MEMPERKENALKAN EKSEGESIS ALKITAB

Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th.
MEMPERKENALKAN EKSEGESIS ALKITAB
MEMPERKENALKAN EKSEGESIS ALKITAB. “eksegesis” berasal dari kata bahasa Yunani “eksegeomai” yang secara harafiah berarti “menggali keluar” atau “memimpin keluar (to lead out)” (Bandingkan Yohanes. 1:18; Kisah Para Rasul 10:8; 15:12, 14; 21:19).[2] Istilah ini sudah digunakan oleh Papias pada awal abad kedua Masehi dalam tulisannya yang berjudul: Exegesis of the Lord’s Sayings. Tulisan ini berisi tafsiran Papias terhadap ajaran Kitab-kitab Injil. Sayangnya, saat ini kita hanya mengenal tulisan ini berdasarkan kutipan-kutipan fragmental dari beberapa Bapak Gereja yang menulis setelah Papias.[3]

HUBUNGAN EKSEGESIS DENGAN HERMENEUTIKA

Sejumlah ahli menganggap pengertian hermeneutik dan eksegesis saling bertumpang tindih. Menurut Deky Ngandas, alasannya adalah “sejumlah teori hermeneutik sebenarnya lahir dari pengalaman menafsir”.[4] Selanjutnya Deky Ngandas berpendapat, “ketika pengalaman menafsir itu dirumuskan menjadi sebuah prinsip atau teori, maka pengalaman tersebut bukan lagi penerapan melainkan teori dari penerapan tersebut. Jadi, walaupun perbedaan antara hermeneutik (dalam penekanan kepada teori) dan eksegesis (dalam penekanan kepada praksisnya) sulit dipisahkan, namun pada dasarnya tidak dapat dianggap persis sama”. Dengan demikian, walau pun sepertinya saling tumpang tindih, tetapi kedua istilah tersebut dapat dibedakan. Kevin J. Conner menjelaskan “Ilmu ini (eksegesis) meliputi penerapan dari peraturan-peraturan hermeneutik. Sementara hermeneutika memberi kita alat-alat, eksegesis mengacu pada penggunaan yang sesungguhnya dari alat-alat tersebut; hermeneutik menyediakan prinsip-prinsip penafsiran, sementara eksegesis adalah proses penafsiran”.[5]

Jadi, hermeneutik adalah ilmu atau teori-teorinya sedangkan eksegesis adalah penerapan atau praktek dari teori-teori tersebut. Hermeneutik memberitahukan tentang langkah-langkah yang perlu diketahui, sedangkan eksegesis adalah penggunaan langkah-langkah tersebut dalam rangka menemukan maksud atau arti mula-mula dari penulis kepada pembaca mula-mula.[6]

Pada umumnya para ahli membagi langkah-langkah eksegesis menjadi dua bagian besar, yaitu : Pertama, langkah-langkah umum (atau “hermeneutik umum”); dan kedua, langkah-langkah khusus (atau hermeneutik khusus”). Yang dimaksud dengan langkah-langkah umum adalah langkah-langkah yang dapat diterapkan pada semua kitab di dalam Alkitab. Di sisi lain, langkah-langkah khusus merujuk kepada sejumlah langkah yang hanya bisa diterapkan sesuai dengan jenis sastra (genre) dari teks ynag hendak ditafsirkan.

PERLUNYA EKSEGESIS ALKITAB

Eksegesis merupakan sebuah keharusan karena Alkitab memang ditulis bagi (for) kita tetapi tidak untuk (to) kita.[7] Maksudnya, Alkitab pada mulanya tidak ditulis kepada orang-orang yang hidup di abad ke 20 ini, tetapi untuk orang-orang zaman dahulu yang jauh berbeda dalam budaya, sifat, dan pengetahuan. [8] Alkitab ditulis pada satu masa atau jaman tertentu yang tentu penulisannya berkaitan dengan masa atau zaman yang bersangkutan, dan secara tidak ditulis pertama kali untuk kita.

Sementara itu, Deky Ngandas memberika dua alasan mengapa kita memerlukan eksegeses, yaitu : (1) Berkaitan dengan natur (sifat) Alkitab; dan (2) Adanya gap atau jurang-jurang antara kita dengan penulis Alkitab. Berkaitan dengan natur Alkitab, yaitu bahwa Alkitab memiliki dua natur ilahi dan manusiawu. Ilahi karena Alkitab adalah firman Allah; dan manusiawi karena Alkitab ditulis oleh manusia yang dipilih oleh Allah. Dengan demikian disatu sisi kebenaran-kebenaran itu kekal atau melampuai waktu; disisi lain kebenaran-kebenaran itu diwahyukan dalam konteks zaman tertentu di dalam sejarah atau terikat waktu. Dengan pemehaman ini eksegesis menolong dalam mencermati dan menemukan arti yang tepat kebenaran-kebenaran kekal yang diwahyukan dalam Alkitab.

Berkaitan dengan gap Alkitab, harus diingat bahwa ada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab yang cukup jelas, sedangkan bagian-bagian lainnya sulit dipahami, sehingga membutuhkan penjelasan dan penyelidikan lebih mendalam. Hal ini disebabkan adanya gap atau jurang pemisah antara kita dengan penulis-penulis Alkitab pada zaman dahulu. Empat gap utama adalah masalah linguistik, budaya, geografi, dan sejarah.[9]

1. Gap Linguistik

Salah satu masalah utama yang kita temui adalah bahwa Alkitab pada mulanya ditulis dalam tiga macam bahasa yang bukan bahasa kita, bahkan ada bahasa yang secara umum sudah tidak dipakai lagi, yaitu: Bahasa Ibrani Kuno, Kaldea Kuno (Aram) dan Yunani Koine. Dan memang kita ketahui bahwa Alkitab pertama ditulis bukan untuk orang-orang modern sekarang, jadi inilah gap pertama yang harus dihadapi, gap Linguistik. Mempelajari sendiri bahasa-bahasa kuno tersebut agar kita bisa membaca dan memahami manuskrip-manuskrip Alkitab kuno tersebut tidaklah mungkin. Sebab itu kita patut bersyukur bahwa ada orang-orang yang telah khusus belajar bahasa-bahasa tersebut sehingga memungkinkan kita mempelajarinya dengan cara yang jauh lebih mudah. Telah tersedia kamus-kamus bahasa atau leksikon yang dapat menolong kita mempelajari kosa kata bahasa asli Alkitab yang kita cari, khususnya bila disertai dengan penjelasan tentang penggunaan tense yang dipakai. Juga telah cukup tersedia buku-buku yang menguraikan tentang arti dan makna kata-kata, frase, kalimat atau ayat-ayat penting Alkitab yang di ambil dari bahasa aslinya, walaupun kebanyakan buku tersebut di tulis dalam bahasa Inggris. Hal ini sangat menolong karena banyak kata atau istilah-istilah dalam Alkitab yang sulit kita ketahui makna maupun artinya jika tidak dimengerti dalam bahasa aslinya.

2. Gap Kultural

Budaya sekitar penulisan Alkitab sangat berbeda dengan konteks budaya modern para pembacanya sekarang. Oleh karena itu gap budaya ini perlu dijembatani dengan mempelajari budaya, khususnya budaya saat para penulis Alkitab hidup. Namun ini bukan masalah yang mudah karena ada kira-kira 40 penulis Alkitab yang hidup dalam zaman dan budaya yang berbeda satu dengan yang lain. Ada buku-buku yang dapat membantu kita mempelajari budaya Alkitab, misalnya ensiklopedia Alkitab, dan buku-buku pengantar Alkitab. Di sana kita bisa mendapatkan informasi tentang cara-cara tertentu mereka melangsungkan kehidupan bermasyarakat, misalnya cara mereka bermata pencaharian, bagaimana mereka bersosialisasi, berkeluarga, melakukan penyembahan atau menjalankan hukum adat istiadat. Juga hal-hal mengenai perumahan, makanan, pakaian, alat-alat bercocok tanam, senjata perang, alat transportasi, benda-benda seni, alat-alat penyembahan, alat-alat masak, dan lain-lain.

3. Gap Geografik

Konteks geografi zaman Alkitab sangat asing bagi pembaca modern sekarang. Tetapi ini penting dipelajari karena tempat di mana peristiwa-peristiwa dan penulisan-penulisan terjadi dapat memberikan gambaran yang lebih tepat tentang arti peristiwa yang terjadi. Satu kendala besar adalah perubahan yang cukup drastis antara keadaan waktu lampau dan sekarang sehingga kadang-kadang kita sudah tidak mempunyai informasi lagi tentang tempat-tempat itu. Buku-buku yang dapat membantu kita mengenal keadaan geografis penulisan Alkitab adalah buku-buku hasil penelitian arkeologi tentang kota-kota, negara-negara dan bangsa-bangsa, juga tentang iklim, formasi tanah, bebatuan, laut-laut, sungai-sungai, tanaman dan jenis-jenis binatang pada zaman Alkitab. Selain penemuan arkeologis, kita juga dapat di bantu dengan peta-peta kuno, foto-foto dan membandingkan dengan peta modern.

4. Gap Historik

Konteks sejarah penulis Alkitab berkisar dari zaman Musa sampai Yohanes, yaitu kira-kira 16 abad. Dibandingkan dengan pembaca Alkitab yang hidup pada zaman modern, maka ada gap yang sangat besar. Untuk mempelajari tentang sejarah kita bisa di bantu dengan banyak buku-buku sejarah Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, di mana di dalamnya dapat kita pelajari misalnya tentang peristiwa-peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan latar belakang politik, ekonomi, agama yang mempengaruhi jalannya sejarah atau tindakan para tokoh-tokoh Alkitab.

Dengan demikian gap yang memisahkan antara kita dengan Alkitab yang harus kita jembatani lebih dahulu.

Untuk sampai pada fase dimana manusia dapat mengerti pikiran Alkitab maka perlu memahami gap-gap apa yang menghalangi atau memisahkan pembaca dari Alkitab dan selanjutnya menjembatani gap tersebut sehingga dapat melakukan penafsiran Alkitab secara sehat dan bertanggung jawab. Disinilah diperlukan eksegesis, sebagaimana yang dikatakan Deky Ngandas, “Eksegesis tidak dirancang untuk memperumit sebuah kemudahan. Sebaliknya, eksegesis merupakan jembatan untuk mempermudah sebuah kerumitan yang tidak langsung dapat diraup secara spontan dan akurat! Melalui eksegesis kerumitan-kerumitan diatas sedapat mungkin diminimalisasi, bahkan bukan tidak mungkin, terjembatani sepenuhnya”.[10]

METODE EKSEGESES: GRAMATIKAL HISTORIS

Istilah “gramatikal historis” (grammatical-historical) pertama kali, digunakan oleh K.A.G Keil pada tahun 1788 dalam sebuah risalahnya yang berjudul: De Historica Liborum Scrorum Interpratitione Ejusque Necessitate”. Sesudah ini, banyak penafsir yang menggunakan istilah yang berbeda untuk metode ini. Walter Kaiser menggunakan istilah “sintaksis-teologis”, Mickelsen menggunakan istilah “gramatikal-historis-kontekstual”, dan Virkler menggunakan istilah “historis-kultural” dan “leksikal-sintaksis”. Meski begitu, istilah “gramatikal historis” lebih luas digunakan dalam kalangan Reformed dan Injili ketimbang beberapa istilah alternatif ini.

Metode gramatikal historis mempertahankan keyakinannya atas otoritas Alkitab. Metode gramatikal historis digagas atas preposisi bahwa: (1) Alkitab diispirasikan dengan menggunakan bahasa tertentu [Ibrani, Aram, dan Yunani]; dan (2) Alkitab ditulis oleh orang tertentu pada jaman tertentu dengan ikatan-ikatan atau lapisan-lapisan adat istiadat yang mayoritas sangat berbeda dengan kita yang hidup sekarang. Preposisi 1 mengharuskan penyelidikan dalam rentang linguistic, sedangkan preposisi 2 mengharuskan penyelidikan historis (sejarah). Preposisi-preposisi ini terlihat dalam penjelasan Kaiser mengenai tujuan dari penggunaan metode gramatikal historis, yaitu : “… untuk menentukan makna berdasarkan hukum-hukum tata bahasa dan fakta-fakta historis.”

1. Penyelidikan Gramatikal

Melanchton pernah menulis, “Alkitab tidak dapat dimengerti secara teologis, sampai ia mengerti secara gramatikal.” Karena Alkitab ditulis dalam bahasa tertentu (Ibrani, Aram, dan Yunani), maka penguasaan akan bahasa-bahasa ini menjadi tuntutan yang sangat ditekankan. Tuntutan ini ditekankan karena walaupun kita memiliki begitu banyak versi terjemahan, namun aspek-aspek kebahasaan dari suatu bahasa, tidak persis sama dengan bahasa lain. Misalnya, bahasa Indonesia tidak memiliki kata sandang tertentu (definite article), sedangkan bahasa Yunani memiliki kata sandang sesuai dengan kasus kata bendaya (kecuali vokatif) dalam tiga gender (maskulin, feminim, dan neuter). Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penerjemahan. Bahasa Inggris memang memiliki kata sandang tertentu, yaitu the, tetapi tetap tidak dapat mengekspresikan secara penuh muatan semantik kata sandang dalam bahasa Yunani yang memiliki beragam kata sandang sesuai kasus dan gender dari sebuah kata benda.

Secara metodologis, penyelidikan gramatikal mencakup beberapa aspek pengamatan, yaitu:

pertama, penyelidikan kata (lexiology). Penyelidikan kata mencakup beberapa elemen dasar: (1) Penyelidikan etimologis, yakni meneliti akar kata dari sebuah kata benda atau kata kerja. Penyelidikan ini sebenarnya tidak banyak manfaatnya, bahkan sering kali menimbulkan cacat eksegesis (exegetical fallacy) karena arti sebuah kata dalam konteks tertentu sering kali berbeda jauh dari arti dasar yang terdapat pada akar katanya. (2) Penyelidikan diakronis, yaitu sejarah penggunaan kata yang bersangkutan hingga penggunaannya di dalam PL/PB. Kewaspadaan yang sama seperti yang dikemukakan dalam penyelidikan etimologis juga mesti diberlakukan di sini. Arti sebuah kata ada pada konteks penggunaannya dalam sebuah teks, bukan pada sejarahnya. Meski begitu, penyelidikan ini dapat memberikan informasi sekunder untuk melihat signifikansi arti sebuah kata dalam sejarah. (3) Penyelidikan sinkronik, yaitu menyelidiki maksud penggunaan kata yang bersangkutan dalam sebuah teks. Ini adalah penyelidikan yang sangat disarankan. Arti kata sebuah kalimat lebih ditentukan oleh konteks penggunaannya dalam kalimat tersebut ketimbang sejarah penggunaannya maupun etimologinya.

Kedua, penyelidikan tata bahasa dan relasi sintaksis. Meskipun setiap kata memiliki artinya masing-masing, namun maksud penggunaanya bertautan erat dengan kata-kata lain yang membentuk sebuah kalimat. Inilah yang disebut relasi sintaksis, yaitu menyelidiki hubungan antar kata dalam sebuah kalimat atau anak kalimat. Untuk itu, seorang penafsir harus terlebih dahulu mengenal aspek-aspek ketatabahasaan dari setiap kata yang muncul dalam kalimat. Untuk kata benda, sang penafsir mesti memahami signifikansi dari: gender, kasus, jumlah, asal kata, dan artinya. Untuk kata kerja, penafsir mesti mengetahui cakupan konseptual dari: tense, modus, diathesis, jumlah, asal kata, dan artinya. Unsur-unsur dalam kata sifat, kata ganti orang, dsb., juga tentu tidak boleh terlewatkan. Pengamatan ini biasanya disebut pengamatan morfologis.

Ketiga, penyelidikan genre (gaya sastra). Gaya sastra di sini beragam, mulai dari gaya sastra utama, yakni gaya sastra yang mendominasi sebuah kitab (misalnya: Taurat, narasi, puisi, hikmat, nubuat, apokaliptik, Injil, surat, dan sejarah), hingga gaya sastra yang lebih terperinci lagi berdasarkan tipe kalimat atau paragraph atau perikop tertentu. Misalnya, dalam Kitab Mazmur kita mengenal: Mazmur Hikmat, Mazmur Raja, Mazmur Ratapan, Mazmur Kutukan, dsb. Dalam kitab-kitab injil kita mengenal, misalnya: Perumpamaan, Cerita Mukjizat (Miracle Stories), Pidato/Khotbah/Percakapan (Discourses). Genre juga mencakup unsur yang lebih kecil lagi, yang berhubungan dengan penggunaan bahasa atau ungkapan-ungkapan figurative. Misalnya: teka-teki, fable, hiperbola, alegori, metafora, metonimi, cerita contoh (example story), antropomorfisme, antropofatisme, dsb. Semua unsure genre ini sangat penting untuk diketahui karena terdapat aturan-aturan hermeneutis yang membedakan kita memahami sebuah kata, frasa, kalimat, paragraph, perikop, hingga level kitab, berdasarkan genrenya.

2. Penyelidikan Historis

Perlu disebutkan di sini bahwa penyelidikan historis dilakukan untuk mengamati dua hal utama, yaitu: sejarah di dalam teks, dan sejarah dari teks. Yang pertama berbicara tentang kandungan-kandungan historis yang muncul dalam sebuah teks. Misalnya, ketika Yohanes menginformasikan bahwa “… orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria” (4:9), kita sudah semestinya menyelidiki tentang alas an historisnya, yakni sejarah mengenai relasi antara orang Yahudi dan orang Samaria. Yang kedua berbicara tentang sejarah yang ada di sekitar teks yang ikut memberikan sumbangsih terhadap pembentukkan sebuah kitab. Misalnya, diyakini bahwa sebelum kitab-kitab Injil ditulis, tutur kata dan pelayanan yesus diturunalihkan secara lisan pada periode tertentu. Periode ini disebut periode tradisi lisan (oral tradition period). Jika demikian, urgensi apakah yang mendorong mereka menuangkan tradisi mengenasi Yesus dalam bentuk tertulis? Apakah bentuk-bentuk tertulis tersebut handal secara historis? Pertanyaan-pertanyaan ini memperlihatkan focus penyelidikan terhadap aspek-aspek sejarah yang melahirkan bentuk final dari sebuah kitab.

Elemen-elemen penting dalam penyelidikan historis, antara lain: (1) Latar belakang kitab, yaitu: penulis, indentitas dan situasi para pembaca pertama, tujuan penulisan, dan sebagainya; (2) Unsur-unsur sejarah yang terkandung di dalam teks. Misalnya: tokoh-tokoh, peristiwa, adat-istiadat, situasi politik, dan sebagainya; (3) Sumber-sumber lain yang disebutkan atau dikutip atau yang diperkenalkan di dalam sebuah teks. Sumber-sumber eksternal ini seringkali dikutip bukan karena para penulis Alkitab setuju dengan mereka. Misalnya, kitab Ayub secara panjang lebar memuat kata-kata dan pandangan kawan-kawan Ayub. Tetapi, tidak sedikit pun rujukan dalam kitab tersebut bahwa penulisnya membenarkan mereka. Paulus mengutip kemudian menolak: “jangan jamah ini, jangan kecap itu, jangan sentuh ini” (Kolose 2:21). Pemazmur juga mengutip kata-kata dari orang-orang bebal bahwa Allah tidak ada, tanpa menyetujuinya sama sekali (14:1); (4) Unsur-unsur geografis, topografis (masalah perpetaan; permukaan bumi), flora, dan fauna. Pengenalan akan aspek geografis sering kali memberikan pemahaman yang lebih kaya mengenai sebuah teks. Dalam Yohanes 4:1-4, ditegaskan bahwa “Yesus harus melewati daerah orang Samaria” (ay. 5) dalam perjalan-Nya dari Yudea ke Galilea. Mengapa Ia harus melewati daerah tersebut? Apakah jarak tempuhnya lebih dekat? Apakah tidak ada jalan alternatif lain sehingga Yesus harus melewati daerah tersebut? Mengetahui tentang aspek-aspek topografis juga ikut member efek pemahaman yang lebih mendalam terhadap teks tertentu. Dalam narasi mengenai Daud dan Saul, dikisahkan bahwa Daud pernah berkesempatan untuk membunuh Saul tetapi ia tidak melakukannya. Daud berbicara kepada Saul sambil membuktikan itu dengan menunjukkan potongan pakaian yang dikenakan Saul. (1 Sam 24 dan 26). Tetapi, bagaimana mungkin Daud dapat berada begitu dekat untuk berbicara kepada Saul sementara saul dikelilingi oleh para prajuritnya yang dapat dengan mudah menghabisi Daud? Ternyata, topografi dari tempat berlangsungnya peristiwa tersebut memang sangat memungkinkan hal itu; (5) Selain beberapa hal di atas, sangat bermanfaat juga untuk mengadakan studi terhadap sumber-sumber tertulis sejaman dengan para penulis Alkitab. Misalnya tulisan-tulisan sejarawan kuno dan tulisan-tulisan orang-orang Yahudi pada masa itu. Misalnya teks-teks Ancient Near East, tulisan-tulisan Philo, Yosefus, pseudopigrafa, literatur-literatur apokrif, dan literatur-literatur apokaliptik, tulisan bapak-bapak Gereja). Contohnya dalam Mazmur 23, Allah digambarkan sebagai gembala. Untuk memahami metafora ini, kita mesti ‘berkonsultasi’ dengan literatur-literatur kuno pada masa PL untuk melihat pemahaman mereka mengenai metafora gembala. Dalam literatur-literatur Mesopotamia kuno, seorang raja digambarkan sebagai gembala bagi rakyatnya. Gambaran ini akan sangat menolong kita untuk tidak mendistorsi gambaran mengenai gembala sebagaimana yang kita lihat dan pahami saat ini.

KESALAHAN-KESALAHAN EKESEGESIS ALKITAB

Kesalahan-kesalahan eksegetis ini merupakan adaptasi dari buku yang ditulis oleh Deky Hindas Yan Ngandas yang berjudul Paradigma Eksegesis dan buku yang ditulis oleh D.A. Carson yang berjudul “Kesalahan-Kesalahan Eksegesis”.

1. Anakronisme

Anakronisme adalah kesalahan eksegesis karena menafsirkan sesuatu yang tidak sesuai dengan konteks zaman Alkitab ditulis. Anakronis berati “tidak sesuai dengan jaman”. Satu contoh kontemporer yang sederhana dari anakronisme terlihat dalam kalimat ini: “Rasul Paulus makan es krim”. Kata “ss krim” dalam konteks kalimat ini bersifat anakronis karena pada waktu Rasul Paulus hidup es krim belum ada. Kadang-kadang, sebuah pernyataan dapat digolongkan sebagai anakronisme karena asumsi atau preposisinya. Misalnya, “Karena Yesus tak pernah mengucapkan kata-kata “Akulah Tuhan”, maka Yesus bukanlah Tuhan”. Untuk merespons pertanyaan ini, tepatnya asumsi di balik pertanyaan ini, kita hanya perlu bertanya: “Mengapa Yesus harus secara eksplisit menyatakan Akulah Tuhan baru Ia benar-benar Tuhan?”

Untuk mengatasi kesalahan eksegesis anakronisme dalam memahami Alkitab, seseorang perlu diperhadapkan dengan bukti-bukti historis yang menyadarkannya bahwa baik peristiwa, pemahaman, maupun preposisinya tidak atau belum berlaku atau mungkin berlaku tetapi bukan mutlak pada latar historis yang berkaitan dengannya.

2. Eisegesis

Kesalahan eksegesis yang disebut dengan “eisegesis” dapat karena seseorang penafsiran membawa atau memasukkan ide asing ke dalam teks tertentu yang tidak dimaksudkan teks tersebut. Hal ini bisa terjadi karena penafsir dalam memahami teks dipengaruni oleh asumsi, doktrin atau pandangan teologi tertentu, sehingga memaksanya untuk menafsirkan teks tertentu agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh penafsir tersebut. Eisegesis merupakan kebalikan dari eksegesis. Sementara eksegesis adalah usaha mencari tahu apa yang sesungguhnya dimaksudkan oleh penulis kepada pembaca mula-mula dan “membiarkan” teks berbicara sebagaimana apa yang dimaksudkan oleh penulisnya kepada pembaca mula-mula dari teks tersebut; Sebaliknya, eisegesis merupakan kesalahan karena memaksakan pemahaman atau makna suatu teks berdasarkan sesuatu diluar yang didapatkan dari luar teks tersebut. Sebagai contoh, menafsirkan kata “parakletos” dalam Yohanes 14:16 untuk menunjuk seorang tokoh tertentu di dalam sejarah. Ini adalah sebuah eisegesis, karena rujukan kata parakletos dalam ayat tersebut jelas tertuju kepada Roh Kudus (Yoh 14:26), bukan pada orang tertentu yang lain daripada Roh Kudus.

3. Penyajian Bukti Yang Selektif Dan Berprasangka

Kesalahan eksegesis ini terjadi karena penafsir membuat kesimpulan mengenai suatu topik yang luas tanpa memperhatikan seluruh data yang relevan dengan topik tersebut. Data tersebut diabaikan, biasanya bukan karena tidak diketahui atau tidak terjangkau, melainkan karena data yang diabaikan itu berseberangan dengan asumsi orang tersebut. Sebagai contoh misalnya, masalah kemanusiaan dan ketuhanan Yesus. Penganut Unitarianisme, akan berusaha untuk membuktikan asumsi mereka bahwa Yesus hanya manusia biasa, bukan Tuhan, mereka menyajikan bagian-bagian Alkitab tentang kemanusiaan Yesus dan dengan sengaja mengabaikan bagian-bagian yang menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang menjadi manusia.[11] Untuk mendukung asumsi atau preposisinya, unitarianisme berusaha menyajikan bukti-bukti yang telah diseleksi sesuai dengan asumsi mereka dan menyajikannya sebagai pembuktianya. Inilah yang disebut penyajian bukti yang selektif dan berprasangka, sehingga tidak dapat dipertanggung jawabkan hasilnya! Suatu penafsiran yang jujur dan bertanggung jawab seharusnya menyajikan semua bukti-bukti Alkitabiah, bukan hanya menyoroti ayat-ayat tertentu dan mengabaikan ayat-ayat penting lainnya.

4. Reduksi Yang Tidak Sah

Karena Alkitab, Perjanjian Lama ditulis dalam bahasa Ibrani (sebagian kecil teks PL ditulis dalam bahasa Aram) dan Perjanjian Baru ditulis dalambahasa Yunani Koine. Maka seringkali, kata atau frasa yang sama, yang muncul dalam bagian-bagian yang berbeda dalam Alkitab, digunakan dalam arti yang berbeda sesuai dengan konteks penggunaannya di dalam sebuah perikop. Kadang, perbedaan arti, walaupun kata atau frasa yang digunakan itu sama- bisa menjadi begitu variatif, sehingga penafsir tidak dapat hanya mengandalkan sebuah leksikon bahasa Ibrani atau leksikon bahasa Yunani untuk menentukan maksud penggunaannya dalam bagian tertentu. Selain itu, pada kenyataannya kata-kata dalam bahasa Ibrani dan Yunani biasanya memiliki lebih dari satu arti. Itulah sebabnya, adalah bijak untuk mengingat bahwa leksikon bahasa Ibrani dan Yunani memiliki peran penting sebatas memberitahukan kepada kita pilihan-pilihan arti dari sebuah kata. Dan tugas seorang penafsir adalah menyelidiki konteks penggunaannya dalam sebuah perikop untuk menentukan pilihan arti yang mana yang cocok dengan konteksnya.

Sebagai contoh, frasa “Anak Manusia”. Frase ini munculan di dalam Alkitab begitu berlimpah ruah. Dalam Perjanjian Lama tidak kurang dari 200 kali digunakan; Sedangkan dalam Perjanjian Baru, frasa ini khusus digunakan untuk Yesus tidak kurang dari 80 kali khususnya dalam Kitab-kitab Injil. Biasanya, unitarianisme akan menngunakan frase tersebut untuk mendukung pandangan mereka bahwa Yesus adalah manusia, bukan Allah. Mereka berargumen “Jelas Yesus lahir dari kandungan Maria. Jadi Yesus anaknya Maria. Maria manusia, jadi anaknya Maria ya namanya anak manusia!” Silogisme di atas, walaupun valid secara logis, namun premis-premisnya tidak benar. Secara eksegetis, premisnya bersifat reduksionitis karena mengabaikan arti lain dari pemakaian frasa “Anak Manusia” untuk Yesus dalam Kitab-kitab Injil. Karena dalam Alkitab, frasa “Anak Manusia” digunakan dalam arti yang beragam sesuai dengan konteks penggunaannya. Silogisme tersebut sah apabila dipakai pada bagian-bagian tertentu dalam Alkitab, namun tidak dapat dikatakan sebagai kesimpulan yang mengakomodasi secara utuh semua teks yang mengandung penggunaan frasa “Anak Manusia” dalam Alkitab. Silogisme tersebut hanya benar dalam sebagian kecil konteks penggunaannya, namun tidak seluruhnya benar. Inilah yang dimaksud dengan kesalahan eksegetis yang disebut “reduksi arti yang tak sah”.

5. Transfer Total Arti

Kesalahan eksegesis ini terjadi karena penafsir mentransfer totalitas pemahaman teologisnya berkenaan dengan istilah tertentu kepada penggunaan istilah tersebut dalam sebuah teks tertentu. Sebagai contoh, kita mengenal banyak sekali istilah teknis (Lat. Terminus technicus), seperti: pengudusan, pemilihan, baptisan Roh Kudus, penyembahan (adoration), dan sebagainya. Istilah-istilah ini disebut istilah teknis karena pada istilah-istilah ini termuat satu set pemahaman teologis yang terwakilkan ketika kita menggunakan istilah-istilah ini. Misalnya, ketika kita menggunakan istilah “pemilihan” kita langsung berpikir tentang tindakan berdaulat Allah di dalam kekekalan ketika memilih sebagian orang sesuai dengan kerelaan kehendaknya untuk menikmati manfaat atau khasiat karya penebusan Kristus (definisi penganut Calvinisme). Manfaat penggunaan terminus technicus adalah bahwa kita tidak perlu menggunakan kalimat yang panjang dalam definisi ini untuk bicara tentang suatu konsep. Kita hanya perlu menggunakan sebuah istilah teknis, dan set pemahaman teologisnya langsung terpampang dalam benak kita. Sampai di sini, kita dapat melihat manfaat yang sangat signifikan dari sebuah istilah teknis. Tetapi, kecenderungan penggunaan istilah teknis tersebut dapat memimpin seseorang melakukan kesalahan eksegetis yang disebut transfer total arti kata yang tak sah ketika menafsirkan sebuah kata di dalam sebuah teks tertentu.


Mengapa tindakan mentransfer totalitas pemahaman teologis dari sebuah istilah kepada pengunaannya di dalam sebuah teks tertentu merupakan sebuah kesalahan (illegitimate)? Prinsip penting dalam studi kata (lexiology) adalah bahwa arti atau makna sebuah kata ditentukan oleh konteks penggunaannya pada teks tersebut. Setiap kata di dalam bahasa Ibrani maupun Yunani memiliki lebih dari satu arti. Itulah sebabnya, ketika kita melakukan studi kata, misalnya memeriksa arti sebuah kata dalam sebuah leksikon Ibrani atau Yunani, kita harus sadar bahwa fungsi leksikon tersebut semata-mata memberitahukan kepada kita apa dan berapa banyak pilihan arti yang kita hadapi untuk menerjemahkan atau menafsirkan makna sebuah kata di dalam teks tertentu. Makna sebuah kata di dalam sebuah teks tidak ditentukan oleh leksikon, tidak pula ditentukan oleh arti teknisnya, tetapi oleh konteks penggunaannya. Singkatnya, makna atau arti sebuah kata di dalam teks tertentu tidak ditentukan oleh teologi kita mengenai kata tersebut (technical meaning), melainkan ditentukan oleh konteks penggunaannya di dalam teks tersebut.

6. “Subsequent Meaning” Fallacy

Kesalahan eksegesis ini terjadi karena penafsiran Alkitab menyamakan arti kata dalam sebuah teks yang muncul kemudian dengan kata dalam teks yang muncul sebelumnya. Sebenarnya, arti sebuah kata tidak statis, melainkan dinamis. Pada satu masa, sebuah kata dapat berarti “ini”, namun pada masa berikutnya kata yang sama dapat berarti “itu”. salah satu contoh. Kata martys pada masa ketika Perjanjian Baru ditulis berarti “seorang saksi”. Kata ini, pada abad kedua mengalami perkembangan arti menjadi cenderung agak teknis, yakni digunakan bagi seseorang yang mati karena memilih tetap mempertahankan imannya kepada Kristus ketimbang menyangkalinya. Arti yang terakhir inilah yang umumnya langsung muncul dalam benak kita saat ini tatkala mendengar seseorang menggunakan kata martir. Sebagai contoh, Kisah Para Rasul 1:8 dimana kata martys digunakan, bisa dikacaukan artinya dengan istilah martys yang muncul kemudian dengan arti yang sesungguhnya dimaksudkan oleh kata martys yang digunakan dalam Kisah 1:8. Tentu saja, kita dapat berargumentasi bahwa Stefanus mati sebagai martir (Kisah Para Rasul 7). Tetapi, penekanan utama Kisah 1:8 adalah penyebarluasan berita tentang Kristus sampai ke ujung bumi. Dari segi konteksnya, kata tersebut berarti orang yang terlibat dalam penyebarluasan berita injil, bukan martys dalam pengertian mati karena memilih tetap mempertahankan imannya kepada Kristus ketimbang menyangkalinya. Karena itu, bila seorang penafsir Alkitab tidak hati-hati terhadap fenomena ini, ia dapat tergelincir dalam memaknai makna sebuah kata dalam Alkitab, sebagaimana contoh di atas.

Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :



Achenbach, Reinhard., 2012. Kamus Ibrani-Indonesia Perjanjian Lama. Terjemahan, Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih: Jakarta.

Aritonang, Jan S, 1995. Berbagai Aliran di Dalam di Sereja. Cetakan ke 12. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta.

Arrington, French L., 2004. Christian Doctrine A Pentacostal Perspective, 3 Jilid. Terjemahan, Penerbit Departemen Media BPS GBI : Jakarta.

Boland, B.J., 1984. Intisari Iman Kristen. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Brill, J. Wesley., 1993. Dasar Yang Teguh. Yayasan Kalam Hidup: Bandung.

Braga, James., 1982. Cara Menelaah Alkitab, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Conner, Kevin J., 1993. Pengetahuan Dasar Alkitab, diktat. Harvest International Theological Seminary/Harvest Publication House: Jakarta.

___________., 2004. A Practical Guide To Christian Belief, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

___________., 2004. Jemaat Dalam Perjanjian Baru, terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Conner, Kevin J & Ken Malmin., 1983. Interprenting The Scripture. Edisi Indonesia dengan judul Hermeneuka, Terjemahan 2004. Penerbit Gandum Mas: Malang.

Cornish, Rick., 2007. Five Minute Theologian. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.

___________., 2007. Five Minute Apologist. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung.

Cox, Alan D., 1988. Penafsiran Alkitabiah : Prinsip-prinsip Hermeneutik. Yayasan Lembaga Sabda : Yokyakarta.

Daun, Paulus., 1994. Bidat Kristen Dari Masa Ke Masa. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado.

___________., 2010. Seri Buku Teologi Sistematika (Prolegomena, Bibliologi, Teologi Proper. Penerbit, Yayasan Daun Family: Manado.

Dieleman, Jaap, 2012., The Coming Of The King Of Kings. Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yogyakarta

Douglas, J.D., ed, 1996. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, Jilid I dan II. Terj, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.

Drewes, B.F & Julianus Mojau., 2003. Apa itu teologi? Pengantar Kedalam Ilmu Teologi. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Drewes, B.F, Wilfrid Haubech & Heinrich Vin Siebenthal., 2008. Kunci Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Jilid 1 & 2. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Enns, Paul., 2004.The Moody Handbook of Theology, jilid 1 & 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. 3 Jilid. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 2009. New Dictionary Of Theology. jilid 2, terjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Fisher, Don L., 1987. Pra Hermeneutik. Penerbit Gandum Mas : Malang.

Greig, Gary. S & Kevin N. Spinger, ed., 2001. The Kingdom And The Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Grudem, Wayne., 1994. Systematic Theology: A Introduction to a Biblical Doctrine. Zodervan Publising House : Grand Rapids, Michigan.

Guthrie, Donald., 2010. New Tastemant Theology. 2 Jilid, Terjemahan. Penerbit BPK : Jakarta.

Gutrie, Donald., 1990 New Tastament Introduction. Edisi Indonesia dengan judul Pengantar Perjanjian Baru, Jilid 2, diterjemahkan (2009), Penerbit Momentum: Jakarta.

Handiwijono, Harun, 1999. Iman Kristen, Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Hoekema, Anthony A., 2010. Saved by Grace. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.

Holmes, Arthur F., 2009. All Truth is God’s Truth. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.

Iverson, Dick., 1994. The Holy Spirit Today, Diktat. Terjemahan, Harvest International Teological Seminary, Harvest Publication House: Jakarta.

___________., 1994. Present Day Truths. Terjemahan, Inonesia Harvest Outreaach: Jakarta.

Ladd, George Eldon., 1999, Teologi Perjanjian Baru. Jilid I dan II. Terj, Penerbit Kalam Hidup : Bandung.

LaHaye, Tim., 1988. Mempelajari Alkitab Secara Praktis. Terj, Yayasan Kalam Hidup : Bandung.

Letham, Robert., 2011. The Holy Trinity: In Scripture, History, Theology, and Worship. Terjemahan, Penerbit Momentum : Jakarta.

Lim, David., 2005. Spiritual Gifts: A Fressh Lock. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Margianto, Yoppi., 2004. Belajar Sendiri Bahasa Yunani Berdasarkan Injil Yohanes. Penerbit Andi Offset : Yoyakarta.

Mounce, William D., 2011. Basics of Biblical Greek, edisi 3. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Menzies, William W & Robert P., 2005. Spirit and Power. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Menzies, William W & Stanley M. Horton., 2003. Bible Doctrines: A Pentecostal Perspektive.. Terjemahan, Penerbit, Gospel Press: Batam.

Milne, Bruce., 1993. Knowing The Truth : A Handbook of Christian Belief. Terjemahan, Penerbit BPK : Jakarta.

Naftalino, A., 2011. Teologi Kristen Terpadu dalam Lautan Konsepsi Pluralisme Agama. Dipublikasikan oleh Logos Heaven Light Publicizing: Bekasi.

_____________., 2012. Teologi Kristen Terpadu 2. Dipublikasikan oleh Logos Heaven Light Publicizing: Bekasi.

Ngandas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok.

Nieftrik, G.C. van dan Boland, B.J., 1993. Dogmatika Masa Kini. Penerbit BPK Gunung Mulia: Jakarta.

Pratt, Richard L, Jr., 1995. Menaklukan Segala Pikiran Kepada Kristus. Terjemahan, Penerbit Seminari Alkitab Asia Tenggara : Malang.

Pandensolang, Welly., 2010. Gramatika dan Sintaksis Bahasa Yunani Perjanjian Baru. Penerbit YAI Press : Jakarta.

______________________., 2010. Gramatika dan Sintaksis Bahasa Ibrani Perjanjian Lama. Penerbit YAI Press : Jakarta.

Prince, Derek., 2004. The Holy Spirit in You. Terjemahan, Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia : Jakarta.

___________., 2005. Fondations Rightouness Living. Terj, Penerbit Derek Prince Ministries Indonesia : Jakarta.

Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. Jilid 1 & 2, Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.

Schafer, Ruth., 2004. Belajar Bahasa Yunani Koine: Panduan Memahami dan Menerjemahkan Teks Perjanjian Baru. Penerbit BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Stamps, Donald. C, ed., 1994. Full Life Bible Studi. Penerbit Gandum Mas : Malang.

Soedarmo, R.,1984. Ikhtisar Dogmatika. BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Stott, John R.W., 2000. Memahami Isi Alkitab. Terj. Diterbitkan oleh Persekutuan Pembaca Alkitab : Jakarta.

Susanto, Hasan., 2003. Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid I & II. Penerbit Literatur SAAT : Malang.

___________., 2011. Hermeneutika: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab. Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Tabb, Mark, ed., 2011. Theology. Terjemahan, Penerbit Yayasan Gloria : Yogyakarta.

Tenney, Merril C., 1985. New Testament Survey. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Tong, Stephen., 2011. Iman, Rasio dan Kebenaran. Penerbit Momentum : Jakarta.

Towns, Elmer L., 2011. Inti Kekristenan: Apa sebenarnya Kekristenan itu? Terjemahan, Penerbit Nafiri Gabriel : Jakarta Barat.

Vincent, Alan, Charles C., 2011. Heaven On Earth. Terjemahan, Penerbit ANDI Offset : Yogyakarta.

Wagner, C. Peter, 1998. Berdoa dengan Penuh Kuasa. Terjemahan, penerbit Nafiri Gabriel: Jakarta.

__________________., 1999. Gereja-Gereja Rasuli Yang Baru. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.

Walton, John H dan Andrew E. Hill., 1991. A Survey of The Old Tastament. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Warren, Rick., 1995. Metode Penafsiran Alkitab Yang Dinamis. Terjemahan, Penerbit Yayasan ANDI : Yokyakarta.

[1] Penulis, memposisikan diri sebagai teolog Protestan-Kharismatik, Pendeta dan Gembala di GBAP Jemaat El Shaddai; Memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (SE) dari Universitas Negeri Palangka Raya; M.Th in Christian Leadership (2007) dan M.Th in Systematic Theology (2009) dari STT-ITC Trinity. Setelah mempelajari Alkitab lebih dari 15 tahun menyimpulkan tiga keyakinannya terhadap Alkitab yaitu : (1) Alkitab berasal dari Allah. Ini mengkonfirmasikan kembali bahwa Alkitab adalah wahyu Allah yang tanpa kesalahan dan Alkitab diinspirasikan Allah; (2) Alkitab dapat dimengerti dan dapat dipahami oleh pikiran manusia dengan cara yang rasional melalui iluminasi Roh Kudus; dan (3) Alkitab dapat dijelaskan dengan cara yang teratur dan sistematis.

[2] Lihat, Ngandas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok, hal. 16.

[3] Lihat. Ibid.

[4] Lihat, Ibit, hal. 17.

[5] Conner, Kevin J & Ken Malmin., 1983. Interprenting The Scripture. Edisi Indonesia dengan judul Hermeneuka, Terjemahan 2004. Penerbit Gandum Mas: Malang, hal. 13.

[6] Lihat. Off.cit, hal. 17.

[7] Lihat, Ibit, hal. 17.

[8] Lihat, ______________., 1993. Pengetahuan Dasar Alkitab. Diktat, Program HLI, Harvest International Theological Seminary: Jakarta, hal. 16.

[9] Lihat. Penjelasan Gunawan, Samuel T., 2009. Pengantar Hermeneutika Alkitab. Diktat. Dicetak dan diterbitkan oleh BESEI Ministries: Palangka Raya, hal 6-8; Lihat, ______________., 1993. Pengetahuan Dasar Alkitab. Diktat, Program HLI, Harvest International Theological Seminary: Jakarta, hal. 15-18; Ngandas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok, hal. 27-29.

[10] Ngandas, Deky Hidnas Yan., 2013. Paradigma Eksegetis Penting dan Harus. Penerbit Indie Publising: Depok, hal. 30.

[11] Unitarianisme masa kini dipengaruhi oleh Socinianisme. Socinus, pada abad keenam belas mengajarkan pandangan yang mirip dengan Arianisme. Socinianisme mengajarkan bahwa adalah keliru untuk mempercayai Pribadi-Pribadi dari Trinitas memiliki satu hakikat yang esa. Paham ini mengajarkan bahwa hanya ada satu zat ilahi yang terdiri hanya satu Pribadi. Walau mengikuti Arius, tetapi Socinus melampaui Arianisme dalam penyangkalannya tentang pra eksistensi Anak dan menganggap Anak hanya seorang manusia. Charles C. Ryrie, menyatakan, “Pandangan Socianisme ini mempengaruhi Unitarianisme Inggris dan Deisme Inggris. Kebanyakan penganut Unitarianisme bukan penganut Deisme, tetapi semua penganut Deisme mempunyai konsep Unitarian tentang Allah. Garis bidat adalah Arianisme ke Socianisme ke Unitarianisme ke Deisme. Unitarianisme Amerika adalah turunan langsung dari Unitarianisme Inggris” (Ryrie, Teologi Dasar, Jilid 1, hal. 78). MEMPERKENALKAN EKSEGESIS ALKITAB.
Next Post Previous Post