagi ilmu ekonomi. Prinsip-prinsip dapat menjadi guideline di dalam menguji validitas ilmu ekonomi. Salah satu prinsip yang harus dipegang adalah creator-creature distinction. Berdasarkan prinsip ini, maka kita harus menyadari bahwa positive economy memiliki keterbatasan. 

Usaha manusia untuk memiliki pengetahuan melampaui batasan sebagai ciptaan, adalah sebuah usaha yang berdosa. Hal ini bukan berarti perencanaan atau antisipasi terhadap apa yang akan terjadi di masa yang akan datang tidak perlu dilakukan. Perencanaan dan persiapan adalah hal yang perlu dan baik, tetapi sebagai orang percaya, kita harus beriman kepada Allah yang memelihara seluruh ciptaan. Oleh karena itu, positive economy adalah tools yang relevansinya terbatas di dalam konteks cara kerja Allah yang bersifat regularities.

Secara naturnya, ekonomi lebih dekat dengan konteks ilmu humaniora dan seni, karena ilmu ini sangat berkaitan dengan manusia. Sebagaimana ilmu sosial maupun politik yang tetap memiliki prinsip umum tetapi fleksibel dalam penerapannya, begitu juga dengan ilmu ekonomi. 

Pemberdayaan sisi positive maupun normative tetap akan memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu ekonomi. Sebagai contoh: dalam teori hukum permintaan, inovasi dalam teknologi akan mengubah sisi permintaan dalam pasar, sehingga konteks ekonomi yang selama ini ada akan mengalami perubahan. 

Kesimpulan ini didapatkan melalui pendekatan positive economy. Dengan kesimpulan ini, sebagai pelaku ekonomi kita bisa mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi bila terjadi inovasi. Perubahan ini cepat atau lambat akan mendorong dan membongkar kenyamanan di dalam konteks ekonomi yang lama menuju konteks yang baru dengan segala konsekuensi yang mungkin terjadi. 

Tetapi untuk mengetahui apakah dampak ini memberikan efek positif atau negatif, kita perlu meninjaunya dari sisi normative economy. Seberapa jauh benefit yang diberikan melalui perubahan ini? Seberapa besar cost baik dari sisi sosial, budaya, maupun lingkungan yang harus dibayar demi terjadinya perubahan ini? Semua ini dapat dijawab dengan melihatnya dari sisi normative economy. Sehingga keutuhan ilmu ekonomi hanya dapat terjadi dengan menggabungkan sisi normative maupun positive dari ekonomi. 

Situational perspective: Relevancy for all ages

Pergerakan waktu dan sejarah yang terbentuk di dalamnya berada di dalam kedaulatan Tuhan. Baik sejarah keselamatan yang adalah karya agung Allah, maupun sejarah keberdosaan yang Tuhan reka-rekakan bagi kebaikan orang percaya, semua itu adalah bagian dari kedaulatan Allah. Maka kita dipanggil untuk menjawab setiap tantangan zaman bukan hanya dalam konteks theologi tetapi juga dalam ilmu ekonomi. 

Kegagalan kita untuk menjawab tantangan aspek ekonomi dalam suatu zaman, berarti juga kegagalan kita untuk menjalankan panggilan sebagai orang percaya secara komprehensif. Karena itu, sejauh mana ilmu ekonomi itu relevan menjawab tantangan perubahan zaman baik itu budaya, teknologi, sosial, politik, dan aspek lainnya, akan menjadi salah satu penguji validitas ilmu ekonomi tersebut. 

Sebagai contoh: ketegangan antara bisnis yang berbasis aplikasi dan bisnis tradisional sebagai dampak dari perkembangan teknologi. Pertikaian antara kelompok pelaku ekonomi modern dan ekonomi yang lebih tradisional menunjukkan keterbatasan atau mulai kedaluwarsanya ilmu ekonomi yang berlaku. 

Ekonomi yang mengajarkan bahwa keunggulan itu ditunjukkan dengan kepemilikan sumber daya menjadi teori yang usang dengan berkembangnya ekonomi yang mengajarkan bahwa dengan berbagi sumber daya justru optimisasi penggunaan sumber daya dapat tercapai bahkan dengan tingkat efisiensi yang lebih baik. Fenomena ini mendorong baik pemerintah maupun pelaku bisnis untuk melakukan penyesuaian baik dalam kebijakan maupun praktik bisnis mereka untuk mengakomodasi perkembangan tersebut. 

Existential perspective: Answering needs in every uniqueness or speciality

Ilmu ekonomi berada untuk menjawab kebutuhan umat manusia di dalam segala keunikannya. Ekonomi yang Alkitabiah tidak membenarkan keberpihakan hanya kepada kesejahteraan pribadi atau golongan tertentu. Baik mayoritas maupun minoritas bahkan yang memiliki kebutuhan khusus pun adalah kelompok yang harus dilayani dalam ilmu ekonomi. Terutama di dalam konteks postmodern, di mana kelompok-kelompok marginalmenjadi topik yang hangat untuk diangkat. 

Keunikan atau kekhususan yang dimaksud di sini adalah keunikan yang sudah ada secara natural sebagai anugerah dari Tuhan dan kebutuhan khusus yang muncul sebagai efek dari kejatuhan seperti cacat sejak lahir karena suatu penyakit atau kelemahan tubuh, bukan karena nafsu keberdosaan dalam konteks moralitas. 

Contoh yang bisa diangkat adalah produk-produk yang memiliki segmentasi pasar yang kecil seperti alat-alat support untuk anak-anak yang terkena Down syndrome. Produk-produk seperti ini bukanlah produk yang dapat memberikan profit besar, bahkan di dalam beberapa kasus bukan profitable business. Tetapi hal ini tetap dijalankan karena ilmu ekonomi harus menjawab kebutuhan tersebut.

Conclusion

Dalam tiga artikel mengenai Reformed theology and economics, sudah dipaparkan bagaimana Theologi Reformed membawa kita untuk melihat ilmu ekonomi di dalam kerangka yang utuh. Baik dari sisi etika, metafisika, maupun epistemologi. Pembahasan yang diberikan masih merupakan introduksi untuk memicu pemikiran lebih lanjut mengenai integrasi iman dan ilmu khususnya dalam bidang ekonomi. 

Dalam artikel selanjutnya kita akan melihat bagaimana efek kejatuhan dan juga karya penebusan memberikan perspektif yang lebih jelas lagi mengenai realitas yang terjadi dan apa yang menjadi tugas kita sebagai umat tebusan Allah di dalam menjadi garam dan terang melalui bidang ekonomi. Biarlah kita semakin menyadari bahwa supremasi Kristus perlu ditegakkan dalam setiap ilmu pengetahuan. 

The Effect of the Fall in Ethic

Banyak peristiwa yang terjadi di dalam sejarah, tetapi untuk peristiwa yang memiliki dampak luas serta efek yang semakin besar, meluas hingga kepada setiap orang dan berkelanjutan hingga saat ini tidaklah banyak. Peristiwa seperti Perang Dunia adalah peristiwa yang besar terjadi di dalam sejarah, tetapi dampaknya mungkin sudah tidak lagi dirasakan oleh generasi-generasi baru di zaman ini. 

Mungkin yang termasuk dalam kategori ini adalah Revolusi Industri. Dampak yang diberikan oleh peristiwa ini memberikan kemajuan teknologi yang semakin besar (dengan semakin pesatnya perkembangan teknologi saat ini), meluas (setiap orang mendapatkan manfaat, sekaligus efek negatifnya), dan berkelanjutan (perkembangannya masih terus bergulir).

Tetapi ada sebuah peristiwa di dalam sejarah yang torehannya terus berdampak hingga saat ini. Dampak yang semakin meluas, membesar, berkelanjutan, bahkan sadar ataupun tidak sadar, dampaknya ini sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Inilah peristiwa kejatuhan manusia ke dalam dosa. Semua manusia yang pernah hidup di dunia ini merasakan dampak kejatuhan ini. Tidak peduli suku bangsa, agama, kekayaan, ataupun kedudukan, semua manusia adalah manusia yang sudah jatuh ke dalam dosa. 

Bahkan setiap aspek dalam kehidupan manusia sudah tercemari oleh dosa, termasuk aspek ekonomi. Rusaknya aspek ekonomi dalam diri manusia berarti di dalam mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya, akan terdistorsi pertimbangannya sehingga hati manusia cenderung untuk berbuat dosa.

Keberdosaan pada esensinya adalah permasalahan etika. Inilah yang diserukan oleh Cornelius Van Til yang mengatakan agar kita tidak mereduksi permasalahan dosa dari urusan etika kepada hal metafisika. Maksud dari perkataan Van Til ini adalah keberdosaan terjadi bukan karena manusia adalah ciptaan yang memiliki cacat bawaan sehingga mau tidak mau mereka harus berdosa. 

Tetapi keberdosaan adalah tindakan yang sepenuhnya merupakan keputusan dari manusia di dalam segala kesadaran dan kebebasan mereka. Sehingga permasalahan dosa adalah permasalahan etika manusia yang memiliki intensi ingin menjadi sama dengan Allah atau dengan kata lain tidak mau tunduk di bawah otoritas Allah dan ingin menjadikan diri sebagai Allah. Bermula dari etika, keberdosaan ini dilakukan oleh manusia, tetapi dampak dari pemberontakan ini merambah juga ke bidang metafisika dan epistemologi.

Pada tiga artikel sebelumnya kita sudah mempelajari secara singkat mengenai penerapan cara pandang Kristen, khususnya Theologi Reformed, di dalam bidang ekonomi yang dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu: etika (value theory), metafisika (theory of being), dan epistemologi (theory of knowledge). Maka pada dua artikel yang akan datang, kita akan membahas mengenai efek kejatuhan manusia ke dalam dosa terhadap bidang ekonomi, dilihat dari ketiga sudut padang yang telah disebutkan di atas.

The Fall of Ethics in Economy

Di dalam penciptaan, manusia diberikan oleh Tuhan prinsip-prinsip kehidupan yang merupakan bagian penting bagi tugas manusia dari sisi ekonomi. Beberapa di antara prinsip-prinsip ini adalah: fairness and righteousness, benevolence, diligence, dan work with enjoyment. 

John Calvin mengatakan, “If we were all like angels, blameless, and freely able to exercise perfect self-control, we would not need rules or regulations.” Tetapi karena keberdosaan, kita diberikan banyak hukum dan peraturan dikarenakan kecenderungan hati manusia yang jahat sehingga, selain penebusan, diperlukan batasan untuk menahan keberdosaan. Berikut beberapa hal yang terjadi para diri manusia setelah kejatuhan:

• From Fairness to Greediness 

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 2008, yang dikenal sebagai sub-prime mortgage crisis, adalah krisis ekonomi yang salah satu penyebabnya adalah keserakahan. Secara sederhana apa yang terjadi pada krisis ini adalah demi keuntungan yang lebih banyak, maka seleksi untuk kredit cicilan rumah dipermudah tanpa melihat kemampuan sang pemohon kredit dalam membayar cicilan serta tidak memperhitungkan risiko yang mungkin terjadi karena dibutakan oleh keuntungan yang menarik. Saat manusia tidak lagi mengerti apa arti kata cukup, di saat itulah manusia menjadi serakah.

Pola berpikir seperti ini muncul sejak kejatuhan pertama kali, manusia tetap menginginkan buah pengetahuan yang baik dan jahat walaupun sudah diberikan seluruh buah di Taman Eden. Tuhan dengan adil memberikan Taman Eden dengan segala keindahan dan kelimpahannya. 

Tetapi hal itu dinilai tidak cukup, sehingga saat digoda oleh si Iblis, manusia langsung merespons positif. Mereka ingin menjadi seperti Allah. Mereka lupa bahwa mereka adalah ciptaan dan tidak mungkin untuk seorang ciptaan menjadi Pencipta, namun tetap mereka inginkan. Inilah keserakahan, tidak menyadari siapa dirinya dan ingin menggapai hal yang sudah di luar batas.

Keserakahan inilah yang merasuk ke dalam hati banyak orang pada saat ini. Keinginan untuk berhasil dalam hal materi, menikmati segala macam kesenangan yang bisa diperoleh dengan kekayaan, itulah yang didambakan banyak orang pada saat ini. Ironisnya pemikiran seperti ini juga meracuni banyak orang Kristen. Di dalam kondisi seperti ini, pertanyaan “How much is enough?” adalah sebuah pertanyaan yang sulit dijawab, yang sangat mewakili polemik permasalahan keserakahan manusia.

• From Diligence to Laziness

Kemalasan adalah permasalahan yang timbul sebagai akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Salah satu contoh nyata yang bisa kita pelajari adalah bangkrutnya negara Yunani. Bangkrutnya sebuah negara adalah hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Bagaimana mungkin sebuah negara bisa bangkrut, apalagi hal ini terjadi bukan di dalam konteks peperangan? Tetapi inilah realitas yang terjadi. Secara sederhana, krisis yang terjadi di Eropa adalah karena utang negara Yunani yang begitu tinggi. Utang ini diperlukan untuk menutupi anggaran negaranya yang begitu tinggi tetapi tidak disertai pemasukan bagi negara yang tinggi juga. 

Hal ini dikarenakan masyarakat Yunani yang tidak lagi produktif bekerja sehingga hanya menambah pengeluaran bagi negara tetapi tidak menambah pemasukan. Bila kita mencari lagi apa yang menjadi akar permasalahan, maka kemalasanlah yang menyebabkan hal ini. Penduduk negara Yunani terbuai oleh tunjangan besar yang diberikan oleh negara, memiliki masalah dalam etos kerjanya yang begitu rendah. Kemalasan para penduduknya menyebabkan krisis yang merambat bukan hanya satu negara tetapi satu benua (salah satu masalah krisis Eropa adalah kebangkrutan negara Yunani).

Kemalasan adalah masalah karena dengan demikian manusia sedang melawan kodratnya. Sebagaimana yang telah kita pelajari, manusia diciptakan untuk bekerja, atau dengan kata lain pekerjaan adalah salah satu bagian yang menjadikan manusia sebagai manusia. Oleh karena itu, di saat manusia memilih untuk menjadi malas, maka satu per satu masalah akan muncul. Banyak masalah yang timbul dalam bidang ekonomi adalah karena kemalasan manusia. 

Mulai dari rendahnya produktivitas hingga ketimpangan sosial yang terjadi karena tidak meratanya pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi memang banyak orang kaya yang hidup di dalam keserakahan, tetapi ada fakta lain yang harus kita akui bahwa sebagian dari orang-orang kaya ini adalah orang-orang yang memperolehnya melalui kerja keras. 

Di saat orang lain sedang bermalas-malasan, mereka sedang membanting tulang berusaha untuk meningkatkan taraf hidupnya. Lalu orang yang bermalas-malasan ini menyalahkan orang-orang kaya ini untuk nasib mereka yang tidak kunjung membaik. Inilah fakta kemalasan manusia yang beberapa di antaranya berujung pada meningkatnya kriminalitas.

Salah satu isu dalam dunia ekonomi saat ini yang merupakan wujud dari kemalasan manusia adalah slogan “financial freedom”. Di satu sisi hal ini terlihat baik karena sering kali kita diiming-imingi dengan kekuatan finansial yang meningkat, kita bisa berbuat banyak kebaikan seperti meringankan pekerjaan orang tua, membantu orang yang berkekurangan, bahkan menggunakan uang tersebut untuk pekerjaan Tuhan. Tetapi sadarkah kita bahwa konsep “financial freedom” ini adalah wujud lain dari kemalasan yang justru merusak perekonomian?

Kita semua pasti pernah mendengar mengenai “money games”. Salah satu yang menjadi tawaran mereka adalah financial freedom. Tetapi sadarkah kita bahwa ini adalah penipuan yang dikemas dengan cara yang menarik dan kelihatan baik? Mereka menawarkan sebuah investasi dengan tingkat pengembalian (return) yang sangat tinggi. Pada awalnya bunga masih diterima dengan baik karena mereka masih menggunakan cara “menutupi lubang dengan menggali lubang” atau membayar bunga dengan uang dari orang lain yang melakukan investasi. 

Tetapi hingga jangka waktu tertentu mereka pasti tidak sanggup membayar lagi karena bunga yang begitu tinggi, sehingga akhirnya pencetus dari money games ini akan membawa lari uang hasil dari investasi banyak orang. Hal ini sudah terjadi bahkan dibawa hingga ke ranah hukum. Tetapi konyolnya, masih banyak orang yang mau mengikuti penipuan ini. Mengapa? Karena mereka semua menginginkan “easy money”, memperoleh uang dengan cara yang mudah atau kalau perlu dengan bersantai-santai sudah bisa mendapatkan uang. Inilah bentuk kemalasan yang begitu meracuni manusia pada saat ini.

• From Benevolence into Selfishness

Manusia diciptakan bukan sebagai individu tetapi sebagai sebuah komunitas, oleh karena itu sudah menjadi naturnya untuk seorang manusia hidup bukan hanya bagi diri tetapi juga bagi orang lain. Tetapi ironisnya, zaman di mana kita hidup sekarang adalah zaman yang menjadikan manusia semakin terisolasi dari sesamanya, menjadi manusia yang begitu egois. Keegoisan ini adalah salah satu penyebab adanya ketimpangan atau ketidakmerataan ekonomi, di mana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. 

Sistem ekonomi yang berjalan sekarang adalah sistem yang membuka kesempatan yang lebar bagi pemilik modal tetapi kecilnya kesempatan bagi yang tidak memiliki modal. Oleh karena itu, terjadilah konglomerasi dan para pemula dalam dunia bisnis akan semakin kesulitan untuk bisa berhasil karena ia sering kali dijegal oleh pemain lama yang sudah memiliki kekuatan. 

Bahkan di dalam teori-teori yang berkembang baik dalam bidang marketing maupun strategy management, salah satu cara untuk mempertahankan keberhasilan adalah dengan mematikan pesaing. Setiap pemain baru dalam bidangnya akan ditekan sedemikian rupa hingga mengalami kepailitan. Inilah realitas kerasnya persaingan di dalam dunia ekonomi.

Mengapa bisa terjadi demikian? Semua ini terjadi karena mayoritas manusia hidup dengan banyak berpikir bagi dirinya sendiri tetapi sedikit berpikir untuk menjadi berkat bagi orang lain. Jikalau ada orang yang mendedikasikan hidupnya menjadi berkat bagi orang lain, maka orang ini akan dianggap inspiratif dan begitu agung. Padahal, seharusnya manusia hidup seperti itu karena memang kita diciptakan untuk hidup secara berkomunitas. Tetapi karena keegoisan, manusia hidup demi keamanan diri walaupun harus membiarkan orang lain menderita atau yang lebih parah saat keamanan diri diraih dengan membuat orang lain menderita.

Usaha yang mematikan pesaing, menjegal pemain baru untuk berkembang, semua ini adalah wujud nyata dari selfishness manusia. Homo homini lupus (manusia memakan sesamanya) adalah sebuah slogan yang sangat tepat menggambarkan dampak keberdosaan bagi manusia.

• From Enjoyment to Weariness 

Hilangnya rasa syukur ketika bekerja adalah salah satu efek dari keberdosaan. Manusia pada awalnya diciptakan untuk bekerja tetapi sekaligus menikmati pekerjaan ini. Karena dengan bekerja, manusia mengaktualisasikan potensi yang Tuhan sudah berikan kepada manusia. Sehingga semakin manusia bekerja, semakin ia menemukan dirinya di dalam Tuhan. Ia semakin mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan dan semakin memuliakan Tuhan semakin ia dapat menikmatinya. 

Tetapi keberadaan dosa menjadikan manusia harus bersusah payah agar bisa menghasilkan sesuatu. Kenikmatan yang sebelumnya ada, menjadi hilang. Jikalau kenikmatan di dalam bekerja hilang, manusia akan mendapatkan kelelahan sebagai gantinya. Kelelahan ini bukan hanya karena kecondongan hati manusia untuk berdosa, tetapi juga karena Tuhan sendiri sudah memberikan hukuman kepada manusia dan alam dikarenakan keberdosaan kita.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jikalau kita sering mendengar keluh kesah orang-orang dalam bekerja. Padahal keluh kesah ini tidak bisa mengubah apa pun. Pekerjaan yang kehilangan sisi kenikmatannya, menjadikan manusia semakin enggan untuk dapat memberikan usaha yang terbaik. Manusia tidak lagi hidup untuk menjalankan kehendak Allah, tetapi manusia hidup dengan terpaksa menjalankan pekerjaannya dan kenikmatan bekerja yang semakin lama semakin memudar.

Sehingga tidaklah mengherankan jikalau pada saat ini seminar-seminar motivasi berjamuran di mana-mana. Tiba-tiba saja muncul begitu banyak motivator yang kalaupun kita telusuri latar belakangnya, kita akan meragukan kemampuannya. Karena pada faktanya banyak motivator ini hanyalah orang-orang yang pandai merangkai kata tetapi tidak memiliki isi di dalamnya. 

Orang-orang bisa menikmati dan kembali diberikan semangat untuk bekerja, tetapi celakanya hal ini hanya sementara, atau bisa dibilang hanya sebuah letupan emosi sesaat saja. Karena masalah utamanya bukan pada motivasi itu sendiri, tetapi memang manusia sulit untuk menikmati panggilannya karena distorsi dosa.

Kita melihat bahwa dengan rusaknya etika manusia, segala keputusan hidup manusia tidak lagi dikendalikan oleh kebenaran tetapi keserakahan, kemalasan, keegoisan, dan kelelahan bekerja yang mendistorsi pertimbangan manusia. Sehingga kehidupan ini dipenuhi dengan keputusan-keputusan hidup manusia yang konyol, sembrono, dan bodoh. Tidaklah mengherankan jikalau ekonomi dunia ini tidak kunjung membaik, karena begitu banyak keputusan yang tidak bijaksana diambil dan dijalankan, mulai dari keputusan ekonomi seorang individu, keputusan sebuah negara, hingga keputusan asosiasi dari negara-negara dunia. 

Jikalau kita menyelidiki dengan saksama, setiap polemik yang terjadi dalam pengambilan keputusan, diwarnai dengan motivasi berdosa dan menjadikannya masalah yang sulit diselesaikan. Realitas ini seharusnya memicu dan menggugah kita sebagai orang Reformed untuk terus memikirkan bagaimana kita menyuarakan dan menunjukkan teladan di tengah-tengah dunia berdosa ini, menjadi cahaya yang menerangi kegelapan dunia yang berdosa.

Di dalam artikel ini kita bisa melihat sebagian dari efek keberdosaan terhadap etika manusia khususnya dalam bidang ekonomi. Pada artikel selanjutnya kita akan membahas efek keberdosaan terhadap ekonomi dilihat dari sudut pandang metafisika dan epistemologi.

The Effect of the Fall in Metaphysics

Kejatuhan manusia ke dalam dosa dimulai dengan aspek etika. Dengan kehendak bebasnya manusia memilih untuk memberontak kepada Allah demi menjadi allah bagi dirinya sendiri. Ini adalah keputusan manusia yang bersifat etis. Maksudnya adalah keputusan ini diambil oleh manusia bukan karena ada kecacatan secara natur di dalam diri manusia tetapi karena manusia, di dalam kondisinya yang sangat baik, memutuskan untuk berbuat dosa. 

Di dalam sudut pandang seperti ini jugalah seharusnya kita memandang efek kejatuhan manusia di dalam konteks ekonomi. Permasalahan-permasalahan ekonomi yang timbul saat ini bukan karena kecacatan pada saat Tuhan menciptakan, tetapi karena efek dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Hal ini senada dengan perkataan Cornelius Van Til untuk tidak mereduksi etika kepada metafisika.

Keputusan-keputusan ekonomis manusia yang berdosa memberikan dampak yang merusak baik terhadap cara pandang manusia dari segi metafisika maupun epistemologi yang secara praktik berdampak kepada dunia fisika dan teori-teori ekonomi yang terbentuk. Pada artikel ini kita akan melihat efek keberdosaan manusia terhadap ekonomi dari sudut pandang metafisika.

The Effect of Fall on Metaphysics of Economy

Pada artikel sebelumnya kita mempelajari bahwa keberdosaan manusia membawa manusia menjadi seorang yang bekerja dengan motif kerakusan, kemalasan, keegoisan, dan keluh kesah. Kondisi ini memengaruhi cara pandang manusia akan realitas. Demi memuaskan keinginan hatinya, manusia mencoba untuk membangun realitas sendiri yang dianggap sebagai kebenaran tetapi sesungguhnya hanyalah sebuah pelarian dari realitas yang sesungguhnya. Sehingga keberdosaan menyebabkan adanya peperangan antara realitas sejati dan realitas palsu. Berikut beberapa peperangan yang terjadi dan implikasinya bagi bidang studi ekonomi.

1. Self-centeredness 

Realitas penciptaan yang benar adalah alam diciptakan bagi manusia dan manusia diciptakan bagi Allah. Ini adalah ordo yang Tuhan ciptakan. Manusia diberikan wewenang untuk berkuasa atas alam, mengelola, dan memeliharanya. Di satu sisi manusia memang memiliki kuasa atas alam. Tetapi kuasa ini bukanlah kekuasaan yang absolut atau mutlak, ini adalah kuasa yang terbatas dan sementara yang diberikan oleh Allah Sang Pencipta kepada manusia untuk menggarap seluruh dunia ciptaan. 

Di sisi yang lain manusia harus menyadari bahwa masih ada Allah yang berkuasa atas dirinya, sehingga manusia harus bertanggung jawab kepada Allah. Penggarapan seluruh ciptaan harus dipertanggungjawabkan untuk kemuliaan Tuhan. Dengan kata lain, realitas ini menyatakan bahwa sentral dari seluruh ciptaan adalah Allah bukan manusia, God-centered not human-centered.

Tetapi realitas kejatuhan menyadarkan kita juga bahwa manusia yang berdosa adalah manusia yang egois. Kita berusaha untuk mengambil fokus dari seluruh ciptaan Allah menuju kepada diri kita. Kehidupan manusia berubah dari God-centered menjadi self-centered. Keegoisan inilah yang membuat rusak relasi manusia dengan Allah. Manusia tidak mau menerima bahwa dirinya adalah ciptaan yang berbeda dengan Allah Sang Pencipta. Kerusakan relasi manusia dengan Allah ini menimbulkan beberapa dampak di dalam bidang ekonomi, yaitu:

a. Economy for Self-Pleasure

Ekonomi adalah bidang yang sangat rentan dengan mammonism, pengejaran yang rakus akan kekayaan, atau kecintaan terhadap uang yang bersifat menghancurkan. Pengejaran akan kekayaan ini membuat manusia memiliki kehidupan yang seluruhnya tersita hanya demi memuaskan dirinya. Sehingga ilmu ekonomi yang seharusnya menjadi ilmu yang mengatur sumber daya, baik alam maupun manusia, sehingga dapat terdistribusi dengan adil dan mendukung perkembangan budaya bagi kemuliaan Tuhan, menjadi ilmu tempat manusia beraksi untuk memuaskan dirinya.

Kerakusan ini terlihat jelas dalam fokus atau tujuan utama keberadaan institusi bisnis. Pada umumnya sebuah perusahaan berdiri dengan tujuan untuk meningkatkan shareholder (orang atau organisasi yang menanamkan modal di perusahaan tersebut) value. Semua praktik bisnis yang berkembang saat ini semua diarahkan demi tercapainya peningkatan profit dari perusahaan. 

Dengan meningkatnya profit, investor berharap investasinya memiliki tingkat pengembalian yang semakin tinggi, direksi dan karyawan perusahaan berharap gaji mereka semakin meningkat, dan para pemasok berharap mendapatkan keuntungan yang semakin besar melalui perputaran bisnis yang semakin cepat. Peningkatan nilai ini ditujukan untuk memperoleh standar kehidupan yang lebih baik. 

Pola berpikir seperti ini terkesan begitu lazim bagi kita, tetapi sebenarnya memiliki efek samping yang berbahaya. Karena fokus utamanya adalah kesejahteraan diri, maka kemuliaan Allah dan juga peningkatan kesejahteraan manusia menjadi hal yang disepelekan. Padahal dengan disepelekannya kedua hal ini justru menimbulkan ketimpangan yang memiliki dampak yang lebih destruktif.

Bukti nyata ketimpangan ini dapat kita temukan di sekitar kita. Misalnya saja isu food safety, sangat sering kita mendapatkan berita kecurangan yang dilakukan demi mendapatkan keuntungan yang besar. Demi menekan biaya produksi, mereka menggunakan bahan pengawet dan zat-zat kimia yang bukan untuk konsumsi hingga cara pengolahan makanan yang membuat kita menggelengkan kepala karena berbahaya bagi kesehatan. 

Mereka tidak lagi memikirkan dampak terhadap manusia yang mengonsumsinya, maupun terhadap alam, apalagi memikirkan bagaimana Tuhan dipermuliakan melalui kegiatan bisnis mereka. Ekonomi berada hanya sebagai alat untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, demi terjaminnya kenyamanan diri. Semua kerusakan ini terjadi karena manusia membangun akan kebenarannya sendiri, dengan bergesernya fokus dari Allah kepada diri. Manusia ingin menjadi tuhan atas dirinya sendiri bahkan tuhan atas alam semesta ini.

b. Money as Life Assurance

Sebagai ciptaan, manusia adalah keberadaan yang bergantung secara mutlak kepada Allah Sang Pencipta. Seharusnya, jaminan akan kehidupan di masa depan, maupun kepastian hidup saat ini, semuanya bergantung kepada Allah. Keberdosaan membuat manusia tidak lagi menaruh imannya kepada Allah, mereka menaruh imannya kepada hal sementara di dalam dunia ciptaan ini. Salah satu yang menjadi sandaran dan jaminan utama bagi kehidupan manusia zaman ini adalah uang. Bukan hanya sebagai sandaran dan jaminan utama bagi kehidupan, uang pun dijadikan alat ukur kesuksesan hidup seseorang.

Mari kita coba untuk merenungkan beberapa pertanyaan ini. Seberapa sering kita merasa tidak tenang saat nilai rekening kita bertambah kecil? Apakah kita merasa inferior saat melihat teman-teman sebaya memiliki kekayaan yang besar sementara kita masih “begini-begini” saja? Pernahkah kita berpikir bahwa kita adalah seorang yang tidak berguna bahkan menjadi putus asa karena dompet kita semakin hari semakin menipis sementara kita sudah berjuang keras di dalam pekerjaan kita? 

Saat ditawarkan kesempatan untuk berbisnis atau berinvestasi dengan tingkat pengembalian yang besar dan menjanjikan, apakah kita akan tergoda untuk terlibat di dalamnya? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini dapat menyingkapkan seberapa besar keterikatan kita terhadap uang sehingga menjadikannya sebagai jaminan hidup.

Money is power. Itulah proposisi yang terus dicekokkan kepada kita. “Kalau engkau memiliki uang, maka segalanya bisa diatur. Semua permasalahan dapat dengan mudah diselesaikan jikalau engkau memiliki uang.” Itulah pengertian yang terus-menerus ditanamkan kepada kita baik di lingkungan keluarga, pendidikan, maupun masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jikalau hampir semua orang saat ini hidup untuk mengejar uang. Mereka memilih untuk menjaminkan hidupnya kepada uang yang adalah benda mati dibanding kepada Allah Sang Pencipta yang berdaulat. Inilah efek kejatuhan manusia di dalam cara pandangnya mengenai uang.

2. Cursed and Exploited Land

Salah satu dampak dari kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah dikutuknya alam ini. Sebelum peristiwa kejatuhan, tanah bisa menghasilkan dengan mudah, tetapi sesudah jatuh ke dalam dosa manusia harus bersusah payah bekerja, barulah tanah dapat menghasilkan. Dengan kata lain, terjadi kerusakan relasi antara manusia dan alam. 

Di satu sisi manusia yang memang memiliki wewenang untuk menggarap alam ini, menjadikannya sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi alam. Tetapi di sisi lain, pekerjaan manusia menjadi penuh dengan keluh kesah, karena alam tidak lagi akan menghasilkan buahnya dengan mudah, perlu usaha yang keras dan melelahkan untuk memperolehnya. Oleh karena itu setidaknya ada 2 konsekuensi dari rusaknya relasi manusia dengan alam:

a. Opportunistic Way of Thinking

Kesulitan untuk mendapatkan hasil dari tanah yang sudah dikutuk, dan juga kelelahan yang harus manusia alami menjadikan mereka bersaing satu dengan lainnya. Persaingan ini tidak lebih dari sebuah pengejaran akan kepuasan diri. Kunci keberhasilan di dalam persaingan ini adalah seberapa peka di dalam menanggapi kesempatan yang terbuka. Di saat potensi untuk memperoleh profit besar terbuka, manusia berdosa akan menggunakan segala cara untuk mengambil kesempatan itu. Tetapi saat kesempatan itu kecil, mereka memilih untuk berdiam dan menantikan kesempatan lain. 

Sepintas pola berpikir ini mirip dengan perintah Tuhan Yesus untuk kita membaca akan zaman dan bertindak berdasarkan tanda-tanda zaman ini. Tetapi kalau diteliti lebih lanjut, pola berpikir ini sangat berbeda bahkan bertentangan dengan Alkitab. Apa yang dimaksudkan Alkitab adalah kita harus peka terhadap pimpinan Tuhan dari zaman ke zaman. Tetapi pola berpikir ini adalah pola berpikir oportunis yang mengambil kesempatan di dalam kesempitan bagi keuntungan diri. Saat kesempatan itu masih ada, semua cara dilakukan demi memperoleh keuntungan. 

Hal ini bisa kita lihat di dalam permainan hukum oleh para pelaku bisnis. Mereka memanfaatkan kecacatan hukum untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral tetapi bisa terbebas dari hukuman. Bukan hanya bermain dengan hukum tetapi juga saat kesempatan terbuka, eksploitasi terhadap kekayaan alam akan terus dilakukan demi memperoleh keuntungan. Sehingga pola berpikir oportunis ini, menjadi salah satu penyebab kerusakan alam, permasalahan sosial dan kesehatan, serta meningkatnya kriminalitas.

b. Utopia of Peace and Prosperity

Dengan sulitnya tanah untuk mengeluarkan hasil, manusia dituntut untuk bekerja keras yang menimbulkan efek kelelahan baik secara jasmani maupun rohani. Relasi manusia yang rusak dengan Allah mengeringkan kerohanian mereka. Kekeringan ini semakin bertambah karena mereka harus bekerja keras tanpa makna dan pengenalan akan Allah melalui pekerjaan mereka. Kondisi ini membuat kelelahan jasmani berbanding lurus dengan kelelahan rohani. Sehingga timbullah kehausan akan kedamaian sekaligus kesejahteraan. 

Manusia berusaha mencari cara untuk mencapai sebuah impian akan kedamaian dan kesejahteraan yang sempurna, sebuah utopia kehidupan. Berbagai cara manusia gunakan demi mencapai utopia tersebut. Dengan menjajah dan menguasai daerah lain, melakukan perdagangan antardaerah, membangun kerja sama ekonomi antarnegara, hingga membangun gedung pencakar langit yang menjadi simbol kekuatan ekonomi. Tetapi semuanya itu hanyalah “usaha menjaring angin”, kekuatan ekonomi bisa hancur secara tiba-tiba, kerja sama bisa berubah menjadi pertikaian, perdagangan bisa berakhir pada peperangan, dan penguasaan daerah-daerah berpotensi bisa menjadi pusat pemberontakan. 

Walaupun perekonomian saat ini jauh lebih maju dibandingkan beberapa abad yang lalu, tetapi kesejahteraan dan kedamaian yang sempurna masih hanya berupa sebuah utopia. Semua ini dikarenakan permasalahan utama manusia masih terus bercokol menjadi bagian realitas kehidupan, hal itu adalah keberdosaan.

3. Diversion and Harassment of God’s Image 

Kerusakan relasi yang dialami manusia setelah kejatuhan bukan hanya kerusakan relasi dengan Allah dan alam, tetapi juga kerusakan relasi manusia dengan sesamanya. Hal ini dikarenakan manusia tidak lagi menghargai dirinya sebagai gambar dan rupa Allah. Mereka merusak gambar ini dengan keberdosaan mereka. Jikalau diri mereka tidak lagi dihargai, tidak mungkin mereka dapat menghargai orang lain sebagai gambar dan rupa Allah. Kondisi ini memberikan beberapa dampak sebagai berikut:

a. Unjust Appreciation of God’s Gift

Berkembangnya pemikiran ekonomi, khususnya dalam konteks kapitalisme, menjadikan ketimpangan dalam menghargai talenta manusia. Sebagian talenta dinilai lebih tinggi dibandingkan talenta yang lain, sementara yang lain hanya dianggap sebagai “bumbu pelengkap” yang keberadaannya dianggap tidak terlalu signifikan. Orang-orang yang memiliki talenta besar jauh lebih dihargai sehingga mereka mendapatkan kesempatan hidup yang lebih layak dibanding dengan orang yang memiliki talenta kecil dan kurang dihargai. 

Memang Alkitab menyatakan bahwa Tuhan memberikan porsi talenta yang berbeda kepada masing-masing orang, sehingga perbedaan kemampuan diri dari setiap manusia bisa berbeda-beda. Permasalahan dari sistem ekonomi saat ini adalah menilai kemampuan manusia berdasarkan kegunaannya, dari sisi seberapa besar kemampuan ini akan menghasilkan uang. Sehingga, kemampuan yang dinilai kurang profitable, dipandang sebelah mata. Ketimpangan yang lain adalah saat orang yang berkemampuan besar dan dihargai menyimpan kekayaannya bagi dirinya sendiri dan tidak membantu yang kurang memiliki kemampuan. 

Padahal Alkitab menyatakan bahwa ini adalah kesempatan bagi yang memiliki kelebihan membantu yang kurang. Kesempatan untuk hidup menjadi berkat. Tetapi ketidakadilan di dalam dunia berdosa ini menyebabkan besarnya gap ekonomi antara yang bertalenta besar dan yang bertalenta kecil dan ketimpangan dalam menghargai anugerah Tuhan di dalam diri manusia.

b. Man Treated as Tools for Greediness

Sebagai gambar dan rupa Allah, manusia adalah makhluk yang memiliki dignitas. Bahkan Alkitab dengan jelas memberikan tempat yang khusus kepada manusia, sehingga segala tindakan yang melecehkan dignitas manusia, dinyatakan sebagai tindakan berdosa. Siapa pun yang membunuh manusia akan menerima konsekuensi yang berat. 

Bentuk perbudakan yang digambarkan Alkitab pun adalah bentuk perbudakan yang masih manusiawi, salah satu contohnya adalah saat budak itu bebas, sang tuan diminta untuk membekali budak tersebut. Ironisnya, di dalam masyarakat modern yang konon menjunjung tinggi hak asasi manusia, justru terjadi banyak bentuk perbudakan terselubung yang tidak manusiawi. Hal ini dapat kita lihat dari buah pikiran manusia yang hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme.

Salah satu sisi positif dari sistem kapitalisme adalah mendorong kreativitas manusia di dalam berusaha, baik dalam segi produk-produk kreatif maupun konsep bisnis yang kreatif. Tetapi buah pemikiran yang berdosa tetap menodai kreativitas manusia tersebut, konsep-konsep bisnis yang bersifat merusak dapat kita temui. Salah satu konsep bisnis berkembang adalah konsep MLM (Multi-Level Marketing). 

Ini adalah sebuah konsep bisnis yang populer tetapi, kalau kita teliti lebih tajam, juga konsep yang dekat dengan perbudakan yang tidak manusiawi karena memandang manusia hanya sebagai alat untuk memperkaya diri, bahkan berani untuk menggunakan agama untuk menyelubungi kebusukan motivasi mereka.

Secara sederhana multi-level marketing adalah konsep selling yang mendapatkan keuntungan bukan hanya dari produk yang terjual tetapi juga dari hasil penjualan sales lainnya yang ia rekrut (downline). Konsep ini dinamakan juga sebagai pyramid selling, semakin banyak dan tinggi tingkat sales yang kita rekrut, maka penghasilan kita pun akan semakin besar meskipun kita menjual hanya sedikit dari sisi produk. Sewaktu kita berada di tingkat yang sudah tinggi, keuntungan yang kita terima akan sangat menjanjikan. Bahkan hanya dengan usaha yang minim, kita bisa mendapatkan keuntungan yang besar. Bukankah ini yang diharapkan begitu banyak orang? 

Dengan santai-santai mendapatkan penghasilan yang besar, inilah sorga dunia yang begitu diharapkan banyak orang. Apalagi konsep ini dibumbui dengan ayat Alkitab untuk membuat MLM ini menjadi seperti “jawaban” dari Tuhan bagi kesulitan ekonomi yang selama ini didoakan. Tetapi kalau kita selidiki dengan tajam, banyak hal dalam MLM ini yang bertentangan dengan wawasan dunia Kristen.

Salah satu cara untuk mendapatkan keberhasilan di dalam konsep ini adalah dengan memiliki downline yang banyak. Cara yang digunakan untuk menarik hati orang-orang berbagian dalam MLM ini adalah dengan cara menjanjikan profit yang besar, sehingga bisa menolong usaha orang tua atau bahkan menjadi berkat dengan memberikan sebagian uang kita sebagai persembahan di gereja atau untuk membantu orang lain. Tetapi sesungguhnya ini hanyalah sebuah rayuan manis untuk menjadikan kita budak mereka. 

Di saat kita bergabung, kita pasti akan dituntut jumlah minimal penjualan produk yang harus dicapai serta jumlah minimal orang yang harus direkrut menjadi downline yang lebih rendah. Saat kita berhasil menjual produk atau merekrut sales lainnya, secara otomatis atasan kita akan mendapatkan sebagian keuntungan. Semakin rajin kita menjual dan merekrut orang, semakin besarlah keuntungan atasan kita. Bahkan dengan bersantai-santai pun mereka bisa mendapatkan keuntungan selama downline mereka dapat menjual produk, atau dengan kata lain, selama budak-budaknya bekerja, ia tetap mendapatkan keuntungan. 

Lalu apa bedanya dengan seorang yang bekerja di sebuah perusahaan yang juga akan memberi keuntungan bagi bos mereka? Salah satu perbedaan jelas adalah seorang pemilik perusahaan bertanggung jawab untuk well-being karyawannya. Keamanan kerja, berbagai bentuk tunjangan, kompensasi jikalau melampaui jam kerja normal, dan tanggung jawab lainnya harus dipenuhi oleh pemilik perusahaan karena ia mempekerjakan seorang manusia. 

Semua hal ini diatur sedemikian rupa sebagai bentuk perlindungan untuk hak asasi manusia. Tetapi di dalam MLM, tidak ada kewajiban dari atasan untuk hal-hal tersebut, tidak peduli well-being downline, kompensasi hanya diperoleh saat bisa menghasilkan keuntungan. Bahkan ironisnya, dalam beberapa kasus, saat downline tidak bisa mencapat targetnya, ia harus membeli produk tersebut dengan uang sendiri untuk tetap mencapai target minimum. Manusia hanya dianggap sebagai tools yang menghasilkan keuntungan, jikalau tidak lagi menghasilkan langsung dibuang. Inilah salah satu bentuk perbudakan modern.

4. Kesimpulan

Keberdosaan manusia menyebabkan manusia memandang realitas ini berdasarkan keinginan hati mereka yang merupakan implikasi dari kecenderungan hati mereka yang jahat. Etika hidup berdosa manusia memengaruhi cara pandang mereka akan realitas ini. Begitu juga sebaliknya, cara pandang manusia akan realitas ini memengaruhi etika hidup mereka. Sehingga efek kejatuhan menyebabkan interaksi dari kedua aspek ini semakin lama akan semakin merusak dan membawa manusia semakin jauh dari Allah. 

Oleh karena itu sebagai orang percaya, kita harus dengan tajam melihat bahwa ekonomi bisa menjadi alat yang membawa kita menjadi semakin berdosa. Apalagi ekonomi adalah aspek yang tidak mungkin kita hindari di dalam kehidupan ini. Mau tidak mau, suka tidak suka kita pasti terlibat di dalam sistem ekonomi yang berlaku. Kita harus menyadari akan kerusakan total (Total Depravity) di dalam segala aspek kehidupan ini. 

Pernyataan yang mengatakan bahwa adanya kenetralan, hanyalah sebuah mitos. Setiap keputusan ekonomi kita hanya dapat terbagi menjadi 2 golongan, yaitu keputusan yang berdosa atau keputusan yang benar. Biarlah melalui artikel demi artikel mengenai ekonomi ini kita semakin dibukakan dan semakin peka akan kondisi keberdosaan yang sudah merambah ke dalam setiap bagian dari bidang ini. Pada artikel selanjutnya kita akan melihat beberapa pemikiran ekonomi yang berkembang serta kelemahan dari pandangan ini dan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari kita secara praktisnya.

An Overview of Economics Thought

Pada umumnya, ilmu ekonomi dimengerti sebagai ilmu yang membantu manusia mencapai kesejahteraan hidup. Banyak orang yang menekuni bidang ini, berharap masa depannya memiliki standar hidup yang lebih layak. Metodologi demi metodologi dikembangkan agar harapan ini dapat tercapai. Salah satu indikator yang sering diasosiasikan dengan kesejahteraan adalah pertumbuhan ekonomi (economic growth). Seperti yang dikatakan oleh McConnell, Brue, dan Flynn:

“Growth is a widely held economic goal. The expansion of total output relative to population results in rising real wages and incomes and thus higher standards of living. An economy that is experiencing economic growth is better able to meet people’s wants and resolve socioeconomic problems. Rising real wages and income provide richer opportunities to individuals and families – a vacation trip, a personal computer, and a higher education – without sacrificing other opportunities and pleasures. A growing economy can undertake new programs to alleviate poverty, embrace diversity, cultivate the arts, and protect the environment without impairing existing levels of consumptions, investment, and public good production.

In short, growth lessens the burden of scarcity. A growing economy, unlike a static economy, can consume more today while increasing its capacity to produce more in the future. By easing the burden of scarcity – by relaxing society’s constraints on production – economic growth enables a nation to attain its economic goals more readily and to undertake new endeavors that require the use of goods and services to be accomplisher.”

Dari deskripsi di atas, kita bisa melihat adanya suatu optimisme yang sangat tinggi terhadap ekonomi. Peningkatan dalam ekonomi dipercaya dapat memberikan dampak yang sangat positif bagi kehidupan umat manusia. Permasalahan socioeconomic dapat diselesaikan, meningkatkan kesejahteraan dari masyarakat sehingga mereka bisa mengembangkan aspek-aspek kehidupannya yang lain, seperti hobi, seni, dan sebagainya. Harapan seperti inilah yang dipakai menjadi dasar dari perkembangan ilmu ekonomi.

Dari zaman ke zaman ilmu ekonomi berkembang di dalam metodologinya masing-masing demi mencapai impian akan kesejahteraan hidup. Secara sepintas kita melihat setiap ilmu ini memiliki motivasi yang baik, yaitu demi meningkatkan kesejahteraan seluruh umat manusia. Tetapi kalau kita lihat dari side effect maupun realitas yang terjadi saat penerapannya, terdapat kecacatan-kecacatan yang justru menjadi penghambat tercapainya kesejahteraan manusia. 

Karena kita harus menyadari bahwa kerusakan akibat kejatuhan dalam dosa merambat di setiap aspek kehidupan manusia, termasuk epistemology. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan akan selalu disertai dengan kerusakan dan kesesatan yang muncul dari motivasi berdosa manusia.

Artikel ini akan menelusuri beberapa arus pemikiran dalam economics, yang memberikan pengaruh bagi perkembangan ilmu ekonomi. Reformed Theology melihat setiap perkembangan ilmu pengetahuan dari 2 sudut pandang. Sudut pandang common grace, di mana setiap pemikiran memiliki kebenaran dan efek positif yang diberikan. 

Pada sudut pandang yang lain, kita melihat efek keberdosaan yang memberikan efek destruktif pada setiap buah pemikiran. Berdasarkan 2 sudut pandang ini, kita akan melihat apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan dari beberapa arus pemikiran utama dalam ekonomi. Serta kita akan melihat permasalahan utama dari setiap pemikiran adalah kegagalan untuk mengintegrasikan ilmu ekonomi dengan etika sehingga banyak kerusakan yang terjadi adalah isu-isu yang berkaitan erat dengan etika.

Mercantilism – Growing through Pillage

Konsep ilmu ekonomi tradisional yang cukup lama mendominasi di dunia Barat pada zaman kuno adalah mercantilism. Tradisi pemikiran ini memiliki konsep bahwa ekonomi dunia ini tidak berkembang dan jumlah kekayaannya tetap. Sehingga ekonomi suatu negara atau daerah dapat bertumbuh dengan merugikan negara atau daerah lain. “The profit of one man is the damage of another. No profit whatever can possibly be made at the expense of another.” Konsep ini yang dikenal sebagai Zero Sum Games. 

Inilah ciri khas dari perekonomian zaman kuno hingga Abad Pertengahan. Pada masa itu, praktik-praktik perbudakan dan penjajahan marak dilakukan oleh negara-negara di daerah Eropa. Hal ini dilakukan demi memperbesar kekayaan mereka, walaupun harus membuat orang lain sengsara. Kekayaan pada masa ini dapat didefinisikan sebagai berikut, “Wealth was therefore based on seizure and exploitation.”

Di dalam sistem mercantilist, kekayaan diidentikkan dengan seberapa banyak emas dan perak yang dimiliki. Sehingga dilakukanlah usaha-usaha agresif seperti penjajahan suatu daerah untuk mengeksploitasi kekayaannya. Ekonomi bertumbuh dengan cara menjadi predator. Selain itu, dari sisi perdagangan, sistem ini lebih mendorong ekspor dan tidak mendukung melakukan impor. Cara ini diharapkan akan semakin memperkaya negara. 

Selain eksplotiasi kekayaan alam, dengan menguasai banyak daerah yang dijadikan koloni, negara akan semakin diperkaya oleh ketersediaan tenaga kerja karena populasi penduduk yang semakin banyak. Hal ini berarti ketersediaan tenaga kerja menjadi tinggi sehingga upah pekerja akan menjadi murah. Upah tenaga kerja yang murah akan menyebabkan rendahnya biaya suatu barang sehingga arus masuk emas akan semakin meningkat karena margin yang semakin besar. 

Untuk mewujudkan semuanya ini, pemerintahannya harus bersifat sentralisasi sehingga penerapan kebijakan seluruh negara menjadi seragam di setiap bagian negara tersebut. Selain itu mereka juga perlu memiliki kekuatan militer yang besar untuk melakukan ekspansi dan menjaga stabilitas negara tersebut. Kekuatan yang besar dari pemerintahan memberikan hak kepada mereka untuk menetapkan tarif dan pajak yang tinggi.

Di satu sisi kita harus mengakui bahwa mercantilism ini menjadi media yang Tuhan pakai untuk menyebarkan Injil. Melalui ekspansi yang didorong oleh konsep ini, banyak daerah yang dapat memperoleh berita Injil, termasuk Indonesia salah satunya. Melalui konsep ini juga, jalur-jalur perdagangan dapat terbuka dan jalur-jalur ini menjadi pijakan bagi perkembangan ekonomi pada masa-masa berikutnya. Perdagangan lintas daerah ini yang menjadi pijakan awal terbentuknya perdagangan internasional.

Di sisi lain, sistem ini juga adalah contoh dari ilmu ekonomi yang dibangun berdasarkan konsep metafisika yang salah. Memandang dunia ini memiliki sumber daya yang terbatas, sehingga mendorong negara-negara untuk saling berkompetisi menguasai sumber daya di dunia ini. Memang dunia ini terbatas, tetapi kegagalan dari sistem mercantilism ini adalah tidak bisa melihat kelimpahan dunia yang masih bisa digarap. 

Dunia ini Tuhan ciptakan dengan terbatas tetapi juga dengan sangat berlimpah. Kelimpahan inilah yang harus kita garap. Dalam sistem mercantilismpeperangan dan penindasan tidak terhindarkan. Hal ini dilakukan demi kepemilikan emas yang banyak. Adam Smith memberikan kritikan yang tepat bagi kaum mercantilist, bahwa kekayaan dari sebuah negara dan dasar dari sebuah pertumbuhan ekonomi bukanlah emas tetapi dengan meningkatkan kapasitas produksi. Kelemahan lain dari sistem ini adalah sangat rentan di dalam sisi motivasi atau etika. 

Hal yang menggerakkan suatu kelompok atau individu melakukan ekspansi adalah karena keserakahan, dan keinginan diri menjadi seperti Allah agar memiliki kuasa yang besar. Hal ini dikarenakan kepemilikan kekayaan yang besar pada masa ini akan begitu dihormati dan disegani. Motivasi dan pola berpikir seperti ini hanya akan membawa permasalahan yang lebih besar di dalam jangka panjang.

Classical School of Economics – Growth through Trade

Konsep Ilmu Ekonomi Klasik dimulai sekitar tahun 1776 saat Adam Smith memublikasikan karyanya, yaitu The Wealth of Nations. Kemunculan mazhab ini dipengaruhi oleh 2 revolusi besar pada masa itu. Pertama adalah scientific revolution, revolusi ini memengaruhi pola pikir zaman itu untuk melihat bahwa di dalam alam semesta ini terdapat hukum alam yang mengatur mekanismenya. Karena hukum alam yang diciptakan Allah ini, maka seluruh alam semesta dapat bergerak secara harmonis dan otomatis tanpa intervensi. 

Di dalam konteks sosial, pola pikir ini dikenal sebagai konsep laissez-faire. Revolusi kedua adalah industrial revolution. Revolusi ini terjadi karena didorong oleh penemuan-penemuan di dalam science sehingga memungkinkan bisnis mengubah pola kerjanya. Perkembangan yang signifikan dalam industri dengan penggunaan mesin, mampu menekan biaya produksi secara signifikan. 

Di sisi lain, perkembangan teknologi dalam dunia medis menyebabkan pertumbuhan populasi penduduk yang meningkat karena dapat menekan angka kematian. Hal ini berdampak dengan rendahnya harga buruh karena ketersediaan tenaga kerja dalam jumlah besar. Kedua revolusi inilah yang memengaruhi munculnya classical economics.

Pemikiran mazhab ini dikenal juga dengan economic liberalism, karena mendasarkan pemikirannya pada kebebasan pribadi, kepemilikan pribadi, inisiatif individu, atau dikenal juga dengan natural liberty. Kebebasan individu ini sangatlah kontras dengan pemikiran mazhab mercantilism yang memberikan begitu banyak batasan-batasan kepada individu di dalam melakukan aktivitas ekonomi. Secara umum classical economics berpegang kepada beberapa prinsip ini:

Minimal government involvement. Di dalam mazhab ini, pemerintahan yang baik adalah pemerintah yang memiliki sedikit campur tangan terhadap ekonomi. Hukum alam, atau Adam Smith menggunakan istilah “the invisible hand”, akan mengatur produksi, perdagangan, dan distribusi. Tugas pemerintahan lebih untuk menjaga hak kepemilikan pribadi, menyediakan pertahanan nasional, dan pendidikan bagi masyarakat.

Self-interested economic behavior. Self-interested behavior diasumsikan sebagai tingkah laku yang alami bagi classical economics. Para pengusaha dan pedagang menyediakan barang dan jasa karena keinginannya untuk mendapatkan profit, para pekerja menawarkan jasanya untuk mendapatkan upah, dan konsumen membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Inilah self-interested behavior yang dimaksudkan. Dengan adanya perilaku ini, ekonomi secara alamiah dapat bergerak tanpa perlu intervensi dari pemerintah. Inilah pola berpikir yang dipercayai oleh mazhab ini.

Harmony of interest. Para pemikir pada mazhab ini menekankan mengenai harmoni secara alamiah antarkepentingan pribadi di dalam ekonomi. Adam Smith mengatakan, “Every individual is continually exerting himself to find out the most advantageous employment of whatever capital he can command. He intends only his own gain, and his is in this, as in man other cases, led by an invisible hand to promote an end which has no part of his intention. Nor is it always the worse for the society that it was no part of it. By pursuing his own interest he frequently promotes that of society more effectually than when he really intends to promote it.” Mereka memercayai bahwa kepentingan individu secara alamiah akan mengarah kepada kepentingan society. Inilah yang dimaksudkan dengan harmony of interest.

Importance of all economic resources and activities. Sistem pemikiran ekonomi klasik memandang setiap sumber daya (tanah, tenaga kerja, modal) maupun seluruh aktivitas ekonomi (agrikultur, perdagangan, produksi, dan perdagangan internasional) memiliki peranan yang penting bagi perekonomian. Cara pandang ini berbeda dengan mercantilism yang hanya memandang perdagangan sebagai aktivitas yang paling penting.

Economic Laws. Kontribusi terbesar dari mazhab ini adalah analisis mengenai teori atau hukum ekonomi yang eksplisit. Kita mengenal beberapa teori seperti Labor Theory of Value, Law of Diminishing Returns, dan sebagainya. Mereka memercayai hukum ekonomi ini bersifat universal dan tidak berubah.

Secara jangka panjang, prinsip berpikir mazhab ini memberikan dampak yang baik di dalam aplikasinya karena mendorong permodalan usaha yang semakin besar serta pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Pertumbuhan ekonomi yang berkali-kali lipat, terjadi hanya di dalam beberapa abad saja sejak kemunculan pemikiran ekonomi ini. 

Hal ini karena konsep pertumbuhan mereka bukan seperti mercantilism yang memercayai sumber daya dunia ini bagaikan kue pai yang harus dibagi-bagi, tetapi konsep classical economics adalah memperbesar diameter pai sehingga setiap orang memperoleh porsi yang lebih besar juga. Hal ini bisa terjadi karena mereka menggunakan konsep perdagangan.

Konsep perdagangan ini bertolak belakang dengan mercantilism yang menutup diri untuk melakukan impor. Mazhab classic justru mendorong untuk melakukan impor bagi barang-barang yang bukan menjadi keunggulan bagi negara tersebut. Pemikiran ini memercayai bahwa setiap daerah memiliki keunggulannya masing-masing dan dengan berfokus pada keunggulan ini, efektivitas maupun efisiensi secara global dapat tercapai karena sumber daya difokuskan pada keunggulannya masing-masing. Perdagangan juga semakin gencar dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. 

Pola berpikir yang sama juga diterapkan dalam konteks sistem bekerja manusia, yang kita kenal dengan konsep division of labor. Konsep ini mendorong peningkatan yang signifikan dalam produktivitas karena setiap orang difokuskan untuk mengerjakan bagiannya masing-masing. Pekerjaan yang berulang akan semakin melatih orang tersebut, sehingga kecepatan menyelesaikan pekerjaan semakin bertambah. 

Selain itu perkembangan teknologi mendorong industri untuk melakukan produksi secara massal, sehingga harga produk menjadi lebih murah karena efisiensi. Implikasinya, dengan nilai yang sama pada masa lalu, masyarakat bisa memperoleh barang yang lebih banyak. Hal inilah yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan.

Classical economics, secara umum terbukti meningkatkan kesejahteraan umat manusia yang kita rasakan hingga saat ini. Tetapi keberhasilan ini bukan tanpa cacat. Konsep natural liberty menaruh optimisme besar kepada manusia, tetapi membutakan fakta natur keberdosaan manusia. Manusia memperalat kebebasan ini untuk membenarkan segala hal yang ia lakukan, padahal semua itu lahir dari hati yang rakus akan harta dan kekuasaan. 

Sehingga natural liberty, yang adalah anugerah dari Tuhan dan harus kita gunakan dengan penuh tanggung jawab, menjadi alat untuk manusia melakukan keinginan hati yang berdosa. Fakta inilah yang tidak disadari, sehingga beberapa kali di dalam sejarah perekonomian terjadi krisis yang dikarenakan kerakusan manusia yang diselubungi oleh slogan yang mengatasnamakan kebebasan.

Di sisi lain fakta pun menyatakan bahwa natural liberty itu sendiri dialami secara terbatas. Maksudnya, tidak semua orang dapat merasakan natural liberty ini dan kalaupun mengalaminya, tidak selamanya anugerah kebebasan ini akan ada. Natural liberty ini kebanyakan hanya dialami oleh pemilik capital atau modal, dengan pendapatan yang semakin besar mereka dapat menikmati banyak hal. Tetapi pekerjaan yang berhasil pasti menuntut waktu kerja yang lebih. 

Sehingga permasalahan sosial terjadi, proporsi terbesar hidup kita banyak dihabiskan untuk bekerja, sementara kehidupan sosial baik dengan keluarga maupun kerabat lainnya, menjadi semakin berkurang. Dan lama-kelamaan, manusia mengalami alienasi karena tuntutan pekerjaannya yang tinggi.

Hal lain dialami oleh kaum buruh. Selain terkekang oleh tuntutan jam kerja, mereka harus terbiasa melakukan pekerjaan yang monoton dan upah yang rendah. Pekerjaan yang terindustrialisasi membuat mereka harus melakukan pekerjaan menggunakan mesin yang berulang-ulang demi meningkatkan produktivitas (efek dari konsep division of labor). Hal ini menjadikan para pekerja mudah mengalami kejenuhan dan kebosanan. 

Ditambah dengan upah yang rendah, menjadikan pekerjaan bagi kaum buruh jauh dari yang namanya kesejahteraan hidup, walaupun standar hidup secara umum meningkat dibanding dengan masa pre-industrialisasi. Kondisi ini menimbulkan kesenjangan yang besar antara pemilik modal dan kaum buruh. Selain kesenjangan ekonomi, para buruh juga kerap kali tidak diperlakukan secara manusiawi karena jam kerja yang berlebihan dan minimnya tunjangan bagi kehidupan mereka. Hal inilah yang memicu bangkitnya kaum socialist.

Socialism - Growth through Social Concern

Dengan berkembangnya industri-industri besar, dampak terhadap lingkungan maupun sosial tidak terhindarkan. Di lingkungan sekitar industri ini sering kali muncul permasalahan seperti permukiman yang kumuh, penyakit, kriminalitas, kelaparan, dan kehidupan yang begitu menyedihkan. Hal ini timbul karena payung hukum maupun dukungan politik terhadap pekerja industri masih belum terbentuk. Sehingga ketidakadilan bagi para buruh terjadi di dalam masa industrialisasi tersebut. Saat produktivitas bermasalah atau gaya baru industrial yang menyingkirkan gaya lama menyebabkan para pekerja dipecat karena sudah tidak memiliki nilai guna bagi industri. 

Tidak mengherankan kalau John Stuart Mill mengatakan, “hitherto it is questionable if all the mechanical inventions yet made have lightened the day’s toil of any human being. They have enabled a greater population to live the same life of drudgery and imprisonment, and an increased number of manufacturers and others to make fortunes.” Kemunculan kaum sosialis adalah sebuah gerakan yang mengajak para penganut classical economics bergabung dalam humanitarian movement.

Socialism memiliki bentuk yang beragam, di antara bentuk-bentuk ini mungkin hanya beberapa yang cukup dikenal secara luas, seperti aliran Marxism, Communism, State Socialism. Di dalam keberagaman ini tetap terdapat kesamaan yang diakui bersama. Beberapa poin kesamaan mereka adalah:

Semua aliran sosialis tidak memercayai prinsip harmony of interest dari kaum classical economist. Mereka percaya terdapat kelas-kelas sosial yang berbeda, dan keinginan dari setiap kelas ini berbeda-beda bahkan bertentangan dengan kelas lainnya.

Semua aliran juga menentang konsep laissez-faire. Kaum sosialis melihat pemerintahan sebagai keberadaan yang berpotensi untuk merepresentasikan keinginan kaum buruh yang sering kali ditindas oleh para pemilik modal. Kaum sosialis dianggap sebagai kaum yang memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh.

Sosialisme juga memandang manusia sebagai makhluk sosial yang dapat dibentuk melalui situasi sosial. Cara pandang ini berbeda dengan kaum klasik yang melihat manusia secara kaku dan mekanis. Kaum sosialis melihat manusia lebih fleksibel, multifacet, dan terus berevolusi menjadi semakin baik. Kita bisa menjadi seseorang yang rakus maupun murah hati, tergantung dari bentukan sosial sekitar kita. Karl Marx mengatakan, “the human essence is no abstraction inherent in each single individual. In its reality it is the ensemble of social relations.” 

Menurut kaum sosialis, apa yang menjadikan kita manusia bukan hanya kemampuan untuk berubah seperti lingkungan yang terus berubah, tetapi juga kemampuan untuk membentuk komunitas yang baru dan berbeda serta beradaptasi dengan komunitas sosial tersebut.

Kaum sosialis juga mendukung kepemilikan publik bagi industri demi kebaikan bersama. Sehingga kepemilikan usaha dikendalikan oleh pemerintahan pusat, pemerintahan lokal, atau bentuk perusahaan koperasi.

Walaupun pemikiran kaum sosialis tidak bertahan diuji oleh waktu, pemikiran ini cukup memberikan kontribusi besar bagi ilmu ekonomi. Bisa dikatakan dengan kebangkitan pemikiran kaum sosialis ini, pemikiran kaum klasik dapat semakin dipertajam sekaligus dampak negatifnya dapat berkurang. Kita bisa melihat beberapa kontribusi positif dari pemikiran kaum sosialis.

1. Beberapa program yang saat ini dijalankan oleh kaum klasik berasal dari warisan kaum sosial, contohnya: keamanan sosial, kompensasi bagi kaum buruh, kompensasi bagi kaum pengangguran, upah minimum dan kompensasi untuk kerja lembur, serta hukum keamanan dan kesehatan saat bekerja. Dengan kata lain, kaum sosialis membangkitkan kesadaran sosial bagi kaum buruh sehingga kesenjangan antara pemegang modal dan kaum buruh dapat mulai dijembatani. 

Walaupun kalau kita lihat realitas pada saat ini, kesenjangan ini tetap ada dan masih menjadi polemik, tetapi setidaknya kesejahteraan bagi kaum buruh mulai diperjuangkan. Sehingga penindasan bagi kaum buruh dipandang sebagai tindakan yang tidak beradab.

Di sisi lain penerapan pemikiran kaum sosialis mengenai kaum buruh tetap tidak menyelesaikan masalah. Dukungan yang diberikan kepada kaum buruh menjadi angin segar bagi mereka. Tetapi tetap saja kaum buruh itu sendiri adalah orang berdosa yang memiliki nafsu akan kekuasaan dan kekayaan. Sehingga dukungan ini sering kali dijadikan kesempatan untuk memperjuangkan kemalasan mereka. Memperjuangkan agar mendapatkan penghasilan yang lebih tanpa perlu bekerja dengan keras. Inilah realitas yang kita jumpai dalam tuntutan para kaum buruh kepada pemerintahan.

2. Selain ini, sistem sosialis juga menyadarkan kita untuk melihat sisi komunitas. Manusia tidak bisa hidup sebagai seorang individu dengan sikap yang egois. Sikap egois ini adalah salah satu efek negatif dari pemikiran kaum klasik. Penekanan yang berlebihan kepada unconstrained self-interest menjadikan penganut pemikiran ini sangat berfokus kepada pribadi, karena berdasarkan logika pemikiran ini, self-interest akan memimpin kepada kepentingan bersama. Tetapi harus diakui bahwa keberdosaan manusia bisa menjadikan self-interest ini tidak berbeda dengan konsep predator kaum mercantilist. 

Di dalam konteks inilah komunitas bisa menjadi “common grace” yang dapat menjaga sikap individu agar tidak berdosa lebih parah. Inilah salah satu kontribusi dari kaum sosialis yang dapat melihat anugerah Tuhan bagi manusia, yang disampaikan melalui interaksi sosial dalam komunitas. Seperti yang Alkitab katakan, “Manusia menajamkan sesamanya.”

Tetapi kita pun harus melihat bahwa penerapan konsep manusia yang diusung oleh kaum sosialis adalah konsep yang tetap memiliki sisi yang tidak benar dan bertentangan dengan Alkitab. Konsep komunitas ini tidak melihat manusia secara individu sebagai pribadi yang unik dan berharga. Mereka hanya bagian dari komunitas di mana saat mereka masuk ke dalam komunitas, keunikan pribadi melebur jadi satu dan hilang signifikansinya. Sehingga konsep ini menekankan unity tetapi menghilangkan diversity.

3. Berkaitan dengan batasan otoritas dari pemerintahan. Peranan pemerintah yang minim seperti diajarkan oleh kaum klasik dapat mendatangkan permasalahan karena pergerakan ekonomi tidak semekanis yang dipikirkan oleh kaum klasik. Hal ini terbukti dengan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi antara pemegang modal dan kaum buruh. Konsep berpikir kaum klasik yang cenderung lebih naturalis mereduksi akan realitas dunia ini. 

Alkitab menyatakan bahwa dunia ini tidak bergerak secara mekanis, tetapi Tuhan bekerja baik secara langsung maupun melalui media yang ada. Ia bekerja baik secara mekanis maupun dinamis. Realitas dunia yang mungkin secara tiba-tiba bergerak di luar kebiasaan, adalah realitas yang gagal ditangkap oleh kaum klasik.

Di sisi lain, pemikiran kaum sosialis dengan memberikan otoritas yang besar kepada pemerintahan, tidak dapat juga menyelesaikan semua permasalahan. Konsep sentralisasi ini rentan untuk mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh kaum mercantilist. Pemerintahan yang memiliki otoritas besar rentan untuk disalahgunakan oleh keinginan yang berdosa, menjadi pemerintahan yang korup dan diktator. 

Secara praktis pun, konsep sentralisasi sering menimbulkan permasalahan dari segi relevansi untuk menjawab kebutuhan atau permasalahan yang terjadi. Hal ini karena pemerintahan belum tentu mengerti permasalahan yang sesungguhnya terjadi. Sehingga kebijakan yang diambil pun bisa jadi tidak relevan dengan kebutuhan di lapangan.

Dari pembahasan di atas, kita dapat melihat insight maupun kerusakan dalam sejarah pemikiran ekonomi. Setiap pemikiran ini memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Dan kalau kita perhatikan dengan saksama, permasalahan ini karena kerusakan baik dalam etika maupun kesalahan dalam mengerti realitas dunia ini. Epistemologi yang salah dibangun untuk melegalkan keinginan yang salah. 

Epistemologi yang salah terbentuk karena kita memiliki asumsi yang salah. Sebaliknya, epistemologi yang salah akan membuat kita semakin berani melakukan tindakan yang tidak etis karena ada dukungan teori. Epistemologi yang salah juga bisa merusak cara pandang kita dalam melihat realitas dunia ini. Inilah kegagalan sejarah ilmu ekonomi di dalam mengerti kebenaran secara luas dan utuh serta dinamika yang ada di dalamnya. Dan inilah yang menjadi tugas kita orang-orang Reformed untuk menyatakan kebenaran yang hidup di dalam keluasan dan keutuhannya.

Classical economics maupun socialism gagal untuk menjadi fondasi yang komprehensif bagi ilmu ekonomi. Classical economics mendasarkan filsafatnya kepada naturalism. Socialism mendasarkan filsafatnya kepada evolutionism. Kedua filsafat ini, baik naturalism maupun evolutionism, adalah pemikiran yang memiliki close system atau sistem berpikir yang tidak bisa melihat kaitan dunia ini dengan Allah. 

Pemikiran yang gagal untuk melihat relasi realitas dunia dengan Allah akan menjadi pemikiran yang sempit, dan cepat atau lambat akan bertemu dengan jalan buntu. Konsekuensinya, permasalahan di dalam dunia ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Kemungkinan yang terjadi adalah antara masalah itu bertambah besar atau timbulnya permasalahan di aspek yang lain atau hanya memindahkan masalah karena adanya side effect yang membayangi setiap pemikiran. 

Realitas dunia ini hanya dapat dipahami di dalam relasinya dengan Allah. Inilah fondasi yang sejati dan tepat bagi ilmu ekonomi. Di atas fondasi inilah seharusnya kita membangun ilmu ekonomi, agar terbentuk ilmu yang lebih komprehensif dan dinamis.

Artikel selanjutnya akan menganalisis pemikiran ekonomi dari sudut pandang pemikiran lain yang coba menjembatani pemikiran classical economics dan socialism. Pembahasan akan difokuskan untuk melihat 2 sudut pandang ilmu ekonomi yang kita pelajari hingga saat ini, yaitu mikroekonomi dan makroekonomi. Biarlah pemaparan singkat ini dapat semakin membuka mata kita untuk melihat signifikansi Reformed Theology bagi ilmu ekonomi.

An Overview of Economics Thought - Micro- and Macroeconomics

Waktu adalah penguji yang paling autentik. Prinsip ini sering kita dengar dan juga sangat relevan bagi perkembangan dunia pemikiran. Saat sebuah arus pemikiran tidak lagi menjawab permasalahan, cepat atau lambat pasti akan digugurkan oleh sejarah. Dengan gugurnya sebuah pemikiran, pasti akan memunculkan arus pemikiran berikutnya, yang sering kali menjadi antitesis bagi pemikiran sebelumnya.

Pola yang sama terjadi dalam sejarah pemikiran ekonomi. Relevansi suatu pemikiran dan masalah-masalah yang timbul sebagai konsekuensi dari suatu pemikiran adalah dasar pemicu bangkitnya pemikiran yang lain. Dari pola ini kita bisa melihat betapa rapuhnya pemikiran yang tidak sesuai dengan firman Tuhan.

Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa semua pemikiran yang tidak sesuai atau melawan firman Tuhan memiliki 2 unsur yaitu time bomb dan self-defeating factor. Hal ini harus selalu kita sadari saat mempelajari sejarah perkembangan pemikiran, termasuk di dalamnya pemikiran ekonomi. Di dalam setiap arus pemikiran yang tidak sesuai Alkitab, ada side-effect yang membayangi. Sehingga motivasi yang baik dari sebuah usaha tidaklah cukup, harus dilengkapi dengan strategy yang sinkron dengan standard kebenaran firman Tuhan dan goal yang jelas. 

Ketiga elemen ini, motive, standard, dan goal, harus berjalan dengan sinkron dan benar. Ketimpangan pada salah satu elemen akan merusak seluruh sistem pemikiran. Pola ini dapat kita lihat di dalam beberapa pemikiran yang akan dibahas pada artikel ini.

Marginalism – Growing through Subjective Value

Sistem yang ditawarkan oleh mazhab classical economics tidak menyelesaikan permasalahan ekonomi dan sosial bahkan sampai ratusan tahun setelah terjadinya Revolusi Industri. Walaupun produktivitas mengalami peningkatan tetapi kemiskinan tetap merajalela di seluruh pelosok. Hal ini disebabkan distribusi kekayaan yang tidak merata dan peningkatan biaya hidup yang tidak disertai dengan peningkatan di dalam sisi penghasilan. Kondisi ini menimbulkan ketidakpuasan yang besar. Permasalahan sosial merebak di mana-mana bahkan di dalam tingkat yang semakin kompleks. Socialism bangkit untuk mengatasi permasalahan ini.

Cara kaum sosialis adalah membuat gerakan kaum proletariat yang menjadi arus lawan dari kaum noble yang merenggut kesejahteraan para buruh. Tetapi cara yang diusung oleh kaum sosialis seperti meminta pemerintahan untuk memegang kendali perekonomian negara, adalah cara-cara yang tidak disetujui oleh kaum yang dinamakan “marginalists”. Para pengikut mazhab marginalism ini berkesimpulan bahwa, teori ekonomi klasik memang tidak akurat di dalam hal nilai dan distribusi tetapi mereka memiliki sudut pandang kebijakan yang sudah tepat. Sehingga yang dilakukan oleh mazhab ini adalah perombakan dan peningkatan dari teori ekonomi klasik.

Beberapa pandangan dasar mereka adalah seperti demikian:

Focus on Margin. Fokus dari mazhab ini mengenai dasar dalam seseorang mengambil sebuah keputusan ekonomi. Mereka akan berfokus kepada margin atau nilai tambah. Konsep ini memberikan perubahan sudut pandang filsafat nilai yang cukup drastis. Poin ini yang akan kita bahas pada artikel ini.

Rational Economic Behavior. Salah satu asumsi dari arus pemikiran ini adalah manusia bisa melakukan pertimbangan yang rasional di dalam membuat keputusan. Tindakan rasional ini memampukan manusia untuk melakukan pertimbangan antara kenikmatan dan pengorbanan yang harus diberikan, nilai tambah antara beberapa pilihan produk, serta antara kebutuhan saat ini dan masa mendatang.

Demand-Oriented Price Theory. Bagi kaum ini, permintaan adalah aspek yang paling utama dalam menentukan harga. Cara pandang ini sangat bertolak belakang dengan aliran ekonomi klasik yang menekankan biaya produksi sebagai penentu harga yang paling signifikan.

Emphasis on Subjective Utility. Menurut kaum marginalis, kekuatan permintaan bergantung pada nilai tambah manfaat yang diberikan oleh suatu barang atau jasa. Hal ini berarti kekuatan permintaan bergantung pada sistem nilai yang lebih subjektif dan fenomena psikologis.

Equilibrium Approach. Marginalis juga percaya bahwa ekonomi akan selalu bergerak menuju titik keseimbangan atau ekuilibrium. Walaupun ada perubahan yang menyebabkan pergeseran, secara otomatis ekonomi akan mendorong untuk kembali kepada titik seimbang.

Minimal Government Involvement. Meneruskan yang dipercayai oleh aliran ekonomi klasik, marginalis tetap berpegang pada kebijakan yang meminimalkan campur tangan pemerintahan.

Using Mathematics for Theory Presentation. Beberapa tokoh utama dalam marginalism menggunakan matematika sebagai metodologi dalam menganalisis perekonomian dan mengomunikasikannya.

Ciri khas utama dari pemikiran kaum marginalis adalah pendekatan teori nilai dengan marginal utility. Pendekatan marginal utility ini dikenal juga sebagai subjective theory of value yang berbeda dengan pendekatan labor theory of value atau dikenal juga sebagai objective theory of value. Salah satu topik yang menjadi permasalahan adalah mengenai the paradox of value.

The Paradox of Value

Paradox of value, atau yang dikenal juga sebagai diamond-water paradox, adalah permasalahan mengenai perbandingan dua benda yang terlihat berkontradiksi. Permasalahannya adalah seperti demikian. Air memiliki manfaat yang lebih tinggi, di dalam konteks bertahan hidup, dibanding berlian, tetapi berlian memiliki harga yang jauh lebih tinggi di pasar dibanding air. Adam Smith mencoba menjelaskan dilema ini dengan membedakan antara value in use dan value in exchange, ia berkata,

What are the rules which men naturally observe in exchanging them (goods) for money or for one another, I shall now proceed to examine. These rules determine what may be called the relative or exchangeable value of goods. The word VALUE, it is to be observed, has two different meanings, and sometimes expresses the utility for some particular object, and sometimes the power of purchasing other goods which the possession of that object conveys. The one may be called “value in use”, the other, “value in exchange.” The things which have the greatest value in use have frequently little or no value in exchange; on the contrary, those which have the greatest value in exchange have frequently little or no value in use. Nothing is more useful than water: but it will purchase scarcely anything; scarcely anything can be had in exchange for it. A diamond, on the contrary, has scarcely any use-value; but a very great quantity of other goods may frequently be had in exchange for it.

Secara sederhana Smith mengatakan bahwa ada barang yang memiliki nilai guna (value in use) yang sangat tinggi tetapi secara harga (value in exchange) sangat murah bahkan gratis, sedangkan di pihak lainnya ada barang yang hampir tidak memiliki nilai guna justru memiliki harga yang sangat tinggi. Bagi Adam Smith, value in exchangeditentukan oleh biaya produksi, jerih payah, dan kesulitan yang harus diberikan untuk menghasilkan suatu barang. 

Baginya tidak ada kaitan antara harga dan nilai guna suatu barang. Sehingga berdasarkan pengertian ini, harga suatu barang ditentukan oleh biaya input untuk produksi tersebut (secara umum ditentukan oleh upah buruh). Inilah konsep value yang didasarkan kepada nilai intrinsik atau objective value theory.

Kelemahan konsep ini adalah kesulitan dalam memperhitungkan profit atau kerugian, maupun biaya, selain inputproduksi. Sehingga konsep nilai ini ditinggalkan oleh para ekonom semenjak hadirnya pemikiran dari kaum marginalis.

Kaum marginalis memiliki jawabannya bagi permasalahan tersebut. Aliran ini mengatakan bahwa harga suatu barang bukan terletak pada banyaknya pekerja yang diperlukan untuk memproduksi barang tersebut, dan bukan juga bergantung pada nilai gunanya. Mereka percaya bahwa harga seharusnya ditentukan oleh marginal utility. Marginal utility dari suatu barang adalah tingkat penambahan kepuasan yang dapat dirasakan setiap pengguna barang tersebut. Bukan total utility (value in use) dari berlian atau air yang menentukan harga tetapi manfaat yang diberikan dari setiap unit (marginal utility) air atau berlian. 

Secara total utility, air memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding berlian karena kita memerlukan air untuk keberlangsungan hidup kita. Tetapi karena jumlah air di dunia ini sangat banyak, maka marginal utility atau tingkat kepuasan yang diperoleh dari setiap penambahan unit air memiliki tingkat yang rendah. Berbeda dengan berlian, walaupun secara total utility memiliki tingkat yang rendah, tetapi secara marginal utility memiliki tingkat yang sangat tinggi. Oleh karena itu, pengguna berlian berani membayar jauh lebih mahal dibanding segelas air. Inilah konsep subjective value theory yang mendasarkan harga suatu barang pada penambahan nilai guna (marginal utility).

Kaum marginalis mengemukakan theory of diminishing marginal utility untuk lebih menjelaskan lagi rendahnya marginal utility air dibanding berlian. Menurut teori ini, semakin banyak kita mengonsumsi suatu barang, marginal utilitydari barang tersebut akan semakin mengecil, bahkan bisa menjadi negatif. Total utility dari barang tersebut akan semakin bertambah setiap kali dikonsumsi tetapi dalam kondisi diminishing rate. 

Karakter inilah yang terdapat pada air. Tetapi berlian memiliki karakter yang berbeda. Berlian memiliki marginal utility yang sangat tinggi sehingga bertambahnya kepemilikan berlian akan meningkatkan kepuasan penggunanya. Berdasarkan teori ini dapat disimpulkan bahwa kita lebih memilih untuk memiliki semua air di dunia ini dan tidak memiliki berlian dibanding hal sebaliknya yang terjadi; tetapi kita lebih memilih untuk menambah jumlah berlian dibanding air di saat jumlah air banyak.

Bila pada labor theory of value mengatakan bahwa biaya input produksi menentukan harga produk tersebut, marginal utility menyatakan bahwa nilai input produksi didasarkan kepada potensi harga pasar suatu produk. Konsep nilai marginalis dipercaya dapat memberikan kesempatan yang lebih bagi para buruh untuk memiliki pendapatan yang lebih baik, karena upah mereka akan bergantung kepada potensi harga pasar dari produk yang mereka hasilkan.

Suatu Analisis

Teori nilai yang dikemukakan oleh kaum marginalis menjadi sebuah paradigm shift di dalam menilai. Nilai sebuah barang tidak lagi ditentukan hanya dengan total biaya produksi yang diperlukan, tetapi juga membuka ruang bagi pengguna barang memberikan apresiasinya. Optimisme yang diberikan kepada manusia di dalam memberikan nilai tidak terlepas dari pengaruh semangat zaman enlightenment. 

Semangat zaman ini sangat menekankan aspek rasio dan individualism, sehingga setiap individu dipercaya dapat memberikan penilaian yang rasional bagi barang atau jasa yang dihasilkan. Kita harus mengakui bahwa pendekatan ini memberikan angin segar bagi barang atau jasa yang tidak bisa dinilai dengan mempertimbangkan faktor produksi, seperti logam mulia dan karya seni. Logam mulia seperti emas maupun permata seperti berlian, sebelum memasuki proses produksi pun sudah memiliki nilai yang tinggi. 

Begitu juga dengan karya seni, nilainya tidak dapat dihitung berdasarkan lama waktu yang diperlukan sang pelukis. Bahkan ada karya-karya seni yang begitu agung hingga memiliki nilai yang sangat tinggi, melebihi biaya input produksinya. Dengan terbukanya ruang bagi apresiasi secara pribadi, banyak sisi perekonomian dapat berkembang karena mendapatkan apresiasi.

Di sisi lain, kita harus menyadari bahwa konsep ini tetap memiliki side-effect, beberapa di antaranya adalah:

Konsep marginalis mengubah mindset dari para pelaku ekonomi. Kalau dahulu lebih memikirkan mengenai konsep efektivitas dan efisiensi dalam produksi, pasca marginalis berubah menjadi konsep market-oriented. Dengan menjadikan sisi permintaan sebagai aspek utama penentu harga, maka konsep usaha jadi berorientasi untuk mencari kebutuhan dan keinginan pasar (apresiasi pasar). Konsep inilah yang menjadi cikal-bakal bertumbuhnya konsep marketing. Pada hakikatnya, marketing adalah ilmu komunikasi yang mempertemukan nilai dari suatu produk atau jasa dengan kebutuhan atau keinginan pelanggan. 

Tetapi pada realitasnya, praktik marketing saat ini dipenuhi dengan kegiatan yang manipulatif. Marketing menjadi usaha untuk membuat pelanggan merasa butuh tetapi pada sesungguhnya tidak. Bahkan mempresentasikan suatu barang atau jasa dengan begitu menarik dan indahnya, tetapi itu hanyalah harapan palsu jika dibanding dengan barang aslinya. 

Hal ini membuktikan bahwa manusia pada dasarnya hanya ingin memuaskan nafsu kedagingan dan tidak melakukan keputusan ekonomi dengan pertimbangan rasio yang sehat. Ekonomi tidak lagi menjadi ilmu untuk kemuliaan Allah dan berkat bagi sesama. Ekonomi hanya menjadi ranah untuk mendidik manusia konsumerisme yang saling “memakan” satu dengan lainnya (homo homini lupus – a man is a wolf to another man) dengan menggunakan berbagai cara, bahkan menipu sekalipun.

Money is the measure of everything. Dengan dihubungkannya value in use (nilai) dengan value in exchange (price), manusia berdosa memiliki kecenderungan untuk melihat segala sesuatu berdasarkan nominal uang. Semakin tinggi nominal harga suatu barang atau jasa, dianggap semakin bernilai hal tersebut. Bahkan keberhasilan hidup seseorang dipandang sebagai kehidupan yang berhasil dan bernilai jikalau memiliki nominal uang yang besar. Inilah suatu cara pandang hidup yang akhirnya merusak sistem nilai kita sebagai manusia. 

Cara pandang yang semakin lama semakin membawa kita terperosok ke dalam jebakan materialism, yaitu kehidupan yang mencintai uang. Alkitab dengan jelas berkata bahwa cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan. Seorang yang sudah terjebak di dalam materialisme memiliki hidup yang justru semakin miskin karena mereduksi kelimpahan hidup ini hanya di dalam hal kekayaan materi saja. Orang ini juga akan semakin jauh dari Tuhan dan tidak mungkin ada pikiran untuk memiliki kehidupan yang murni mau memuliakan Tuhan.

Keynesian School – Growing through Stimulation

Walaupun konsep macroeconomic pertama kali dikemukakan bukan oleh John Maynard Keynes, tetapi ia adalah seorang yang memopulerkan pemikiran ini. Salah satu yang memengaruhi pemikiran Keynes adalah seorang tokoh yang penting dalam aliran marginalis yang bernama Alfred Marshall. Pemikiran Marshall membuka gerbang untuk berkembangnya aliran makroekonomi. Ia memercayai bahwa teori ekonomi terbentuk bukan karena natural law(hukum alam) tetapi karena social tendencies (kecenderungan sosial), sehingga situasi perekonomian dapat diubah melalui perubahan perilaku seluruh oknum dalam ekonomi.

Konsep ini adalah pengaruh dari teori psikologi yang bernama behaviorism. Selain pengaruh dari Alfred Marshall, mencuatnya pemikiran Keynes sehingga terjadi paradigm shift dalam teori ekonomi adalah peristiwa The Great Depression yang terjadi pada tahun 1930. 

Dengan turunnya pertumbuhan ekonomi, turunnya pertumbuhan populasi penduduk, sudah dihuninya seluruh bagian bumi sehingga tidak ada tempat untuk dilakukan ekspansi, kelebihan pendapatan dari produksi sehingga savings pun meningkat, dan tidak ada lagi penemuan dalam teknologi yang dapat memajukan investasi modal, masalah-masalah perekonomian menjadi serius dan kompleks pada saat itu dan Keynes pun hadir sebagai pembawa pemikiran yang merevolusi konsep berpikir ekonomi saat itu.

Beberapa pemikiran utama dari Keynesian School adalah:

Macroeconomic Emphasis. Hal yang menjadi konsentrasi adalah total atau aggregate dari konsumsi, saving, income, output, dan employment. Mereka tidak tertarik untuk membahas perusahaan secara individual dalam kaitan dengan keputusan untuk profit-maximizing.

Demand Orientation. Aliran Keynesian menekankan pentingnya effective demand (aggregate expenditure) sebagai penentu langsung dari pendapatan nasional, pengeluaran, dan employment. Aggregate expenditure terdiri dari total konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintahan, dan pengeluaran ekspor bersih.

Instability in the Economy. Keynesian mengatakan bahwa pergerakan ekonomi selalu memiliki titik puncak maupun titik bawah karena level investasi dapat berubah tanpa diduga. Perubahan pada nilai investasi akan memberikan dampak yang signifikan terhadap level pendapatan atau pengeluaran nasional. Kondisi ini menyebabkan ketidakstabilan dalam ekonomi.

Active Fiscal and Monetary Policies. Keynesian mendukung intervensi pemerintahan di dalam ekonomi. Mereka dapat secara aktif terlibat melalui kebijakan fiskal maupun moneter agar tercapai full employment, price stability, dan economic growth. Pemerintah bisa menstimulasi atau menahan pergerakan ekonomi dengan mengatur pajak, tingkat bunga, maupun pengeluaran pemerintah.

Pemikiran Keynes ini mampu mendorong perekonomian agar bertumbuh. Perekonomian beberapa negara bangkit dari krisis, berkat pemikiran Keynes yang berfokus kepada makroekonomi. Kita harus mengakui bahwa keberhasilan teori ini dalam mendorong perekonomian dikarenakan cara pandangnya yang lebih melihat ekonomi secara luas dan lebih integratif dibanding aliran teori ekonomi lainnya. Sudut pandang yang luas ini memampukan para pelaku ekonomi untuk melihat dinamika pergerakan ekonomi secara lebih holistic. Inilah salah satu keunggulan dalam mazhab Keynesian yang harus kita apresiasi. Bahkan prinsip-prinsip Teori Ekonomi Keynes masih terus berpengaruh hingga saat ini.

Suatu Analisis

Aliran ini tidak terlepas dari pengaruh kejatuhan manusia dalam dosa. Beberapa kerusakan yang ditimbulkan baik secara langsung maupun sebagai side-effect dari pemikiran tersebut adalah:

Efek yang ditimbulkan melalui teori Keynesian cenderung hanya short-term. Kebijakan fiskal maupun moneter yang dilakukan dapat mendorong pergerakan ekonomi tetapi sifatnya hanya sementara. Sebagai contoh, pemerintah menurunkan suku bunga dengan harapan masyarakat lebih memilih untuk menggunakan uangnya untuk konsumsi daripada menabungnya. 

Untuk jangka pendek mungkin tingkat konsumsi yang tinggi dapat memajukan perekonomian tetapi efek hanya akan berlangsung singkat karena peredaran uang yang meningkat di pasar akan mendorong terjadinya inflasi yang lebih tinggi, sehingga nilai uang pun akan tergerus. Di dalam jangka panjang, hal ini hanya mendorong peningkatan secara harga saja tetapi tidak untuk kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Bahkan cita-cita full employment pun tidak akan tercapai.

Berkaitan dengan hal ini, Chicago school yang dikenal juga sebagai aliran new classic menyatakan bahwa peningkatan ekonomi yang baik adalah dengan peningkatan permanent income bukan yang sifatnya sementara. Hal ini berarti kebijakan makroekonomi harus mendorong pertumbuhan sektor riil atau efek positif secara mikroekonomi yang bersifat permanen. Kita harus belajar membangun perekonomian di dalam fondasi yang kokoh bukan yang rapuh.

Stimulasi ekonomi jangka pendek sering kali menjadi permasalahan pada jangka panjang. Salah satu contoh yang pernah dibahas pada artikel sebelumnya adalah mengenai bail-out dana untuk menstimulasi perekonomian melalui peningkatan pinjaman luar negeri pemerintah. Dengan menyuntikkan dana ke pasar, roda perekonomian secara jangka pendek mungkin akan terstimulasi untuk bergerak, tetapi secara jangka panjang akan menimbulkan kesulitan karena pemerintah memerlukan dana besar untuk menutupi jatuh tempo utang negara. 

Inilah side-effect dari suatu pemikiran dan tindakan. Kondisi ini yang terjadi dengan beberapa negara Barat pada saat ini. Mereka mencoba meningkatkan kesejahteraan saat ini dengan menggunakan dana masa depan (melakukan pinjaman atau utang). Tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah kita sedang merampas potensi kesejahteraan orang-orang yang akan hidup di masa yang akan datang. Menghadapi realitas ini, kembali kita dapat merenungkan dan belajar dari perkataan Paulus mengenai dirinya di dalam Filipi 4:11, “mencukupkan diri dalam segala keadaan”.

Cara pandang yang hanya berfokus secara makro memang bisa memberikan gambaran yang lebih umum mengenai hal-hal yang sedang terjadi. Tetapi cara pandang ini cenderung reduktif, sehingga menggeneralisasi dan menyederhanakan banyak permasalahan. Hal ini menyebabkan solusi yang diberikan pun tidak menjawab akar permasalahannya. Kita harus belajar melihat di dalam keluasan dan keutuhannya.

Usaha pembangunan ekonomi yang diusung dalam pemikiran Keynes tidak memberikan solusi pertumbuhan ekonomi yang memiliki keberlangsungan. Stimulus yang diberikan hanya suntikan penguat sistem imun tubuh sehingga bisa melakukan aktivitas lebih berat tetapi hanya bersifat sementara. Untuk menjadikan stimulasi ini permanen, diperlukan tindakan-tindakan yang bersifat aplikatif secara mikro dan bersifat permanen, salah satunya adalah pembangunan sektor riil atau peningkatan jaminan sosial bagi pekerja.

Pengejaran untuk pertumbuhan ekonomi memang dapat meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan yang lebih layak bagi masyarakat. Tetapi kesejahteraan hidup tidak ada artinya jikalau manusia tidak menyadari akan nilai hidup yang sesungguhnya, yang dapat mendatangkan kedamaian sejati bagi dirinya. Kita tidak bisa serta-merta mendukung konsep ilmu yang dapat memberikan pertumbuhan ekonomi. 

Karena sejarah menyatakan bahwa kesejahteraan ekonomi tidak menyebabkan orang semakin menyadari panggilan hidupnya untuk memuliakan Tuhan tetapi justru banyak orang yang semakin nyaman hidupnya semakin jauh dari Tuhan. Mungkin secara taraf kehidupan terlihat begitu sejahtera dan jauh dari huru-hara, jasmaninya terpelihara dengan baik. Tetapi jikalau rohaninya menjadi mati, tidaklah ada gunanya kesejahteraan hidup itu. 

Realitas ini harus kita sadari sebagai orang Reformed. Bukan kenyamanan atau kenikmatan diri yang diutamakan tetapi kemuliaan Tuhan yang harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Apakah artinya jikalau kita memperoleh seluruh dunia ini, tetapi kehilangan hidup kita yang sejati? (Matius 16:26). Oleh karena itu kita harus kembali kepada Alkitab, membangun pertumbuhan ekonomi berdasarkan prinsip yang Alkitab katakan, bukan dengan mengikuti ajaran yang dunia ini tawarkan.

Pada beberapa artikel selanjutnya kita akan membahas dari sudut pandang redemption. Kita akan mempelajari beberapa prinsip Alkitab yang harus kita pegang di saat menjalankan panggilan di dalam bidang ekonomi ini. Serta kita akan membahas beberapa isu terkait praktik ekonomi kontemporer dan populer (saham dan investasi, risk management, start-up business), serta respons kita sebagai orang Reformed di dalam memandang isu-isu tersebut.

Redeeming Our Heart

Kita telah membahas dalam tiga artikel pertama mengenai prinsip-prinsip dasar Alkitab bagi ilmu ekonomi dalam tiga sudut pandang yaitu metafisika, epistemologi, dan etika, kemudian dilanjutkan dengan empat artikel yang membahas mengenai efek kejatuhan terhadap ilmu ekonomi. Maka pada tiga artikel berikut ini, kita akan membahas konteks penebusan, menerapkan prinsip kebenaran firman Tuhan di tengah-tengah realitas kerusakan yang ada di dalam dunia ekonomi. 

Penerapan prinsip firman Tuhan dalam ilmu ekonomi sering kali bertemu dengan jalan buntu. Bahkan untuk menjadi seorang pelaku ekonomi yang memiliki etika sesuai Alkitab saja, sudah dianggap sebuah impian di siang bolong, apalagi kalau berbicara dalam konteks metafisika dan epistemologi. Saat ini, rasanya tidak banyak yang berpikir ke arah sana, kebanyakan dari kita berhenti hanya menjadi seorang yang menjalankan ekonomi secara jujur dan bermoral baik secara umum.

Lalu, hal apakah yang paling sulit dalam membangun ilmu ekonomi yang berdasarkan firman Tuhan? Mengapa hingga saat ini praktik ekonomi terlihat jauh dari kebenaran Alkitab? Sudah banyak theolog, ekonom, bahkan filsuf Kristen yang berusaha membangun ekonomi yang Alkitabiah, tetapi rasanya semua hal itu seperti impian yang tidak mungkin tercapai. 

Apa yang salah? Apakah membangun ekonomi yang Alkitabiah adalah hal yang mustahil? Kalau mungkin untuk dikerjakan, hal apa yang harus kita – sebagai orang Reformed – lakukan untuk membawa kembali ekonomi ke dalam prinsip kebenaran firman Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan yang mungkin muncul dari dalam hati setiap kita yang bergumul untuk menebus ekonomi bagi kemuliaan Allah.

Theologi Reformed memandang konsep penebusan secara holistik, bukan hanya dalam area moralitas tetapi seluruh aspek kehidupan. Di sisi lain, kita juga memercayai bahwa penebusan itu terjadi dengan konsep “already and not yet”, sehingga gap yang masih terus kita rasakan antara realitas dan yang Alkitab ajarkan adalah hal yang akan kita alami hingga akhir zaman. Tetapi hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk mengendurkan perjuangan kita dalam mengaplikasikan penebusan ke dalam setiap aspek hidup.

Melakukan aplikasi penebusan ke dalam area yang kita gumuli bukan sekadar menjaga kekudusan pribadi, tetapi juga memberikan dampak bagi sekitar dengan segala konsekuensi. Kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia yang menyingkapkan kegelapan dan kebobrokan dunia, lalu membawa mereka kepada Sang Terang Sejati yaitu Kristus. 

Penyingkapan akan kegelapan dan kebobrokan pasti akan menuai kebencian dari orang-orang yang tidak mau bertobat, pertentangan ini adalah konsekuensi yang harus siap kita jalani sebagai anak-anak terang. Pertanyaannya adalah, “Siapkah kita untuk mengaplikasikan penebusan ini di dalam seluruh aspek hidup kita, termasuk ekonomi, dengan segala konsekuensinya?” Permasalahan utama yang menghambat kita adalah ketidaksiapan hati kita menjalankan panggilan Tuhan, khususnya dalam bidang ekonomi. Alkitab memberikan beberapa kisah yang dapat kita renungkan berkaitan dengan hal ini.

Seorang Muda yang Kaya (Matius 19:16-26, Markus 10:17-27, Lukas 18:18-27)

Sosok pemuda dalam perikop ini bisa dikatakan sebagai sosok seorang pemuda idaman. Seorang yang dari usia muda tetapi sudah menjadi seorang yang kaya adalah sebuah hal yang sangat langka pada zaman itu. Bahkan di dalam konteks hidup saat ini pun, kita jarang menemukan seorang muda yang sudah kaya. Bukan hanya itu, jikalau kita memparalelkannya dengan Kitab Lukas, dikatakan bahwa pemuda ini juga seorang pemimpin. 

Memiliki harta, jabatan, dan usia muda, sungguh seorang pemuda yang luar biasa bukan? Tidak berhenti sampai di situ. Kalau kita perhatikan kembali sikapnya di hadapan Tuhan Yesus, dapat disimpulkan bahwa ia adalah seorang pemuda yang saleh. Hampir seluruh Hukum Taurat ia lakukan. Sungguh sosok idaman dari seorang pemuda.

Tetapi seluruh kehebatannya hancur saat Tuhan Yesus memerintahkan pemuda ini untuk menjual seluruh hartanya, lalu membagikannya kepada orang miskin, dan mengikut Tuhan Yesus. Di akhir kisah, dikatakan bahwa pemuda ini pergi dengan sedih karena hartanya banyak. Di saat sebuah pilihan hidup yang begitu krusial datang, yaitu memiliki harta atau hidup mengikut Kristus, pemuda ini lebih memilih hartanya dan meninggalkan Yesus. 

Keputusan ini menghancurkan seluruh yang sudah ia bangun di masa lalu dan juga masa depannya, karena ia lebih memilih harta dibanding Tuhan. Inilah kebahayaan yang sangat besar, yang menghantui semua orang di setiap zaman. Suatu pola pikir dan semangat zaman yang membuat orang-orang berani untuk menolak Tuhan demi memperoleh harta. Suatu semangat zaman yang kita kenal sebagai materialisme.

Paulus mengatakan di dalam 2 Timotius 3:2, bahwa pada zaman akhir manusia akan mencintai dirinya sendiri (humanisme) dan menjadi hamba uang (materialisme). Kehidupan seperti orang muda yang kaya adalah gambaran yang mewakili kondisi ini. Banyak orang yang ingin menjadi kaya, tetapi tidak sadar kalau ia sedang menjual dirinya kepada kebinasaan dengan ambisinya. Kerusakan ekonomi dimulai dari orang-orang yang memiliki hati serong, tidak mau lagi hidup beribadah kepada Tuhan tetapi mengejar kekayaan dan kenyamanan diri. 

Bisa saja kita adalah seorang yang rajin beribadah dan memiliki kehidupan yang tampaknya saleh, tetapi kecintaan hati kita terhadap uang akan menjadi kebusukan dari dalam diri yang lambat laun akan menggerogoti seluruh kehidupan rohani kita. Dan kalau hal ini sudah terjadi, maka menebus ilmu ekonomi adalah hal yang mustahil untuk dikerjakan.

Kisah seorang pemuda yang kaya ini adalah suatu tanda bahaya yang seharusnya menyadarkan kita akan kerusakan dari materialisme. Cara pandang ini telah menggeser pengertian/perspektif manusia akan nilai hidup. Dari perspektif materialisme, paradigma ini memandang bahwa konsep makna hidup yang abstrak sebagai sebuah ilusi, dan membawa para penganutnya untuk melihat kepada hal yang lebih konkret atau bisa dilihat dan dirasakan secara langsung yaitu kepada materi. 

Sehingga segala sesuatu dipandang bernilai saat hal itu dapat memberikan timbal balik secara materi. Konsep inilah yang mengendalikan konsep perekonomian saat ini, memandang baik buruknya suatu perekonomian berdasarkan besaran materi yang dapat dihasilkan. Oleh karena itu tidak heran jikalau penggiat ekonomi banyak yang meninggalkan kerohanian sejati karena dianggap tidak dapat memberikan keuntungan. Inilah kerusakan pada zaman ini.

Secara ironis bagian mengenai seorang muda yang kaya ini dikontraskan dengan kisah seorang yang bernama Bartimeus, seorang yang buta lalu disembuhkan oleh Yesus. Saat ia disembuhkan, dengan rela ia menanggalkan satu-satunya harta yang ia miliki, yaitu jubahnya, dan mengikuti Yesus. Di dalam kisah yang lain, kita pun mendapatkan kisah seorang pemungut cukai yang juga kaya, yang bernama Zakheus. Ia memberikan respons yang tepat saat berjumpa dengan Tuhan Yesus. 

Ia merelakan separuh kekayaannya untuk orang miskin dan mengganti empat kali lipat harta orang-orang yang sudah ia peras. Jikalau kita telusuri lebih jauh lagi, kebanyakan tokoh-tokoh Alkitab yang setia kepada panggilan Tuhan adalah orang-orang yang merelakan miliknya dan mengikut Tuhan Yesus dengan segala konsekuensinya. Dari kisah-kisah ini kita bisa menyimpulkan bahwa mengikuti Yesus harus disertai dengan merelakan segala yang sudah menjadi milik kita, termasuk hak dan kesempatan untuk memiliki harta yang lebih besar di masa mendatang. Ini berarti kita mengikatkan hidup kita hanya kepada Allah, bukan dengan harta dan segala kenikmatan dunia.

Kisah seorang muda yang kaya ini menjadi perenungan untuk kita semua yang bergumul di dalam bidang ekonomi. Ke manakah kita akan mencondongkan hati kita? Apakah seperti anak muda ini yang mencondongkan hatinya kepada kekayaan? Atau mau merelakan seluruh kekayaan dan kenyamanan hidup dan mengikut Kristus? Ini sebuah keputusan hidup yang terlihat sederhana tetapi begitu krusial bagi kita yang dipanggil untuk bergumul dalam bidang ekonomi. 

Jikalau hati kita condong kepada kekayaan, maka seluruh usaha untuk menebus ilmu ekonomi hanya akan berakhir pada kesia-siaan. Tetapi hati yang murni mau mengikut Yesus, rela melepaskan seluruh ikatan dirinya kepada harta dan kenyamanan hidup, orang-orang seperti inilah yang Tuhan akan pakai untuk menerapkan penebusan di dalam ilmu ekonomi. Kebijaksanaan dari Tuhanlah yang akan membimbing kita langkah demi langkah melalui setiap pergumulan kita dalam ilmu ekonomi.

Orang Kaya yang Bodoh (Lukas 12:13-21)

Perikop ini kembali menceritakan mengenai seorang kaya. Kisah ini adalah sebuah perumpamaan yang Yesus ceritakan sebagai respons-Nya terhadap permintaan seorang pendengar-Nya berkaitan tentang pembagian harta warisan. Sebelum perumpamaan ini diceritakan, Yesus mengangkat tema mengenai kewaspadaan terhadap ketamakan. Bukankah ini juga yang sedang kita hadapi pada zaman ini? Zaman yang disebut sebagai “the age of greed”. Terhadap ketamakan, Tuhan Yesus menyatakan bahwa hidup kita tidaklah tergantung pada kekayaan. Inilah yang menjadi tema utama dari perumpamaan ini.

Perumpamaan ini menyajikan kehidupan seorang yang sangat sukses, kehidupan yang didamba-dambakan oleh kebanyakan dari kita. Ia adalah seorang petani karena kekayaannya adalah hasil tanah. Dikatakan bahwa kekayaan yang ia miliki sangat berlimpah sampai-sampai ia tidak memiliki tempat untuk menyimpan kelimpahan hasil tanahnya. Bagi bangsa Yahudi, usaha pertanian adalah usaha yang sangat bergantung pada belas kasihan Allah. 

Oleh karena itu, kalau ada seorang yang berhasil dalam usaha bertani, maka ia akan dianggap sebagai orang yang sangat diberkati oleh Allah. Dan ia juga akan dianggap sebagai seorang yang hidupnya berkenan di hadapan Allah. Bukan hanya itu, dikatakan juga bahwa orang kaya ini adalah orang yang memiliki kemampuan management yang baik. Hal ini terlihat dari cepat tanggapnya terhadap situasi yang ia hadapi. 

Di dalam kelimpahannya ia dapat dengan segera berpikir untuk memperluas lumbungnya untuk menampung gandum dan barang-barangnya. Hal ini berarti keberhasilannya bukan seperti mendapatkan durian runtuh tetapi juga karena ia adalah seorang yang memiliki kemampuan dan ketekunan dalam bekerja. Bukankah kondisi seperti ini juga yang kita sangat apresiasi pada saat ini? Seorang yang berhasil dalam usahanya, memiliki kemampuan yang mumpuni, dan hidupnya terlihat sangat diberkati Tuhan. Lalu apa yang menjadi masalah dari orang tersebut?

Orang kaya ini melontarkan sebuah pemikiran di dalam dirinya (ay. 19), yang menyatakan bahwa jiwanya tenang karena dia memiliki persediaan yang banyak. Ia menjadi kaya dan dengan kekayaannya ia bisa bersenang-senang menikmati hidup tanpa perlu mengkhawatirkan hal lainnya. Inilah impian kebanyakan orang pada zaman ini, menjadi kaya dan bersantai-santai menikmati hidup. Keadaan hidup seperti ini dianggap sebagai kehidupan yang penuh dengan berkat dan kelimpahan. Inilah impian yang dikejar-kejar oleh kebanyakan orang yang bergelut dalam bidang ekonomi.

Tetapi ironisnya Tuhan Yesus mengungkapkan sebuah realitas yang mengejutkan. Pada ayat 20 dikatakan bahwa secara mendadak orang ini mengalami kematian. Semua harta yang ia pikir menjadi tempat perlindungan untuk ia berteduh dengan tenang, menjadi sia-sia dan tidak mampu menjaganya dari kematian. Kisah ini menyimpulkan tema utama yang Tuhan Yesus katakan di awal sebelum perumpamaan ini, bahwa hidup tidak tergantung dari kekayaan kita.

Perumpamaan ini mengajarkan beberapa hal bagi kita yang bergumul dalam bidang ekonomi:

Betapa mudahnya seorang untuk terbuai dalam kekayaan yang pada akhirnya menjadi jeratan dosa. Orang yang kaya ini menjadi lupa akan Allah saat ia mencapai keberhasilan. Ia lupa bahwa seluruh kelimpahannya adalah berkat yang Tuhan berikan. Ia menjadi seorang yang “take it for granted” dengan kelimpahannya, dan menaruh kedamaian hatinya kepada harta, bukan kepada Tuhan. Oleh karena itu, menjadi kaya tidak tentu identik dengan mendapatkan berkat Tuhan, karena Alkitab berkali-kali memberikan kisah mengenai kekayaan yang justru menjadi kutukan bagi orang yang mendapatkannya. 

Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa orang-orang yang terlanjur dilahirkan di dalam keluarga kaya adalah sebuah celaka, jika tidak mempunyai hati yang takut akan Tuhan.

Dengan kekayaan seseorang dapat melebarkan ruangnya melalui kesempatan-kesempatan yang semakin terbuka. Tetapi semakin luas ruang hidup seseorang semakin terkikis waktu yang ia miliki. Seorang yang kaya sering kali terbuai dan menghabiskan waktu hidup dengan sia-sia. Inilah kecelakaan yang menjebak orang-orang kaya. 

Di dalam konteks ini, kita harus mengerti bahwa kekayaan bukan suatu berkat yang bisa kita nikmati dengan seenaknya, tetapi itu adalah sebuah tanggung jawab yang harus kita jalankan dengan kegentaran di hadapan Tuhan. Tidak semua orang dipanggil untuk menjadi orang kaya, karena kekayaan adalah berkat yang Tuhan berikan untuk dipakai kembali bagi kemuliaan Tuhan, bukan bagi kenikmatan diri. 

Sehingga orang-orang yang tidak disiapkan untuk menjadi seorang kaya pada akhirnya hanya akan menghancurkan hidupnya. Inilah sudut pandang yang harus kita ubah. Kekayaan adalah anugerah yang Tuhan berikan dengan sebuah tuntutan tanggung jawab, karena semua itu diberikan demi kemuliaan Tuhan dan berkat bagi sesama, bukan untuk kepentingan diri sendiri. Ini adalah konsep stewardship Alkitab yang harus kita jalankan dalam berekonomi.

Motivasi pendorong untuk kita melakukan aktivitas ekonomi seharusnya bukan kekhawatiran hidup yang menuntun pada keserakahan. Tuhan Yesus secara jelas mengatakan bahwa hidup ini tidak tergantung pada kekayaan tetapi kepada Tuhan yang adalah sumber kehidupan. Kekayaan dapat dengan mudah mengaburkan cara pandang kehidupan kita. Kekayaan dipandang sebagai juruselamat kehidupan. Kehadiran harta memberikan ketenangan tetapi kehadiran Kristus tidak kita anggap penting. Inilah kecelakaan dunia. 

Ilmu ekonomi dijadikan jalan keselamatan hidup yang menggantikan Kristus. Ironisnya banyak orang Kristen yang juga terjerat dalam cara berpikir ini. Kisah orang kaya yang bodoh ini mengajarkan kita untuk terbebas dari kebodohan cara padang hidup seperti ini. Kita disadarkan untuk melihat kembali bahwa hidup ini hanya dapat disandarkan kepada Allah yang hidup, bukan kepada harta yang mati. Harta dapat lenyap setiap saat, tetapi Allah yang kekal akan setia memelihara hidup kita.

Redeeming Our Heart

Melalui dua perikop Alkitab yang dibahas di atas, masihkah kita mau menjadikan kekayaan sebagai motivasi pendorong kita melakukan kegiatan ekonomi? Kalau kekayaan tetap menjadi motivasi kita, lupakanlah pemikiran untuk melakukan penebusan dunia ekonomi. Karena hati yang masih condong kepada mammon hanya akan menghancurkan perekonomian, bukannya membangun ekonomi berdasarkan kebenaran. Jikalau kita tidak mau mengubah hati kita kembali kepada Allah, maka kita hanya akan menjadi garam yang hilang keasinannya dan terang yang sudah redup, tidak ada guna. Hati yang taat kepada Allah adalah fondasi dasar dalam kita menegakkan kembali kebenaran dalam ilmu ekonomi.

Ilmu ekonomi bukan ranah untuk memuaskan keserakahan kita, tetapi ini adalah suatu ladang yang Tuhan sediakan untuk kita memuliakan-Nya. Kekayaan bukanlah hak yang bisa dengan seenaknya digunakan, tetapi ini adalah berkat yang Tuhan berikan agar kita dapat memuliakan Dia dan menjadi berkat yang lebih luas melalui kesempatan-kesempatan yang terbuka lebar. 

Penebusan ilmu ekonomi adalah sebuah panggilan yang Tuhan berikan kepada orang-orang yang sudah Ia siapkan. Kekayaan adalah tanggung jawab yang Tuhan titipkan kepada sebagian orang untuk digarap dengan penuh tanggung jawab dalam mengekspresikan ketaatannya kepada panggilan Tuhan dan kesetiaannya kepada kepercayaan Tuhan baginya. Inilah yang sering kita mengerti sebagai ruang kehidupan yang Tuhan bukakan melalui kekayaan diberikan agar kita dapat menggunakan waktu hidup ini untuk kemuliaan-Nya.

Kembali kepada prinsip yang dikemukakan dalam artikel pertama, the foundation of economics is not profit-oriented motive but God’s justice, righteousness, and fairness. Semua ini dikerjakan dengan tujuan untuk memuliakan Allah dan menjadi berkat bagi sesama. Maka, jawaban dari pertanyaan-pertanyaan pada paragraf kedua dari artikel ini adalah hati kita. Hati manusia yang serakah adalah penghambat utama dari penebusan ilmu ekonomi. 

Oleh karena itu, maukah kita bertobat dan kembali kepada Tuhan, menyerahkan seluruh hidup kita bukan lagi demi harta dan diri tetapi demi kehendak Allah dan kemuliaan Allah? Redeeming our heart for God’s glory. Maukah kita belajar untuk membangun aspek ekonomi dalam hidup kita dengan kesadaran bahwa ilmu ini bukan jalan menuju kelimpahan hidup tetapi ladang untuk menyatakan Tuhan dan kemuliaan-Nya?

Artikel selanjutnya akan mengulas “Pillars of a just and abundant society” sebagai framework sistem ekonomi yang adil dan benar.

Redeeming Our Society

Banyak revolusi yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia. Di dalam konteks ekonomi, kita mempelajari beberapa revolusi besar. Salah satu yang penting adalah revolusi industri. Revolusi ini penting dikarenakan perubahan yang signifikan terjadi pada masa pra- dan pasca-revolusi ini terjadi. Perekonomian yang dahulu bergantung pada sektor agrikultur bergeser menjadi ketergantungan pada sektor manufaktur. Hal ini dikarenakan penemuan-penemuan yang penting terjadi di sekitar masa revolusi industri ini. 

Selain revolusi industri, salah satu yang membawa perubahan signifikan adalah revolusi teknologi informasi. Revolusi ini ditandai dengan penemuan komputer. Perubahan yang signifikan terjadi hanya di dalam beberapa dasawarsa, khususnya pada bidang informasi, komunikasi, dan teknologi. Kita bisa merasakan perubahan drastis ini, dahulu komunikasi dilakukan menggunakan telepon kabel di rumah masing-masing. Tetapi saat ini komunikasi dapat dilakukan di mana-mana menggunakan handphone. Bukan hanya itu, informasi dapat beredar hanya dalam sekejap mata via internet. 

Revolusi informasi ini mengubah tatanan perekonomian yang ada sebelumnya. Kita bisa melihat munculnya model-model bisnis berbasiskan teknologi informasi yang mengejutkan model bisnis konvensional (kasus GO-JEK-Blue Bird). Setiap revolusi ini selalu disertai dengan konsekuensi yang tak terhindarkan. Selain perubahan drastis dalam aspek ekonomi, dampak terhadap sosial dan budaya dapat jelas dirasakan. Apalagi perubahan yang kita alami pada zaman ini. Kecepatan perubahan yang terjadi pada zaman ini mengalami akselerasi, sehingga konteks sosial dan budaya yang kita alami pun berubah semakin dinamis.

Dua revolusi ini dianggap sebagai dua tonggak di dalam sejarah yang membuktikan kemajuan peradaban manusia. Revolusi industri memajukan manusia melalui penemuan-penemuan mesin dan berbagai peralatan yang berguna bagi manusia. Revolusi teknologi informasi memajukan manusia melalui terobosan di dalam media komunikasi dan pertukaran informasi. Dua kemajuan ini membawa perubahan di dalam beberapa aspek. 

Secara ekonomi, manusia saat ini dapat merasakan standar hidup yang jauh lebih baik dibanding masa pra-revolusi. Dari sudut pandang teknologi, kita dapat menikmati limpahnya variasi produk atau jasa, hasil dari perkembangan teknologi. Secara sosial, kita dapat menikmati jalur-jalur interaksi sosial yang baru serta terbukanya peluang untuk berinteraksi dengan manusia lain tanpa memperhitungkan masalah jarak. Dari sisi keragaman budaya, kita dapat mempelajari bahkan merasakan keragaman budaya yang lebih limpah dari berbagai sudut negara melalui media komunikasi saat ini. Kemajuan demi kemajuan ini dapat kita rasakan sebagai buah dari hasil karya manusia.

Keberhasilan yang dicapai oleh manusia ini dimulai dari sebuah konsep yang diangkat oleh Adam Smith yaitu ‘Natural Liberty’ yang berarti kebebasan untuk bekerja, berinvestasi, atau bertindak dari hambatan oleh pemerintah. Smith mengatakan, “To prohibit a great people from making all that they can of every part of their own produce, or from employing their stock and industry in the way that they judge most advantageous to themselves, is a manifest violation of the most sacred right of mankind.” 

Dukungan Adam Smith terhadap kebebasan ini tentu saja berbeda dengan konsep kebebasan yang diteriakkan pada zaman ini. Konsep Smith bukanlah kebebasan yang liar tetapi tetap di dalam kendali. Pada bagian lain ia mengatakan, “Every man, as long as he does not violate the laws of justice, is left perfectly free to pursue his own interest his own way, and to bring both his industry and capital into competition with those of any other man or order of men.” 

Terdapat keseimbangan antara kebebasan dan kepatuhan pada hukum. Dukungan terhadap kebebasan inilah yang membuka pintu gerbang bagi kemajuan yang kita alami saat ini. Kehidupan masyarakat yang melimpah dapat tercapai salah satunya adalah saat mereka diberikan kebebasan untuk berkarya. Kita harus apresiasi mengenai hal ini.

Tetapi sejarah tidak hanya mencatatkan keberhasilan yang dicapai; kegagalan atau side-effect dari aplikasi konsep ini pun tercatat di dalam sejarah. Seperti yang sudah kita bahas dalam artikel ke-6, salah satu permasalahan yang timbul adalah kesenjangan sosial yang semakin melebar antara kaya dan miskin. 

Permasalahan inilah yang memicu kemunculan antithesis dari konsep Adam Smith ini yaitu socialism. Beberapa konsep utama yang diangkat oleh sosialisme adalah konsep keadilan sosial. Mereka menilai bahwa penerapan konsep kebebasan Adam Smith menciptakan ketidakadilan bagi kaum yang tertindas. Salah satu cara yang didukung oleh kaum sosialis adalah memberikan pemerintahan otoritas untuk mengatur tingkah laku pasar melalui hukum-hukum yang pemerintah tetapkan.

Kaum sosialis memperjuangkan keadilan sosial demi ditegakkannya kemanusiaan, Adam Smith dengan arus pemikiran ekonomi klasik memperjuangkan kebebasan demi kemanusiaan juga. Sehingga, kedua kubu ini sama-sama memperjuangkan kemanusiaan tetapi mereka melihat dari dua sisi yang berbeda dan sering kali dipertentangkan. 

Di satu sisi, kebebasan mendorong masyarakat menuju kehidupan yang berlimpah (abundant society), tetapi riskan terjadinya ketidakadilan. Di sisi yang lain, penegakan hukum mendorong terciptanya masyarakat yang adil, tetapi riskan terhadap pelanggaran atas hak asasi manusia yaitu kebebasan untuk menggali potensi dirinya sehingga menghambat terciptanya kehidupan masyarakat yang berlimpah.

Dilema ini masih terus terjadi hingga saat ini. Negara-negara yang lebih mengutamakan kebebasan pada umumnya adalah negara yang mengalami kemajuan tetapi juga sering kali disertai dengan keliaran dan kesenjangan sosial yang besar. Sedangkan negara-negara yang lebih mengutamakan keadilan sosial melalui kontrol pemerintah memiliki kehidupan bermasyarakat yang terlihat lebih teratur tetapi tidak memiliki kemajuan yang signifikan. 

Hampir tidak ada negara yang secara mutlak menjalankan kebebasan masyarakat sepenuhnya tanpa adanya kontrol dari pemerintahan ataupun sebaliknya kontrol pemerintahan yang mutlak tanpa adanya kebebasan masyarakat. Kebanyakan negara pada saat ini berada di antara dua ekstrem ini. 

Contoh negara paling ekstrem mendukung kontrol pemerintahan yang absolut adalah Korea Utara, berbeda secara signifikan dengan saudaranya, yaitu Korea Selatan, yang lebih mendukung kebebasan masyarakat. Di sisi yang lain, daerah yang sangat mendukung kebebasan masyarakat adalah Hong Kong. Berhadapan dengan realitas ini, apakah yang menjadi respons dari Theologi Reformed? Prinsip Alkitab seperti apakah yang dapat kita terapkan di dalam sistem ekonomi sehingga menjadi sistem ekonomi yang memiliki “warna” Theologi Reformed?

Reformed View on Christian Freedom

Sekitar dua abad sebelum Adam Smith, konsep kebebasan sudah diangkat oleh tokoh reformator yang sangat terkenal, yaitu John Calvin. Konsep kebebasan yang dibangun oleh Calvin memiliki pemikiran yang lebih komprehensif. Calvin melihat kebebasan di dalam dua sisi. Di satu sisi kebebasan ia pandang sebagai anugerah Tuhan bagi manusia sehingga kebebasan adalah hak dari setiap manusia. 

Tetapi di sisi lain Calvin pun menyadari realitas keberdosaan manusia sehingga kebebasan bisa saja disalahgunakan dan menjadi boomerang bagi manusia itu sendiri. Selain itu konsep kebebasan Calvin harus dimengerti dengan latar belakang pemerintahan Zaman Medieval dan pemikiran Katolik pada saat itu. Istilah kebebasan sangatlah asing pada masa hidup Calvin. Masyarakat yang hidup di bawah otoritas absolut dari pemerintahan dan gereja pada saat itu menjadikan mereka tidak memiliki arti kebebasan seperti kita saat ini.

Setidaknya ada dua lingkup yang Calvin hadapi dengan konsep kebebasannya. Pertama adalah civil sphere. Calvin hidup di dalam pemerintahan yang menganut sistem monarki, sehingga kebebasan adalah istilah yang sangat jauh dari kehidupan masyarakat ini. Kehidupan di bawah pemerintahan seorang raja menjadikan masyarakat sangat minim kebebasan di dalam hidupnya. Kedua adalah sphere of church government. 

Masa sebelum terjadinya Reformasi adalah masa kehidupan yang juga tunduk di bawah otoritas Gereja Katolik Roma pada saat itu. Sehingga kebebasan mereka didasarkan kepada yang dikatakan oleh gereja. Dengan latar belakang kehidupan bermasyarakat yang seperti ini, konsep kebebasan yang Calvin bangun adalah sebuah penerobosan besar. Bahkan tulisan Calvin mengenai kebebasan Kristen di dalam Institutio adalah konsep kebebasan yang paling komprehensif dan kokoh yang pernah ada.

Calvin memulai pandangannya dengan mengaitkan kebebasan dan pembenaran. Kebebasan yang sejati adalah anugerah yang Tuhan berikan bersama dengan karya penebusan Kristus. Keterkaitan ini menunjukkan ketajaman Calvin di dalam mengemukakan kebebasan di tengah realitas keberdosaan manusia. 

Jikalau kebebasan dilepaskan dari konteks penebusan Kristus, maka kebebasan itu akan menjadi alat untuk menyalurkan nafsu keberdosaan manusia. Inilah perbedaan yang kontras dari konsep kebebasan Calvin dengan konteks kebebasan humanisme pada zaman ini. Konsep humanisme zaman ini adalah perjuangan akan kebebasan tetapi terlepas dari iman dan pengertian keadilan yang sejati. Sehingga kebebasan menjadi wadah untuk melakukan keberdosaan.

Konsep kebebasan yang Calvin ajarkan memiliki tiga bagian:

Kebebasan hati nurani di dalam kaitannya dengan Hukum Allah. Maksud Calvin adalah orang percaya yang sudah dibenarkan oleh Allah dan dibebaskan dari tuntutan hukum, harus belajar melihat kepada belas kasihan Allah. Sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada perbuatan baik demi keselamatan mereka. Bagi Calvin kebebasan hati nurani sama pentingnya dengan kebebasan bermasyarakat dan hal ini dimulai dari pengertian yang tepat mengenai konsep pembenaran.

Kebebasan untuk orang percaya mematuhi hukum dari motivasi yang berbeda. Seseorang yang sudah lahir baru akan tetap menaati hukum Allah tetapi secara sukarela bukan karena takut. Berespons terhadap kepatuhan sebagai ucapan syukur atas kasih Allah, dan dari sinilah kebebasan yang sejati mengalir.

Kebebasan dari keharusan melakukan ritual keagamaan yang hanyalah warisan hukum seremonial dari Perjanjian Lama. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat hidup bebas dari takhayul dan belajar untuk melihat hukum moral yang ada di balik semua hukum seremonial agama.

Dari ketiga poin di atas kita dapat melihat bahwa tujuan utama dari kebebasan yang Calvin kemukakan adalah untuk memberikan kedamaian kepada hati nurani yang ketakutan karena kehidupan yang berdosa. Sehingga konsep kebebasan ini adalah kebebasan yang dilakukan di dalam keteraturan. Konsep ini sangat jelas berbeda dengan konsep kebebasan libertarian yang banyak dianut oleh masyarakat pada zaman ini, sebagai jalan untuk pemuasan nafsu berdosa mereka. “Liberty of the spirit is greatly preferable to the liberty of the flesh.”

Untuk mempertajam pengertian mengenai kebebasan, Calvin memberikan hierarki di dalam kebebasan untuk membantu di dalam membuat keputusan. Prinsip yang diberikan Calvin adalah sebagai berikut:

“Kebebasan yang sejati harus tunduk kepada law of charity, dan law of charity harus tunduk kepada purity of faith.”

Seorang Kristen sejati harus menjalankan kebebasannya di dalam batasan. Ia harus rela untuk menahan dirinya dalam menjalankan kebebasan agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Kebebasan adalah anugerah dari Tuhan, tetapi kebebasan ini bukanlah kebebasan yang absolut tetapi harus dilihat dalam perspektif. Kebebasan harus dilihat di dalam harmoni dengan law of charity dan purity of faith. 

Law of charity yang dimaksudkan Calvin berkaitan erat dengan hubungan antara sesama manusia. Prinsip yang ingin ditekankan dalam hukum ini adalah konsep keadilan. Sedangkan purity of faith berkaitan dengan pembenaran yang Roh Kudus kerjakan di dalam hati orang percaya dan ketekunan orang tersebut di dalam mengaplikasikan penebusan ini di dalam setiap aspek kehidupannya.

Berkaitan dengan law of charity, Calvin memiliki konsep yang jauh lebih luas dibanding sekadar memberi kepada orang miskin atau berkekurangan. Calvin melihat charity ini di dalam beberapa sudut pandang:

Menghargai dan membantu orang lain dalam menjaga milik atau hak orang tersebut. Seperti yang pernah dibahas dalam artikel pertama, yaitu mengenai justice, righteousness, dan fairness. Justice berarti setiap orang mendapatkan sesuai dengan apa yang diusahakannya, sedangkan righteousness berarti melakukan sesuatu secara benar dan memikirkan dampaknya secara komunal, serta fairness adalah setiap orang mendapatkan haknya yang sama sebagai manusia. 

Hal ini bisa kita aplikasikan ke dalam banyak hal seperti relasi pengusaha dengan pekerja, penerapan hukum yang tidak manusiawi atau memiliki unsur kecurangan di dalamnya. Inilah sudut pandang pertama yang Calvin maksud dari law of charity.

Kedua, perpuluhan dan bentuk pemberian lainnya yang ditujukan bagi yang berkekurangan atau berkebutuhan khusus. Calvin menekankan konsep pemberian melalui perpuluhan karena pada zamannya bentuk amal masih sangat sederhana dan salah satunya adalah melalui gereja. Sehingga selain untuk keperluan pelayanan, perpuluhan pun digunakan untuk membantu yang kekurangan. Tetapi pada prinsipnya Calvin mendorong orang-orang yang kelebihan berbagi dengan yang kekurangan. God’s gifts (including our wealth) are given for His glory and to edify others.

Ketiga, personal security and future generation. Sudut pandang ini adalah salah satu keunikan dalam pemikiran Calvin. Baginya menabung atau berinvestasi adalah salah satu bentuk dari charity. Tujuan dari Calvin adalah mengajarkan kita untuk tidak memikirkan diri sendiri atau kenikmatan sesaat, tetapi mengajarkan kita memikirkan kesiapan di dalam menghadapi hari yang akan datang seperti keluarga yang Tuhan akan percayakan kepada kita. Cara pandang ini akan menghindarkan kita dari selfishness dan shortsightedness, yang bagi Calvin adalah sebuah keberdosaan.

Perspektif yang diberikan oleh Calvin mengenai law of charity begitu juga dengan purity of faith akan menjaga kita dari konsep kebebasan yang salah. Menjaga keseimbangan di dalam ketiga hal ini (Christian liberty, law of charity, and purity of faith) akan membawa kita kepada konsep kebebasan yang sejalan dengan keadilan yang sejati. Konsep inilah yang menjadi kunci untuk menerapkan prinsip Theologi Reformed di dalam sistem ekonomi.

The Pillars of a Just and Abundant Society

Claar dan Klay di dalam bukunya Economics in Christian Perspective mengemukakan sebuah pemikiran yang mereka ambil konsep dasarnya dari seorang yang bernama Michael Novak. Mereka mengemukakan bahwa sebuah society (di dalam konteks ekonomi) terbentuk dari tiga institusi yaitu, Government/pemerintah, Market/pasar, dan institusi yang ketiga adalah: institutions of private and collective action that are free to fund, teach and exercise their values for the benefit of the society (seperti gereja, sekolah, dan museum). 

Walaupun mereka tidak mengaitkan konsep ini dengan pemikiran Calvin mengenai Christian liberty, tetapi kerangka mereka dapat diintegrasikan untuk menjadi kerangka berpikir membangun sistem ekonomi yang sejalan dengan Theologi Reformed. Karena relasi dari tiga institusi ini sebenarnya sudah ada di dalam pemikiran John Calvin, bahkan ini adalah salah satu pemikirannya yang paling terkenal.

Salah satu kontribusi yang diakui oleh dunia ini adalah konsep dua bentuk pemerintahan manusia, yaitu “spiritual government that is internal and trains the conscience in matters of piety and worship”dan “civil government refers to external matters”. Konsep ini lahir di tengah konsep Zaman Medieval yang memiliki dua pemerintahan (pemerintahan sipil dan gereja). 

Otoritas dua pemerintahan ini saling bersinggungan bahkan berebut kekuasaan untuk memerintah masyarakat pada zaman itu. Kondisi ini menjadikan gereja begitu rusak karena nafsu untuk menguasai negara, begitu juga pemerintahan sipil yang memanfaatkan gereja demi kepentingan politiknya. Kondisi inilah yang ingin direformasi oleh Calvin, sehingga ia melahirkan pemikiran untuk memisahkan lingkup dari pemerintahan sipil dan gereja. 

Keberadaan pemerintahan sipil dan gereja sama-sama memiliki otoritas yang Tuhan mandatkan tetapi dengan area yang berbeda. Pemerintahan sipil berkaitan dengan kepentingan kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain yang sifatnya praktikal. Sedangkan gereja berkaitan dengan ibadah serta kerohanian dan aspek-aspek lainnya tetapi hanya di dalam lingkup filosofis atau konseptual. Sehingga gereja tidak terlibat secara langsung di dalam hal-hal praktis dan pemerintahan sipil tidak mengatur lingkup kerohanian. 

Berdasarkan konsep Calvin ini kita mengerti bahwa terdapat relasi antara tiga institusi, yaitu: Masyarakat yang menjalankan aktivitas ekonomi (market), pemerintahan (government), dan gereja (termasuk institusi-institusi non-profit lainnya yang berbasiskan nilai atau ideologi). Untuk menjadikan sebuah masyarakat yang adil dan makmur (just and abundant society), ketiga institusi ini harus berdiri sebagai the three pillars of a just and abundant society.

Ketiga institusi ini berada sebagai wadah untuk menjalankan konsep Christian liberty yang diajarkan oleh Calvin, sebagai prinsip penting tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa kunci utama dalam menjalankan konsep ini adalah keseimbangan dari tiga elemen ini (Christian liberty, law of charity, and purity of faith). Oleh karena itu, kita perlu melihat konsep ini di dalam perspektif yang saling melengkapi sebagai satu keutuhan (menggunakan triperspectivalism John Frame).

Pillar 1: Church as God’s Authority (Purity of Faith) – Normative Perspective

Gereja berada di tengah dunia untuk menyatakan God’s Authority atas seluruh ciptaan melalui firman yang diberitakan. Pernyataan otoritas Allah ini menuntut respons iman yang murni dari jemaat-Nya. Iman yang menuntun mereka untuk memiliki ketaatan total kepada Allah di dalam segala aspek, termasuk ekonomi. Gereja harus menjadi institusi yang bukan hanya mengajarkan kebenaran firman Tuhan, tetapi juga dapat membaca tanda-tanda zaman. 

Gereja menjadi mercusuar yang menerangi arah perjalanan suatu masyarakat sekaligus mengawasi situasi sekitar dan langsung memberikan peringatan tanda bahaya jikalau ancaman datang mendekat. Oleh karena itu, kemurnian pemberitaan firman oleh gereja adalah hal yang sangat krusial. Firman yang murni adalah suara Allah yang menegur keberdosaan dan juga menuntun kepada kebenaran.

Realitas keberdosaan tidak akan pernah hilang sampai Kristus datang kedua kali. Bahkan semakin lama, keberadaan dosa akan semakin merusak sebuah masyarakat. Keberadaan gereja yang sejati bagaikan hati nurani yang memberikan kegelisahan ketika kita berbuat dosa. Gereja yang sejati bagaikan garam yang menghambat proses pembusukan. Jikalau di dalam sebuah masyarakat tidak ada lagi gereja yang sejati maka masyarakat itu akan menuju kepada kerusakan yang semakin parah.

Sebuah masyarakat yang sudah rusak oleh keberdosaan tidak mungkin memiliki konsep keadilan yang sejati. Coba perhatikan negara-negara Barat pada saat ini. Negara-negara yang dulu bertumbuh dengan pesat bahkan menjadi mercusuar bagi konsep keadilan sosial, pada saat ini menjadi negara yang begitu rusak moralnya dan jauh dari cita-cita masyarakat adil dan makmur. Semua ini dimulai dari kemurnian iman yang dikompromikan dan berita firman yang direduksi.

Jika firman dan iman yang murni ditinggalkan, masyarakat itu akan semakin kehilangan arah, dan juga manusia-manusia yang takut akan Allah serta yang memiliki hati untuk memperjuangkan keadilan sosial. Jikalau manusia, yang adalah bagian terpenting di dalam suatu sistem ekonomi, adalah manusia yang corrupt, sistem ekonomi sebaik apa pun akan menjadi sebuah sistem yang rusak. Oleh karena itu, keberadaan gereja yang sejati sangatlah krusial di dalam masyarakat.

Pillar 2: Democratic Government as God’s Agent (Law of Charity) – Existential Perspective

Pemerintah ditunjuk oleh Tuhan untuk menyatakan keadilan-Nya. Orang-orang yang dipilih untuk masuk di dalam lingkup pemerintahan seharusnya adalah orang-orang yang memang memiliki kapasitas yang memadai, disertai kematangan pribadi dan rohaninya. Hal ini penting karena pemerintah ada sebagai wakil Allah. 

Pemerintahan benar adalah pemerintahan yang menyatakan God’s Presence di dalam sebuah masyarakat. Kita dapat mempelajari di dalam Alkitab, bahwa raja-raja yang benar adalah raja-raja yang menjalankan kehendak Allah. Sehingga setiap hal yang dikerjakan oleh pemerintahan yang benar bagaikan Allah yang secara langsung memimpin pergerakan bangsa tersebut.

Bentuk awal pemerintahan yang kita pelajari di dalam Alkitab adalah Theokrasi (Allah yang memimpin pemerintahan tersebut). Pada masa-masa awal bangsa Israel, mereka dipimpin oleh orang-orang yang secara khusus Tuhan persiapkan untuk menjadi wakil-Nya. Bentuk demokrasi awal yang dicatatkan Alkitab justru dicatatkan sebagai momen kejatuhan Israel. Secara demokratis mereka memilih Saul yang justru adalah seorang pemimpin yang melawan Tuhan. Hal ini mengajarkan kita bahwa demokrasi tidak selalu bentuk pemerintahan yang ideal. 

Pdt. Stephen Tong menyatakan bahwa salah satu syarat demokrasi yang sehat adalah kematangan dari masyarakatnya di dalam segala aspek (pendidikan, politik, kesadaran sosial, dan lain-lain). Pemilihan Saul sebagai raja bangsa Israel adalah sebuah contoh yang menggambarkan buah dari penerapan demokrasi di dalam masyarakat yang masih premature. Sehingga bukan keadilan sosial yang dijalankan, tetapi kerusakan demi kerusakan karena hati Saul yang egois. Oleh karena itu, kita harus melihat bentuk pemerintahan ini secara dinamis, bergantung pada konteks masyarakat yang dipimpin, dengan tujuan menerapkan keadilan sosial.

Penerapan keadilan sosial dalam sebuah pemerintahan dapat dilihat dari dua sisi yaitu negatif maupun positif. Secara negatif, berarti pemerintah hadir untuk mencegah terjadinya ketidakadilan sebagai kesadaran bahwa dosa akan selalu ada di dalam sebuah masyarakat. Di dalam konteks ini, pemerintah diberikan otoritas untuk mengontrol masyarakat demi mencegah kerusakan yang lebih parah dalam sebuah masyarakat. Di sisi lain, kehadiran pemerintah dapat dilihat secara positif, maksudnya adalah pemerintah hadir untuk menjamin masyarakat dapat menjalankan kebebasannya sebagai seorang manusia.

Salah satu contoh adalah membuka kesempatan-kesempatan bagi masyarakatnya untuk menyalurkan kemampuan yang mereka miliki, melakukan intervensi pasar untuk menstabilkan harga, mengeluarkan kebijakan fiskal serta moneter, dan memberikan dukungan sebagai bentuk bantuan pemerintah kepada masyarakat yang berkekurangan. Semua ini dilakukan demi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.

Pillar 3: Market Economy as God’s Control Reflector (Christian Liberty) – Situational Perspective

Dengan ditegakkannya purity of faith dan law of charity sebagai guideline bagi kebebasan, konsep market economydapat dijalankan. Kita harus mengapresiasi konsep mekanisme pasar yang memberikan prinsip yang baik dalam menjalankan sebuah perekonomian. Konsep ini memberikan ruang bagi setiap pelaku ekonomi untuk menyalurkan kemampuannya dan melakukan pertukaran. 

Konsep pertumbuhan ekonomi yang berbasiskan kebebasan untuk melakukan pertukaran kemampuan memiliki konsep yang sejalan dengan Alkitab. Setiap manusia memiliki berkat secara natural (talenta, kesempatan, pengaruh lingkungan, budaya, dan lain-lain) yang berbeda-beda. Perbedaan inilah yang memungkinkan manusia untuk melakukan pertukaran satu dengan lainnya untuk dapat saling melengkapi kebutuhannya. 

Konsep inilah yang dinamakan Exchanging God’s Gift. Konsep ekonomi pasar memberikan kebebasan bagi manusia untuk menggali segala potensi yang Tuhan sudah berikan. Dengan potensi ini manusia dapat menghasilkan produk atau jasa yang ia bisa tawarkan di pasar untuk ditukarkan dengan orang lain yang juga memiliki kelebihan di dalam hal yang lain. Dengan Exchanging God’s Gift, kita sebagai ciptaan-Nya dapat menjalankan fungsi kita sebagai gambar Allah, menyatakan akan God’s Control atau kuasa Allah di dalam diri kita.

Konsep pertukaran seperti ini akan memberikan hasil yang sangat baik, karena kedua belah pihak akan saling mendapatkan keuntungan dan kepenuhan. Dan melalui konsep inilah masyarakat dapat membangun kemakmurannya. Di sini kita bisa melihat konsep kebebasan yang mendorong terbentuknya masyarakat yang makmur. Dengan tunduknya kebebasan ini kepada purity of faith dan law of charity, maka masyarakat yang adil pun dapat mulai terbentuk.

Kesimpulan

Kita harus mensyukuri akan sebuah gerakan yang begitu agung yang Tuhan nyatakan di dalam sejarah. Sebuah gerakan yang merevolusi seluruh aspek kehidupan umat manusia secara fundamental. Gerakan ini kita kenal sebagai Gerakan Reformasi. Sebuah warisan sejarah yang sudah ditinggalkan oleh gereja-gereja pada saat ini, tetapi justru memiliki signifikansi dan relevansi yang sangat penting bagi pergumulan zaman ini. 

Penerapan pemikiran John Calvin di dalam the three pillars of a just and abundant society adalah langkah awal di dalam membangun sistem ekonomi yang berbasiskan Theologi Reformed. Hal ini harus kita usahakan secara utuh untuk menyatakan the Lordship of God(God’s Authority, God’s Presence, dan God’s Control) di dalam bidang ekonomi. Kita harus terus mengingat bahwa membangun masyarakat yang adil dan makmur bukanlah tujuan akhir dari ekonomi. 

Itu hanya sebagian dari tujuan yang merupakan side-effect dari tujuan akhir yang sesungguhnya, yaitu untuk kemuliaan Tuhan. Biarlah artikel ini dapat memicu setiap kita untuk lebih lanjut memikirkan penerapan Theologi Reformed di dalam bidang ekonomi. 

Kiranya semangat yang lahir pada 499 tahun yang lalu, “A spirit that takes the whole church with the whole heart back to the whole Bible,” membawa kebenaran untuk menerangi seluruh aspek kehidupan manusia. Semangat yang rindu seluruh bagian hidup ini memuliakan Tuhan. Semangat-semangat seperti inilah yang perlu kita bawa ke dalam bidang ekonomi. Harap peringatan Hari Reformasi ini mengingatkan kita kembali akan tugas dan panggilan kita sebagai Umat Allah.

Redeeming Our View of Money

“Uang bukan segalanya, tetapi segala sesuatu butuh uang.” Ini adalah salah satu pernyataan mengenai uang yang sering kita dengar. Kalimat ini di dalam batasan tertentu bisa menggambarkan situasi kita saat ini. Kalimat ini menyatakan bahwa keberadaan uang, khususnya bagi masyarakat metropolitan saat ini, sangatlah krusial. Coba perhatikan sekitar kita, mayoritas aktivitas di dalam kehidupan ini tidak terlepas dari uang. 

Mulai dari kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan) hingga hal-hal yang sifatnya pelengkap (hobi, hiburan, atau bahkan aktivitas sosial lainnya) menjadikan uang sebagai bagian dari aktivitasnya. Sehingga keberadaan uang bukan lagi sebagai simbol dalam pertukaran barang saja, tetapi juga simbol kenikmatan, kebahagiaan, kelas sosial, rasa aman, dan lain-lain. Konsep ini dengan kuat mengakar di dalam konsep berpikir bahkan sistem kepercayaan masyarakat pada saat ini. Sederhananya, saat ini uang dipandang sebagai bagian dari gaya hidup bahkan menjadi identitas bagi masyarakat.

Keterikatan atau kebergantungan kepada uang ini sangat jelas terlihat di dalam bidang ekonomi, khususnya dalam perkembangan ekonomi belakangan ini. Perkembangan ini terlihat jelas, baik di dalam kedua sektor penopang ekonomi, yaitu sektor riil dan sektor keuangan. Di dalam sektor keuangan, kita melihat perkembangan dunia investasi dengan semakin berani dan piawainya para pelaku ekonomi bermain dengan risiko, melalui permainan saham, pertukaran mata uang, money games, dan sebagainya. 

Di sektor riil, kita melihat perkembangan dalam inovasi yang menarik di dalam “business start-up”, yang dinilai menjanjikan untuk memberikan benefit yang besar di masa yang akan datang. Perkembangan dan harapan untuk mendapatkan benefit yang besar melalui dua sektor ini begitu diharapkan. 

Lihatlah perputaran dana di dalam dua komponen ini (dunia investasi pasar uang dan dunia investasi business start-up), begitu besar investasi yang diberikan dalam dua area tersebut. Sehingga tidaklah mengherankan jikalau orang berlomba-lomba untuk mengembangkan usaha mereka di dalam dua area tersebut. Buktinya, dana yang digelontorkan ke dalam dua area ini begitu spektakuler. Perkembangan ini tidak terlepas dari cara pandang para pelaku ekonomi saat ini terhadap uang.

Orang-orang Kristen pun tidak kebal terhadap cara pandang ini. Alkitab berkali-kali memperingatkan akan kebahayaan dari uang atau harta. Di dalam beberapa perikop, Alkitab menggambarkan kekayaan identik dengan kehidupan yang fasik atau melawan Tuhan. Tetapi di sisi yang lain Alkitab pun menceritakan tokoh-tokoh Alkitab yang kaya tetapi Tuhan pakai dengan luar biasa. 

Sehingga menurut Alkitab, uang dan kekayaan tidak selalu dikaitkan dengan berkat (seperti Abraham, Daud, dan Salomo) tetapi juga dengan kutuk atau kehidupan yang justru sedang ditinggalkan oleh Tuhan (orang kaya dalam kisah Lazarus, orang-orang yang makmur di dalam doa Asaf, dan lain-lain). Oleh karena itu sebagai orang percaya kita harus memiliki cara pandang yang tepat mengenai apa itu uang, dan bagaimana kita harus menggunakannya.

Uang dan Perkembangannya 

Uang sebagai Alat Tukar

Di dalam ekonomi klasik, uang adalah alat tukar. Uang dipakai sebagai nilai tukar yang ekuivalen atau dapat mewakili nilai sebuah komoditas (sejumlah uang dapat dipakai untuk membeli suatu barang). Karena nilai tersebut, uang dapat diinvestasikan ke dalam sektor riil untuk mendapatkan keuntungan. Model pertukaran seperti ini dinilai lebih memadai dan lebih objektif dibanding dengan sistem yang lebih tradisional, yaitu dengan cara barter. 

Berkaitan dengan hal ini David Hume mengatakan bahwa uang adalah keutamaan artifisial yang disepakati untuk mencegah afeksi subjektif/egosentris individu dari pola barter. Sederhananya, Hume ingin mengatakan penetapan uang sebagai alat tukar adalah sebuah konsensus untuk menilai suatu komoditi dengan lebih objektif.

Sebagai ekuivalensi bagi sebuah komoditas, uang bisa dikatakan memiliki “nilai di dalam dirinya sendiri” walaupun itu karena konsensus. Tetapi nilai dari uang bukan hanya ditentukan oleh aspek ini saja, tetapi juga karena uang ini memiliki perbedaan dengan uang atau sistem uang lainnya. Konsep ini mirip dengan sistem nilai di dalam bahasa yang diungkapkan oleh Saussure (seorang linguis abad 19), yang menyatakan bahwa nilai sebuah kata melibatkan dua unsur yaitu hal yang tidak sama (dissimilar) dan hal yang sama (similar). 

Begitu juga dengan sistem nilai uang yang dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Berdasarkan konsep ini, kita dapat mengerti lebih lanjut mengenai karakteristik sistem nilai di dalam uang. Meskipun uang memiliki sistem nilai yang dipercaya lebih objektif, tetap saja nilai ini tidak mutlak atau masih dapat berubah-ubah sesuai dengan unsur-unsur yang membentuknya. Inilah alasan perubahan nilai dari suatu nominal uang dari waktu ke waktu dibandingkan dengan nilai dari komoditas atau ditukarkan dengan mata uang lain.

Uang sebagai Tujuan

Saat uang menjadi standar dalam melakukan pertukaran komoditas, maka perlahan uang bergeser dari alat atau fungsi untuk mencapai tujuan menjadi tujuan itu sendiri. Jikalau sebelumnya, komoditas menjadi objek atau tujuan yang ingin dicapai dan uang ada sebagai alat untuk mencapai tujuan ini, maka pada perkembangan selanjutnya uang itu menjadi tujuan. Pergeseran cara pandang mengenai uang inilah yang menjelaskan beberapa hal yang kita alami saat ini. 

Banyak orang saat ini mengejar untuk memiliki uang, bahkan lebih mengherankan lagi saat uang itu sudah terkumpul, ada orang-orang yang enggan menggunakannya dengan alasan “sayang kalau uang ini digunakan”. Di satu sisi mungkin memang mereka ingin menabung, tetapi jikalau menabung itu sudah menjadi tujuan akhir, masih adakah makna dari menabung tersebut? Jikalau pengejaran akan uang itu sudah menjadi tujuan akhir, masih adakah makna bagi pengejaran uang ini?

Uang sebagai Simbol

Pertanyaan-pertanyaan di atas membawa cara pandang terhadap uang bergeser lagi menuju cara pandang yang lebih luas lagi mengenai uang. Selain uang sebagai alat tukar dan tujuan, maka uang pada saat ini pun dimengerti sebagai simbol. Seperti yang disebutkan di awal artikel ini, uang pada saat ini dimengerti sebagai simbol bagi relasi-relasi abstrak manusia. Uang membentuk pola pikir manusia, seperti keberhasilan hidup manusia diukur dari jumlah kekayaan yang dimilikinya. 

Uang juga bisa memengaruhi relasi antarmanusia, misalnya orang-orang yang memiliki harta banyak cenderung lebih mudah diterima oleh masyarakat. Selain itu uang dapat membentuk identitas manusia itu sendiri, cobalah perhatikan dari aspek kepercayaan diri. Banyak orang yang kepercayaan dirinya terbentuk saat ia memiliki uang dan hancur saat ia tidak memiliki uang yang cukup. Bahkan yang lebih parah lagi, uang direlasikan dengan kebebasan. Semakin banyak uang yang dimiliki, semakin bebas seseorang menentukan pilihan hidupnya. Inilah pergeseran lebih lanjut dalam cara pandang mengenai uang.

Uang sebagai Hasrat 

Pergeseran cara pandang mengenai uang ini memberikan dampak yang signifikan bagi terbentuknya kebudayaan, yaitu menjadikan masyarakat saat ini sebagai masyarakat yang haus akan uang. Mereka menjadikan hasrat akan uang sebagai sebuah kewajaran bahkan sebuah “kenormalan” di dalam hidup. Cara pandang inilah yang akhirnya mendorong manusia untuk mengabdikan hidupnya demi uang atau sederhananya, manusia menjadi hamba uang. Ini adalah kondisi yang Alkitab gambarkan terjadi pada manusia di zaman akhir, yaitu manusia yang mencinta uang. 

Kecintaan akan uang ini menjadikan manusia tidak pernah puas akan kehidupannya, ia menjadi seorang yang tidak pernah mengerti arti kata cukup di dalam kehidupan. Inilah yang disebut sebagai abad keserakahan (Age of Greed).

Hiper-Realitas Uang

Selain perkembangan dalam cara pandang mengenai uang, pengaruh yang tidak kalah pentingnya adalah perkembangan teknologi informasi. Kedua perkembangan ini membawa konsep mengenai uang menuju kepada satu konsep, yang disebut sebagai “hiper-realitas uang”. Menurut Piliang (seorang filsuf kontemporer Indonesia), hiper-realitas uang adalah kondisi ketika uang telah melampaui fungsinya sebagai alat tukar, dengan memutus rantai hubungan antara sektor moneter dan sektor riil. 

Dengan memutus rantai hubungan ini berarti uang dipakai untuk sektor moneter (keuangan) saja. Jikalau sebelumya uang dipakai untuk mendapatkan komoditas, maka pada saat ini uang dipakai untuk mendapatkan uang. Sederhananya uang telah berubah menjadi alat tukar sekaligus juga komoditas.

Jikalau kita menggunakan konsep dua unsur pembentuk nilai yang dikemukan oleh Saussure, maka unsur pembentuk nilai dari uang dalam konteks hiper-realitas, hanyalah dari unsur similar. Menilai uang berdasarkan uang yang lain, contohnya adalah perbedaan kurs mata uang. Inilah akar dari hiper-realitas ekonomi, yaitu kondisi di mana dimensi struktural (moneter) menjadi bersifat otonom, dengan mengesampingkan dimensi referensial (riil), sehingga ekonomi ini bergantung pada perputaran uang “murni” di sektor moneter itu sendiri. 

Di dalam konsep ekonomi ini komoditas utamanya adalah uang dan bentuk-bentuk yang kita lihat saat ini adalah saham, obligasi, produk-produk financial derivatives, hingga money games. Ciri khas dari ekonomi ini adalah menjadikan investasi dengan keuntungan yang cepat (melebihi sektor riil), tetapi sifatnya adalah spekulatif (memiliki risiko yang jauh lebih tinggi dibanding sektor riil). Ekonomi mengandalkan perputaran uang di dalam sektor moneter.

Baudrillard menyatakan beberapa efek dari konsep ekonomi hiper-realitas:

Destructuring of Value. Konsep nilai dalam ekonomi menjadi nilai yang mengapung (floating value) dan tidak memiliki fondasi kekuatan ekonomi yang jelas. Jikalau kita pernah mengamati pergerakan nilai saham atau kurs mata uang, nilai mereka dapat berubah setiap saat. Walaupun ada teori yang mendasari, tetap saja prediksi yang dibuat sifat nilainya mengapung.

Destabilize Market and Real Sector. Ekonomi ini juga membuat kondisi pasar dan sektor riil mengalami kondisi yang semakin tidak stabil. Kita bisa kembali berkaca pada beberapa krisis moneter yang terjadi di dalam beberapa negara, khususnya krisis 2008. Goncangan ekonomi yang terjadi di dalam sektor moneter selalu berdampak besar kepada kondisi pasar di sektor riil.

Speculation-based Economy (free from economy theory). Ketidakstabilan yang dihasilkan oleh ekonomi hiper-realitas ini menunjukkan bahwa dasar dari perekonomian ini adalah spekulasi. Aktivitas dalam perdagangan saham maupun foreign exchange (terutama yang bersifat short-term trading) hampir tidak bisa dibedakan dengan kita bermain judi, prinsip yang mendasari mereka adalah probability atau spekulasi.

Bentuk praktis dari ekonomi hiper-realitas dapat kita lihat di dalam perdagangan saham, obligasi, forex (pertukaran mata uang), dan money games. Prinsip yang menjadi benang merah dari semua ini adalah spekulasi. Mereka menggunakan sejumlah uang, yang cukup besar, untuk diputarkan di sektor moneter dengan harapan dapat memberikan keuntungan yang cepat dan tingkat pengembalian yang tinggi. Tetapi yang harus digarisbawahi pada semua aktivitas ekonomi ini hanyalah spekulasi sehingga memiliki risiko yang sangat tinggi. 

Konsep yang harus kita mengerti dari bentuk-bentuk ekonomi ini adalah “high risk high return, low risk low return”. Hasil secara makro yang diperoleh dari konsep ekonomi hiper-realitas ini adalah krisis demi krisis yang kita alami. Bahkan saat ini frekuensi krisis yang kita alami menjadi semakin sering dan masa krisis itu sendiri berlangsung semakin panjang, hal ini menunjukkan kerapuhan dari konsep nilai pada konteks ekonomi hiper-realitas ini.

The Meaninglessness of Money in Hyper-Reality Context 

Pergeseran demi pergeseran dari cara pandang mengenai ini membawa konsep nilai uang menjadi semakin tidak berarti. Jikalau kita kembali kepada konsep awal keberadaan uang, yaitu sebagai alat tukar. Kita akan kembali menyadari signifikannya keberadaan komoditas sebagai pemberi nilai atau makna bagi keberadaan uang. 

Saat uang mencoba membangun nilainya terlepas dari nilai komoditas yang seharusnya ia wakili, maka yang kita lakukan adalah sedang menggerus nilai uang menuju kondisi meaningless. Hal ini tidak jauh berbeda dengan seorang manusia yang mencoba membangun arti hidupnya dengan melepaskan diri dari Sang Pencipta. Perlahan manusia akan kehilangan nilai hidupnya. Begitu juga dengan uang, perlahan akan menjadi semakin tidak berarti.

Kondisi inilah yang kita hadapi dalam perekonomian saat ini. Inflasi yang semakin tinggi mengindikasikan nilai yang semakin tergerus. Maksudnya, semakin lama nominal uang yang sama memiliki nilai yang semakin menurun dibandingkan dengan nilai komoditas yang didapatkan. Dan pendorong utama dari inflasi ini adalah krisis-krisis ekonomi yang terjadi. Efek sampingnya adalah terbentuknya masyarakat yang semakin hari semakin rakus akan uang. 

Bahkan kerakusan ini menjadikan manusia semakin berani untuk melakukan perbuatan dosa demi memperoleh uang. Cobalah perhatikan perkembangan produk-produk keuangan yang ditawarkan saat ini, kasus penipuan dari produk keuangan ini semakin merebak di mana-mana. Konsep keuangan yang menjanjikan, tingkat pengembalian yang tinggi seperti money games, berujung pada kasus-kasus kriminal yang merugikan orang-orang yang terlalu rakus untuk memperoleh harta yang banyak dengan instan. Semua hal ini membuktikan apa yang dikatakan oleh Alkitab dari jauh-jauh hari, yaitu, “Cinta akan uang adalah akar dari segala kejahatan.” 

Pengejaran akan uang tidak akan pernah memberikan makna atau nilai yang sejati, tetapi hanya akan memberikan ketidakbermaknaan bagi hidup kita. Karena itulah semakin kita mengejar uang, semakin kita merasa ketidakpuasan.

Biblical View on Money and Wealth

Alkitab tidak melarang seseorang memiliki uang atau harta yang berlimpah. Tetapi Alkitab juga cukup memberikan peringatan untuk berhati-hati dengan harta yang berlimpah, karena jikalau kita tidak hati-hati, maka uang ini akan menjadi jerat yang membawa kita jauh dari Tuhan. Di dalam Alkitab kita dapat mempelajari banyak tokoh yang kaya tetapi dipakai Tuhan. Abraham yang begitu diberkati Tuhan tetapi ia hidup sebagai bapa dari orang beriman. 

Boas juga adalah seorang yang kaya tetapi kekayaan itu justru Tuhan pakai untuk memelihara yang menjadi jalan bagi garis keturunan yang akan melahirkan Kristus. Kita juga mengenal seorang Ayub yang begitu kaya tetapi hidupnya saleh di hadapan Tuhan, bahkan ketika kekayaan diambil darinya, Ayub tetap beribadah kepada Tuhan. 

Di dalam Perjanjian Baru kita mengenal juga tokoh seperti Barnabas yang kekayaannya dipakai untuk memperkembangkan gereja mula-mula. Masih banyak tokoh lain yang Alkitab ceritakan. Dari semua tokoh-tokoh ini terdapat satu kesamaan, mereka tidak pernah membiarkan diri mereka diikat oleh kekayaan. Mereka tidak menghambakan hati mereka kepada uang, bahkan mereka menggunakan uang mereka untuk menjadi hamba bagi pekerjaan Tuhan.

Tetapi Alkitab juga menceritakan tokoh-tokoh yang pada akhirnya terjerat oleh perhambaan uang dan justru memiliki akhir hidup yang menyedihkan. Kita mengenal seorang muda yang kaya yang akhirnya memilih untuk mempertahankan kekayaannya dibanding mengikut Kritus. Kita juga belajar mengenal kisah Ananias dan Safira yang karena kekayaannya harus mengalami kematian mendadak karena mereka berbohong kepada para rasul mengenai persembahan mereka. 

Di dalam Perjanjian Lama kita juga membaca kisah keluarga Lot yang menjadi rusak karena memilih untuk tinggal di kota Sodom dan Gomora yang makmur. Bahkan ketika Tuhan perintahkan untuk meninggalkan kota tersebut, istri Lot harus menerima hukuman Tuhan karena hatinya tidak rela untuk meninggalkan harta kekayaannya. Ini adalah beberapa contoh orang-orang yang hatinya terjerat oleh uang.

Sehingga kita bisa melihat bahwa Alkitab tidak mempermasalahkan harta tetapi perhambaan terhadap uang yang menjadi masalah. Lalu bagaimana seharusnya kita bersikap mengenai uang? Di dalam pengajaran Yesus, ada sebuah perumpamaan mengenai bendahara yang tidak jujur. Salah satu poin utama yang diapresiasi dari bendahara ini adalah ia dapat menggunakan uang dengan cerdik untuk mengantisipasi masalah yang mungkin ia alami di waktu yang akan datang. 

Sederhananya ia bisa memperhamba uang demi hal yang lebih penting dan bukan menjadi hamba uang. Konsep seperti ini yang seharusnya kita pelajari di dalam relasi kita dengan uang. Kita harus mengembalikan fungsi dari uang, kembali sebagai alat untuk mencapai tujuan, bukan sebagai tujuan itu sendiri. Kita harus menggunakan uang sebagai media untuk kita menjalankan kehendak Tuhan dan bagi kemuliaan Tuhan. Dan hal ini berarti mulai dari motivasi, cara, dan tujuan dari relasi kita dengan uang harus kita bereskan.

Kesimpulan

Pola berpikir Alkitab sangat kontras dengan yang dunia ini pikirkan. Dunia ini mengajarkan bahwa nilai terbaik dari uang diperoleh saat kita dapat menggunakannya untuk mendapatkan uang yang memiliki nilai lebih besar. Konsep dunia ini pada akhirnya hanya membawa uang menjadi semakin kehilangan maknanya. Uang yang menjadi standar pertukaran di dalam dunia ini, semakin kehilangan nilainya, karena konsep hiper-realitas uang terus diterapkan. Hal ini karena nilai uang yang seharusnya menjadi standar malah semakin direlatifkan. 

Kita harus menyadari bahwa uang adalah anugerah yang Tuhan berikan bagi kita dan yang harus kita pertanggungjawabkan. Alkitab menyatakan bahwa nilai terbaik uang adalah saat uang itu dipakai untuk hal yang memiliki nilai lebih besar yaitu dengan menggunakannya bagi pekerjaan Tuhan yang kekal. Saat kita dianugerahkan oleh Tuhan dengan uang yang berlimpah, hal itu juga merupakan ujian dari Tuhan bagi kita. 

Akankah kita dapat dengan bijaksana menggunakannya bagi hal yang memiliki nilai lebih besar atau justru kita malah menggunakannya untuk merusak diri bahkan orang-orang lain di dalam lingkup yang lebih besar? Dapatkah kita memakai uang yang adalah titipan Allah untuk menggenapkan kehendak Allah yang menitipkan uang tersebut kepada kita? Dapatkah kita mengenal rencana Allah dan tentunya Allah sendiri, melalui uang yang Allah titipkan dalam hidup kita? Kiranya kita menjadi orang yang bijaksana dalam hal mengerti makna uang, mengenal tujuan dititipkannya uang itu kepada kita, dan bahkan lebih lagi, mampu bertumbuh dalam berelasi dengan Sang Pemberi Anugerah melalui relasi kita dengan anugerah-Nya, yakni uang.

Sharing of God's Gift (Christmas Special Edition)

Ekonomi sering kali dijadikan wadah untuk mewujudkan impian atau ambisi manusia. Jikalau kita melakukan survei mengenai motivasi orang-orang yang terjun ke dalam bidang ekonomi, kita akan menjumpai kemiripan. Secara mayoritas mereka ingin membangun kerajaannya di dalam bentuk gedung-gedung pencakar langit atau nominal aset yang spektakuler. 

Hal ini sering kali menjadi motivasi dalam berekonomi karena memang itulah yang menjadi ukuran keberhasilan dari dunia ini. Kota atau negara yang dianggap maju adalah kota yang memiliki banyak gedung pencakar langit beserta dengan infrastruktur kota yang tertata rapi. Seorang yang dinilai sebagai orang berhasil adalah yang memiliki kekayaan berlimpah.

Konsep berpikir seperti ini adalah konsep berpikir yang sangat wajar dalam dunia ekonomi: Sebuah perjuangan yang dimulai dari bawah bahkan titik nol hingga akhirnya berhasil menjadi seorang kaya dan terpandang bahkan diakui dunia. From zero to hero... Bukankah kisah-kisah seperti ini begitu digandrungi? Buku-buku yang menceritakan kisah hidup seorang yang berhasil secara ekonomi adalah kisah-kisah yang populer. Dan orang-orang seperti ini begitu disegani, dihormati bahkan setiap perkataan mereka dianggap sebagai nasihat yang bijaksana. Oleh karena itu tidak mengherankan jikalau jalan hidup seperti itu sangat diidamkan.

Tetapi sadarkah kita bahwa konsep berpikir ini bertentangan dengan Alkitab? Dunia mengajarkan untuk membangun kehidupan dengan menguras segala sesuatu di sekitar kita bagi diri sendiri. Kita diajarkan untuk menjadi orang yang pintar membaca kesempatan agar dapat mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya (sikap hidup seorang oportunis). Kita dididik untuk menjadi kanibal yang memakan sesama demi kepentingan pribadi dan, mengerikannya, kita tidak pernah merasa puas dengan segala sesuatu yang kita kuras tersebut.

Celakanya pola pikir ini mengakar begitu kuat di dalam diri kita orang-orang percaya. Bahkan saat kita bertobat dan lahir baru pun, pola berpikir ini tidak serta-merta terselesaikan. Sehingga banyak sekali orang percaya yang secara mulut berkata bahwa ia percaya kepada Allah dan mau menjalankan kebenaran firman Tuhan, tetapi pada praktiknya tetap hidup menjalankan prinsip “homo homini lupus”. 

Disadari atau tidak disadari, inilah yang menjadi prinsip dasar dalam ekonomi saat ini, yang tidak disadari bahkan oleh banyak orang Kristen sekalipun. Dan prinsip inilah yang menghasilkan permasalahan demi permasalahan, bukan hanya dalam bidang ekonomi tetapi merambat ke dalam bidang-bidang lain seperti sosial dan lingkungan. Akar masalah dalam perekonomian saat ini adalah act of greediness.

Kebanyakan kita berpikir bahwa act of greediness adalah hal yang tak terhindarkan dari hidup kita sebagai manusia. Padahal act of greediness adalah tindakan yang bukan hanya merusak lingkungan dan aspek-aspek kehidupan manusia, tetapi juga merusak jati diri manusia sebagai image of God. Manusia yang sejati adalah manusia yang di dalam hidupnya menyatakan Allah Tritunggal. 

Dengan kata lain Allah Tritunggal adalah archtype dari kehidupan manusia sebagai ectype. Sehingga seluruh aspek hidup kita, termasuk ekonomi, harus menyatakan kebenaran Allah Tritunggal. Salah satu prinsip dasar yang bisa kita terapkan dalam bidang ekonomi adalah sharing of God’s gift yang memiliki konsep yang bertolak belakang dengan act of greediness. Kita bisa memahami hal ini dengan merenungkan akan makna sejati Natal, yaitu inkarnasi Kristus.

God the Trinity Sharing His Greatest Gift in the First Noel

Banyak yang tidak menyadari bahwa Natal memiliki makna yang jauh lebih agung dari sekadar perayaan pesta pora maupun ibadah Natal rutin tahunan yang terus berulang. Natal adalah turning point sejarah umat manusia, dari dosa menuju kepada hidup kekal bersama Allah, dari pemujaan terhadap diri kembali untuk memuliakan Allah karena Sang Allah Anak berinkarnasi. In the first noel, man found again his hope for reconciliation with God. In the first noel, redemption reached its climax stage. In the first noel, the course of history was turned back towards the eschaton in God’s glory. 

Therefore, incarnation convinces us that in the first noel, God shared His greatest gift for mankind. Signifikansi Natal seperti inilah yang sering kali tidak disadari oleh orang percaya bahkan orang Reformed sekalipun. Ini adalah salah satu karya terbesar di dalam sejarah umat manusia, yang pernah dilakukan oleh Allah Tritunggal. Hal ini dapat dijabarkan seperti demikian:

God the Father Sharing His Greatest Gift: His Only Son 

“He who did not spare His own Son but gave Him up for us all, how will he not also with Him graciously give us all things?” (Rom. 8:32). Paulus menyatakan kalimat ini bagi jemaat Roma yang berada di dalam konteks penganiayaan. Salah satu pertanyaan yang akan muncul di tengah penganiayaan adalah “Di manakah anugerah Tuhan di tengah penderitaan ini? Apakah Tuhan sudah tidak mau beranugerah lagi?” Ayat ini adalah salah satu bagian dari jawaban Paulus, bahwa Allah sudah memberikan anugerah terbesar bagi kita yaitu “His only begotten Son”. 

Kalimat ini adalah sebuah pertanyaan reflektif sekaligus ajakan untuk jemaat Roma mengingat kembali apa yang Allah sudah berikan di dalam sejarah. Jikalau Kristus sudah rela diberikan bagi kita yang berdosa, masihkah kita meragukan belas kasihan Allah? Dengan pertanyaan ini Paulus mengajak jemaat Roma untuk kembali melihat akan Allah yang setia menggenapkan janji-Nya, bahkan saat Ia harus merelakan Anak-Nya yang tunggal. Inilah pemberian terbesar Sang Allah Bapa bagi orang percaya.

God the Son Sharing His Greatest Gift: Revealing Greatness, Love, and Righteousness of God the Father

“The words I say to you are not just my own. Rather, it is the Father, living in me, who is doing his work” (John 14:10). Sang Allah Anak hadir di dalam dunia sebagai puncak penggenapan karya penebusan Allah. Melalui Kristus, pewahyuan Allah mencapai puncaknya karena Kristus adalah Mediator Allah yang sempurna. Ini adalah pemberian yang terbesar dari Sang Allah Anak. Ia merelakan hidup-Nya dipakai menyatakan pribadi Sang Allah Bapa. Melalui mujizat dan khotbah-Nya, kita bisa mengenal kebesaran dan kemahakuasaan Sang Allah Bapa. 

Melalui darah-Nya yang tercurah untuk menghapuskan dosa-dosa kita, kasih Allah Bapa bagi umat-Nya dapat dengan jelas kita saksikan. Melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib, kita menyadari bahkan keadilan dan kebenaran Allah tidak bisa dikompromikan. Tentu saja pengenalan mengenai Sang Allah Bapa yang Kristus berikan bukan sekadar informasi saja, tetapi firman Tuhan yang berkuasa mengubahkan seluruh hidup kita secara progresif.

God the Holy Spirit Sharing His Greatest Gift: Make Mankind Rejoice because Son of God Incarnated

“When the Spirit of truth comes, he will guide you into all the truth, for he will not speak on his own authority, but whatever he hears he will speak, and he will declare to you the things that are to come. He will glorify me, for he will take what is mine and declare it to you.” (John 16:13-14). Karya penebusan Allah tidak akan sempurna jikalau tidak diterapkan dan akan menjadi karya yang tidak relevan. Selain menurunkan Firman dari sorga, inilah tugas Roh Kudus, mengaplikasikan atau menerapkan karya keselamatan ke dalam setiap pribadi umat pilihan. 

Sehingga setiap kita yang percaya dapat merasakan sukacita dan akan bersyukur atas seluruh karya yang Kristus sudah kerjakan. Kita dapat bersukacita saat kita menyadari bahwa Sang Allah Anak berinkarnasi pada Natal yang pertama. Inilah pemberian yang terbesar dari Sang Allah Roh Kudus, yaitu membawa kita untuk mengenal Kristus dan bersukacita atas setiap karya yang Ia sudah kerjakan bagi kita umat-Nya.

Dari ketiga karya yang dikerjakan oleh setiap pribadi dalam Allah Tritunggal, kita dapat belajar mengenai kehidupan yang membagi-bagikan berkat. Jikalau Allah Tritunggal sudah sharing His greatest gift, maka sebagai image of Godkita harus meneladani hal tersebut, yaitu sharing of God’s gift.

Sharing of God’s Gift as the Basic Principle of Biblical Economics

Setiap manusia diciptakan dengan berbagai berkat yang Tuhan berikan. Berkat yang dimaksudkan di sini bukan sekadar kemampuan tetapi juga kesempatan, bahkan seluruh pemberian Allah yang kita peroleh di dalam hidup ini. Berkat-berkat ini diberikan bukan untuk kita nikmati secara egois tetapi harus kita bagikan kepada sesama kita (sharing of God’s gift). Prinsip yang sama juga berlaku di dalam bidang ekonomi. Kita menjalankan praktik ekonomi bukan untuk mengeruk seluruh berkat Allah hanya bagi diri kita sendiri tetapi untuk kita bagikan kepada manusia lainnya. Inilah kehidupan manusia yang sejati atau kehidupan yang manusiawi yaitu kehidupan yang saling berbagi.

Tetapi konsep sharing of God’s gift ini sangat berbeda dengan konsep memberi yang dunia ini juga lakukan secara umum. Terdapat perbedaan yang fundamental antara yang Alkitab ajarkan dan yang dunia ini jalankan. Sebagai kerangka di dalam menjalankan prinsip Alkitab dari sharing of God’s gift, kita dapat menggunakan kerangka yang dibangun berdasarkan pekerjaan Allah Tritunggal dalam sharing of His greatest gift, sudah dijabarkan di atas. Berikut penjelasan mengenai kerangkanya:

Normative Perspective: Realization of God’s will

Saat berbagi, kita harus menyadari bahwa pemberian ini adalah untuk menjalankan kehendak Allah. Sebagaimana perumpamaan talenta yang mengajarkan kita untuk menggunakan dan mengembangkan pemberian Allah, kita pun harus menjalankan hal tersebut. Dan orang-orang yang menjalankan hal ini disebut oleh Allah sebagai hamba yang setia. Karena tidak ada hal yang lebih buruk selain menahan atau menguburkan anugerah Tuhan dan tidak menggunakannya demi kebaikan. 

Manfaat terbesar dari anugerah Tuhan adalah saat kita menggunakannya dan membagikannya untuk memperlebar Kerajaan Allah. Sharing of God’s gift adalah wujud nyata dari pengakuan kita, bahwa keberadaan manusia bukanlah untuk mengejar ambisi atau nafsu pribadi tetapi untuk menjalankan kehendak Allah.

Situational Perspective: Reflection of God’s Attribute

Sebagai gambar Allah, manusia diciptakan sebagai pribadi yang hidup di dalam konteks sosial. Pernyataan manusia sebagai gambar Allah semakin nyata saat manusia hidup di dalam relasi saling berbagi dengan lainnya. Keagungan sifat-sifat Allah dinyatakan saat kita sebagai manusia kita berbagi karena menyadari nilai manusia sebagai gambar Allah. Salah satu pembelajaran sejarah yang patut kita renungkan adalah hal-hal yang memicu bangkitnya filsuf-filsuf modern seperti Karl Marx ataupun Ludwig Feuerbach. 

Mereka memberikan kritikan tajam kepada agama karena mereka melihat ketidakadilan yang dijalankan oleh orang-orang Kristen pada saat itu. Kehidupan mereka yang berlimpah dengan harta tetapi membiarkan bahkan memeras manusia lainnya yang hidup dalam kesulitan secara ekonomi. Oleh karena itu sharing of God’s gift adalah perwujudan dari penghargaan kita atas manusia sebagai gambar Allah yang harus menyatakan keagungan Allah baik dalam konteks individu maupun komunal.

Existential Perspective: Representation of God’s Presence

Sharing of God’s gift juga menyatakan bahwa keberadaan kita hanyalah untuk menyatakan otoritas Allah atas dunia ini. Sebagai umat Allah, kita dipanggil untuk berbagian dalam membangun Kerajaan Allah. Tetapi tujuan utama dari Kerajaan Allah adalah untuk menyatakan keberadaan Allah yang berotoritas atas ciptaan ini, bukan untuk membangun supremasi diri. Melalui sharing of God’s gift, kita mengnyinergikan anugerah Tuhan yang beragam diberikan kepada setiap orang. 

Dan sinergi ini memungkinkan manusia untuk mengerjakan suatu pekerjaan yang besar. Kalau kita berkaca kembali melalui peristiwa manusia yang membangun Menara Babel, kita melihat kemampuan manusia yang begitu besar saat manusia dapat saling berbagi dan bekerja sama. Tetapi dalam konteks Menara Babel, manusia bekerja sama membangun hal yang berdosa. Maka dalam konteks saat ini, kita dipanggil untuk bersama-sama membangun Kerajaan Allah untuk menyatakan kehadiran Allah atas dunia ini, yang tentu saja harus dibangun dalam kebenaran. Sharing of God’s gift adalah perwujudan kesatuan umat manusia yang dipanggil untuk melakukan pekerjaan Allah sebagai pernyataan kehadiran dan juga otoritas Allah atas dunia ciptaan ini.

Conclusion

Ketiga perspektif di dalam sharing of God’s gift ini seharusnya menyadarkan kita untuk mau bertobat dari praktik berekonomi kita saat ini. Kita sering berpikir bahwa ekonomi yang Alkitabiah adalah mengerjakan segala sesuatu yang menghasilkan uang, dan pada akhirnya uang itu dipersembahkan untuk pekerjaan Tuhan. Pola pikir ini adalah pola pikir yang menjalankan mandat budaya hanya dengan menambahkan embel-embel “dalam nama Yesus”, setelah itu kita berkata bahwa kita sudah menjalankan mandat budaya. Pola berpikir seperti ini memiliki kebahayaan besar, karena sangat memungkinkan perbuatan berdosa “dikuduskan” di dalam nama Yesus dan akhirnya dikatakan sebagai perbuatan yang benar.
Segitiga dalam sharing of God’s gift ini mengajak kita untuk membangun konsep ekonomi dengan membereskannya dari hal yang paling mendasar. Membangun ekonomi bukan atas dasar ambisi untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, tetapi untuk menggarap setiap pemberian Allah di dalam ciptaan-Nya, membagikannya untuk menjadi berkat bagi orang lain, demi membangun dan memperluas Kerajaan Allah di dunia ini. 

Selama kerakusan masih menjadi dasar dalam berekonomi, lupakan pencapaian akan kesejahteraan yang adil bagi umat manusia. Hanya dengan membangun ekonomi di atas konsep sharing of God’s gift inilah kita dapat menciptakan umat manusia yang sejahtera dan adil.

Marilah kita merayakan Natal dengan membongkar seluruh konsep dasar kita dalam berekonomi. Jikalau Allah Tritunggal sudah memberikan hadiah-Nya yang teragung bagi umat manusia, masih enggankah kita untuk belajar membagikan diri kita kepada orang lain? Jikalau Kristus sudah berinkarnasi dan merendahkan diri-Nya sedemikian rupa bagi kita manusia berdosa, masihkah kita bernafsu untuk membangun keangkuhan hidup melalui harta yang bisa hilang setiap saat? Biarlah Natal ini menyadarkan kita untuk mulai membangun aspek ekonomi kehidupan kita berdasarkan teladan yang Allah Tritunggal sudah nyatakan di dalam Alkitab. Selamat Hari Natal!

Economics, Hedonism, and Consummation

Tahun baru selalu diwarnai dengan sebuah komitmen besar atau kita katakan sebagai resolusi di tahun baru.

Sejumlah harapan yang ingin dicapai dalam sepanjang tahun ke depan, mewarnai perenungan, doa, dan komitmen secara pribadi. Mulai dari hal-hal sederhana seperti aktivitas rutin, hobi, hingga hal-hal yang lebih kompleks seperti keluarga dan ambisi pribadi yang ingin dicapai. Harapan untuk memenuhi resolusi dari tahun ke tahun, menjadi ciri-ciri yang membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. 

Harapan atau gol hidup yang semakin tinggi dari tahun ke tahun menandakan manusia adalah makhluk yang memiliki hasrat begitu besar. Ini adalah sebuah hasrat yang mendambakan akan makna atau signifikansi diri (a hunger for significance). Apakah ambisi atau hasrat yang seperti demikian adalah hal yang salah? 

Di dalam Wawasan Dunia Kristen, ambisi sering kali dikaitkan dengan hal negatif. Karena ambisi selalu diasosiasikan dengan nafsu berdosa manusia yang ingin membangun supremasi diri dan melawan kehendak Allah. Di dalam konteks inilah kita memandang ambisi sebagai hal yang negatif dan berdosa. Tetapi apakah ini berarti untuk hidup dalam kebenaran kita harus membuang ambisi diri? Bukankah manusia yang hidup tanpa ambisi adalah manusia yang hidup bagaikan robot? 

Permasalahan intinya bukan terletak pada ambisi itu sendiri tetapi yang menjadi masalah adalah pengarahan akan hasrat bagi pemuasan diri bukan bagi pernyataan Kerajaan Allah. Maka yang harus kita perhatikan adalah bagi siapakah hasrat hidup kita diberikan.

Reformed Theology percaya bahwa gol dari hidup kita, sebagai orang percaya, adalah untuk memuliakan Allah dan itu berarti kita harus mengagungkan Kristus sebagai Raja atas seluruh alam semesta ini. Hal inilah yang akan mengarahkan seluruh motivasi, arah, dan segala keputusan hidup kita. Kehidupan yang seperti ini adalah kehidupan memuliakan Allah dalam perjuangan yang tidak habis-habis dengan pengharapan akan kemuliaan yang akan dinyatakan dalam langit dan bumi yang baru. Inilah yang kita kenal sebagai eschatological life. 

Kehidupan seperti ini adalah kehidupan yang melihat tujuan akhir dari hidup ini berada di masa yang akan datang ketika Kristus kembali kedua kalinya dan hal ini dikaitkan dengan motivasi hidup di masa kini. Cara pandang ini sangat berbeda dengan cara pandang dunia, yang memandang kehidupan saat ini sebagai tujuan utama. Sehingga penekanan akan kenikmatan dalam hidup masa kini adalah hal yang akan dituntut oleh cara pandang demikian.

Sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk memiliki cara pandang yang berbeda dengan dunia ini. Cara kita memandang saat ini, masa yang akan datang, dan peranan kita sebagai manusia yang hidup melewati waktu demi waktu, harus dapat mencerminkan Wawasan Dunia Kristen yang sejati.

Tahun lalu kita sudah melalui bulan demi bulan dengan membahas integrasi Reformed Theology dengan bidang ekonomi. Berbagai aspek dari bidang ekonomi kita bahas dengan menggunakan sudut pandang Wawasan Dunia Kristen. Salah satu keunikan dari Wawasan Dunia Kristen berdasarkan Reformed Theology adalah mengajarkan kita untuk memandang realitas kehidupan secara utuh dari penciptaan sebagai titik awal hingga konsumasi sebagai titik akhir. 

Pandangan yang dirangkum dalam empat titik, yaitu: Creation, Fall, Redemption, dan Consummation (CFRC). Sudut pandang creation, fall, dan redemption sudah kita bahas dalam sebelas artikel yang lalu. Maka sebagai penutup seri artikel ini, kita akan membahas ekonomi dari sudut pandang consummation atau eschatology. Kita akan mengontraskan cara pandang yang mendominasi dunia ekonomi dengan cara pandang eskatologis yang kita pelajari di dalam Alkitab.

The Paradox of Inaugurated Eschatology

Semenjak kita menerima Yesus sebagai Juruselamat hidup, kita menerima jaminan hidup kekal yang Kristus janjikan melalui pekerjaan Roh Kudus di dalam hidup kita. Tetapi jaminan hidup kekal ini belum terealisasi sepenuhnya. Sederhananya, kita baru menerima “guarantee” atau “down payment” dari karya keselamatan Kristus dan akan dipenuhi semuanya saat Kristus datang kedua kali. Kondisi ini menjadikan kita berada dalam situasi paradoks antara “already” dan “not yet”. Dalam Biblical Theology, kondisi ini dikenal sebagai “Inaugurated Eschatology”. 

Hal ini berarti kita memiliki kehidupan di antara dua zaman (living in the middle of two ages), this age and the age to come. Geerhardus Vos menyebut masa ini sebagai masa semi-eschatological era. Masa ini adalah masa yang dimulai sejak kebangkitan Kristus dan berakhir pada saat kedatangan Kristus yang kedua kali. Kehidupan di dalam dua masa ini menuntut orang-orang percaya untuk memiliki ketekunan (perseverance of the saints) dalam membangun kehidupannya sebagai seorang yang sudah ditebus. Hal ini dikarenakan adanya ketegangan antara dua masa yang memiliki karakteristik yang sangat berbeda sehingga menimbulkan dilema dalam kehidupan orang percaya.

Zaman sekarang (this age) adalah zaman yang berawal semenjak penciptaan dan akan berakhir pada saat Kristus datang kedua kali. Yang berkuasa atas zaman ini adalah si Iblis. Bagi orang-orang tidak percaya, yang menjadi penguasa atas diri mereka adalah dosa dan juga segala filsafat dunia yang berkembang pada zaman mereka hidup, sehingga pada umumnya non-believers akan berpikir bahwa kehidupan saat ini adalah kehidupan satu-satunya yang mereka harus pertahankan dan nikmati sepuasnya, karena sesudah kehidupan ini berakhirlah kisah mereka. Inilah strategi yang Iblis jalankan yaitu membawa manusia melupakan kehidupan sesudah kematian dan mempertaruhkan seluruh kehidupan mereka hanya untuk apa yang ada pada zaman ini.

Zaman yang akan datang (the age to come) adalah masa yang dimulai dari kebangkitan Kristus hingga kekekalan. Masa ini adalah masa di mana Kerajaan Allah berkuasa secara progresif, dimulai dari prinsip yang direalisasikan dalam dunia ini hingga saat di mana realisasi sepenuhnya dinyatakan di dalam kekekalan sesudah Kristus datang kedua kalinya. 

Di dalam zaman inilah manusia berdosa dibawa untuk kembali kepada Tuhan Allah. Mereka dibawa pada suatu kesadaran bahwa hidup tidak hanya berhenti pada zaman kini saja tetapi ada kehidupan setelah kematian, kehidupan yang bernilai kekal. Kehidupan di mana dosa dan kesengsaraan akan sirna sepenuhnya, diganti dengan sukacita yang berlimpah dan kekal dari Tuhan Allah. Melalui zaman yang akan datang inilah manusia disadarkan akan arti sesungguhnya dari hidup mereka yang harus dikembalikan kepada metanarasi biblikal yang Tuhan sudah tetapkan bagi orang-orang pilihan-Nya.

Dari kedua zaman ini kita bisa melihat adanya satu periode di mana terdapat singgungan dari dua zaman tersebut, inilah yang disebut sebagai semi-eschatological age.


Zaman ini menarik manusia untuk melupakan pengharapan eskatologis dengan tawaran-tawaran yang begitu menggoda, disadari atau tidak disadari, perlahan atau cepat membawa manusia untuk hidup di bawah kuasa dosa. Tetapi di sisi lain, orang-orang yang sudah menerima karya penebusan Kristus, dari dalam hatinya Roh Kudus bekerja secara progresif untuk memperbarui hidup mereka. Sehingga mereka memiliki pengharapan eskatologis yang membawa cara hidup pada zaman ini berbeda dengan kehidupan orang-orang yang belum menerima karya penebusan Kristus tersebut.

Ini menjadi salah satu kesulitan hidup sebagai orang percaya. Di satu sisi kita sangat berharap agar kesudahan dari segala sesuatu segera terjadi. Sukacita, kebebasan, keagungan, dan keindahan dari hidup bersama dengan Allah menjadi pengharapan yang sangat dinantikan. Tetapi sewaktu kembali pada realitas kehidupan zaman ini, di mana realitas dosa masih berada di tengah-tengah kehidupan orang percaya, maka penderitaan dan kesengsaraanlah yang menjadi bagian dari kehidupan orang percaya karena perjuangan untuk melawan keberdosaan inilah yang menjadi sumber utama kesulitan tersebut. 

Secara kasat mata, zaman yang akan datang belum dinyatakan sepenuhnya, tetapi secara prinsip sudah direalisasikan melalui gereja dan kehidupan orang-orang percaya. Di saat yang bersamaan realisasi prinsip agung tersebut menjumpai hambatan dari prinsip keberdosaan yang sudah lama bercokol dalam kehidupan manusia. Inilah paradoks dari inaugurated eschatology. Dilema ini juga dialami oleh Paulus seperti yang ia tuliskan dalam Roma 7:13-26.

Setidaknya ada dua respons ekstrem yang terjadi dalam menghadapi dilema tersebut. Respons pertama adalah gaya hidup monasticism, gaya hidup yang mengucilkan diri dari kehidupan dunia dan bertekun dalam kehidupan spiritual di suatu tempat yang terisolasi dari peradaban. Inilah gaya kehidupan yang terlalu menekankan aspek heavenly tetapi melupakan realitas kehidupan worldly. 

Gaya hidup ini sebenarnya adalah gaya kehidupan yang tidak bertanggung jawab kepada Tuhan, karena Ia sudah memandatkan tanggung jawab yang harus kita kerjakan pada masa ini. Respons yang kedua adalah kehidupan hedonism yang mengejar worldly pleasure dan hidup seakan-akan tidak ada yang namanya kekekalan. Respons kedua inilah yang mendominasi dunia ekonomi saat ini. Kebanyakan motif mendasar dari seseorang dalam berekonomi adalah untuk mencari kenikmatan hidup yang dapat dengan langsung dirasakan. 

Kalau perlu, kenikmatan itu dapat secepat mungkin dirasakan walaupun harus menggunakan segala cara, bahkan mengorbankan aspek-aspek penting sebagai manusia, atau bahkan cara berdosa pun dijalankan. Semua demi mendapatkan kenikmatan pada saat ini. Bukankah tawaran seperti ini yang sering kita jumpai di sekitar kita? Bahkan semangat ini merasuk sehingga cara pandang Kristen yang selama ini kita pelajari bisa saja ditunggangi oleh semangat hedonisme ini dan membawa kita memiliki cara pandang yang terlihat benar tetapi pada intinya begitu rusak.

Hedonisme dan Utilitarianisme 

Secara prinsip, hedonisme mengajarkan bahwa hal yang paling penting di dalam hidup ini adalah kenikmatan dan kesenangan, bahkan hal ini adalah tujuan utama hidup kita. Pengejaran akan kenikmatan ini tentu saja dengan mempertimbangkan pain atau kesulitan yang harus ditempuh. Mereka tetap menyadari bahwa ada harga yang harus dibayar atau diperjuangkan, demi memperoleh kenikmatan dalam hidup. Tetapi pada prinsipnya adalah hidup harus mencari hal yang dapat memberikan kenikmatan terbesar. 

Bentuk-bentuk kenikmatan ini beragam. Ada yang mengaitkannya dengan hal yang bersifat kuantitatif seperti harta kekayaan (dalam berbagai bentuk), ada juga yang mengaitkan kenikmatan ini dengan hal-hal rohani seperti kepuasan atau ketenangan batin. Apa pun bentuk kenikmatan yang dikejar, pada esensinya hedonisme mencari akan kenikmatan sebagai tujuan utama hidup. 

Mari kita perhatikan pola berpikir yang ada di sekitar kita, bukankah pola berpikir yang serupa dengan hedonisme ini mendominasi sekitar kita? Pekerjaan atau bisnis dengan penghasilan yang besar, hidup di tempat yang cozy, menikmati kuliner yang beragam, dan lain-lain. Motif-motif dasar seperti ini yang mendorong orang-orang untuk berekonomi saat ini.

Berdasarkan akar berpikir hedonisme ini, berkembang sebuah cara berpikir yang dikenal sebagai utilitarianisme. Salah satu tokoh yang memelopori pandangan ini adalah John Stuart Mill. Kontribusi yang ia berikan dalam ekonomi adalah mengembangkan konsep opportunity cost dan comparative advantage. Kedua konsep ini, kalau kita selidiki dengan saksama, adalah pola berpikir yang memiliki akar hedonisme. Sederhananya opportunity cost adalah biaya (kerugian) yang harus kita terima saat kita membuat suatu pilihan dan mengabaikan pilihan yang lain. 

Walaupun opportunity costini bukanlah biaya yang secara real terjadi tetapi di dalam pengambilan keputusan, konsep ini menjadi salah satu pertimbangan utama. Karena pada dasarnya konsep opportunity cost ini mengajarkan kita untuk memilih suatu pilihan yang paling mendatangkan keuntungan. Pola berpikir yang sama ada juga di dalam pemikiran comparative advantage. Hal ini mengajarkan kita untuk menjadi seorang yang memiliki keunggulan dengan kemampuan untuk memproduksi atau menghasilkan sesuatu dengan lebih efisien. 

Sehingga dengan biaya yang lebih rendah dapat memberikan manfaat yang sama, sederhananya kita memiliki kemampuan memberikan manfaat yang lebih baik dibanding orang lain. Cara pandang inilah yang diusung oleh utilitarianisme, menilai atau mengukur segala sesuatu berdasarkan manfaat atau kegunaan yang diberikan. Inilah pola berpikir yang mendominasi dunia ekonomi saat ini.

Kita memiliki suatu pekerjaan atau bisnis berdasarkan utilitas yang bisa diberikan. Kita memilih suatu produk berdasarkan nilai tambah yang bisa diberikan oleh produk tersebut dibandingkan dengan harga atau biaya yang harus kita keluarkan. Celakanya, hal-hal lain kita pandang berdasarkan aspek utilitasnya. Pertemanan, berkeluarga, pendidikan, aspek-aspek sosial, semuanya diukur berdasarkan utilitasnya, bahkan pelayanan dan beribadah kepada Allah pun dilakukan berdasarkan utilitasnya. 

Pola berpikir ini pun menimbulkan efek samping bagi aspek-aspek kehidupan lainnya. Permasalahan ekologi, seperti isu pemanasan global, yang menjadi sorotan dunia pada beberapa abad ini, adalah salah satu efek samping dari utilitarianisme. Selain masalah ekologi, sosial dan budaya pun menjadi bidang yang juga mendapatkan efek samping negatif dari semangat hedonisme ini. Sulitnya mencari relasi yang tulus menjadi sebuah isu dalam kehidupan metropolitan. 

Kehidupan relasi yang dinilai dari kacamata utilitas menjadikan kehidupan sosial seseorang dinilai dari manfaat yang diberikan saja (baik secara materi, kepuasan emosional, popularitas, maupun manfaat lainnya). Sehingga isu alienasi, karena absennya ketulusan dalam berelasi, menjadi isu yang membayangi kehidupan sosial saat ini terutama untuk daerah perkotaan. Inilah kebahayaan yang meracuni kita mulai dari dunia ekonomi lalu merambat hingga ke seluruh aspek hidup kita.

Biblical Eschatological and Hedonism’s Trap

Cara pandang eskatologis Alkitab dapat menarik kita dari jeratan cara pandang hedonisme. Pola berpikir ini menekankan worldly pleasure dan melupakan kekekalan. Sedangkan biblical eschatology, mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat akan saat ini tetapi juga memandang kepada kekekalan, saat kita bersama dengan Allah dan pernyataan karya Allah sudah sepenuhnya dinyatakan. Cara pandang ini akan mengalihkan pengejaran akan kenikmatan dunia saat ini, karena kita sadar segala yang kita bangun pada masa ini hanyalah bersifat sementara. 

Kita diajak untuk berharap dan menantikan masa yang akan datang, kepada kemuliaan yang akan dinyatakan sepenuhnya, sementara kita menjalankan kehidupan saat ini dengan bertanggung jawab kepada Allah. Inilah hidup dalam masa penantian akan kedatangan Kristus kedua kali.
Tetapi cara pandang eskatologis bisa ditunggangi oleh semangat hedonisme. Kita bisa saja berdalih bahwa kita tidak mencari kenikmatan pada masa ini. Kita tidak tertarik untuk membangun kerajaan atau kebesaran kita di dunia yang sementara ini. Kita dengan lantang mengatakan bahwa supremasi yang dibangun pada masa ini, hanyalah sementara dan suatu saat akan hancur dan binasa. 

Melengkapi semua dalih ini, kita berkata bahwa kita menantikan masa yang akan datang saat Kristus datang dan kita semua dimuliakan. Semua argumentasi ini secara superfisial terlihat benar dan Alkitabiah, tetapi saat digali lebih dalam kita akan menjumpai semangat hedonisme yang masih tetap tertata kuat di dalamnya. Vern Poythress memaparkan beberapa jebakan yang sering kali orang Kristen pegang dalam imannya, padahal hal ini adalah iman yang ditunggangi semangat hedonisme:

1. Bersandar pada jaminan kesuksesan atau keberhasilan di masa yang akan datang

Alkitab mencatatkan bahwa Yesus menjanjikan akan kemenangan yang orang-orang percaya peroleh pada saatnya nanti. Banyak orang Kristen yang rela untuk menjalani penderitaan dan kesulitan karena mereka mengharapkan keberhasilan di masa yang akan datang, ketika keadilan Allah ditegakkan di muka bumi ini. Kisah kehidupan seperti Ayub atau Yusuf sering kali menjadi kehidupan yang diteladani, kehidupan yang mengalami penderitaan tetapi berakhir dengan “happy ending”. 

Kerelaan menjalani hidup mengikut Kristus, dengan segala kesulitan dan penderitaan yang membayangi, tidak dapat dijalani dengan konsisten jikalau motivasinya adalah janji akan keberhasilan atau berkat di dunia ini. Memang janji itu Alkitab nyatakan, walaupun tidak secara spesifik berkat atau keberhasilan seperti apa, tetapi motif kita dalam mengikut Kristus yang tepat bukan hal ini. Seharusnya motif kita adalah kasih kita kepada Allah dan komitmen kita untuk taat dan tunduk kepada kehendak Allah. Berkat atau janji Tuhan bukan motif utama tetapi side-effect dari ketaatan kita mengikuti Kristus.

2. Berharap pada keberhasilan pada masa kerajaan 1.000 tahun (Millenium – Postmillenialism view)

Postmillenialisme adalah salah satu cara pandang yang dihormati sebagai salah satu interpretasi dari Alkitab. Mereka percaya bahwa kedatangan Kristus kedua terjadi setelah masa kejayaan Kristen di dunia ini terjadi. Cara pandang ini dikatakan sebagai cara pandang eskatologis yang optimis, karena mereka percaya bahwa Injil akan tersebar ke seluruh dunia dan kuasa perubahan dari Injil ini terjadi secara masif. 

Sehingga pengikuti Kristus akan mendominasi di dunia ini sampai akhirnya Kristus datang untuk kedua kalinya. Cara pandang ini begitu menggoda kita untuk berharap pada masa keemasan Kristen yang akan datang. Padahal Alkitab mengajarkan kita untuk menaruh harapan pada kedatangan Kristus yang kedua kali, dan kemuliaan Allah dinyatakan sepenuhnya atas seluruh ciptaan-Nya.

3. Berharap kepada harapan palsu yang tidak dinyatakan oleh Alkitab

Harapan eskatologis sangat rentan dengan interpretasi detail yang sebenarnya Alkitab tidak nyatakan secara jelas. Misalnya, kita dijanjikan bahwa kesetiaan kita untuk mengabarkan Injil akan menghasilkan “reward” seperti rumah yang semakin megah dibangun bagi kita di masa kekekalan. Cara pandang seperti ini tidak biblical, karena Alkitab tidak pernah menjanjikan secara detail seperti demikian. 

Alkitab memberikan harapan akan kedatangan Kristus yang kedua kali dan kemuliaan yang diberikan bagi umat-Nya yang setia kepada-Nya. Pengharapan seperti ini yang dicatatkan oleh Alkitab, tetapi pengharapan ini pun tidak menjadi pengharapan yang sentral dalam iman Kristen. Alkitab mengajarkan kita untuk berharap pada Kerajaan Allah yang dinyatakan sepenuhnya, di mana Kristus sebagai Rajanya. Pengharapan kemuliaan yang diberikan juga kepada umat-Nya harus dipandang dari kacamata Kerajaan Allah ini.

4. Menggunakan Kerajaan Allah sebagai wadah untuk membangun kerajaan diri

Saat Kerajaan Allah sepenuhnya dinyatakan, pasti kemuliaan Allah dengan jelas disaksikan oleh dunia ini. Bahkan Alkitab menyatakan bahwa pada saat itu, semua lutut akan bertelut kepada Allah. Sangat mudah bagi manusia yang berdosa untuk mengambil kesempatan untuk membangun kerajaan diri di tengah-tengah pernyataan Kerajaan Allah. Hal ini juga yang diharapkan oleh murid-murid Yesus saat mereka mengikuti-Nya. Mereka berharap untuk menjadi orang yang terpandang dan berkedudukan penting ketika Yesus menjadi Raja. 

Bahkan mereka sampai bertengkar meributkan perkara siapa yang akan menjadi utama dalam Kerajaan ini. Pemikiran seperti ini masih terus bercokol kuat dalam kekristenan pada saat ini. Harapan bagi kemuliaan diri masih menjadi motif kita dalam mengikut Kristus. Padahal Alkitab sudah jelas mengatakan bahwa kita hanyalah hamba-hamba Allah yang tidak berguna. Kita dipanggil untuk menjalankan perintah Allah dan semua itu bukan bagi kemuliaan diri tetapi bagi pernyataan Kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya. Allah yang layak semakin ditinggikan dan kita sebagai hamba-Nya semakin tidak dipandang, itulah yang Alkitab nyatakan.

5. Berharap kepada kontinuitas kehidupan saat ini dengan langit dan bumi yang baru

Eskatologi Alkitab juga mengajarkan bahwa segala yang kita kerjakan di dalam dunia ini akan berkaitan dengan langit dan bumi yang baru, terdapat continuity dan discontinuity antara saat ini dan masa yang akan datang. Walaupun banyak interpretasi mengenai detail continuity dan discontinuity, tetapi Alkitab tidak menyatakannya secara jelas. Ketekunan dalam hal yang kita kerjakan saat ini dengan motivasi bahwa apa yang kita kerjakan akan berkelanjutan dengan langit dan bumi yang baru, bisa merupakan pengharapan yang palsu. 

Memang Alkitab menyatakan adanya continuity, tetapi Alkitab juga menyatakan bahwa dunia dan seluruh isinya akan binasa. Alkitab memperingatkan kita untuk tidak berinvestasi di dunia ini seolah investasi ini akan terus berlanjut hingga kekekalan. Seharusnya yang kita kerjakan di dunia ini adalah kehendak Allah yang kita nyatakan di dalam ketaatan menjalankan panggilan-Nya bagi hidup kita (vocation).

Dari lima poin jebakan yang dipaparkan oleh Poythress, kita dapat melihat kesamaan di dalam motif jebakan ini, yaitu semangat hedonisme yang ingin membangun kemuliaan diri untuk dinikmati di masa yang akan datang.
Biblical Eschatology Implication for Economics Thought

Eskatologi Alkitab mengajarkan kita untuk memandang akan masa ini dan juga masa yang akan datang. Kedua masa ini tidak boleh diabaikan. Harapan akan masa yang akan datang sekaligus ketekunan dalam menjalankan tanggung jawab pada masa ini, itulah cara pandang yang diberikan oleh eskatologi Alkitab. Semua dijalankan dengan motivasi dan harapan akan pernyataan Kerajaan Allah. Pola pikir yang sama harus kita terapkan dalam kita berekonomi.

Kembali kita harus menyadari bahwa ekonomi sering kali membawa kita untuk mengabaikan masa yang akan datang dan berfokus pada masa ini. Kita dijebak dalam sebuah kondisi yang menjebak kita di dalam masa ini sehingga seluruh waktu dan hidup kita tersita untuk mengkhawatirkan akan masa ini. Kita banting tulang berusaha dalam pendidikan maupun pekerjaan kita, demi menggapai ambisi diri yaitu pengharapan akan signifikansi diri yang diakui oleh dunia. 

Baik saat kita berhasil maupun gagal, pandangan kita akan tetap tertuju pada masa kini. Sehingga keberhasilan sering kali disertai dengan keangkuhan diri dan kegagalan disertai dengan putus asa dan self-pity yang terus-menerus menjerat diri. Kedua hal ini semakin merusak diri kita sebagai gambar Allah.


Sebaliknya, eskatologis Alkitab membawa kita untuk menyadari bahwa berekonomi adalah sebuah manifestasi ketaatan kita kepada Allah dalam menyatakan Kerajaan-Nya. Dengan kacamata Kerajaan Allah, kita akan berespons dengan tepat di dalam setiap situasi yang kita hadapi. Kita banting tulang berjuang karena kita mau taat kepada pimpinan dan panggilan Tuhan atas hidup kita (God’s will). 

Di saat memperoleh keberhasilan, kita akan dengan bijaksana menggunakan kelimpahan yang Tuhan berikan dan kita pun terhindar dari keangkuhan diri, karena segala keberhasilan dapat dicapai karena pemeliharaan Allah (God’s providence), serta menyadari semua ini diberikan untuk membangun Kerajaan Allah. 

Kalaupun kita menjumpai kegagalan di dalam usaha kita, keputusasaan tidak akan menjerat diri kita. Karena kita menyadari janji Tuhan bagi umat-Nya, bahkan teladan kehidupan Kristus maupun tokoh-tokoh Alkitab lainnya dapat menjadi bukti janji Allah yang menguatkan kita untuk terus bertekun dalam pekerjaan-Nya (God’s promise).

Triad dalam Kerajaan Allah ini menjadi konsep yang mengarahkan praktik dalam bidang ekonomi. Bidang ekonomi bukan bidang yang dapat kita jadikan wadah untuk membangun kerajaan diri di masa ini. Bidang ekonomi juga bukan sebuah investasi untuk membangun supremasi diri di masa yang akan datang. Tetapi ekonomi adalah sebuah wadah yang Tuhan berikan bagi kita, untuk menyatakan the Kingdom of God.

Closing Remark on Reformed Theology and Economics

Dua belas artikel mengenai Reformed Theology and Economics yang sudah kita bahas dalam satu tahun ini adalah sebuah pemicu. Stimulasi ini diperuntukkan bagi yang bergumul secara langsung di dalam bidang ekonomi, maupun bagi semua yang secara tidak langsung bergumul karena aspek ekonomi adalah salah satu bagian dari hidup kita. Pemaparan ini hanya sebuah pemicu untuk kita bergumul dan terus memikirkan integrasi Reformed Theology dengan Ilmu Ekonomi. Hal ini adalah bagian dari mengusahakan karya penebusan yang telah Kristus genapi dan Roh Kudus kerjakan dalam diri kita.

Sebuah kerangka berpikir yang penulis berikan dalam kita menerapkan karya penebusan di bidang ilmu ekonomi adalah sebagai berikut:

Triad dari Redeeming Economics ini adalah suatu kerangka berpikir dalam kita menganalisis ilmu maupun praktik ekonomi yang ada pada saat ini. Seluruh pemikiran maupun praktik dalam ilmu ekonomi dilakukan dengan menjalankan tiga sudut pandang ini sebagai prinsip dasar, yaitu: menghadirkan Kerajaan Allah (artikel 12), membangun masyarakat yang adil dan makmur (artikel 9), dan membagikan berkat Allah (artikel 11). Kerangka berpikir ini mengajak kita untuk memikirkan ekonomi secara komprehensif dan kembali menjalankannya berdasarkan prinsip Alkitab.

Sebagai orang Reformed kita belajar untuk menjalankan mandat budaya. Hal ini bukan sebuah pilihan tetapi sebuah keharusan karena itu adalah mandat yang Tuhan berikan kepada umat-Nya. Biarlah seri artikel “Reformed Theology and Economics” ini dapat memicu kita untuk menggumulkan panggilan kita. Ekonomi yang selama ini dipakai sebagai alat untuk memuaskan nafsu berdosa dan keserakahan manusia harus kita rebut kembali. Menjadikan ekonomi sebagai wadah pernyataan kebenaran Allah yang kita gumulkan bagi kemuliaan Allah dan Kerajaan-Nya. Soli Deo Gloria.

Next Post Previous Post