1 PETRUS 3:1-7 (KEWAJIBAN SUAMI ISTERI)
Pdt. Budi Asali, M.Div.
1 PETRUS 3:1-7 (KEWAJIBAN SUAMI ISTERI). 1 Petrus 1: 1-2: “(1 Petrus 1:1) Demikian juga kamu, hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman, mereka juga tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan isterinya, (1 Petrus 1: 2) jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu”.1 Petrus 3:3 Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, 1 Petrus 3:4 tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah. 1 Petrus 3:5 Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya, 1 Petrus 3:6 sama seperti Sara taat kepada Abraham dan menamai dia tuannya. Dan kamu adalah anak-anaknya, jika kamu berbuat baik dan tidak takut akan ancaman. 1 Petrus 3:7 Demikian juga kamu, hai suami-suami , hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang.
1) Di sini Petrus memberikan peraturan / kewajiban berkenaan dengan hubungan istri dengan suaminya.
2) Kata ‘tunduklah’ sebetulnya bukan betul-betul suatu imperative / kata perintah, tetapi suatu participle yang mengandung suatu perintah (‘Analytical Greek New Testament’), dan ini ada dalam bentuk present, menunjukkan bahwa itu harus dilakukan terus menerus (Pulpit Commentary, hal 128).
3) Alan M. Stibbs (Tyndale) mengatakan (hal 123) bahwa kalau istri diperintahkan untuk tunduk kepada suami, itu tidak berarti bahwa di hadapan Tuhan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Ketundukan itu harus ada demi keteraturan dan kebahagiaan keluarga. Sama seperti sebuah team olah raga harus mempunyai kapten, demikian juga suatu keluarga harus mempunyai kepala, dan Allah menetapkan suami sebagai kepala. Karena itu, keputusan terakhir tentang apa yang akan dilakukan, dan bagaimana atau kapan hal itu dilakukan, ada pada suami.
Matthew Henry mengatakan: kewajiban seorang istri adalah tunduk, atau berserah dengan penuh kasih sayang kepada kehendak suami mereka, dan patuh pada kewenangannya yang sepatutnya. Tunduk dengan hati yang gembira, dan hormat dengan penuh kasih, adalah kewajiban perempuan-perempuan Kristen terhadap suami mereka, entah suami mereka baik atau jahat. Kewajiban ini dituntut dari Hawa kepada Adam sebelum jatuh ke dalam dosa, dan masih dituntut sekarang, meskipun jauh lebih sulit daripada sebelumnya (Kejadian. 3:16; 1Timotius. 2:11)
Catatan: dalam Allah Tritunggal juga ada ‘economic subordination’, dimana Anak tunduk kepada Bapa, dan Roh Kudus tunduk kepada Bapa dan Anak! Ini perlu demi keteraturan, dan ini juga tidak berarti bahwa Bapa lebih besar dari pada Anak, atau Bapa / Anak lebih besar dari pada Roh Kudus.
4) Kalau dalam kontext sebelum ini (2:18-25) Petrus membicarakan ketundukan hamba kepada tuannya, maka sekarang ia membicarakan ketundukan istri terhadap suami. Kalau dalam kontext sebelum ini Petrus mengatakan bahwa hamba harus tunduk kepada tuannya sekalipun tuannya kejam / jahat (1 Petrus 2:18b), maka di sini ia mengatakan bahwa istri harus tunduk kepada suaminya sekalipun suaminya adalah orang yang tidak beriman (ay 1 - ‘tidak taat kepada Firman’). Jadi, suami tidak beriman atau jahat bukan alasan yang bisa diterima yang menyebabkan istri boleh tidak tunduk kepadanya.
Adam Clarke: “Consider that your husband is, by God’s appointment, the head and ruler of the house; do not, therefore, attempt to usurp his government; for even though he obeys not the word - is not a believer in the Christian doctrine, his rule is not thereby impaired” (= Pertimbangkanlah bahwa suamimu, oleh penetapan Allah, adalah kepala dan penguasa / pemerintah dari rumah / keluarga; karena itu janganlah berusaha untuk merebut pemerintahannya; karena sekalipun ia tidak taat kepada firman - bukan seorang yang percaya kepada ajaran Kristen, pemerintahannya tidak dirusak / dikurangi oleh hal itu) - hal 856.
5) Ini tidak berarti bahwa boleh ada pernikahan antara orang beriman dengan orang yang tidak beriman (bdk. 2Korintus 6:14). Bisa terjadi pernikahan seperti ini karena dulunya dua-duanya tidak beriman, tetapi lalu istrinya bertobat sedangkan suaminya tidak. Kasus yang sama juga yang dimaksudkan oleh Paulus dalam 1Korintus 7:12-16.
6) Calvin mengatakan (hal 95) bahwa kalau istri yang mempunyai suami yang tidak beriman saja tetap harus tunduk kepada suaminya, lebih-lebih isteri yang mempunyai suami yang beriman.
7) Juga 1 Petrus 1: 1 ini menunjukkan bahwa istri-istri itu mempunyai kewajiban untuk memenangkan suaminya bagi Tuhan. Ketundukan isteri terhadap suami yang tidak beriman itu bertujuan untuk memenangkan si suami.
Pulpit Commentary: “The case of a Christian wife with an unbelieving husband would be one of especial difficulty. She would probably have to hear religion derided, her Saviour insulted; she would have to endure constant reproaches and sarcasm, often hardship, and even brutal cruelty. ... St. Peter here counsels submission; the power of gentleness might succeed in winning those who could be won in no other way. ... The silent eloquence of a holy, self-denying life will generally be more powerful than argument and controversy. ... The earnest words of Christian men and women are sometimes greatly blessed, but a humble holy life will often win souls which no eloquence could touch” (= Kasus dari seorang istri Kristen dengan seorang suami yang tidak percaya merupakan suatu kasus yang sangat sukar. Ia mungkin harus mendengar agamanya diejek, Juruselamatnya dihina; ia harus menahan celaan dan sindiran yang tajam secara terus menerus, kadang-kadang penderitaan / kesukaran, dan bahkan kekejaman yang brutal. ... Santo Petrus di sini menasehatkan ketundukan; kekuatan dari kelembutan bisa berhasil dalam memenangkan mereka yang tidak bisa dimenangkan dengan cara lain. ... Kefasihan yang diam dari kehidupan yang kudus dan menyangkal diri biasanya akan lebih berkuasa dari pada argumentasi dan perdebatan / pertengkaran. ... Kata-kata yang sungguh-sungguh dari orang-orang Kristen kadang-kadang sangat diberkati, tetapi kehidupan yang kudus dan rendah hati sering memenangkan jiwa-jiwa yang tidak bisa disentuh oleh kefasihan) - hal 138,139.
Barclay: “Peter does not tell the wife to preach or to argue. ... It is by the silent preaching of the loveliness of her life that she must break down the barriers of prejudice and hostility, and win her husband for her new Master. ... she must live in selfless service, in goodness and in serene trust. That would be the best sermon she could preach to win her husband for Christ” (= Petrus tidak menyuruh istri untuk memberitakan atau untuk berargumentasi. ... Adalah dengan khotbah yang diam dari keindahan dari kehidupannya ia harus menghancurkan rintangan dari prasangka dan permusuhan, dan memenangkan suaminya untuk Tuannya yang baru. ... ia harus hidup dalam pelayanan yang mati terhadap diri sendiri, dalam kebaikan dan dalam kepercayaan yang tenang / tenteram. Itu akan merupakan khotbah terbaik yang bisa ia khotbahkan untuk memenangkan suaminya untuk Kristus)- hal 219,222.
8) Apakah ayat ini, khususnya kata-kata ‘tanpa perkataan’, berarti bahwa kita bisa memenangkan jiwa hanya dengan kesalehan, tanpa pemberitaan Injil?
Mungkin orang Liberal mempunyai kepercayaan seperti itu, tetapi Calvin menjawab pertanyaan ini dengan komentarnya tentang 1Petrus 3:1-2 itu yang berbunyi sebagai berikut: “But it may seem strange that Peter should say, that a husband might be gained to the Lord without a word; for why is it said, that ‘faith cometh by hearing?’ Rom. 10:17. To this I reply, that Peter’s words are not to be so understood as though a holy life alone could lead the unbelieving to Christ, but that it softens and pacifies their minds, so that they might have less dislike to religion; for as bad examples create offences, so good ones afford no small help. Then Peter shews that wives by a holy and pious life could do so much as to prepare their husbands, without speaking to them on religion, to embrace the faith of Christ” (= Tetapi kelihatannya aneh bahwa Petrus berkata bahwa seorang suami bisa dimenangkan bagi Tuhan tanpa perkataan; karena mengapa dikatakan bahwa ‘iman timbul dari pendengaran?’ Roma 10:17. Terhadap pertanyaan ini saya menjawab bahwa kata-kata Petrus tidak boleh dimengerti seakan-akan suatu kehidupan yang kudus saja bisa membimbing orang yang tidak percaya kepada Kristus, tetapi bahwa itu melunakkan dan menenangkan pikiran mereka, sehingga mereka bisa berkurang dalam ketidak-senangannya terhadap agama; karena sebagaimana teladan yang jelek menciptakan batu sandungan, begitu juga teladan yang baik memberikan pertolongan yang tidak kecil. Maka Petrus menunjukkan bahwa istri-istri, oleh kehidupan yang kudus dan saleh, bisa melakukan begitu banyak untuk mempersiapkan suami-suami mereka, tanpa berbicara kepada mereka tentang agama, untuk memeluk iman Kristus) - hal 95-96.
Saya sangat setuju dengan penafsiran Calvin ini, karena kita tidak boleh menafsirkan satu ayat dalam Kitab Suci sehingga menentang bagian Kitab Suci yang lain. Kita tahu bahwa Matius 28:19 menyuruh kita memberitakan Injil. Juga Roma 10:13-14,17 di bawah ini.
Roma 10:13-14 - “Sebab, barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepadaNya, jika mereka tidak percaya kepada Dia? Bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia, jika mereka tidak mendengar tentang Dia. Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, jika tidak ada yang memberitakanNya?”
Roma 10:17 - “Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus”.
Karena itu jelas kita tidak boleh menafsirkan seakan-akan Petrus berkata bahwa cukup dengan hidup saleh, tidak perlu memberitakan Injil dengan kata-kata, maka kamu bisa memenangkan pasanganmu bagi Tuhan.
Jadi jelaslah bahwa Petrus hanya memaksudkan bahwa hidup saleh itu hanya bisa mempersiapkan seseorang untuk bisa menerima Kristus, tetapi selanjutnya masih perlu disertai dengan pemberitaan Injil supaya mereka bisa percaya.
Sekalipun penginjilan terhadap suami yang tidak beriman itu penting, tetapi hidup saleh juga penting. Tanpa itu suami yang tidak percaya itu tidak akan mempedulikan Injil yang diberitakan oleh si istri.
Mungkin juga kata-kata ‘tidak taat kepada firman’ artinya adalah tidak peduli kepada Firman Tuhan. Jadi istri itu sudah memberitakan Injil kepada suaminya, tetapi sama sekali tidak dipedulikan. Dalam keadaan itulah berlaku ayat ini. Istri itu harus berusaha hidup saleh, supaya kesalehannya memenangkan suaminya tersebut (Pulpit Commentary, hal 161-162).
Alan M. Stibbs (Tyndale): “The verb APEITHEIN, here rendered ‘obey not’, is a strong word meaning to ‘disobey’, and is probably intended to describe husbands who, far from being won by hearing the gospel preached, deliberately set themselves against the truth” (= Kata kerja APEITHEIN, di sini diterjemahkan ‘tidak taat’, merupakan suatu kata yang kuat yang berarti ‘tidak taat’, dan mungkin dimaksudkan untuk menggambarkan suami-suami yang bukannya dimenangkan karena mendengar Injil diberitakan, tetapi sebaliknya secara sengaja menentang kebenaran) - hal 123.
A. T. Robertson: “‘Without the word’ (ANEU LOGOU). Probably here ‘word from their wives’ (Hart), the other sense of LOGOS (talk, not technical ‘word of God’). ‘By the behaviour of their wives’ ... Won by pious living, not by nagging” [= ‘Tanpa perkataan’ (ANEU LOGOU). Mungkin di sini menunjuk kepada ‘kata-kata dari istri-istri mereka’ (Hart), arti yang lain dari LOGOS (perkataan, bukan ‘firman Allah’ secara tekhnis). ‘Oleh kelakuan isrtrinya’ ... Dimenangkan oleh kehidupan yang saleh, bukan oleh omelan / rengekan] - ‘Word Pictures in the New Testament’, vol 6, hal 108.
9) 1 Petrus 1: 2: “jika mereka melihat, bagaimana murni dan salehnya hidup isteri mereka itu”.
Terjemahan ini ada kekurangannya, dan TB2-LAI tidak memperbaikinya.
KJV: ‘While they behold your chaste conversation coupled with fear’ (= Sementara mereka melihat kehidupanmu yang suci / murni digabungkan dengan rasa takut).
Dalam bahasa Yunaninya memang ada kata ‘fear’ (= rasa takut) tersebut, dan NIV menterjemahkan dengan ‘reverence’ (= rasa hormat dan takut) dan NASB menterjemahkan dengan ‘respectful’ (= sikap hormat).
Ada yang menganggap ini sebagai rasa takut kepada Allah, tetapi Pulpit Commentary menganggap bahwa ini adalah rasa takut / hormat kepada suami
Pulpit Commentary: “But the close connection with the word ‘chaste’ ... and the parallel passage, Eph. 5:33 ..., make it possible that the fear here inculcated is reverence for the husband - an anxious avoidance of anything that might even seem to interfere with his conjugal rights and authority” (= Tetapi hubungan yang dekat dengan kata ‘suci / murni’ ... dan text yang paralel, Efesus 5:33 ..., membuatnya mungkin bahwa rasa takut yang ditekankan di sini adalah rasa takut dan hormat untuk sang suami - suatu keinginan untuk menghindarkan apapun yang kelihatannya bisa mencampuri hak-hak dan otoritas yang berhubungan dengan suami istri) - hal 129.
Efesus 5:33 - “Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya”.
Catatan: kata ‘menghormati’ ini diterjemahkan dari kata Yunani yang sama dengan dalam 1Petrus 3:2, hanya saja dalam Efesus 5:33 digunakan kata kerjanya sedangkan dalam 1Petrus 3:2 digunakan kata bendanya.
10) Petrus tidak menjamin bahwa kalau istri Kristen itu hidup seperti ini, ia pasti akan memenangkan suaminya bagi Kristus.
1Petrus 3:1 (KJV): ‘Likewise, ye wives, be in subjection to your own husbands; that, if any obey not the word, they also may without the word be won by the conversation of the wives; ...’ (= Demikian juga, kamu istri-istri, tunduklah kepada suamimu sendiri; supaya, jika ada yang tidak taat kepada firman, mereka juga bisa dimenangkan tanpa perkataan oleh tingkah laku dari istri-istri; ...).
Perhatikan kata ‘may’ (= bisa). Ini jelas tidak memberikan jaminan, tetapi hanya memberi kemungkinan.
Bdk. 1Korintus 7:16 - “Sebab bagaimanakah engkau mengetahui, hai isteri, apakah engkau tidak akan menyelamatkan suamimu? Atau bagaimanakah engkau mengetahui, hai suami, apakah engkau tidak akan menyelamatkan isterimu?”.
Jelas bahwa di sini Paulus juga tidak memberikan jaminan bahwa pasangan yang tidak percaya itu pasti akan bertobat.
Banyak orang menggunakan Kisah Para Rasul 16:31 yang berbunyi “Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu”, untuk mengatakan bahwa kalau seseorang diselamatkan maka pasti seluruh keluarganya juga akan diselamatkan. Ini salah! Ayat ini tidak berarti bahwa kalau seseorang percaya, maka ia dan keluarganya selamat (keluarganya ‘nunut’ imannya kepala penjara)! Ayat ini juga tidak berarti bahwa kalau seseorang percaya dan selamat, maka pasti suatu saat seluruh keluarganya akan percaya dan diselamatkan. Arti yang benar adalah: Paulus menyuruh orang itu percaya supaya ia selamat, dan juga menyuruh seluruh keluarganya percaya supaya mereka semua selamat.
1 Petrus 1: 3-4: “(3) Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, (4) tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah”.
Bdk. 1Timotius 2:9-10 - “(9) Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, (10) tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah”.
1) Pertama-tama perlu diperhatikan bahwa ‘menghiasi tubuh’ berbeda dengan ‘memelihara kesehatan tubuh’, misalnya dengan menjaga makanan, berolah raga dan sebagainya. Yang ini boleh dikatakan bahkan diharuskan.
Efesus 5:29 - “Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat”.
Ayat ini secara implicit menunjukkan bahwa kalau kita mengasihi diri kita sendiri, kita harus memelihara dan merawat tubuh kita. Tetapi yang inipun masih lebih rendah dari pada ‘memperindah’ jiwa!
1Timotius 4:8 - “Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang”.
Kata ‘ibadah’ itu salah terjemahan; dan TB2-LAI tidak memperbaikinya.
KJV/RSV/NIV/NASB: ‘godliness’ (= kesalehan).
Kata-kata ‘terbatas gunanya’ menunjukkan bahwa sebetulnya memang ada gunanya. Tetapi manfaatnya hanya untuk dunia ini! Sedangkan kesalehan, bermanfaat untuk dunia ini maupun untuk dunia yang akan datang.
2) Bagian ini menunjukkan bahwa sekalipun pada jaman itu mayoritas orang kristen itu miskin, tetapi ada juga di antara mereka yang kaya (Pulpit Commentary, hal 129).
3) Tuhan melarang untuk menghias tubuh secara berlebihan.
Ada beberapa penafsiran yang saya anggap extrim tentang ayat ini, misalnya Calvin yang melarang perempuan mengkrul rambutnya.
Calvin: “they were not artificially to curl or wreath their hair, as it was usually done by crisping-pins, or otherwise to form it according to the fashion; nor were they to set gold around their head: for these are the things in which excesses especially appear” (= mereka tidak boleh mengkrul / meroll rambut secara buatan, seperti yang biasanya dilakukan dengan penjepit penggulung, atau membentuknya sesuai dengan mode; juga mereka tidak boleh menggunakan emas melingkari / pada kepala mereka: karena ini adalah hal-hal dalam mana hal-hal yang berlebihan terlihat secara khusus) - hal 96.
Adam Clarke: “No female head ever looks so well as when adorned with its own hair alone. This is the ornament appointed by God. To cut it off or to cover it is an unnatural practice; and to exchange the hair which God has given for hair of some other colour, is an insult to the Creator. How the delicacy of the female character can stoop to the use of false hair, and especially when it is considered that the chief part of this kind of hair was once the natural property of some ruffian soldier, who fell in battle by many a ghastly wound, is more than I can possibly comprehend” [= Tidak ada kepala perempuan yang terlihat sebagus seperti pada waktu dihiasi hanya dengan rambutnya sendiri. Ini adalah hiasan yang ditetapkan oleh Allah. Memotongnya (mungkin maksudnya ‘menggundul’) atau menutupinya merupakan praktek yang tidak alamiah; dan menukar rambut yang Allah telah berikan dengan rambut dengan warna yang lain, merupakan suatu penghinaan terhadap sang Pencipta. Bagaimana kehalusan dari sifat perempuan bisa merendahkan diri dengan menggunakan rambut palsu, dan khususnya pada waktu dipikirkan bahwa bagian terutama dari rambut jenis ini dulu merupakan milik alamiah dari tentara-tentara brengsek, yang jatuh dalam pertempuran dengan banyak luka yang menganga, melampaui pengertian saya] - hal 857.
Saya tidak mengerti apa yang ia maksudkan dengan bagian terakhir; mungkin itu menunjukkan bahwa pada jaman itu ada bagian dari rambut palsu yang diambil dari tentara yang mati. Tetapi yang jelas Clarke anti dengan rambut palsu. Mungkin, kalau seorang perempuan mempunyai rambut sendiri, dan tidak ada problem dengan rambutnya, maka penggunaan rambut palsu bisa disalahkan. Tetapi bagaimana kalau karena penyakit atau bawaan, perempuan itu lalu gundul? Apakah ia tidak boleh menggunakan rambut palsu?
Adam Clarke: “All the ornaments placed on the head and body of the most illustrious female, are, in the sight of God, of no worth” (= Semua perhiasan yang diletakkan pada kepala dan tubuh dari perempuan yang paling terkenal, dalam pandangan Allah adalah tidak berharga) - hal 857.
Kata-kata Clarke yang menentang seadanya perhiasan ini, juga saya anggap sebagai penafsiran yang extrim dari ayat ini.
Adam Clarke: “The women who trust NOT in God are fond of dress and frippery; those who trust in God follow nature and common sense” (= Perempuan-perempuan yang tidak percaya kepada Allah gemar akan pakaian dan pakaian yang menyolok; mereka yang percaya kepada Allah mengikuti alam dan akal sehat) - hal 857-858.
Kata-kata ‘mengikuti alam’ secara implicit menunjukkan bahwa ia menghendaki perempuan tampil ‘apa adanya’. Menurut saya inipun merupakan sesuatu yang extrim.
Adam Clarke: “It will rarely be found that women who are fond of dress, and extravagant in it, have any subjection to their husband but what comes from mere necessity. Indeed, their dress, which they intend as an attractive proof that they have neither love nor respect for their own husbands” (= Jarang ditemui bahwa perempuan-perempuan yang gemar akan pakaian, dan boros / royal / berlebihan dalam hal itu, mempunyai ketundukan kepada suami mereka kecuali apa yang datang dari keharusan. Bahkan pakaian mereka, yang mereka maksudkan sebagai suatu daya tarik, membuktikan bahwa mereka tidak mencintai atau menghormati suami mereka sendiri) - hal 858.
Saya berpendapat bahwa kata-kata Clarke ini, sekalipun memang memungkinkan, tetapi tidak pasti. Isteri bisa saja berdandan demi suaminya.
Matthew Henry mengatakan bahwa mengepang-ngepang rambut pada saat itu biasanya dilakukan oleh perempuan cabul. Juga perhiasan emas, sekalipun digunakan oleh Ribka dan Ester, tetapi belakangan menjadi perhiasan terutama bagi pelacur dan orang-orang jahat. Kalau ini benar, maka ini merupakan sesuatu yang patut dipertimbangkan dalam menafsirkan ayat ini. Ini berarti bagian ini harus dikontextualisasikan / disesuaikan dengan jaman. Kalau jaman sekarang hal-hal itu tidak lagi dilakukan hanya oleh pelacur / perempuan yang tak bermoral, maka tentu peraturan ini tidak bisa diberlakukan secara strict.
Sekalipun Calvin cukup extrim dalam persoalan rambut, tetapi dalam persoalan pakaian indah dan perhiasan, ia tidak demikian. Tentang perhiasan emas dan pakaian indah, Calvin kelihatannya tidak melarang secara mutlak. Ia berpendapat bahwa yang dilarang adalah perhiasan yang berlebihan / mewah.
Calvin: “wives are to adorn themselves sparingly and modestly: for we know that they are in this respect much more curious and ambitious than they ought to be. ... he reproves generally sumptuous or costly adorning, ... Peter did not intend to condemn every sort of ornament, but the evil of vanity, to which women are subject. ... ; for excessive elegance and superfluous display, in short, all excesses, arise from a corrupted mind” (= istri-istri harus menghiasi diri mereka sendiri secara hemat dan sederhana / cukupan: karena kita tahu bahwa dalam hal ini mereka jauh lebih rajin / bersemangat dan ambisius dari pada yang seharusnya. ... ia secara umum mencela penghiasan yang mewah dan mahal, ... Petrus tidak bermaksud untuk mengecam setiap jenis perhiasan, tetapi mengecam kejahatan dari kesia-siaan, terhadap mana perempuan-perempuan tunduk. ...; karena kemewahan dan pameran yang berlebihan, singkatnya semua yang berlebihan, timbul dari pikiran yang jahat) - hal 96-97.
Pulpit Commentary bahkan mengatakan (hal 162), bahwa seorang perempuan yang sama sekali tidak mempedulikan hiasan di rumahnya atau pada dirinya, adalah orang yang ceroboh / tidak perhatian, dan kelihatannya tidak akan mempunyai banyak pengaruh untuk mempertobatkan suaminya. Saya bahkan bisa menambahkan bahwa itu bahkan bisa menyebabkan suaminya mencari perempuan lain (WIL).
Saya berpendapat bahwa bagian ini bukan melarang perempuan / istri secara mutlak untuk menggunakan perhiasan ataupun untuk menata rambutnya sesuai dengan mode, tetapi hanya menekankan supaya perempuan / isteri tidak berlebihan dalam berhias, menggunakan perhiasan, menata rambut ataupun menggunakan pakaian yang mahal.
Illustrasi: tentang cara berhias yang berlebihan, ada suatu cerita. Seorang anak laki-laki yang masih usia 5 tahun nonton TV dengan ayahnya. Ia lalu melihat film orang Indian yang wajahnya diwarna-warni. Ia heran dan bertanya kepada ayahnya: ‘Mengapa wajah mereka diwarna-warni?’. Ayahnya menjawab: ‘Itu kebiasaan orang Indian kalau mau berperang’. Sebentar lagi kakak perempuannya keluar dari kamar, dan mau berangkat ke pesta. Melihat sang kakak perempuan, anak laki-laki itu lari kepada ayahnya sambil berteriak: ‘Papa, cie-cie mau berangkat perang!’.
Dalam Yes 3 kita juga melihat betapa Tuhan tidak menyenangi cara berhias yang berlebihan, dan Tuhan menghukum perempuan-perempuan seperti itu.
Yesaya 3:16-24 - “(16) TUHAN berfirman: Oleh karena wanita Sion telah menjadi sombong dan telah berjalan dengan jenjang leher dan dengan main mata, berjalan dengan dibuat-buat langkahnya dan gemerencing dengan giring-giring kakinya, (17) maka Tuhan akan membuat batu kepala wanita Sion penuh kudis dan TUHAN akan mencukur rambut sebelah dahi mereka. (18) Pada waktu itu Tuhan akan menjauhkan segala perhiasan mereka: gelang-gelang kaki, jamang-jamang dan bulan-bulanan; (19) perhiasan-perhiasan telinga, pontoh-pontoh dan kerudung-kerudung; (20) perhiasan-perhiasan kepala, gelang-gelang rantai kaki, tali-tali pinggang, tempat-tempat wewangian dan jimat-jimat; (21) cincin meterai dan anting-anting hidung; (22) pakaian-pakaian pesta, jubah-jubah, selendang-selendang dan pundi-pundi; (23) cermin-cermin, baju-baju dalam dari kain lenan, ikat-ikat kepala dan baju-baju luar. (24) Maka sebagai ganti rempah-rempah harum akan ada bau busuk, sebagai ganti ikat pinggang seutas tali, sebagai ganti selampit rambut kepala yang gundul, sebagai ganti pakaian hari raya sehelai kain kabung; dan tanda selar sebagai ganti kemolekan”.
Pulpit Commentary: “St. Peter’s language is, of course, comparative, ... He does not mean to forbid all plaiting of hair or wearing of gold any more than putting on of apparel; he means that these are poor and contemptible compared with the costlier ornaments which he recommends in their stead. Christian women should be simple and unaffected in dress as in behaviour. In general, the best rule is to avoid singularity” (= Bahasa dari Santo Petrus tentu saja bersifat membandingkan, ... Ia tidak bermaksud untuk melarang semua penjalinan rambut atau pemakaian emas maupun mengenakan pakaian; ia memaksudkan bahwa hal-hal ini adalah jelek / rendah dan menjijikkan dibandingkan dengan perhiasan yang lebih mahal yang ia anjurkan sebagai gantinya. Perempuan-perempuan Kristen harus sederhana dan alamiah / tak dibuat-buat dalam pakaian maupun dalam kelakuan. Secara umum, peraturan terbaik adalah menghindari keanehan / ketidak-biasaan) - hal 139.
Saya berpendapat bahwa bagian yang saya garis bawahi itu penting sekali. Jadi, penekanannya adalah: seorang perempuan tidak boleh berdandan, menggunakan pakaian indah, memakai perhiasan, sehingga menyolok, dan membuat dia lain dari yang lain. Kalau ia melakukan ini, ia sudah berlebihan dalam hal itu.
4) Kalau hal ini dilarang untuk isteri / perempuan, saya berpendapat ini harus lebih ditekankan lagi untuk laki-laki / suami, karena ada laki-laki / suami yang memang ‘pesolek’!
5) Ada penafsir yang mengatakan bahwa penekanan penghiasan diri secara berlebihan menunjukkan hati yang jahat.
Adam Clarke: “How few Christian women act this part! Women are in general at as much pains and cost in their dress, as if by it they were to be recommended both to God and man. It is, however, in every case, the argument either of a shallow mind, or of a vain and corrupted heart” (= Betapa sedikitnya perempuan-perempuan Kristen melakukan bagian ini! Perempuan-perempuan pada umumnya berjuang mati-matian dalam pakaian mereka, seakan-akan olehnya mereka dipuji oleh Allah dan manusia. Tetapi dalam setiap kasus ini merupakan penjelasan tentang pikiran yang dangkal atau tentang hati yang sia-sia dan jahat) - hal 857.
6) Dari pada melakukan penghiasan diri yang berlebihan secara jasmani, perempuan / istri harus menghias diri secara rohani.
1 Petrus 1: 3-4: “(3) Perhiasanmu janganlah secara lahiriah, yaitu dengan mengepang-ngepang rambut, memakai perhiasan emas atau dengan mengenakan pakaian yang indah-indah, (4) tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah”.
Alexander Nisbet: “Those that waste much time, pains and means in decking and trimming of their bodies, do ordinarily neglect their souls, leaving these in a disorderly, sordid and filthy condition” (= Mereka yang menghabiskan banyak waktu, usaha dan kekayaan untuk mengatur dan menghiasi tubuh mereka, biasanya mengabaikan jiwa mereka, membiarkannya dalam kondisi yang kacau / tak teratur, jorok dan kotor) - hal 120.
Karena mereka yang mati-matian berjuang untuk menghiasi tubuh mereka biasanya tidak menghiasi jiwa mereka, maka Petrus memberikan perintah dalam 1 Petrus 1: 4 ini.
Di sini, selain ada kontras yang explicit antara ‘lahiriah’ dan ‘batiniah’, juga ada kontras secara implicit antara ‘perhiasan yang tidak binasa’, yaitu perhiasan secara rohani, dan perhiasan yang akhirnya musnah, yaitu perhiasan lahiriah.
Perhatikan juga bahwa kecantikan batiniah itu ‘sangat berharga di mata Allah’.
Calvin: “For why do women take so much care to adorn themselves, except that they may turn the eyes of men on themselves? But Peter, on the contrary, bids them to be more anxious for what is before God of a great price” (= Karena mengapa perempuan-perempuan sangat peduli untuk menghiasi diri mereka sendiri, kecuali supaya mereka bisa memalingkan mata dari laki-laki kepada diri mereka sendiri? Tetapi Petrus, sebaliknya, meminta mereka untuk lebih memikirkan apa yang di hadapan Allah sangat berharga) - hal 97.
Pulpit Commentary: “The world admires rich dress and costly jewels; God prizes the meek and quiet spirit. Which of the two should Christians seek to please - God or the world?”(= Dunia mengagumi pakaian dan perhiasan yang mahal; Allah menghargai roh yang lemah lembut dan tenang. Yang mana dari dua ini yang harus diusahakan untuk disenangkan - Allah atau dunia?) - hal 139.
Pulpit Commentary mengatakan (hal 139) bahwa pada ranjang kematian saudara, akan lebih manis mengenang uang yang telah saudara gunakan untuk menolong orang miskin, dari pada yang telah saudara gunakan untuk membeli perhiasan demi memuaskan kesombongan saudara.
Pulpit Commentary: “The soul is far more precious than the body. It is of far greater importance to adorn the soul than to decorate the body” (= Jiwa jauh lebih berharga dari pada tubuh. Adalah jauh lebih penting untuk memperindah jiwa dari pada menghiasi tubuh) - hal 139.
Kalau kebenaran ini kita yakini, bahwa jiwa lebih berharga dari pada tubuh, maka kita akan lebih berjuang untuk ‘menghiasi / memperindah’ jiwa dari pada ‘menghiasi / memperindah’ tubuh.
Penerapan:
· sekarang coba pikirkan. Kalau saudara mau pergi ke gereja, berapa waktu yang saudara gunakan untuk berhias, dan bandingkan dengan berapa waktu yang saudara gunakan untuk mempersiapkan diri secara rohani, dengan berdoa, mengaku dosa, dan sebagainya?
· Juga dalam kehidupan sehari-hari, berapa banyak uang, waktu, pikiran, dan jerih payah yang saudara gunakan untuk membuat diri lebih cantik secara lahiriah, dan berapa banyak uang, waktu, pikiran, dan jerih payah yang saudara gunakan untuk mempercantik diri secara rohani? Beli perhiasan yang harganya jutaan mau, tetapi beli buku rohani pelitnya bukan main. Menggunakan waktu untuk berhias 1 jam, tetapi untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan tidak ada. Menggunakan banyak uang dan waktu untuk membuang kukul, memperhalus kulit, dsb, tetapi tidak berusaha melakukan pengudusan, pelayanan, dsb.
7) Dalam penghiasan diri secara rohani ini, Petrus menekankan ‘lemah lembut’ dan ‘tenteram’.
KJV: ‘a meek and quiet spirit’ (= roh yang lemah lembut dan tenang).
NIV: ‘a gentle and quiet spirit’ (= roh yang lemah lembut dan tenang).
Editor dari Calvin’s Commentary: “‘Mild’ or meek, not given to passion or wrath, patient, not proud nor arrogant; ‘quiet,’ peaceable, not garrulous, not turbulent, nor given to strife and contention” (= ‘Baik / sabar / tidak keras atau kasar’ atau lemah lembut, tidak menyerah pada nafsu atau kemarahan, sabar, tidak sombong atau congkak; ‘tenang’, cinta damai, tidak suka ngomel / banyak mulut, sukar dikendalikan, tidak menyerah pada perselisihan dan pertikaian) - hal 97 (footnote).
Adam Clarke: “‘A meek and quiet spirit’. That is, a mind that will not give provocation to others, nor receive irritation by the provocation of others. Meekness will prevent the first; quietness will guard against the last” (= ‘roh yang lemah lembut dan tenang’. Yaitu, pikiran yang tidak memprovokasi / membuat marah orang-orang lain, atau menjadi jengkel karena provokasi dari orang-orang lain. Kelemah-lembutan akan mencegah yang pertama; ketenangan akan menjaga terhadap yang terakhir) - hal 857.
Pulpit Commentary: “The meek spirit does not flash into anger, does not answer again, takes harsh words gently and humbly. The quiet spirit is calm and tranquil; peaceful in itself, it spreads peace around” [= Roh yang lemah lembut tidak menyala ke dalam kemarahan, tidak menjawab kembali, menerima kata-kata yang kasar / tajam dengan lemah lembut dan rendah hati. Roh yang tenang adalah tenang (calm) dan tenang / sentosa; karena damai dalam dirinya sendiri, itu menyebarkan damai ke sekitarnya] - hal 129.
Bdk. Amsal 27:15 - “Seorang isteri yang suka bertengkar serupa dengan tiris yang tidak henti-hentinya menitik pada waktu hujan”.
Pulpit Commentary: “A Christian wife might have much to bear from her unenlightened husband, ... but let her be meek under his wrongdoing of her, and let her say or do nothing to cause dispeace. ... The way God takes to overcome evil in us is, under our provocations, to heap goodness on us. If a Christian wife would conquer her unbelieving husband for Christ, she must in this imitate the Divine procedure” (= Seorang istri Kristen bisa harus menanggung banyak hal dari suaminya yang tidak diterangi, ... tetapi hendaknya ia bersikap lemah lembut di bawah tindakan-tindakan yang salah dari suaminya terhadap dia, dan hendaklah ia tidak mengatakan atau melakukan apapun yang menyebabkan ketidak-damaian. ... Cara yang diambil Allah untuk mengalahkan kejahatan dalam diri kita adalah, di bawah provokasi yang kita lakukan, menimbun kebaikan kepada kita. Jika seorang istri Kristen mau memenangkan suaminya yang tidak percaya bagi Kristus, ia harus meniru prosedur Ilahi dalam hal ini) - hal 163.
1 Petrus 1: 5-6: “(5) Sebab demikianlah caranya perempuan-perempuan kudus dahulu berdandan, yaitu perempuan-perempuan yang menaruh pengharapannya kepada Allah; mereka tunduk kepada suaminya, (6) sama seperti Sara taat kepada Abraham dan menamai dia tuannya. Dan kamu adalah anak-anaknya, jika kamu berbuat baik dan tidak takut akan ancaman”.
1) Di sini Petrus memberikan teladan dari perempuan-perempuan yang saleh yang mencari keindahan rohani dan bukannya keindahan jasmani. Mereka tunduk kepada suaminya. Dan ia menonjolkan Sara, yang menyebut Abraham sebagai ‘tuannya’.
Kejadian 18:12 - “Jadi tertawalah Sara dalam hatinya, katanya: ‘Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?’”.
Tetapi tentu saja tidak ada gunanya kalau seorang istri menyebut suaminya ‘tuan’ tetapi ia tidak tunduk. Jadi kata-kata harus sesuai dengan perbuatan.
2) Perempuan-perempuan yang meneladani Sara akan disebut anak-anaknya (‘her daughters’), artinya mereka dianggap sebagai orang-orang yang beriman / setia.
Sama seperti orang laki-laki yang beriman disebut sebagai ‘son of Abraham’ (Galatia 3:7 Roma 4:11 Lukas 19:9), demikian juga orang perempuan yang percaya disebut ‘daughter of Sara’.
3) ‘tidak takut akan ancaman’.
KJV: ‘are not afraid with any amazement.’ [= tidak takut dengan kebingungan].
NIV: ‘do not give way to fear’ (= tidak menyerah pada rasa takut).
Ada 2 penafsiran tentang hal ini:
· Calvin menafsirkan bahwa maksud dari bagian ini adalah sebagai berikut: istri harus tunduk kepada suami, dan ia tidak boleh takut bahwa ketundukannya akan menyebabkan nasibnya makin buruk. Ia tidak boleh takut bahwa ketundukannya akan disalah-gunakan oleh suaminya dengan makin menekan dia.
· Tetapi Pulpit Commentary menafsirkan secara berbeda.
Pulpit Commentary: “The Greek word for ‘amazement’ (ptohsij) does not occur in any other place of the New Testament, though we meet with the corresponding verb in Luke 21:9; 24:37. There seems to be a reference to Prov. 3:25, ‘Be not afraid of sudden fear’” [= Kata Yunani untuk ‘amazement’ / ‘kebingungan’ (ptohsij / PTOESIS) tidak muncul di tempat lain dalam Perjanjian Baru, sekalipun kita menjumpai kata kerja yang bersesuaian dalam Lukas 21:9; 24:37. Kelihatannya ada suatu hubungan dengan Amsal 3:25: ‘Janganlah takut pada kekejutan yang tiba-tiba’] - hal 129.
1 Petrus 1: 7: “Demikian juga kamu, hai suami-suami, hiduplah bijaksana dengan isterimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang”.
1) Dalam 1 Petrus 1: 7 ini Petrus memberikan peraturan / kewajiban untuk suami.
Mengapa ayat untuk suami hanya satu sementara untuk isteri banyak? Karena mulai 2:13-dst, Petrus menekankan ketundukan kepada atasan. Dalam 2:13-17 ia membicarakan ketundukan dari orang kristen sebagai masyarakat / warga negara kepada pemerintah. Lalu dalam 2:18-25 ia membicarakan ketundukan orang kristen sebagai hamba kepada tuannya. Lalu sekarang, dalam kontext hari ini (1 Petrus 3:1-7), ia menekankan ketundukan orang kristen sebagai istri kepada suaminya. Karena itu untuk istri lebih ditekankan dari pada untuk suami.
Matthew Henry mengatakan: kewajiban suami kepada isteri itu secara khusus adalah,
(a) Hidup bersama sebagai pasangan. Ini melarang pemisahan yang tidak perlu, dan menyiratkan adanya komunikasi timbal balik mengenai barang dan hubungan pribadi, yang dilakukan dengan hati yang senang dan rukun.
(b) Hidup bijaksana dengan isteri. Bukan hidup berdasarkan nafsu, seperti binatang, atau hidup berdasarkan amarah, seperti setan, melainkan hidup bijaksana, seperti orang yang berhikmat dan sadar, yang mengenal firman Allah dan kewajibannya sendiri.
(c) Menghormati isteri, yaitu memberinya penghormatan sebagaimana mestinya, dan menjaga kewenangannya, melindungi pribadinya, mendukung nama baiknya, senang bergaul dengannya, mampu mencukupkan keperluannya, dan percaya serta punya keyakinan yang baik terhadapnya.
2) Suami disuruh hidup bijaksana dan menghormati isteri.
Calvin: “From husband he requires prudence; for dominion over their wives is not given them, except on this condition, that they exercised authority prudently. ... Part of the prudence which he mentions, is, that the husbands honour their wives. For nothing destroys the friendship of life more than contempt; nor can we really love any but those whom we esteem; for love must be connected with respect” (= Dari suami, ia mewajibkan kebijaksanaan; karena kekuasaan atas istri mereka tidak diberikan kepada mereka, kecuali dengan syarat ini, bahwa mereka menjalankan kekuasaan / otoritas dengan bijaksana. ... Bagian dari kebijaksanaan yang ia sebutkan, adalah bahwa suami-suami menghormati istri mereka. Karena tidak ada yang menghancurkan persahabatan dari kehidupan lebih dari penghinaan / sikap memandang rendah; juga kita tidak bisa betul-betul mencintai siapapun kecuali kita menghargai mereka; karena cinta harus dihubungkan dengan sikap hormat) - hal 99.
Saya berpendapat bahwa ‘hormat’ ini lebih harus diartikan sebagai ‘menghargai’, karena hormat yang sungguh-sungguh justru menunjukkan ketidak-akraban.
3) Ada ancaman untuk yang tidak taat, yaitu doa yang terhalang.
Perhatikan kata-kata ‘supaya doamu jangan terhalang’.
Kata ‘mu’ ada dalam bentuk jamak, tanpa jenis kelamin. Apakah ini menunjuk kepada ‘suami-suami’ atau menunjukkan kepada ‘suami dan isteri’?
a) Ada yang menganggap bahwa doa yang dimaksudkan adalah doa sang suami.
Barclay: “Unless a man fulfils these obligations, there is a barrier between his prayers and God. As Bigg put it: ‘The sighs of the injured wife come between the husband’s prayers and God’s hearing.’” (= Kecuali seorang laki-laki memenuhi kewajiban-kewajiban ini, ada suatu rintangan antara doa-doanya dan Allah. Seperti Bigg mengatakannya: ‘Keluhan-keluhan dari istri yang disakiti datang di antara doa-doa sang suami dan pendengaran dari Allah) - hal 224.
A. T. Robertson dan Jay E. Adams juga berpendapat ini menunjuk kepada doa suami.
b) Tetapi kebanyakan penafsir menganggap bahwa ini menunjuk kepada doa dari pasangan suami istri itu.
Adam Clarke: “it is necessary that they should live together in such a manner as to prevent all family contentions, that they may not be prevented, by disputes or misunderstandings, from uniting daily in this most important duty - family and social prayer” (= adalah perlu bahwa mereka hidup bersama dengan cara sedemikian rupa sehingga mencegah semua pertikaian keluarga, supaya mereka tidak dihalangi, oleh perselisihan atau kesalah-pahaman, untuk bersatu setiap hari dalam kewajiban yang paling penting ini - doa keluarga dan sosial) - hal 858.
Pertama, Clarke jelas mengharuskan suami dan istri untuk melakukan doa bersama setiap hari. Dan kedua, Clarke mengatakan bahwa kalau suami istri cekcok, doa mereka akan terhalang. Jadi kelihatannya Clarke menganggap bahwa ‘mu’ ini menunjukkan kepada saumi istri. Pulpit Commentary (hal 130) kelihatannya juga beranggapan demikian.
Pulpit Commentary: “If husband and wife live together without mutual reverence and affection, there can be no sympathy in united prayer; the promise made by Christ in Mat 18:19 cannot be realized. Nor can either pray acceptably if they live at variance; jealousies and bickerings are opposed to the spirit of prayer; they hinder the free flow of prayer, and mar its earnestness and devotion” (= Jika suami dan istri hidup bersama tanpa saling menghormati dan mengasihi, maka tidak bisa ada simpati dalam doa bersama; janji yang dibuat oleh Kristus dalam Matius 18:19 tidak bisa direalisasikan. Juga masing-masing tidak bisa menaikkan doa yang bisa diterima jika mereka hidup bertengkar; kecemburuan dan percekcokan bertentangan dengan semangat dari doa; hal-hal itu menghalangi aliran yang bebas dari doa, dan merusak kesungguhannya dan pembaktiannya) - hal 130.
Dan kalaupun doa di sini menunjuk kepada doa suami, tetapi dalam Kitab Suci ada rumus yang berlaku umum, dimana dosa atau rusaknya hubungan dengan sesama, merusak hubungan kita dengan Allah dan menghalangi doa kita (Mazmur 66:18 Amsal 1:24-31 Yesaya 59:1-2 Zakharia 7:8-13).
Barclay: “Here is a great truth. Our relationship with God can never be right, if our relationship with our fellow-men are wrong” (= Di sini ada suatu kebenaran yang besar. Hubungan kita dengan Allah tidak pernah bisa benar jika hubungan kita dengan sesama kita salah) - hal 224.
Jadi jelas bahwa kalau hubungan suami istri tidak baik, bukan hanya doa suami yang terhalang, tetapi juga doa istri. Karena itu keluarga-keluarga Kristen harus berusaha untuk hidup dalam damai. Memang pertengkaran pasti ada dalam setiap keluarga. Tetapi harus diingat kata-kata Paulus dalam Efesus 4:26-27 - “(26) Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu (27) dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis”.
Jadi kemarahan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tetapi harus segera dibereskan.
Calvin bahkan menerapkan hal ini bukan hanya dalam hubungan suami istri tetapi juga dalam hubungan dengan orang-orang lain.
Calvin: “we may hence gather a general doctrine - that no one ought to come to God except he is united to his brethren. Then as this reason ought to restrain all domestic quarrels and strifes, in order that each one of the family may pray to God; so in common life it ought to be as it were a bridle to check all contentions” (= Karena itu kita bisa mendapatkan suatu ajaran yang bersifat umum - bahwa tidak seorangpun boleh datang kepada Allah kecuali ia bersatu dengan saudara-saudaranya. Maka karena alasan ini seharusnya mengekang semua pertengkaran dan percekcokan rumah tangga, supaya setiap orang dalam keluarga bisa berdoa kepada Allah; demikian juga dalam kehidupan sehari-hari hal itu harus seakan-akan menjadi suatu kekang untuk menghentikan / mengendalikan semua pertikaian) - hal 100.
Memang sering kali rasanya mustahil untuk memperdamaikan suami isteri yang memang betul-betul tidak cocok. Tetapi tidak ada yang mustahil bagi Allah. Jadi, berusahalah dan berdoalah, supaya saudara mempunyai hubungan yang baik sebagai suami isteri.
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-