3 TULISAN MENGAPA ALLAH MENCIPTAKAN MANUSIA?
Pdt.Esra Alfred Soru.
MENGAPA ALLAH MENCIPTAKAN MANUSIA?
Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan
Kitab Kejadian pasal 1-2 dengan jelas menceritakan penciptaan manusia oleh Allah. Manusia ada karena ada yang mengadakannya. Demikianlah kesaksian Alkitab. Pertanyaan yang perlu dipikirkan dari fakta ini adalah alasan penciptaan manusia itu oleh Allah. Mengapa Allah menciptakan manusia?
Inilah pertanyaan pertama yang harus ditanyakan jika orang ingin belajar tentang penciptaan manusia itu. Francis Nawa Hoke mengatakan bahwa pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan. (Doktrin Manusia; 1995 : 3). Mengapa Allah menciptakan manusia? Maksud dari pertanyaan ini berhubungan dengan 2 hal yakni adakah sesuatu yang menyebabkan atau memaksa Allah untuk melakukan tindakan penciptaan manusia? Ataukah adakah suatu kebutuhan dalam diri Allah yang tak akan terpenuhi sebelum Ia menciptakan manusia?
Supaya ada “obyek” kasih?
Jawaban yang paling sering diberikan terhadap pertanyaan ini dikaitkan dengan sifat Allah yang maha kasih. Allah adalah kasih maka kasih-Nya membutuhkan obyek untuk dikasihi. Hal inilah yang menyebabkan Allah perlu dan harus menciptakan manusia agar manusia itu dapat menjadi obyek atau sasaran dari kasih-Nya itu.
MENGAPA ALLAH MENCIPTAKAN MANUSIA?
Bagian Pertama Dari Tiga Tulisan
Kitab Kejadian pasal 1-2 dengan jelas menceritakan penciptaan manusia oleh Allah. Manusia ada karena ada yang mengadakannya. Demikianlah kesaksian Alkitab. Pertanyaan yang perlu dipikirkan dari fakta ini adalah alasan penciptaan manusia itu oleh Allah. Mengapa Allah menciptakan manusia?
Inilah pertanyaan pertama yang harus ditanyakan jika orang ingin belajar tentang penciptaan manusia itu. Francis Nawa Hoke mengatakan bahwa pertanyaan ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan. (Doktrin Manusia; 1995 : 3). Mengapa Allah menciptakan manusia? Maksud dari pertanyaan ini berhubungan dengan 2 hal yakni adakah sesuatu yang menyebabkan atau memaksa Allah untuk melakukan tindakan penciptaan manusia? Ataukah adakah suatu kebutuhan dalam diri Allah yang tak akan terpenuhi sebelum Ia menciptakan manusia?
Supaya ada “obyek” kasih?
Jawaban yang paling sering diberikan terhadap pertanyaan ini dikaitkan dengan sifat Allah yang maha kasih. Allah adalah kasih maka kasih-Nya membutuhkan obyek untuk dikasihi. Hal inilah yang menyebabkan Allah perlu dan harus menciptakan manusia agar manusia itu dapat menjadi obyek atau sasaran dari kasih-Nya itu.
Manintiro Uling berkata : “Kita mengerti bahwa kasih merupakan hakikat dasariah Allah. Karena kasih sifatnya relasional maka kasih baru mungkin ada kalah ada yang dikasihi (obyek kasih). Itulah sebabnya Allah menciptakan manusia agar dapat menyalurkan dan mengekspresikan kasih-Nya itu. Tanpa itu kasih Allah tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”. (Manusia di Mata Allah; hal. 13).
Kelihatannya jawaban semacam ini masuk akal tetapi sesungguhnya tidaklah Alkitabiah. Jika kita berkata bahwa Allah adalah kasih dan oleh karena kasih-Nya membutuhkan obyek untuk dikasihi dan karenanya Ia perlu dan harus menciptakan manusia, maka itu berarti tanpa manusia, kasih Allah adalah kasih yang “mengambang” dan tak bersasaran atau tak berobyek. Perhatikan kalimat terakhir dari Uling di atas : “Tanpa itu (penciptaan manusia) kasih Allah tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”.
Jelas pandangan ini keliru sebab bagaimana mungkin di dalam kekekalan sebelum Allah menciptakan manusia kasih-Nya tak berfungsi, tak berobyek dan pasif? Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, kasih Allah adalah kasih yang aktif, kasih yang bersasaran dan kasih yang berobyek. Yohanes 15:9 berkata : “Seperti Bapa mengasihi Aku…” dan selanjutnya ayat 10 berkata : “…dan tinggal di dalam kasih-Nya”. Bukankah doktrin Tritunggal menyatakan bahwa ada tiga pribadi dalam satu esensi/hakikat Allah yaitu Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus?
Ketiga-Nya itu esa dan kekal. Jadi menurut ayat-ayat di atas dapatlah dipahami bahwa jauh di dalam kekekalan di mana Allah Tritunggal berada telah terjalin hubungan kasih yang mesra di antara ketiga pribadi Allah ini. Sekalipun ayat-ayat di atas tidak menyebutkan pribadi Roh Kudus, tetapi dapat dipercaya bahwa ketiga-Nya terlibat dalam tindakan dan relasi kasih ilahi yang suci dan murni (Devine Love) di mana Bapa mengasihi Anak dan Roh Kudus, Anak mengasihi Bapa dan Roh Kudus, Roh Kudus mengasihi Bapa dan Anak. Kasih ilahi yang suci dan murni inilah yang akhirnya direfleksikan dalam tindakan penciptaan manusia.
Dengan demikian tidak dapat dan tidak boleh dipikirkan bahwa Allah berada dalam keadaan kesepian tanpa kehadiran manusia. Louis Berkhof berpendapat : “Walaupun tidak diragukan lagi Allah menyatakan kebaikan diri-Nya dalam penciptaan, tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa kebaikan atau kasih-Nya tidak dapat menyatakannya sendiri, jika seandainya tidak ada dunia. Hubungan-hubungan pribadi dalam Allah Tritunggal memenuhi semua yang perlu bagi hidup yang penuh dan kekal dari kasih”. (Teologi Sistematika-Doktrin Allah; 1993 : 252)
Simak juga pendapat William W. Menzies dan Stanley M. Horton : “Kepribadian juga memerlukan persahabatan atau persekutuan. Tetapi, sebelum alam semesta diciptakan, di mana ada kemungkinan untuk bersahabat? Jawabannya terletak pada susunan yang kompleks dalam keallahan. Kesatuan keallahan tidak mengesampingkan kepribadian majemuk. Ada tiga kepribadian yang jelas berbeda, masing-masing sepenuhnya ilahi, akan tetapi hubungan timbal baliknya begitu rukun sehingga mereka merupakan satu hakikat” (Doktrin Alkitab; 1998 : 54).
Selanjutnya : “Trinitas ini merupakan suatu persekutuan yang harmonis dalam keallahan. Persekutuan ini juga adalah persekutuan kasih, karena Allah adalah kasih. Tetapi kasih-Nya adalah kasih yang ramah, bukan kasih yang berpusat pada dir sendiri. Kasih seperti ini membutuhkan lebih dari satu Oknum dalam keallahan (ibid : 55). Jadi jelaslah bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, kasih-Nya telah aktif, bersasaran dan berobyek dan itu ditemukan dalam kenyataan ketritunggalan Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa jawaban pertama ini tidaklah tepat.
Supaya dapat memuliakan-Nya?
Selain jawaban di atas, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Dengan kata lain Allah menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Allah. Jawaban semacam ini biasanya didasarkan pada ayat-ayat Alkitab seperti Yesaya 43:7 : “… yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku...”; Yesaya 60:21 : “…sebagai cangkokan yang Kutanam sendiri untuk memperlihatkan keagungan-Ku”, Yesaya 61:3 : “…supaya orang menyebutkan mereka "pohon tarbantin kebenaran", "tanaman TUHAN" untuk memperlihatkan keagungan-Nya.” dan beberapa ayat lainnya.
Dengan melihat ayat-ayat di atas John Wesley Brill menyimpulkan bahwa : ‘Keinginan besar Tuhan Allah dalam menciptakan alam ini adalah semata-mata untuk diri-Nya sendiri, dan untuk kemuliaan-Nya sendiri, dan untuk menyatakan dalam makhluk-Nya kesempurnaan diri-Nya sendiri’. (Dasar Yang Teguh; 1998: 67-68).
Pendapat ini tentunya menarik tapi biarlah kita memikirkannya dengan lebih serius. Allah menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Atau Allah menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Dia. Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan adalah “apakah Allah kurang mulia sehingga Ia perlu menciptakan manusia agar dapat menambah kemuliaan-Nya?” “Apakah Allah kurang mulia sehingga membutuhkan tambahan kemuliaan dari manusia?” Bukankah Allah itu mulia bahkan maha mulia? Kalau Allah maha mulia mengapa Ia perlu dimuliakan atau melakukan sesuatu untuk dimuliakan?
Sebelum menjawab semua pertanyaan ini kita perlu sadar bahwa jika Allah maha mulia maka ketika manusia tidak memuliakan Allah, itu tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan-Nya dan walaupun manusia memuliakan Allah, itu tidak menambah apa-apa pada kemuliaan-Nya. Jadi Allah tidak bertambah mulia jika manusia memuliakan-Nya atau kurang mulia karena manusia tidak memuliakan-Nya. Allah tidak bertambah tinggi karena manusia meninggikan-Nya atau menjadi kurang tinggi karena manusia tidak meninggikan-Nya.
Tony Evans berkata : “Anda tidak bisa memberikan sesuatu yang dapat mempertinggi tingkatan Allah, atau mengambil sesuatu dari-Nya yang dapat mengurangi tingkatan-Nya. Allah memang demikian karena Ia sepenuhnya Allah”. (Allah Kita Maha Agung; 1999 : 73). Semuanya ini berhubungan dengan konsep kesempurnaan Allah di mana Ia tidak mungkin menjadi lebih….. dan menjadi kurang…… Ia tidak dapat menjadi lebih besar atau menjadi kurang besar. Ia tidak dapat menjadi lebih baik atau menjadi kurang baik. Ia tidak dapat menjadi lebih setia atau menjadi kurang setia.
Perhatikan pendapat A.W. Tozer : ‘Oleh karena Ia adalah Allah yang di atas segala sesuatu, maka Ia tidak dapat ditinggikan lagi. Tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi daripada Allah, dan tidak ada sesuatu yang di luar jangkauan-Nya.....Oleh karena tidak ada seorang pun yang dapat lebih meninggikan Dia, maka tidak ada seorang pun yang dapat merendahkan Dia. Di dalam Alkitab dituliskan bahwa Ia menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan (Ibrani 1 :3), Bagaimana mungkin Ia ditinggikan atau didukung oleh sesuatu yang ditopang-Nya ? (Mengenal Yang Maha Kudus : 51).
Jika Allah bisa bertambah begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang lebih begini dan begitu daripada Allah dan seharusnya oknum itulah Allah. Jika Allah bisa kurang begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang tidak bisa kurang begini dan begitu seperti Allah dan oknum itulah yang seharusnya menjadi Allah.
Jadi semua sifat Allah itu ‘permanen’. Demikian juga dengan kemuliaan Allah. Allah tidak dapat menjadi bertambah mulia atau menjadi kurang mulia. Kemuliaan-Nya itu bersifat “permanen”. Simaklah kata-kata Tony Evans ketika membahas sifat kemahasempurnaan Allah : ‘Arti sifat Allah ini ialah bahwa Allah itu lengkap secara penuh dan absolut. Tak ada sesuatu pun yang bisa ditambahkan kepada-Nya atau diambil daripada-Nya....ini menjelaskan mengapa Alkitab mengatakan, tidak ada yang dapat dibandingkan dengan Allah’ (Tony Evans : 67).
Dengan demikian untuk menemukan alasan penciptaan manusia oleh Allah "haruslah dihindari bayangan bahwa Allah adalah semacam pribadi yang haus pujian, penghormatan dan pemujaan”. (Louis Leahy; Filsafat Ketuhanan Kontemporer; 1993 : 233). Leahy melanjutkan : “dari ajaran mengenai kesempurnaan Allah sendiri, dapatlah dikatakan bahwa Allah dengan mencipta sama sekali tidak mungkin mencari kebaikan-Nya sendiri, baik untuk mendapatkannya maupun untuk menjaga dan menambahkannya.” (Ibid).
Kalau demikian "mengapa Allah menciptakan manusia?” Atau “apa tujuan Allah menciptakan manusia?” Lalu bagaimana dengan ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21 ; 61:3 yang dikutip di atas? Pertama-tama haruslah disadari bahwa konsep kesempurnaan Allah tidak memperbolehkan kita untuk memikirkan alasan bagi setiap tindakan Allah berdasarkan dorongan internal ataupun tekanan eksternal. Jadi sewaktu Allah menciptakan manusia, itu sama sekali tidak disebabkan oleh dorongan internal maupun tekanan eksternal.
Tidak disebabkan oleh dorongan internal maksudnya adalah bahwa tidak ada suatu pun kekurangan dalam diri Allah yang menyebabkan Ia perlu dan harus mencipta untuk menutupi atau mengisi kekurangan-Nya itu. Tony Evans kembali berkata : ‘...Allah ini ’independen’ dari ciptaan-Nya. Dengan ‘independen’ saya maksudkan, Allah itu tidak membutuhkan apa pun….agar Ia dapat tetap menjadi Allah. (Tony Evans : 72).
Allah adalah Ia yang cukup bagi diri-Nya sendiri. Simak juga kata-kata A.W. Tozer : “Dengan mengakui bahwa di dalam Allah ada kebutuhan, maka itu berarti mengakui bahwa pada diri Allah terdapat suatu kekurangan. “Perlu” merupakan kata bagi makhluk ciptaan dan tidak dapat diterapkan kepada Sang Pencipta”. (A.W. Tozer : 50). Tozer melanjutkan : “Allah tidak akan menjadi lebih besar karena kita ada dan juga tidak akan menjadi lebih kecil jika kita ini tidak ada”. (ibid : 52).
Tidak disebabkan oleh tekanan eksternal maksudnya bahwa tidak ada suatu apapun atau siapapun yang memaksa Allah melakukan tindakan penciptaan manusia. Ia tidak menciptakan manusia karena suatu tekanan dari luar diri-Nya. Ia tidak perlu taat atau merasa diteror oleh apapun atau siapapun. Ia tidak melakukan sesuatu atas pesanan atau ultimatum apapun atau siapapun.
Evans mengomentari hal ini dengan berkata : ‘Tidak ada satu pengaruh pun yang telah menjadikan Allah sebagaimana ada-Nya sekarang. Allah yang sekarang adalah sepenuhnya sama dengan Allah yang dahulu. Allah yang sekarang dan Allah yang dahulu adalah sepenuhnya Allah yang akan datang” (Tony Evans : 73).
Jika Allah menciptakan manusia maka itu harus dipahami semata-mata karena tindakan bebas-Nya atau dengan kata lain karena Ia mau mencipta. Penciptaan manusia adalah tindakan bebas dari Allah dan bukan tindakan penting dari Allah. Evans kembali berkata : “Allah tidak menjalankan fungsi-Nya karena suatu keharusan”. (ibid : 72). Ia melanjutkan : “..Allah berhubungan dengan segala sesuatu karena kerelaan-Nya, Ia tidak wajib berhubungan dengan apa pun. Dengan kata lain, Allah berkontak dengan ciptaan-Nya karena Ia menghendakinya, dan bukan karena Ia membutuhkan-Nya”. (ibid : 73). A.W.
Tozer juga berkomentar : “Allah memiliki suatu hubungan sukarela dengan segala sesuatu yang dijadikan-Nya, tetapi Ia tidak membutuhkan hubungan apa pun dengan sesuatu di luar diri-Nya sendiri. Minat-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya timbul dari kesenangan-Nya yang agung dan bukan karena suatu kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh makhluk-makhluk itu dan juga bukan supaya makhluk-makhluk itu menyempurnakan diri-Nya, karena diri-Nya sendiri sudah sempurna”. (A.W. Tozer : 50).
Kelihatannya jawaban semacam ini masuk akal tetapi sesungguhnya tidaklah Alkitabiah. Jika kita berkata bahwa Allah adalah kasih dan oleh karena kasih-Nya membutuhkan obyek untuk dikasihi dan karenanya Ia perlu dan harus menciptakan manusia, maka itu berarti tanpa manusia, kasih Allah adalah kasih yang “mengambang” dan tak bersasaran atau tak berobyek. Perhatikan kalimat terakhir dari Uling di atas : “Tanpa itu (penciptaan manusia) kasih Allah tidak dapat menjadi kasih yang sesungguhnya”.
Jelas pandangan ini keliru sebab bagaimana mungkin di dalam kekekalan sebelum Allah menciptakan manusia kasih-Nya tak berfungsi, tak berobyek dan pasif? Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, kasih Allah adalah kasih yang aktif, kasih yang bersasaran dan kasih yang berobyek. Yohanes 15:9 berkata : “Seperti Bapa mengasihi Aku…” dan selanjutnya ayat 10 berkata : “…dan tinggal di dalam kasih-Nya”. Bukankah doktrin Tritunggal menyatakan bahwa ada tiga pribadi dalam satu esensi/hakikat Allah yaitu Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus?
Ketiga-Nya itu esa dan kekal. Jadi menurut ayat-ayat di atas dapatlah dipahami bahwa jauh di dalam kekekalan di mana Allah Tritunggal berada telah terjalin hubungan kasih yang mesra di antara ketiga pribadi Allah ini. Sekalipun ayat-ayat di atas tidak menyebutkan pribadi Roh Kudus, tetapi dapat dipercaya bahwa ketiga-Nya terlibat dalam tindakan dan relasi kasih ilahi yang suci dan murni (Devine Love) di mana Bapa mengasihi Anak dan Roh Kudus, Anak mengasihi Bapa dan Roh Kudus, Roh Kudus mengasihi Bapa dan Anak. Kasih ilahi yang suci dan murni inilah yang akhirnya direfleksikan dalam tindakan penciptaan manusia.
Dengan demikian tidak dapat dan tidak boleh dipikirkan bahwa Allah berada dalam keadaan kesepian tanpa kehadiran manusia. Louis Berkhof berpendapat : “Walaupun tidak diragukan lagi Allah menyatakan kebaikan diri-Nya dalam penciptaan, tidaklah tepat jika kita mengatakan bahwa kebaikan atau kasih-Nya tidak dapat menyatakannya sendiri, jika seandainya tidak ada dunia. Hubungan-hubungan pribadi dalam Allah Tritunggal memenuhi semua yang perlu bagi hidup yang penuh dan kekal dari kasih”. (Teologi Sistematika-Doktrin Allah; 1993 : 252)
Simak juga pendapat William W. Menzies dan Stanley M. Horton : “Kepribadian juga memerlukan persahabatan atau persekutuan. Tetapi, sebelum alam semesta diciptakan, di mana ada kemungkinan untuk bersahabat? Jawabannya terletak pada susunan yang kompleks dalam keallahan. Kesatuan keallahan tidak mengesampingkan kepribadian majemuk. Ada tiga kepribadian yang jelas berbeda, masing-masing sepenuhnya ilahi, akan tetapi hubungan timbal baliknya begitu rukun sehingga mereka merupakan satu hakikat” (Doktrin Alkitab; 1998 : 54).
Selanjutnya : “Trinitas ini merupakan suatu persekutuan yang harmonis dalam keallahan. Persekutuan ini juga adalah persekutuan kasih, karena Allah adalah kasih. Tetapi kasih-Nya adalah kasih yang ramah, bukan kasih yang berpusat pada dir sendiri. Kasih seperti ini membutuhkan lebih dari satu Oknum dalam keallahan (ibid : 55). Jadi jelaslah bahwa sebelum Allah menciptakan manusia, kasih-Nya telah aktif, bersasaran dan berobyek dan itu ditemukan dalam kenyataan ketritunggalan Allah. Dengan demikian jelaslah bahwa jawaban pertama ini tidaklah tepat.
Supaya dapat memuliakan-Nya?
Selain jawaban di atas, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Dengan kata lain Allah menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Allah. Jawaban semacam ini biasanya didasarkan pada ayat-ayat Alkitab seperti Yesaya 43:7 : “… yang Kuciptakan untuk kemuliaan-Ku...”; Yesaya 60:21 : “…sebagai cangkokan yang Kutanam sendiri untuk memperlihatkan keagungan-Ku”, Yesaya 61:3 : “…supaya orang menyebutkan mereka "pohon tarbantin kebenaran", "tanaman TUHAN" untuk memperlihatkan keagungan-Nya.” dan beberapa ayat lainnya.
Dengan melihat ayat-ayat di atas John Wesley Brill menyimpulkan bahwa : ‘Keinginan besar Tuhan Allah dalam menciptakan alam ini adalah semata-mata untuk diri-Nya sendiri, dan untuk kemuliaan-Nya sendiri, dan untuk menyatakan dalam makhluk-Nya kesempurnaan diri-Nya sendiri’. (Dasar Yang Teguh; 1998: 67-68).
Pendapat ini tentunya menarik tapi biarlah kita memikirkannya dengan lebih serius. Allah menciptakan manusia demi kemuliaan-Nya. Atau Allah menciptakan manusia agar manusia dapat memuliakan Dia. Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan adalah “apakah Allah kurang mulia sehingga Ia perlu menciptakan manusia agar dapat menambah kemuliaan-Nya?” “Apakah Allah kurang mulia sehingga membutuhkan tambahan kemuliaan dari manusia?” Bukankah Allah itu mulia bahkan maha mulia? Kalau Allah maha mulia mengapa Ia perlu dimuliakan atau melakukan sesuatu untuk dimuliakan?
Sebelum menjawab semua pertanyaan ini kita perlu sadar bahwa jika Allah maha mulia maka ketika manusia tidak memuliakan Allah, itu tidak akan mengurangi sedikit pun kemuliaan-Nya dan walaupun manusia memuliakan Allah, itu tidak menambah apa-apa pada kemuliaan-Nya. Jadi Allah tidak bertambah mulia jika manusia memuliakan-Nya atau kurang mulia karena manusia tidak memuliakan-Nya. Allah tidak bertambah tinggi karena manusia meninggikan-Nya atau menjadi kurang tinggi karena manusia tidak meninggikan-Nya.
Tony Evans berkata : “Anda tidak bisa memberikan sesuatu yang dapat mempertinggi tingkatan Allah, atau mengambil sesuatu dari-Nya yang dapat mengurangi tingkatan-Nya. Allah memang demikian karena Ia sepenuhnya Allah”. (Allah Kita Maha Agung; 1999 : 73). Semuanya ini berhubungan dengan konsep kesempurnaan Allah di mana Ia tidak mungkin menjadi lebih….. dan menjadi kurang…… Ia tidak dapat menjadi lebih besar atau menjadi kurang besar. Ia tidak dapat menjadi lebih baik atau menjadi kurang baik. Ia tidak dapat menjadi lebih setia atau menjadi kurang setia.
Perhatikan pendapat A.W. Tozer : ‘Oleh karena Ia adalah Allah yang di atas segala sesuatu, maka Ia tidak dapat ditinggikan lagi. Tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi daripada Allah, dan tidak ada sesuatu yang di luar jangkauan-Nya.....Oleh karena tidak ada seorang pun yang dapat lebih meninggikan Dia, maka tidak ada seorang pun yang dapat merendahkan Dia. Di dalam Alkitab dituliskan bahwa Ia menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan (Ibrani 1 :3), Bagaimana mungkin Ia ditinggikan atau didukung oleh sesuatu yang ditopang-Nya ? (Mengenal Yang Maha Kudus : 51).
Jika Allah bisa bertambah begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang lebih begini dan begitu daripada Allah dan seharusnya oknum itulah Allah. Jika Allah bisa kurang begini dan begitu maka dapat dipikirkan suatu keadaan (bahkan suatu oknum) yang tidak bisa kurang begini dan begitu seperti Allah dan oknum itulah yang seharusnya menjadi Allah.
Jadi semua sifat Allah itu ‘permanen’. Demikian juga dengan kemuliaan Allah. Allah tidak dapat menjadi bertambah mulia atau menjadi kurang mulia. Kemuliaan-Nya itu bersifat “permanen”. Simaklah kata-kata Tony Evans ketika membahas sifat kemahasempurnaan Allah : ‘Arti sifat Allah ini ialah bahwa Allah itu lengkap secara penuh dan absolut. Tak ada sesuatu pun yang bisa ditambahkan kepada-Nya atau diambil daripada-Nya....ini menjelaskan mengapa Alkitab mengatakan, tidak ada yang dapat dibandingkan dengan Allah’ (Tony Evans : 67).
Dengan demikian untuk menemukan alasan penciptaan manusia oleh Allah "haruslah dihindari bayangan bahwa Allah adalah semacam pribadi yang haus pujian, penghormatan dan pemujaan”. (Louis Leahy; Filsafat Ketuhanan Kontemporer; 1993 : 233). Leahy melanjutkan : “dari ajaran mengenai kesempurnaan Allah sendiri, dapatlah dikatakan bahwa Allah dengan mencipta sama sekali tidak mungkin mencari kebaikan-Nya sendiri, baik untuk mendapatkannya maupun untuk menjaga dan menambahkannya.” (Ibid).
Kalau demikian "mengapa Allah menciptakan manusia?” Atau “apa tujuan Allah menciptakan manusia?” Lalu bagaimana dengan ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21 ; 61:3 yang dikutip di atas? Pertama-tama haruslah disadari bahwa konsep kesempurnaan Allah tidak memperbolehkan kita untuk memikirkan alasan bagi setiap tindakan Allah berdasarkan dorongan internal ataupun tekanan eksternal. Jadi sewaktu Allah menciptakan manusia, itu sama sekali tidak disebabkan oleh dorongan internal maupun tekanan eksternal.
Tidak disebabkan oleh dorongan internal maksudnya adalah bahwa tidak ada suatu pun kekurangan dalam diri Allah yang menyebabkan Ia perlu dan harus mencipta untuk menutupi atau mengisi kekurangan-Nya itu. Tony Evans kembali berkata : ‘...Allah ini ’independen’ dari ciptaan-Nya. Dengan ‘independen’ saya maksudkan, Allah itu tidak membutuhkan apa pun….agar Ia dapat tetap menjadi Allah. (Tony Evans : 72).
Allah adalah Ia yang cukup bagi diri-Nya sendiri. Simak juga kata-kata A.W. Tozer : “Dengan mengakui bahwa di dalam Allah ada kebutuhan, maka itu berarti mengakui bahwa pada diri Allah terdapat suatu kekurangan. “Perlu” merupakan kata bagi makhluk ciptaan dan tidak dapat diterapkan kepada Sang Pencipta”. (A.W. Tozer : 50). Tozer melanjutkan : “Allah tidak akan menjadi lebih besar karena kita ada dan juga tidak akan menjadi lebih kecil jika kita ini tidak ada”. (ibid : 52).
Tidak disebabkan oleh tekanan eksternal maksudnya bahwa tidak ada suatu apapun atau siapapun yang memaksa Allah melakukan tindakan penciptaan manusia. Ia tidak menciptakan manusia karena suatu tekanan dari luar diri-Nya. Ia tidak perlu taat atau merasa diteror oleh apapun atau siapapun. Ia tidak melakukan sesuatu atas pesanan atau ultimatum apapun atau siapapun.
Evans mengomentari hal ini dengan berkata : ‘Tidak ada satu pengaruh pun yang telah menjadikan Allah sebagaimana ada-Nya sekarang. Allah yang sekarang adalah sepenuhnya sama dengan Allah yang dahulu. Allah yang sekarang dan Allah yang dahulu adalah sepenuhnya Allah yang akan datang” (Tony Evans : 73).
Jika Allah menciptakan manusia maka itu harus dipahami semata-mata karena tindakan bebas-Nya atau dengan kata lain karena Ia mau mencipta. Penciptaan manusia adalah tindakan bebas dari Allah dan bukan tindakan penting dari Allah. Evans kembali berkata : “Allah tidak menjalankan fungsi-Nya karena suatu keharusan”. (ibid : 72). Ia melanjutkan : “..Allah berhubungan dengan segala sesuatu karena kerelaan-Nya, Ia tidak wajib berhubungan dengan apa pun. Dengan kata lain, Allah berkontak dengan ciptaan-Nya karena Ia menghendakinya, dan bukan karena Ia membutuhkan-Nya”. (ibid : 73). A.W.
Tozer juga berkomentar : “Allah memiliki suatu hubungan sukarela dengan segala sesuatu yang dijadikan-Nya, tetapi Ia tidak membutuhkan hubungan apa pun dengan sesuatu di luar diri-Nya sendiri. Minat-Nya terhadap makhluk ciptaan-Nya timbul dari kesenangan-Nya yang agung dan bukan karena suatu kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh makhluk-makhluk itu dan juga bukan supaya makhluk-makhluk itu menyempurnakan diri-Nya, karena diri-Nya sendiri sudah sempurna”. (A.W. Tozer : 50).
Tozer melanjutkan : “Bahwa kita ini ada itu sama sekali merupakan keputusan Allah yang ditentukan atas kemauan-Nya sendiri, sama sekali bukan karena kita layak atau karena Allah membutuhkan kita”. (ibid : 52).
Dalam kaitannya dengan masalah kemuliaan yang telah disinggung di atas, sebenarnya penciptaan manusia oleh Allah bukanlah dimaksudkan untuk memperoleh kemuliaan, melainkan sebaliknya yaitu untuk menyatakan kemuliaan-Nya kepada manusia. Berkhof kembali berkata : ‘Allah menciptakan bukanlah pertama-tama untuk memperoleh kemuliaan, tetapi untuk menyatakan keluar segala kemuliaan-Nya’. (Berkhof : 253).
Berkhof melanjutkan : ‘Tujuan paling utama yang dilihat-Nya bukanlah untuk memperoleh kemuliaan, tetapi untuk memanifestasikan kemuliaan-Nya dalam buah pekerjaan-Nya (ibid : 256). Perhatikan juga sebuah kalimat dalam buku Kepercayaan dan Kehidupan Kristen hal. 131 : “Manusia diciptakan oleh Allah...dengan maksud agar manusia dapat bersekutu dengan Allah dan mencerminkan kemuliaan-Nya di dunia’.
Bandingkan ini dengan pendapat Henry C. Thiessen: ‘Pertama dan terutama, Ia menciptakan alam semesta ini untuk mempertunjukkan kemuliaan-Nya.’ (Teologi Sistematika ; 2000 : 181). Dengan kata lain penciptaan itu merupakan tindakan Allah merealisasikan dan mengkomunikasikan kemuliaan-Nya. Leahy kembali berkata bahwa : “Kemuliaan Allah terletak dalam komunikasi kebaikan-Nya kepada ciptaan-ciptaan-Nya itu sendiri.
Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup”. (Leahy : 234). Leahy juga membagi kemuliaan Allah menjadi dua bagian yaitu
Dalam kaitannya dengan masalah kemuliaan yang telah disinggung di atas, sebenarnya penciptaan manusia oleh Allah bukanlah dimaksudkan untuk memperoleh kemuliaan, melainkan sebaliknya yaitu untuk menyatakan kemuliaan-Nya kepada manusia. Berkhof kembali berkata : ‘Allah menciptakan bukanlah pertama-tama untuk memperoleh kemuliaan, tetapi untuk menyatakan keluar segala kemuliaan-Nya’. (Berkhof : 253).
Berkhof melanjutkan : ‘Tujuan paling utama yang dilihat-Nya bukanlah untuk memperoleh kemuliaan, tetapi untuk memanifestasikan kemuliaan-Nya dalam buah pekerjaan-Nya (ibid : 256). Perhatikan juga sebuah kalimat dalam buku Kepercayaan dan Kehidupan Kristen hal. 131 : “Manusia diciptakan oleh Allah...dengan maksud agar manusia dapat bersekutu dengan Allah dan mencerminkan kemuliaan-Nya di dunia’.
Bandingkan ini dengan pendapat Henry C. Thiessen: ‘Pertama dan terutama, Ia menciptakan alam semesta ini untuk mempertunjukkan kemuliaan-Nya.’ (Teologi Sistematika ; 2000 : 181). Dengan kata lain penciptaan itu merupakan tindakan Allah merealisasikan dan mengkomunikasikan kemuliaan-Nya. Leahy kembali berkata bahwa : “Kemuliaan Allah terletak dalam komunikasi kebaikan-Nya kepada ciptaan-ciptaan-Nya itu sendiri.
Kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup”. (Leahy : 234). Leahy juga membagi kemuliaan Allah menjadi dua bagian yaitu
(1) Kemuliaan Allah obyektif yakni kemuliaan Allah yang “permanen” dan sempurna dalam diri-Nya (seperti yang telah dijelaskan di atas) dan
(2) Kemuliaan Allah formal yang berisi pengakuan komunikasi itu oleh pihak manusia. (ibid) sebagaimana kata Berkhof : “…pujian kepada sang pencipta tidaklah menambahkan apa-apa kepada kesempurnaan keberadaan-Nya, tetapi hanyalah mengakui kebesaran-Nya dan memberikan kepada-Nya kemuliaan bagi-Nya”. (Berkhof : 257).
Dengan pengertian semacam ini maka sesungguhnya ketika manusia “memuliakan” dan mengagungkan Tuhan, itu bukan berarti manusia memberikan tambahan kemuliaan kepada-Nya, melainkan manusia mengakui kemuliaan-Nya yang telah dinyatakan dan dikomunikasikan kepada, melalui dan di dalam manusia itu.
Inilah kemuliaan Allah formal, dan di sini pula terletak arti dari penciptaan manusia. Berkhof berkata : ‘Tujuan tertinggi Allah dalam penciptaan, manifestasi kemuliaan-Nya, mencakup juga kebahagiaan dan keselamatan bagi makhluk-Nya, dan penerimaan pujian dari hati yang bersyukur dan mau menyembah’ (ibid : 253) dan Stephen Tong menulis : “Prinsip memuji Tuhan adalah manusia mengembalikan kemuliaan kepada Allah dalam statusnya sebagai manusia”. (Roh Kudus, Doa dan Kebangunan; 1995:62).
Thiessen merangkum kedua kemuliaan ini (kemuliaan Allah obyektif dan kemuliaan Allah formal) dengan berkata : ‘Alam semesta merupakan hasil karya Allah yang diciptakan dengan tujuan untuk memperlihatkan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, patutlah kita mempelajarinya agar dapat menyaksikan kemuliaan Allah. Selain itu, adalah wajar bagi kita untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk memuliakan Dia’. (Thiessen : 182).
Adalah tak mungkin seorang gubernur memberikan tanda penghargaan kepada seorang presiden. Kalaupun ada itu adalah penghargaan yang tak berarti. Tetapi sangatlah berarti jika seorang presiden memberikan penghargaan kepada seorang gubernur. Dan lebih berarti lagi jika gubernur yang telah menerima tanda penghargaan itu menghargai sang presiden (penghargaan formal). Dalam konteks inilah ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21; 61:3; harus ditafsirkan.
Dengan pengertian semacam ini maka sesungguhnya ketika manusia “memuliakan” dan mengagungkan Tuhan, itu bukan berarti manusia memberikan tambahan kemuliaan kepada-Nya, melainkan manusia mengakui kemuliaan-Nya yang telah dinyatakan dan dikomunikasikan kepada, melalui dan di dalam manusia itu.
Inilah kemuliaan Allah formal, dan di sini pula terletak arti dari penciptaan manusia. Berkhof berkata : ‘Tujuan tertinggi Allah dalam penciptaan, manifestasi kemuliaan-Nya, mencakup juga kebahagiaan dan keselamatan bagi makhluk-Nya, dan penerimaan pujian dari hati yang bersyukur dan mau menyembah’ (ibid : 253) dan Stephen Tong menulis : “Prinsip memuji Tuhan adalah manusia mengembalikan kemuliaan kepada Allah dalam statusnya sebagai manusia”. (Roh Kudus, Doa dan Kebangunan; 1995:62).
Thiessen merangkum kedua kemuliaan ini (kemuliaan Allah obyektif dan kemuliaan Allah formal) dengan berkata : ‘Alam semesta merupakan hasil karya Allah yang diciptakan dengan tujuan untuk memperlihatkan kemuliaan-Nya. Oleh karena itu, patutlah kita mempelajarinya agar dapat menyaksikan kemuliaan Allah. Selain itu, adalah wajar bagi kita untuk berusaha sekuat-kuatnya untuk memuliakan Dia’. (Thiessen : 182).
Adalah tak mungkin seorang gubernur memberikan tanda penghargaan kepada seorang presiden. Kalaupun ada itu adalah penghargaan yang tak berarti. Tetapi sangatlah berarti jika seorang presiden memberikan penghargaan kepada seorang gubernur. Dan lebih berarti lagi jika gubernur yang telah menerima tanda penghargaan itu menghargai sang presiden (penghargaan formal). Dalam konteks inilah ayat-ayat seperti Yesaya 43:7; 60:21; 61:3; harus ditafsirkan.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa alasan atau tujuan Allah menciptakan manusia bukanlah untuk mencari keuntungan atau kemuliaan bagi diri-Nya sendiri. Tindakan penciptaan itu bebas dari dorongan internal maupun tekanan eksternal.
Ia menciptakan alam semesta termasuk manusia di dalamnya semata-mata karena Ia mau mencipta dan Ia berkehendak untuk merefleksikan, merealisasikan, menyatakan dan mengkomunikasikan kasih dan kemuliaan-Nya kepada, melalui dan di dalam manusia.
Ia menciptakan alam semesta termasuk manusia di dalamnya semata-mata karena Ia mau mencipta dan Ia berkehendak untuk merefleksikan, merealisasikan, menyatakan dan mengkomunikasikan kasih dan kemuliaan-Nya kepada, melalui dan di dalam manusia.
A.W. Tozer menulis : ‘Persoalan mengapa Allah menciptakan alam semesta ini masih merupakan persoalan para ahli pikir ; tetapi jika kita tidak dapat mengetahui mengapa, paling sedikit kita mengetahui bahwa Ia tidak menjadikan dunia ini untuk memenuhi kebutuhan diri-Nya sendiri, seperti seorang yang membangun sebuah rumah untuk melindungi dirinya dari hujan dan panas atau menanam jagung di ladang untuk memperoleh makanan. Bagi Allah kata ‘perlu’ itu sama sekali asing’. (Tozer : 51). TERPUJILAH ALLAH YANG TIDAK MEMBUTUHKAN APA-APA, TERMASUK TIDAK MEMBUTUHKAN AKU DAN KAU
------
Bagian Kedua Dari Tiga Tulisan
Manusia diciptakan Allah sebagai ciptaan yang termulia, mahkota dari seluruh ciptaan Allah. Ia berbeda dari makhluk yang lain sebab ia diciptakan sesuai dengan atau menurut “gambar” dan “rupa” Allah. (Kejadian 1:26). Ungkapan “gambar” dan “rupa” Allah (Inggris: The Image of God; Yunani : Morphe Tou Theon; Latin: Imago dan Similitudo Dei; Ibrani: Tselem dan Demuth) ini muncul tiga kali dalam Perjanjian Lama yaitu dalam Kejadian 1:26-27; 5:1-3; 9:5-6.
Pertanyaan yang perlu dipikirkan sekarang adalah “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan ”rupa”-Nya?” Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita perlu memahami apakah yang dimaksud dengan “gambar” dan “rupa” Allah itu dan apakah yang dimaksudkan dengan manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah, dan melalui pengertian inilah kita mencoba untuk menjawab pertanyaan di atas.
“Gambar” dan “rupa”(Allah)
Apakah yang dimaksudkan dengan “gambar” dan “rupa” Allah? Apakah “gambar” Allah berbeda dari “rupa” Allah dan dengan demikian ada 2 hal yang berbeda di sini? Ataukah 2 kata ini menunjuk kepada satu hal saja? Sudah cukup banyak pandangan yang membedakan kedua kata ini. Misalnya Irenaeus dan Tertullian mengatakan bahwa “gambar” itu berhubungan dengan tubuh sedangkan “rupa” berhubungan dengan natur spiritual. Aliran Skolastik beranggapan bahwa “gambar” mencakup kekuatan intelektual untuk berpikir dan kebebasan, sedangkan “rupa” dianggap sebagai kebenaran asali.
Selain itu, “gambar” dilihat sebagai karunia natural bagi manusia (sesuatu yang menjadi milik manusia sebagai manusia), sedangkan “rupa” dilihat sebagai kebenaran asali, karunia supra natural sebagai sebuah cek bagi natur manusia. Namun demikian, nampaknya tidak ada perbedaan berarti antara “gambar” dan “rupa” sehingga kita tidak perlu mencari-cari perbedaan itu. Alkitab memperlihatkan bahwa kedua kata ini dipakai secara sinonim dan saling bergantian dalam berbagai konteks.
Dalam Kejadian 1:26, kedua kata ini muncul bersama-sama : “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" tetapi dalam Kejadian 1:27 hanya “gambar” yang muncul : “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”.
Selanjutnya dalam Kejadian 5:1 hanya digunakan kata “rupa” : “… Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah” sedangkan dalam Kejadian 5:3 kedua kata ini muncul bersama-sama : “Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya”.
Kejadian 9:6 hanya memunculkan kata “gambar” : “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Di dalam PB kita juga menemukan hal yang sama. 1 Korintus 11:7 mencatat kata “gambar” dan “kemuliaan”, Kolose 3:10 hanya menggunakan kata “gambar” dan Yakobus 3:9 hanya menggunakan kata “rupa”. Dari semua data Alkitab ini kita harus berkesimpulan bahwa kedua kata ini (“gambar” dan “rupa”) sesungguhnya menunjuk pada hal yang sama.
Diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah
Kita sudah memahami makna kata “gambar” dan “rupa”. Kalau begitu apakah yang dimaksudkan ketika Alkitab berkata bahwa manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah? Ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang makna “gambar” dan “rupa” Allah ini dalam diri manusia. Ada yang mengatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah ini menunjuk kepada hal yang bersifat jasmani saja. Mereka berkata bahwa andaikata Allah datang di tengah-tengah kita, dalam dunia materi ini, Ia akan menjadi manusia. (David Atkinson; Kejadian 1-11 : 41).
------
Bagian Kedua Dari Tiga Tulisan
Manusia diciptakan Allah sebagai ciptaan yang termulia, mahkota dari seluruh ciptaan Allah. Ia berbeda dari makhluk yang lain sebab ia diciptakan sesuai dengan atau menurut “gambar” dan “rupa” Allah. (Kejadian 1:26). Ungkapan “gambar” dan “rupa” Allah (Inggris: The Image of God; Yunani : Morphe Tou Theon; Latin: Imago dan Similitudo Dei; Ibrani: Tselem dan Demuth) ini muncul tiga kali dalam Perjanjian Lama yaitu dalam Kejadian 1:26-27; 5:1-3; 9:5-6.
Pertanyaan yang perlu dipikirkan sekarang adalah “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan ”rupa”-Nya?” Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu kita perlu memahami apakah yang dimaksud dengan “gambar” dan “rupa” Allah itu dan apakah yang dimaksudkan dengan manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah, dan melalui pengertian inilah kita mencoba untuk menjawab pertanyaan di atas.
“Gambar” dan “rupa”(Allah)
Apakah yang dimaksudkan dengan “gambar” dan “rupa” Allah? Apakah “gambar” Allah berbeda dari “rupa” Allah dan dengan demikian ada 2 hal yang berbeda di sini? Ataukah 2 kata ini menunjuk kepada satu hal saja? Sudah cukup banyak pandangan yang membedakan kedua kata ini. Misalnya Irenaeus dan Tertullian mengatakan bahwa “gambar” itu berhubungan dengan tubuh sedangkan “rupa” berhubungan dengan natur spiritual. Aliran Skolastik beranggapan bahwa “gambar” mencakup kekuatan intelektual untuk berpikir dan kebebasan, sedangkan “rupa” dianggap sebagai kebenaran asali.
Selain itu, “gambar” dilihat sebagai karunia natural bagi manusia (sesuatu yang menjadi milik manusia sebagai manusia), sedangkan “rupa” dilihat sebagai kebenaran asali, karunia supra natural sebagai sebuah cek bagi natur manusia. Namun demikian, nampaknya tidak ada perbedaan berarti antara “gambar” dan “rupa” sehingga kita tidak perlu mencari-cari perbedaan itu. Alkitab memperlihatkan bahwa kedua kata ini dipakai secara sinonim dan saling bergantian dalam berbagai konteks.
Dalam Kejadian 1:26, kedua kata ini muncul bersama-sama : “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi" tetapi dalam Kejadian 1:27 hanya “gambar” yang muncul : “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”.
Selanjutnya dalam Kejadian 5:1 hanya digunakan kata “rupa” : “… Pada waktu manusia itu diciptakan oleh Allah, dibuat-Nyalah dia menurut rupa Allah” sedangkan dalam Kejadian 5:3 kedua kata ini muncul bersama-sama : “Setelah Adam hidup seratus tiga puluh tahun, ia memperanakkan seorang laki-laki menurut rupa dan gambarnya, lalu memberi nama Set kepadanya”.
Kejadian 9:6 hanya memunculkan kata “gambar” : “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Di dalam PB kita juga menemukan hal yang sama. 1 Korintus 11:7 mencatat kata “gambar” dan “kemuliaan”, Kolose 3:10 hanya menggunakan kata “gambar” dan Yakobus 3:9 hanya menggunakan kata “rupa”. Dari semua data Alkitab ini kita harus berkesimpulan bahwa kedua kata ini (“gambar” dan “rupa”) sesungguhnya menunjuk pada hal yang sama.
Diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah
Kita sudah memahami makna kata “gambar” dan “rupa”. Kalau begitu apakah yang dimaksudkan ketika Alkitab berkata bahwa manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah? Ada banyak pendapat yang berbeda-beda tentang makna “gambar” dan “rupa” Allah ini dalam diri manusia. Ada yang mengatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah ini menunjuk kepada hal yang bersifat jasmani saja. Mereka berkata bahwa andaikata Allah datang di tengah-tengah kita, dalam dunia materi ini, Ia akan menjadi manusia. (David Atkinson; Kejadian 1-11 : 41).
Sebaliknya, ada pula yang melihatnya sebagai hal yang menunjuk kepada segi kerohanian saja dengan alasan bahwa Allah adalah Roh (tidak bertubuh) seperti pandangan Louis Berkhof yang mengatakan ‘…Allah adalah Roh, maka wajar jika kita beranggapan bahwa elemen kerohanian ada juga dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah’ (Teologi Sistematika (Doktrin Manusia); 1995 : 51).
Ada pula yang mengatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah ini menunjuk kepada 2 hal sekaligus, jasmani dan rohani seperti pandangan Walter Lempp : “Diciptakannya manusia menurut gambar dan rupa Allah itu tidak boleh dimengerti hanya mengenai hal kerohanian saja, melainkan harus dimengerti secara kejasmanian. Manusia selengkapnya lahiriah dan batiniah diciptakan secara Allah, menurut Allah, seakhlak, sebakat, setabiat dengan Allah. (Tafsiran Kitab Kejadian 1:1-4:6 (Cetakan Ketiga); 1974 : 37), tetapi ada juga yang menolak bahwa “gambar” dan “rupa” Allah menunjuk kepada hal yang bersifat jasmani maupun rohani.
Salah satunya adalah Cristoph Barth yang berpendapat bahwa : “Jika gambar dan rupa Allah ini dihubungkan dengan kejasmanian, maka Allah terpaksa dibayangkan sebagai “manusia raksasa” dan sebaliknya manusia sebagai “tiruan Allah” dalam bentuk yang lebih kecil. Tetapi jika dihubungkan dengan hal yang bersifat rohani maka kita tidak luput dari kesulitan bahwa Sang Khalik terlalu didekatkan dengan makhluk-Nya. (Theologia Perjanjian Lama; 1991 : 61). Bagi Barth, gambar dan rupa Allah hanya menunjuk kepada cara hidup dan bertindak.
Secara pribadi saya lebih condong melihat “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia ini dalam hubungan dengan aspek-aspek non fisik (rohani) di mana hal ini diperoleh sebagai refleksi dari keadaan rohani yang sempurna yang dimiliki oleh Allah. Allah adalah roh dan tidak bertubuh karenanya “gambar” dan “rupa” Allah tidak boleh diarahkan/dihubungkan dengan aspek fisik. Alkitab memang berkali-kali mengindikasikan bahwa Allah mempunyai tubuh (seperti : tangan Tuhan, mata Tuhan, kaki Tuhan, dll) namun semuanya ini adalah bahasa anthropomorfisme yaitu penggambaran Allah seolah-olah manusia. Ini harus dipahami dari segi gaya bahasa dan sastra Alkitab.
Secara pribadi saya lebih condong melihat “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia ini dalam hubungan dengan aspek-aspek non fisik (rohani) di mana hal ini diperoleh sebagai refleksi dari keadaan rohani yang sempurna yang dimiliki oleh Allah. Allah adalah roh dan tidak bertubuh karenanya “gambar” dan “rupa” Allah tidak boleh diarahkan/dihubungkan dengan aspek fisik. Alkitab memang berkali-kali mengindikasikan bahwa Allah mempunyai tubuh (seperti : tangan Tuhan, mata Tuhan, kaki Tuhan, dll) namun semuanya ini adalah bahasa anthropomorfisme yaitu penggambaran Allah seolah-olah manusia. Ini harus dipahami dari segi gaya bahasa dan sastra Alkitab.
Dengan demikian arti dari manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah adalah sebagai berikut :
(1) Manusia diciptakan dengan sifat rohani. Sifat rohani dalam diri manusia ini nampak dari adanya jiwa atau roh yang sebenarnya adalah refleksi dari keberadaan Allah yang adalah Roh. Aspek rohani ini hanya ada pada manusia saja, sebab hanya manusia sajalah yang diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. Berkhof berkata : “Allah adalah Roh, maka wajar jika kita beranggapan bahwa elemen kerohanian ada juga di dalam diri manusia sebagai gambar dan rupa Allah”. (Berkhof : 51).
(2)Manusia diciptakan dengan sifat moral. Manusia diciptakan dengan sifat moral artinya manusia diberikan kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang jahat. Atas dasar kemampuan membedakan yang baik dan yang jahat inilah manusia selalu diperhadapkan dengan pilihan moral antara yang baik dan yang jahat. Sifat moral ini adalah refleksi dari kesucian Allah. Atau dengan kata lain sifat kesucian Allah ini ditransferkan dalam diri manusia berupa atau sebagai sifat moral.
(3) Manusia diciptakan dengan sifat rasional. Allah adalah kebenaran. Kebenaran Allah ini terefleksi dalam diri manusia berupa sifat rasional. Sifat inilah yang membuat manusia dapat berpikir, berencana, berargumentasi, dll.
(4) Manusia diciptakan dengan sifat kekal. Allah itu kekal adanya. Ketika Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya, maka kekekalan-Nya itu ada dalam diri manusia walaupun dalam kualitas yang lebih rendah. Kekekalan Allah adalah kekekalan yang tak berawal dan tak berakhir, sedangkan kekekalan manusia adalah kekekalan yang berawal dan tak berakhir.
Berkhof membedakan kekekalan Allah dan kekekalan manusia ini sebagai berikut : “…hanya Allah sajalah yang memiliki kekekalan sebagai kualitas esensial, yang memilikinya di dalam dan hanya dari diri-Nya sendiri, sedangkan kekekalan manusia adalah pemberian yang diperoleh dari Allah. (Berkhof : 52).
Berkhof membedakan kekekalan Allah dan kekekalan manusia ini sebagai berikut : “…hanya Allah sajalah yang memiliki kekekalan sebagai kualitas esensial, yang memilikinya di dalam dan hanya dari diri-Nya sendiri, sedangkan kekekalan manusia adalah pemberian yang diperoleh dari Allah. (Berkhof : 52).
Demikian juga Stephen Tong yang membedakan arti kata “eternal” dan kata “immortal” : ‘Kata eternal “eternal” itu berarti kekal, sedangkan kata “immortal” lebih berarti tidak rusak. Hanya Allah-lah satu-satunya “Ada” yang tak akan mengalami kerusakan. Ketidakrusakan Allah ini diberikan kepada manusia dalam bentuk sifat kekal’.(Majalah “MOMENTUM” No. 8 Bulan Juni, 1990: 5)
(5) Manusia diciptakan dengan sifat kreatif. Sifat kreatif (daya cipta) ini diperoleh dari Allah yang adalah Sang Pencipta (Creator). Sewaktu Sang Pencipta mencipta manusia, ia memasukkan ke dalam diri manusia itu sifat yang sama yang ada pada diri-Nya dalam kualitas yang lebih rendah sehingga manusia itu mempunyai daya cipta dan akhirnya menjadi “pencipta-pencipta” kecil yang adalah gambaran Sang Pencipta sendiri. Allah adalah pencipta awal (dari ketiadaan menjadi ada) atau penyebab awal (Causa Prima). Manusia adalah ciptaan yang mempunyai kemampuan untuk “mencipta” (karena diberi daya cipta).
Jadi dapat dikatakan bahwa manusia adalah penyebab kedua (Causa Sekundar). Sang Pencipta menciptakan kita sebagai ciptaan dengan daya cipta sehingga kita juga dapat menjadi “pencipta” dari apa yang kita “ciptakan”.
(6) Manusia diciptakan dengan sifat sosial. Setelah menciptakan Adam maka Allah melihat bahwa“tidak baik kalau manusia itu seorang diri” itulah sebabnya Ia menciptakan Hawa sebagai sahabat manusia itu (Adam) sehingga Adam dapat berhubungan, berkomunikasi, berbicara dan berinteraksi dengan Hawa, demikian pula sebaliknya. Manusia tidak dibiarkan sendiri dan kesepian. Jadi manusia diciptakan sebagai suatu makhluk sosial. Manusia diciptakan untuk hidup bersama.
Sesungguhnya hal semacam ini bersumber dari sifat sosial Allah. Allah bukanlah Allah yang “seorang diri” atau sendirian dan kesepian. Kenyataan ketritunggalan Allah mengajarkan kepada kita bahwa pribadi-pribadi itu (Bapa, Anak dan Roh Kudus) saling berhubungan, berkomunikasi, berbicara satu sama lain-Nya pada masa pra created (sebelum penciptaan). Allah kita adalah Allah sosial. Sifat sosial Allah inilah yang ditularkan kepada manusia.
Itulah “gambar dan “rupa” Allah dalam diri manusia. Selain 6 hal di atas, masih juga ada sifat yang lain di antaranya sifat relasi, sifat persekutuan, sifat kesempurnaan, sifat pengharapan, dll. (Baca lengkap sifat-sifat ini dalam buku Stephen Tong; Peta dan Teladan Allah; 1990: 55-57).
Mengapa Demikian?
Setelah kita melihat pengertian di atas, marilah kita membahas pertanyaan intinya yaitu “mengapa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya?” Pertama-tama marilah kita lihat bahwa manusia diciptakan Allah dan diberi tanggung jawab sebagai wakil Allah untuk menaklukkan, menguasai dan mengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Inilah yang kita kenal sebagai mandat kebudayaan (Kejadian 1:28).
Mengapa Demikian?
Setelah kita melihat pengertian di atas, marilah kita membahas pertanyaan intinya yaitu “mengapa Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya?” Pertama-tama marilah kita lihat bahwa manusia diciptakan Allah dan diberi tanggung jawab sebagai wakil Allah untuk menaklukkan, menguasai dan mengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain. Inilah yang kita kenal sebagai mandat kebudayaan (Kejadian 1:28).
Hal ini berarti bahwa manusia memiliki dua status : (1) Manusia sebagai wakil Allah di bumi (2) Manusia sebagai penguasa/pengatur ciptaan-ciptaan yang lain. Jika kita bandingkan kedua status ini, maka status pertama lebih penting dan dominan dalam diri manusia daripada status kedua. Maksudnya adalah kualitas sebagai wakil Allah lebih besar atau lebih tinggi daripada kualitas sebagai penguasa ciptaan yang lain. Dengan kata lain manusia lebih dekat dengan Allah sebagai Tuhannya, daripada dengan ciptaan lain sebagai “hambanya”. Oleh sebab itu sebagai wujud dari status pertama ini, manusia perlu dilengkapi dengan “gambar” dan “rupa” Allah.
Jadi “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya?” Di satu sisi Allah ingin menyatakan bahwa manusia lebih dekat dengan Allah sebagai pencipta dan Tuhannya daripada dengan ciptaan yang lain sebagai “hambanya”, dan di sisi lain Allah ingin membedakan manusia dengan ciptaan lain. Dapat juga dikatakan bahwa “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia dimaksudkan untuk “mendekatkan jarak” antara manusia dengan Allah dan “menjauhkan jarak” antara manusia dengan ciptaan yang lain (binatang). Dengan demikian manusia sama seperti Allah (tetapi bukan Allah, dan berbeda dengan binatang).
Selain itu dalam hubungan dengan status keduanya sebagai penguasa atau pengatur ciptaan-ciptaan Allah yang lain maka manusia perlu dilengkapi untuk melaksanakan tugasnya itu. Tugas yang berat itu tidak akan mungkin dilakukan tanpa sesuatu dari Allah. Itulah sebabnya manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. “Gambar” dan “rupa” Allah inilah yang merupakan potensi, kekuatan dan modal bagi manusia untuk melaksanakan tugasnya itu.
Charles Hodge berkata :“Manusia adalah gambar Allah, sehingga membawa dan mencerminkan kesamaan ilahi di antara penghuni-penghuni lain di bumi, karena manusia itu roh, unsur yang cerdas dan berkehendak bebas; dan oleh karena itu sudah sepantasnya manusia ditetapkan untuk menguasai bumi’. (Systematic Theology : 99).
Dalam bagian pertama tulisan ini (Mengapa Allah Menciptakan Manusia?) telah dijelaskan bahwa penciptaan manusia oleh Allah dengan tujuan untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam manusia. Kemuliaan Allah yang telah ada dalam manusia ini perlu dinyatakan melalui hidup manusia sehingga melalui itu terjadi pengakuan terhadap kemuliaan Allah yang telah dinyatakan (Kemuliaan Allah formal).
Louis Leahy mengatakan bahwa : ‘kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup’ (Louis Leahy; 1993 : 234). Sekarang persoalannya adalah bagaimana caranya agar kemuliaan Allah dapat dipancarkan melalui kehidupan manusia? Caranya adalah manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah, sehingga dengan mengamati manusia, pikiran kita langsung terarah kepada pencipta manusia itu yaitu Allah. Jika kita melihat bahwa manusia itu adalah makhluk rohani, maka kita langsung berpikir tentang Allah yang Roh adanya.
Dalam bagian pertama tulisan ini (Mengapa Allah Menciptakan Manusia?) telah dijelaskan bahwa penciptaan manusia oleh Allah dengan tujuan untuk menyatakan kemuliaan Allah dalam manusia. Kemuliaan Allah yang telah ada dalam manusia ini perlu dinyatakan melalui hidup manusia sehingga melalui itu terjadi pengakuan terhadap kemuliaan Allah yang telah dinyatakan (Kemuliaan Allah formal).
Louis Leahy mengatakan bahwa : ‘kemuliaan Allah adalah manusia yang hidup’ (Louis Leahy; 1993 : 234). Sekarang persoalannya adalah bagaimana caranya agar kemuliaan Allah dapat dipancarkan melalui kehidupan manusia? Caranya adalah manusia diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah, sehingga dengan mengamati manusia, pikiran kita langsung terarah kepada pencipta manusia itu yaitu Allah. Jika kita melihat bahwa manusia itu adalah makhluk rohani, maka kita langsung berpikir tentang Allah yang Roh adanya.
Jika kita melihat bahwa manusia bermoral, maka pikiran kita langsung terarah kepada Allah yang suci. Jika kita melihat bahwa manusia berrasio, maka pikiran kita langsung terarah kepada Allah yang adalah Kebenaran. Jika kita melihat bahwa manusia itu adalah makhluk yang kekal, maka pikiran kita langsung terarah kepada Allah yang kekal adanya.
Jika kita melihat adanya daya cipta (kreatifitas) dalam diri manusia, maka pikiran kita akan terarah kepada Allah sebagai Pencipta segala sesuatu. Dan jika kita melihat manusia sebagai makhluk sosial maka kita dapat memahami Allah sebagai Allah sosial dalam ketritunggalan yang kudus. Singkatnya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia menuntun kita kepada Allah sebagai wujud asli dari “gambar” dan “rupa” itu.
Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka gambar dan rupa Allah yang ada padanya mengalami kerusakan (distorsi, sehingga kadang kemuliaan Allah tak nampak/terpencar dari kehidupan manusia, malah sebaliknya manusia melawan dan menentang Allah. Suatu contoh, manusia yang seharusnya dengan rasionya mempermuliakan Allah justru memperilah rasionya dan menentang Allah. Segala sesuatu (termasuk Allah) harus diukur dengan rasio (Rasiosentris).
Yang masuk akal dapat diterima dan yang tak masuk akal ditolak. Inilah krisis rasio dalam diri manusia. Sekalipun demikian, kita patut bersyukur sebab “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia itu telah diperbaharui di dalam manusia Yesus Kristus. Ia adalah manusia pertama pasca kejatuhan yang memiliki “gambar” dan “rupa” Allah yang sempurna (tidak distortif) dalam diri-Nya, dan melalui hidup-Nya selama di dunia kemuliaan Allah dinyatakan dan terpencar dengan sempurna. Itulah sebabnya Ia dapat berkata “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa-Ku”.
Tujuan lain dari pemberian gambar dan rupa Allah dalam diri manusia adalah sebagai pemberian atau penyediaan sarana persekutuan demi terjalinnya hubungan atau persekutuan secara pribadi antara manusia dengan Allah. Dengan adanya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia, memungkinkan manusia untuk berrelasi dengan Allah.
Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, maka gambar dan rupa Allah yang ada padanya mengalami kerusakan (distorsi, sehingga kadang kemuliaan Allah tak nampak/terpencar dari kehidupan manusia, malah sebaliknya manusia melawan dan menentang Allah. Suatu contoh, manusia yang seharusnya dengan rasionya mempermuliakan Allah justru memperilah rasionya dan menentang Allah. Segala sesuatu (termasuk Allah) harus diukur dengan rasio (Rasiosentris).
Yang masuk akal dapat diterima dan yang tak masuk akal ditolak. Inilah krisis rasio dalam diri manusia. Sekalipun demikian, kita patut bersyukur sebab “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia itu telah diperbaharui di dalam manusia Yesus Kristus. Ia adalah manusia pertama pasca kejatuhan yang memiliki “gambar” dan “rupa” Allah yang sempurna (tidak distortif) dalam diri-Nya, dan melalui hidup-Nya selama di dunia kemuliaan Allah dinyatakan dan terpencar dengan sempurna. Itulah sebabnya Ia dapat berkata “Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa-Ku”.
Tujuan lain dari pemberian gambar dan rupa Allah dalam diri manusia adalah sebagai pemberian atau penyediaan sarana persekutuan demi terjalinnya hubungan atau persekutuan secara pribadi antara manusia dengan Allah. Dengan adanya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia, memungkinkan manusia untuk berrelasi dengan Allah.
Stephen Tong berkata bahwa : “Manusia adalah makhluk rohani sehingga manusia bisa berkomunikasi dengan dunia yang tak kelihatan”. (Stephen Tong : 57) Louis Berkhof melihat “gambar” dan “rupa” Allah sebagai : ‘kualitas yang menjadikan manusia istimewa dalam hubungan dengan Allah’ (Louis Berkhof; Teologi Sistematika (Doktrin Allah); 1993 : 53), bahkan Robert Davidson mengatakan bahwa : “Manusia diciptakan untuk hidup dalam hubungan pribadi yang mesra dengan Allah’. (Robert Davidson;Alkitab Berbicara; 1986 : 14-15).
Semuanya itu memberikan jawaban bagi kita bahwa hubungan pribadi dengan Allah hanya dimungkinkan dengan adanya “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia. Binatang dan ciptaan yang lain tak dapat berhubungan secara pribadi dengan Allah, sebab “gambar” dan “rupa” Allah tidak ada dalam mereka. Binatang dan ciptaan yang lain bisa taat pada perintah Allah seperti bintang yang menuntun para Majus mencari Yesus, seperti gagak yang mengantarkan makanan bagi Elia, seperti ikan yang menelan Yunus namun mereka tidak bisa berkomunikasi, tidak bisa berdialog atau tidak bisa memberi jawab kepada Allah.
Bandingkan kenyataan ini dengan manusia yang diciptakan menurut “gambar” dan “rupa” Allah. Kejadian 3:9-10 : “Tetapi Tuhan Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya “Di manakah engkau?” Ia menjawab…” , Yeremia 1:3-4 : “…berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya “Musa-Musa!” dan Ia menjawab “Ya Allah”, Yeremia 1:4,6 :“Firman Tuhan datang kepadaku bunyinya… maka aku menjawab…”. Jadi pemberian “gambar” dan “rupa” Allah dalam diri manusia adalah sebagai sarana demi terjalinnya hubungan pribadi antara Allah dan manusia. “Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia dapat bertanya kepada Allah sekaligus mengharapkan jawaban dari Allah.
Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat Allah dapat bertanya kepada manusia dan mengharapkan jawaban dari manusia. Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa mengatakan “ya” dan “tidak” kepada Allah. Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa mengerti “ya” dan “tidak” sebagai jawaban dari Allah. Singkatnya,“gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa berbicara ‘tentang Allah’, ‘kepada Allah’ dan ‘dengan Allah’.
Kita dapat simpulkan keseluruhan pembahasan ini dan menjawab pertanyaan “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya? Sebagai berikut :
Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat Allah dapat bertanya kepada manusia dan mengharapkan jawaban dari manusia. Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa mengatakan “ya” dan “tidak” kepada Allah. Gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa mengerti “ya” dan “tidak” sebagai jawaban dari Allah. Singkatnya,“gambar” dan “rupa” Allah itulah yang membuat manusia bisa berbicara ‘tentang Allah’, ‘kepada Allah’ dan ‘dengan Allah’.
Kita dapat simpulkan keseluruhan pembahasan ini dan menjawab pertanyaan “mengapa Allah menciptakan manusia menurut “gambar” dan “rupa”-Nya? Sebagai berikut :
(1) Karena Allah ingin membedakan manusia dari ciptaan yang lain (binatang), sekaligus untuk menyatakan bahwa manusia lebih mirip dengan-Nya daripada dengan binatang. (menentang teori evolusi).
(2) Karena Allah ingin agar melalui kehidupan manusia, kemuliaan-Nya yang telah dinyatakan itu dapat terpancar.
(3) Karena Allah ingin menjalin hubungan pribadi yang intim dan mesra dengan manusia. Atau lebih tepat dikatakan bahwa agar manusia dapat berhubungan secara pribadi dengan Allah.
----
Bagian Terakhir Dari Tiga Tulisan
Dalam bagian pertama dan kedua tulisan ini telah dibahas dua pertanyaan di sekitar penciptaan manusia yakni “Mengapa Allah Menciptakan Manusia ?” dan “Mengapa Allah Menciptakan Manusia Menurut ‘Gambar’ dan ‘Rupa’-Nya?” Satu fakta lain lagi tentang penciptaan manusia yang dikatakan kitab Kejadian adalah bahwa penciptaan manusia itu oleh Allah diletakkan pada ordo penciptaan dalam urutan terakhir yakni pada hari keenam.
----
Bagian Terakhir Dari Tiga Tulisan
Dalam bagian pertama dan kedua tulisan ini telah dibahas dua pertanyaan di sekitar penciptaan manusia yakni “Mengapa Allah Menciptakan Manusia ?” dan “Mengapa Allah Menciptakan Manusia Menurut ‘Gambar’ dan ‘Rupa’-Nya?” Satu fakta lain lagi tentang penciptaan manusia yang dikatakan kitab Kejadian adalah bahwa penciptaan manusia itu oleh Allah diletakkan pada ordo penciptaan dalam urutan terakhir yakni pada hari keenam.
Keseluruhan ordo penciptaan itu adalah sebagai berikut : hari pertama Allah menciptakan terang, hari kedua Allah menciptakan cakrawala, hari ketiga Allah menciptakan laut dan darat, memisahkannya, serta menciptakan tumbuh-tumbuhan, hari keempat Allah menciptakan benda-benda penerang (matahari, bulan, bintang), hari kelima Allah menciptakan burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, hari keenam Allah menciptakan manusia dan hari ketujuh Allah berhenti dan menguduskan hari itu.
Dalam daftar di atas kita dapat melihat bahwa manusia diciptakan paling terakhir dari segala ciptaan yang lain yaitu pada hari keenam. The final creation of God is the existence of man. Mengapa demikian? Mengapa Allah tidak menciptakan manusia pada hari-hari sebelumnya? Apakah penciptaan manusia pada hari keenam mempunyai makna khusus, ataukah hanya suatu kebetulan saja? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini baiklah kita pahami bahwa segala sesuatu yang terjadi atau dilakukan Allah di dalam dunia ini terjadi sesuai dengan rencana-Nya yang matang, agung dan kekal dan bukan sekedar suatu kebetulan belaka.
Semua yang dikerjakan Allah adalah sempurna dan baik dalam perencanaan-Nya. Itulah sebabnya dalam hari-hari penciptaan kita dapat melihat kalimat-kalimat indah yang berbunyi : “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. (Kejadian 1: 1:4,10,12,18,21,25) bahkan setelah penciptaan manusia kalimat ini lebih meningkat : “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik…” (Kejadian 1:31).
Semua yang dikerjakan Allah adalah sempurna dan baik dalam perencanaan-Nya. Itulah sebabnya dalam hari-hari penciptaan kita dapat melihat kalimat-kalimat indah yang berbunyi : “Allah melihat bahwa semuanya itu baik”. (Kejadian 1: 1:4,10,12,18,21,25) bahkan setelah penciptaan manusia kalimat ini lebih meningkat : “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik…” (Kejadian 1:31).
Dari terang ini bisa mengerti bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah, terlebih manusia adalah suatu tindakan yang memiliki nilai kebaikan dan dilaksanakan berdasarkan perencanaan-ya yang matang dan sempurna. Jadi tidak ada yang kebetulan bagi Allah. Dengan demikian kita dapat percaya bahwa penciptaan manusia yang terjadi pada hari keenam juga termasuk dalam rencana Allah atau dengan kata lain itu bukan sebuah kebetulan melainkan sesuatu yang mengandung makna khusus.
Keistimewaan Manusia
Jadi mengapa Allah menciptakan manusia pada hari keenam? Mengapa dalam ordo penciptaan Allah menempatkan manusia pada bagian akhir? Satu-satunya jawaban yang dapat diberikan adalah bahwa manusia adalah makhluk yang sangat istimewa di mata Allah dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan lainnya. Perlakuan Allah yang istimewa kepada manusia ini sebenarnya nampak dalam banyak hal di antaranya adalah :
(1) Manusia diciptakan melalui perundingan ilahi. Kejadian 1:26 berbunyi : “Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia…”. Ini jelas sangat berbeda dengan penciptaan makhluk/benda yang lain karena Alkitab mencatat penciptaan mereka dengan kalimat “Berfirmanlah Allah…”. Ada banyak pandangan tentang siapakah/apakah “KITA” dalam Kejadian 1:26 ini namun secara umum diterima bahwa kata “KITA” itu adalah indikasi ke arah kenyataan ketritunggalan Allah. Pribadi-pribadi dalam keallahan mengadakan semacam ‘perundingan’ sebelum menciptakan manusia.
R. Soedarmo menulis : “Tuhan Allah waktu menjadikan makhluk-makhluk lain hanya berfirman saja “Jadilah ini” dan “Jadilah itu”. Tetapi ketika Tuhan akan menjadikan manusia, Ia bermusyawarah”. (Ikhtisar Dogmatika; 2001 : 139) sedangkan Charles C. Ryrie berpendapat : “Karya penciptaan manusia didasarkan atas perundingan sidang Allah…. Manusia bukan dipikirkan-Nya kemudian, melainkan hasil pemikiran terdahulu dalam benak Allah”. (Teologi Dasar; 2001 : 255).
R. Soedarmo menulis : “Tuhan Allah waktu menjadikan makhluk-makhluk lain hanya berfirman saja “Jadilah ini” dan “Jadilah itu”. Tetapi ketika Tuhan akan menjadikan manusia, Ia bermusyawarah”. (Ikhtisar Dogmatika; 2001 : 139) sedangkan Charles C. Ryrie berpendapat : “Karya penciptaan manusia didasarkan atas perundingan sidang Allah…. Manusia bukan dipikirkan-Nya kemudian, melainkan hasil pemikiran terdahulu dalam benak Allah”. (Teologi Dasar; 2001 : 255).
(2) Manusia diciptakan menurut ‘gambar’ dan ‘rupa’ Allah. Maksudnya adalah bahwa sewaktu Allah menciptakan manusia, Ia memasukkan sebagian unsur diri-Nya dalam kualitas yang lebih rendah ke dalam manusia itu sehingga manusia itu menjadi mirip dengan Allah. Ini jelas membedakan manusia dengan ciptaan yang lain Ini juga membuktikan keistimewaan manusia di hadapan Allah (baca kembali bagian kedua tulisan ini : “Mengapa Allah Menciptakan Manusia Menurut ‘Gambar’ dan ‘Rupa’-Nya?”).
(3) Manusia diciptakan untuk berkuasa. Ya! Manusia diciptakan untuk berkuasa atas segala ciptaan yang lain. Manusia diciptakan untuk menguasai sedangkan ciptaan yang lain diciptakan untuk dikuasai. Kejadian 1:26 : “….supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."
Kejadian 1:28 : “…penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." Jadi manusia adalah “allah” bagi ciptaan yang lain. Stephen Tong menulis : “…manusia juga diberi sifat kebebasan, bagaikan “tuhan kecil” di tengah-tengah ciptaan di dunia ini. Maka manusia memainkan peranan keallahan terhadap binatang dan alam semesta ini.
Kita akan menjadi “allah” bagi anjing atau kucing kita. Kalau kita tidak ada, binatang itu menjadi “ateis”. Dengan kehadiran kita, ia menjadi “teis”. Tetapi ia tidak dapat membedakan teis yang mana, karena ia tidak dapat melihat Allah yang rohani, yang tidak kelihatan. Ia hanya dapat melihat allah yang kelihatan, yaitu diri kita. Maka kita menjadi penolong, juruselamat, pemberi hidup, pemelihara, ataupun pembunuh mati bagi anjing-anjing kita, Jadi bagi anjing kita, kita adalah Allahnya.” (Roh Kudus, Suara Hati Nurani dan Setan; 1999:14). Jadi inilah keistimewaan-keistimewaan manusia dibanding dengan ciptaan yang lain.
Kita akan menjadi “allah” bagi anjing atau kucing kita. Kalau kita tidak ada, binatang itu menjadi “ateis”. Dengan kehadiran kita, ia menjadi “teis”. Tetapi ia tidak dapat membedakan teis yang mana, karena ia tidak dapat melihat Allah yang rohani, yang tidak kelihatan. Ia hanya dapat melihat allah yang kelihatan, yaitu diri kita. Maka kita menjadi penolong, juruselamat, pemberi hidup, pemelihara, ataupun pembunuh mati bagi anjing-anjing kita, Jadi bagi anjing kita, kita adalah Allahnya.” (Roh Kudus, Suara Hati Nurani dan Setan; 1999:14). Jadi inilah keistimewaan-keistimewaan manusia dibanding dengan ciptaan yang lain.
Bahwa manusia diciptakan pada hari keenam, terakhir dari ciptaan yang lain juga membuktikan keistimewaannya yang lain. Sewaktu manusia membuka mata untuk pertama kalinya, ia sudah dapat melihat segala sesuatu yang serba teratur dan indah. Ia dapat melihat langit, matahari, bulan dan bintang. Ia dapat melihat ikan, bunga, pohon dan binatang serta tumbuhan yang lainnya. Ia dapat melihat lautan luas dan sungai yang mengalir. Segala sesuatu telah selesai barulah manusia itu hadir. Allah mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kehadiran manusia laksana suatu wilayah disiapkan, diperindah dan dipercantik untuk menyambut kehadiran “Very Important Person” (VIP).
Sungguh betapa berharganya dan betapa pentingnya manusia. Segala sesuatu diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk segala sesuatu. Stephen Tong menulis : “Bila dilihat dari urutan, yang terakhir itu biasanya yang paling kecil dan paling tidak penting. Mengapa? Karena manusia diciptakan dengan tujuan untuk dapat menikmati segala sesuatu yang telah diciptakan sebelumnya. (Peta dan Teladan Allah; 1995 : 6).
Stephen Tong melanjutkan : “Segala sesuatu telah selesai baru manusia tiba untuk menikmati semuanya itu. Berarti alam semesta tidak lebih penting daripada manusia. Manusia lebih tinggi daripada alam semesta. Kita diciptakan lebih tinggi daripada dunia materi” (ibid). Perhatikan juga komentar Budi Asali : “Allah mencipta atau mengatur segala sesuatu untuk manusia, sebelum manusia diciptakan. Tempat sudah diatur dengan baik. Bayangkan andaikata Tuhan menciptakan manusia sebelum Ia memisahkan air dengan daratan. Makanan yaitu tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan (Kejadian 1:29), sudah disediakan lebih dulu”. (Eksposisi Kitab Kejadian : 10).
Semuanya ini membuktikan keberhargaan manusia di mata Allah. Jelaslah bahwa penempatan manusia pada bagian akhir ordo penciptaan bukan suatu kebetulan tanpa makna tetapi suatu merupakan suatu rancangan yang mengandung nilai yang sangat besar. Manusia adalah makhluk yang berharga di mata Allah di antara ciptaan-ciptaan yang lain.
Sungguh betapa berharganya dan betapa pentingnya manusia. Segala sesuatu diciptakan untuk manusia dan bukan manusia untuk segala sesuatu. Stephen Tong menulis : “Bila dilihat dari urutan, yang terakhir itu biasanya yang paling kecil dan paling tidak penting. Mengapa? Karena manusia diciptakan dengan tujuan untuk dapat menikmati segala sesuatu yang telah diciptakan sebelumnya. (Peta dan Teladan Allah; 1995 : 6).
Stephen Tong melanjutkan : “Segala sesuatu telah selesai baru manusia tiba untuk menikmati semuanya itu. Berarti alam semesta tidak lebih penting daripada manusia. Manusia lebih tinggi daripada alam semesta. Kita diciptakan lebih tinggi daripada dunia materi” (ibid). Perhatikan juga komentar Budi Asali : “Allah mencipta atau mengatur segala sesuatu untuk manusia, sebelum manusia diciptakan. Tempat sudah diatur dengan baik. Bayangkan andaikata Tuhan menciptakan manusia sebelum Ia memisahkan air dengan daratan. Makanan yaitu tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan (Kejadian 1:29), sudah disediakan lebih dulu”. (Eksposisi Kitab Kejadian : 10).
Semuanya ini membuktikan keberhargaan manusia di mata Allah. Jelaslah bahwa penempatan manusia pada bagian akhir ordo penciptaan bukan suatu kebetulan tanpa makna tetapi suatu merupakan suatu rancangan yang mengandung nilai yang sangat besar. Manusia adalah makhluk yang berharga di mata Allah di antara ciptaan-ciptaan yang lain.
Itulah yang mau dikatakan Allah. Sebagaimana seorang bayi sebelum lahir sudah disediakan baju, tempat tidur, selimut karena dia lebih penting daripada tempat tidur, popok, selimut, dsb. Segala sesuatu dipersiapkan untuk menyambut kedatangannya. Demikian Allah menciptakan segala sesuatu untuk menyambut kita, yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah. Manusia berkehormatan luar biasa, mempunyai tujuan yang sangat tinggi yang ditetapkan oleh Tuhan. (Stephen Tong; Peta… : 7).
BACA JUGA: 4 HAL BERKENAN DENGAN KEMULIAN ALLAH
Dari sudut pandang manusia, dapat pula ditambahkan bahwa sesungguhnya penciptaan manusia pada hari keenam semata-mata demi kebaikan dan “keamanan” manusia itu sendiri. Dengan kata lain akan berakibat sangat tidak baik bagi manusia itu jika ia tidak diciptakan pada hari keenam setelah segala sesuatu diciptakan. Jika manusia diciptakan terlebih dahulu dari penciptaan terang maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.
Manusia tentu akan hidup dalam kegelapan yang sangat gelap karena terang belum diciptakan, demikian pula benda-benda penerang lainnya apalagi saat itu gelap gulita menutupi samudera raya (Kejadian 1:2). Jika manusia diciptakan terlebih dahulu dari pemisahan laut dan darat maka di mana ia akan tinggal? Bukankah bumi sedang ditutupi oleh samudera raya? Manusia ditetapkan untuk hidup di darat, sedangkan saat itu darat belum ada. Manusia bukanlah ikan yang dapat hidup di air.
Jika manusia diciptakan terlebih dahulu dari tumbuh-tumbuhan maka apakah yang akan dimakannya? Mungkinkah manusia akan mempertahankan hidupnya hanya dengan meminum air yang memang saat itu begitu melimpah? Allah menciptakan manusia pada bagian akhir ordo penciptaan justru demi kebaikan dan keamanan manusia itu sendiri. Meskipun alasan-alasan ini sifatnya sekunder namun dapat dipahami alasan Allah menciptakan manusia pada hari keenam.
Manusia tentu akan hidup dalam kegelapan yang sangat gelap karena terang belum diciptakan, demikian pula benda-benda penerang lainnya apalagi saat itu gelap gulita menutupi samudera raya (Kejadian 1:2). Jika manusia diciptakan terlebih dahulu dari pemisahan laut dan darat maka di mana ia akan tinggal? Bukankah bumi sedang ditutupi oleh samudera raya? Manusia ditetapkan untuk hidup di darat, sedangkan saat itu darat belum ada. Manusia bukanlah ikan yang dapat hidup di air.
Jika manusia diciptakan terlebih dahulu dari tumbuh-tumbuhan maka apakah yang akan dimakannya? Mungkinkah manusia akan mempertahankan hidupnya hanya dengan meminum air yang memang saat itu begitu melimpah? Allah menciptakan manusia pada bagian akhir ordo penciptaan justru demi kebaikan dan keamanan manusia itu sendiri. Meskipun alasan-alasan ini sifatnya sekunder namun dapat dipahami alasan Allah menciptakan manusia pada hari keenam.
Manusia seharusnya bersyukur karena ia diciptakan pada hari keenam di mana semua ciptaan telah diciptakan oleh Allah sehingga akibat-akibat yang dilukiskan di atas tidak sampai terjadi.
BACA JUGA: 4 HAL BERKENAN DENGAN KEMULIAN ALLAH
Tentunya gambaran di atas tidak bermaksud untuk mengurangi kemahakuasaan Allah yang dapat membuat manusia itu dapat melihat dalam kegelapan (jika ia diciptakan terlebih dahulu dari penciptaan terang dan benda-benda penerang), hidup dalam air atau dapat terbang (jika ia diciptakan terlebih dahulu dari pemisahan air dan darat), serta dapat menahan lapar atau tidak mempunyai rasa lapar (jika ia diciptakan terlebih dahulu dari tumbuh-tumbuhan), dan mujizat-mujizat lainnya.
Gambaran atau pengandaian semacam ini tidak boleh dilihat secara terpisah dari alasan primernya yakni bahwa urut-urutan penciptaan di mana manusia diciptakan paling akhir hendak menunjukkan bahwa manusia itu sangat berharga di mata Allah.
Sekarang jelaslah bagi kita bahwa Allah menciptakan kita pada hari keenam sebab semuanya itu demi kebaikan dan kepentingan serta “keamanan” kita di samping alasan primernya yakni bahwa kita sangat berharga di mata-Nya. Merenungkan semuanya ini, baiklah bersama pemazmur kiranya semua manusia berseru : “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kau letakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.
Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan : apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya : kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (Mazmur 8:2-10).
Sekarang jelaslah bagi kita bahwa Allah menciptakan kita pada hari keenam sebab semuanya itu demi kebaikan dan kepentingan serta “keamanan” kita di samping alasan primernya yakni bahwa kita sangat berharga di mata-Nya. Merenungkan semuanya ini, baiklah bersama pemazmur kiranya semua manusia berseru : “Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan. Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kau letakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.
Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan : apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya : kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang; burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan. Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (Mazmur 8:2-10).