DASAR-DASAR AJARAN TENTANG ALLAH TRITUNGGAL

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
DASAR-DASAR AJARAN TENTANG ALLAH TRITUNGGAL
SUB BAGIAN: DASAR-DASAR AJARAN TENTANG ALLAH TRITUNGGAL.

I. KEESAAN ALLAH

II. TRITUNGGAL DALAM PERJANJIAN LAMA

III. TRITUNGGAL DALAM PERJANJIAN BARU

IV. RUMUSAN AJARAN TRITUNGGAL DALAM SEJARAH GEREJA

V. JAWABAN TERHADAP PROBLEM TRITUNGGAL

Prolog: 

Berulangkali Alkitab mengemukakan bahwa hanya ada satu Allah, namun Alkitab juga menyingkapkannya bahwa .Allah ada dalam tiga Pribadi. Allah itu esa tetapi Perjanjian Baru mengungkapkan perbedaan khusus dalam Keallahan dengan memperkenalkan tiga Pribadi ketiganya dikenali sebagai Bapak, Anak, dan Roh Kudus.[1] 

Alkitab memang tidak memberikan formulasi tentang Allah Tritunggal ini tetapi bapak-bapak gereja mula-mula hingga masa reformasi telah menggumuli hal ini dan menghasilkan formulasi dan penjelasan yang lengkap tentang Allah Tritunggal ini. Dengan demikian pernyataan yang penuh dari kebenaran Alkitab tentang Allah Tritunggal merupakan hasil dari proses interpretasi Alkitab yang panjang dan penuh kerja keras.

I. KEESAAN ALLAH

Hal pertama dan terutama yang harus diakui berdasarkan pernyataan Allah baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru ialah bahwa Allah adalah Allah yang esa![2] Keesaan Allah berarti bahwa hanya ada satu Allah yang tidak dapat dibagi-bagi.[3] Allah yang sifat dasar dan watakNya tidak dapat dipisah-pisah.[4] Allah bukan saja esa, tetapi Dia adalah satu-satuNya Allah. Karena itu Allah unik adanya (Keluaran 15:11; Zakharia 14:9). 

Hanya ada satu Allah yang tidak terbatas dan sempurna.[5] Keesaan Allah ini merupakan sebuah pernyataan utama di dalam Perjanjian Lama. Selain dari Allah Israel, tidak ada satupun Allah yang ada. Hanya Dia dan tidak ada yang lain! Demikianlah pengakuan dasar bangsa Israel, “Dengarlah hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa!” (Ulangan 6:4). Ayat tersebut dapat diterjemahkan juga demikian, “Tuhan adalah Allah kita, Tuhan saja”, yang menekankan keesaan Allah dan sekaligus keunikanNya.[6]

Pengakuan itu terus menerus mempengaruhi keyakinan dan kehidupan orang Israel. Mereka mengakui satu Allah saja dan mengakuinya sebagai Allah satu-satunya yang ada sesuai dengan perintah Tuhan, “Akulah Tuhan, Allahmu... Jangan ada padamu Allah lain dihadapanKu” (Keluaran 20:2-3).[7] Karena itulah mereka mengatakan, “segala Allah bangsa-bangsa adalah berhala, tetapi Tuhanlah yang menjadikan langit” (1 Tawarikh 16:26). Dialah Allah dan tidak ada yang lain! (Yesaya 45:20-22; Bdk 44:6-8; 46:8-10). 

Yesus mengafirmasi kembali pengakuan dasar Israel ini saat ia ditanya mengenai hukum manakah yang paling utama. JawabanNya tegas, “Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:29-30). 

Dia mengakui bahwa BapaNya adalah Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. (Matius 22:32). Tidak ada Allah lain! Para rasul pun mengakui bahwa Allah itu esa, yang berarti bahwa pribadi-pribadi dari Tritunggal tidak terpisah tetapi satu dan esa di dalam jumlah dan keunikan (1 Korintus 8:6; Efesus 4:6; 1 Timotius 2:5).

Karena itu ada empat penegasan penting terkait dengan keesaan Allah ini, yaitu: 

(1) Allah dalam Alkitab berdiri berdiri sebagai satu-satunya Allah yang benar, hanya satu Pencipta dan Tuhan dari alam semesta. Allah itu esa disimpulkan dalam iman Kristen sepanjang abad. Allah bukanlah salah satu allah di antara allah-allah lain, tetapi Allah yang esa. Esa menunjuk pada kesatuanNya. Dia itu tunggal dan tidak terbagi. Allah tidak bisa dibagi-bagi. Allah yang benar adalah kesatuan yang tidak terpisah-pisah. Jadi hanya ada satu Allah![8] 

(2) Konsep keesaan Allah merupakan pernyataan Allah yang serius sehingga menuntut sesuatu dari orang-orang yang menerima wahyu khusus ini. Allah itu esa berarti kita tidak bisa sembarangan berserah atau menyerahkan diri kepala yang lain.[9] Kita hanya menyerahkan diri kepada Allah yang esa ini dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap kekuatan dan akal budi kita untuk mengasihi Dia (Markus 12:29-30). 

(3) Konsep keesaan Allah ini menjadi dasar ajaran Tritunggal di dalam memahami sifat Allah yang transenden (yang melampaui segala sesuatu), mutlak (satu-satunya melampaui segala sesuatu yang relatif), sempurna (satu-satunya yang tidak berkekurangan, mencukupi diriNya sendiri, dan menjadi sumber yang mencukupi yang lain), dan kekal (satu-satunya yang tidak mempunyai awal dan tidak mempunyai akhir, serta sumber dari kekekalan).[10] 

(4) Konsep keesaan Allah tidak inkonsisten dengan konsep ketritunggalan Allah karena suatu keesaan tidak sama dengan suatu satuan. Suatu satuan ditandai oleh sifat tunggal. Keesaan Allah memberikan peluang bagi adanya perbedaan-perbedaan Pribadi di dalam sifat dasar Ilahi. Sekalipun diakui bahwa pada saat yang sama sifat dasar ilahi itu secara matematis dan kekal tetap satu. Keesaan Allah menyatakan secara tidak langsung bahwa ketiga Pribadi Tritunggal itu sehakikat dan tidak terpisahkan.[11]

II. TRITUNGGAL DALAM PERJANJIAN LAMA

Teks-teks Perjanjian Lama sangat jelas menekankan keesaan Allah, namun tidak demikian dalam hal perbedaan dalam Keallahan. Sekalipun demikian, Perjanjian Lama nampaknya juga mengindikasikan konsep Tritunggal. 

Hennry C, Thiessen menjelaskan, “Sekalipun hal yang terutama ditekankan dalam Perjanjian Lama adalah keesaan Allah, namun tidak kurang isyarat mengenai adanya berbagai pribadi dalam Keallahan, demikian juga tidak kurang isyarat bahwa pribadi-pribadi ini merupakan suatu ketritunggalan”.[12] 

Charles C. Ryrie menjelaskan hal yang sama demikian, “Tak diragukan lagi Perjanjian Lama Menekankan keesaan Allah. Bagaimanapun juga, ada kesan-kesan yang jelas bahwa terdapat Pribadi-pribadi di dalam Keallahan. Oleh karena itu, orang bisa berkata bahwa Perjanjian Lama berisi isyarat-isyarat yang mengizinkan bagi wahyu selanjutnya tentang ketritunggalan Allah”.[13] 

Pada saat Perjanjian Lama di tulis, orang-orang Perjanjian Lama belum melihat manifestasi yang sempurna dari ketiga Pribadi sebagaimana kita melihatnya saat ini. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa Allah yang dinyatakan di dalam sejarah Perjanjian Lama secara bertahap adalah Allah Tritunggal yang sama dan bukan Allah yang lain. Dengan mengenal Allah Perjanjian Lama sebagai Allah Tritunggal sebagaimana kita sekarang mengenalNya, semua catatan Perjanjian Lama menjadi masuk akal, sesuatu yang mustahil terjadi jika Allah Perjanjian Lama bukan Allah Tritunggal.[14]

1. Penggunaan kata Ibrani “Elohim” untuk Allah (Kejadian 1:1 dan ayat lainnya) dalam bentuk jamak merupakan indikasi pertama tentang Trinitas dalam Perjanjian Lama. Kata “Elohim” adalah bentuk jamak dari kata benda untuk Allah orang Israel. Kata “Elohim” ini mempunyai bentuk tunggal yaitu “Eloah” yang digunakan antara lain dalam Ulangan 32:15-17; Mazmur 19:32; dan Habakuk 3:3. Tetapi dalam Perjanjian Lama kata “Eloah” hanya digunakan sebany­ak 250 kali, sedangkan kata “Elohim” sekitar 2500 kali. 

Penggunaan kata bentuk jamak yang jauh lebih banyak ini menunjukkan adanya “kejamakan dalam diri Allah”. Jika memang Allah itu esa secara mutlak, mengapa tidak digunakan kata Eloah secara konsisten? Dan mengapa justru menggunakan “Elohim” jauh lebih banyak dari Eloah? Dengan demikian penggunaan kata Elohim untuk menyebut nama Allah mengindikasikan adanya Tritunggal.[15] 

Jadi, Alkitab menggunakan kata “Eloah” untuk menyatakan keesaan Allah dalam esensiNya, dan “Elohim” untuk menyatakan kejamakan Allah dalam pribadiNya.

2. Penggunaan kata bentuk jamak untuk Allah atau dalam relasinya dengan Allah. “Berfirmanlah Allah (bentuk tunggal) : ‘Baiklah Kita (bentuk jamak) menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita (bentuk jamak), supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” (Kejadian 1:26). 

“Berfirmanlah TUHAN Allah: ‘Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita (jamak), tahu tentang yang baik dan yang jahat; ...” (Kejadian 3:23a). “Baiklah Kita (jamak) turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing” (Kejadian 11:7). Sebagian penafsir Alkitab mengatakan bahwa pada waktu Allah menggunakan kata “Kita” dalam Kejadian 1:26, maka saat itu Ia sedang berbicara kepada para malaikat. Jadi bukan menunjukkan “kejamakan dalam diri Allah”. 

Tetapi ini mustahil, sebab jika dalam Kejadian 1:26 diartikan bahwa “Kita” itu menunjuk kepada “Allah dan para malaikat”, maka haruslah disim­pulkan bahwa: manusia juga diciptakan menurut gambar dan rupa malaikat; Allah mengajak para malaikat untuk bersama-sama menciptakan manusia, sehingga kalau Allah adalah pencipta, maka malaikat adalah rekan pencipta. 

Dengan demikian, menurut penafsiran ini, Allah lebih dulu menciptakan malaikat segambar denganNya, kemudian menciptakan manusia yang segambar dengan mereka, yaitu segambar dengan Allah dan malaikat. Kita menolak penafsiran ini dan tidak perlu memaksakan menafsir kata “Kita” di dalam Kejadian 1:26 sebagai menunjuk kepada Allah dan malaikat-malaikat. Lebih baik dan lebih dapat dipertanggungjawabkan melihatnya sebagai Allah sendiri sekaligus petujuk dari diversitasNya. Karena Allah disebut jamak dalam ayat 26 dan Ia juga tunggal dalam ayat 27.[16] 

Donald C. Stamps menjelaskan “ungkapan ini (baiklah Kita) mengandung suatu implikasi awal mengenai Allah Tritunggal.”[17] Paul Enns menjelaskan, “Istilah Allah dalam Kejadian 1 adalah Elohim, yang adalah bentuk jamak untuk Allah. Meskipun hal ini tidak secara eksplisit mengajarkan Trinitas, namun pasti boleh dilihat dalam bentuk kata ganti jamak “Kita” ... dalam Kejadian 1:26”.[18] 

Nampaknya, kata ganti orang pertama jamak, “Kita”, dalam Kejadian 1:26 mengantisipasi pluralitas manusia laki-laki dan perempuan, dan juga menyatakan sesuatu tentang eksistensi Ilahi. Hubungan antara manusia dengan manusia mencerminkan persekutuan dan interaksi di dalam Keallahan, suatu hubungan yang digambarkan oleh Perjanjian Baru sebagai Tritunggal.

3. Beberapa ayat dalam Kitab Suci menyatakan adanya distingsi persona dalam Keallahan, yang membedakan Allah yang satu dengan Allah yang lainnya. “Takhtamu kepunyaan Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaanmu adalah tongkat kebenaran... sebab itu Allah, Allahmu, telah mengurapi engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutumu” (Mazmur 45:7-8). 

Karena dalam ayat ini Alkitab Indonesia kurang tepat terjema­hannya, mari kita lihat terjemahan NASB di bawah ini. “Thy throne, O God, is forever and ever ... Therefore God, Thy God has anointed Thee” (TahtaMu, Ya Allah, kekal selama-lamanya. ... Karena itu, Allah, AllahMu telah mengurapi Engkau). Ibrani 1:8-9 mengutip ayat ini, “Tetapi tentang Anak Ia berkata: "TakhtaMu, ya Allah, tetap untuk seterusnya dan selamanya, dan tongkat kerajaanMu adalah tongkat kebenaran. Engkau mencintai keadilan dan membenci kefasikan; sebab itu Allah, AllahMu telah mengurapi Engkau dengan minyak sebagai tanda kesukaan, melebihi teman-teman sekutuMu. 

Selanjutnya dikatakan, “Kemudian TUHAN menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN, dari langit” (Kejadian 19:24). Tuhan (YHWH), yang saat itu ada di bumi, menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari Tuhan (YHWH), dari langit. Jadi kelihatannya ada dua Tuhan (YHWH), satu di bumi, satu di langit.

4. Penampilan dari Malaikat TUHAN (Kejadian 16:2-13 22:11,16 31:11,13 48:15,16 Keluaran 3:2,4,5 Hakim-hakim 13:20-22). 

Istilah “Malaikat TUHAN” ini juga menunjukkan bahwa “Malaikat TUHAN” (the Angel of the LORD) ini tidak sama dengan Allah. Tetapi, sekalipun dalam bagian-bagian tertentu Malaikat TUHAN itu disebut sebagai Malaikat TUHAN, dalam bagian-bagian lain Ia juga disebut sebagai Allah atau TUHAN sendiri. 

Sebagai contoh, dalam Kejadian 16:7,9,10,11, disebut sebagai Malaikat TUHAN; tetapi dalam Kejadian 16:13 disebut sebagai TUHAN sendiri. Contoh lainnya, dalam Kejadian 22:11a, disebut sebagai “Malaikat TUHAN”; tetapi dalam Kejadian 22:11b-12, disebut sebagai “Tuhan” atau “Allah” sendiri. Sekalipun dalam ayat 11 disebut sebagai “Malaikat TUHAN”, tetapi dalam ayat 11b disebut “Tuhan” oleh Abraham. 

Dan dalam ayat 15, “Malaikat TUHAN” itu berseru, tetapi dalam ayat 16 dikatakan “firman TUHAN”. Lalu dalam ayat 16 Malaikat TUHAN itu bersumpah demi diriNya sendiri. Seorang malaikat biasa akan bersumpah demi nama Tuhan, bukan demi dirinya sendiri atau menggunakan namanya sendiri (bandingkan: Daniel 12:7; Ibrani 6:13,16-17; Wahyu 10:5-6). Jadi jelas bahwa Malaikat TUHAN itu adalah Tuhan atau Allah sendiri. 

Juga dalam Keluaran 23:20-23, malaikat TUHAN ini mempunyai kuasa untuk mengampuni dosa. Dari kata-kata “namaKu ada di dalam dia”, kita menganggap bahwa malaikat ini adalah Malaikat Perjanjian, yaitu Yesus Kristus sendiri. Semua ini menunjukkan bahwa Malaikat TUHAN itu adalah Allah atau TUHAN sendiri.[19]

5. Seruan rangkap tiga (trisagion) dalam doa dan berkat keimaman Harun mengindikasikan Trinitas. Penggunaan nama “TUHAN” (YHWH) tiga kali berturut-turut dalam Bilangan 6:24-26 dan sebutan “kudus” bagi Allah tiga kali berturut-turut dalam Yesaya 6:3 dan Wahyu 4:8. Tidakkah mengherankan bahwa ayat-ayat itu menyebutkan “TUHAN” dan “kudus” sebanyak tiga kali? Mengapa tidak empat kali, atau lima kali, atau tujuh kali? Jelas karena ada hubungannya dengan Allah Tritunggal! [20]

6. Penggunaan kata “esa” dalam Ulangan 6:4 menunjukkan Trinitas. “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN (YHWH) itu Allah kita (Eloheynu), TUHAN (YHWH) itu esa!” (Ulangan 6:4). Kata “esa” yang digunakan disini dalam bahasa Ibraninya adalah “echad” yang menunjuk kepada “satu kesatuan yang mengandung makna kejamakan; dan bukan satu yang mutlak”. 

Kata “echad” ini sering berarti “satu gabungan (a compound one)”, bukan “satu yang mutlak (an absolute one)”. Berikut ini contoh-contoh dari penggunaan kata “echad”. Kejadian 1:5 menjelaskan bahwa “Dan Allah menamai terang itu siang, dan gelap itu malam. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama (yom echad)”. Di dalam ayat tersebut gabungan dari petang dan pagi membentuk satu (echad) hari. 

Kejadian 2:24 menjelaskan bahwa Adam dan Hawa menjadi satu (echad) daging. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Di dalam ayat tersebut kesatuan Adam dan Hawa sebagai suami istri disebut “echad”. 

Bilangan 13:23 menjelaskan bahwa “Ketika mereka sampai ke lembah Eskol, dipotong merekalah di sana suatu cabang dengan setandan buah anggurnya, lalu berdualah mereka menggandarnya; juga mereka membawa beberapa buah delima dan buah ara”. 

Frase “Setandan buah anggur”, atau “satu (echad) tandan buah anggur” berarti satu tandan buah anggur yang pasti terdiri dari banyak buah anggur. Kata “echad” ini digunakan dalam Perjanjian Lama 100 kali dan pada umunya berarti kesatuan jamak atau kesatuan yang lebih dari satu.[21] Perlu diketahui, dalam bahasa Ibrani ada sebuah kata lain yang dipakai untuk angka satu secara matematis. 

Kata itu adalah “yachead” yang berarti “satu yang mutlak (an absolute one)” atau “satu-satunya”. Kata “yachead” ini di dalam Perjanjian Lama digunakan sebanyak 12 kali antara lain: Kejadian 22:2,16; Hakim-hakim 11:34; Mazmur 22:20; Yeremia 6:26; Zakharia 11:34).[22] 

Sebagai contoh penggunaan kata “yachead” ini dapat dilihat dalam Kejadian 22:2,16 sebagai berikut, “FirmanNya: “Ambillah anakmu yang tunggal (yachead) itu, yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.” ... kataNya: “Aku bersumpah demi diriKu sendiri - demikianlah firman TUHAN - : Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal (yachead) kepadaKu”. 

Berdasarkan penjelasan di atas, jika Musa ingin menekankan tentang “kesatuan yang mutlak” dari Allah dan bukannya “kesatuan gabungan” (a compound unity), maka pastilah ia akan menggunakan kata “yachead”dan bukan­nya “echad” untuk kata “esa” dalam Ulangan 6:4 tersebut. Kenyataannya, Musa menggunakan kata “echad” dalam ayat tersebut, hal ini pasti menunjukkan bahwa Allah itu tidak satu secara mutlak, tetapi ada kejamakan dalam diri Allah. [23]

III. TRITUNGGAL DALAM PERJANJIAN BARU

Perjanjian Baru memberikan pernyataan yang lebih jelas tentang Pribadi-Pribadi yang berbeda dalam diri Allah dibandingkan Perjanjian Lama. Hal ini disebabkan Perjanjian Baru ditulis setelah natur Allah Tritunggal telah dimanifestasikan secara utuh. 

Para penulis Perjanjian Baru sangat menyadari dan mengakui fakta bahwa Allah yang hidup dan benar itu bereksistensi di dalam tiga Pribadi. Para penulis Perjanjian Baru mengenali ketiga Pribadi Tritunggal berbeda dan pada kesempatan yang sama menyatakan bahwa ketigaNya adalah Allah yang esa.[24] 

Perjanjian Barulah yang secara jelas menyatakan bahwa jumlah Pribadi ilahi sebagai tiga, tidak lebih dan tidak kurang. Seluruh Perjanjian Baru dipenuhi dengan catatan-catatan yang jelas tentang tiga Pribadi ilahi yang berbeda, yang diungkapkan sebagai Keallahan yang kekal.[25] Berikut secara ringkas bagian-bagian Perjanjian Baru dimana Tritunggal diajarkan.

1. Perjanjian Baru menunjukkan ketiga pribadi Allah itu dengan lebih jelas, dan juga menyetarakan Mereka (Yohanes 5:31,32,37). Yohanes 5:31 menunjukkan Yesus sebagai “saksi”, dan Yohanes 5:32,37a menunjukkan Bapa sebagai “saksi yang lain”, dimana untuk kata-kata “yang lain” digunakan kata bahasa Yunani “allos”. 

Ada dua kata Yunani yang berarti “yang lain”, yaitu “allos” dan “heteros”. Tetapi kedua kata ini ada bedanya. Kata “allos” menunjuk pada “yang lain” dari jenis yang sama; Sedangkan “heteros” menunjuk pada “yang lain” dari jenis yang berbeda. Sebagai contoh, saya mempunyai satu botol minuman Sprite. 

Jika saya mengingin­kan satu botol Sprite “yang lain”, yang sama dengan yang ada pada saya ini, maka saya akan menggunakan kata “allos”. Seandainya saya menghendaki minuman “yang lain”, misalnya Fanta, maka saya harus menggunakan “heteros”, bukan “allos”. 

Jadi pada waktu Yesus disebut sebagai Saksi, dan Bapa sebagai Saksi yang lain, dan kata “yang lain” itu menggunakan allos, maka itu menunjukkan bahwa Yesus mempunyai kualitas atau jenis yang sama dengan Bapa, dan ini membuktikan bahwa Yesus adalah Allah! Hal yang sama terjadi antara Yesus dan Roh Kudus. Yesus disebut “Pengantara” atau “Parakletos” (1 Yohanes 2:1), dan Roh Kudus disebut “Penolong” atau “Parakletos” yang lain (Yohanes 14:16). 

Janji Tuhan Yesus untuk mengirin seorang Penolong (Parakletos) “yang lain” disini berarti seorang yang lain dari Pribadi Trinitas. Di sini untuk kata-kata “yang lain” juga digunakan “allos”, yang menunjukkan bahwa Yesus dan Roh Kudus mempunyai jenis atau kualitas yang sama. 

Dengan demikian Bapa, Anak, dan Roh Kudus mempunyai jenis atau kualitas yang sama, dan semua ini bisa digunakan untuk mendukung doktrin Tritunggal. Memang di sini tidak terlihat kesatuan dari pribadi-pribadi itu, tetapi ini dengan mudah bisa didapatkan dari ayat-ayat yang menunjukkan keesaan Allah, seperti Ulangan 6:4; Markus 12:32; Yohanes 17:3; 1 Timotius 2:5 Yakobus 2:19 1 Korintus 8:4).

2. Perjanjian Baru menunjukkan ketiga Pribadi Allah itu disebut dalam satu bagian Kitab Suci. 

Pada peristiwa baptisan Kristus (Matius 3:16-17); Pada peristiwa Amanat Agung (Matius 28:19); Penjelasan Paulus tentang kharismata atau karunia-karunia Roh (1 Korintus 12:4-6); Berkat Rasuli (2 Korintus 13:13); Tentang kesatuan tubuh Kristus (Efesus 4:4-6); dan pernyataan Petrus (1 Petrus 1:2). 

Perlu diperhatikan dalam ayat-ayat di atas ini adalah bahwa urut-urutannya tidak selalu Bapa sebagai yang pertama disebutkan, Anak sebagai yang kedua, dan Roh Kudus sebagai yang ketiga. Urut-urutan dibolak-balik, dan ini menunjukkan kesetaraan Mereka. Kalau Bapa memang lebih tinggi dari Anak, maka adalah mustahil bahwa Yesus kadang-kadang ditulis lebih dulu dari Bapa, dan kalau Roh Kudus hanya sekedar merupakan “tenaga aktif Allah”, maka juga merupakan sesuatu yang mustahil bahwa “tenaga aktif Allah” itu ditulis lebih dulu dari Allahnya sendiri. 

Dalam kasus-kasus tertentu, tiga nama yang diletakkan berjajar bisa menunjukkan bahwa mereka setingkat. Misalnya kalau dikatakan ada konferensi tingkat tinggi tiga negara, maka kalau negara yang satu mengirimkan kepala negara, maka pasti kedua negara yang lain juga demikian. Kalau negara yang satu mengirim menteri luar negeri, maka pasti kedua negara yang lain juga demikian. 

Jadi, kadang-kadang penyejajaran tiga nama memang bisa menunjukkan bahwa tiga orang itu setingkat. Itu tergan­tung dari konteksnya; dan karena itu harus dipertanyakan: dalam situasi dan keadaan apa ketiga pribadi itu disebutkan bersama-sama? Dalam ayat-ayat di atas, Bapa, Anak, dan Roh Kudus disebutkan dalam konteks yang sakral, seperti formula baptisan (Matius 28:19), berkat kepada gereja Korintus (2 Korintus 13:13), baptisan Yesus (Matius 3:16-17), dan sebagainya. Karena itu ayat-ayat itu bisa dipakai sebagai dasar untuk menunjukkan bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus itu setingkat.

3. Dalam Matius 28:19 dikatakan “dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus”. 

Secara khusus, frase Yunani yang tertulis di Matius 28:19 yaitu “baptizontes autous eis to onoma tou patros kai tou uiou kai tou agiou pneumatos” yang diterjemahkan menjadi “baptislah mereka dalam nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus”, dimana hal yang menarik adalah bahwa sekalipun di sini disebutkan tiga buah nama yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus, tetapi kata kata Yunani “eis to onomo” yang diterjemahkan “dalam nama” adalah nominatif singular (bentuk tunggal, bukan bentuk jamak)! 

Dalam bahasa Inggris diterjemahkan name (bentuk tunggal), bukan names (bentuk jamak). Karena itu ayat ini bukan hanya menunjukkan bahwa ketiga Pribadi itu setara, tetapi juga menunjukkan bahwa ketiga Pribadi itu adalah satu atau esa. 

Matius akan membuat kesalahan dalam pengungkapannya jika salah satu dari dua hal berikut ini adalah benar : (1) Jika Bapa, Anak, dan Roh Kudus tidak memiliki keberadaan yang identik (karena jika memang demikian Matius harus menggunakan bentuk jamak untuk kata “nama”, bukan bentuk tunggal). (2) Jika keberadaan yang disebut itu tidak bereksistensi dalam tiga Pribadi (karena jika memang demikian Matius tidak akan berkata “nama” itu dimiliki bersama oleh tiap-tiap Pribadi Allah). 

Jika tidak terdapat tiga Pribadi yang adalah Allah, dan jika terdapat lebih dari satu Allah, maka Matius telah membuat kesalahan. Tetapi hal itu mustahil.[26]

4. Penyataan Perjanjian Baru lainnya yang menunjukkan Trinitas. 

Perjanjian Lama menyebut TUHAN (YHWH) sebagai Penebus dan Juruselamat (Mazmur 19:15; 78:35; Yesaya 43:3,11,14; 47:4; 49:7,26 ; 60:16), maka dalam Perjanjian Baru, Anak Allah atau Yesus­lah yang disebut demikian (Matius 1:21 Lukas 1:76-79; 2:11; Yohanes 4:42; Galatia 3:13; 4:5; Titus 2:13). 

Perjanjian Lama mengatakan bahwa TUHAN (YHWH) tinggal di antara bangsa Israel dan di dalam hati orang-orang yang takut akan Dia (Mazmur 74:2; 135:21; Yesaya 8:18; 57:15; Yehezkiel 43:7,9; Yoel 3:17,21; Zakharia 2:10-11), maka dalam Perjanjian Baru dikatakan bahwa Roh Kuduslah yang mendiami Gereja atau orang percaya (Kisah Para Rasul 2:4; Roma 8:9,11; 1 Korintus 3:16; Galatia 4:6; Efesus 2:22; Yakobus 4:5). 

Perjanjian Baru memberikan pernyataan yang jelas tentang Allah yang mengutus AnakNya ke dalam dunia (Yohanes 3:16; Galatia 4:4; Ibrani 1:6; 1 Yohanes 4:9), dan tentang Bapa dan Anak yang mengutus Roh Kudus (Yohanes 14:26; 15:26; 16:7; Galatia 4:6). Perjanjian Baru memperlihatkan bahwa Bapa berbicara kepada Anak (Markus 1:11) dan Anak berbicara kepada Bapa (Matius 11:25-26; 26:39; Yohanes 11:41; 12:27) dan Roh Kudus berdoa kepada Allah dalam hati orang percaya (Roma 8:26).

IV. RUMUSAN AJARAN TRITUNGGAL DALAM SEJARAH GEREJA

Sepanjang dua abad pertama tarikh Masehi tidak ada usaha yang serius untuk menggumuli masalah-masalah teologis dan filosofis yang berkaitan dengan apa yang kini kita sebut dengan doktrin Tritunggal ini. Kita menemukan penggunaan formula Bapa, Anak dan Roh Kudus, tetapi tidak ada usaha untuk menjelaskan secara rinci. [27] Harus diakui bahwa bapak-bapak gereja mula-mula tidak memformulasikan suatu penyataan yang jelas mengenai Tritunggal hingga munculnya ajaran sesat tentang Tritunggal di akhir abad kedua. 

Formulasi Ortodoks tentang doktrin Tritunggal dirumuskan dan diumumkan dalam serangkaian konsili yang disebabkan oleh munculnya ajaran-ajaran sesat seperti Monarkhianisme dan Arianisme.[28] Jadi pernyataan yang penuh dari kebenaran Alkitab tentang Allah Tritunggal adalah hasil dari proses interpretasi Alkitab yang panjang dan penuh kerja keras.

Irenius pada Tahun 130-200 M membuat kemajuan besar dengan menentang konsep gnostik tentang Allah dan Logos. Meskipun tidak selalu konsisten dengan dirinya sendiri, Irenius menentang ide tentang Allah yang tersembunyi yang dipertentangkan dengan Anak.[29] 

Tertullianus pada tahun 165-220 M menegaskan ketigaan dari Allah dan merupakan orang pertama yang memakai istilah “Tritunggal”. Namun pandangannya tentang Tritunggal tidak akurat dan diwarnai dengan kekurangan. Walaupun demikian, kita menghargai usaha Tertullianus dalam melawan ajaran sesat Monarkhianisme, yang memilih keesaan Allah dan menyangkal Trinitarianisme [30]


Athanasius pada tahun 296-373 M mempertahankan keesaan Allah dan membedakan tiga sifat penting di dalam Allah dan menekankan bahwa Anak adalah zat yang sama seperti Bapa. Ia mengajarkan bahwa Anak diperanakkan tetapi bahwa ini adalah tindakan luar dan dalam dari Allah sebagai kontras terhadap ajaran sesat Arianisme yang diajarkan oleh Arius penatua dari Alexandria yang anti trinitarianisme.[31] Pernyataan tentang Tritunggal didalam gereja Barat mencapai formulasi akhirnya dalam karya Augustinus yang berjudul “De Trinitate”. 

Dalam risalahnya ini ia menyatakan bahwa setiap Pribadi dari ketiga Pribadi Tritunggal memiliki seluruh zat dan bahwa semua saling bergantung satu sama lain. Walaupun ia tidak puas dengan kata “Pribadi” untuk menunjukkan ketiga sifat yang penting itu, ia tetap menggunakannya supaya tidak diam. Ia juga mengajarkan bahwa Roh keluar baik dari Bapa dan Anak.[32] 

Beberapa konsili gereja mula-mula telah diadakan untuk mengatasi perbedaan ajaran yang berkembang tentang Keallahan. Konsili-konsili tersebut menghasilkan pernyataan-pernyataan iman yang telah diakui orang percaya Ortodoks dari abad-ke abad di masa lalu [33] dan yang juga diakui oleh Injili Konservatif masa kini.

1. Pengakuan Iman Rasuli

Pengakuan Iman Rasuli yang ditulis antara tahun 200-325 M oleh beberapa Bishop dan Diaken dengan mengambil ajaran penting para rasul dari Alkitab, kemudian ditulis ringkas dan menjadi pengakuan iman. Pengakuan iman ini sekitar tahun 340 M digunakan di Roma.[34] Adapun isi dari Pengakuan Iman Rasuli ini sebagai berikut: “Aku percaya kepada Allah Bapa yang Mahakuasa, khalik langit dan bumi. Dan kepada Yesus Kristus anakNya Yang Tunggal, Tuhan kita. Yang dikandung daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria. Yang menderita sengsara dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, disalibkan mati dan dikuburkan. Pada hari yang ketiga bangkit pula dari antara orang mati. Naik ke surga, duduk disebelah kanan Allah, Bapa yang Mahakuasa. Dan dari sana Ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati. Aku percaya kepada Roh Kudus, Gereja yang kudus dan am, persekutuan orang kudus, pengampunan dosa, kebangkitan daging, dan hidup yang kekal. Amin”.

2. Pengakuan Iman Nicea

Pengakuan Iman Nicea adalah kredo yang ditetapkan dalan Konsili Nicea pada tahun 325 M.[35] Konsili Nicea ini adalah konsili oikumenikal yang pertama.[36] Konsili ini bertemu untuk menyatakan dan membela jaran yang benar tentang Allah Tritunggal. 

Konsili ini menolak Arianisme dengan menyatakan bahwa Kristus adalah homoousion to patri (dari satu substansi dengan Bapa) dan Sabellianisme dengan menyatakan bahwa pribadi-pribadi tersebut merupakan pribadi-pribadi di dalam Tritunggal. Yang ontologis, bukan sekedar manifestasi ekonomis berkenaan dengan dunia. Mereka berbeda bukan sebagai allo kai allo (satu perihal atau perihal lainnya), melainkan sebagai “allos kai allos (satu pribadi atau pribadi lainnya)”. 

Dengan menolak kedua ajaran sesat (Arianisme dan Sabellianisme) ini, konsili menolak dua bentuk dari satu ajaran sesat, satu ajaran sesat dasar berkaitan dengan Tritunggal, yaitu mencampurkan yang temporal dengan yang kekal di dalam satu kesatuan yang ultimat. Selain itu konsili ini juga menekankan bahwa hubungan internal dari Pribadi-Pribadi Allah mendahului dan independen terhadap hubungan Allah dengan alam semesta ciptaan.[37] 

Tentang penekanan hubungan ini Charles Hodge mengatakan, “Karena esensi Allah adalah sama bagi beberapa pribadi tersebut, mereka memiliki satu intelegensi, kehendak, dan kuasa yang sama. Di dalam Allah tidak terdapat tiga intelegensi, tiga kehendak, tiga efisiensi. Ketiganya adalah satu Allah, dan dengan demikian memiliki satu pikiran dan kehendak. Kesatuan yang intim ini diungkapkan di dalam gereja Yunani dengan kata ‘perichooresis’ yang dalam bahasa latin dijelaskan dengan kata-kata ‘inexistentia, inhabitatio, dan intercommunio (keeksistensi, kohabitasi, dan interkomuni)’”.[38]

3. Pengakuan Iman Konstantinopal

Kredo Nicea ini kemudian direvisi pada tahun 381 M pada konsili oikomenikal kedua di Konstantinopal, untuk menguatkan kembali keputusan konsili Nicea. Dan menambahkan keberadaan Roh Kudus yang menekankan sehakikatNya dengan Allah Bapa. Adapun isi dari Pengakuan Iman Nicea ini sebagai berikut: “Aku percaya kepada satu Allah Bapa yang Mahakuasa; Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah yang tunggal, tunggal dari Bapa sebelum seluruh dunia, Allah dari para Allah, Terang dari Terang, Satu-satunya Allah dari satu-satunya Allah, tunggal, tidak dijadikan, menjadi satu dengan Bapa, yang melaluinya segala sesuatu telah dijadikan; yang, bagi kita manusia dan bagi keselamatan kita, turun dari surga, dan berinkarnasi oleh Roh Kudus kepada perawan Maria, dan dijadikan manusia; dan disalibkan juga bagi kita di bawah Pontius Pilatus; Dia menderita dan dikuburkan; dan pada hari yang ketiga Dia bangkit kembali, menurut Kitab Suci; dan naik ke surga, dan duduk di sebelah kanan Bapa; dan akan datang kembali, dengan kemuliaan, untuk menghakimi baik yang hidup dan yang mati; yang mana kerajaanNya tidak akan berakhir. Dan kepada Roh Kudus, Tuhan dan Pemberi Kehidupan; yang keluar dari Bapa dan Anak yang dengan Bapa dan Anak bersama disembah dan dimuliakan yang berbicara kepada para nabi. Dan satu Gereja Katolik dan Apostolik yang kudus. Saya mengakui satu baptisan untuk pengampunan dosa; dan saya menantikan kebangkitan dari kematian, dan hidup di dunia yang akan datang. Amin”.

4. Pengakuan Chalcedon

Pengakuan Iman Chalcedon adalah kredo yang ditetapkan dalan Konsili oikomenikal keempat di Chalcedon pada tahun 451 M. Rumusan pengakuan iman ini menekankan bahwa Yesus mempunyai dua sifat dalam satu pribadi. Kedua sifat tidak bercampur (asunkhutos), serta tidak terbagi-bagi (adikharetos), dan tidak terpisah (akhoristos). Adapun isi dari Pengakuan Iman Nicea ini sebagai berikut: “Maka, kami semua, mengikuti Bapa-bapa kudus, dengan suara bulat, mengajar manusia untuk mengaku, Anak yang satu dan yang sama, Tuhan kita Yesus Kristus, sempurna dalam keilahian dan juga sempurna dalam kemanusiaan, sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia, dengan jiwa yang bisa berpikir dan tubuh; menurut keilahiannya mempunyai zat/hakikat yang sama dengan sang Bapa, dan menurut kemanusiaanNya mempunyai zat/hakikat yng sama dengan kita, dalam segala hal sama seperti kita, tetapi tanpa dosa; menurut keilahianNya diperanakkan sebelum segala zaman dari Bapa, dan menurut kemanusiaanNya dilahirkan dari Maria, sang perawan, Bunda Allah dalam hari-hari akhir ini. Ia adalah Kristus, Anak, Tuhan yang satu dan yang sama, satu-satunya yang diperanakkan, mempunyai keberadaan dalam dua hakikat, tanpa campuran, tanpa perubahan, tanpa perpecahan, tanpa perpisahan; perbedaan dari dua hakikat itu sama sekali tidak dihancurkan oleh persatuan mereka, tetapi sifat-sifat dasar yang khas dari setiap hakikat dipertahankan dan bersatu menjadi satu pribadi dan satu keberadaan/mahluk, tidak terpisah atau terbagi menjadi dua pribadi, tetapi Anak yang satu dan yang sama, dan satu-satunya yang diperanakkan, Allah Firman, Tuhan Yesus Kristus; dan seperti nabi-nabi dari semula telah menyatakan tentang Dia, dan seperti Tuhan Yesus Kristus sendiri telah mengajar kita, dan seperti yang telah disampaikan oleh pengakuan iman Bapa-bapa kudus kepada kita”.


Jelaslah bahwa formulasi Ortodoks tentang Tritunggal dibuat untuk melindungi doktrin ini dari ajaran-ajaran sesat yang muncul pada saat itu. Protestanisme atau kaum Injili menerima Pengakuan Iman Rasuli di atas dan ketetapan-ketetapan dari enam konsili oikumenikel, Nicea, Konstantinopel, dan Chalcedon,[39] karena kesesuaiannya dengan Kitab Suci sebagai satu-satunya hukum dan praktek iman. Martin Luther menyatakan, “Kebenaran Kristen tidak mungkin dijadikan suatu pernyataan yang lebih singkat dan lebih jelas”.[40] 

Sedangkan John Calvin berkata tentang rumusan konsili oikomenikal tersebut sebagai berikut, “Saya memuliakannya dari hati saya dan akan memegang teguh semuanya dengan rasa hormat”.[41] Kita melihat bahwa pengakuan-pengakuan iman oikumenikal gereja di abad-abad pertama tersebut merupakan pengakuan iman ortodoksi bukanlah produk dari Protestanisme yang baru lahir pada abad ke 16 M di masa reformasi yang di pelopori Martin Luther dan John Calvin. 

Pengakuan-pengakuan ini telah ada sebelumnya. Pengakuan-pengakuan ini juga diakui oleh kaum Injili Konservatif menjadi unsur-unsur penting dalam pengakuan iman mereka.

V. JAWABAN TERHADAP PROBLEM TRITUNGGAL

Paul Enns menjelaskan bahwa mereka yang menyangkali Tritunggal kadang-kadang tidak setuju dengan penggunaan istilah-istilah tertentu yang kelihatannya mengimplikasikan bahwa Kristus itu lebih rendah dari Bapa, yang kalau itu benar, maka itu akan menyangkali Tritunggal. Penjelasan beberapa istilah problematik yang berhubungan dengan Tritunggal antara lain “dilahirkan, Anak Sulung, dan Anak Tunggal” akan di bahas di sini. Penjelasan ini diadopsi dari The Moody Handbook of Theology dengan beberapa penyesuaian. [42]

1. Arti Dari Kata “Dilahirkan”.

Istilah “dilahirkan” di gunakan di dalam beberapa pengertian sehubungan dengan Kristus. Pertama, berdasarkan Matius 1:20, dinyatakan dengan jelas bahwa Kristus dilahirkan dalam kemanusiaanNya bukan dalam keilahianNya. Kristus adalah Allah dari sejak kekekalan (Mikha 5:2), tetapi di Betlehem Ia mengambil natur tambahan, yaitu natur manusia. Roh kudus berperan dalam kandungan Maria untuk menjamin ketidakberdosaan kemanusiaan Kristus. Dengan referensi pada kemanusiaan Kristus maka istilah dilahirkan itu digunakan; kata itu tidak akan pernah digunakan dengan referensi pada keilahianNya. 

Dilahirkan tidak berkaitan dengan keberadaan Yesus sebagai Putra Allah. Dalam ruang dan waktu, Yesus mendeklarasikan diri sebagai Putra Allah. (Mazmur 2:7; Kisah Para Rasul 13:32-33; Roma 1:4). Ayat-ayat ini semua menekankan bahwa keberadaan Yesus sebagai Putra Allah dikukuhkan dan diverifikasi oleh kebangkitanNya. Jadi, kebangkitanNya tidak menjadikan Ia Putra Allah. Yesus adalah Putra Allah sejak kekekalan. Jadi, Mazmur 2:7 dan Kisah Para Rasul 13:33 menekankan bahwa dilahirkan menunjuk pada deklarasi publik tentang Kristus sebagai Putra Allah (tetapi bukan asal mula dari Kristus sebagai Putra Allah).

2. Arti Dari Frase “Anak Sulung”.

Mereka yang menyangkal keilahian Kristus seringkali melakukannya dengan menunjuk pada istilah “Anak Sulung”, mengartikan bahwa apabila istilah itu berkaitan dengan Kristus maka harus berimplikasi Ia memiliki permulaan dalam waktu. Namun demikian, baik studi leksikal dari kata itu demikian juga studi kontekstual dari penggunaan kata itu memberikan jawaban yang berbeda akan arti “Anak Sulung”. 

Dalam budaya Perjanjian Lama penekanan utama adalah pada status anak tertua. Ia menikmati dua bagian dari warisan (Ulangan 21:17), hak-hak yang lebih dari anggota keluarga lain (Kejadian 27:1-4, 35-37), perlakuan khusus (Kejadian 43:33), dan penghormatan dari yang lain (Kejadian 37:22). Secara figuratif, kata itu menunjuk pada prioritas atau supremasi (Keluaran 4:22; Yeremia 31:9) dan digunakan untuk Kristus. 

Di Kolose 1:18 di mana Kristus disebut sebagai Anak Sulung memberikan arti yang jelas: sebagai yang Sulung, Kristus adalah kepala dari Gereja dan paling tinggi dari segalanya. Di Ibrani 1:6 supremasi Kristus sebagai yang Sulung tampak dalam hal malaikat-malaikat menyembah Dia. Hanya Allah yang disembah. Mazmur 89:28 mungkin satu dari penjelasan yang paling jelas dari istilah yang “Sulung”. Ini adalah sebuah contoh dari puisi sintetik dalam bahasa Ibrani dimana baris kedua menjelaskan yang pertama. 

Dalam Mazmur Mesianik ini Allah meneguhkan bahwa Mesias akan menjadi yang Sulung, yaitu Raja yang tertinggi di bumi ini. Yang Sulung dijelaskan memerintah atas para raja di seluruh dunia. Baik dari studi bahasa dan eksegis adalah jelas bahwa yang Sulung berfokus pada keutamaan status dari Yesus sebagai Mesias.

3. Arti Dari Frase “Anak Tunggal”.

Istilah Anak Tunggal (Yunani monogenes) (lihat: Yohanes 1:14, 18; 3:16; 1 Yohanes 4:9) tidak berarti titik awal dalam waktu tetapi bahwa Yesus adalah Anak Tunggal Allah yang “unik”, “hanya satu-satunya dan tidak ada yang lain sejenis Dia”, “satu-satunya contoh dari kategorinya”. Anak Tunggal “digunakan untuk menandai keunikan Yesus di atas semua keberadaan di dunia dan di surga”. 

Di Kejadian 22:2, 12, 16 mencerminkan konsep dari “hanya, berharga” sebagaimana Ishak dipandang oleh ayahnya, Abraham. Rasul Yohanes menjabarkan kemuliaan yang terpancar dalam keunikan Putra Allah, tidak ada siapapun yang memancarkan kemuliaan Allah (Yohanes 1:14); lebih dari itu, Anak “menjelaskan” Bapa, di mana tidak ada siapapun, kecuali Putra Allah yang dapat menjelaskan Bapa. 

Putra Allah yang unik, yang Allah utus ke dunia; hidup kekal disediakan hanya melalui Putra Allah yang unik (Yohanes 3:16). Dalam mempelajari bagian itu adalah jelas bahwa Anak Tunggal tidak berarti menjadi berada, tetapi mengekspresikan keunikan dari pribadi itu. Kristus adalah unik sebagai Putra Allah, yang diutus oleh Bapa dari Surga. DASAR-DASAR AJARAN TENTANG ALLAH TRITUNGGAL.

[1] Arrington, French L., 2015. Christian Doctrine A Pentacostal Perspective. Terjemahan, Penerbit Andi : Yogyakarta, hal. 94.

[2] Boersema, Jan A, dkk., 2015. Berteologi Abad Ke 21: Menjadi Kristen Indonesia Di Tengah Masyarakat Majemuk. Penerbit Literatur Perkantas: Jakarta, hal. 131.

[3] Ryrie, Charles C ., Basic Theology, hal. 59.

[4] Thiessen, Henry C., 1992. Lectures in Systematic Theology, direvisi Vernon D. Doerksen. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 137.

[5] Ibid.

[6] Ryrie, Charles C , hal. 59.

[7] Istilah Ibrani yang diterjemahkan sebagai “dihadapanKu” adalah “‘al panai” yang secara harafiah berarti “dimukaKu”. (Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 517).

[8] Arrington, French L., Christian Doctrine A Pentacostal Perspective, hal. 65.

[9] Tong, Stephen., 2012. Allah Tritunggal. Edisi Revisi, Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 33.

[10] Ibid, hal. 34.

[11] Thiessen, Henry C., Lectures in Systematic Theology, hal. 138.

[12] Ibid, hal. 139.

[13] Ryrie, Charles C., Basic Theology, hal. 68.

[14] Williamson, G.I., Westminster Confession of Faith. hal. 42

[15] Ryrie, Charles C., hal. 69.

[16] Letham, Robert., 2010. Allah Trinitas. Terjemahan, Penerbit Momentum: Jakarta, hal. 20-21.

[17] Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang, hal. 5.

[18] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology, jilid 2, hal. 247.

[19] Ryrie, Charles C , hal. 69.

[20] Arrington, French L., Christian Doctrine A Pentacostal Perspective,, hal. 94.

[21] Conner, Kevin J., The Fondation of Christian Doctrine, hal. 134.

[22] Ibid.

[23] Kata Yunani yang memuat pikiran yang sama seperti kedua kata Ibrani tersebut adalah “monos (satu mutlak)” dan “heis (kesatuan jamak)”.

[24] Williamson, G.I., Westminster Confession Of Faith, hal. 43

[25] Conner, Kevin J., 2004. The Fondation of Christian Doctrine, hal. 134.

26] Williamson, G.I., Westminster Confession Of Faith, hal. 43

[27] Erickson J. Millard., 2003. Christian theology. Jilid 1, hal. 539.

[28] Ibid, 533.

[29] Van Til, Cornelius., An Introduction to Systematic Theolog: Prolegomena and the Doctrine of Revelation, Scripture, and God, hal. 406.

[30] Ryrie, Charles C., Basic Theology,hal. 75.

[31] Ibid, hal. 75-76.

32] Ibid, hal. 77.

[33] Beker, Charles. F., 1994. A Dispensasional Theology. Terjemahan, Penerbit Alkitab Anugerah: Jakarta, hal. 200.

[34] B. Damarest, Creeds, hal 254-256, dalam Ferguson, B. Sinclair, David F. Wright, J.I. Packer., 2009. New Dictionary Of Theology. jilid 2, terjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

[35] Konsili Nicea ini dilaksanakan untuk menentang ajaran Arianisme. Pada masa itu ada dua pandangan yang saling bertentangan yaitu antara pengikut Arius dan pengikut Athanasius. Dampak pertentangan ini begitu luas hingga kini masih terasa di Asia Barat dan Gereja Ortodoks Timur. Pandangan Arius menyatakan bahwa Yesus tidak kekal, diciptakan dan tidak sehakikat dengan Allah Bapa. Sebaliknya Athanasius menekankan bahwa Yesus ada sejak kekal bersama Allah Bapa dan , karena itu Ia sehakikat (hommoousios) dengan Allah Bapa.

[36] Berbagai konsili yang pernah dilaksanakan dapat dilihat: G.L Bray, Councils, hal 241-246, dalam New Dictionary Of Theology. jilid 2.

[37] Van Til, Cornelius., An Introduction to Systematic Theolog: Prolegomena and the Doctrine of Revelation, Scripture, and God, hal. 408.

[38] Ibid, Van Til, Cornelius., hal. 408-409.

[39] Konsili oikumenikal ketiga adalah konsili Epesus yang dilaksanakan pada tahun 431 M. Konsili ini dianggap tidak sah, tetapi kemudian diakui dalam konsili oikumenikal keempat di Chalcedon (451 M). Konsili oikumenikal kelima adalah konsili Konstantinopel (553 M) yang bertujuan lebih meneguhkan kembali hasil konsili oikumenikal yang keempat di Chalcedon. Konsili keenam adalah konsili oikumenikal Konstantinopel (680-681 M) menuntaskan persoalan yang muncul tentang pertanyaan kehendak Kristus: Apakah Kristus mempunyai satu atau dua kehendak? Dasar teologis konsili ini tetap mengacu pada konsili Chalcedon.

[40] B. Damarest, Creeds, hal 256, dalam New Dictionary Of Theology. jilid 2.

[41] Ibit.

[42] Enns, Paul., The Moody Handbook of Theology, hal. 219-220.DASAR-DASAR AJARAN TENTANG ALLAH TRITUNGGAL.
Next Post Previous Post