KOMITMEN: MENYANGKAL DIRI, MEMIKUL SALIB DAN MENGIKUT KRISTUS SETIAP HARI

Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Div.
Nats: Matius 16:21-26.

Abstrak: Komitmen Total sangat penting dalam dunia fisik dan rohani. Orang Kristen juga harus memiliki komitmen yang total kepada Kristus. Sejak semula orang Kristen yang sedikit, sederhana dan terbatas, hidup tertekan di tengah zaman pluralistik, tetapi mereka mempengaruhi dan mengubah dunia. Ini dikarenakan hidup dan konsep mereka berubah. Mereka berkomitmen total dengan menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Tuhan Yesus setiap hari.

Komitmen dalam Dunia Fisik

Ketika kita menonton pertandingan bola basket NBA di TV, kita tahu ada satu pemain basket legendaris, yaitu Michael Jordan. Ia pernah mengatakan demikian: Begitu banyak pemain yang berbakat. Begitu banyak pemain yang baik. Tetapi apa yang membedakan antara pemain baik, pemain yang berbakat dengan pemain yang terhebat? Yang membedakan adalah hatinya1, komitmennya. Di mana dengan bakat yang ada ia berjuang keras, berlatih mati-matian sebelum dia masuk ke dalam pertandingan. Ketika bertandingpun, ia menjalankan pertandingan itu dengan sepenuh hati dan sebaik mungkin.

Apa beda pelukis-pelukis dan seniman-seniman hebat? Kita mungkin pernah membaca atau mendengar cerita tentang Michaelangelo Buonorotti (1475-1564), seorang pelukis legendaris, seorang pemahat yang ternama zaman itu. Apa yang membuat ia bisa mempengaruhi zaman renaissance, sehingga Raphael pun mengubah gaya lukisannya karena melihat lukisan Michaelangelo? Penafsir lukisan mengatakan itu karena komitmen dan kesungguhan Michaelangelo. Tatkala ia diminta Paus Julius II untuk melukis langit-langit Sistine Chapel, dia melukis dengan sungguh-sungguh, dia melukis dengan sekuat tenaga. 

Padahal orang mengharapkan agar ia tidak mau, sehingga Paus marah dengan dia, atau ketika ia disuruh melukis dia tidak memberikan yang terbaik sehingga merusak reputasinya. Tetapi ia mengerjakannya dengan segenap hatinya. Ia melukiskan tentang 18 peristiwa dari Kitab Kejadian dan ia juga melukis 400 orang lebih tokoh. Lukisan-lukisan yang demikian agung, demikian besar itu dia kerjakan 4 tahun, tanpa pernah mengenal lelah. Ia kerjakan terus-menerus. Ia beristirahat hanya untuk tidur, makan, minum atau berberes sebentar. 

Tetapi waktu yang dia gunakan adalah untuk melukis, melukis dan melukis. Ia rela mengorbankan dirinya selama 4 tahun. Selesai ia melukis pada tahun 1512, ia baru berumur 37 tahun, tetapi ia berkata bahwa ia seperti orang yang sudah tua-renta. Orang-orang tidak mengenalnya lagi, dan matanya pun rusak karena ia memberi waktu secara total untuk melukis. Orang agung ini bisa diingat karena apa? Karena komitmennya, karena kesungguhan hatinya untuk memberikan yang terbaik dalam apa yang ia kerjakan.2

Komitmen dalam Dunia Rohani

Kita ingat peristiwa menyedihkan yang terjadi pada tanggal 11 September 2001, di mana Twin Tower di New York hancur terbakar karena pesawat menabraknya. Kita tidak suka peristiwa ini. Tetapi ada satu hal yang penting, yaitu para teroris yang menabrakkan diri itu punya satu keyakinan yang pasti: mereka commited pada apa yang mereka yakini, mereka berani memberikan nyawanya untuk apa yang mereka percayai. Peristiwa ini dikoordinator oleh Mohammand Atta, yang ditemukan diary-nya. Ia begitu yakin pada iman dan pengharapannya. 

Ia begitu tahu apa yang sedang dia kerjakan menurut iman kepercayaannya. Hidupnya diarahkan pada satu tujuan. Sebagian isi diary itu berkata: ‘Ingatlah semua janji ‘Allah’ yang diberikan kepada syuhada, saat kematian dan keberadaan kamu di ‘sorga’ sangat pendek. Setelah itu akan mulai hidup yang berbahagia’3. Memang kejadian itu adalah penyerangan yang jahat, yang tidak baik. Tetapi satu hal kita perlu pikirkan: Mengapa orang dunia, orang yang tidak mengenal kasih Allah, berani berkomitmen demikian?

Tatkala saya memberitakan Injil dan mulai merintis jemaat MRII di Palembang tahun 1996, saya mencari orang untuk hadir dalam kebaktian dengan membesuk dan memberitakan Injil dari rumah ke rumah. Saya bertemu satu keluarga Saksi Yehovah dan saya memperkenalkan diri bahwa saya dari MRII. Mereka langsung menyerang dan berkata kira-kira demikian, “Kamu orang Kristen, ya? 

Bukankah orang Kristen termasuk kelompok orang malas?” Saya bertanya, “Apa maksud kamu?” Ia menjawab, “Orang Kristen boleh banyak jumlahnya, tetapi tidak sampai 10% yang aktif.” Kemudian ia melanjutkan, “Kami Saksi Yehovah. Kami boleh dilarang4, kami boleh diancam, tetapi kami berani, kami committed, kami belajar kitab suci sungguh-sungguh.” Saya menyadari dan mengakui bahwa mereka menguasai banyak sekali ayat hafalan yang sesuai dengan ajaran dan pikiran mereka. 

Mereka belajar dari buku-buku yang ditulis oleh para pendiri atau para pemimpin Saksi Yehovah. Mereka membeli buku-buku itu dengan uang mereka sendiri, kemudian mereka membaca, mempelajari dan mendiskusikannya. Setelah mereka mengerti, mereka pergi untuk memberitakan ajaran yang dipecayanya dari rumah ke rumah. Mereka rela ditolak, rela dihina, rela ditangkap demi kepercayaan mereka. 

Lalu dia bertanya begini kepada saya, “Kami orang Saksi Yehovah, lebih dari 60% anggota kami yang aktif. Semua pergi untuk memberitakan apa yang diajarkan Saksi Yehovah.” Saya hanya menjawab, “Satu hal yang pasti sekarang ini bukan kamu yang mencari saya, tetapi saya yang mencari kami. Bukan kamu yang mendatangi saya, tetapi sebaliknya. Saya undang kalian datang ke tempat tinggal saya untuk diskusi”. Mereka tidak datang.

Dari semua ini saya sadar dan juga mengakui, bahwa memang banyak orang yang mengaku orang Kristen, tetapi kalah komitmennya dibandingkan pemain basket, dibandingkan pelukis, dibandingkan orang yang tidak kenal Tuhan, dibandingkan orang yang mempunyai ajaran lain dan yang tidak benar. 

Apakah orang Kristen tidak berani sungguh-sungguh menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan yang sudah menyerahkan dirinya dengan tubuh-Nya yang dipecahkan bagi kita dan darah-Nya menjadi darah perjanjian baru, bahkan Dia adalah Raja segala raja, segala kuasa diberikan kepada-Nya baik di sorga dan di bumi, yang sudah mengalahkan dunia ini, dosa, kematian dan Iblis? Tidak. Orang Kristen seharusnya berani dan seharusnya menjalankan ini.

Komitmen Orang Kristen Mula-mula

Kita bisa melihat orang Kristen mula-mula. Jika kita membaca Matius 16:21-26, kita bisa mengerti bahwa ketika Injil disampaikan atau ditulis saat itu, jumlah jemaat mula-mula itu sangat sedikit. Ketika peristiwa Pentakosta terjadi, anak Tuhan tidak banyak. Orang yang percaya kepada Tuhan Yesus tidak banyak. Tetapi mereka adalah orang yang ‘mengacaukan’ seluruh dunia (Kis. 17:26). 

Billy Graham dalam salah satu tulisannya5 mengatakan keadaan orang Kristen saat itu adalah bahwa secara jumlah mereka sangat sedikit. Untuk menjangkau manusia berdosa di dunia yang begitu banyak, mereka hanya berjumlah sekitar 120 orang. Mereka yang sedikit itu harus menjangkau dunia yang secara fisik dan geografis belum diketahui dengan jelas, karena peta dunia saat itu belum dikuasai dengan baik. Columbus dan penjelajah lain belum menjelajahi bumi ini. Satelit untuk mengetahui bumi ini dengan jelas belum ada. 

Mereka terbatas dan ada banyak hal yang mereka tidak tahu. Secara fasilitas, kendaraan dan sarana saat itu tidak banyak mendukung dan belum secanggih seperti saat ini. Saat itu belum ada pesawat terbang, belum ada kapal-kapal laut yang canggih. Secara keuangan, yang mereka milikipun, sedikit sekali, jika di total hanya kira-kira 50.000 US Dollar pada saat itu. Bagaimana dengan uang yang sedikit bisa menjangkau dunia? Saat itu sudah banyak kepercayaan, filsafat dan ada Yudaisme di bawah jajahan Romawi. Secara hukumpun, Kristen bukanlah agama yang diakui secara resmi. 

Dan bahkan Yesus yang mereka percayai itu adalah Yesus yang telah dipakukan di kayu salib, yang sudah dipermalukan, yang sudah dihina di depam umum. Tetapi mengapa mereka bisa memberitakan Injil ke ‘seluruh dunia’ yang mereka ketahui saat itu? Mengapa mereka bisa menjalankan amanat agung itu? Satu hal yang pasti: Mereka percaya pada apa yang Yesus katakan kepada mereka. Mereka menyerahkan diri mereka secara mutlak mengikut Yesus. “Komitmen total mereka,” demikian kata Billy Graham.

Keadaan Zaman Sekarang

Kita melihat dalam zaman sekarang, dalam kehidupan di Indonesia, orang Kristen tidak banyak jumlahnya dibandingkan orang yang beragama Islam dan kepercayaan lain. Bagaimana seharusnya kita hidup? Bagaimana kita menjalankan kehendak Tuhan? Di dalam dunia pun kita tidak banyak. Kalau dijumlah dengan Katholik Roma, Orthodox Yunani, Kristen hanya sekitar 20-30%. Tidak banyak. Tetapi yang pasti sudah lebih banyak daripada zaman para rasul dan murid-murid gereja mula-mula.

Tetapi hal yang paling penting adalah bagaimana kita hidup di tengah zaman yang demikian. Kita adalah orang yang diutus Tuhan Yesus ke dalam dunia ini (Yohanes 17:15, 18), maka kita tahu posisi kita dan seharusnya juga kita tahu bagaimana kita harus hidup saat ini. Kita mengerti bahwa saat ini banyak tantangan lain. 

Di dalam kehidupan dunia yang pluralistik ini, apakah ada kebenaran yang mutlak? Secara realita, orang melihat ada begitu banyak kepercayaan dan agama lain, mengapa harus Kristen? Iman Kristen juga menghadapi begitu banyak tantangan. 

Bahkan, bukankah ada juga kesaksian yang tidak baik dari orang Kristen itu sendiri? Tantangan dunia filsafat juga mempertanyakan soal adanya kebenaran mutlak atau kebenaran itu hanya relatif, tergantung komunitas itu saja. Dalam dunia postmodern, banyak pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Richard Rorty dalam bukunya Philosophy and the Mirror of Nature mengatakan: Tidak ada kebenaran yang mutlak. 

Kebenaran hanya satu percakapan komunitas. Kebenaran orang Kristen untuk orang Kristen. Kebenaran orang Islam untuk orang Islam, kebenaran orang Buddha untuk orang Buddha. Orang yang mempunyai kepercayaan lain, hidup berdasarkan dan untuk kepercayaan itu. Etika pun, menurut Alasdair McIntyre dalam buku After Virtue, tidak ada yang mutlak. Itu hanya wacana, kepercayaan, kesepakatan, kegiatan komunitas bersama. Itu saja.

Bagaimana kita menghadapi tantangan yang demikian banyak? Pertama, secara logika, kita sadari pasti ada kebenaran mutlak. Kalau orang yang mengatakan: ‘Tidak ada kebenaran mutlak’, dengan sikap meminta orang agar pendapatnya harus diterima sebagai hal yang mutlak, itu sudah masuk dalam wilayah kemutlakkan. Jadi ada kemutlakkan. Ada kebenaran yang mutlak. Kedua, hal pertama ini juga mendukung dan koheren dengan kepercayaan bahwa ada kebenaran mutlak. Kebenaran itu bukan ada pada diri kita, tetapi kepada Allah, sumber kebenaran mutlak itu. 

Dan kita percaya, kebenaran mutlak dari Allah itu sudah Allah nyatakan dalam Alkitab. Injil keselamatan yang kita percayai itu adalah berita dari Allah. Berita salib dan kebangkitan itu adalah satu berita kebenaran dan memberikan jaminan keselamatan. Tuhan Yesus adalah satu-satunya juruselamat atau jalan keselamatan dunia ini. Ini bukan hanya berlaku pada zaman dulu, tetapi juga berlaku pada zaman sekarang. Ketiga, selain itu terhadap banyak pandangan di dunia saat ini. 

Richard L. Pratt6 mengingatkan kita untuk menyadari bahwa pendidikan, sifat psikologis bawaan, kebudayaan dan filsafat-filsafat duniapun bisa membukakan cakrawala dan mempengaruhi epistemologi kita, sehingga mempengaruhi cara kita menafsirkan sesuatu. Kita tidak bisa menolaknya. 

Namun kita percaya bahwa Allah turut bekerja, maka semua hal itu kita sadari, tetapi tetap menjadikan Alkitab sebagai otoritas tertinggi. Pratt mengusulkan ‘authority-dialogue‘ model, di mana Alkitab adalah otoritas tertinggi, tetapi kita menyadari juga bahwa dalam kita menafsirkan, tidak mungkin tidak ada pemikiran; tatkala pikiran kita tidak sesuai dengan Alkitab, kita harus kembali kepada Alkitab.

Selain hal di atas, kalau kita mau belajar dari sejarah, kita bisa melihat bahwa dari dulu sudah ada kesulitan yang mirip. Zaman Tuhan Yesus, para rasul dan para bapak gereja jgua sudah pluralistik, banyak agama atau kepercayaan lainnya. Tetapi bagaimana orang Kristen menyatakan kepada dunia? Ini harus mengingatkan kita kembali, bagaimana kita memberitakan Injil kepada orang lain, kepada dunia sekeliling kita dan memenangkan mereka kepada Kristus saat ini.

Hidup Bukan dengan Konsep Sendiri

Bagaimana seharusnya orang Kristen hidup dalam dunia yang demikian? Sebagai manusia baru, hidup kita jangan menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi harus berubah sesuai juga dengan pembaharuan akal budi kita (Roma 12:1-2). Kita melihat bagaimana Matius menggambarkan perbandingan nilai di Matius 6:25-34, bahwa Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya harus didahulukan dari yang lain. Selain itu, kalau kita melihat yang berharga, kita berani bayar dengan semua yang kita miliki (Matius 13:44-46). 

Konteks Tuhan Yeswus ketika berkata dalam Injil Matius adalah ketika itu Tuhan Yesus diakui oleh Petrus, “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup”. Tuhan mengatakan kepada Petrus, “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus karena Bapa di surga yang membertahukan ini kepadamu.” Saat itu Petrus memberi jawaban yang benar. Dan kemudian Tuhan Yesus mengatakan juga, “Di atas batu karang ini…” Di atas petra, bukan petros. Di atas petra, di atas pengakuan iman yang benar ini, doktrin yang benar, Aku akan mendirikan jemaat-Ku.

Tetapi kemudian Dia melanjutkan cerita-Nya. Kita hidup harus mengikuti Tuhan Yesus, tetapi mengikut Tuhan jangan dengan konsep mereka tentang Mesias saat itu. Mereka memikirkan, “Ya, kalau Yesus nanti masuk ke Yerusalem, waktu Yesus menjadi raja, kami bisa mendapatkan kedudukan atau posisi-posisi penting. Kami bisa menjadi menteri-menteri. Kami menjadi orang-orang penting.” Ini cara berpikir mengikuti Tuhan dengan konsep atau kepentingan sendiri. Tetapi sebaliknya, orang Kristen harus hidup sesuai dengan konsep dan keinginan Tuhan. Tuhan Yesus menantang orang muda kaya itu agar menjual hartanya sebagai komitmen total dalam mengikut Tuhan Yesus (Matius 19:21-22).

Dalam gereja mula-mula, banyak orang yang menjalankan hal demikian (Kis. 2:45). Prinsip yang terkandung dibalik semuanya ini adalah komitmen total kita kepada Tuhan Yesus; bukan masalah hartanya, tetapi bagaimana kita menyadari kalau hati kita sudah sungguh-sungguh percaya sepenuhnya kepada Tuhan Yesus. Kalau kita percaya penuh, maka kita akan tahu bagaimana memakai harta kita untuk Tuhan. Karena di mana harta kita untuk Tuhan. Karena di mana harta kita berada di situ hati kita berada. Harta adalah satu bukti yang kelihatan.

Hidup dengan Cara Tuhan Yesus

Tetapi Yesus memberitahukan, bahwa Dia bukan raja dalam konsep mereka. Ia adalah Raja yang dirajakan melalui penderitaan dan kematian-Nya. Dia memberitakan bahwa Dia, Anak Manusia, akan menderita dan dianiaya oleh para ahli taurat, para tua-tua, pemimpin agama waktu itu. Dia akan menderita, akan mati dan kemudian Dia akan bangkit. Cara hidup yang Tuhan Yesus tawarkan adalah kemuliaan melalui penderitaan: no cross, no crown.

Dalam membaca Injil pararel lain, nampak bahwa Petrus tidak suka hal itu. Petrus tidak setuju dengan apa yang Kristus katakan karena ia mempunyai konsep lain. Petrus merupakan wakil kita yang tidak suka cara ini. Tetapi Tuhan Yesus menegur dia, “Enyahlah Iblis.” Saat itu Petrus seperti Iblis yang menawarkan semua kerajaan dunia dan kemegahannya dan berkata, “Semuanya ini akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau mau bersujud kepadaku” (Matius 4:8-9). Satu tawaran yang mudah, yang indah tanpa penderitaan, tanpa salib, tanpa kematian. Satu tawaran untuk memiliki dunia.

Tetapi Kristus tahu untuk apa Ia datang. Ia datang untuk menderita dan kemudian mati, menggantikan, menebus dosa manusia dan kemudian Dia bangkit menyatakan kemenangan-Nya. Ini diucapkan terus-menerus dalam pemberitaan kematian-Nya sampai 4 kali, mulai Matius 16:21 ini. Kemudian Ia berkata bahwa setiap orang yang mau mengikut Yesus, harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Dia. Ini satu hal yang harus diikuti sebagai murid Kristus.

Satu hal yang harus kita tahu: Waktu Saudara percaya kepada Tuhan Yesus, waktu Saudara mau menjadi murid-Nya, ingatlah Tuhan Yesus memberikan satu syarat, satu ujian yang membedakan apakah Saudara seorang Kristen yang sejati atau tidak? Apakah Saudara sungguh-sungguh mau mengikuti Dia, mau mengenal Dia atau tidak? Jika ya, Saudara harus menyangkal diri, memikul salin, dan setiap hari mengikut Dia.

Menyangkal Diri

Kata menyangkal diri dapat kita hubungkan dengan peristiwa Petrus yang menyangkal Tuhan Yesus 3 kali. Ia mengatakan, “Saya tidak kenal Dia.” Tiga kali dia berkata bahwa dia tidak mengenal Tuhan. Seorang penafsir berkata: Menyangkal diri berarti tidak kenal diri lagi, bukan apa yang kita mau lagi. Bukan apa yang menjadi keinginan kita, tetapi apa yang Tuhan inginkan, apa yang Tuhan mau, apa yang Tuhan kehendaki.

Dalam hidup orang percaya, seumur hidup kita harus bergumul mencari kehendak Tuhan, bukan kehendak diri. Kehendak Tuhan yang harus terjadi, bukan kehendak kita. Bukan keinginan diri kita, bukan apa yang kita mau, tetapi apa yang Tuhan mau. 

Orang Kristen harus mempunyai tekad untuk makin mengenal Dia, makin mengenal kebenaran-Nya, makin mengetahui kehendak-Nya, dan menjalankan apa yang Dia mau, bukan apa yang kita mau. Dalam zaman yang penuh dengan tantangan dari begitu banyak ajaran lain, kita harus belajar sungguh-sungguh. Biarlah kita boleh mengenal Dia sungguh-sungguh. Boleh mempelajari firman Tuhan sungguh-sungguh dalam hidup kita.

Waktu saya pertama kali bertobat, dengan sukacita saya ingin mengabarkan Injil kepada kawan-kawan saya. Saya berjumpa dengan teman SD saya yang akrab sekali. Kami pergi sekolah bersama-sama, pulang sekolah bersama-sama, main, mandi di sungai, main gundu, main apa pun bersama-sama. Saya mencari dia. 

Ketika bertemu, saya coba memberitakan Injil kepadanya. Dia bertanya kepada saya, “Min, omong-omong kamu sudah baca Alkitab habis belum, ya?” Wah saya langsung lihat Alkitab saya begitu tebal. Kapan habisnya, ya? Kapan saya bisa selesaikan? Itu yang menjadi pemikiran saya. Dia berkata, “Heh, kamu orang Kristen, baca Alkitab kamu saja belum habis mau memberitakan kepada saya. Saya belum Kristen, tetapi saya sudah baca Alkitab 2 kali tamat.”

Dan benar, dia kemudian mulai menceritakan Alkitab kepada saya, tetapi tentu berdasarkan tafsiran dia. Tritunggal dia jelaskan dengan cara dia; tentang Alkitab, Yesus, Perjanjian Lama, dia tafsirkan menurut dia mau. Tetapi satu hal itu menggungah saya: dia lebih rajin dari saya.

Sewaktu baru bertobat juga, saya suka membaca buku biografi dari orang-orang yang Tuhan pakai. Termasuk buku cerita tentang John Sung, C.T. Studd, Sadhu Sundar Singh, Joni Erickson, William Bordern, C.H. Spurgeon, kesaksian orang Kristen dalam buku Kristus yang Hidup di Hati Orang Korea. Ini memang bacaan-bacaan ringan, tetapi bacaan-bacaan yang mendorong saya hidup bagi Tuhan, mencontoh teladan-teladan orang-orang yang Tuhan pakai luar biasa.

John Sung7 dulu ikut Union Theological Seminary yang sudah menjadi liberal, maka imannya berubah. Dia tidak lagi percaya Alkitab. Dia tidak lagi percaya Tuhan Yesus. Dia gelisah. Dia ikut kebaktian kecil yang dipimpin penginjil wanita yang dia tidak ingat lagi namanya. Hari itu Tuhan menyentuh dia kembali, membawa dia kembali kepada Tuhan. Waktu dia bertobat, saking senangnya ia mendekati dosen-dosennya yang liberal di Union Theological Seminary dan meminta mereka bertobat, satu-satu, kepada Tuhan Yesus. 

Karena begitu giat, dia dianggap gila, dimasukkan penjara. Di penjara dalam tempo setengah tahun lebih sedikit (193 hari), ia telah membaca habis Alkitab sebanyak 40 kali, dari Kejadian sampai Wahyu, dengan berbagai cara berbeda. Karena cintanya akan Tuhan, karena hidupnya yang diubah oleh Tuhan, maka dia membaca paling tidak 8 pasal setiap hari. Dan ia bisa mengajar Alkitab habis, semua dalam waktu hanya satu minggu. Karena firman Tuhan ia hidupi sungguh-sungguh dan begitu mendarah daging. 

Dia menyangkal diri, tidak mencari diri. Dia mencari kehendak Tuhan, kebenaran firman-Nya, mengenal Tuhan dan menjalankan apa yang Tuhan mau dalam hidupnya. Dia berani memberikan dirinya, karena apa yang dia tahu dari firman Tuhan, dia percayai sungguh-sungguh. Dia berani menjalankannya, membagikannya kepada orang lain. Satu hal yang nyata, satu komitmen yang sungguh-sungguh.

Di zaman sekarang, biarlah kita boleh punya semangat mencintai firman Tuhan, mengenal kebenaran-Nya sungguh-sungguh, dan kemudian kita boleh menjalankan kehendak-Nya. Kita mengatakan tidak terhadap diri sendiri dan mengiyakan terhadap apa yang Tuhan mau dalam kehidupan kita.

Saat ini pun saya sungguh bersyukur, di zaman sekarang buku begitu berlimpah yang boleh membantu kita membukakan kebenaran-kebenaran. Seharusnya kita boleh memiliki, membaca dengan disiplin. Kalau Saudara membaca riwayat hidup Paul Ricoreur8, seorang filsuf saat ini, dia mempunyai satu disiplin. Setiap tahun dia menyelesaikan membaca kelompok buku tertentu dari pengarang tertentu. 

Dia mulai dari Plato. Dia selesaikan semua tulisan tentang Plato. Tahun berikutnya, dia belajar tentang Aristoteles. Tahun berikutnya lagi, dia belajar tentang Agustinus, lalu Thomas Aquinas dan seterusnya. Dia terus belajar. Untuk apa dia berdisiplin seperti itu? Dia berdisiplin seperti itu agar dia dapat siap menghadapi tantangan zaman, perkembangan-perkembangan pemikiran.

Saya bersyukur sekali banyak penerbit yang menerbitkan buku-buku yang baik saat ini. Buku-buku ini membantu kita memiliki wawasan Kristen yang jelas, mengerti ajaran kebenaran firman Tuhan, dan kita boleh juga menjadi berkat membagikan kepada orang lain. Saya rindu juga melihat hidup kita dapat menjadi hidup yang mencari kehendak Tuhan. Kita menyangkal diri, mencari apa yang Tuhan mau dalam hidup kita dan menjalankannya, serta siap menghadapi tantangan-tantangan pemikiran zaman.

Memikul Salib

Yang kedua, orang yang mau mengikut Yesus selain harus menyangkal dirinya, juga harus memikul salibnya setiap hari. Di sini bukan mengatakan bahwa kita memakai tanda salib. Memang saat ini orang Kristen banyak memakai tanda salib. Kalungnya kalung salib, jepitan dasinya berbentuk salib, cincinnya cincin salib, penitinya juga gambar salib. Banyak tanda salib, tanda yang begitu mulia, tetapi adakah yang rela memikul salib? Memikul salib ini jangan kita mengerti atau kita bayangkan dengan hanya diomongi, dijelekkan atau difitnah oleh orang lain karena Saudara percaya. Tetapi Saudara harus ingat pada konteks mula-mula orang memikul salib.

Orang yang sedang memikul salib itu berarti sedang menuju kematian. Dikatakan oleh F.F. Bruce9 bahwa pada waktu Yesus berusia 12 tahun, ada pemberontakkan yang dipimpin oleh seorang bernama Yehuda atau Yudas. Pemberontakan itu akhirnya dipadamkan oleh prajurit Romawi. Beberapa orang ditangkap. Supaya yang lain tidak ikut memberontak, mereka yang tertangkap itu diberi hukuman yang paling mengerikan: salib. Orang yang akan disalib itu diarak-arak memikul patibulum berjalan menuju tempat kematian. 

Dengan kata lain, memikul salib berarti apa? Berarti kita mati terhadap diri sendiri, dan kita siap mati. Kita sedang dibawa ke tempat pembantaian. Kita sedang dibawa untuk dibunuh, disalibkan. Ini hal yang digambarkan saat itu. Memang ada Simon Kirene yang menggantikan Tuhan Yesus memikul salib-Nya. Tetapi umumnya, orang yang memikul salib saat itu adalah seorang yang sedang dihukum mati. Dia sebentar lagi akan mati.

Pengertian ini diterima oleh Rasul Paulus. Dia mengatakan, “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari.” (Rm. 8:36). Setiap hari kami sperti sedang dibawa ke pembantaian, untuk dibinasakan, untuk dibunuh. Setiap hari, dalam tubuh kami, kami membawa kematian Kristus itu. Ini yang digambarkan tentang memikul salib. 

Bukan penderitaan-penderitaan yang ringan, tetapi kita siap sebagai orang percaya, siap untuk mati di dalam kehendak Tuhan. Setiap orang percaya, setelah dia mencari kehendak Tuhan, dia menyangkal diri dan harus siap mati untuk kebenaran, karena Tuhan menginginkan hal itu. 

Orang Kristen abad pertama yang pergi mengabarkan Injil, pergi saja dan tidak memikirkan pulang. Siap untuk dibunuh, siap untuk disalibkan, siap untuk menghadapi berbagai macam cara kematian. Mereka menyiapkan diri. Orang demikian tidak lagi ambisi untuk diri atau kepentigan diri, tetapi hanya untuk Tuhan. Satu komitmen yang total, siap mati untuk Tuhan. Kalau orang Islam menjalankan dengan berani bagaimana dengan kita orang Kristen? Bagaimana kita melihat salib Kristus, memikul salib-Nya setiap hari itu?

Ada penafsir mengatakan ini bukan berarti kita tidak memiliki kesenangan sama sekali. Orang Kristen digambarkan sebagai orang yang selalu berjalan tertunduk, selalu serius, tidak pernah tersenyum, selalu mengerutkan keningnya. Tidaklah demikian. Orang Kristen adalah orang yang menikmati kehidupan. Beberapa penafsir menambahkan dalam ilustrasi mereka. 

Mereka mengatakan memikul salib itu bukan berarti menyangkal kesenangan dalam hal-hal yang bersifat intelektual. Orang Kristen yang senang sekolah, senang belajar, senang untuk mencapai gelar itu tidak dipermasalahkan, asal motivasinya benar. Kalau motivasinya untuk kebanggaan diri, untuk kelihatan ada Ph.D. adalah suatu yang hebat. Itu salah. Kalau orang Kristen malas, tidak mau belajar, itu juga salah.

Tetapi kalau orang tersebut memiliki motivasi: saya mau melayani Tuhan, makin mengenal Dia; Saya dituntut untuk belajar lebih tinggi, untuk makin mengenal kebenaran-Nya, sehingga bisa membagikan lebih baik dan kepada lebih banyak orang, itu tidak salah. Karena tujuannya untuk makin mengenal Tuhan, bukan untuk mendapat kedudukan. Tidak disalahkan juga jika orang Kristen menikmati kesenian, hal-hal yang bersifat keindahan. Orang Kristen boleh menikmati lukisan yang indah, orang Kristen boleh menikmati hasil pahatan yang indah. 

Orang Kristen boleh melihat karunia Tuhan pada banyak orang, bahkan membuat lukisan, menciptakan musik dan lain sebagainya.Tetapi hal itu tidak boleh lebih dipentingkan daripada kebenaran Tuhan. Kalau orang mementingkan itu sampai mengejar dan mendapatkan, tetapi sampai melupakan ibadah kepada Tuhan, itu tidak benar. Setiap yang kita lakukan harus untuk Tuhan (Kolose 3:23). Memikul salib juga adalah satu keindahan. Hal ini yang sulit kita bayangkan, kalau kita tidak mengalaminya.

Kita melihat lagi Matius 13:44-46, gambaran ini adalah waktu mereka melihat kerajaan Sorga. Ketika mereka melihat karya Kristus, penyaliban Kristus, mereka melihat itu sebagai hal yang paling bernilai, yang paling indah. Ketika orang melihat hal yang paling bernilai, yang paling indah, ia akan rela menjual seluruh miliknya. Salib Kristus belum banyak dilihat nilai keindahannya, sampai satu saat kita menyadari, mengerti keindahan.

Dalam buku sejarah gereja tentang Justin Martir, dikatakan di sana bahwa dia adalah seorang yang mencari kebenaran, seumur hidup mau mencari kebenaran. Terhadap filsuf Stoicisme ia tidak puas. Terhadap filsuf Aristotelian, ia melihat ada yang mata duitan. Justin Martir mencari kebenaran pada murid Plato, tetapi tetap tidak puas. Sampai ia bertemu seorang tua dan ia menerima Kitab Perjanjian Lama dan sebagian Perjanjian Baru. 

Ia berani meninggalkan segala yang lain. Ia mencintai firman sungguh-sungguh. Ini yang terindah dalam hidupnya. Makin ia menikmati, makin ia rela. Bromiley10 mengatakan ia memeteraikan pengajarannya, pembelaannya tentang kekristenan dengan nyawanya. Sewaktu kita menyangkal diri, siap mati bagi Tuhan, kita menikmati keindahan bersama Tuhan. Waktu kita siap sedemikian, kita dekat sekali dengan Tuhan, hingga Pauluspun berkata ia ingin serupa dengan Kristus dalam kematian-Nya (Filipi 3:10).

Waktu saya sakit kanker, saya bergumul dua-tiga hari. Pergumulan itu membuat saya sadar bahwa diri saya tidak harus ada. Jika saya ada itu semata-mata kasih karunia Tuhan. Saya tidak bisa mempertahankan diri saya dan apa yang saya mau. Saya tidak bisa mempertahankan nyawa saya. Saya sebentar lagi menghadap Tuhan. Jika saya sebentar lagi mati, apa yang harus saya jalankan agar kelak ada sukacita?

Kita harus sadari bahwa memang kita tidak bisa mempertahankan diri, mempertahankan kesehatan kita. Orang bisa kelihatan sehat kuat, seperti bintang film laga Bruce Lee, tetapi bisa mati mendadak. Jadi kita harus siap senantiasa. Justru ini adalah keindahan mengerjakan pekerjaan Tuhan sebaik mungkin. 

Ketika kita sebagai manusia, mempersiapkan diri dengan benar untuk menghadap Tuhan. Kita akan merasakan kekuatan dari Dia dan kita merasakan hidup dekat dengan Dia. Justru itulah hidup yang begitu indah: tatkala kita siap mati, kita terus memberikan yang terbaik kepada Tuhan setiap hari. Jika Saudara memikirkan hidup yang enak, kita akan hidup seenak kita, kita akan kendor. 

Kita tidak memberikan yang terbaik untuk Tuhan hari ini, sebab masih ada hari esok. Tetapi kalau kita menyangkal diri setiap hari, memikul salib seperti orang yang dihukum mati, mengerjakan sebaik mungkin apa yang Tuhan mau, sebab besok belum tentu kita hidup, kita akan mengalami keindahan penyertaan kekuatan penghiburan Tuhan setiap hari. Setiap hari makin mencintai Tuhan, makin berguna bagi kerajaan-Nya.

Kadang kita melatih diri sehat dengan olahraga. Tetapi orang bisa kecelakaan mobil atau terkena bom. Kematian merupakan hal yang tidak terduga. Harta-benda pun tak bisa dipertahankan. Justru orang yang memberikan nyawanya akan menikmati hidup yang sesungguhnya, melihat keindahan. Tuhan Yesus mengatakan yang mau memberikan nyawanya, saat kita menyerahkan hidup bagi Tuhan, itu adalah saat yang paling indah, yang paling berarti. Jika kita menyangkal Dia, Dia pun akan menyangkal kita.

Saya mulai memikirkan bahwa ada orang yang mengaku orang Kristen, bahkan ada penginjil, pendeta, tetapi Tuhan menyangkal dia pada akhir zaman: ‘Aku tidak mengenal kamu, enyahlah daripada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan’ (Mat. 7:21-23). Ini merupakan satu koreksi, satu peringatan kepada kita: Adakah kita sungguh-sungguh? Yang sungguh akan masuk kerajaan sorga adalah dia yang melakukan kehendak Bapa yang di sorga, orang yang percaya dan menjalankan kehendak Tuhan dalam hidupnya.

Ada orang percaya yang hanya merupakan persetujuan intelektual, tetapi tidak melakukan. Tetapi ada pula orang yang percaya dan menjalankannya. Misalnya saya percaya minuman yang disediakan itu tidak ada racunnya, maka saya berani meminumnya. Percaya mengandung mempercayakan diri. Kalau kita sungguh percaya Tuhan Yesus, kita tidak akan menyangkal Dia. 

Kita melakukan apa yang Dia mau, kehendak-Nya dalam hidup kita. Karena kita tahu, berapapun banyaknya harga yang harus dibayar, saya rela, karena saya mendapatkan yang lebih indah, yang lebih mulia. Seperti penemu harta karun yang rela menjual semua miliknya demi membeli ladang yang di dalamnya ada harta karun itu. Seperti saudagar yang rela menjual segala miliknya untuk mendapatkan mutiara yang indah dan sangat berharga (Matius 13:44-45).

Mengikut Kristus Setiap Hari

Sebagai orang Kristen, kita dituntut untuk mengerti apa yang Tuhan katakan. Orang yang mau mengikut Kristus harus rela menyangkal dirinya dan mencari tahu apa yang Tuhan mau. Mau mencari khususnya melalui penggalian Alkitab dan dibantu buku-buku rohani yang baik. Buku rohani yang baik sering mencerahkan kebenaran itu. 

Kita juga harus siap mati setiap hari. Kita memberikan yang terbaik bagi Tuhan untuk hari itu, setiap hari. Kita mengalami penyertaan-Nya setiap hari seumur hidup, bukan sebentar. Karena keindahan itu, Saudara mau menikmatinya setiap hari. Dalam buku Setia Sampai Mati, diceritakan bahwa orang Kristen yang dihukum mati karena Kristus itu mati dengan sukacita. 

Hal ini mengherankan mereka yang tidak percaya: Mengapa mereka mati dengan sukacita? Mereka mengalami kesukaan, tidak melihat kematian itu sebagai kesedihan. Orang yang dihukum mati itu menyanyikan pujian bahwa mereka sebagai persembahan yang hidup, mereka melihat keindahan dan kemuliaan dan boleh mengambil bagian dalam karunia menderita. Ini yang dialami orang-orang Kristen yang sungguh.


Saya ingat satu cerita yang mengubah saya. Ada seorang pelukis diminta untuk melukis Kristus yang menderita. Ketika ia mau melukis, ia mulai mempelajari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan mulai membaca tafsiran-tafsiran untuk bisa menghayati peristiwa penyaliban itu. Ia seorang pelukis profesional, sebab itu untuk dapat melukiskan bagaimana penderitaan Kristus, ia perlu menghayatinya dulu. 

Tetapi ketika ia mempelajari itu semua, iapun bertobat, karena ia tahu bahwa Kristus adalah Allah yang mau menjadi manusia: Kristus mati karena saya yang berdosa. Kemudian ia coba mengekspresikan semua itu dalam lukisannya dengan sungguh-sungguh. Ia mulai merenungkan kasih Tuhan, mulai merenungkan bagaimana Tuhan mengasihi dia dan melukis lukisan itu. 

Setelah selesai, lukisan Tuhan Yesus yang sedang menderita disalib itu ditaruh di tempat umum, di mana orang bisa melihat lukisan itu. Ada seorang muda kaya yang tertarik melihat kerumunan orang yang melihat lukisan itu, lalu ia datang ke sana dan melihat lukisan itu. Ia membaca satu tulisan di bawah lukisan itu: Nyawa-Ku Kuberikan padamu, apa kau beri pada-Ku? Orang muda ini masuk ke ruang kebaktian samboi terus merenungkan cinta kasih Tuhan. Di akhir kebaktian, dia menyerahkan diri untuk menjadi hamba Tuhan. Dialah Zinzendoorf dari kelompok Moravia, yang menjadi utusan Injil terkenal.

Bagaimana kita saat ini? Bagaimana hidup kita sebagai orang Kristen saat ini? Adakah kita sungguh menghayati apa yang Kristus katakan agar kita menyangkal diri kita, memikul salib kita dan mengikut Dia setiap hari? Apa yang telah Saudara berikan? Beranikah Saudara hidup seturut dengan kehendak Dia dan mempercayakan hidup Saudara sepenuhnya kepada Dia?

KOMITMEN: MENYANGKAL DIRI, MEMIKUL SALIB DAN MENGIKUT KRISTUS SETIAP HARI
1 John C. Maxwell, The 21 Indispensable Qualities of a Leader, Alih Bahasa: Arvin Saputra (Batam: Interaksa, 2001), hlm. 31-32; buku asli hlm. 16.

2 ibid. Hlm. 28-30. Bandingkan Robert Cumming, Annotated Art (London: Covent Garden Books, 2000), hlm. 30-31.

3 Tempo, 8-14 Oktober 2001, hlm. 154.

4 Pada saat itu kepercayaan saksi Yehovah memang masih dilarang oleh pemerintah resmi Indonesia.

5 Billy Graham, “Mission Imposible: Your Commitment to Christ” di dalam Confessing Christ as Lord diedit oleh John W. Alexander (Downers Grove: Illinois: InterVarsity Press, 1982), hlm. 119-120.

6 Richard L. Pratt Jr, He Gave Us Stories (Brentwood, Tennessee: Wolgemuth & Hyatt Publishers, 1990), hlm. 25-33.

7 Leslie T. Lyall, John Sung: Obor Allah di Asia, diterjemahkan oleh: P.S. Naipospos (Jakarta: YKBK/OMF, 1999), hlm. 21-31.

8 Kees Bertens. Filsafat Barat Abad XX: Perancis (Jakarta: Gramedia, 1996), hlm. 255.

9 F.F. Bruce, The Hard Saying of Jesus (Downers Grove, Illionois: InterVarsity Press, 1983), hlm. 150-152.

10 George W. Bromiley, Historical Theology: An Introduction (Grand Rapids. Ml: Wm. Eerdmans, 1978), hlm. 13.KOMITMEN: MENYANGKAL DIRI, MEMIKUL SALIB DAN MENGIKUT KRISTUS SETIAP HARI.
Next Post Previous Post