MEMBANGUN KEBIASAAN ROHANI
Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th.
otomotif, bisnis |
Kebiasaan (habits) adalah suatu tindakan atau perilaku (yang dilakukan) terus menerus hingga menjadi otomatis. Kebiasaan yang kita lakukan itu dibentuk, bukan dibawa dari lahir. Kebiasaan adalah sebuah perilaku yang dilakukan dengan sengaja dan berkelanjutan. Kita tidak dilahirkan dengan kebiasaan, namun kitalah yang membentuk kebiasaan itu.
Misalnya, kita menggosok gigi di pagi hari dan malam hari, mandi tiga atau dua kali sehari, makan dua atau tiga kali sehari, semua itu adalah hal-hal yang kita lakukan dengan sengaja dan berkelanjutan sehingga menjadi suatu kebiasaan dan bersifat otomatis.[1] Hasil-hasil yang kita dapatkan saat ini menunjukkan apa yang telah kita lakukan di hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun sebelumnya.
Hasil-hasil yang kita dapat adalah ukuran dari perilaku dan tindakan kita yaitu kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan. Misalnya, kekayaan bersih kita menunjukkan ukuran kebiasaan finansial kita, bobot tubuh kita menunjukkan ukuran kebiasaan makan kita, pengetahuan kita merupakan ukuran kebiasaan belajar kita. Kerapian kita merupakan ukuran kebiasaan bersih kita. Hasil adalah hal yang kita dapatkan karena kita melakukannya berulang-ulang menjadi suatu kebiasaan.[2] Demikian juga dengan kebiasaan-kebiasaan rohani tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan hasil dari perilaku dan tindakan yang dengan sengaja dibangun hingga menjadi suatu kebiasaan dan otomatis.
Misalnya, kita menggosok gigi di pagi hari dan malam hari, mandi tiga atau dua kali sehari, makan dua atau tiga kali sehari, semua itu adalah hal-hal yang kita lakukan dengan sengaja dan berkelanjutan sehingga menjadi suatu kebiasaan dan bersifat otomatis.[1] Hasil-hasil yang kita dapatkan saat ini menunjukkan apa yang telah kita lakukan di hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun sebelumnya.
Hasil-hasil yang kita dapat adalah ukuran dari perilaku dan tindakan kita yaitu kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan. Misalnya, kekayaan bersih kita menunjukkan ukuran kebiasaan finansial kita, bobot tubuh kita menunjukkan ukuran kebiasaan makan kita, pengetahuan kita merupakan ukuran kebiasaan belajar kita. Kerapian kita merupakan ukuran kebiasaan bersih kita. Hasil adalah hal yang kita dapatkan karena kita melakukannya berulang-ulang menjadi suatu kebiasaan.[2] Demikian juga dengan kebiasaan-kebiasaan rohani tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan hasil dari perilaku dan tindakan yang dengan sengaja dibangun hingga menjadi suatu kebiasaan dan otomatis.
KEBIASAAN ROHANI
Kebiasaan-kebiasaan rohani adalah perilaku atau tindakan yang dilakukan yang berhubungan dengan kehidupan rohani. Lima kebiasaan-kebiasaan rohani paling mendasar (core) dalam Alkitab adalah pemuridan, persekutuan, ibadah, pelayanan dan penginjilan (Kisah Para Rasul 2:42-47). Kelima hal ini merupakan kebiasaan baru dari orang-orang yang telah lahir baru agar mereka dapat bertumbuh menjadi dewasa secara rohani. Kelima hal tersebut menjadi contoh dari kebiasaan-kebiasaan rohani paling mendasar yang perlu ditiru oleh orang-orang percaya saat ini.
Setiap orang percaya perlu membangun kebiasaan-kebiasaan rohani ini dengan sengaja dan terencana sehingga mereka terus bertumbuh :
(1) Semakin bertambah dewasa melalui pemuridan;
(2) Semakin bertambah akrab melalui persekutuan;
(3) Semakin bertambah sehat melalui ibadah;
(4)Semakin bertambah kuat melalui pelayanan;
(5) Semakin besar melalui penginjilan.[3] Kelima kebiasaan rohani paling mendasar ini digambarkan dalam gereja mula-mula di Yerusalem sebagaimana tercatat dalam Kisah Para Rasul 2:42-47. Pada saat itu orang-orang percaya yang baru ini melakukan hal-hal baru dengan bertekun dalam pengajaran rasul-rasul (pemuridan), bertekun dalam persekutuan (berkumpul memecahkan roti dan berdoa), bertekun dalam ibadah (dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah), bertekun melayani (memberitakan Injil, membagi-bagikan harta, dan bergiliran pelayan ke rumah-rumah), dan bertekun dalam kesaksian (sehingga tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan).
Setiap orang percaya perlu membangun kebiasaan-kebiasaan rohani ini dengan sengaja dan terencana sehingga mereka terus bertumbuh :
(1) Semakin bertambah dewasa melalui pemuridan;
(2) Semakin bertambah akrab melalui persekutuan;
(3) Semakin bertambah sehat melalui ibadah;
(4)Semakin bertambah kuat melalui pelayanan;
(5) Semakin besar melalui penginjilan.[3] Kelima kebiasaan rohani paling mendasar ini digambarkan dalam gereja mula-mula di Yerusalem sebagaimana tercatat dalam Kisah Para Rasul 2:42-47. Pada saat itu orang-orang percaya yang baru ini melakukan hal-hal baru dengan bertekun dalam pengajaran rasul-rasul (pemuridan), bertekun dalam persekutuan (berkumpul memecahkan roti dan berdoa), bertekun dalam ibadah (dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah), bertekun melayani (memberitakan Injil, membagi-bagikan harta, dan bergiliran pelayan ke rumah-rumah), dan bertekun dalam kesaksian (sehingga tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan).
Meneliti Kisah Para Rasul 2:42-47 di atas saya menyimpulkan bahwa nampaknya kata “proskarterountes” merupakan kata kunci di dalam ayat-ayat tersebut. Kata “proskarterountes” adalah kata kerja (verb) present participle active yang menjelaskan kebiasaan jemaat secara konsisten, terus menerus, terfokus dan terarah.[4]Artinya setelah diselamatkan, orang-orang percaya baru tersebut dengan sengaja menundukkan diri mereka dibawah kepemimpinan para rasul untuk melakukan hal-hal baru yang akhirnya menjadi kebiasaan mereka.
Secara harafiah, mereka bertekun (proskartereō) dan sungguh-sungguh menempatkan diri di dalam pengajaran rasul-rasul dan memberi diri mereka mudah diajar (teachable). Kata “teachable” seringkali diartikan dengan “mudah di ajar”. Namun saya mengartikan kata ini dalam dua pengertian, yaitu : mau belajar dan bersedia diajar. Sikap teachable ini adalah sikap dari seorang murid. Karena itu, pemuridan ditempatkan sebagai hal yang utama yang harus menjadi kebiasaan rohani orang percaya. Hal ini selaras dengan perintah Tuhan kepada para Rasul untuk menjadikan semua bangsa murid-muridNya, yang kita kenal dengan Amanat Agung (Matius 28:19-20)
Secara harafiah, mereka bertekun (proskartereō) dan sungguh-sungguh menempatkan diri di dalam pengajaran rasul-rasul dan memberi diri mereka mudah diajar (teachable). Kata “teachable” seringkali diartikan dengan “mudah di ajar”. Namun saya mengartikan kata ini dalam dua pengertian, yaitu : mau belajar dan bersedia diajar. Sikap teachable ini adalah sikap dari seorang murid. Karena itu, pemuridan ditempatkan sebagai hal yang utama yang harus menjadi kebiasaan rohani orang percaya. Hal ini selaras dengan perintah Tuhan kepada para Rasul untuk menjadikan semua bangsa murid-muridNya, yang kita kenal dengan Amanat Agung (Matius 28:19-20)
Saat kita memperhatikan dengan teliti Matius 28:19-20, maka pemuridan nampaknya merupakan metode yang ditetapkan Allah dalam perintah Amanat Agung tersebut untuk menginjili dan menjangkau orang-orang yang belum percaya bagi Kristus. Pemuridan adalah langkah pertama dari kebiasaan dasar rohani yang harus dibangun oleh setiap orang percaya agar dapat masuk ke dalam empat kebiasaan rohani dasar lainnya yaitu : persekutuan, ibadah, pelayanan dan penginjilan sehingga dapat bertumbuh dengan sehat dan mencapai kedewasaan.
Tanpa sikap teachable, yaitu kesediaan untuk belajar dan diajar, kita akan mengalami kesulitan membangun kebiasaan-kebiasaan rohani dasar lainnya tersebut. Beberapa orang memahami bahwa inti amanat agung terletak hanya pada penginjilan. Pemahaman tersebut didasarkan pada penekanan kata “pergilah” yang diletakkan di awal kalimat yang diikuti langkah selanjutnya yaitu menjadikan murid, membaptis dan mengajar. Tetapi jika diperhatikan menurut struktur tata bahasa Yunani ayat 19-20 dari Matius 28 tersebut, maka inti amanat agung justru terletak pada pemuridan.
Perhatikanlah empat kata kerja “pergilah (πορευθεντες poreuthentes), jadikanlah murid (μαθητευσατε mathêteusate), baptiskanlah (βαπτιζοντες baptizontes), dan ajarkanlah (διδασκοντες didaskontes)”. Kata “pergilah, baptiskanlah, ajarkanlah” adalah kata kerja partisip atau bentuk kata kerja bantu. Kata “jadikanlah semua bangsa muridKu{μαθητευσατε παντα τα εθνη; mathêteusate panta ta ethnê; jadikanlah murid(-Ku) semua bangsa-bangsa}” adalah kata kerja imperatif atau kata kerja bentuk perintah. Imperatif artinya suatu panggilan yang berbentuk perintah mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar.
Tanpa sikap teachable, yaitu kesediaan untuk belajar dan diajar, kita akan mengalami kesulitan membangun kebiasaan-kebiasaan rohani dasar lainnya tersebut. Beberapa orang memahami bahwa inti amanat agung terletak hanya pada penginjilan. Pemahaman tersebut didasarkan pada penekanan kata “pergilah” yang diletakkan di awal kalimat yang diikuti langkah selanjutnya yaitu menjadikan murid, membaptis dan mengajar. Tetapi jika diperhatikan menurut struktur tata bahasa Yunani ayat 19-20 dari Matius 28 tersebut, maka inti amanat agung justru terletak pada pemuridan.
Perhatikanlah empat kata kerja “pergilah (πορευθεντες poreuthentes), jadikanlah murid (μαθητευσατε mathêteusate), baptiskanlah (βαπτιζοντες baptizontes), dan ajarkanlah (διδασκοντες didaskontes)”. Kata “pergilah, baptiskanlah, ajarkanlah” adalah kata kerja partisip atau bentuk kata kerja bantu. Kata “jadikanlah semua bangsa muridKu{μαθητευσατε παντα τα εθνη; mathêteusate panta ta ethnê; jadikanlah murid(-Ku) semua bangsa-bangsa}” adalah kata kerja imperatif atau kata kerja bentuk perintah. Imperatif artinya suatu panggilan yang berbentuk perintah mutlak dan tidak bisa ditawar-tawar.
MENJADI SEORANG MURID YANG BERTUMBUH
Kata Yunani untuk “murid” adalah “mathetes” yang menunjuk kepada para pengikut Yesus. Penggunaan paling umum kata “mathetes” adalah untuk menunjukkan para pengikut Kristus. Jadi kata “mathetes” menunjuk kepada para pengikut Yesus atau orang-orang yang mengaku bahwa Yesus adalah Kristus dan Tuhan, mengikuti teladan dan ajaranNya, serta melaksanakan perintah-perintahNya. Kata “mathetes” yang diterjemahkan “murid” ini tercatat dalam Perjanjian Baru sebanyak 269 kali, sedangkan kata “Kristen” dicatat hanya 3 kali, dan kata “orang percaya” hanya 2 kali. Fakta ini memberitahukan kita bahwa betapa pentingnya panggilan Tuhan Yesus bagi kita supaya menjadi murid-Nya yang sejati.
Dengan demikian program-program dan kegiatan-kegiatan gereja lokal tidak boleh lepas dari tugas pemuridan. Seorang murid Kristus yang sejati adalah seorang yang telah diselamatkan. Seorang murid adalah seorang yang telah dilahirkan kembali (regenerasi) oleh Roh Kudus. Mereka percaya dalam hatinya dan mengaku dengan mulutnya bahwa Yesus adalah Tuhan (Roma 10:9-10). Dengan demikian, secara teologis seseorang menjadi murid Kristus ketika kuasa Roh Kudus turun atasnya dan menjadikannya suatu ciptaan baru (2 Korintus 5:17).
Keselamatan itu semata-mata adalah anugerah Allah, yang artinya, tidak ada sedikitpun melibatkan jasa dan usaha manusia (Efesus 2:8-9). Saat seseorang mendapatkan anugerah hidup kekal seketika itu juga ia diselamatkan dan menjadi murid Kristus (Yohanes 3:16; 14:6; Kisah Para Rasul 4:10-12). Dengan demikian, konsep “menjadikan murid” dalam perintah amanat agung adalah memberitakan Injil kepada orang-orang yang tidak percaya, dan kemudian mengajak mereka untuk percaya kepada Kristus dan menyerahkan hidup kepadaNya.
Dengan demikian program-program dan kegiatan-kegiatan gereja lokal tidak boleh lepas dari tugas pemuridan. Seorang murid Kristus yang sejati adalah seorang yang telah diselamatkan. Seorang murid adalah seorang yang telah dilahirkan kembali (regenerasi) oleh Roh Kudus. Mereka percaya dalam hatinya dan mengaku dengan mulutnya bahwa Yesus adalah Tuhan (Roma 10:9-10). Dengan demikian, secara teologis seseorang menjadi murid Kristus ketika kuasa Roh Kudus turun atasnya dan menjadikannya suatu ciptaan baru (2 Korintus 5:17).
Keselamatan itu semata-mata adalah anugerah Allah, yang artinya, tidak ada sedikitpun melibatkan jasa dan usaha manusia (Efesus 2:8-9). Saat seseorang mendapatkan anugerah hidup kekal seketika itu juga ia diselamatkan dan menjadi murid Kristus (Yohanes 3:16; 14:6; Kisah Para Rasul 4:10-12). Dengan demikian, konsep “menjadikan murid” dalam perintah amanat agung adalah memberitakan Injil kepada orang-orang yang tidak percaya, dan kemudian mengajak mereka untuk percaya kepada Kristus dan menyerahkan hidup kepadaNya.
Namun, setelah seseorang percaya kepada Kristus dan diselamatkan, ia tidak secara otomatis menjadi dewasa. Ia harus bertumbuh dalam kasih karunia dan pengenalan akan Tuhan dan JuruselamatNya, Yesus Kristus (2 Petrus 3:18), hingga imannya semakin teguh, berakar kuat dan berbuah lebat dalam Kristus menuju kedewasaan yang penuh (Kolose 2:6-7).
Inilah proses pemuridan, yaitu pengudusan menuju kedewasaan. Karena itu seorang murid Kristus harus terus berusaha bekerjasama dengan Roh Kudus untuk bertumbuh dalam kasih karunia menuju kedewasaan (Bandingkan Roma 5:2; 1 Korintus 15:10; Filipi 2:12; 2 Timotius 2:1; Ibrani 12:15; 13:9; 2 Petrus 3:18).
Menerima keselamatan dan menjadi murid Kristus itu semata-mata adalah anugerah. Seseorang masuk surga bukan karena ia mengikuti pemuridan, melainkan karena ia telah menerima anugerah hidup kekal dalam Kristus. Jadi pemuridan bukanlah semacam “pasport” untuk masuk surga, melainkan suatu proses pengudusan menuju kedewasaan dan menjadi serupa dengan Kristus (Roma 8:29).
Menerima keselamatan dan menjadi murid Kristus itu semata-mata adalah anugerah. Seseorang masuk surga bukan karena ia mengikuti pemuridan, melainkan karena ia telah menerima anugerah hidup kekal dalam Kristus. Jadi pemuridan bukanlah semacam “pasport” untuk masuk surga, melainkan suatu proses pengudusan menuju kedewasaan dan menjadi serupa dengan Kristus (Roma 8:29).
Pemuridan merupakan hasil suatu kerjasama seumur hidup orang percaya dengan Roh Kudus yang tinggal di dalamnya. Kedewasaan itu sekalipun terjamin akan terjadi, namun tidak terjadi secara otomatis. Masing-masing orang percaya mempunyai peran dan tanggung jawab di dalamnya melalui pemuridan.
Tugas seorang murid adalah belajar. Berhenti belajar sama dengan berhenti bertumbuh. Banyak orang yang mengaku sebagai orang Kristen tetapi karakternya tidak berubah. Mengapa? Karena mereka tidak mau belajar dan dimuridkan. Yesaya 1:17 mengatakan, “Berhenti berbuat jahat, belajarlah berbuat baik”. Akibat dari dosa maka manusia tidak perlu belajar berbuat jahat, tetapi untuk berbuat baik setiap orang perlu belajar.
Menjadi murid memang tidak mudah, harus ada penyangkalan diri, tetapi hasilnya luar biasa yaitu kehidupan Yesus semakin nyata dalam hidup kita. Seorang pelatih olah raga mengatakan bahwa jika seseorang ingin mahir dalam salah satu cabang olahraga, ia harus berlatih selama kurang lebih delapan tahun.
Demikian juga dengan Kekristenan. Setelah diselamatkan, setiap orang Kristen wajib menjalani pemuridan menuju kedewasaan rohani dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan rohani. Menjadi dewasa rohani tidak terjadi secara instan, melainkan suatu proses. Karena itu, pemuridan adalah suatu proses pertumbuhan menuju kedewasaan rohani. Tujuan kedewasaan rohani adalah menjadi serupa dengan Kristus dengan cara menjadi pengikut Kristus setiap hari dalam pertumbuhan dan perkembangan yang sehat dan baik (Bandingkan: Roma 8:29; Galatia 4:19; Efesus 4:13-17).
Walaupun anugerah keselamatan yang diberikan itu sama, fasilitas yang disediakan dan diberikan Allah untuk bertumbuh juga sama, namun kualitas pertumbuhan rohani setiap orang percaya bisa berbeda satu dengan lainnya.[5] Mengapa? Karena dalam pertumbuhan rohani menuju kedewasaan melibatkan peran dan tanggung jawab setiap individu orang percaya. Dengan demikian pemuridan merupakan proses yang membawa orang percaya meninggalkan sifat bayi dan kanak-kanak rohani bertumbuh menjadi dewasa rohani (Efesus 4:13-17) dan menjadi serupa dengan Kristus (Roma 8:29; Galatia 4:19).
Demikian juga dengan Kekristenan. Setelah diselamatkan, setiap orang Kristen wajib menjalani pemuridan menuju kedewasaan rohani dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan rohani. Menjadi dewasa rohani tidak terjadi secara instan, melainkan suatu proses. Karena itu, pemuridan adalah suatu proses pertumbuhan menuju kedewasaan rohani. Tujuan kedewasaan rohani adalah menjadi serupa dengan Kristus dengan cara menjadi pengikut Kristus setiap hari dalam pertumbuhan dan perkembangan yang sehat dan baik (Bandingkan: Roma 8:29; Galatia 4:19; Efesus 4:13-17).
Walaupun anugerah keselamatan yang diberikan itu sama, fasilitas yang disediakan dan diberikan Allah untuk bertumbuh juga sama, namun kualitas pertumbuhan rohani setiap orang percaya bisa berbeda satu dengan lainnya.[5] Mengapa? Karena dalam pertumbuhan rohani menuju kedewasaan melibatkan peran dan tanggung jawab setiap individu orang percaya. Dengan demikian pemuridan merupakan proses yang membawa orang percaya meninggalkan sifat bayi dan kanak-kanak rohani bertumbuh menjadi dewasa rohani (Efesus 4:13-17) dan menjadi serupa dengan Kristus (Roma 8:29; Galatia 4:19).
PONDASI MEMBANGUN KEBIASAAN ROHANI
Perubahan identitas dari “manusia lama” ke “manusia baru” di dalam Kristus harus menjadi pondasi bagi kita dalam membangun kebiasaan-kebiasaan rohani. Membangun kebiasaan-kebiasaan rohani tanpa identitas yang baru dalam Kristus akan sama seperti membangun rumah di atas pasir yang tidak berpondasi. Secara lahiriah orang yang belum lahir baru mungkin beribadah tetapi sebenarnya hatinya jauh dari Allah dan kebenaran.[6]Jadi, identitas sebagai manusia baru tersebutlah yang harus menjadi kiblat (arah) dalam membentuk perilaku dan kebiasaan-kebiasaan rohani kita. Ada hubungan sebab akibat yang signifikan antara identitas baru kita dalam Kristus dengan perilaku dan kebiasaan-kebiasaan rohani kita.
Hubungan sebab akibat ini oleh para pakar Alkitab dan teologi Perjanjian Baru disebut sebagai fenomena relasi indikatif dan imperatif, [7] dimana indikatif mendahului imperatif.[8]Karena indikatif mendahului imperatif maka ini artinya adalah bahwa identitaskita (hidup baru) mendahului perilaku dan kebiasaan-kebiasaan baru. Kita tidak boleh membalik urutan indikatif-imperatif (vertikal-horisontal) ini menjadi imperatif-indikatif (horisontal-vertikal)! karena di dalam Alkitab selalu indikatif mendahului imperatif. Karena itulah dalam tulisan ini saya mengarahkan kita untuk membangun kembali kebiasaan-kebiasaan rohani berbasis identitas sesuai dengan pola Perjanjian Baru.
Hubungan sebab akibat ini oleh para pakar Alkitab dan teologi Perjanjian Baru disebut sebagai fenomena relasi indikatif dan imperatif, [7] dimana indikatif mendahului imperatif.[8]Karena indikatif mendahului imperatif maka ini artinya adalah bahwa identitaskita (hidup baru) mendahului perilaku dan kebiasaan-kebiasaan baru. Kita tidak boleh membalik urutan indikatif-imperatif (vertikal-horisontal) ini menjadi imperatif-indikatif (horisontal-vertikal)! karena di dalam Alkitab selalu indikatif mendahului imperatif. Karena itulah dalam tulisan ini saya mengarahkan kita untuk membangun kembali kebiasaan-kebiasaan rohani berbasis identitas sesuai dengan pola Perjanjian Baru.
Sebagai tambahan untuk diketahui, satu ciri penting dari semua surat yang di tulis rasul Paulus adalah bahwa ia selalu memulai dengan ajaran yang bersifat doktrinal kemudian beralih ke dalam penerapan praktis dari doktrin tersebut. Dengan menggunakan istilah gramatikal, Paulus selalu memulai dari indikatif vertikal (apa yang telah dilakukan Allah dalam Kristus bagi kita), kemudian segera diikuti dengan imperatif horisontal (bagaimana cara kita harus hidup dan berperilaku dalam apa yang telah Allah lakukan bagi kita di dalam Kristus).
Urutan (indikatif vertikal - imperatif horisontal) dalam pengajaran rasul Paulus ini sangat penting! Rasul Paulus benar-benar mengetahui bahwa cara yang benar untuk kita berpikir tentang kehidupan Kristen kita adalah selalu dimulai dengan vertikal, kemudian bergerak ke yang horisontal.[9]
Semakin kita sadar dan percaya akan identitas baru kita yang kita miliki dalam Kristus, semakin perilaku dan kebiasaan-kebiasaan kita akan sesuai dengan identitas tersebut. Sebagai contoh, Paulus menulis surat kepada orang-orang Korintus dan menyebut mereka sebagai orang-orang kudus (1 Korintus 1:2), namun jika seseorang membaca surat tersebut ia akan terkejut melihat betapa berdosanya orang-orang kudus tersebut.
Semakin kita sadar dan percaya akan identitas baru kita yang kita miliki dalam Kristus, semakin perilaku dan kebiasaan-kebiasaan kita akan sesuai dengan identitas tersebut. Sebagai contoh, Paulus menulis surat kepada orang-orang Korintus dan menyebut mereka sebagai orang-orang kudus (1 Korintus 1:2), namun jika seseorang membaca surat tersebut ia akan terkejut melihat betapa berdosanya orang-orang kudus tersebut.
Hal ini karena kita tahu bahwa jemaat di Korintus terdiri dari beberapa orang Yahudi tetapi kebanyakan adalah orang bukan Yahudi yang dahulu menyembah berhala dan hidup berbagai-bagai perbuatan jahat dan berdosa. Kenyataan ini kelihatannya seperti kontradiksi, tetapi sebenanya tidak demikian, apabila kita menyadari paradoksal ini: bahwa orang-orang percaya di Korintus telah dikuduskan (definitif sebagai identitas baru mereka) dan terus menerus dikuduskan (progresif) setiap hari, dari hari ke hari.
MEMBANGUN KEBIASAAN ROHANI
Membangun kebiasaan rohani adalah suatu cara dan proses yang dilakukan (kata kerja) dengan sengaja dan terencana untuk menghasilkan perilaku kehidupan rohani tertentu yang kokoh dan berkualitas. Kita diselamatkan hanya karena anugerah Allah oleh iman saja dalam Kristus, tetapi kebiasaan-kebiasaan rohani harus dibangun secara sengaja dan membutuhkan upaya dari kita.
Kebiasaan-kebiasaan rohani paling mendasar seperti : pemuridan, persekutuan, ibadah, pelayanan dan penginjilan seperti yang telah disebutkan di atas harus dibangun dengan sengaja hingga menjadi otomatis. Kebiasaan-kebiasaan ini kita lakukan bukan dalam rangka untuk diselamatkan tetapi dalam rangka mengerjakan keselamatan yang sudah kita terima dan miliki sebagai karya Allah dalam diri dan hidup kita (Efesus 2:8-10; Filipi 2:12-13).
Jadi paradigma yang harus dianut adalah bahwa kita menjadikan pemuridan, persekutuan, ibadah, pelayanan dan penginjilan sebagai kebiasaan-kebiasaan rohani karena kita menyadari bahwa itu merupakan akibat (tanda ataau bukti) dari identitas baru yang kita terima sebagai anak-anak Allah melalui iman dalam Yesus Kristus.
Jadi paradigma yang harus dianut adalah bahwa kita menjadikan pemuridan, persekutuan, ibadah, pelayanan dan penginjilan sebagai kebiasaan-kebiasaan rohani karena kita menyadari bahwa itu merupakan akibat (tanda ataau bukti) dari identitas baru yang kita terima sebagai anak-anak Allah melalui iman dalam Yesus Kristus.
Tepat seperti yang dijelaskan oleh Herman Riddersbos bahwa indikatif (identitas) merupakan hal yang paling mendasar dari ketaatan baru (imperatif). Imperatif dibangun di atas dasar indikatif, imperatif mengikuti indikatif dan imperatif merupakan tanda bagi hadirnya indikatif. Karena indikatif mendahului imperatif maka itu artinya identitaskita (hidup baru) harus mendahului ketaatan (kebiasaan-kebiasaan baru).[10] Dengan kata lain, kebiasaan-kebiasaan rohani yang kita lakukan merupakan indikasi dan tanda dari identitas baru yang kita miliki dalam Kristus. Kebiasaan-kebiasaan rohani yang kita lakukan merupakan pengaruh yang mengalir dari identitas kita.
Kelahiran baru merupakan pemberian identitas baru kepada kita oleh Allah. Ini merupakan awal atau langkah pertama dari proses pembaharuan hidup. Langkah selanjutnya, orang percaya harusmengusahakan hidup suci, mengejar kekudusan secara terus menerus dengan membangun kebiasaan-kebiasaan rohani.
Alkitab menyebutnya dengan istilah “pengudusan”, yang bersifat dinamis bukan statis, yang progresif bukan seketika; yang memerlukan pembaharuan, pertumbuhan dan transformasi terus menerus hingga mencapai tarap kedewasaan. Rasul Paulus meminta kepada jemaat di Roma supaya mereka “demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati” (Roma 12:1).
Paulus juga mengingatkan orang percaya “supaya kamu dibaharui (ananeousthai) di dalam roh dan pikiranmu” (Efesus 4:23). Bentuk infinitif ananeousthai yang diterjemahkan dengan “dibaharui” adalah bentuk present tense yang menunjuk kepada suatu proses yang berkelanjutan. Jadi, orang-orang percaya yang telah lahir baru dan menjadi ciptaan baru di dalam Kristus masih diperintahkan untuk mematikan perbuatan-perbuatan daging dan segala sesuatu yang berdosa di dalam diri mereka berupa keinginan-keinginan daging (Roma 8:13; Kolose 3:5), serta menyucikan diri dari segala sesuatu yang mencemari tubuh dan roh (2 Korintus 7:1).
Paulus juga mengingatkan orang percaya “supaya kamu dibaharui (ananeousthai) di dalam roh dan pikiranmu” (Efesus 4:23). Bentuk infinitif ananeousthai yang diterjemahkan dengan “dibaharui” adalah bentuk present tense yang menunjuk kepada suatu proses yang berkelanjutan. Jadi, orang-orang percaya yang telah lahir baru dan menjadi ciptaan baru di dalam Kristus masih diperintahkan untuk mematikan perbuatan-perbuatan daging dan segala sesuatu yang berdosa di dalam diri mereka berupa keinginan-keinginan daging (Roma 8:13; Kolose 3:5), serta menyucikan diri dari segala sesuatu yang mencemari tubuh dan roh (2 Korintus 7:1).
Rasul Paulus mendorong Timotius untuk agar selalu menyucikan dirinya terus menerus, sebab “Jika seorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia. Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Timotius 2:21-22).
Selanjutnya, rasul Paulus mengingatkan “..karena kamu telah menanggalkan (apekdysamenoi) manusia lama (palaion anthropos) serta kelakuannya, dan telah mengenakan (endysamneoi) manusia baru (kainon anhtropos) yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kolose 3:9-10). Paulus dalam ayat ini bukan bermaksud memberitahukan bahwa orang-orang percaya di Kolose, sekarang atau setiap hari harus menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru berulang-ulang kali, tetapi Paulus menegaskan bahwa mereka telah mengalaminya pada saat regenerasi dan telah melakukannya perubahan ini ketika mereka pada saat konversi menerima dengan iman apa yang telah dikerjakan Kristus bagi mereka.
Kata Yunani menanggalkan (apekdysamenoi) dan mengenakan (endysamneoi) menggunakan bentuk aorist tense yang mendeskripsikan kejadian seketika; Jadi Paulus sedang merujuk kepada apa yang telah dilakukan orang percaya di Kolose ini di masa yang lalu. Lalu apakah yang dimaksud Paulus dengan frase “terus menerus diperbaharui”? Walaupun orang-orang percaya adalah pribadi-pribadi baru, akan tetapi mereka belumlah mencapai kesempurnaan yang tanpa dosa; mereka masih harus bergumul melawan dosa.
Kata Yunani menanggalkan (apekdysamenoi) dan mengenakan (endysamneoi) menggunakan bentuk aorist tense yang mendeskripsikan kejadian seketika; Jadi Paulus sedang merujuk kepada apa yang telah dilakukan orang percaya di Kolose ini di masa yang lalu. Lalu apakah yang dimaksud Paulus dengan frase “terus menerus diperbaharui”? Walaupun orang-orang percaya adalah pribadi-pribadi baru, akan tetapi mereka belumlah mencapai kesempurnaan yang tanpa dosa; mereka masih harus bergumul melawan dosa.
Pembaharuan ini merupakan proses seumur hidup. Ini menjelaskan kepada kita bahwa setelah lahir baru kita harus terus menerus mengalami proses pengudusan mencakup pengudusan pikiran, kehendak, emosi, dan hati nurani.
BAGAIMANA MEMBANGUN KEBIASAAN ROHANI
Ada tiga lapisan perubahan perilaku orang percaya, dari dalam keluar: (1) Lapisan pertama adalah perubahan identitas, hal ini terkait dengan identitas kehidupan baru yang kita terima dari Allah dalam Kristus. Ini sangat terkait dengan keyakinan kita tentang citra diri dan penilaian kita terhadap diri kita. (2) Lapisan kedua adalah proses. Ini terkait dengan mengubah kebiasaan dan sistem yang lama ke yang sistem yang baru, dari gaya hidup ke dalam gaya hidup baru. (3) Lapisan ketiga adalah hasil yaitu hal-hal yang kita dapatkan, merupakan ganjaran dari hal-hal yang kita lakukan. Ringkasnya, identitas kita terkait hal yang kita yakini, proses terkait apa yang akan kita lakukan, dan hasil adalah hal-hal yang kita dapatkan.[11]
Hasil-hasil yang kita dapatkan hari ini adalah akumulasi dari hal-hal kecil yang kita lakukan berulang-ulang setiap hari. Jangan pernah meremehkan hal-hal kecil yang kita lakukan berulang-ulang dan terus menerus saat ini (entah itu hal-hal baik ataupun buruk), karena hal-hal inilah yang akan menentukan masa depan kita.
Perubahan yang dihasilkan pada suatu hari tertentu mungkin terkesan kecil, tetapi dampak yang terjadi setelah berhari-hari, berbulan-bulan dan bertahun-tahun kemudian bisa begitu dasyat, entah membaikan atau menghancurkan. Setiap kali kita mengulangi kebiasaan baik hari-demi hari akan bermuara pada kehidupan yang baik, sebaliknya setiap kali kita mengulangi kebiasaan buruk pasti akan bermuara pada kehidupan yang buruk.
Demikian juga dengan kehidupan rohani baik (bertumbuh sehat, kuat dan dewasa) adalah produk (hasil) dari kebiasaan sehari-hari, bukan transformasi yang terjadi hanya sekali seumur hidup. Karena itu yang terpenting adalah apakah hal-hal kecil yang kita lakukan saat ini menempatkan pada jalur (arah) yang benar untuk pertumbuhan rohani kita. Kita harus jauh lebih peduli para arah tujuan kita dari pada hasil-hasil saat ini. Jika arah yang kita tempuh benar maka kita pasti akan sampai pada tujuan (hasil).
Demikian juga dengan kehidupan rohani baik (bertumbuh sehat, kuat dan dewasa) adalah produk (hasil) dari kebiasaan sehari-hari, bukan transformasi yang terjadi hanya sekali seumur hidup. Karena itu yang terpenting adalah apakah hal-hal kecil yang kita lakukan saat ini menempatkan pada jalur (arah) yang benar untuk pertumbuhan rohani kita. Kita harus jauh lebih peduli para arah tujuan kita dari pada hasil-hasil saat ini. Jika arah yang kita tempuh benar maka kita pasti akan sampai pada tujuan (hasil).
Sebaliknya, arah yang salah menyebabkan kita sampai ke tujuan (tempat) yang salah. James Clear menggambarkan dampak dari sebuah perubahan dalam kebiasaan mirip dengan pengubahan arah pesawat meskipun hanya beberapa derajat. Sebuah pesawat yang terbang dari Los Angelas ke New York ketika pilot dengan sengaja merubahan arah pesawat 3,5 derajat saja lebih ke Selatan maka dipastikan akan mendarat di Wasington DC, bukan di New York. Begitu pula suatu perubahan kecil dalam kebiasaan sehari-hari dapat membuat kita tiba di sasaran yang berbeda.[12]
Untuk membangun (dan mempertahan)kebiasaan-kebiasaan rohani yang baik kita hanya perlu memperhatikan dan melakukan hal-hal berikut ini
1. Miliki keyakinan yang benar atas identitas baru kita dalam Kristus. Keyakinan ini menjadi pendorong dalam membentuk kebiasaan-kebiasaan rohani sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di atas.
2. Fokus pada tujuan yang jelas. Tanpa tujuan yang jelas kita akan menjadi bingung, cenderung terus menerus mengubah arah, pekerjaan, hubungan, kebiasaan, dan lain-lain. Tanpa tujuan yang jelas akan banyak waktu dan energi yang terbuang sia-sia. Tujuan mengarahkan seluruh energi dan waktu kita secara efektif.[13] Terlalu banyak kegiatan menyebabkan tidak fokus dan merugikan diri sendiri. Kita harus ingat bahwa selalu lebih banyak yang direncanakan dibanding dengan waktu yang tersedia untuk melaksanakannya. Rumus dari pertumbuhan rohani adalah “kecepatan dikalikan waktu sama dengan jarak”.
Artinya kecepatan seseorang bertumbuh dalam kehidupan rohani dalam sejumlah waktu yang diberikan kepadanya akan menentukan seberapa jauh ia sudah dalam perjalanan menuju kedewasaan. Sebagai contoh, seorang yang baru diselamatkan, menjadi murid Kristus yang berkomitmen, dengan penuh semangat dan gairah, mudah diajar dan mau belajar, tekun belajar firman, berdoa dan beribadah, akan bertumbuh menuju kedewasaan lebih cepat dibandingkan dengan seseorang yang sudah diselamatkan dan menjalani kehidupan Kristen selama sepuluh tahun, namun membuang waktu dengan banyak hal yang sia-sia, yang tidak menunjang pertumbuhan rohaninya.
Rasul Paulus menjelaskan rumus pertumbuhan ini kepada jemaat di Korintus ketika ia berkata, “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya. Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi?” (1 Korintus 3:1-3).[14]
Artinya kecepatan seseorang bertumbuh dalam kehidupan rohani dalam sejumlah waktu yang diberikan kepadanya akan menentukan seberapa jauh ia sudah dalam perjalanan menuju kedewasaan. Sebagai contoh, seorang yang baru diselamatkan, menjadi murid Kristus yang berkomitmen, dengan penuh semangat dan gairah, mudah diajar dan mau belajar, tekun belajar firman, berdoa dan beribadah, akan bertumbuh menuju kedewasaan lebih cepat dibandingkan dengan seseorang yang sudah diselamatkan dan menjalani kehidupan Kristen selama sepuluh tahun, namun membuang waktu dengan banyak hal yang sia-sia, yang tidak menunjang pertumbuhan rohaninya.
Rasul Paulus menjelaskan rumus pertumbuhan ini kepada jemaat di Korintus ketika ia berkata, “Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus. Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarang pun kamu belum dapat menerimanya. Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi?” (1 Korintus 3:1-3).[14]
BACA JUGA: KEBIASAAN #2: MENYANGKAL DIRI
Agar lebih fokus kita perlu mempertimbangkan Arahkan tujuan pada sesuatu yang tinggi (nilainya) daripada sesuatu yang mudah tapi kurang bernilai. Lalu apakah tujuan kita? Keseluruhan tujuan kita adalah memuliakan Allah.[15] Bahkan seluruh peristiwa dunia ciptaanNya dirancang untuk menyatakan kemuliaan Allah.
Sebagiamana tujuan utama hidup manusia untuk memuliakan Tuhan, demikian juga orang percaya secara pribadi maupun bagi gereja secara keseluruhan! Tuhan memiliki berbagai cara untuk menyatakan kemuliaanNya. Salah satu cara yang ditentukannya adalah melalui gereja, suatu entitas yang Allah buat untuk mempertunjukkan kemuliaanNya. Alkitab berkali-kali menunjukkan ini sebagai tujuan utama gereja (Roma 15:6,9; Efesus 1:5-6,12,14,18; 3:21; 2 Tesalonika 1:12; 1 Petrus 4:11). Tujuan ini begitu mendasar sehingga bila dikerjakan dengan setia, maka tujuan-tujuan lainnya dengan sendirinya juga akan telaksana.
3. Komitmen dan konsisten. Untuk membangun kehidupan rohani yang kuat diperlukan komitmen dan konsisten melakukannya hingga menjadi suatu kebiasaan. Lakukanlah terus menerus, berulang-ulang, dan direncanakan hal-hal yang dasar seperti : pemuridan, persekutuan, ibadah, pelayanan dan penginjilan sehingga menjadi suatu kebiasaan yang otomatis. Membangun kebiasaan-kebiasaan rohani ini membutuhkan waktu berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Namun harus diingat bahwa apa pun yang kita lakukan (atau pikirkan) berulang-ulang akan menjadi kebiasaan (habits) kita suatu ketika nanti.
Menurut University College London, dibutuhkan rata-rata 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan karena sifat manusia adalah cepat merasa nyaman. Karena itu perubahan adalah masalah kesabaran, kemauan dan konsistensi yang dipraktekkan secara sadar untuk sekitar 66 hari.
Menurut University College London, dibutuhkan rata-rata 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan karena sifat manusia adalah cepat merasa nyaman. Karena itu perubahan adalah masalah kesabaran, kemauan dan konsistensi yang dipraktekkan secara sadar untuk sekitar 66 hari.
Selanjutnya, apabila kita sudah terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan rohani tersebut, maka selanjutnya pertahankan kebiasaan-kebiasaan itu dan jangan pernah sekalipun berpikir untuk berhenti, meskipun hanya sebentar. Sebab jika kebiasaan-kebiasaan itu dihentikan, maka cepat atau lambat segera akan mulai pudar. Jika sudah begitu, lambat laun akan berhenti dan kita akan malas untuk memulainya lagi dari awal. Untuk itu, lakukan kebiasaan-kebiasaan rohani tersebut terus-menerus, tanpa terputus karena “... dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia” (1 Korintus 15:58).
REFERENSI
Barna, George. Leaders On Leadership: Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, terj. Fabiola Hedrati. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2009.
Boa, Kenneth, dkk. HandbookTo Leadership: Panduan Kepemimpinan Alkitabiah, terj. Endan Wilandari. Jakarta: Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013.
Chamblin, J. Knox. Paulus dan Diri: Ajaran Rasul Paulus Bagi Keutuhan Pribadi, terj. Jakarta: Penerbit Momentum, 2006.
Clear, James. Atomic Habits: Cara Mudah dan Terbukti Untuk Membentuk Kebiasaan Baik dan Menghilangkan Kebiasaan Buruk, terj. Alex Tri Kantjono Wododo: Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019.
Ezra Jakoep. Success Through Character: Sukses Melalui Karakter. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, 2006.
Gillham, Bill. Jaminan Seumur Hidup, terj. Michael Wong. Jakarta: Penerbit Light Publising, 2014.
Horton, Michael S. The Gospel Driven Life, terj. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, 2011.
Hoekema, Anthony A. Diselamatkan Oleh Anugerah, terj. Irwan Tjulianto. Jakarta: Penerbit Momentum, 2010
Ledd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru jilid 1 & 2, terj. Urbanus Selan. Bandung: Penerbit kalam Hidup, 1999.
Maxwell, John C. Ledership Gold, terj. Budijanto. Jakarta: Penerbit Immanuel, 2010.
Peters, George W. Teologi Pertumbuhan Gereja, terj. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2013.
Ridderbos, Herman. Paul: An Outline of His Theology, terj. Hendry Ongkowijaya. Jakarta: Penerbit Momentum, 2004.
Tchividjian, Tullian. Yesus Ditambah Nihil Sama Dengan Segalanya, terj. Michael Wong. Jakarta: Penerbit Light Publising, 2013.
Warren, Rick. The Purpose Driven Church: Gereja Yang Digerakkan oleh Tujuan, terj. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2012.
Warren, Rick. The Purpose Driven Life: Untuk Apa Aku Ada di dunia ini, Expanded Edition, terj. Ihut. Jakarta: Penerbit Immanuel, 2013.
[1] Saya merekomendasi buku yang ditulis oleh James Clear seorang pakar peneliti kebiasaan manusia. Lihat: Clear, James. Atomic Habits: Cara Mudah dan Terbukti Untuk Membentuk Kebiasaan Baik dan Menghilangkan Kebiasaan Buruk, terj. Alex Tri Kantjono Wododo: Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2019.
[2] Ibid, 22.
[3] Warren, Rick. The Purpose Driven Church: Gereja Yang Digerakkan oleh Tujuan, terj. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2012), 54-6.
[4] Pemunculan kata “bertekun” (proskartereō, ayat 42, 46) dan penggunaan berbagai kata kerja imperfek dalam teks Yunani (ēsan, 2:42, 44; egineto, 2:43; eichon, 2:44; epipraskon, 2:45; diemerizon, 2:45; eichen, 2:45; metelambanon, 2:46; prosetithei, 2:47) menunjukkan bahwa apa yang dilakukan gereja mula-mula di 2:42-47 dilakukan terus-menerus di masa lalu.
[5] Kebanyakan atau hampir dari seluruh manusia itu cerdas. Bahkan hasil salah satu riset di Amerika menjelaskan bahwa 80 % manusia itu cerdas, 5 % itu jenius dan 15 % ketegori lain-lain.
[6] Rasul Paulus tidak melihat bahwa hidup baru itu sebagai usaha manusia itu sendiri. Karena rasul Paulus sendiri menjelaskan bahwa manusia telah mati secara rohani dan tidak mampu menghidupkan dirinya sendiri (Efesus 2:5). Sebab bagaimana mungkin orang mati dapat menghidupkan dirinya sendiri? Ia tidak bisa melakukannya sendiri. Maka jelaslah bahwa manusia memerlukan suatu perubahan yang radikal dan menyeluruh yang memampukannya untuk dapat kembali melakukan hal yang benar menurut pandangan Tuhan. Perubahan yang radikal itu adalah kehidupan rohani yang disebut dengan “kelahiran baru” di dalam Kristus (Efesus 2:5). Kelahiran baru merupakan suatu perubahan radikal dari kematian rohani menjadi kehidupan rohani yang dikerjakan oleh Roh Kudus yang memampukan manusia yang telah jatuh ke dalam dosa untuk dapat kembali melakukan hal yang benar menurut pandangan Tuhan. Penjelasan lebih lanjut baca: Hoekema, Anthony A. Diselamatkan Oleh Anugerah, terj. Irwan Tjulianto. (Jakarta: Penerbit Momentum, 2010), 121-35.
[7] Pakar Perjanjian Baru lainnya lebih suka menyebut fenomena indikatif-imperatif ini sebagai “paradoks dialektikal” atau “antinomi”.
[8] ketika meneliti ketaatan baru kehidupan Kristen dan relasinya dengan hidup baru (regenerasi) dalam Kristus, saya sangat diberkati oleh karya dua pakar Perjanjian Baru, yaitu profesor Herman Ridderboss melalui karya yang berjudul Paulus: Pemikiran Utama Theologinya (Penerbit Momentum Jakarta), dan profesor George Eldon Ledd melalui karyanya Teologi Perjanjian Baru (penerbit Kalam Hidup Bandung). Di dalam kedua buku karya terbaik dua pakar Perjanjian Baru tersebut saya mendapatkan suatu pemahaman teologis tentang relasi hidup baru dalam Kristus dan ketaatan baru yang diperkenalkan sebagai fenomena relasi indikatif dan imperatif. Lihat: Ledd, George Eldon. Teologi Perjanjian Baru jilid 1 & 2, terj. Urbanus Selan. (Bandung: Penerbit kalam Hidup, 1999), 308-10; Ridderbos, Herman. Paul: An Outline of His Theology, terj. Hendry Ongkowijaya. (Jakarta: Penerbit Momentum, 2004), 265-70.
[9] Tchividjian, Tullian. Yesus Ditambah Nihil Sama Dengan Segalanya, terj. Michael Wong. (Jakarta: Penerbit Light Publising, 2013), 67.
[10] Ridderbos, Paul: An Outline of His Theology, 265-70.
[11] Clear, Atomic Habits, 34-43
[12] Ibid, 20-1.
[13] Warren, Rick. The Purpose Driven Life: Untuk Apa Aku Ada di dunia ini, Expanded Edition, terj. Ihut. (Jakarta: Penerbit Immanuel, 2013), 19-24.
[14] Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa rasul Paulus mengharapkan jemaat di Korintus telah menjadi dewasa secara rohani dalam suatu jangka waktu yang telah dilewati, tetapi kenyataannya, mereka masih bertindak seperti bayi dalam kerohanian. Rasul Paulus ke Korintus sekitar tahun 50 M, dan melalui pelayanan penginjilannya ada orang-orang di tuntun dan percaya kepada Kristus. Kira-kira tahun 55 M, yaitu kira-kira lima atau enam tahun kemudian, rasul Paulus menulis surat kepada jemaat di Korintus, yaitu surat 1 Korintus. Dalam surat itu ia menekankan bahwa seharusnya jemaat di Korintus telah menjadi dewasa bila ditinjau dari sudut waktu yang telah dilewati, namun kenyataan mereka masih bayi rohani. Artinya, waktu yang seharus cukup untuk proses pertumbuhan rohani tidak dimanfaat dengan sebaik-baiknya untuk bertumbuh. Sehingga di dalam 1 Korintus 2:14 – 3:3, Paulus nampaknya memberikan empat golongan manusia yang berhubungan dengan kehidupan rohaninya : (1) Manusia duniawi (1 Korintus 2:14), yaitu orang non Kristen, yang belum lahir baru, dan karena itu tidak dapat memahami hal-hal rohani yang dari Allah; (2) Orang Kristen bayi (1 Korintus 3:1), yaitu orang yang telah dilahirkan baru dalam Kristus dan diselamatkan. Bayi-bayi secara rohani ini akan bertumbuh dan berkembangan menuju kedewasaan apabila mereka mengikuti proses pemuridan yang sehat dan baik; (3) Orang Kristen Dewasa (1 Korintus 2:15-16), yaitu orang Kristen yang memiliki pikiran Kristus, dan memiliki panca indera yang terlatih sehingga dapat mengadakan pilihan berdasarkan pengetahuan tentang Allah (Bandingkan Ibrani 5:14). Mereka adalah murid yang telah bertumbuh dan berkembang dengan sehat dan baik dalam proses pemuridan; dan (4) Orang Kristen Stagnan (1 Korintus 3:2-3), yaitu orang Kristen yang tidak bertumbuh atau hanya sedikit bertumbuh. Orang Kristen stagnan masih tetap bayi dan atau kanak-kanak rohani walaupun telah mendapat waktu dan kesempatan yang cukup untuk menjadi dewasa (Bandingkan Ibrani 4:11-13). Mereka sudah diselamatkan, namun masih berpola pikir dan bertindak seperti orang duniawi. Mereka menolak panggilan dan tantangan dalam proses pemuridan. Penulis kitab Ibrani menjelaskan demikian, “Tentang hal itu banyak yang harus kami katakan, tetapi yang sukar untuk dijelaskan, karena kamu telah lamban dalam hal mendengarkan. Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras. Sebab barang siapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat (Ibrani 5:11-14).
[15] apakah yang dimaksud dengan memuliakan Allah itu? Memuliakan Allah bukan berarti menjadikan Allah mulia, karena memang Allah itu sudah mulia. Ia sudah mulia sejak dari kekekalan, dan tidak ada satu pun mahluk ciptaanNya yang dapat menjadikanNya lebih mulia. Dengan demikian yang dimaksudkan dengan memuliakan Allah hendaknya dimengerti sebagai mencerminkan kemuliaan Tuhan. Kita dapat menemukan ini dalam Mazmur 19:2, dikatakan bahwa, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tanganNya”. Dunia ciptaan Allah yang indah ini bagaikan sebuah cermin. Bila kita melihat ke dalam cermin itu, kita bisa melihat kemuliaan Allah. Jadi tujuan langit dan bumi adalah untuk menunjukkan kemuliaan Allah. MEMBANGUN KEBIASAAN ROHANI. https://teologiareformed.blogspot.com/