PENTAKOSTA: KEBANGUNAN DAN MENERIMA ROH KUDUS - Sinclair B. Fergusson
PENTAKOSTA: KEBANGUNAN DAN MENERIMA ROH KUDUS - Sinclair B. Fergusson. Turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta harus dilihat sebagai peristiwa kristologis. Karena itu, pengertian karya Roh Kudus harus dipahami dari karya Kristus. Namun timbul satu pertanyaan: Apakah Pentakosta memiliki pengaruh yang menetap bagi kehidupan gereja?
Perjanjian Baru membukakan rincian dari titik-titik penting dalam karya Kristus, yakni: kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya (Roma 6:1; Galatia. 2:20; Kolose. 2:11-3:4). Demikian pula dengan peristiwa pencurahan Roh Kudus: ‘Kita semua dibaptis oleh satu Roh ke dalam satu tubuh — baik Yahudi maupun Yunani, budak maupun orang merdeka’ (1Korintus 12:13). Kata-kata ini sama dengan kata-kata yang digunakan dalam peristiwa Pentakosta (Lukas. 3:16 dan Kis. 1:5, 11:16).
Pernyataan Paulus bersifat mencakup semua orang. Sebagaimana Paulus menulis kepada jemaat Korintus, hal ini juga berlaku bagi kita dan setiap orang percaya (melalui baptisan Roh, kita masuk ke dalam satu tubuh di mana semua orang percaya termasuk di dalamnya) dan semua jenis orang percaya (Yahudi, Yunani, budak, orang merdeka).
Beberapa pertanyaan penting muncul di sini — untuk membangun sebuah teologi tentang pengalaman gereja masa kini bersama Roh Kudus:
Apakah hubungan antara Pentakosta dan pengalaman terdahulu dari pada murid Yesus dan Roh Kudus?
Apakah hubungan antara Pentakosta dan pengalaman bersama Roh Kudus yang dicatat dalam Kisah Para Rasul, di Samaria (Kis. 8:4-25), di rumah Kornelius (Kisah Para Rasul 10:1), dan di Efesus (Kis. 19:1-7) — dalam ketiga-tiganya, nampaknya turunnya Roh Kudus menyusul setelah terjadi pertobatan. Apakah ini berarti adanya berkat kedua setelah pertobatan?
Apakah hubungan antara Pentakosta dan baptisan Roh Kudus yang Paulus tuliskan dalam 1Korintus 12:13?
Unsur-unsur manakah dari Pentakosta yang tidak dapat terulangi, hanya satu kali terjadi? Manakah unsur-unsur yang dapat terulang, bahkan menjadi norma atau ketetapan bagi gereja masa kini?
Pentakosta dan Para Murid
Murid-murid yang berkumpul bersama setelah Yesus bangkit, adalah orang-orang yang sungguh percaya (Matius 16:15-20); mereka sudah dibersihkan dan dipersekutukan dengan Kristus (Yohanes 15:1-11). Dengan demikian, ini adalah buah pekerjaan Roh Kudus dalam hidup mereka. Tetapi jelas bahwa mereka belum menerima baptisan Roh yang dijanjikan (Kisah Para Rasul 1:5). Pengalaman mereka bersama Roh Kudus bersifat progresif.
Dari hal ini, tidak mungkin kita menyimpulkan bahwa pengalaman para murid harus menjadi pengalaman kita juga pada masa kini. Pengalaman mereka bersifat unik karena mereka hidup dalam masa transisi dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Pengalaman mereka hanya terjadi satu kali dan tidak menjadi pola bagi kita untuk masa kini.
Sebab masuknya mereka ke dalam kepenuhan Roh Kudus terjadi dalam dua tahap yang berbeda: mencerminkan sebuah pola kesinambungan dengan kita (Roh yang sama), dan pola ketidaksambungan dengan kita (hanya dalam Pentakosta, Roh Kudus datang dalam tugas dan pelayanan-Nya sebagai Roh Kristus yang dimuliakan). Pola demikian didasarkan atas munculnya zaman baru dari zaman lama. Jadi terdapat keistimewaan dalam pengalaman murid-murid, sama seperti pengalaman mereka bersama Yesus.
Kaisarea, Samaria, Efesus
Bagaimana dengan turunnya Roh Kudus di Samaria (Kis. 8:9-25), di rumah Kornelius (Kis. 10:44-48), dan di Efesus (Kis. 19:1-7)? Yang paling mencolok adalah yang terjadi di rumah Kornelius karena istilah-istilah yang digunakan di dalamnya juga digunakan dalam Pentakosta. Misalnya: pencurahan (Kis. 2:17-18, 33; 10:45); baptisan (Kis. 1:5; 11:16); dan karunia (Kis. 2:38; 11:17). Fenomena berbahasa roh juga terjadi lagi di sini (Kis. 2:4; 10:6).
Lebih lanjut, Petrus melihat kesamaan antara kedua peristiwa: ‘Roh Kudus telah datang kepada mereka seperti kepada kita dahulu. Maka teringatlah aku akan perkataan Tuhan: ‘Yohanes membaptis…kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus…;…Allah memberikan karunia kepada mereka sama seperti Ia telah berikan kepada kita…’ (Kis. 11:15-17).
Pengertian Petrus terhadap kejadian ini, sejalan dengan rencana dalam Kis. 1:8. Turunnya Roh Kudus kepada seisi rumah Kornelius menandai tersebarnya Injil ke daerah orang non-Yahudi. Ini ditegaskan oleh Gereja Yerusalem: ‘Ketika mereka mendengar ini, mereka tidak lagi berkeberatan dan memuji Tuhan, katanya: “Jadi, Allah juga mengaruniakan pertobatan kepada orang non-Yahudi” (Kis. 11:18). Kejadian ini dilihat sebagai kejadian yang hanya terjadi satu kali dan memang direncanakan secara khusus dan unik. Jadi ia lebih bersifat programatik daripada paradigmatik.
Namun demikian, dalam kasus Samaria dan Efesus, nampak adanya tahap kedua dalam pengalaman mereka dengan Roh Kudus. Orang-orang Samaria percaya ketika Filipus memberitakan Injil Kerajaan Allah dan nama Yesus Kristus, dan dibaptis; tetapi hanya ketika Petrus dan Yohanes datang, barulah mereka didoakan agar mereka menerima Roh Kudus karena sampai saat itu Roh Kudus belum datang atas mereka; mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Maka Petrus dan Yohanes menumpangkan tangan atas mereka, dan mereka menerima Roh Kudus (Kis. 8:12, 15-17).
Kemudian, Paulus bertanya kepada orang Efesus, ‘Apakah kamu menerima Roh Kudus ketika kamu percaya?’ Jawabannya mengherankan: ‘Kami bahkan belum pernah mendengar bahwa ada Roh Kudus.’ Setelah memberitakan Kristus kepada mereka, ‘Paulus menumpangkan tangannya atas mereka, Roh Kudus turun atas mereka dan mereka berbahasa roh dan bernubuat’ (Kis. 19:1-7).
Sering dikatakan, berdasarkan pengalaman para rasul di hari Pentakosta dan juga pengalaman di Samaria dan Efesus, maka Lukas dan Kisah Para Rasul mengajarkan dua tahap untuk masuk ke dalam kepenuhan Roh. Kira-kira pemikirannya seperti ini:
Kelahiran kembali oleh Roh Kudus (pertobatan)
Baptisan Roh
Jadi selama Yesus hidup di dunia, para murid hanya baru dilahirkan kembali. Nanti, pada hari Pentakosta, barulah mereka mengalami karya Roh Kudus: mereka dibaptis dan dipenuhi dengan Roh dan berbahasa roh sebagai bukti bahwa mereka sudah menerima Roh Kudus. Berdasarkan pengertian ini, di Samaria dan Efesus, kita menemukan orang-orang percaya (yang sudah dilahirkan kembali), namun belum menerima (belum dibaptis) dengan Roh Kudus. Tahap yang kedua ini dianggap berbeda dengan kelahiran kembali.
Kita sudah melihat sekalipun pengalaman para rasul terbagi dalam dua tahap, hal ini bukan menjadi contoh bagi kita. Namun bukankah seharusnya pengalaman para rasul juga menjadi pengalaman kita juga pada masa kini?
Pandangan dua tahap dari karya Roh Kudus bukan hanya dianut oleh golongan Pantekosta dan Karismatik, tetapi juga oleh Katolik. Dalam Katolik, seseorang dianggap masuk dalam persekutuan dengan Roh melalui penumpangan tangan (Kis. 8:17; 9:16). Dalam Pentakosta dan Karismatik, baptisan Roh diwujudkan dengan berbahasa roh, dan ini merupakan pengalaman kedua setelah pengalaman pertama (pertobatan).
Dalam Lukas dan Kisah Rasul, Pentakosta digambarkan sebagai kisah sejarah penebusan. Penafsirannya tidak boleh secara eksistensial dan pneumatologis, tetapi harus secara eskatologis dan kristologis. Secara mendasar, peristiwa Pentakosta bersifat terjadi satu kali saja sebagaimana seluruh kejadian dalam hidup Yesus (kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya ke surga). Dalam konteks ini, Kisah Para Rasul, bukanlah kisah Roh Kudus, tetapi kisah Yesus Kristus melalui Roh Kudus (implikasi dari Kis. 1:1-4 adalah bahwa kejadian yang dijanjikan dalam Kis. 1:5 menandai sebuah era baru di mana Yesus sendiri sebagai Tuhan yang mulia, akan bekerja dan mengajar).
Dipahami dalam kerangka pikir demikian, kejadian-kejadian di Samaria dan Kaisarea menandai dimulainya tahap kedua dan tahap ketiga dari penyebaran kerajaan Kristus seperti tertera dalam Kis. 1:8:
Injil tiba di Yerusalem pada hari Pentakosta
Injil tiba di Samaria. Kis. 8 menggambarkan terjadinya kebangunan iman melalui pelayanan Filipus, diikuti oleh kunjungan Petrus dan Yohanes sebagai utusan rasuli (Kisah Para Rasul 8:14), dan pencurahan Roh Kudus setelahnya. Peristiwa-peristiwa ini dapat dipahami jika dimengerti dalam konteks tahap penyebaran Injil seperti dijanjikan oleh Yesus. Karena itulah, kita tidak perlu berpikir bahwa orang-orang Samaria belum bertobat, sekalipun ada kemungkinan demikian.
Injil sampai ke Kaisarea sebagai wakil dari dunia non-Yahudi (‘ujung bumi’, Kis. 1:8; khususnya Kis. 11:18). Banyaknya ayat yang membahas hal ini dalam Kisah Para Rasul (66 ayat) menunjukkan pentingnya peristiwa ini bagi Lukas. Hal ini lebih dari sekadar ‘kisah pertobatan mendadak’, sebuah paradigma yang berlaku bagi setiap zaman. Sebaliknya, peristiwa ini merupakan sebuah perkembangan yang spesifik dan strategis dari rencana misi dalam Kis. 8.
Kejadian-kejadian di Efesus berbeda dengan Samaria dan Kaisarea. Kelompok yang bertemu dengan Paulus, yang disebut sebagai ‘beberapa murid’ (Kisah Para Rasul 19:1), merupakan sesuatu yang unik. Lukas memberikan kesan kepada kita bahwa ia tidak melihat orang-orang ini sebagai ‘orang Kristen’ sesuai konsep Perjanjian Baru:
Peristiwa tersebut terjadi dalam konteks pemahaman yang kurang utuh terhadap Injil, di mana hal ini juga terjadi dalam permulaan pelayanan Apolos; Lukas membeberkan fakta di mana ‘ia hanya mengetahui baptisan Yohanes’ (Kis. 18:25).
Mereka yang hanya mengenal baptisan Yohanes merupakan kelompok yang khusus di Efesus. Mereka disebut sebagai ‘beberapa murid’ dengan asumsi bahwa banyak orang Kristen lainnya di Efesus. Lukas menyatakan dengan jelas bahwa hanya ada 12 orang dalam kelompok itu. Dengan demikian, kita tidak mungkin mengatakan bahwa semua orang Kristen harus seperti mereka. Dalam kenyataannya, mereka adalah para murid dari Yohanes Pembaptis.
Mereka belum menerima baptisan Kristen. Hanya melalui baptisan Kristen dan penumpangan tangan, barulah Roh Kudus turun atas mereka dan mereka ‘berbahasa roh dan bernubuat’ (Kis. 19:6). Ini merupakan tanda tibanya Perjanjian Baru. Sebagaimana murid-murid pertama pada hari Pentakosta, banyak yang hanya menerima baptisan Yohanes. Jadi ke-12 orang ini berada dalam tahap transisi dari tahap penantian kepada tahap penggenapan.
Kadang-kadang untuk melawan doktrin dua tahap, kita perlu kembali kepada prinsip dasar hermeneutik, yaitu: kita tidak boleh menyusun doktrin dari Kisah Para Rasul sebagaimana juga dari kitab Raja-raja. Kita harus menyusun doktrin dari bagian Alkitab lainnya, sementara Kisah Para Rasul (sebagai salah satu contoh kisah sejarah) menjadi ilustrasi bagi doktrin tersebut. Ini merupakan prinsip yang penting. Struktur teologi Kristen harus didasarkan dalam pemaparan teologis dan norma-norma dalam Alkitab, bukan diambil dari kejadian tertentu dalam sejarah (yang memang terjadi, tetapi tidak mutlak, dan harus ditafsirkan lebih lanjut secara teologis).
Tetapi prinsip ini tidak terlalu relevan bagi pembelaan kita. Sebab Kisah Para Rasul sendiri menegaskan bahwa kejadian-kejadian yang ada tidak boleh dianggap sebagai paradigma, tetapi sebagai kejadian yang unik dan terulang (sui generis).
Kisah Rasul tidak pernah mewajibkan kita mengalami pengalaman dua tahap seperti yang dialami para rasul. Pembelaan Petrus terhadap kejadian di Kaisarea bisa memberikan solusi. Ia menyamakan pengalaman seisi rumah Kornelius dengan pengalaman murid-murid pada hari Pentakosta (Kis. 11:15: ‘Roh Kudus turun atas mereka seperti Ia telah turun atas kita pada mulanya‘) dan memahami kejadian ini dalam pengertian berikut ini: ‘Tuhan memberikan kepada mereka karunia yang sama seperti yang telah diberikan-Nya kepada kita yang percaya dalam Tuhan Yesus Kristus‘ (Kis. 11:17).
Memang para murid sudah percaya kepada Yesus sebelum hari Pentakosta, tetapi yang baru dan berbeda dalam iman mereka adalah obyek iman; sebelumnya mereka tertuju kepada Kristus yang sedang mengosongkan diri-Nya, kini iman mereka tertuju kepada Kristus sebagai Tuhan yang mulia sesuai janji Mesias (Mazmur 110:1).
Karena sejarah penebusan terus bergulir, maka dahulu rasul-rasul harus mengalami pengalaman dua tahap. Iman percaya tertuju kepada Kristus sebagai Tuhan, dan percaya kepada-Nya berani menerima karunia yang sama seperti yang diterima murid-murid pertama pada hari Pentakosta, yaitu: Roh Kudus. Bahasa roh dan nubuat yang digambarkan dalam Kis. 10:46; 19:6 dan mungkin 8:17, bukanlah bukti bagi pengalaman kedua, tetapi merupakan tanda-tanda bergulirnya sejarah penebusan kepada zaman perjanjian baru lebih lanjut.
Perjanjian Baru tidak mengatakan bahwa Pentakosta memberikan kepada kita paradigma dua tahap untuk pengalaman pribadi kita dengan Roh Kudus. Sebaliknya, pada titik iman itu, kita menerima berkat turunnya Roh Kudus pada hari Pentakosta.
Abraham Kuyper memberikan sebuah analogi untuk menggambarkan perbandingan antara pengalaman bersama Roh Kudus sebelum dan sesudah Pentakosta, dan menjelaskan turunnya Roh Kudus kemudian. Karena keterbatasannya, analogi tersebut menegaskan bahwa Pentakosta dan kejadian-kejadian berikutnya membutuhkan sebuah metode penafsiran yang benar:
Ada sebuah kota di mana penduduknya minum dari pompanya masing-masing. Kini mereka hendak membuat sebuah PAM untuk menyediakan kebutuhan air bagi setiap rumah. Ketika pekerjaan itu selesai, air mengalir melalui sistem pusat dan pipa kepada setiap rumah…Dalam kota itu terdapat dataran rendah dan dataran tinggi, keduanya harus disuplai oleh PAM yang sama. Pada saat acara pembukaan, penyaluran air di kota yang lebih tinggi, meskipun luar biasa, tetapi merupakan akibat dari peristiwa pembukaan sebelumnya…
Pada hari Pentakosta, Ia (Roh Kudus) dicurahkan kepada semua orang percaya, tetapi hanya untuk menghilangkan dahaga satu bagian, yaitu: orang Yahudi. Inilah pencurahan original di Yerusalem pada hari Pentakosta, dan pencurahan tambahan di Kaisarea, bagi orang-orang non-Yahudi; kedua-keduanya sama, tetapi masing-masing memiliki karakternya.
Di samping itu, ada pencurahan Roh Kudus yang khusus, terjadi melalui penumpangan tangan oleh para rasul. Dari waktu ke waktu, saluran baru dibuat antara rumah-rumah penduduk dan PAM, sehingga bagian-bagian baru dalam tubuh Kristus ditambahkan dari luar ke dalam gereja. Ke dalam inilah, Roh Kudus dicurahkan dari tubuh kepada anggota-anggota baru.
Apa yang terjadi di Samaria, di rumah Kornelius, dan di Efesus harus dimengerti dalam konteks keunikan sejarah dan latar belakang gereja mula-mula. Peristiwa Pentakosta tidak terulang, sama seperti kebangkitan Kristus. Namun kita memasukinya dengan cara demikian, sehingga Roh Kudus dicurahkan ke dalam hati kita melalui iman dalam Kristus (Rm. 5:5). Masing-masing minum dari Roh untuk dirinya (1Korintus 12:13).
Hal ini semakin jelas ketika kita melihat Pentakosta sebagai salah satu aspek karya Kristus, bukan sebuah peristiwa yang terpisah dari-Nya, atau sekadar tambahan. Ini adalah bukti nyata sebuah kemenangan. Peristiwa-peristiwa pada hari Pentakosta adalah pernyataan secara umum dari realita yang terselubung, yaitu: Kristus telah ditinggikan sebagai Tuhan yang mulia. Kini sebagai Pengantara bagi kita, permohonan-Nya agar turunnya Roh Kudus, telah dikabulkan.
Seperti kita tahu, ungkapan Petrus dalam Kis. 2:33 menunjuk kepada penggenapan dari janji Mesias dalam Mzm. 2:6-8: ‘Aku telah melantik raja-Ku di Zion, gunung-Ku yang kudus…Mintalah kepada-Ku, dan Aku akan memberikan bangsa-bangsa sebagai bagian-Mu, seluruh bumi sebagai milik-Mu‘). Kristus yang telah naik ke surga, memohon agar Roh Kudus turun sebagai penggenapan janji yang sudah diberikan (Galatia. 3:13-14; Yeremia 31:31; Yohanes. 14:16).
Permohonan Kristus dikabulkan. Pentakosta, seperti peristiwa lainnya, pada diri-Nya bersifat unik. Pentakosta tidak bisa diulangi, seperti juga kematian, kebangkitan, atau kenaikan Yesus juga tidak bisa diulangi. Ia merupakan sebuah peristiwa (event) dalam sejarah penebusan (historia salutis), dan tidak boleh dipaksa menjadi peristiwa keselamatan pribadi (ordo salutis).
Turunnya Roh Kudus adalah bukti dari pelantikan Kristus, sama seperti kebangkitan-Nya adalah bukti kemenangan dalam kematian Kristus sebagai kurban tebusan (Rm. 4:24). Ini tidak berarti Pentakosta tidak memiliki dimensi ekstensial atau relevansi. Tetapi ini berarti kita tidak mungkin mengharapkan Pentakosta bagi diri kita secara pribadi, sama seperti kita tidak mungkin mengharapkan terjadi lagi baptisan di sungai Yordan, pencobaan di Padang Gurun, pergumulan di Getsemani, atau penyaliban di Golgota dalam hidup kita. Jika kita berusaha mengulangi apa yang tidak bisa terulang, sama saja kita menyangkali kuasa dan signifikasi dari peristiwa tersebut.
Baptisan Roh yang Berbeda-beda?
Apakah hubungan antara baptisan Roh dalam Kis. 2 dan baptisan Roh dalam surat Paulus 1Kor. 12:13? Perjanjian Baru menekankan prinsip bahwa kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus membawa dampak pengaruh bagi pengalaman kita kini. Orang-orang percaya mendapatkan manfaat dari peristiwa sejarah penebusan seperti kematian, penguburan, kebangkitan, dan kenaikan Kristus (Rm. 6:1; Galatia 2:20; Kolose. 2:9-3:4).
Jadi meskipun Pentakosta hanya satu kali terjadi, baptisan Roh yang terjadi saat itu terus bergulir kepada zaman-zaman berikutnya. Sama seperti darah Kristus membersihkan orang dari setiap suku, bahasa, dan bangsa (Why. 5:9), maka Roh Kudus mengalir dari jasa Kristus pada hari Pentakosta ke Yerusalem, dan dari sana terus menyebar ke seluruh Yudea, mengumpulkan momentum ke Samaria sampai ke ujung bumi (Kis. 1:8).
Semua yang datang dan percaya kepada Kristus sebagai Tuhan, menerima karunia yang sama seperti yang diterima murid-murid. Akibatnya, orang-orang percaya masuk ke dalam manfaat dari Pentakosta, sama seperti mereka masuk ke dalam manfaat dari kematian, kebangkitan, dan kenaikan Kristus: ‘Kita semua telah dibaptisan oleh satu Roh ke dalam satu tubuh’ (1Kor. 12:13).
Ada yang berpendapat bahwa di sini Paulus berbicara mengenai baptisan Roh yang berbeda dengan baptisan Roh yang dijanjikan oleh Yohanes dan Yesus pada hari Pentakosta. Dalam baptisan Roh yang dimasudkan oleh Yohanes dan Yesus, Kristuslah Sang Pembaptis, dan Roh adalah elemen baptisan; sedangkan dalam baptisan Roh dalam 1Korintus 12:13, Rohlah Sang Pembaptis, dan kita dibaptis ke dalam tubuh Kristus. Tetapi James Dunn mengatakan:
Dalam Perjanjian Baru kata ‘en’ dengan ‘baptizein’ tidak pernah menunjuk kepada orang yang membaptis; sebaliknya, ia selalu menunjuk elemen yang melaluinya baptisan itu dilakukan, kecuali jika ia merupakan bagian dari frase yang lebih panjang…
Sangat bertentangan dengan penafsiran umum jika kita membaca bahwa Yesus membaptis dengan Roh Kudus pada hari Pentakosta (Matius. 3:11; Mrk. 1:8; Lukas 3:16; Yohanes 1:33; Kis. 1:5, 11:16) seolah-olah menunjukkan perbedaan kronologis dan perbedaan jenis baptisan.
Dalam 1Kor. 12:13, Paulus menunjukkan bahwa semua orang percaya dibaptis dengan Roh dan minum dari air Roh. Elemen dari peristiwa Pentakosta diulang kembali dalam hidup orang percaya pada setiap zaman. Tetapi bagaimana kita bisa membedakan aspek sejarah penebusan (yang tidak terulang) dengan aspek eksistensial (yang bisa terulang)?
Beberapa elemen dari Pentakosta jelas merupakan aspek dari peristiwa yang tidak terulang (once-for-all event). Contohnya penantian para murid. Sama seperti munculnya bunyi angin dan lidah-lidah api. Ini bahkan tidak diulangi dalam Kisah Para Rasul. Sedangkan berbahasa roh diulangi dalam seisi rumah Kornelius (Kis. 10:46), dan di Efesus (Kis. 19:6). Banyak penafsir meyakini melalui penampakan Roh Kudus di Samaria (Kis. 8:7-18), bahasa roh juga terjadi di situ.
Bahasa roh pada hari Pentakosta diulangi. Tetapi seperti kita tahu, tiga kejadian ini harus dilihat sebagai unik dan tiada bandingnya (idiosyncratic) dalam kitab Kisah Para Rasul. Fenomena ini tidak tercatat dalam kasus-kasus lainnya (mis. sida-sida dari Etiopia, Saulus dari Tarsus, Lydia, kepala penjara Filipi).
Pengulangan ini adalah aspek-aspek dari signifikasi yang khusus dari apa yang terjadi. Samaria dan Kaisarea adalah posko-posko yang termasuk dalam program Kis. 1:8; Efesus menandai transisi dari dunia Perjanjian Lama dan dunia baptisan Yohanes, kepada dunia Perjanjian Baru dan baptisan Roh yang datang dari Kristus. Di dalam Kisah Para Rasul (sama seperti dalam seluruh Perjanjian Baru), bahasa roh pada hari Pentakosta tidak pernah dilihat sebagai ‘dapat terulang’ dalam pengalaman orang-orang percaya pada waktu-waktu selanjutnya.
Tetapi ada aspek lebih lanjut dari Pentakosta. Yesus menjanjikan murid-murid-Nya, bahwa turunnya Roh Kudus akan membawa ‘kuasa’. Sebagai akibatnya mereka akan menjadi saksi-saksi-Nya sampai ke ujung bumi (Lukas 24:49; Kis. 1:8). Pada hari Pentakosta, murid-murid dipenuhi dengan Roh Kudus sehingga mereka berbahasa roh. Sementara berbahasa roh jarang disebut lagi dalam Kisah Para Rasul, kekuatan (empowerment) di mana Roh Kudus memenuhi seseorang diulangi dalam banyak kejadian.
Lukas dan Kisah Para Rasul berbicara mengenai dipenuhi Roh Kudus sebagai syarat yang berlaku terus, tetapi juga menggambarkan situasi khusus ketika seseorang mengalami kepenuhan yang unik (berbeda). Sebagai syarat yang berlaku terus, kata ‘pleroo’ digunakan (band. Lukas. 4:1; Kis. 6:3; Efesus 5:18); sedangkan sebagai pengalaman khusus digunakan kata ‘pimplemi’ (Lukas. 1:41, 67; Kis. 2:4, 4:8, 31, 9:17).
Dalam pengertian yang pertama, dipenuhi Roh Kudus menunjuk kepada menghasilkan buah Roh dalam kehidupan, di mana Roh Kudus memerintah atas orang itu (Efesus 5:18). Sedangkan dalam pengertian yang kedua, ini menunjuk kepada pemberian kemampuan dan kuasa khusus untuk melayani kerajaan Allah. Ini yang terdapat dalam Kis. 1:8, juga dalam Kis. 2:4. Yang menarik adalah, ini terkait dengan kata-kata dari orang yang dipenuhi Roh Kudus. Mereka menerima kuasa untuk menjadi saksi-saksi Kristus.
Pemberian kuasa pada hari Pentakosta, dan kepenuhan Roh, sekalipun luar biasa, bukanlah fenomena yang tersendiri dalam Kisah Para Rasul. Pengulangannya tidak selalu sama. Jadi dari karya Roh Kudus, aspek ini nampak dapat terulang.
Kebangunan
Aspek yang berhubungan dengan Pentakosta adalah ‘kebagunan rohani’. Kebangunan rohani adalah orang-orang percaya dibangkitkan dan orang-orang non-Kristen dibawa kepada kerajaan Allah dalam jumlah besar-besaran. Masing-masing menyadari dosanya dan kebutuhannya akan Tuhan. Semua ini terjadi karena kehadiran dan kuasa Roh Kudus. Dalam beberapa hal, Pentakosta boleh disebut sebagai kebangunan rohani pada zaman Perjanjian Baru.
Tentu saja ada kesadaran akan dosa, kekaguman (Kis. 2:43) yang ditimbulkan, dan model bagaimana seharusnya sebuah gereja itu. (Kis. 2:44-47). Inilah kebangunan rohani. Mengingat ilustrasi mengenai pipa air, kita dapat mengatakan bahwa kebangunan rohani adalah energi Roh Kudus yang tidak terhenti.
Dalam konteks ini, mengikuti pola Pentakosta, proklamasi orang-orang Kristen memiliki ‘kuasa’ sebagaimana Roh Kudus menyaksikan Kristus bersama dengan para murid (Yoh. 19:26-27; band. Kis. 4:33; 6:8; 10:38). Ini terbukti dalam misi Filipus di Samaria. Surat-surat Paulus menunjukkan bahwa ia mengalaminya dalam beberapa pelayanannya (1Korintus 2:4; 1Tesalonika 1:5).
Turunnya kuasa Roh Kudus tidaklah menyelesaikan semua masalah. Kebangunan rohani yang terjadi selalu memiliki dampak yang bercampur, yaitu: rawan terhadap kesombongan rohani seperti di Korintus. Ini juga terjadi dalam kebangunan rohani pada waktu-waktu berikutnya. Karena itu, hal ini tidak mengejutkan kita.
Jonathan Edwards, teolog kebangunan rohani dari New England, bisa keliru karena ekstrim (over-emphasis). Ia menulis:
Harus diperhatikan, semenjak kejatuhan manusia sampai sekarang, karya penebusan dilaksanakan oleh Roh Kudus. Meskipun ada karya Roh Kudus yang konstan atau tetap, namun hal-hal yang terbesar yang telah dikerjakan selalu terjadi dalam waktu-waktu khusus, waktu kemurahan.
Kesempatan demikian sesuai dengan kata-kata Petrus dalam Kis. 3:19: ‘Bertobatlah dan berbaliklah kepada Allah sehingga dosa-dosamu dihapuskan, sehingga waktu-waktu pemulihan datang dari Tuhan, dan Ia mengutus Kristus…‘ Urutan kalimat di sini (pengampunan, pemulihan, kedatangan Kristus) menegaskan waktu-waktu pembaharuan dan kebangunan yang dimaksudkan oleh Petrus.
Kita menemukan dua fenomena dalam Kisah Para Rasul. Kita mendapatkan ‘kasus khusus’ dalam karya Roh Kudus melalui kelahiran kembali dan pertobatan. Tetapi melalui kuasa Roh Kudus (pertama kali dalam Pentakosta) terjadilah peristiwa monumental dalam Kerajaan Kristus. Pencurahan Roh Kudus menciptakan gelombang di seluruh dunia ketika Roh Kudus terus bekerja dengan kuasa.
Pentakosta adalah pusat, tetapi gempa bumi memberikan guncangan lanjutan. Suara-suara tersebut terus berlanjut pada setiap zaman. Pentakosta sendiri tidak terulang; tetapi teologi Roh yang tidak memasukkan doa untuk kebangunan rohani, bukanlah teologi Roh Kudus yang benar.
Tujuan
Kita telah melihat bahwa ada dua dimensi dari Pentakosta: sejarah penebusan dan pengalaman pribadi. Yang pertama hanya satu kali dan tidak terulangi; sedangkan yang kedua adalah pelayanan Roh Kudus yang terus-menerus sampai sekarang.
Sebagai tambahan, tugas Roh Kudus adalah mengembalikan kemuliaan kepada ciptaan yang sudah jatuh dalam dosa. Seperti Calvin katakan, dunia ini diciptakan sebagai sebuah teater untuk kemuliaan Allah. Sepanjang sejarah, dunia ini selalu menampilkan kesempurnaan Allah yang tidak nampak. Khususnya di dalam pria dan wanita, gambar dan rupa Allah, kemuliaan ini harus dipancarkan. Tetapi mereka menolak memuliakan Allah (Roma 1:21); mereka menajiskan diri sendiri (Roma 1:28), dan kehilangan kemuliaan Allah (Roma 3:23).
Tetapi kini, di dalam Kristus yang adalah cahaya kemuliaan Allah (Ibrani 1:3) kemuliaan itu dipulihkan. Ia telah berinkarnasi bagi kita, dan kini Ia dimuliakan di dalam tubuh kemuliaan. Ciptaan ini sedang menuju kepada eskatologi, dan semua ini sudah dimulai dengan diri Kristus sebagai buah sulung. Kini Ia mengutus Roh Kudus, rekan kerja yang akrab dalam seluruh hidup-Nya di dunia ini, untuk mengembalikan kemuliaan dalam kita.
Sehingga kita, yang dengan wajah yang tak terselubung memancarkan kemuliaan Allah, diperbarui serupa dengan gambar-Nya dengan kemuliaan yang semakin bertambah, yang datang dari Tuhan, yang adalah Roh (2Korintus 3:18). Tujuan diberikannya Roh Kudus tidak lain adalah untuk pemulihan gambar Allah kembali, yaitu: transformasi menuju keserupaan dengan Kristus yang adalah Gambar Allah. Menerima Roh Kudus berarti dibangkitkan ke dalam kuasa pelayanan-Nya senantiasa.
Menerima Roh Kudus
Perjanjian Baru menggambarkan persekutuan dengan Roh Kudus dari dua sudut pandang: karunia Allah dan penerimaan manusia. Roh Kudus diberikan oleh Bapa (Lukas 11:13). Tetapi Roh Kudus juga diterima oleh individu (Yohanes 7:39, Kis. 19:2; Roma 8:15; Galatia 3:2). Dalam satu konteks di mana ia merenungkan mengenai keadaan jiwa kita, Paulus menegaskan bahwa ini terjadi ‘melalui apa yang kamu dengar.’ Ini dikontraskan dengan ‘memelihara Taurat’ (Galatia 3:2, 5). Roh Kudus diterima dalam konteks seseorang beriman kepada Kristus sebagai Tuhan.
BACA JUGA: MAKNA DAN KONTEKS TEOLOGIS KELAHIRAN KEMBALI
Bagi Paulus, dalam pengalaman normal di dunia non-Yahudi, Roh Kudus diterima tidak terpisah dari iman kepada Kristus. Hanya dengan percaya kepada Kristus, Roh Kristus diterima. Karena percaya kepada Kristus berarti menerima Dia dan kediaman-Nya dalam kita. Ini adalah realita yang satu dan sama dengan penerimaan Roh Kudus dan kediaman-Nya, karena di dalam dan melalui-Nya, Kristus datang untuk tinggal di dalam kita.
BACA JUGA: MAKNA DAN KONTEKS TEOLOGIS KELAHIRAN KEMBALI
Bagi Paulus, dalam pengalaman normal di dunia non-Yahudi, Roh Kudus diterima tidak terpisah dari iman kepada Kristus. Hanya dengan percaya kepada Kristus, Roh Kristus diterima. Karena percaya kepada Kristus berarti menerima Dia dan kediaman-Nya dalam kita. Ini adalah realita yang satu dan sama dengan penerimaan Roh Kudus dan kediaman-Nya, karena di dalam dan melalui-Nya, Kristus datang untuk tinggal di dalam kita.
Interaksi antara kediaman Kristus dan kediaman Roh Kudus dalam kita, Roma 8:8-9 menjelaskan bahwa kedua realita tersebut adalah satu dan dialami oleh satu individu. Tidak ada cara lain untuk menerima Roh Kudus kecuali melalui iman kepada Kristus. Memiliki Kristus adalah memiliki Roh Kudus. Bagaimana ini terjadi, dan apa implikasinya, merupakan topik pembahasan yang berbeda.PENTAKOSTA: KEBANGUNAN DAN MENERIMA ROH KUDUS - Sinclair B. Fergusson.