TRANSFORMASI KEBUDAYAAN: MANDAT PENGUDUSAN BUDAYA BAGI KEMULIAAN ALLAH
Samuel T. Gunawan., M.Th
TRANSFORMASI KEBUDAYAAN: MANDAT PENGUDUSAN BUDAYA BAGI KEMULIAAN ALLAH. Istilah “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “buddhayah”, merupakan bentuk jamak dari kata “buddhi”, yang berarti “budi, pengertian, ingatan, akal, perasaan, maksud, cita dan pendapat”. Disini budaya dikaitkan dengan pikiran, batin dan akal budi. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari kegiatan dan penciptaan pikiran, batin dan akal budi manusia, misalnya : kepercayaan, kesenian, adat-istiadat, dan sebagainya.
Menurut Koentjaraningrat, pakar kebudayaan Indonesia, bahwa kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karya itu.
Greg Scharf menyebutkan budaya sebagai “jumlah total dari cara hidup yang dibangun oleh komunitas manusia dan diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya”. Charles H. Kraft, seorang pemimpin Kristen-Kharismatik Gerakan Gelombang Ketiga (The Third Wave Movement), profesor Antropologi dan Komunikasi Budaya di School of Mission, Fuller Theological Seminary, di Pasadena-California, AS mendefinisikan kebudayaan sebagai sistem yang mencakup seluruh cara hidup dan cara berpikir sekelompok masyarakat sehingga mereka dipersatukan dan memberi kelompok tersebut rasa jati diri dan harga diri. Budaya menunjukkan cara bagaimana sekelompok masyarakat bertindak bersama agar tetap bertahan dan dapat mengungkapkan rasa dan keyakinan-keyakinan mereka serta mewujudkan kesenangan hidupnya.
KOMPONEN DAN CIRI-CIRI KEBUDAYAAN
Berdasarkan definisi Charles H. Kraft di atas, kita dapat menemukan kenyataan bahwa dalam suatu masyarakat terdapat banyak sistem kehidupan seperti misalnya sistem politik, sistem ekonomi, sistem kesusastraan, sistem kesenian, sistem peraturan (adat istiadat atau norma), sistem agama dan lain-lain. Kita menyebut sistem-sistem kehidupan dalam kebudayaan tersebut sebagai komponen budaya.
Sedangkan ciri-ciri kebudayaan menurut J. Verkuyl ada tiga, yaitu: (1) Bersifat historis; (2) Mengalami perubahan dan perkembangan; (3) Menghasilkan nilai tertentu. Berdasarkan ciri-ciri yang dikemukan J. Verkuyl tersebut di atas, yang ingin saya tekankan adalah kenyataan bahwa tidak ada kebudayaan yang tidak akan mengalami perubahan.
Sejarah telah menunjukkan banyak perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam diri dan kehidupan manusia serta lingkungan dari yang zaman paling sederhana hingga yang tercanggih saat ini. Kenyataan menujukkan bahwa sejarah kebudayaan terus bergerak maju, mengalami perubahan, dan menciptakan hal-hal yang baru.
BAGAIMANA SIKAP KRISTEN TERHADAP KEBUDAYAAN?
Richard Niebuhr menyebutkan lima pendekatan dan sikap yang berbeda dari orang-orang Kristen (gereja) terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture, yaitu: (1) Sikap antagonik yang menentang dan menolak kebudayaan karena dianggap duniawi dan jahat; (2) Sikap akomodatif yang menerima kebudayaan dengan cara adaptasi (menyesuaikan) diri dengan kebudayaan; (3) Sikap dominatif yang berusaha menguasai kebudayaan dan menempatkannya dibawah kendali gereja; (4) Sikap dualistik yang memisahkan antara gereja dan kebudayaan, tetapi menerima dan menjalankan keduanya; (5) Sikap transformatif yaitu melalui pengudusan kebudayaan. Pandangan yang terakhir lebih teologis dan Alkitabiah dibandingkan empat pandangan lainnya.
Mengapa? Karena orang Kristen (gereja) hadir bukan untuk menolak kebudayaan, bukan untuk menyesuaikan Kekristenan dengan kebudayaan, bukan juga untuk menguasai kebudayaan ataupun mendualistik kebudayaan, melainkan mentransformasi kebudayaan melalui usaha atau proses pengudusan sehingga kebudayaan diarahkan untuk hal yang lebih baik sesuai kehendak Tuhan dan bermanfaat bagi sesama. Dalam transformasi kebudayaan pendekatan yang dilakukan adalah menghargai kebudayaan, namun pendekatan ini juga menguji segala sesuatu berdasarkan Kitab Suci (Alkitab).
LANDASAN TEOLOGIS-ALKITABIAH TRANSFORMASI KEBUDAYAAN
Bagian Alkitab yang menjadi dasar interpretasi teologis dari transformasi kebudayaan, yaitu: (1) Kejadian 1:28; 2:5 adalah mandat budaya dimana manusia diperintahkan untuk bereproduksi, berkuasa, mengusahakan dan memelihara ciptaan. Untuk melakukan tugas-tugas itu manusia diberi berkat dan kecerdasan berupa kemampuan, bakat, dan ketrampilan; (2) Mazmur 150; Roma 11:36 adalah tujuan kebudayaan yaitu mengabdi kepada Tuhan dan memuliakanNya; (3) Matius 5:13-14 adalah mandat pengudusan kebudayaan melalui dua kualitas penetratif “garam” dan “terang” yang mentransformasi kebudayaan; (4) Efesus 2:10; 1 Korintus 9:20-24 adalah landasan praktik dan ekspresif untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik bagi sesama dengan menggunakan kebudayaan sebagai alat (sarana) yang memuliakan Tuhan.
PENDEKATAN APLIKATIF TRANSFORMASI KEBUDAYAAN
Kita mengetahui bahwa beberapa unsur kebudayaan manusia memiliki keindahan dan kebaikan, tetapi karena manusia telah jatuh dalam dosa, maka seluruh kebudayaannya ikut ternoda oleh dosa. Dengan demikian, kebudayaan perlu dikuduskan sehingga menjadi alat yang mewujudkan kemuliaan Allah melalui tiga cara aplikatif, yaitu:
(1) Mempertahankan semua atau beberapa unsur kebudayaan yang bersifat netral seperti tata krama, etika pergaulan, bahasa, musik, pakaian dan lainnya;
(2) Mengubah unsur-unsur kebudayaan yang tidak sesuai dengan iman dan ajaran Kristen. Kita ingat kembali bahwa salah satu ciri kebudayaan adalah sifatnya yang terus bergerak maju dan mengalami perubahan. Jadi kita dapat melakukan beberapa modifikasi dari kebudayaan dengan mengembangkan bentuk dan cara baru yang mempunyai fungsi yang sama, serta memberi tafsiran baru pada cara atau bentuk kebudayaan tersebut;
(3) Melepaskan beberapa unsur kebudayaan yang tidak sesuai dengan iman Kristen dan Alkitab, yaitu unsur-unsur kebudayaan yang tidak mungkin dikuduskan, misalnya : tradisi poligami, ritual kematian, pemanggilan arwah, dan bentuk-bentuk lain yang berkaitan dengan praktek spiritisme, animisme dan kuasa kegelapan (roh-roh jahat).
Pengudusan kebudayaan melalui pendekatan aplikatif tersebut akan : (1) Menjaga kita tetap dalam koridor iman Kristen (sesuai Alkitab); (2) Menghindarkan kita dari sinkretisme (pencampuran iman dan ritual budaya); (3) Serta “membangun jembatan” komunikasi yang kontekstual dan relevan dalam memenuhi panggilan kita menjadi garam dan terang.
PENUTUP
Akhirnya, saya sependapat dengan Charles H. Kraft yang menyatakan dengan tegas bahwa Allah itu transenden (di atas) dan absolut (mutlak berdaulat), dan bahwa Allah berada di atas budaya, namun bertindak melalui budaya. Budaya adalah alat yang netral dan ada (exist) agar dimanfaat oleh manusia untuk memuliakanNya, Namun, karena kejatuhan dan pemberontakan manusia maka budaya telah disusupi oleh sifat keberdosaan manusia sehingga dimanfaat oleh Iblis sebagai alat untuk memujanya dan disalahgunakan bagi kejahatan.
Tetapi Allah tidak tinggal diam, melalui orang-orang percaya (gerejaNya), Allah mentransformasi kebudayaan dan menguduskannya; Allah mengembalikan kebudayaan pada tujuannya, yaitu untuk menyatakan kehendak dan rencanaNya, yang memuliakan namaNya dan bagi kebaikan sesama.