ADAKAH PERKAWINAN MANUSIA DI SURGA KELAK? (TANGGAPAN TERHADAP PDT.DR. ERASTUS SABDONO)
Pdt.Samuel T.Gunawan,M.Th.
(SEBUAH TANGGAPAN TERHADAP AJARAN PERKAWINAN DI DUNIA YANG AKAN DATANG VERSI PDT. DR. ERASTUS SABDONO, M.Th)
PENDAHULUAN :
Kesalahan tafsir (exegetical fallacy) yang dilakukan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th[1] ternyata bukan hanya soal ajarannya tentang “corpus delicti”,[2] tetapi juga dalam ajarannya tentang “PERKAWINAN DI DUNIA YANG AKAN DATANG”. Menurutnya, bahwa kemungkinan kelak ada perkawinan antara sesama manusia di surga sesuai pola Allah (dijodohkan Allah). Perhatikan kutipan berikut ini, “Dalam konteks ini Tuhan Yesus menegaskan bahwa budaya seperti di bumi yaitu perkawinan levirat tidak ada sama sekali dalam dunia yang akan datang. Mengapa tidak ada lagi?
Pertama, sebab di langit baru dan bumi yang baru tidak ada kematian. Ketika Tuhan Yesus menyatakan bahwa di dunia yang akan datang orang tidak kawin dan dikawinkan, ia sedang berdialog dengan orang Saduki, yaitu suatu komunitas di Israel pada waktu itu yang tidak percaya adanya kebangkitan. Kalau di dunia yang akan datang tidak ada kematian maka seandainya ada perkawinan maka tidak akan ada perkawinan levirat. Kedua, seandainya di dunia yang akan datang ada perkawinan pastilah pola yang digunakan adalah pola yang telah digariskan oleh Tuhan dalam kitab Kejadian, yaitu pada waktu awal dunia ini. Dalam perkawinan Allahlah yang menjodohkan bukan karena adat istiadat manusia.”[3]
Pendapat bahwa kemungkinan kelak ada perkawinan antara sesama manusia di surga sesuai pola Allah (dijodohkan Allah) tersebut saya persoalkan karena dalam penelitian saya, sejauh yang dapat saya ketahui seperti yang disingkapkan di dalam Alkitab, bahwa di surga kelak tidak ada perkawinan antara sesama manusia, bahkan kemungkinan untuk hal itu pun tidak ada! Perlu disadari, bahwa memang telah lama berkembang mitos-motos Yunani yang menggambarkan surga sebagai tempat indah dengan kenikmatan yang tidak ada bedanya dengan dunia yang berdosa ini, antara lain tentang adanya pernikahan, adanya putri-putri cantik yang seksi, makanan lezat yang menggiurkan dan minuman yang memabukkan.
Selain itu, pendapat tersebut saya persoalkan karena pendapat itu berseberangan dengan tafsiran dari para ahli Alkitab dan pakar teologi (yang diakui kesarjanaan dan kepakaran mereka) yang menyatakan bahwa di surga nantinya tidak akan ada perkawinan sesama manusia seperti halnya perkawinan di dunia ini.
Alkitab mengajarkan bahwa surga bukanlah soal jasmani, bukan soal makan dan minum, bukan juga soal kawin dan mengawinkan secara jasmani. Saya juga telah meneliti ini, bahwa satu-satunya perkawinan di surga kelak yang disebutkan dalam Alkitab adalah perkawinan Anak Domba Allah (Wahyu 19:7-8).
Perkawinan Anak Domba adalah suatu gambaran “perkawinan” antara Kristus sebagai mempelai pria dengan orang percaya (gereja) sebagai mempelai wanita, tetapi bukan perkawinan jasmani. Pernikahan Anak Domba itu menunjukkan pada klimaks hubungan kasih antara Kristus dengan dengan gerejaNya. Rasul Paulus membandingkan pernikahan jasmani dengan pernikahan rohani Kristus dan jemaatNya demikian, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat” (Efesus 5:31-32; bandingkan 2 Korintus 11:2). Jadi kelak di surga akan ada suatu pesta, yaitu pesta perkawinan Anak Domba yang dipersiapkan oleh Allah Bapa. Pesta tersebut merupakan suatu puncak pesta yang paling meriah dan sukacita bagi AnakNya yang telah menyelesaikan pekerjaan penebusan dengan sempurna. Pada saat itu orang-orang percaya (gerejaNya) dihadapkan kepada Allah Bapa oleh Yesus Kristus dalam segala kemuliaan surgawi. Gereja, yakni pengantin Kristus tersebut tentu saja telah memenuhi kriteria dengan melewati beberapa persiapan sebagai persyaratan, yaitu : (1) Dibenarkan. Pengantin itu telah menerima Kristus dan diberi jubah kebenaran (2 Korintus 5:21; Filipi 3:9); (2) Dikuduskan. Pengantin itu telah bertumbuh dalam pengenalan akan Kristus dan menjadi serupa denganNya (2 Korintus 3:18; Efesus 5:25-27; 2 Petrus 3:18); (3)Dimuliakan. Pengantin itu telah diubah dalam tubuh kemuliaan yaitu pada saat kebangkitan dan pengubahan di hari pengangkatan gereja (1 Yohanes 3:2). Ringkasnya, di surga nanti tidak ada perkawinan jasmani antara sesama manusia, satu-satunya yang disebut oleh Alkitab adalah pernikahan rohani Anak Domba (Kristus) dengan orang percaya (gerejaNya).
BAHAYANYA AJARAN “PERKAWINAN DI DUNIA YANG AKAN DATANG”.
Ada bahaya besar dibalik ajaran “PERKAWINAN DI DUNIA YANG AKAN DATANG” versi Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th! Ajarannya tersebut berbahaya karena memberikan harapan palsu bagi orang Kristen, terutama bagi pengikut-pengikut ajarannya yang saya sebut dengan istilah “erastusianis”. Mereka yang tidak mengalami kebahagiaan pernikahan di dunia ini diberi pengharapan palsu bahwa di dunia yang akan datang mereka akan mendapatkan kebahagiaan dalam suatu perkawinan yang dijodohkan Allah sendiri. Alasan mereka tidak berbahagia dalam perkawinan di bumi ini karena ternyata jodoh yang menjadi pasangan mereka tersebut adalah pilihan mereka sendiri, bukan Tuhan yang memilihnya. Namun bahaya utamanya adalah ketika ia menganggap pendapatnya itu sendiri sebagai kebenaran padahal pendapat tersebut bertentangan dengan kebenaran. Dalam banyak kesempatan ia selalu menekankan slogan “memberitakan firman Tuhan yang murni” seakan-akan tafsirannya sendiri yang paling benar dan menganggap tafsiran orang lain (ahli Alkitab dan pakar teologi) salah. Namun ternyata dibalik slogan tersebut terselip “penyesatan terselubung”. Istilah “penyesatan terselubung” ini saya pinjam dari Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th sendiri.[4] Satu dari beberapa ajarannya yang keliru adalah perihal kemungkinan adanya perkawinan antara manusia di surga kelak. Pendapat tersebut didasarkan atas tafsirannya terhadap pernyataan Yesus dalam teks Matius 22:30 yang secara eksplisit menolak kemungkinan adanya perkawinan di surga justru telah diplintirnya untuk menunjukkan adanya kemungkinan perkawinan di surga.
Untuk mendukung pendapatnya tentang kemungkinan adanya perkawinan di surga kelak, Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th dengan tanpa rasa malu menyebut orang-orang yang tidak sependapat dengannya berpikiran sempit dan tidak pernah belajar seluk beluk dunia yang akan datang. Berikut kutipan pernyataannya, “Kalau kita menjawab dengan tegas dan jelas serta mencoba merumuskan bahwa di dunia yang akan datang nanti ada perkawinan, kita bisa menjadi batu sandungan bagi mereka yang berpikir sempit dan tidak pernah belajar seluk beluk dunia yang akan datang. Untuk ini kita harus menghindarkan diri dari tuduhan bahwa kita berpikir jorok, bermental rendah dan suka kawin sampai-sampai di sunia yang akan datang pun berharap ada perkawinan. Padahal kita tidak mempersoalkan apakah di dunia yang akan datang ada perkawinan atau tidak sebab yang penting di dunia yang akan datang kita bertemu dengan Tuhan Yesus”.[5] Namun ironisnya, setelah menyatakan bahwa ia tidak mempersoalkan apakah di dunia yang akan datang ada perkawinan atau tidak, ia kemudian membuat kontradiktif pernyataanya sendiri, ketika ia mengatakan, “Berhubung ada beberapa data yang tertulis dalam kitab yang memiliki relasional berkenaan dengan perkawinan di dunia yang akan datang, maka perlulah sedikit kita memperkarakan beberapa teks Alkitab sekitar ini dan mencoba menggali kebenaran yang terdapat di dalamnya. Tulisan ini bukan bermaksud membela bahwa di dunia yang akan datang ada perkawinan tetapi juga tidak menyangkal mutlak bahwa di dunia yang akan datang tidak ada perkawinan”.[6]
PERNYATAAN-PERNYATAAN YANG KONTRADIKTIF
Bagi saya, sulit untuk mempercayai pendapat dari seseorang yang pernyataannya kontradiktif dan terkesan tidak bertanggung jawab seperti halnya pernyataan-pernyataan dalam artikel Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th di dalam Artikelnya “PERKAWINAN DI DUNIA YANG AKAN DATANG” tersebut. (1) Pernyataannya ini “tidak mempersoalkan”, tetapi “memperkarakan” adalah pernyataan kontradiktif. (2) Pernyataaannya, “bukan bermaksud membela bahwa di dunia yang akan datang ada perkawinan tetapi juga tidak menyangkal mutlak bahwa di dunia yang akan datang tidak ada perkawinan” adalah kontradiktif, karena diseluruh pembahasan selanjutnya ia menunjukkan dan berusaha membuktikan bahwa kemungkinan adanya perkawinan di surga kelak. (3) Demikian juga pernyataan, “Memang malaikat adalah roh, tetapi bagaimana proses multiplikasi atau berkembang baik jumlah populasinya kita tidak tahu. Terus terang hal ini masih misteri. Oleh sebab itu, seharusnya kebenaran mestinya tidak dilandaskan pada hal yang masih bersifat misteri. Untuk hal ini sebaiknya kita diam dan tidak gegabah membuat rumusan”[7] adalah jelas-jelas merupakan pernyataan yang kontradiktif karena selanjutnya ia berusaha merumuskan dengan gegabah kebenaran ajarannya sendiri berdasarkan rumusan dari yang bersifat misteri itu.
Selanjutnya, dalam dua paragraf awal dan akhir dari ajaran “PERKAWINAN DI DUNIA YANG AKAN DATANG” terkesan nada tidak bertanggung jawab terhadap ajarannya sendiri. Perhatikan kedua paragraf tersebut berikut ini: (1) Paragraf awal demikian bunyinya, “Bisa sangat terkesan konyol atau mengada-ada bila diperkarakan mengenai apakah di dunia yang akan datang ada perkawinan? Ini adalah pertanyaan yang sangat sukar sekali ditemukan jawabannya dan selama ini juga tidak ada jawaban yang tegas dan jelas mengenai hal tersebut. Faktanya banyak orang menghindar untuk mempercakapkan, atau sudah merasa telah menemukan jawabannya bahwa di dunia yang akan datang tidak ada perkawinan, titik. Tetapi berhubung kita harus membedah seluk beluk dunia yang akan datang kita tidak dapat menghindar dari mempersoalkannya. Oleh sebab itu mau tidak mau kita harus memperkarakan hal tersebut. Ini bukan berarti menganjurkan atau memaksa saudara untuk mempercayai bahwa ada perkawinan di dunia yang akan datang”; (2) Paragraf akhir demikian bunyinya, “Satu lagi yang perlu dipertimbangkan adalah apakah malaikat bisa memahami pergumulan manusia mengenai seks, cinta dan perkawinan kalau makhluk ciptaan ini tidak mengerti sama sekali mengenai hal ini? Bukan tidak mungkin Tuhan juga memberi kepada malaikat nature mengenai hal ini supaya mereka bisa menjadi penolong bagi manusia, sebab memang malaikat dipakai Tuhan untuk melayani orang-orang yang yang diselamatkan (Ibr 1:14). Tetapi hal ini tidak perlu dipersoalkan, hanya menjadi bahan pertimbangan saja”.[8] Pernyataan “Ini bukan berarti menganjurkan atau memaksa saudara untuk mempercayai bahwa ada perkawinan di dunia yang akan datang” dan pernyataan “Tetapi hal ini tidak perlu dipersoalkan, hanya menjadi bahan pertimbangan saja” adalah pernyataan dari orang yang tidak bertanggung jawab. Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th di dalam ajarannya tentang “PERKAWINAN DI DUNIA YANG AKAN DATANG” telah membuat rumusan pernyataannya sendiri yang dianggapnya sebagai kebenaran bahwa kemungkinan di dunia yang akan datang ada perkawinan manusia menurut pola Allah. Ajaran ini kemudian disebarluaskan kepada jemaat dan orang banyak, sambil mengatakan “tidak perlu dipersoalkan” dan “ini bukan berarti menganjurkan atau memaksa saudara untuk mempercayai bahwa ada perkawinan di dunia yang akan datang”. Jadi dengan pernyataan-pernyataan itu Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th dapat disamakan dengan seseorang yang melemparkan bola api ke semak belukar hingga terbakar, lalu dengan santainya berkata, “saya tidak membakar semak belukar itu, saya hanya melemparkan bola apinya!” Sebuah ironi yang konyol!
ASUMSI DASAR PDT. DR. ERASTUS SABDONO, M.TH DAN SIMPULANNYA YANG KELIRU
Di atas saya telah menyebutkan bahaya dari ajaran “PERKAWINAN DI DUNIA YANG AKAN DATANG” dan beberapa pernyataan kontradiktifnya, tanpa menyinggung hal-hal yang bersifat teknis teologis. Berikutnya saya akan memberikan analisis yang bersifat teknis teologis untu menunjukkan kesalahan eksegesis yang dilakukan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th dalam ajaran tersebut. Perlu dimengerti bahwa setiap orang bertindak atas dasar anggapan-anggapan atau asumsi-asumsi. Sebagai contoh, orang ateis yang mengatakan tidak ada Allah pasti mempercayai anggapan dasar tersebut. Karena mempercayai hal itu, maka pandangannya terhadap dunia, umat manusia, dan masa depan sama sekali berbeda dengan orang yang percaya bahwa Allah itu ada. Sebaliknya, orang teis percaya akan adanya Allah, karena itu mereka mempunyai banyak sekali bukti yang kuat untuk mendukung kepercayaan itu, tetapi sebagai dasarnya adalah bahwa dia yakin akan anggapannya bahwa Allah ada. Demikian juga halnya dengan Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th ketika membahas tentang perkawinan di dunia yang akan datang nampaknya bertitik tolak dari anggapan atau asumsi pribadinya. Paling sedikit ada tiga anggapan dasarnya yang dapat diamati terhadap teks Matius 22:30, yang mana asumsi-asumsi tersebut terjalin menjadi satu dan mengarahkannya untuk menarik kesimpulan bahwa di dunia yang akan datang (surga) kemungkinan akan ada perkawinan sesuai pola Allah (dijodohkan Allah). Saya melihat adanya kesalahan eksegesis (exegetical fallacy) yang dilakukan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th terhadap maksud dari teks dalam Matius 22:30 tersebut, yaitu kesalahan eksegesis yang dikenal dengan istilah “eisegesis”.[9] Eisegesis merupakan kebalikan dari eksegesis. Sementara eksegesis adalah usaha mencari tahu apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh penulis kepada pembaca mula-mula dan membiarkan teks berbicara sebagaimana apa yang dimaksudkan oleh penulisnya kepada pembaca mula-mula dari teks tersebut, sebaliknya, eisegesis merupakan kesalahan karena memaksakan pemahaman atau makna suatu teks berdasarkan sesuatu ide yang didapatkan dari luar teks tersebut. Kesalahan eksegesis yang dilakukan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th terhadap teks Matius 22:30 ini terjadi disebabkan ia membawa atau memasukkan idenya sendiri ke dalam teks tersebut, yaitu ide yang tidak dimaksudkan oleh teks tersebut. Hal ini bisa terjadi karena Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th dalam memahami teks dipengaruni oleh asumsi atau pandangan teologinya sendiri, sehingga memaksanya untuk menafsirkan teks tertentu tersebut sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Adapun asumsi-asumsi Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th. tersebut itu adalah sebagai berikut: (1) Bahwa konteks dari teks Matius 22:30 tersebut bukan mempersoalkan ada atau tidaknya perkawinan di dunia yang akan datang (surga), melainkan mempersoalkan apakah di surga nanti ada adat istiadat perkawinan (lavirat) seperti di bumi. (2) bahwa makna dari frase “tidak kawin dan mengawinkan” dalam teks Matius 22:30 bukan berarti bahwa di dunia yang akan datang tidak akan ada perkawinan. (3) bahwa makna dari frase “melainkan hidup seperti malaikat di surga” dalam teks Matius 22:30 bukan berarti tidak ada perkawinan di dunia yang akan datang, karena Alkitab tidak menuliskan dengan tegas bahwa malaikat tidak kawin.
Berdasarkan tiga asumsi tersebutlah Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th membangun suatu pandangan teologinya bahwa di dunia yang akan datang ada kemungkinan perkawinan manusia, hanya polanya tidak seperti adat istiadat (levirat) atau budaya manusia di bumi ini tetapi menurut pola Allah sendiri, yaitu dijodohkan Allah. Mungkin saja ide tentang adanya perkawinan di dunia yang akan datang tersebut telah ada di dalam benaknya, tetapi ia hanya memerlukan pembuktian dari Alkitab untuk mendukung ide tersebut, dan dukungan tersebut justru temukannya di dalam teks Matius 22:30 yang jelas-jelas secara eksplisit menyatakan membantah adanya perkawinan di dunia yang akan datang. Pertanyaannya pentingnya ialah, “bagaimanakah cara Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th menafsirkan teks Matius 22:30 tersebut sehingga menghasilkan tafsiran yang melenceng tersebut? Karena asumsi-asumi itu penting sebagai dasar dari pandangan teologinya, maka cukup bermanfaat jika kita meninjau argumen-argumen yang yang menjadi dasar dari asumsi-asumsi Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th tersebut.
1. Menafsirkan konteks yang berhubungan dengan teks. Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th Erasus Sabdono menjelaskan bahwa pertanyaan orang-orang Saduki terhadap Tuhan Yesus dalam teks tersebut adalah mempersoalkan “siapa yang akan menjadi suami dari ke tujuh pria bersaudara yang menikahi wanita ini di dunia yang akan datang kalau ada kebangkitan?” Karena kita tahu bahwa orang-orang Saduki tidak percaya adanya kebangkitan. Dan menurut Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th “Tuhan Yesus tidak menjawab pertanyaan secara eksplisit bahwa setelah kebangkitan tidak ada perkawinan, tetapi tidak kawin dan mengawinkan”.[10] Dan lebih jauh menurutnya, “Jika kita menghubungkan pernyataan Tuhan tersebut dengan konteks percakapan, yang dipercakapkan adalah mengenai ‘budaya atau adat kawin dan dikawinkan’ (Matius 22:23-32). Jadi, harus diperhatikan konteks paragraph ini, bahwa ada kemungkinan Tuhan Yesus tidak mempermasalahkan ada perkawinan atau tidak di dunia yang akan datang, tetapi Tuhan Yesus mempersoalkan apakah ada ‘adat istiadat perkawinan’ seperti yang ada di bumi ini. Kalau seorang suami meninggal dan tidak memberi keturunan kepada istrinya maka saudara laki-laki tersebut harus mengawini istrinya untuk memberi keturunan. Ini yang disebut sebagai levirate marriage (perkawinan levirat)”.[11] Dengan demikian, menurut asumsi Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, bahwa konteks dari teks Matius 22:23 tersebut bukan mempersoalkan ada atau tidaknya perkawinan di dunia yang akan datang (surga), melainkan mempersoalkan apakah di surga nanti ada adat istiadat perkawinan (lavirat) seperti di bumi. Begitulah caranya menafsirkan konteks Matius 22:30 tersebut.
2. Menafsirkan makna dari frase “tidak kawin dan mengawinkan”. Menurut Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, bahwa frase “tidak kawin dan mengawinkan” dalam ucapan Tuhan Yesus di Matius 22:30 tersebut tidak sama artinya dengan tidak ada perkawinan. Berikut kutipan pendapatnya, “Tuhan Yesus tidak menjawab pertanyaan secara eksplisit terhadap orang Saduki bahwa setelah kebangkitan tidak ada perkawinan, tetapi tidak ‘kawin dan mengawinkan’. Dalan teks bahasa Yunani adalah gamousin oute gamizontai. Dua kata tersebut dari akar kata gameo. Gamousin memiliki kasus kata kerja indicative present active third person plural, bentuknya aktif. Ini menunjuk orang yang sesuai dengan keinginannya memilih istrinya sendiri untuk dinikahi. Sedangkan kata gamizontai memiliki kasus kata kerja indicative present passive third person plural, bentuknya pasif, ini menunjuk orang yang menikah oleh karena orang lain yang menunjukkan jodoh untuk dinikahi. Tuhan Yesus berkata bahwa di dunia yang akan datang tidak kawin dan dikawinkan. Kalimat tersebut bisa saja berindikasi bahwa di dunia yang akan datang orang tidak kawin mencari jodoh sesukanya sendiri atau orang lain yang menjodohkan. Dengan jawaban ini Tuhan Yesus tidak mempersoalkan adat perkawinan, tetapi dengan tegas Tuhan tetap pada kebenaran bahwa ada realitas kebangkitan. Pernyataan Tuhan bahwa di dunia yang akan datang tidak kawin dan mengawinkan bisa juga berarti bahwa hal kawin dan mengawinkan bukan sesuatu yang utama, sebab yang penting ada kebangkitan dan kehidupan di balik kubur”.[12] Kemudian ia melanjutkan demikian, “Sangat besar kemungkinan atau bisa jadi yang dimaksud Tuhan bahwa yang di dunia yang akan datang tidak kawin dan tidak mengawinkan maksudnya adalah bahwa budaya perkawinan model perkawinan levirat tidak ada lagi”.
3. Menafsirkan makna dari frase “melainkan hidup seperti malaikat di surga”. Menurut Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, bahwa frase “hidup seperti malaikat di surga” dalam ucapan Tuhan Yesus di Matius 22:30 bukan berarti tidak ada perkawinan di dunia yang akan datang, karena kita Alkitab tidak menuliskan dengan tegas bahwa malaikat tidak kawin. Berikut kutipan pendapatnya, “Barangkali bisa dianggap terlalu cepat kalau kita menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “tidak kawin dan mengawinkan” adalah bahwa malaikat tidak mengalami perkawinan. Bagaimana kita tahu bahwa malaikat tidak mengalami perkawinan? Apakah Alkitab pernah menulis dengan jelas bahwa malaikat tidak kawin? Memang malaikat adalah roh, tetapi bagaimana proses multiplikasi atau berkembang baik jumlah populasinya kita tidak tahu. Terus terang hal ini masih misteri. Oleh sebab itu, seharusnya kebenaran mestinya tidak dilandaskan pada hal yang masih bersifat misteri. Untuk hal ini sebaiknya kita diam dan tidak gegabah membuat rumusan”.[13] Selanjutnya dikatakannya, “Kalau Tuhan Yesus berkata bahwa keadaan orang percaya akan seperti malaikat di dunia yang akan datang maksudnya apakah hanya soal perkawinan? Bisa saja mengenai ketaatan malaikat kepada Allah, bahwa tidak ada tindakan malaikat (malaikat terang) yang meleset sedikit pun dari kehendak Allah. Segala sesuatu yang dilakukan malaikat dalam kehendak atau seturut keinginan Allah sepenuhnya. Bisa jadi maksud Tuhan ‘seperti malaikat’ adalah bahwa manusia tidak bisa atau tidak boleh bertindak sesuka hatinya sendiri, juga dalam memilih jodoh. Di dunia yang akan datang semua manusia harus dan memang dengan sendirinya akan terkondisi untuk hidup dalam ketaatan kepada kehendak Allah. Itulah keadaan malaikat”.[14]
TANGGAPAN TERHADAP ASUMSI-ASUMSI PDT. DR. ERASTUS SABDONO, M.TH
Telah disebutkan di atas bahwa Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th nampaknya menarik kesimpulannya bahwa di dunia yang akan datang (surga) kemungkinan akan ada perkawinan sesuai pola Allah (dijodohkan Allah) didasarkan pada tiga anggapan dasar (asumsi) terhadap teks Matius 22:30, yaitu: (1) Bahwa konteks dari teks Matius 22:30 tersebut bukan mempersoalkan ada atau tidaknya perkawinan di dunia yang akan datang (surga), melainkan mempersoalkan apakah di surga nanti ada adat istiadat perkawinan (lavirat) seperti di bumi. (2) bahwa makna dari frase “tidak kawin dan mengawinkan” dalam teks Matius 22:30 bukan berarti bahwa di dunia yang akan datangtidak akan ada perkawinan . (3) bahwa makna dari frase “melainkan hidup seperti malaikat di surga” dalam teks Matius 22:30 bukan berarti tidak ada perkawinan di dunia yang akan datang, karena Alkitab tidak menuliskan dengan tegas bahwa malaikat tidak kawin.
Menanggapi pendapat Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, (sekali lagi pendapatnya itu bukanlah kebenaran dan saya tidak mengakui pendapat pribadinya tersebut sebagai kebenaran seperti slogan yang seringkali didengungkannya), maka saya telah menyusun argumen-argumen yang merupakan kebalikan dari asumsi-asumsinya yang juga menghasilkan kesimpulan pernyataan yang berlawanan dengan kesimpulannya. Disini saya akan menunjukkan berdasarkan penelitian terhadap teks Matius 22:30, bahwa Yesus secara eksplisit menyatakan tidak ada perkawinan di dunia yang akan datang, bahkan kemungkinannya pun tidak! Pendapat ini saya dasarkan atas asumsi-asumsi yang secara kotras terbalik susunan urut-urutannya dari asumsi-asumsi Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th.
Asumsi-asumsi saya tersebut adalah sebagai berikut: (1) bahwa frase “melainkan hidup seperti malaikat di surga” dalam teks Matius 22:30 jelas menunjukkan arti bahwa tidak ada perkawinan di dunia yang akan datang, karena Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa malaikat tidak kawin. (2) bahwa melalui frase “tidak kawin dan mengawinkan” dalam teks Matius 22:30 menunjukkan Yesus secara eksplisit hendak menegaskan bahwa di dunia yang akan datang tidak ada perkawinan. (3) bahwa berdasarkan asumsi 1 dan 2 tersebut di atas, maka konteks dari teks Matius 22:30 tersebut bukanlah mempersoalkan apakah di surga nanti ada adat istiadat perkawinan (lavirat) seperti pendapat Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, tetapi dengan tegas teks itu menyatakan bahwa di surga nanti tidak akan ada sama sekali perkawinan seperti halnya perkawinan di bumi. Berikut ini point-point penting argumentasi saya yang mendasari asumsi-asumsi dan kesimpulan tersebut di atas.
1.saya setuju dengan pendapat Grent R. Osborne, profesor Perjanjian Baru di Trinity Evangelical Divinity School yang menyatakan bahwa, “tahap pertama dari menentukan keutuhan internal suatu teks adalah menganalisis hubungan tiap unit atau istilah dalam suatu teks”.[15] Karena itu perhatikanlah bahwa secara khusus dalam menafsirkan teks Matius 22:30 ini saya tidak memulainya dari konteks tetapi dari makna frase “melainkan hidup seperti malaikat” di dalam teks tersebut (lihat susunan asusmi saya di atas). Karena makna seutuhnya dari teks tersebut bergantung pada pemahaman kita terhadap frase “melainkan hidup seperti malaikat”. Frase “melainkan hidup seperti malaikat” dalam frase Yunani Tectus Receptus adalah “αλλ ως αγγελοι του θεου εν ουρανω εισιν - all hôs aggeloi tou theou en ouranô eisin yang diterjemahkan dalam King James Version “but are as the angels of God in heaven (tetapi seperti para malaikat Allah di surga). Secara gramatikal,[16] kata Yunani “αλλ ως (all hos)” yang diterjemahkan ”tetapi seperti” (atau bisa juga diterjemahkan “tetapi sebagaimana”) dalam teks tersebut merupakan kata penghubung yang berfungsi sebagai pembanding frase sebelumnya dan juga menunjukkan kesetaraan makna antara kedua frase yang sedang diperbandingkan. Dengan kata lain, makna dari frase yang mendahului yaitu “tidak kawin dan tidak dikawinkan” sangat bergantung dari pemahaman terhadap frase pembanding berikutnya yaitu “melainkan hidup seperti malaikat”. Karena itulah kita perlu mengerti ajaran tentang natur dari para malaikat ini untuk dapat menarik makna sepenuhnya dari teks Matius 22:30 tersebut.
3. Berikut ini fakta-fakta penting tentang natur para malaikat. (1) Menurut Alkitab, para malaikat adalah mahluk ciptaan Allah (Mazmur 148-2-5; Kolose 1:15) yang diciptakan secara serentak dan tidak terhitung jumlahnya. Penyataan tentang penciptaan di Kolose 1:16 menunjukkan penciptaan malaikat yang tejadi hanya satu kali; tindakan penciptaan malaikat tidak berlangsung terus. Jumlah mereka dalam penciptaan beribu-ribu (Ibrani 12:22; Wahyu 5:11). (2) Para malaikat adalah mahluk roh (Ibrani 1:14). Meskipun malaikat dapat menyatakan diri mereka pada manusia dalam wujud tubuh manusia (Kejadian 18:3) mereka tetap disebut roh, hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki tubuh fisik seperti manusia. (3) Para malaikat tidak bertambah banyak dan tidak berkurang. Artinya jumlah (populasi) para malaikat tidak berubah dan akan selalu sama. Malaikat tidak melahirkan malaikat (Matius 22:30) dan mereka tidak akan mati (Lukas 20:36). (4) Para malaikat tidak berjenis kelamin atau tidak memiliki gender . Hal ini terlihat dari fakta mereka tidak kawin dan tidak dikawinkan (Matius 22:30), juga dari fakta tidak adanya perkembangbiakan di antara mereka. Namun malaikat selalu tampil sebagai seorang pria apabila pemunculan mereka digambarkan di dalam Alkitab. Malaikat tidak pernah digambarkan sebagai seorang wanita di dalam Alkitab.
2. Alkitab banyak berbicara dan menyingkapkan tentang para malaikat yang menujukkan pentingnya peran dan pelayan mereka. Menurut Charles C. Ryrie, “Perjanjian Lama berbicara tentang malaikat-malikat lebih dari 100 kali, sedangkan Perjanjian Baru menyebutkan malaikat-malaikat itu kira-kira 165 kali. Semestinya, suatu kebenaran harus dinyatakan satu kali saja di dalam Alkitab untuk mengakuinya sebagai kebenaran. Tetapi apabila suatu pokok disebut berkali-kali sesering menyebut para malaikat, maka akan menjadi lebih sulit untuk menyangkalnya”.[17] Namun karena banyaknya bagian-bagian Alkitab yang membahas tentang para malaikat maka tidak memungkin bagi saya membahasnya secara luas seperti saya membahasnya dalam mata kuliah angelology (ajaran tentang para malaikat) dalam teologi sistematika. Karena itu saya hanya akan menjelaskan hal-hal penting dari natur para malaikat sebagai tanggapan saya terhadap Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, yang menyatakan mungkin saja para malaikat kawin, berjenis kelamin, dan bertambah populasinya.[18]
5. Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa malaikat-malaikat itu tidak kawin, tidak berkembangbiak dan jumlahnya tetap karena mereka tidak mati. Dengan demikian maksud frase “tidak kawin dan mengawinkan” dalam teks Matius 22:30 benar-benar menunjukkan bahwa dikehidupan yang akan datang yaitu di hari kebangkitan kelak tidak akan ada perkawinan orang-orang percaya, mereka benar-benar akan hidup seperti para malaikat yang tidak kawin dan tidak berkembangbiak dan tidak mati. Berikut ini kutipan dari para ahli Alkitab dan pakar teologi menjadi rujukan mendukung pendapat saya tersebut. Charles C. Ryrie menyatakan, “Dalam kebangkitan, orang tidak kawin. Mereka seperti malaikat yang tidak menikah karena tidak perlu melahirkan bayi-bayi malaikat. Bilangan para malaikat sudah tetap sejak mereka diciptakan. Demikian pula, dalam kehidupan mendatang manusia tidak kan kawin karena tidak perlu melahirkan anak-anak. Kristus tidak mengatakan orang akan menjadi malaikat sesudah meninggal, tetapi hanya seperti malaikat mereka tidak dilahirkan”.[26] John MacArthur mengatakan, “Malaikat tidak berketurunan. Kita juga tidak di surga. Semua alasan pernikahan akan lenyap. Di dunia ini, laki-laki membutuhkan seorang penolong, wanita membutuhkan seorang pelindung, dan Allah telah merancang keduanya untuk menghasilkan anak-anak. Di surga, laki-laki tidak memerlukan seorang penolong lagi karena ia akan menjadi sempurna. Wanita tidak akan membutuhkan seorang pelindung lagi karena ia akan menjadi sempurna. Populasi surga akan ditetapkan. Dengan demikian, pernikahan sebagai lembaga menjadi tidak perlu”.[27] Donald Guthrie menyatakan, “Yesus menjelaskan bahwa tidak ada perkawinan di surga, tetapi ia tidak menguraikan mengenai hubungan manusia di surga (Matius 22:30; Markus 12:25). Perkawinan tidak ada karena hal menghasilkan keturunan tidak perlu lagi, tetapi hal ini bukan berarti meniadakan hubungan kekeluargaan”.[28] Norman L. Geisler mengatakan, “Meskipun kita pasti dapat mengenali orang-orang yang kita cintai di surga, tidak akan ada pernikahan di surga”. [29] Tony Evans mengatakan, “Tetapi ada satu hal yang tidak lagi dapat dilakukan oleh tubuh rohani dan tidak perlu dilakukan, dan itu berhubungan dengan hubungan fisik seperti yang kita alami di dunia. Karena itulah Yesus mengatakan bahwa di dalam surga, kita akan hidup seperti malaikat, yang tidak menikah (Matius 22:30). Tidak perlu lagi ada kelahiran di surga. Sukacita Allah yang tidak pernah berkesudahan akan sepenuhnya mengalahkan segala pengalaman atau hubungan yang dapat kita peroleh di dunia ini”.[30]
4. Setelah meninjau fakta-fakta Alkitab tentang natur para malaikat sebagaimana dijelaskan pada point 3 di atas, dapat disimpulkan bahwa para malaikat itu tidak kawin karena mereka bersifat roh, tidak berwujud fisik seperti manusia, tidak berjenis kelamin, dan tidak bertambah jumlahnya karena mereka tidak melahirkan dan tidak berkurang karena mereka tidak mati. Fakta bahwa para malaikat itu tidak kawin diteguhkan oleh pendapat para ahli Alkitab dan pakar teologi berikut ini. Paul Enns menyatakan, bahwa para malaikat “tidak berfungsi seperti manusia dalam kaitannya dengan perkawinan (Markus 12:25) mereka juga tidak mati (Lukas 20:36)”.[19] Charles C. Ryrie menyatakan, “Dalam kebangkitan, orang tidak kawin. Mereka seperti malaikat yang tidak menikah karena tidak perlu melahirkan bayi-bayi. Bilangan para malaikat sudah tetap ketika mereka diciptakan”.[20] Eddy Fances menyatakan, “Malaikat tidak berjenis kelamin dan tidak menikah (Matius 22:30; Lukas 20:35-38)”.[21] Gleason L. Archer menyatakan, “Alkitab jelas mengajarkan bahwa malaikat-malaikat adalah roh-roh, yaitu roh-roh yang melayani, yang diutus untuk melayani mereka yang harus memperoleh keselamatan (Ibrani 1:14). Kendatipun mereka kadang-kadang bisa muncul dalam bentuk badani atau ragawi mirip manusia, mereka tidak mempunyai tubuh secara fisik, dan oleh sebab itu sama sekali tidak mampu berhubungan secara jasmani dengan perempuan”.[22] Millard J. Erickson mengatakan, “Akan tampak bahwa para malaikat semua diciptakan secara langsung sekaligus karena mereka diduga tidak mempunyai kemampuan untuk berkembangbiak dengan cara yang lazim (Matius 22:30)”[23] Louis Berkhof menyatakan, “Malaikat itu tidak menjadi organisme seperti manusia, sebab mereka adalah roh, yang tidak menikah dan tidak dilahirkan dan tidak melahirkan”.[24] Charles F. Beker menyatakan, “Malaikat tidak memiliki kelamin. Hal ini terlihat dari fakta mereka tidak kawin dan tidak dikawinkan (Matius 22:30), juga dari fakta tidak adanya perkembanganbiakan di antara mereka”.[25]
7. Melanjutkan point 6 di atas, jawaban saya sederhana saja, sebagaimana yang telah saya juga telah jelaskan point 1 bahwa secara gramatikal, kata Yunani “αλλ ως (all hos)” yang diterjemahkan ”tetapi seperti” (atau bisa juga diterjemahkan “tetapi sebagaimana”) dalam teks Matius 22:30 tersebut merupakan kata penghubung yang berfungsi sebagai pembanding frase sebelumnya dan juga menunjukkan kesetaraan makna antara kedua frase yang sedang diperbandingkan. Dengan kata lain, makna dari frase yang mendahului yaitu “αναστασει ουτε γαμουσιν ουτε - oute gamousin oute ekgamizontai” yang dapat diterjemahkan “mereka tidak melakukan pernikahan juga tidak dinikahkan” juga sangat bergantung dari pemahaman terhadap frase pembanding berikutnya yaitu “αλλ ως αγγελοι του θεου εν ουρανω εισιν - all hôs aggeloi tou theou en ouranô eisin” yang diterjemahkan “tetapi seperti para malaikat Allah di surga”. Dengan demikian frase tersebut tidak memberikan kemungkinan bahwa di dunia yang akan datang akan ada perkawinan yang dijodohkan Allah seperti yang ditafsirkan oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th. Justru di dalam ayat itu Yesus dengan cara yang gamblang hendak menegaskan bahwa seperti halnya malaikat tidak menikah, tidak berkembangbiak dan tidak mati, demikian juga halnya kelak pada hari kebangkitan orang tidak akan mengalami lagi perkawinan, perkembangbiakan (Matius 22:30), dan tidak lagi mengalami kematian (Lukas 20:34-36)”.
BACA JUGA: FIRMAN DAN KEBEBASAN
6. Lalu bagaimana dengan penafsiran Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, bahwa frase “tidak kawin dan mengawinkan” dalam ucapan Tuhan Yesus di Matius 22:30 tersebut yang menyatakan bahwa frase tersebut tidak berarti tidak ada perkawinan di surga kelak dengan menyajikan gramatikal Yunani seolah-olah gramatikal tersebut mendukung pendapatnya itu? Tidak perlu pendidikan teologi tingkat doktoral jika hanya menjelaskan gramatikal Yunani dengan cara seperti yang dilakukan Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th, sebagaimana saya kutip berikut ini, “Dalan teks bahasa Yunani adalah gamousin oute gamizontai. Dua kata tersebut dari akar kata gameo. Gamousin memiliki kasus kata kerja indicative present active third person plural, bentuknya aktif. Ini menunjuk orang yang sesuai dengan keinginannya memilih istrinya sendiri untuk dinikahi. Sedangkan kata gamizontai memiliki kasus kata kerja indicative present passive third person plural, bentuknya pasif, ini menunjuk orang yang menikah oleh karena orang lain yang menunjukkan jodoh untuk dinikahi”. Dengan bantuan interlinier, penyajian seperti itu juga dapat dilakukan dengan mudahnya oleh sarjana teologi strata 1, bahkan dapat dilakukan mahasiswa teologi semester 6 atau 7 yang telah lulus mata kuliah Ibrani dan Yunani! Secara metodologi, penelitian gramatikal paling sedikit meliputi 2 hal, yaitu penyelidikan kata (lexiologi)[31] dan penyelidikan tata bahasa dan relasi sintaksis [32] (catatan: untuk kedua istilah tersebut, masing-masing dapat dilihat di footnote yang saya cantumkan). Karena kata memiliki artinya masing-masing dan maksud penggunaanya sangat bertalian erat dengan kata-kata lain yang membentuk sebuah kalimat maka penyelidikan antar kata atau antar frase (kalimat) menjadi sangat penting. Inilah yang disebut relasi sintaksis, yaitu menyelidiki hubungan antar kata dalam sebuah kalimat atau anak kalimat (frase). Jadi sebenarnya yang terutama ialah bagaimana agar penafsiran gramatikal tidak melenceng dari maksud keseluruhan teks dan sinkron dengan keseluruhan konteks. 8. Bagaimana dengan konteks ayat tersebut? Jawaban saya, justru konteks ayat tersebut sangat mendukung penafsiran bahwa di surga nanti tidak akan ada yang namanya perkawinan. Mari kita perhatikan dengan teliti konteks Matius 22:23-33 tersebut. Setelah golongan Herodian gagal menjebak Yesus dengan pertanyaan apakah diperbolehkan menurut hukum Taurat untuk membayar pajak kepada kaisar, kini tiba giliran golongan Saduki datang untuk menjebak Yesus. Golongan Saduki percaya kepada wibawa kitab Musa tetapi mereka menyangkal keberadaan malaikat dan roh-roh serta kebangkitan orang mati karena mereka tidak menemukan hal-hal itu diajarkan dalam hukum Musa (Pentateukh). Karena itulah mereka mendatangi Yesus dan menanyakan kepadaNya soal kebangkitan dengan membawa suatu contoh berdasarkan Pentateukh untuk menguatkan pertanyaan mereka (lebih tepatnya penolakan mereka terhadap kebangkitan), yaitu hukum perkawinan levirat seperti yang terdapat dalam Ulangan 25. Hukum itu mengharuskan sang ipar dari janda tanpa anak itu menikahinya kalau dia bisa melaksanakannya. Jika tidak maka kewajibannya jatuh pada kerabat dekat seperti dalam kisah Rut dan Boaz (Rut 4:6). Atas dasar inilah golongan Saduki menyajikan kisah tentang tujuh orang bersaudara, yang sulung menikah dengan seorang wanita dan meninggal. Kemudian 5 adiknya berturut-turut menikah dengan wanita yang sama dan mereka meninggal berturut-turut. Terakhir, adik mereka yang ketujuh menikah dan meninggal, disusul oleh istri yang juga meninggal.
FOOTNOTE: ADAKAH PERKAWINAN MANUSIA DI SURGA KELAK?
Selesai menyajikan kisah itu golongan Saduki mengajukan pertanyaan mereka kepada Yesus demikian, “Pada hari kebangkitan nanti si wanita akan menjadi istri siapa dari ketujuhnya? Karena semuanya sudah beristrikan dia”.[33] Tidak disangka bahwa jawaban Yesus kepada golongan Saduki itu justru menyatakan kesesatan (kekeliruan) mereka karena mereka tidak mengerti Kitab Suci dan tidak mengetahui kuasa Allah (Matius 22:29). Karena itu Kristus menilai pertanyaan itu tidak relevan dan menjawab bahwa pada hari kebangkitan “mereka tidak melakukan pernikahan juga tidak dinikahkan tetapi (mereka) seperti para malaikat Allah di surga (Saya terjemahkan dan Teks Yunani Tectus Receptus, αναστασει ουτε γαμουσιν ουτεαλλ ως αγγελοι του θεου εν ουρανω εισιν )”. Dan seperti yang telah saya jelaskan di atas bahwa para malaikat Allah di surga itu tidak kawin dan tidak berkembangbiak. Populasi para malaikat sudah ditetapkan jumlahnya sejak mereka diciptakan. Demikian juga halnya dengan kehidupan manusia di surga nantinya, tidak akan kawin dan tidak berkembangbiak karena jumlahnya sudah ditetapkan sebagai penghuni surga. Perhatikan bahwa dalam jawaban tersebut tersebut Kristus tidak mengatakan bahwa orang akan menjadi malaikat tetapi hanya seperti malaikat yang tidak kawin, tidak berkembangbiak dan tidak mati tentunya. Karena itulah Kristus tidak perlu menjawab pertanyaan dari golongan Saduki itu “siapa yang akan menjadi suami wanita itu kelak?” Pertanyaan itu tidak relevan karena hukum perkawinan levirat dimaksudkan untuk menjamin bahwa anak-anak yang dilahirkan bisa menanggung keluarga dari suami yang meninggal, tetapi di surga tidak diperlukan lagi, karena di surga tidak ada perkawinan. Itu sebabnya pertanyaan tadi tidak relevan.[34] Jadi Golongan Saduki datang dengan membawa pertanyaan dan pemikiran mereka dengan pola pikir bumi, yaitu karena di bumi ada pernikahan maka jika ada kebangkitan dan kehidupan yang akan datang, maka pernikahan juga ada. Itulah pola pikir duniawi dari manusia yang tidak mengerti KItab Suci maupun kuasa Allah. Tetapi Yesus yang datang dari surga menjelaskan bagaimana sebenarnya keadaan kehidupan orang-orang percaya di surga kelak, dimana disana tidak ada perkawinan, perkembangbiakan dan kematian. Jadi, setelah kebangkitan orang akan hidup seperti para malaikat yang hidup di surga. Malaikat-malaikat tak pernah mati (hal itu dikemukakan di ayat yang sejajar di Lukas 20:36) dan malaikat-malaikat juga tidak kawin. Namun ayat ini tidak berarti bahwa hubungan yang sangat erat di dunia ini akan dilupakan pada kehidupan yang akan datang. Tetapi menjelaskan bagaimana semua hubungan itu tidak mempengaruhi kepemilikannya lagi, karena lembaga perkawinan seperti di dunia ini tidak ada lagi. Dan Alkitab mendukung pandangan bahwa keadaan sesudah kebangkitan merupakan persekutuan yang penuh kebahagiaan dan sempurna. Tidak cukup hanya menyatakan golongan Saduki itu keliru, Yesus meneruskan untuk mengajarkan kepada mereka suatu ajaran dari Perjanjian Lama yang luar biasa menunjukkan hikmatNya. Penting bagi Yesus untuk mengambil pengajaran dari Pentateukh sebab golongan Saduki hanya mengakui ajaran Pentateukh saja. Yesus mengajarkan mereka bahwa Pentateukh mengajarkan adanya kebangkitan setelah kematian dan bahwa kematian tidak mengakhiri segalanya seperti yang dipahami oleh golongan Saduki. Kristus memakai kisah di Keluaran 3 untuk mengajarkan perihal kehidupan sesudah kebangkitan, bahwa Allah “bukanlah Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup” (Matius 22:31). [35] Jadi jelaslah bahwa konteks Matius 22:23-33 ini tidak mendukung penafsiran adanya perkawinan di surga, bahkan kemungkinan pun tidak ada, seperti yang dilakukan (ditafsirkan) oleh Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th. Demikian, penjelasan dan tanggapan tentang kesalahan eksegesis Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th terhadap teks Matius 22:30. GBU https://teologiareformed.blogspot.com/
[1] Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th adalah pendeta dan gembala Rehobot Ministries di Jakarta. Meraih Gelar S1 dari Seminary Bethel, Magister Teologia dari STT Jakarta, dan Doktor Teologia dari STT Baptis Indonesia Semarang. Menerima gelar Doktor Honoris Causa dari American Christian College.
[2] Kesalahan logika dan kesalahan tafsir dalam ajaran “Menjadi Corpus Delicti” telah saya tanggapan sekilas dan dapat dibaca disini:.https://www.facebook.com/notes/samuel-t-gunawan/tanggapan-samuel-t-gunawan-terhadap-silogisme-corpus-delicti-pdt-dr-erastus-sabd/1064168483632332
[3] Sumber: http://rhemachurch.org.au/videogallery_items/doktrin-mengenai-sorga-15-perkawinan-di-dunia-yang-akan-datang/
[4] Istilah “penyesatan terselubung” ini saya pinjam dari buku Pdt. Dr. Erastus Sabdono, M.Th yang berjudul “Penyesatan Terselubung” yang diterbitkan oleh Rehobot Literatur. Sengaja saya memakai istilah tersebut untuk mengingatkannya bahwa buku yang ditulisnya itu bukan hanya menikam orang lain, tetapi kini menikam dirinya sendiri. Dengan kata lain “senjata makan tuan”.
[5] Sabdono, Erastus., “Perkawinan di Dunia Yang Akan Datang”. [6] Ibid. [7] Ibid. [8] Ibid
[9] Nggadas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok, hal. 248 [10] Ibid. [11] Ibid. [12] Ibid. [13] Ibid. [14] Ibid.
[16] Untuk gramatikal Yunani silahkan lihat dalam karya-karya berikut ini: Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang; Pandensolang, Welly., 2010. Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Penerbit ANDI: Yogyakarta; Schafer, Ruth., 2004. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta; Wenham, J.W., 1988. Bahasa Yunani Koine (The Elements of New Testament Greek). Penerbit SAAT : Malang; Tulluan, Ola., 2007. Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Penerbit Literatur YPPII : Malang.
[15] Osborne, Grant R., 2012. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Terjemahan, Penerbit Momentun: Jakarta, hal. 54.
[17] Ryrie, Charles C., 1991. Teologi Dasar. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta, hal. 158. (Charles C. Ryrie meraih gelar Theology Doctor (Th.D) dari Dallas Theological Seminary, gelar Philosophy Doctor (Ph.D) dari University of Endinburgh dan gelar Litterature Doctor (litt.D) dari Baptist Theological Seminary. Ia pernah mengajar di Nestont College, dan menjabat sebagai presiden dan profesor pada Philadelphia College of Bible, serta profesor untuk bidang teologi sistematis di Dallas Theological Seminary).
[18] Sabdono, Erastus., “Perkawinan di Dunia Yang Akan Datang”.
[19] Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 354. ( Paul Enns adalah Profesor teologi Sistematika dari Dallas Seminary). [20] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal. 120. [21] Fances, Eddy., 2005. Murid Kristu. Jilid 1, Penerbit Yasinta: Jakarta, hal. 52.
[24] Berkhof, Louis., 2011. Teologi Sistematika 1: Doktrin Allah. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 273. (Louis Berkhof mengajar teologi dan Perjanjian Baru di Calvin Seminary, ditetapkan menjadi professor teologi sistematika pada tahun 1926-1944).
[22] Archer, Gleason L., 2009. Encyclopedia of Bible Diff Siculties. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 130. (Gleason L. Archer adalah profesor Perjanjian Lama dan studi Semintis pada Trinity Evangelical Divinity School. Juga pernah mengajar sebagai profesor bahasa-bahasa Alkitab pada Fuller Theological Seminary). [23] Erickson, Millard J., 2004. Teologi Kristen, Jilid 1, terjemahan, penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 703. (Millard J. Erickson adalah Asisten profesor dalam bidang Biblika dan Apologetika di Wheaton College; Pengajar dan Dekan di Bethel Theological Seminary).
[30] Evans, Tony., 2002. The Best Is Yet To Come. Terjemahan, Penerbit Gospel Press: Batam, hal. 337. [25] Beker, Charles F., 2009. A Dispensational Theology. Terjemahan, Penerbit Pustaka Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 281. [26] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal. 120.
[27] MacArthur, John F., 2005. Kemuliaan Sorga. Terjemahan, Penerbit Gospel Press: Batam, hal. 143. (John F. Arthur adalah pendeta dan gembala Grace Cummunity Church dan kepala The Master’s College and Seminary). [28] Guthrie, Donald., 2001. Teologi Perjanjian Baru. Jilid 3, Penebit BPK Gunung Mulia: Jakarta, hal. 231232 (Donald Guthie adalah seoang paka Pejanjian Bau yang mengaja Pejanjian Baru di London Bible College).
[31] Penyelidikan kata (lexiology) mencakup beberapa elemen dasar: (1) Penyelidikan etimologis, yakni meneliti akar kata dari sebuah kata benda atau kata kerja. Penyelidikan ini sebenarnya tidak banyak manfaatnya, bahkan sering kali menimbulkan cacat eksegesis (exegetical fallacy) karena arti sebuah kata dalam konteks tertentu sering kali berbeda jauh dari arti dasar yang terdapat pada akar katanya. (2) Penyelidikan diakronis, yaitu sejarah penggunaan kata yang bersangkutan hingga penggunaannya di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kewaspadaan yang sama seperti yang dikemukakan dalam penyelidikan etimologis juga mesti diberlakukan di sini. Arti sebuah kata ada pada konteks penggunaannya dalam sebuah teks, bukan pada sejarahnya. Meski begitu, penyelidikan ini dapat memberikan informasi sekunder untuk melihat signifikansi arti sebuah kata dalam sejarah. (3) Penyelidikan sinkronik, yaitu menyelidiki maksud penggunaan kata yang bersangkutan dalam sebuah teks. Ini adalah penyelidikan yang sangat disarankan. Arti kata sebuah kalimat lebih ditentukan oleh konteks penggunaannya dalam kalimat tersebut ketimbang sejarah penggunaannya maupun etimologinya. [29] Geisler, Norman L., 2007. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT: Malang, hal. 356. (Norman Geisler adalah profesor dalam bidang Apologetika di Dallas Theological Seminary). [32] Penyelidikan tata bahasa dan relasi sintaksis itu penting sebab meskipun setiap kata memiliki artinya masing-masing, namun maksud penggunaanya bertalian erat dengan kata-kata lain yang membentuk sebuah kalimat. Inilah yang disebut relasi sintaksis, yaitu menyelidiki hubungan antar kata dalam sebuah kalimat atau anak kalimat. Untuk itu, seorang penafsir harus terlebih dahulu mengenal aspek-aspek ketatabahasaan dari setiap kata yang muncul dalam kalimat. Untuk kata benda, sang penafsir mesti memahami signifikansi dari : gender, kasus, jumlah, asal kata, dan artinya. Untuk kata kerja, penafsir mesti mengetahui cakupan konseptual dari: tense, modus, diathesis, jumlah, asal kata, dan artinya. Unsur-unsur dalam kata sifat, kata ganti orang, dan sebagainya, juga tentu tidak boleh terlewatkan. Pengamatan ini biasanya disebut pengamatan morfologis.
[34] Ibid [33] Ryrie, Charles C., Teologi Dasar. Jilid 1, hal. 119-120..
[35] Ibid.
ADAKAH PERKAWINAN MANUSIA DI SURGA KELAK?