KRISIS AGAMA (renungan NREC hari pertama 2018)
KRISIS AGAMA (renungan NREC hari pertama 2018). Kita pernah mendengar perkataan, “Agama tidak menyelamatkan, yang menyelamatkan adalah Tuhan.” Dalam pernyataan ini, agama, termasuk juga agama Kristen, dianggap sebagai sekedar ritual, adat, dan budaya, yang tidak menyatakan hubungan pribadi dengan Sang Pencipta.
Agama yang dihayati hanya sekedar sebagai bagaimana menjadi orang yang lebih santun dan lebih baik, memang agaknya tidak terlalu menjanjikan. Konsep keagamaan yang seperti ini menghadirkan banyak krisis dalam kehidupan. Justru ketika seseorang mengalami krisis dalam konsep keagamaan yang demikian, ia memiliki harapan (ada orang yang sebenarnya hidupnya kritis namun ia tidak menyadarinya).
Berbahagia mereka yang menyadari ada krisis dalam kehidupan keagamaannya. Yesus datang untuk orang berdosa, bukan untuk orang benar. Ketika kita menyadari bahwa ketika kita menjalankan agama hanya sebatas kebaikan moral sebenarnya tidak cukup di hadapan Tuhan, kita memiliki harapan atas belas kasihan Tuhan. Stephen Charnock menulis, “In a good man, how often there is a spiritual lethargy! Though he does not openly defame God, yet he does not always glorify him. He does not forsake the truth, but he does not seek to rest in it. How hard it is to make our thoughts and affections keep their stand! … This ought to trouble us!” Kehidupan yang baik secara moral tidak menjadi jaminan bahwa ada kehidupan rohani di sana.
Lalu bagaimana? Haruskah kita memandang agama sebagai ciptaan manusia yang selalu negatif sifatnya? Jawabannya: tidak harus. Tradisi theologi Reformed sebenarnya melihat kata agama dalam pengertian yang positif dan tinggi. Bagi Calvin, agama dan kesalehan sebenarnya adalah hal yang sama. Agama yang sejati lahir dari kesalehan. Sedangkan yang disebut kesalehan adalah rasa hormat digabung dengan kasih Allah. Dengan kata lain, agama yang sejati menimbulkan rasa hormat dan juga rasa kasih/cinta kepada Allah.
Kedua hal ini harus ada. Rasa hormat tanpa pemahaman kasih Allah akan menghasilkan keagamaan yang dipenuhi dengan perasaan takut, yaitu takut akan murka dan penghukuman ilahi. Agama seperti ini tidak membawa kepada perubahan hidup yang sejati. Di sisi lain, kasih Allah tanpa rasa hormat kepada-Nya akan menciptakan keagamaan yang menyeret allah palsu untuk menjadi sekedar teman baik dalam kehidupan, tanpa mempedulikan apa yang sesungguhnya menjadi kehendak-Nya.
Yesus berkata: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Matius 5:20). Yesus mengajarkan keagamaan yang radikal, yaitu keagamaan yang keluar dari akar hati yang terdalam, bukan keagamaan yang sebatas permukaan (istilah radikal di sini dipakai dalam pengertian positif, bukan dalam pengertian ekstremis, , fanatis, fundamentalis dsb).
Kita boleh saja tidak pernah membunuh, namun kemarahan yang tidak kudus kepada saudara kita cukup untuk membawa kita dalam penghukuman. Ada perbedaan antara keagamaan yang keluar dari kedalaman hati dengan keagamaan yang sifatnya eksternal/ lahiriah. Keagamaan yang lahiriah tidak menyatakan kehidupan yang sungguh-sungguh sudah ditebus dan diselamatkan oleh Tuhan.
Lalu bagaimana kita membedakan kedua macam keagamaan ini? Yesus mengatakan, “… kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan” (Matius 11:30). Apakah kuk dan beban keagamaan Saudara enak dan ringan? Apakah datang ke retreat ini merupakan suatu hal yang enak dan ringan? Apakah merenungkan Firman Tuhan merupakan suatu beban yang ringan atau berat? Bagaimana dengan kehidupan doa Saudara? Dapatkah Saudara mengatakan bahwa saat-saat di mana Saudara berdoa adalah jam doa yang manis (sweet hour of prayer) seperti dikatakan dalam judul lagu itu?
Jika tidak, Saudara perlu mengalami kelahiran kembali oleh Roh Kudus. Tanpa kelahiran kembali ini, semua hidup keagamaan akan menjadi kewajiban-kewaj iban berat yang harus dilaksanakan dan bukan menjadi ajakan-ajakan berbahagia yang boleh untuk kita nikmati.
Ada perubahan hidup dari seorang yang bermental budak menjadi seorang yang bermental anak dalam hidup keagamaan yang sejati. Seorang yang sudah dilahirkan kembali akan menikmati hidup keagamaannya. “Berbahagialah orang … yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN” (Mazmur 1:1-2). Taurat TUHAN menjadi makanan rohani yang dinikmatinya siang dan malam. Ketika ia hidup memuliakan Allah, ia juga sedang menikmati-Nya.
Hidup keagamaan yang sejati ditandai dengan buah Roh seperti kasih, sukacita, dan kelemahlembutan . Tanpa kasih, sukacita, dan kelemahlembutan , segala sesuatu akan menjadi berat. Agama mungkin saja menciptakan orang-orang yang militan, namun akhirnya dipenuhi dengan perasaan yang dingin, kekerasan, dan tidak adanya belas kasihan.
Yohanes menegur jemaat di Efesus yang tetap sabar dan menderita oleh karena nama Tuhan dan tidak mengenal lelah, namun tetap dicela oleh Tuhan karena mereka telah meninggalkan kasih mereka yang semula (Wahyu 2:3-4). Tanpa kasih, hidup keagamaan hanya akan merupakan daftar kewajiban-kewaj iban yang melelahkan tanpa kenikmatan.
Selain mengaruniakan kelahiran kembali, Roh Kudus rindu untuk terus membimbing kita untuk masuk ke dalam kehidupan keagamaan yang dipenuhi dengan sukacita. Di dalam Kitab Mazmur dicatat tentang pengurapan minyak sebagai tanda kesukaan: “Sebab itu Allah, Allahmu, telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu” (Mazmur 45:7).
Penulis surat Ibrani menafsirkan ayat ini sebagai pengurapan Anak Allah oleh Allah Bapa, bukan lagi dengan minyak lahiriah seperti pada zaman Perjanjian Lama, melainkan dengan Roh Kudus. Hidup yang dipenuhi oleh Roh Kudus adalah hidup yang dipenuhi dengan sukacita yang mengalir keluar. Sukacita inilah yang membuat kuk itu menjadi enak dan beban menjadi ringan. Sukacita ini juga yang membuat keagamaan kita tidak melelahkan melainkan menggairahkan.
Dalam kehidupan keagamaan yang sehat, kita juga akan mendapatkan perasaan keagamaan yang kudus. Jonathan Edwards mengajarkan, “True religion, in great part, consists in holy affections.” Edwards mengutip Roma 12:11, “Biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.” Salah satu musuh dari keagamaan yang sejati adalah keagamaan yang suam-suam kuku. Keagamaan yang diterima oleh Tuhan bukanlah keagamaan yang sedikit lebih baik daripada sikap acuh tak acuh, demikian tulis Edwards.
Orang yang memiliki keagamaan yang benar akan memiliki perasaan agama yang kudus yang menyerupai perasaan Tuhan. Dan kondisi roh yang menyala-nyala ini adalah suatu keagamaan yang sehat dan normal, bukan keagamaan yang luar biasa. Orang-orang percaya yang hatinya dikobarkan oleh Roh Kudus bukanlah raksasa-raksasa rohani, melainkan orang-orang rohani yang normal dan biasa (ordinary).
Justru kitalah yang sering berada dalam keadaan kerohanian yang sakit dan menganggap diri kita normal dan wajar, sehingga kita mengatakan mereka adalah raksasa-raksasa rohani, sementara sesungguhnya kita adalah orang-orang yang sakit dan membutuhkan kebangunan rohani.
Orang yang mempunyai keagamaan yang sehat memiliki selera dan hasrat akan hal-hal yang ilahi. Edwards menulis, “Wherever true religion is, there are vigorous exercises of the inclination and will towards divine objects.” Inilah yang disebut perasaan-perasa an keagamaan yang kudus. Perasaan-perasa an ini mencakup takut akan Allah, pengharapan, kasih, kebencian, hasrat, sukacita, dukacita, sikap bersyukur, belas kasihan, dan semangat yang kudus. Kita perlu membedakan perasaan jiwa yang kudus dan yang tidak kudus.
Kebencian yang kudus misalnya membawa orang-orang beragama untuk membenci dosa, keinginan daging, dan manusia lama kita. Kebencian yang tidak kudus akan menghancurkan orang lain. Demikian pula dukacita yang kudus adalah memiliki perasaan seperti Allah, sementara dukacita yang tidak kudus bisa merupakan dukacita yang mengasihani diri.
Kasih yang kudus memiliki Allah sebagai obyek yang paling dikasihi. Kasih yang tidak kudus mengasihi yang lain lebih daripada Allah. Keagamaan yang sejati membawa kita pada pengudusan perasaan hingga kita makin menyerupai Allah.KRISIS AGAMA (renungan NREC hari pertama 2018).
Billy Kristanto