DOKTRIN UNIVERSALISME

Pdt. Paulus Daun, M.Th. 

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN UNIVERSALISME 

Sebenarnya Universalisme bukan barang baru, melainkan jauh sebelumnya paham ini sudah melanda dan merisaukan Gereja. Jika kita mau menelusuri asal-mula pandangan Universalisme ini, maka perlu kita melihat seorang tokoh Gereja abad kedua yang bernama Origen (185-254). 

Origen dilahirkan pada tahun 185 A.D. di tengah-tengah keluarga Kristen yang mengasihi Tuhan di Aleksandria. Pada tahun 202 A.D. ayahnya yang bernama Leonides ditangkap dan diminta untuk menyangkali Tuhan yang dipercayai, tetapi ditolak dengan tegas, sehingga pengadilan menjatuhkan hukuman mati. Origen dengan perasaan sedih menulis surat kepada ayahnya agar tabah dan tetap setia kepada Tuhan. Menurut cerita, Origen juga mau mati syahid bagi Tuhan dengan menyerahkan diri, tetapi ibunya berusaha menahan dengan menyembunyikan pakaiannya, sehingga Origen tidak jadi mati syahid bagi Tuhan. 

Ia adalah seorang cendikiawan Kristen yang sangat disegani. Di bawah asuhan beberapa filsuf kafir yang terkenal, sehingga ia menjadi seorang yang sepenuhnya menguasai filsafat Yunani. Dan diisukan juga bahwa Origen pernah menimba ilmu dari filsuf Ammonius Sakkas yang terkenal sebagai pendiri Neo-Platonisme. Pada usia yang relatif muda, yaitu 18 tahun, ia telah menjadi kepala di sebuah Sekolah Alkitab. Karya tulisnya sangat banyak dan diduga mencapai enam-ribuan buah, tapi sayang banyak yang sudah musnah. 

Di antara karyanya yang paling terkenal adalah “Hexapla” yang berisi enam buku penafsiran; “First Principles” (pengantar ke dalam Teologi Sistematika) dan “Against Celsus” (Buku Apologetika Kristen). Origen menuntut kehidupan yang saleh dan sederhana, menjauhi diri dari minuman keras, hawa nafsu, sering mengekang diri, berpuasa dan tidur di atas dipan tanpa alas. Menurut cerita bahwa pengabdiannya menuntut kehidupan saleh dan sederhana begitu menyeluruh dan konsekwen. Pola hidup yang saleh dan sederhana ini, menyebabkan ia sangat dihormati dan dikagumi. 

Popularitas Origen ini, menimbulkan kedengkian dan kecemburuan Uskup Aleksandria yang bernama Demetrius, ditambah sikap pembangkang untuk tidak mendukung memperluas kekuasaan Demetrius sebagai uskup, maka Origen dipecat dari jabatan rektor yang dipegang selama 28 tahun. Tapi pemecatan tersebut, tidak mematahkan semangatnya, melainkan setelah pemecatan tersebut, ia mendirikan sebuah pusat penelitian di Kaisaria, Palestina untuk melanjutkan sumbangsih kepada masyarakat. 

Pada waktu terjadi penganiayaan di bawah Decius antara tahun 249-251, ia dijebloskan ke dalam penjara. Keyakinan dan kesetiaannya pada Tuhan yang dipercayainya, sehingga menerima siksaan yang luar biasa sadisnya. Akibat siksaan ini merusak kesehatan tubuhnya, sehingga pada tahun 254 sesudah Kristus, ia meninggalkan dunia yang fana ini. 

Meskipun dari segi kehidupan Origen sangat saleh, tapi sayang dari segi keyakinan yang bersifat teologis ia mengambil garis salah. Pandangan-pandangan teologia yang bersifat prinsipil, baik tentang Allah Tritunggal, maupun tentang “keselamatan” (soteriologi) sangat jauh meninggalkan Alkitab, sehingga pandangannya digolongkan sebagai bidat. 

Di dalam pengajaran Allah Tritunggal ia berpandangan bahwa Allah Tritunggal itu bertingkat. Allah Bapa lebih besar dari Allah Anak dan Allah Anak lebih besar dari Allah Roh Kudus. Hanya Allah Bapa adalah Allah yang sejati, sedangkan Allah Anak dan Roh Kudus di bawah dan lebih rendah dari Allah Bapa. (Tony Lane, RUNTUT PIJAR, hal. 19). 

Tentang doktrin keselamatan ia berpandangan bahwa Allah itu kasih adanya, karena kasih inilah sehingga Allah tidak sampai hati untuk menghukum manusia. Sebab itu pada akhirnya semua orang baik yang percaya maupun tidak, akan diselamatkan. Dan disebutkan pula bahwa orang-orang yang berada di neraka, masih mempunyai kesempatan untuk bertobat dan diselamatkan, bahkan dikatakan pula bahwa iblis dan antek-anteknya juga akan memperoleh keselamatan (C.S. Chen, CHINESE CHRUCHES TODAY, bulan Agustus 1984, hal. 32). 

Pandangan tentang keselamatan ini, mempengaruhi orang-orang dikemudian hari, sehingga muncullah doktrin sesat yang kemudian menyebut diri sebagai Universalis. Metode yang dipergunakan dalam penafsiran Alkitab yang condong ke arah alegoris, menyebabkan penafsirannya agak jauh meninggalkan hakekat kebenaran yang terdapat dalam Alkitab. 

Metode alegoris yang berasal dari filsuf-filsuf Yunani yang pada mulanya dipergunakan untuk mempelajari ulah dewa-dewi dalam cerita Yunani, tanpa sadar dipakai oleh Origen dalam menafsirkan Alkitab, maka tidak heran jika ada orang yang menuduhnya “memasukkan gagasan Platonis ke dalam mitos asing”, yaitu menafsirkan Alkitab menurut ajaran Platonisme. (Tony Lane, RUNTUT PIJAR, hal. 17). 

Pandangan-pandangan dan cara-cara Origen ini, sehingga pada Sidang Konsili yang diselenggarakan pada tahun 543 sesudah Kristus di Konstantinopel, menetapkan Origen sebagai bidat; khususnya pandangannya atau doktrin yang dikemuka tentang keselamatan yang disebut “Cosmological Universalism” sebagai ajaran yang salah. Meskipun pandangan Origen salah, tapi kelihatan ia mempunyai pendukung; di antaranya adalah Gregory dari Nyssa (332-394), Diodore dari Tarsus, Theodore dari Mopsuestia. 

Harus diakui, karena pandangan ini menyebabkan Gereja mengalami sedikit goncangan, tapi tidak membawa pengaruh yang luar biasa. Setelah itu, kelihatan Gereja cukup lama tidak diganggu oleh paham yang bersifat universalis ini. Tapi sekitar abad keenam belas sampai delapan belas, muncul kembali paham yang sejenis, tapi jelas tidak membawa pengaruh yang cukup besar. Di antara orang yang menerima dan mengeksposkan adalah, John Denick, Richard Copping, Peter Stery, William Law dan lain-lainnya. 

Pada abad kesembilan belas dan keduapuluh, yaitu setelah manusia dilanda kepahit-getiran karena mengalami duakali perang dunia; kepahitan getiran penjajahan; bangkitnya kembali agama-agama kuno dan merosotnya kebudayaan barat dan agama Kristen; kecenderungan “kebebasan” berpikir; sehingga membangkitkan jiwa nasionalis, sukuisme, solidaritas dan kerinduan pada kasih dan perhatian. 

Hal-hal ini memberi angin segar dan keuntungan bagi bagkitnya paham Universalisme. Karena paham Universalisme yang menggembar-nggemborkan tentang kasih Allah, sangat cocok dengan kebutuhan orang-orang yang baru saja mengalami kepahit-getirnya akibat perang, penjajahan dan lain-lain; maka tidak heran, dalam waktu yang relatif singkat, banyak sekali penganutnya. 

DOKTRIN UNIVERSALISME 

Origen berteori bahwa pengajaran Alkitab tentang hukuman bagi orang yang berdosa bukan dimaksudkan hukuman kekal, melainkan hukuman yang bersifat temporer dalam bentuk kesedihan yang mendalam, sehubungan putusnya hubungan dengan Allah. Sebab itu, hukuman ini pada suatukali akan berakhir dan pada suatukali kelak juga akan diadakan pemulihan seperti kondisi semula(menurut penulis, yang dimaksud “kondisi semula” adalah kondisi sebelum manusia jatuh ke dalam dosa). Dengan kata lain bahwa pada akhirnya semua manusia akan diselamatkan. Berpangkal dari pandangan Origen ini, maka dikemudian hari dikembangkan dalam berbagai bentuk teori yang berorientasi pada pandangan ini. 

Di bawah ini penulis berusaha mengemukakan beberapa macam teori pengajaran yang penting dari paham Universalis: 

Perubahan Universal (Universal Conversion) 

Teori ini berpegang bahwa semua manusia akan diselamatkan melalui jalur yang sudah ditentukan oleh Alkitab, yaitu pertobatan dan percaya. Pendukung-pendukung pandangan ini percaya bahwa pada suatu hari dunia ini akan berhasil diinjili dan semua manusia pada waktu itu akan memberi respon terhadap Injil dan diselamatkan. 

Penebusan Universal (Universal Atonement) 

Teori ini mengemukakan bahwa kematian Kristus di atas kayu salib yang telah menggenapi rencana keselamatan Allah bagi umat manusia, bukan hanya diperuntukan bagi sebagian bangsa, ras, golongan atau orang yang dipilih saja, melainkan untuk semua oran yang ada di seluruh dunia ini. 

Peluang Universal (Universal Opportunity) 

Pendukung teori ini percaya bahwa setiap orang dalam hidupnya pasti mempunyai kesempatan untuk memberi respon pada keselamatan. Kesempatan untuk diselamatkan ini bukan terbatas bagi orang yang mendengarkan proklamasi Injil dan yang mendapatkan pengetahuan isi dari Wahyu Khusus, melainkan juga bagi mereka yang memiliki iman kepercayaan dalam Kristus akibat keterbukaannya terhadap Wahyu Umum, seperti yang dikemukakan dalam Mazmur 19, Roma 1 dan 2. 

Peluang Eksplisit Universal (Universal Explicit Opportunity) 

Penganut teori ini menganggap bahwa sudah jelas setiap orang akan mempunyai peluang untuk mendengar Injil. Jika ada orang tidak mempunyai peluang tersebut dalam masa hidup di dunia, ia masih mempunyai kesempatan pada masa mendatang. Dengan kata lain, orang tersebut masih mempunyai kesempatan kedua, setelah ia meninggal dunia. 

Sebagian dari pendukung teori ini percaya bahwa orang-orang yang pernah mendengar tapi menolak akan berhadapan dengan tuntutan Kristus (yang dimaksud “tuntutan” bukan “pertanggung-jawaban atas dosa”, melainkan tuntutan agar mereka percaya) setelah hidup mereka. Ide ini berarti sama dengan ide bahwa setiap orang masih mempunyai peluang pada akhirnya pasti menerima tuntutan agar percaya itu. 

Perdamaian Universal (Universal Reconciliation) 

Teori ini berpendapat bahwa tujuan kematian Kristus telah menggenapi maksud perdamaian antara manusia dengan Allah. Melalui kematian Kristus, memungkinkan Allah untuk menerima manusia yang berdosa, dan hal ini benar-benar sudah dilakukan oleh Kristus. Dengan demikian, segala perasaan yang menghantui perpisahan antara diri manusia dengan anugerah Allah, hanya berupa pemikiran yang ada dalam benak dirinya saja. 

Sebab itu, yang penting untuk diketahui manusia, bukan cerita bahwa ia memiliki peluang untuk diselamatkan, melainkan berita bahwa dirinya sudah memiliki keselamatan tersebut, sehingga ia dapat menikmati suka-cita atas berkat-berkat yang memang sudah menjadi miliknya. Kebenaran ini jelas ditegaskan dalam 2Korintus 5:18 yang berbunyi, “Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami.” 

Pengampunan Universal (Universal Pardon) 

Teori beranggapan bahwa Allah itu kasih, dan Ia tidak akan meminta pertanggung-jawaban terhadap kondisi yang sudah diaturnya. Memang benar Ia mengancam untuk menghukum manusia yang tidak menerima-Nya, tapi sebenarnya pada akhirnya Ia akan mengampuni semuanya. Dengan demikian, tidak diperlukan lagi ujian iman. Allah akan memperlakukan setiap orang yang sudah percaya, maka perlulah dia memikirkan perumpamaan Yesus tentang “orang upahan di kebun anggur”. Mereka mendapat upah yang sama, meskipun jam kerja mereka berbeda. 

Pemulihan Universal (Universal Restoration) 

Origen berkeyakinan bahwa pada suatu hari kelak, Allah akan memulihkan secara universal kondisi manusia seperti keadaan semula. Pada waktu itu akan terjadi keselamatan yang menyeluruh (Full Salvation). Allah akan membawa seluruh umat manusia masuk ke negeri yang indah sempurna, tanpa cacat. 

Kasih Universal (Universal Love) 

Pemegang teori ini mengatakan bahwa Allah itu kasih adanya. Kasih Allah yang agung ini, sehingga Ia rela menyerahkan Putra Tunggalnya Yesus Kristus untuk datang di dunia. Karena kasih-Nya ini, sehingga Ia rela melihat Anak satu-satunya ini menderita selama kurang lebih tiga puluh tiga tahun setengah di dunia. Karena kasih-Nya, sehingga membiarkan Putera Tunggal-Nya ini naik ke bukit Golgota, menerima siksaan dan akhirnya mati di atas kayu salib. 

Karena pengorbanan Yesus Kristus, sehingga merampungkan rencana keselamatan Allah bagi umat manusia. Karena Allah kasih adanya, maka dikemudian hari tidak ada satu pun manusia yang binasa, melainkan semuanya akan naik ke surga. Jika sampai ada manusia yang binasa, maka kasih yang dinyatakan Allah itu munafik dan tidak benar. Bahkan di antara mereka ada yang berkata, “Jika Allah membiarkan manusia binasa, maka Allah itu bukan Allah lagi, melainkan Allah yang telah berubah menjadi Iblis yang sangat menakutkan” (Harold Lindsell, THE CHUCHE’S WORLDWIDE MISSION, hal. 73). 

Pengharapan Universal (Universal Hope) 

Pengajaran yang dikenal dengan sebutan “Doctrin Greater Hope” (Doktrin Pengharapan yang lebih besar) mengemukakan bahwa 1 Petrus 3:18 menyebutkan, “Kristus telah mati satu kali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh.” dijadikan dasar keyakinan, baik sekarang maupun akan datang, semua orang mempunyai pengharapan untuk diselamatkan. 

Mereka beranggapan bahwa baik dulu, sekarang dan akan datang tidak ada tempat hukuman yang disebut neraka. JIka sampai ada orang masuk ke dalam neraka, maka berarti keselematan yang sudah dirampungkan oleh Kristus itu, kurang sempurna. Di samping itu, situasi dan kondisi neraka yang begitu menakutkan, bukankah berlawanan dengan sifat Allah yang maha kasih? Sebab itu, tidak mungkin Allah menyediakan tempat penyiksaan seperti neraka itu! Tetapi mereka juga menyadari bahwa keberadaan neraka dengan jelas disebutkan dalam Alkitab. 

Untuk menanggulangi masalah ini, maka mereka mengajukan argumentasi bahwa kemungkinan neraka tersebut ada, tapi orang-orang yang pergi ke tempat itu, hanyalah bersifat sementara saja. Karena di tempat ini Allah masih memberi kesempatan bagi penghuni neraka untuk bertobat dan menerima keselamatan. Di tempat yang sangat menderita ini, penghuni neraka akan dengan mudah tergerak hatinya untuk menerima Tuhan Yesus sebagai Juruselamat. Begitu ia percaya, langsung dipindahkan ke surga. Dengan demikian, pada akhirnya seluruh umat manusia diselamatkan! 

Jaminan Universal (Universal Guarantee) 

Penganut teori ini menerima dengan yakin bahwa Yesus Kristus adalah satu-satunya Juruselamat dunia yang sudah mati bagi seluruh umat manusia. Jika karena satu orang (Adam) yang gagal, sehingga seluruh manusia berada di dalam kekuasaan dosa; tetapi dengan kesuksesan satu orang (Yesus Kristus), maka seluruh umat manusia dibenarkan. Dengan berlandaskan argumentasi ini, maka mereka mengambil kesimpulan bahwa baik orang yang percaya maupun tidak percaya kepada Kristus, akan diselamatkan. 

Karena keselamatan seluruh umat manusia sudah dijamin di atas kayu salib. Yang dimaksudkan dengan Amanat Agung Tuhan yang ditugaskan Allah kepada umat Kristen, bukan mempersoalkan percaya atau tidak, melainkan hanya memberitahukan kabar baik kepada umat manusia, bahwa keselamatan mereka sudah dijamin di atas kayu salib. 

Keselamatan Universal (Universal Salvation) 

Teori ini berpendapat bahwa keselamatan bukan hanya terdapat di dalam agama Kristen saja, melainkan juga terdapat di dalam agama-agama lainnya. Agama-agama yang ada di dunia ini sama. Yang beda hanya caranya saja, tetapi tujuannya akan sama. Dengan kata lain, bahwa “semua jalan pada akhirnya membawa ke kota Roma. Pada tahun 1983 di Vancouver (Kanada), dalam Sidang Dewan Gereja-gereja Sedunia, mantan Ketua Dialog Agama, Dr. Dick Mulder menyatakan bahwa ia menganggap bahwa orang yang nonKristen itu tidak binasa (CHINESE CHURCHES TODAY, bulan Agustus 1984, hal. 32). 

Rahasia Universal (Universal Secret) 

Teori ini menyatakan bahwa Injil keselamatan bukan saja disebarkan melalui Gereja, sehingga orang mendapatkan keselamatan dalam Kristus dan juga Allah mempergunakan cara yang penuh rahasia yang tidak diketahui Gereja untuk menyelamatkan orang-orang yang beragama lain. 

Moral Universal (Universal Moral) 

Menurut teori ini menyebutkan bahwa banyak terdapat manusia di bumi ini yang tidak secara terang atau terbuka menyebut diri sebagai orang Kristen, tapi dalam kehidupannya menunjukkan moral dan mental yang merefleksikan imannya dalam Kristus. Meskipun ia tidak menerima Kristus, tidak menjadi salah satu Gereja, tidak pernah menginjak kakinya di Gereja dan tidak menyandang predikat sebagai orang Kristen, tapi pada hakekatnya menyatakan kehidupan yang baik yang sama seperti orang Kristen, maka seyogianya orang tersebut juga diselamatkan. 

EKSES NEGATIF DOKTRIN UNIVERSALISME 

Dengan adanya pandangan tentang keselamatan yang tersebut di atas dari Universalisme, akan menimbulkan bahaya atau ekses-ekses yang negatif dalam pandangan hidup, sikap dan perbuatan. 

Ekses-ekses negatif tersebut, antara lain adalah: 

Dengan kemudahan sangat mendapatkan keselamatan, tanpa pertobatan, percaya, dilahirkan baru, memperoleh hidup baru dari Yesus Kristus; dengan jaminan pasti tentang keselamatan dikemudian hari akan mendorong manusia untuk meremehkan tanggung-jawab mereka, khususnya di bidang moral. 

Dalam hal ini Dr. John Pao mengatakan, “Bahaya ajaran Universalisme adalah menghilangkan daya kontrol dalam kehidupan manusia. Jika semuanya pada suatu kali diselamatkan, kehidupan sekarang tidak menentukan kehidupan kelak, maka manusia bisa bertindak semau gue selama di dunia ini. Jika manusia tidak usah lagi mempertanggungjawabkan tindakan selama di dunia di akhirat nanti, maka manusia akan kehilangan daya dan motivasi untuk menjauhi kejahatan dan mencintai kebenaran (John Pao, EQUIPPED WITH TRUTH, hal. 53). 

Dr. Arthur M. Climenhaga menyebutkan juga bahwa umat Kristen atau pendeta yang menerima paham ini, bukan saja akan menolak iman kepercayaan Kristen, antara lain tentang Allah Tritunggal dan otoritas Alkitab, dan juga menurunkan standard moral mereka ketitik yang terendah (Harold Lindsell, THE CHURCH’S WORLDWIDE MISSION, hal. 73). 

Paham Universalisme menaburkan benih keragu-raguan orang terhadap Firman Allah. Jika dikatakan orang di luar Kristus bisa diselamatkan, lalu bagaimana dengan perkataan Yesus Kristus yang mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6); dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan (Kis. 4:12). 

Dengan demikian, bukankah paham ini menjadikan kata-kata Tuhan Yesus dan Alktitab sebagai bualan saja? Dengan demikian pula, bukankah paham ini secara langsung atau tidak langsung menumbangkan otoritas Alkitab sebagai firman Allah? 

Menurut Dr. Arthur M. Climenhaga bahwa paham Universalisme ini akan membawa manusia pada suatu kali kepada sinkretisme (ibid. hal 81). Pernyataan ini bukan tanpa dasar, karena menyamakan semua agama di dunia, maka akan timbul anggapan semua ini dapat disatukan, dengan cara mencari persamaannya dengan menghilangkan perbedaannya. 

Paham ini akan menutup kemungkinan kesempatan manusia untuk bertobat. Dengan kata lain, paham ini akan mencelakakan banyak orang. Bukankah firman Tuhan mengatakan, “Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah” (Yoh. 3:18); “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.” (Yohanes 3:36)? 

Paham ini akan melemahkan semangat anak-anak Tuhan dalam penginjilan. Jika semua orang diselamatkan, untuk apalagi kita mengabarkan Injil? Dr. John Pao mengatakan, “Jika demikian, untuk apa kita mengirim misionaris ke luar negeri? Untuk apa kita mempersembahkan diri untuk mengabarkan Injil? Untuk apa kita mendukung pekerjaan Gereja? Untuk apa kita berdoa bagi jiwa-jiwa yang belum mengenal Tuhan? Untuk apa?…untuk apa… (John Pao, EQUIPPED WITH TRUTH, hal. 53). 

UNIVERSALISME DI BAWAH TERANG FIRMAN TUHAN 

Doktrin Allah Kasih Adanya 

Dengan dalih bahwa Allah kasih adanya dan dilengkapi dengan ayat-ayat Alkitab sebagai pendukung, memberi gambaran bahwa dasar teologia mereka cukup mantap dan dapat dipertanggungjawabkan. Harus diakui bahwa ajaran Alkitab dengan pasti menyebutkan bahwa Allah itu kasih adanya, tetapi patut disesalkan bahwa penganut Universalisme melupakan bahwa Allah di samping kasih adanya, dan juga adil dan suci adanya. 

Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa Allah itu suci. Hal ini dapat kita lihat di dalam firman Allah: “Sebab Akulah Tuhan, Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu…” (Im. 11:44); “Tidakkah kamu sanggup beribadah kepada Tuhan, sebab Dialah Allah yang kudus, Dialah Allah yang cemburu…” (Yosua 24:19); “Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1Petrus 1:15-16) dan lain-lain. 

Alkitab juga menyebutkan bahwa Allah itu Adil adanya. Hal ini dapat kita lihat di dalam ayat-ayat sebagai berikut: “…Allah yang setia, dengan tiada kecurangan, adil dan benar Dia.” (Ulangan 32:4); “Sebab Tuhan adalah adil dan Ia mengasihi keadilan…” (Mazmur 11:7); “Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan…” (Ibrani 1:9); “…Ia setia dan adil… (1Yohanes 1:9) dan sebagainya. 

Adapula ayat Alkitab menyebut kesucian dan keadilan Allah secara bersamaan, di antaranya adalah: “Tetapi kamu telah menolak yang kudus dan benar (adil)…” (Kis. 3:14). 

Ketiga sifat Allah ini tidak boleh saling bertolak belakang. Allah tidak dapat karena menitikberatkan pada kasih-Nya, lalu mengkhianati keadilan dan kesucian-Nya dan Ia tidak dapat pula menitikberatkan keadilan dan kesucian, lalu mengkhianati kasih-Nya. Memang kasih Allah menyebabkan Ia tidak mau menjatuhkan hukuman kepada manusia yang diciptakan-Nya, tapi kesucian dan keadilan Allah tidak dapat mentolerir adanya kesalahan dan dosa. 

Kesalahan dan dosa akan tetap dituntut dengan hukuman. Untuk mewujudkan ketiga sifat Allah di atas diri manusia yang berdosa, maka Allah perlu mengutus Putera Tunggal-Nya Yesus Kristus datang di dunia ini, dengan salah satu tujuan adalah: dengan kematian di atas kayu salib, Yesus Kristus menanggung hukuman dosa dan kesalahan manusia. Dalam hal ini tuntutan kesucian dan keadilan Allah sudah digenapi; dengan pengorbanan di atas kayu salib, Yesus Kristus juga menyatakan kasih Allah. 

Karena Allah mengasihi umat manusia, telah menyediakan keselamatan di dalam Yesus Kristus. Untuk terhindar dari hukuman akibat dosa dan kesalahan, maka manusia harus menerima keselamatan tersebut dengan jalan percaya kepada Yesus Kristus. Sebab itu, banyak ayat-ayat Alkitab yang menyatakan kebenaran ini. 

Di antaranya yang sangat tegas dan gamlang menyinggung tentang hal ini adalah yang berbunyi, “…supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal.” (Yoh. 3:16); “Barangsiapa percaya kepada-Nya (Yesus Kristus) ia tidak dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah.” (Yoh. 3:18); “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.” (Yohanes 3:36). 

Doktrin Keselamatan yang Universal 

Dengan dalih Allah kasih adanya, maka manusia yang tidak tahu sama sekali dengan kekristenan dapat pula menerima keselamatan. Dengan kata lain, bahwa keselamatan itu untuk seluruh umat manusia, dengan tidak melihat, apakah orang tersebut, percaya atau tidak! Dasar teologia yang akurat yang dikemukakan kaum Universalisme adalah Roma 5:18 yang berbunyi, “Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup.” 

Menurut penjelasan kaum Universalisme, ayat ini dengan jelas dan secara mantap mendukung pandangan mereka. Jika oleh karena satu pelanggaran yang dilakukan Adam, maka semua manusia dihukum, tapi dengan satu perbuatan yang benar yang dilakukan Yesus Kristus, semua manusia dilepaskan dari hukuman. 

Memang secara sepintas, kelihatan argumentasi mereka ini benar, tapi pada hakekatnya salah kaprah. Menurut salah satu persyaratan ilmu Hermeniutika, membaca atau menyelidiki firman Allah tidak boleh sepotong-potong, melainkan secara utuh, yaitu dengan cara melihat ayat sebelum dan sesudahnya. Jika kita membaca secara seutuhnya dengan melihat ayat sebelumnya, maka pengertian ayat ini akan berlainan. Memang benar karena pelanggaran Adam, sehingga manusia dihukum, tapi berbuat benar yang dilakukan Tuhan Yesus, bukan setiap orang bisa dibenarkan. 

Karena maksud kata “semua orang” beroleh pembenaran untuk hidup, bukan ditujukan kepada semua orang baik yang percaya maupun tidak, melainkan kata “semua orang” hanya ditujukan kepada “mereka” yang menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran. Hal ini dikemukakan oleh ayat sebelumnya, yaitu ayat 17. Kata-kata ayat 17 dan 18 berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan, bahkan kata “sebab itu” dalam ayat 18 menunjukkan bukti nyata bahwa kata-kata ayat 18 adalah kelanjutan dari kata-kata ayat 17. 

Konkretnya, kata “semua orang” yang dimaksud dalam ayat 18b adalah “mereka” yang menerima kasih karunia dan anugerah kebenaran itu. Siapakah “mereka” yang menerima kasih karunia dan anugerah kebenaran itu? Yaitu orang yang berada di dalam Yesus Kristus (Efesus 2:8-10). 

Ayat lain yang menjadi dasar kuat untuk pandangan teologia mereka adalah 2 Petrus 3:9 yang berbunyi, “…karena Ia tidak menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat.” 

Memang benar kata mereka, bahwa Allah tidak menghendaki seorangpun manusia binasa, tapi bukan berarti bahwa semua orang bisa selamat, karena kata berikutnya menyebutkan “berbalik dan bertobat”. Dengan kata lain, Allah menghendaki semua orang diselamatkan, tapi keselamatan ini diperoleh harus berbalik dan bertobat. Apa yang dimaksud berbalik dan bertobat? Arti berbalik dan bertobat adalah meninggalkan dosa, kembali kepada kebenaran; meninggalkan iblis untuk kembali pada Allah. 

Untuk kembali pada Allah dan kebenaran, yaitu dengan percaya dan menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Kisah Para Rasul 26:17-18, “…Dan Aku akan mengutus engkau kepada mereka, untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik (bertobat) dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa iblis kepada Allah, supaya mereka oleh iman mereka kepada-Ku memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan.” 

Doktrin Eksistensi Neraka 

Dengan dalih yang sama, yaitu Allah itu kasih adanya, mereka berusaha untuk mentiadakan eksistensi neraka dengan segala konsekwensinya yang menakutkan akibat dosa. Usaha untuk mentiadakan eksistensi neraka, jelas adalah hal yang mustahil. Karena Alkitab dengan jelas dan gamblang mengemukakan tentang eksistensi neraka. Minimal dalam Alkitab menyebutkan tempat yang berkaitan dengan neraka sebanyak dua belas kali. 

Di antaranya sepuluh kali disebut langsung oleh Tuhan Yesus. Matius 5:22, “…dan barangsiapa yang berkata: jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.”; ayat 29, “…dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka.” ayat 30, “…dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.”; Matius 10:28, “…takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.”; Matius 18:9, “…karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua.”; Matius 23:15, “…kamu menjadikan dia orang neraka, yang dua kali lebih jahat dari pada kamu sendiri.” dan lain-lain. 

Kitab Wahyu yang bersifat nubuatan akan hal-hal masa mendatang, dengan jelas juga mengutarakan secara akurat eksistensi neraka. Di antaranya: Wahyu 20:10, “…dilemparkan ke dalam lautan api dan belerang, yaitu tempat binatang dan nabi palsu itu, dan mereka disiksa siang malam sampai selama-lamanya.”; ayat 14, “lalu mau dan kerajaan maut dilemparkanlah ke dalam lautan api. 

Itulah kematian yang kedua: lautan api.”; ayat 15, “Dan setiap orang yang tidak ditemukan namanya tertulis di dalam kitab kehidupan itu, ia dilemparkan ke dalam lautan api itu.” Wahyu 21:8, “…mereka akan mendapat bagian mereka di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang; inilah kematian yang kedua.” dan lain-lainnya. 

Kata “neraka” dalam bahasa Yunani adalah “gehenna” dan bahasa Ibraninya adalah “ge’hinnom”. Pada mulanya yang dimaksud dengan kata ini adalah sebuah lembah yang berada di barat daya kota Yerusalem yang biasanya dipakai untuk membakar sampah atay membakar mayat. Dalam Perjanjian Lama, tempat ini dipakai untuk menyajikan korban dan membakar anak-anak sebagai persembahan kepada dewa-dewa (2Tawarikh 28:3); sebagai tempat untuk berbuat berbagai kejahatan (2Tawarikh 33:6). Dalam masa Yesus Kristus, istilah ini dipakai sebagai tempat kutukan dan hukuman pada masa yang akan datang. Dengan demikian, keberadaan “neraka” tidak perlu disangsikan. 

Ada sebagian penganut Universalisme tidak dapat membantah keberadaan “neraka” ini, tapi tetap berpendapat bahwa Allah yang Mahakasih itu tidak mungkin mau manusia menderita untuk selamanya, maka mereka mengemukakan sebuah teori yang menyebutkan manusia jahat akan dimasukkan ke dalam neraka, tapi sifatnya sementara. 

Orang jahat yang menjadi penghuninya masih mempunyai kesempatan untuk bertobat dan pada akhirnya mereka pasti bertobat, karena penderitaan di neraka membuat jera dan juga melembutkan hati mereka. Sebab itu, tatkala Injil dikabarkan, maka secara spontan mereka menerimanya. Dan disebutkan pula bahwa bukan saja manusia bisa bertobat, demikian pula malaekat yang jatuh, yaitu iblis yang juga pada akhirnya diselamatkan dari api neraka. 

Apakah mungkin iblis dan manusia yang sudah memasuki alam kekal (neraka) mendapatkan keselamatan? Tidak mungkin! Kesempatan untuk bertobat bagi malaekat yang jatuh jelas tidak mungkin. Karena pada waktu kejatuhannya berada di alam kekal, sebab itu dosanya kekal adanya. 

Demikian juga dengan manusia yang berbuat dosa dalam dunia, masih mempunyai kesempatan diampuni, karena dosa dilakukan dalam dunia yang bersifat sementara; tetapi jika sesudah mati, berarti ia sudah memasuki alam kekekalan, dosanyapun menjadi kekal. Sebab itu, dalam kitab Wahyu dengan jelas dan tegas menyebutkan bahwa orang jahat dilempar….untuk selama-lamanya. Tuhan Yesus juga mengatakan, “Dan mereka ini akan masuk ke tempat siksaan yan kekal, tetapi orang benar ke dalam hidup yang kekal.” (Mat. 25:46). Kata “siksaan yang kekal”, jelas bukan berarti “sementara”. 

Doktrin Agama-agama Dunia 

Ada pula penganut Neo-Universalisme yang berpandangan bahwa semua agama-amga di dunia ini, bukan saja baik dan juga sama. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. D.T. Niles, “Pada waktu kabar baik itu disampaikan, ada sebagian yang mendengar telah mempunyai agamanya. Kalau demikian, bagaimana jadinya? Sebenarnya banyak orang tanpa mereka sadari, telah menerima Allah dan Kristus. Bahkan di dalam tarap tertentu, mereka secara sungguh-sungguh telah menyambut panggilan Tuhan, cuma mereka tidak menyadari saja. 

Demikian pula, secara tertulis mereka berada di luar iman kekristenan, tapi pada hakekatnya memiliki ukuran kebenaran yang tinggi (Yoh. 3:21). Meskipun orang tersebut di atas agak langka, tapi dengan demikian, siapa berani mengatakan bahwa orang yang menganut agama lain, tidak diselamatkan?” (Harold Lindsell, THE CHURCHE’S WORLDWIDE MISSION, hal. 81). 

Memang benar semua agama di dunia itu baik adanya dan patut dihargai dan dihormati, tapi jelas bahwa isi iman keyakinan masing-masing agama berbeda, khususnya dalam hal keselamatan. Alkitab dengan jelas mengungkapkan bahwa keberadaan dosa adalah fakta (Rm. 3:23) dan konsekwensi dosa jelas ada, yaitu maut (Roma 6:23). 

Untuk jalan pelepasan jelas dikemukakan harus dengan darah, sudah jelas dikemukakan oleh Perjanjian Lama sebagai bayangan Perjanjian Baru. Setelah Adam dan Hawa mengetahui dirinya bertelanjang bulat tanpa sehelai benangpun yang menutup tubuhnya sebagai akibat jatuh dalam dosa, maka mereka berusaha menutupi malunya dengan daun-daunan. Tapi usaha mereka itu menjadi sia-sia, karena daun tersebut dengan cepat layu dan kering. Alkitab dengan gamblang menyebuatkan bahwa untuk menutupi malu manusia, Allah membuatkan mereka pakaian dari kulit binatang (Kejadian 3:21). 

Perjanjian Lama sebagai bayangan Perjanjian Baru, dengan ini mengemukakan bahwa keselamatan itu harus dibayar dengan cucuran darah. Darimana Allah mendapatkan kulit binatang? Jelas Allah memperolehnya dari binatang. Tapi untuk memperoleh kulit tersebut, binatang harus dikorbankan dengan jalan dibunuh. Untuk menutupi malu manusia akibat dosa, maka darah perlu dicurahkan. 

Wahyu Alkitab yang bersifat progresip (makin lama makin jelas), lebih selangkah dan lebih jelas mengungkapkan penebusan melalui darah ini dengan persembahan-persembahan korban berdarah kepada Allah. Dan wahyu yang bersifat progresip sampai pada puncaknya, tatkala Tuhan Yesus sebagai Domba Allah yang mengangkut dosa manusia, mencucurkan darah-Nya yang kudus di atas kayu salib untuk mengampuni dosa manusia. 

Di samping itu, Tuhan Yesus yang dinubuatkan oleh nabi-nabi dalam Perjanjian Lama adalah Pengantara antara manusia dan Allah, Allah dan manusia; dan Ia juga Juruselamat manusia. 

Yesus Kristus sebagai satu-satunya Pengantara dikemukakan dalam 1 Timotius 2:5 yang berbunyi, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Dan juga dikemukakan dalam Ibrani 8:6, 9, 15; 1 Yohanes 2:1 dan lain-lain. 

Bukan sembarang saja seseorang bisa menjadi pengantara, khususnya pengantara antara Allah dan manusia dan manusia dengan Allah. Karena sebagai pengantara dituntut mutlak, di samping sebagai manusia dan juga Allah. Tuntutan atau persyaratan ini hanya bisa digenapi oleh Yesus Kristus. Karena Yesus bukan saja manusia yang sempurna dan juga Allah yang sempurna. Hal ini jelas dikemukakan oleh Perjanjian Baru, khususnya dalam keempat Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes). 

Sebagai Juruselamat, dituntut persyaratan, bukan saja ia adalah manusia dan juga adalah manusia yang suci. Juruselamat dituntut sebagai manusia yang suci. Juruselamat dituntut sebagai manusia, karena ia akan menyelamatkan manusia. Ia dituntut sebagai manusia yang suci, karena yang mau diselamatkan adalah manusia yang berdosa. 

Jika Juruselamatnya berdosa, maka tidak mungkin yang berdosa menyelamatkan yang berdosa. Jika yang dituntut sebagai Juruselamat hanyalah manusia, banyak yang mencukupi syarat untuk itu. Tapi yang dituntut sekarang, bukan saja manusia dan juga manusia yang suci. Yang dinamakan manusia, tidak ada yang suci, tidak ada yang baik. 

Karena firman Tuhan mengatakan, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rm. 3:23); Mazmur 14:2-3 dan Mazmur 53:3-4 menyebutkan, “Tuhan memandang ke bawah dari surga kepada anak-anak manusia untuk melihat, apakah ada yang berakal budi dan yang mencari Allah. Mereka semua telah menyeleweng, semuanya telah bejat; tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak.” 

Di dalam diri Yesus tuntutan dan persyaratan sebagai Juruselamat dipenuhi. Karena Yesus Kristus, bukan saja sebagai manusia yang sejati dan juga manusia yang tidak berdosa. Kelahiran-Nya yang ajaib, yaitu dikandung oleh kuasa Roh Kudus dan dilahirkan oleh anak dara Maria, sehingga Yesus Kristus tidak memiliki dosa asal atau dosa keturunan. Hidupnya selama kurang lebih 33 tahun, tidak diketemukan kesalahan yang dilakukan-Nya. 

Hal ini dikemukakan oleh Gubernur Pilatus sebanyak tiga kali tatkala ia mengadili Tuhan Yesus. Bahkan ia membasuh tangannya dihadapan orang banyak dengan mengatakan, “Aku tidak bersalah terhadap darah Orang ini; itu urusan kamu sendiri.” (Matius 27:23-24; Markus 15:14-15; Lukas 23:13-25) dan lebih diperkuat dengan pernyataan Ibrani 4:15 yang menyebutkan, “Sebab Imam Besar yang kita punyai, bukanlah Imam Besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahankita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” 

Kesucian Yesus Kristus, menyebabkan Ia layak menjadi Juruselamat manusia. Sebab itu, Ia dengan mantap membuat pernyataan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6). Rasul Petrus dengan tidak kalah mantapnya mengatakan dihadapan Mahkamah Agama Yahudi bahwa, “keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis. 4:12). 


Di samping itu, keselamatan mempunyai sangkut-paut dengan kekekalan. Sebagaimana dikatakan oleh Tuhan Yesus dalam Yohanes 3:16, “…barangsiapa yang percaya pada-Nya, tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Tuhan Yesus sebagai Pengantara dan Juruselamat menjanjikan memberi hidup yang kekal, maka seyogianya ia sendiri harus memiliki hidup yang bersifat kekal itu. Alkitab dengan jelas mengemukakan bahwa Tuhan Yesus telah mati disalibkan, dan dikuburkan, tapi pada hari ketiga bangkit dari kematian dan duduk di sebelah kanan Allah Bapa. Jika Tuhan tidak bangkit dari kematian, maka bagaimana Ia dapat memberi hidup kekal tersebut, karena ia adalah empunya hidup. Sebab itu, Ia berani menyatakan, “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati.” (Yohanes 11:25). 

Keistimewaan kebenaran tentang soteriologi ini, menunjukkan ciri khas dan perbedaan yang hakiki antara agama Kristen dengan agama-agama lainnya. DOKTRIN UNIVERSALISME.-AMIN-
Next Post Previous Post