PENDIDIKAN SEKS DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN DAN SAINTIFIK (MATIUS 5:27-29)

Pdt.Samuel T. Gunawan,M.Th
PENDIDIKAN SEKS DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN DAN SAINTIFIK
otomotif, bisnis
“(Matius 5:27) Kamu telah mendengar firman: Jangan berzina. (5:28) Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina dengan dia di dalam hatinya. (5:29) Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. (5:30) Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka” (Matius 5:27-29). 

PENDAHULUAN

Saat ini kita hidup di dalam masyarakat yang berorientasi pada seks. Kita dapat mengamati, materi pembicaraan yang paling menarik perhatian di media sosial, surat kabar, majalah, televisi, dan lainnya adalah tentang seks. Kita juga dapat menemukan, di perkumpulan kaum bapa, kumpulan ibu-ibu, di tempat nongkrongnya kawula muda, di warung kopi, pasar, kantor, dan sebagainya, diwarnai dengan percakapan dan canda mengenai seks.

Seksualisme yang menganggungkan dan menyalahgunakan seks, serta kekerasan dan pelecehan seksual telah melanda banyak orang. Sebagai contoh, di Amerika Serikat peristiwa inses di antara saudara telah dilaporkan sebanyak 74 % kasus dengan saudara bukan sesama jenis, 26 % dengan sesama jenis, 15 % di antara saudara laki-laki, dan 10 % di antara saudara perempuan. Selanjutnya, 1 di antara 6 wanita dan 1 di antara 33 pria Amerika Serikat melaporkan pernah akan diperkosa atau sudah pernah di perkosa. Diperkirakan di antara 20 - 25 % mahasiswa di Amerika Serikat pernah akan atau sudah pernah diperkosa ketika masih kuliah, sedangkan di kalangan siswa sekolah menengah atas sekitar 8 % dilaporkan pernah dipaksa melakukan hubungan seks (anak perempuan (11 %) lebih banyak dipaksa ketimbang anak laki-laki (4 %).[1]

Selain itu, tingginya angka seks pra-nikah seharusnya membuat kita prihatin! Data hasil penelitian Kementerian Kesehatan RI di empat kota besar (Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 35,9 % remaja mempunyai teman yang sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah dan 6,9 % responden telah melakukan hubungan seks pranikah. Seperti diberitakan, data BKKBN 2010 mencatat sebanyak 51 % remaja di Jabotabek telah melakukan hubungan layaknya suami istri.

Selain Jabodetabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain seperti Surabaya, di mana remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 %, di Medan 52 %, Bandung 47 %, dan Yogyakarta 37 %. Penelitian Australian National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia di Jakarta, Tangerang dan Bekasi (Jatabek) tahun 2010 dengan jumlah sampel 3.006 responden (usia di bawah 17 – 24 tahun) mengindikasikan sebanyak 20,9 % remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah sedangkan 38,7 % remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah.

Survei Komnas Anak (Data Maret 2007) di 12 Provinsi (4500 remaja sebagai responden). 93,7 % pernah berciuman hingga petting (bercumbu), 62,7 % remaja SMP sudah tidak perawan, 21,2 % remaja SMA pernah aborsi. Survey Synovate Research (Data Maret 2009). 44% mengaku punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun; 16% mengaku pengalaman seks di dapat di usia 13-15 tahun; Tempat melakukan seks : di rumah (40%), kamar kos (26%) dan hotel (26%).[2] 

Namun ternyata, seks bukan hanya menjadi masalah mereka yang belum menikah, tetapi juga bagi mereka yang sudah menikah. Seperti yang disebutkan oleh Lynda Field, seorang konselor dan psikoterapis bahwa “40 % dari keretakan hubungan dalam rumah tangga bersumber dari masalah-masalah yang menyangkut uang dan seks”.[3] Sementara itu, Gery Rosberg, seorang konselor pernikahan dan keluarga dalam bukunya Divorce-Proof Your Marriage yang terbit di tahun 2002 menuliskan keprihatinannya tentang tingginya angka perceraian di Amerika.

Dalam buku tersebut Gery Rosberg mengungkapkan fakta bahwa saat ini di Amerika Serikat : 43 % dari semua pernikahan pertama berakhir dengan perceraian. Sekitar 60 % dari pernikahan kedua mengalami nasib yang sama. Menurut penelitiannya, angka perceraian di Amerika mencapai dua kali lipat angka perceraian di Perancis atau Jerman dan tiga kali lipat angka perceraian di Jepang. Yang lebih memprihatikan adalah kenyataan bahwa negara-negera tersebut pada umumnya memiliki lebih sedikit orang Kristen dibandingkan Ameria Serikat. 

Hanya Inggris yang mempunyai tingkat perceraian sebanding dengan Amerika, namun keadaan di Inggris tersebut baru muncul pada tahun 1996.[4] Dan, menurut catatan koes Irianto “50 % dari seluruh pernikahan di Amerika Serikat menghasilkan perceraian dalam dua tahun pertama, dengan alasan perselingkungan oleh salah satu pasangannya”.[5]

Berdasarkan data-data yang disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan seks telah menjadi masalah yang serius! Hal ini tak hanya karena tingginya angka seks pra nikah dan aborsi, melainkan juga meningkatnya angka perkosaan, kekerasan seksual, dan penyakit menular seksual. Data-data tersebut bukan hanya menunjukkan lemahnya pendidikan dan pengawasan orang tua terhadap anak-anak, melainkan juga menyiratkan kurangnya kepedulian gereja membina para anggotanya dalam menghadapi terhadap masalah-masalah seputar seksualitas tersebut.

Juga, seks yang seharus menjadi berkat bagi manusia, dapat berubah menjadi kutuk karena penggunaannya yang salah, dan melawan kehendak Allah Sang Pencipta. Karena itu, pendidikan seks, kesehatan reproduksi dan sejenisnya bukan lagi merupakan pilihan melainkan keharusan untuk diajarkan, khususnya bagi orang-orang Kristen. Para orang tua Kristen, para pendidik Kristen, dan para pemimpin gereja seharusnya bekerja sama sama dengan para ahli kesehatan dan para medis Kristen untuk melaksanakan pendidikan seks tidak hanya dari segi ilmu pengetahuan (saintifik) tetapi juga dari segi iman Kristen berdasarkan ajaran Alkitab. 

Adapun tujuan dari pendidikan seks tersebut adalah upaya untuk menempatkan seks pada perspektif yang tepat dan sesuai dengan iman Kristen sehingga mengubah anggapan yang negatif tentang seks menjadi pandangan yang positif.

PENGERTIAN PENDIDIKAN SEKS DAN HUBUNGANNYA DENGAN SAINTIFIK

Perlu diketahui, bahwa seks sebenarnya bukanlah sesuatu yang kotor ataupun jahat seperti yang diajarkan dalam beberapa kebudayaan. Seks menurut Alkitab merupakan anugerah dari Tuhan kepada manusia. Seks merupakan “suatu anugerah yang unik yang diberikan hanya dalam institusi pernikahan”.[6] Alkitab memberitahu kita bawa seks merupakan sesuatu yang wajar, baik dan Tuhanlah yang menciptakannya.

Namun, dalam ajaran Kristen, seks hanya boleh dilakukan dalam ikatan pernikahan. Jadi seks dikhususkan dan dikuduskan oleh Allah untuk dinikmati oleh manusia hanya untuk pernikahan bukan sebelum pernikahan. Namun, walaupun seks hanya boleh dilakukan dalam konteks hubungan pernikahan, bukan berarti pendidikan seks itu juga hanya boleh di ajarkan setelah pernikahan. Justru pendidikan seks harus di ajarkan sejak awal di usia dini. Pendidikan Seks harus di ajarkan dengan cara yang baik dan tepat, tidak hanya kepada orang dewasa melainkan juga kepada anak-anak dan para remaja sesuai dengan usia dan perkembangannya.

Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan pendidikan seks (sex education) itu? Istilah “seks” telah banyak dipahami dengan cara yang salah. Saat mendengar atau berbicara mengenai seks, maka yang sering muncul dalam pikiran sebagian besar orang adalah hubungan seks. Sebenarnya, seks itu artinya jenis kelamin yang membedakan pria dan wanita secara biologis.[7] Seks juga seringkali disamakan artinya dengan seksualitas, padahal kedua istilah itu berbeda. Seksualitas merupakan suatu istilah yang sangat luas dan mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan seks seperti aspek biologis, aspek sosiologis, aspek psikologis dan aspek kultural.[8]

Sedangkan istilah “pendidikan” dapat diartikan sebagai pemindahan atau pengalihan pengetahuan, informasi dan nilai-nilai tertentu dari seseorang kepada orang lainnya.[9] Dengan demikian yang dimaksud dengan pendidikan seks adalah suatu pengetahuan, informasi dan nilai-nilai yang diajarkan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Pengetahuan dan informasi ini mencakup : (1) Pertumbuhan jenis kelamin (pria atau wanita); (2) fungsi kelamin sebagai alat reproduksi; (3) perkembangan alat kelamin itu pada pria dan wanita. (4) Perubahan pada pria dan wanita karena pengaruh hormon-hormon.

Pendidikan seks tersebut harus diberikan dengan memanfaat informasi dari saintifik (ilmu pengetahuan) dan sepenuhnya berdasarkan perspektif iman Kristen. Di dalam Alkitab, Tuhan banyak memberikan informasi dan petunjuk tentang seks. Karena itu membicarakan tentang seks bukanlah hal yang tabu atau dilarang bagi orang Kristen. Namun apa yang dibicarakan di dalam Alkitab mengenai seks dan seksualitas lebih bersifat normatif dan umum ketimbang praktis dan rinci. 

Hal ini wajar karena memang Alkitab bukanlah buku khusus yang membahas tentang seks dam seksualitas. Karena itu tidak dapat disangkal bahwa ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan seksualitas dan reproduksi telah terbukti memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia pada umumnya. Adapun informasi saintifik yang berhubungan dengan pendidikan seks dan seksualitas antara lain biologi, antropologi, psikologi perkembangan, medikal-kedokteran, dan sosiologi-kultural.

Namun, dalam beberapa hal esensial pendidikan seks dan pernikahan Kristen sangat berbeda dengan budaya dan agama-agama lainnya. Misalnya sebagai contoh, di dalam agama Kristen seks pranikah, poligami, dan perceraian sangat dilarang dan bertentangan dengan perintah dalam Alkitab, sementara di beberapa budaya dan agama lain diperbolehkan. Karena itulah informasi dari saintifik (ilmu pengetahuan) tersebut walau bermanfaat haruslah dilihat sepenuhnya dari perspektif iman Kristen (Alkitab)

DASAR PENDIDIKAN SEKS DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN

Kita percaya pada ineransi dan infabilitas Alkitab. Ineransi Alkitab berarti bahwa Alkitab tidak ada kekeliruan atau kesalahannya, sedangkan infabilitas Alkitab berarti bahwa Alkitab bebas dari kecenderungan melakukan kesalahan. Karena Alkitab diispirasikan oleh Allah, maka Alkitab tidak dapat salah atau tidak memiliki kekeliruan. 

Ketidakkeliruan Alkitab berarti bahwa Alkitab hanya mengatakan yang benar.[10] Kita juga mengakui bahwa Alkitab dapat dipercayai (kredibilitas). Kredibilitas Alkitab tidak hanya karena Alkitab diinspirasikan tetapi juga karena Alkitab telah lulus ujian. Ini disebut kanonitas Alkitab.[11] Maksud saya dengan preposisi-preposis ini adalah untuk memastikan keyakinan kita yang tak tergoyahkan terhadap Alkitab sebagai otoritas tertinggi dan final bagi ajaran, iman, perilaku dan kehidupan kita selaku orang Kristen.[12] 

Dengan demikian, seluruh data-data Alkitab khususnya yang berhubungan dengan seks dan seksualitas manusia dipercayai, diakui, ditafsirkan dan diintegrasikan menjadi suatu ajaran untuk diterapkan dalam iman dan kehidupan orang Kristen.

Walaupun Alkitab bukanlah sebuah buku khusus membahas tentang seks, namun di berbagai tempat dan bagian di dalam Alkitab dapat ditemukan ajaran, narasi, gagasan, gambaran dan contoh yang berhubungan dengan seks dan seksualitas manusia. Dengan kata lain, di dalam Alkitab kita dapat menemukan informasi dan petunjuk tentang seks dan seksualitas manusia. 

Kitab pertama dalam Alkitab memberi narasi tentang pembentukan lembaga pernikahan pertama dan pemberkatan yang dilakukan secara langsung Allah bagi Adam dan Hawa (Kejadian 1:28; 2:24) dan kitab terakhir gambaran tentang pesta Perkawinan Anak Domba (Wahyu 19:7-9). Berikut ringkasan ajaran tentang seks dalam perspektif iman Kristen berdasarkan Alkitab yang dihimpun dari berbagai sumber.

1. Menurut Alkitab, manusia adalah makhluk ciptaan yang berpribadi, yang diciptakan menurut rupa dan gambar Allah (Kejadian 1:26).[13] Menyatakan bahwa manusia adalah gambar dan rupa Allah berarti menjelaskan bahwa manusia dalam hal tertentu merupakan refleksi yang nyata dari Allah yang hidup, yang cerdas dan bermoral. Dengan kata lain, manusia memiliki “citra” Allah di dalam dirinnya. Sebagai makhluk ciptaan, manusia bergantung pada Tuhan, Sang pencipta-Nya, bagi keberlangsungan hidupnya; ia tidak bisa berdiri sendiri; hidupnya bergantung pada Allah pencipta. Di dalam Allah manusia hidup, bergerak, dan bernafas (Kejadian 1:26; 2:7; Kisah Para Rasul 17:28).

Sebagai makhluk ber-pribadi, manusia memiliki kemandirian yang relatif (tidak mutlak), dalam pengertian bahwa ia memiliki kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan membuat pilihan-pilihannya sendiri. 

Tidak hanya itu, ketika Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan mereka dengan identitas seksual yang jelas, yaitu laki-laki dan perempuan. Alkitab mengatakan, "Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka” (kejadian 1:27). Hal ini tidak hanya menyebabkan manusia sebagai makhluk sosial tetapi juga menjadikan manusia sebagai makhluk seksual. Sebagai makhluk seksual manusia memiliki potensi dan sekaligus kebutuhan untuk menjalin relasi seksual dengan pasangan seksualnya dalam lembaga pernikahan. Relasi suami-istri ini pada hakikatnya menggambar relasi Kristus dan jemaat-Nya (Bandingkan Efesus 5:22-33).

Sejak semula Allah hanya menciptakan dua gender manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, yang walaupun berbeda dalam fungsi dan reproduksi, tetapi sama dalam derajat, harkat dan martabat. Sebab itu, bersyukurlah jika Anda dilahirkan sebagai pria atau pun sebagai seorang wanita. Dalam Kejadiam 1:27 dikatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”. Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”

Dalam Rancangan Allah sejak semula Pernikahan, khususnya pernikahan Kristen itu bersifat monogami bukan poligami dan heteroseksual (berbeda jenis kelamin) bukan homoseksual (sesama jenis kelamin). Perhatikanlah Kejadian 1:27, disini dikatakan, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”. 

Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”. Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang disebutkan Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian Pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan firman-Nya:

Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24. Dengan demikian, pernikahan Alkitabiah adalah antara seorang pria biologis dengan seorangan wanita biologis. 

Karena itu, pernikahan dengan sesama jenis (homosexual) atau pun pernikahan dengan hewan bukanlah pernikahan, melainkan penyimpangan dari ketetapan Tuhan. Pernikahan sesama jenis kelamin merupakan pelanggaran langsung terhadap ayat-ayat firman Tuhan ini (Imamat 18:22; 20:13). Hal tersebut bukan hanya pelanggaran moral atau etika, tetapi kriminalitas (kejahatan) dihadapan Tuhan yang patut dihukum (bandingkan juga (Roma 1:26-27; 1 Korintus 6:9-10). 

Hal ini tidak hanya menyebabkan manusia sebagai makhluk sosial tetapi juga menjadikan manusia sebagai makhluk seksual. Sebagai makhluk seksual manusia memiliki potensi dan sekaligus kebutuhan untuk menjalin relasi seksual dengan pasangan seksualnya dalam lembaga pernikahan. Relasi suami-istri ini pada hakikatnya menggambar relasi Kristus dan jemaat-Nya (Bandingkan Efesus 5:22-33).

2. Seks menurut Alkitab merupakan anugerah dari Tuhan kepada manusia. Tim Clinton dan Mark Laaser menyatakan, “Seks adalah Anugerah Allah. Dia menciptakan kita sebagai makhluk seksual, dan Dia menciptakan seks untuk suami istri”.[14] Alkitab mencatat dalam Kejadian 1:28, bahwa Allah memberkati manusia (Adam dan Hawa) sebelum mereka diperintahkan “beranak cucu dan bertambah banyak”. 

Dengan demikian, pernikahan dan pemberkatan nikah haruslah mendahului penyatuan seksual, bukan sebaliknya. Untuk memenuhi mandat beranak cucu dan bertambah banyak tersebut manusia (suami-istri) melakukannya dengan cara bersenggama (bersetubuh atau berhubungan kelamin).

Allah Sang Pencipta, telah mendesain dan membuat alat reproduksi yang cocok bagi manusia sehingga mampu bereproduksi (menghasilkan keturunan), yaitu : (1) bagi pria, sperma yang diproduksi seumur hidupnya, (2) bagi wanita sel telur yang siap dibuah dengan siklus kematangan 1 sel telu setiap bulan.[15] 

Agar sperma dapat bertemu dengan sel telur maka cara yang dirancang oleh Pencipta adalah melalui hubungan seksual. Allah telah membuat organ reproduksi dan kelengkapannya bagi manusia, penis untuk pria dan vagina untuk wanita, sehingga dapat melakukan persetubuhan atau bersenggama (dalam konteks pernikahan) untuk mendapatkan keturunan (prokreasi). Istilah yang digunakan dalam Alkitab adalah frase “satu daging” (Kejadian 2:24).[16] Jadi dalam pernikahan seorang laki-laki tidak hanya “meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya”[17] melainkan juga “menjadi satu daging” melalui hubungan dan penyatuan seksual.

3. Prokreasi (mendapatkan keturunan) menurut Alkitab bukanlah satu-satunya tujuan seseorang melakukan hubungan seks dalam pernikahan. Seks juga bertujuan untuk rekreasi : memberi kepuasan dan dinikmati untuk kebahagiaan. John Piper mengatakan, “Allah menciptakan manusia menurut rupa dan gambar-Nya –‘laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka’ (Kejadian 1:27) – dengan kapasitas-kapasitas untuk kesenangan seks yang intens dan dengan panggilan untuk berkomitmen dalam pernikahan...” [18] 

Dengan demikian, seks adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang telah menikah untuk kebahagiaan dan kesenangan mereka bersama. Alkitab mengatakan, “Hendaklah suami memenuhi kewajibannya terhadap isterinya, demikian pula istri terhadap suaminya. Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya” (1 Korintus 7:3,4). 

Karena itu romantisme dan gairah seksual tidak dilarang dilakukan oleh suami-istri dalam komitmen pernikahan. Alkitab mengatakan “Diberkatilah kiranya sendangmu, bersukacitalah dengan isteri masa mudamu: rusa yang manis, kijang yang jelita; biarlah buah dadanya selalu memuaskan engkau, dan engkau senantiasa berahi karena cintanya” (Amsal 5:18-19).

4. Semua hubungan seks yang dilakukan di luar hubungan pernikahan merupakan sesuatu yang dilarang di dalam Alkitab. Penulis Kitab Ibrani mengatakan, “Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah” (Ibrani 13:4). 

Karakteristik paling mendasar dari pernikahan adalah bahwa pernikahan merupakan satu kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita (Kejadian 1:27; 1 Korintus 7:2).[19] Dengan demikian, pernikahan Kristen itu monogamik![20] Hubungan seksual yang terjadi sebelum pernikahan disebut “percabulan” (Kisah Para Rasul 15:20; 1 Korintus 6:18) dan hubungan seksual yang dilakukan diluar hubungan pernikahan disebut “perzinaan” (Keluaran 20:14; Matius 19:9).

Baik percabulan maupun perzinaan, keduanya sangat dilarang di dalam Alkitab. Josh McDowell mengatakan, “Dalam istilah Alkitab, imoralitas seksual adalah semua hubungan seks di luar pernikahan (termasuk sebelum menikah). Tuhan telah bicara melalui hukum (firman), dan Dia telah menjadikan standar-Nya jelas: keterlibatan seksual di luar pernikahan itu salah”.[21] 

Jadi untuk mencegah imoralitas seksual ini merupakan alasan mengapa kita menemukan bahwa saat Alkitab membicarakan tentang seks paling banyak ditulis dalam bentuk negasi yang tegas (Bandingkan Kisah Para Rasul 15:29; 1 Korintus 6:18; 10:8; Efesus 5:3; Kolose 3:5; 1 Tesalonika 4:5). 

Justin Taylor menyatakan, “Sebuah pencarian kata dari istilah sex dalam Alkitab bahasa Inggris menunjukkan bahwa istilah tersebut hampir selalu dipakai di dalam konteks imoralitas seksual”.[22] Dengan demikian, Alkitab memandang dosa seksual sebagai hal yang serius! Yesus memperingatkan bahwa akibat dari dosa seksual ini dapat melemparkan seseorang ke dalam neraka (Matius 5:27-30); rasul Paulus menegaskan bahwa orang sundal dan cabul tidak mendapat bagian dalam kerajaan surga (Galatia 5:19-21; Efesus 5:3-5); penulis kitab Ibrani mengingatkan bahwa orang sundal dan penzinah akan dihakimi Allah (Ibrani 13:4).

Dan dalam realitas meningkatnya imoralitas seksual saat ini, Andik Wijaya menyebutkan, “..peperangan hebat sedang terjadi di area seksual”.[23] Sementara itu, Ben Patterson mengatakan “Di dalam Alkitab, bidang seksual merupakan arena utama dari kehancuran karena dosa, dan dengan demikian menempati tempat yang penting di antara hal-hal yang ditebus melalui kedatangan Kristus”.[24]

5. Istilah-istilah yang digunakan untuk imoralitas seksual dalam Alkitab bahasa Yunani antara lain : 

(1) Kejahatan seksual (porneia) menggambarkan aneka ragam perbuatan seksual sebelum atau di luar pernikahan; istilah ini tidak terbatas pada perbuatan sanggama. Setiap kegiatan atau permainan seksual yang intim di luar hubungan pernikahan, termasuk menyentuh bagian-bagian kelamin atau menyingkapkan ketelanjangan seseorang, terangkum dalam istilah ini dan jelas merupakan pelanggaran terhadap norma-norma moral Allah bagi umat-Nya (1 Korintus 6:18; 1 Tesalonika 4:3); Bandingkan Imamat 18:6-30; 20:11-12,17,19-21); 

(2) Sensualitas (aselgeia) menunjuk kepada ketiadaan prinsip moral, khususnya mengabaikan penguasaan diri dalam hal seksual yang menjaga kemurnian perilaku. Termasuk di dalamnya kecenderungan untuk menuruti atau merangsang nafsu berahi sehingga dengan demikian mengambil bagian dalam tindakan yang tidak dibenarkan Alkitab (Galatia 5:19; Efesus 4:19; 1 Petrus 4:3; 2 Petrus 2:2,18); 

(3) Mengambil keuntungan dari orang (pleonekteo) yang berarti merampas kemurnian moral yang diinginkan Allah bagi orang itu dengan tujuan memuaskan nafsunya sendiri. Membangkitkan nafsu seksual di dalam diri orang lain yang tidak boleh dipuaskan secara benar berarti mengeksploitasi atau menarik keuntungan dari orang tersebut (1 Tesalonika 4:6; bandingkan. Efesus 4:19); 

(4) Nafsu (epithumia) adalah memiliki keinginan jahat yang akan dipenuhi jika kesempatan tersedia (Efesus 4:19,22; 1 Petrus 4:3; 2Petrus 2:18). [25]

6. Walaupun seks diciptakan oleh Allah untuk relasi, prokreasi dan rekreasi, namun seks bukanlah segalanya. Kristus mengatakan, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” (Matius 19:11). Karena itu, sebagai seorang yang lajang seumur hidupnya, rasul Paulus menulis keuntungan-keuntungan dari hidup melajang (1 Korintus 7:32-40). 

Nilai yang paling penting adalah menyenangkan Allah mengejar kekudusan, memperlakukan tubuh sendiri dengan hormat, dan tidak merusak hidup orang lain (1 Tesalonika 4:1-8). Untuk mereka yang tidak menikah, dengan pengabdian kepada Tuhan dan sesama, maka dari mereka pun dituntut hidup sehat, suci dan penuh berkat. 

Pernikahan dan seks bukanlah syarat mutlak untuk menuju kehidupan yang sukses dan bahagia. Namun terkadang seseorang yang tidak menikah sering menganggap bahwa ia belum lengkap sebagai satu pribadi bila belum berhubungan seks dengan seseorang. 

Pernikahan dan seks dapat begitu dipuja sehingga seseorang yang masih sendiri merasa tidak lengkap tanpanya. Jika seseorang mengejar kesenangan seksual seolah-olah itulah jalan menuju kebahagiaan, ia akan selalu menemukan bahwa seks tidak memberi kepuasan yang diharapkan. 

Karena itu, untuk menjaga agar tidak menyakiti diri sendiri, keinginan dan aktifitas seks haruslah di bawah kontrol Kristus. Alkitab mengatakan, “Karena inilah kehendak Allah: pengudusanmu, yaitu supaya kamu menjauhi percabulan, supaya kamu masing-masing mengambil seorang perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup di dalam pengudusan dan penghormatan, bukan di dalam keinginan hawa nafsu, seperti yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Allah” (1 Tesalonika 4:3-5).

TAPAHAN PENDIDIKAN SEKS DAN MANFAATNYA

Pendidikan seks dalam pengertian sempit menyediakan informasi tentang seks yang berhubungan dengan kelamin, meliputi : alat kelamin itu sendiri, anggota tubuh dan ciri badaniah lainnya yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, kelenjar-kelenjar dan hormon-hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya lat-alat kelamin, dan hubungan kelamin (sengggama). 

Sedangkan dalam arti yang luas, pengetahuan dan informasi tentang seks meliputi hal-hal seperti : Pembedaan tingkah laku; kasar, genit, lembut dan lain-lain, perbedaan atribut termasuk pakaian, perbedaan peran dan pekerjaan, hubungan antara pria dan wanita, tata karma pergaulan (percintaan, pacaran), tata krama perkawinan, dan lain-lain.

Pertanyaan penting lainnya adalah “kapan sebaiknya pendidikan seks diberikan?”. Setidaknya ada 2 (dua) kelompok pendapat, yaitu : 

(1) Kelompok yang menganggap bahwa pendidikan seks baru boleh disampaikan menunggu usia dewasa. Pandangan ini kebanyakan dipegang oleh masyarakat tradisional dan konservatif. 

(2) Kelompok yang menganggap pendidikan seks perlu diberikan sejak usia dini (awal). Kelompok ini kebanyakan dipegang oleh masyarakat yang lebih moderat. Tampaknya pilihan utama untuk memberikan pendidikan seks adalah sejak dini harus lebih dipertimbangkan. 

James Dobson mengatakan “Terutama dalam masalah pendidikan seks, cara terbaik adalah yang dimulai secara sambil lalu dan alamiah di awal masa kanak-kanak dan berkembang selama ertahun-tahun, mengikuti konsep keterbukaan, keterusterangan, dan kejujuran”.[26] 

Jika memberikan pendidikan seks pada usia remaja, maka untuk saat ini hal itu bisa dikatakan sudah terlambat. Mengapa? Karena di zaman di mana informasi bisa dengan mudah dan cepat diperoleh dari berbagai media, khsusus internet dan jejaring sosial saat ini, maka saat anak usia remaja mereka telah mengetahui lebih banyak tentang seks dan kemungkinan besar dari sudut pandang yang salah.

Penelitian dari para ahli menunjukkan, bahwa pendidikan seks sejak dini akan menghindari kehamilan di luar pernikahan saat anak-anak bertumbuh menjadi remaja dan saat dewasa kelak. Karena itu, tidak perlu tabu membicarakan seks dalam keluarga. Karena anak perlu mendapatkan informasi yang tepat dari orang tuanya, bukan dari orang lain tentang seks. 

Rasa ingin tahu yang besar pada anak dan remaja, akan menyebabkan mereka selalu berusaha mencari hal yang ditabukan pada usianya. Bila anak tidak dibekali pendidikan seks, maka anak tersebut akan mencari jawaban dari orang lain, dan akan lebih menakutkan jika informasi seks didapatkan dari sumber yang tidak benar atau Internet yang informasinya bisa jadi salah. Karena itu, lindungi anak-anak Anda sejak dini dengan membekali mereka pendidikan mengenai seks dengan cara yang tepat.

Jadi pada dasarnya pendidikan seks harus di ajarkan dengan cara yang baik dan tepat, tidak hanya kepada orang dewasa melainkan juga kepada anak-anak dan para remaja sesuai dengan usia dan perkembangannya. 

Di dalam psikologi perkembangan, para ahli telah mengelompokkan tahapan perkembangan manusia (mencakup berbagai unsur anatomis, fisologis, dan sebagainya) berdasarkan kelompok usia sebagai berikut : (1) Balita usia 1-5 tahun; (2) kanak-kanak usia 6-12 tahun; (3) Remaja usia 13-18 tahun; (4) Dewasa Muda usia 19-25; (5) Dewasa usia 26-54; (6) Lansia usia 55-keatas.[27]

Pendidikan seks yang baik dan tepat haruslah disesuaikan dengan perkembangan usia tersebut, yaitu sebagai berikut. Pada masa balita (1-5 tahun) Pendidikan seks yang diberikan terutama bertujuan untuk memperkenalkan organ seks yang dimiliki seperti menjelaskan anggota tubuh lainnya, termasuk menjelaskan fungsi serta cara melindunginya. 

Pada masa kanak-Kanak (6-12 tahun) pendidikan seks yang diberikan terutama bertujuan agar anak memahami perbedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), menginformasikan asal-usul manusia, membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit. Pada usia 10-12 tahun diberikan informasi mengenai pubertas dan karakteristiknya, serta perubahan dari bentuk tubuhnya.

Secara khusus pada usia 12-13, yaitu pada masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja, pada usia ini seharusnya lebih banyak diberikan informasi tentang seks seperti : perbedaan antara laki-laki dan perempuan, pengenalan bagian tubuh, organ, dan fungsinya, pengenalan sistem organ seks secara sederhana, anatomi sistem reproduksi secara sederhana, cara merawat kesehatan dan kebersihan organ tubuh, termasuk organ seks/organ reproduksi, mengajarkan untuk menghargai dan melindungi tubuhnya sendiri; proses kehamilan dan persalinan sederhana, mempersiapkan anak untuk memasuki masa pubertas, perkembangan fisik dan psikologis yang terjadi pada remaja, 

ciri seksualitas primer dan sekunder, proses terjadinya mimpi basah, proses terjadinya ovulasi dan menstruasi secara sederhana. Pada anak remaja (13-18 tahun) pendidikan seks yang diberikan terutama bertujuan untuk memberi informasi mengenai perilaku seks yang merugikan (seperti seks bebas, penyakit menular seksual, dan penyimpangan seksual), menanamkan moral dan prinsip untuk menolak seks pra nikah serta membangun penerimaan terhadap diri sendiri.

Pada orang dewasa (19-54 tahun) pendidikan seks terutama bertujuan sebagai pembekalan dan persiapan pada pasangan yang ingin menikah tentang hubungan seks yang sehat dan tepat. Memelihara pernikahan melalui hubungan seks yang berkualitas dan berguna untuk melepaskan ketegangan dan stress. Perlu juga diberikan informasi mengenai masalah-masalah seksual seperti : hasrat seksual dan orgasme; sakit seputar seksual dan ejakulasi dini; teknik, posisi dan frekuensi bersenggama. Sedangkan pada para lansia (55-keatas) pendidikan seks yang diberikan terutama bertujuan agar memahami berbagai gejala degenarari termasuk penurunan vitalitas seksual.

Apabila pendidikan seks diberikan dengan baik dan tepat disesuaikan dengan usia dan perkembangan, serta berdasarkan perspektif iman Kristen maka hal tersebut akan memberikan manfaat, antara lain sebagai berikut : 

(1) Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual, khususnya pada remaja; 

(2) Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggung jawab); 

(3) Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi; 

(4) Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga; 

(5) Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual; 

(6) Memberikan pengetahuan baik secara teologis maupun saintifik tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya; 

(7) Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan; 

(8) Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara benar, efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orangtua, anggota masyarakat.

BAHAYA INFORMASI YANG SALAH TENTANG SEKS

Saat ini, dapat dikatakan informasi mengenai seks dan seksualitas telah beredar secara luas, baik melalui media cetak maupun elektronik. Namun jika diamati secara seksama tidak semua informasi tersebut bermutu dan bemanfaat atau memberi pencerahan. 

Sebaliknya, banyak dari informasi yang diberikan tersebut justru menyesatkan. Tidak sedikit media yang membahas perihal seks dan seksualitas hanya untuk tujuan komersial, membangkitkan nafsu birahi, dan mendorong melakukan hubungan seksual yang tidak bertanggung jawab, yang akhirnya menimbulkan dampak negatif terhadap seks dan masalah-masalah seksual lainnya. 

Karena tujuan dari pendidikan seks adalah sebagai upaya untuk menempatkan seks pada perspektif yang tepat dan sesuai dengan iman Kristen sehingga mengubah anggapan yang negatif tentang seks menjadi pandangan yang positif, di sinilah dituntut peran para orang tua, para pendidik, dan para rohaniawan untuk melaksanakan pendidikan seks sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan (saintifik) dan sepenuhnya berdasarkan perspektif iman Kristen (ajaran Alkitab). Jika tidak, maka peran dan tugas tersebut akan diambil alih oleh media seperti TV, Video, Komik, Majalah, Internet, dan lain sebagainya, sumber-sumber informasi yang diberikan dapat sangat menyesatkan.

Ada bahaya yang besar akibat dari pengaruh informasi yang salah tentang seks, terutama kepada para remaja! Menurut Surbakti, dampak dari informasi yang tentang seks dapat menghasilkan : (1) Pikiran tidak bisa lepas dari simpul-simpul seks; (2) Merendahkan seks; (3) mengeksploitasi seks; (4) merendahkan kaum wanita; (5) membodohi remaja.[28] 

Sedangkan menurut Koes Irianto dampak dari informasi yang tentang seks menghasilkan : (1) Tindakan tanpa tanggung jawab; (2) Banyaknya kasus pelecahan seksual; (3) Mendorong anak melakukan tindakan seksual terhadap anak yang lain; (4) Mempengaruhi pembentuk nilai, sikap, dan perilaku; (5) Menganggu jati diri serta menganggu perkembangan anak.[29]

Penyimpangan seks, pelecehan seks dan kekerasan seksual merupakan dampak negatif lainnya dari informasi yang salah mengenai seks dan seksualitas. Berikut ini daftar dari penyimpangan, pelecehan, dan kekerasan seksual : homoseksualitas, pornografi, party sex (seks kelompok), perkosaan, prostitusi (pelacuran), inses, sodomi, pedofilia, sadisme seks, fetisisme (penggunaan benda mati untuk perangsang dan pemuasan seksual), dan lainnya.

Lebih jauh dampak lainnya dari informasi yang salah tentang seks akan mengakibatkan seks pranikah dan seks bebas; kehamilan diluar nikah dan abortus; penularan penyakit seksual. Penyakit Menular Seksual (PMS) adalah penyakit yang ditularkan melalui kontak atau hubungan seks. Data menunjukkan bahwa lebih dari 70 juta orang Amerika terjangkit 1 dari jenis PMS. PMS adalah penyakit sesual yang disebabkan oleh bakteri atau virus. 

Chlamydia, genore (raja singa), dan sifilis adalah jenis penyakit menular seksual yang disebabkan oleh bakteri. HIV/AIDS, hepatitis, herpes, dan HPV (human papilloma virus) adalah jenis penyakit menular seksual yang disebabkan oleh virus. Beberapa dari infeksi (HPV dan herpes) dapat disebarkankan melalui kontak dengan kulit yang terinfeksi, yang lainnya seperti HIV dan hepatitis dapat disebarkan melalui penggunaan jarum suntik bersama-sama. Sedangkan chlamydia, genore, dan sifilis hanya ditularkan melalui senggama (hubungan seks) karena jenis bakteri ini hanya bisa hidup dalam suhu yang lebab dan basah, seperti organ reproduksi.[30]

PENUTUP : 

Walaupun seks merupakan anugerah Allah, namun setelah manusia jatuh ke dalam dosa, seks sering disalahgunakan. Iblis telah membuat segala aspek seks menjadi percabulan, perzinahan, dan penyimpangan seksual lainnya (Rom 1). Fakta-fakta membuktikan bahwa kejahatan-kejahatan seksual dan penyimpangan-penyimpangan semakin bertambah. 

Kepada mereka yang tersangkut dalam masalah-masalah seksual tersebut, kita tidak dapat membenarkan perbuatan mereka. Namun mereka membutuhkan pengampunan, simpati, pengertian dan adakalanya membutuhkan pengobatan para ahli medis dan psikologis. Inilah merupakan bagi dari panggilan dan tugas orang Kristen untuk memberikan suatu jaminan pengampunan yang sempurna di dalam Kristus, dan memberikan pelayanan, bimbingan, konseling dan pendidikan seks yang Alkitabiah.

Memberikan informasi tentang seks tetapi tidak disertai relasi nilainya, merupakan pengajaran yang kurang bertanggung jawab. Kita memikirkan pentingnya pendidikan seks yang sesuai dengan nilai-nilai Kekristen. Banyak orang berpendapat bahwa aspek etika, sosiologi, biologi, dan psikologi bekerja kurang efektif kalau tidak disertai nilai spiritualitas. Kita harus yakin bahwa hanya Injil kasih karunia yang mempunyai kuasa untuk memperbaharui kehidupan manusia berdosa (2 Korintus 5:14-21) dan pengampunan. Namun, dengan nilai-nilai moral dan spiritualitasnya, gereja akan membimbing semua lapisan masyarakat, baik anak-anak, kaum remaja dan muda, serta orang dewasa untuk bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan standar Alkitab. 

Para ahli berpendapat bahwa rumah tangga mempunyai peranan yang penting dalam pendidikan seks, tetapi banyak orangtua yang melalaikan hal ini. James Dobson mengatakan “... orang tua amat bertanggung jawab dalam membesarkan dan mendidik anak-anak mereka”.[31] Selanjutnya Dobson menambahkan, “Bagi para orang tua yang sanggup menanggani proses pengajaran dengan benar, tanggung jawab pendidikan seks seharusnya tetap ada di rumah”.[32] Tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan kedudukan orang tua dalam hal ini, namun para rohaniawan dapat bekerjasama dengan para orang tua dalam pelaksanaan pendidikan seks ini. 

Tak ada perwakilan atau badan lembaga lain yang bisa menyajikan teologi gereja yang lebih baik dari pada gereja itu sendiri.[33] Namun sayangnya, hanya sedikit gereja yang menerima tantangan ini, sebagian besar justru seringkali mengabaikannya, walaupun mengetahui konsekuensi dari adanya serangan hebat terhadap konsep moral yang Akitabiah pada zaman ini. Karena itulah, para rohaniawan gereja dapat membantu orangtua atau wali keluarga dalam hal pemberian informasi, bahan-bahan, dan bimbingan yang dapat digunakan oleh mereka sebagai alat untuk mendidik anak-anak mereka. Selain para orang tua, para pendidik disekolah juga mempunyai peranan dalam pendidikan seks, khususnya para pendidik di sekolah-sekolah Kristen. 

DAFTAR PUSTAKA

Burke, Dale., 2000. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan Indonesia (2007), Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.

Clinton, Tim & Mark Laaser., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta.

Dobson, James., 2004. Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga. Terjemahan Penerbit Gospel Press : Batam.

Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Terjemahan Indonesia: Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa. Buku dua, terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.

Field, Lynda. 2004. Into a Wonderful New Life. Penerbit PT. Buana Ilmu Populer : Jakarta.

Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.

Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Gutrie, Donald., 1981. New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.

Hearth, W. Stanley., 1997. Psikologi Yang Sebenarnya. Penerbit ANDI: Yogyakarta.

Irianto, Koes., 2013. Seksologi Kesehatan. Penerbit Alfabeta : Bandung.

King, Clayton & Charie King., 2012. 12 Pertanyaan yang Harus Diajukan Sebelum Menikah. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.

Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung

Mack, Wayne., 1985. Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang kukuh Dalam Hubungan Perkawinan, terjemahan, Penerbit Yakin : Surabaya.

McDowell, Josh., 1997. Rigth From Wrong , terjemahan, Penerbit Profesional Books : Jakarta.

Monks, F.J, AMP. Knoers, & Siti Rahayu Haditono., 1994. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Edisi Revisi. Diterbitkan dan dicetak : Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Notoatmodjo, Soekidjo., 2007. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan Seni. Penerbit PT. Rineka Cipta : Jakarta.

Paulus L. Kristianto., 2006. Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. Andi: Yogyakarta.

Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.

Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.

Powers, B. Ward., 2011. Divorce and Remarriage: The Bible’s Law and Grace Approach. Edisi Indonesia dengan judul Perceraian dan Perkawinan Kembali : Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab, terjemahan (2011), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.

Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.

Rosberg, Gery & Barbara., 2010. Pernikahan Anti Cerai. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta.

Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 

Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta.

Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.

Stott, John., 1984. Issues Facing Chistianis Today. Edisi Indonesia dengan judul Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Terjemahan (1996), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.

Surbakti, E.B., 2002. Kenalilah Anak Remaja Anda. Penerbit PT. Elex Media Komputindo : Jakarta.

Susanto, Hasan., 2003.Perjanjian Baru Interlinier Yunani-Indonesia dan Konkordansi Perjanjian Baru, jilid 1 dan 2. Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Malang.

Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum: Jakarta.

Trisna, Jonathan A., 2013. Two Become One. Penerbit ANDI : Yogyakarta.

Wijaya, Andik., 2014. Equipping Leaders to Figth for Sexual Holiness. Diterbikan oleh Kenza Publising House : Surabaya.

Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

_____________, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.

Profil : Pdt. Samuel T. Gunawan, memposisikan diri sebagai teolog Protestan-Kharismatik, Pendeta dan Gembala di GBAP Jemaat Bintang Fajar; mengajar Filsafat dan Apologetika Kharismatik di STT AIMI, Solo, dan Pengajar di beberapa STT Lainnya. Fecebook: Samuel T. Gunawan (samuelstg09@yahoo.co.id) 

[1] Clinton, Tim & Mark Laaser., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta, hal. 185-189, 297.

[2] Dari berbagai sumber di akses dari internet.

[3] Field, Lynda. 2004. Into a Wonderful New Life. Penerbit PT. Buana Ilmu Populer : Jakarta, 240.

[4] Rosberg, Gery & Barbara Rosberg., 2010. Pernikahan Anti Cerai. Penerbit ANDI : Yogyakarta, hal. 19.

[5] Irianto, Koes., 2013. Seksologi Kesehatan. Penerbit Alfabeta : Bandung, hal. 251.

[6] Wijaya, Andik., 2014. Equipping Leaders to Figth for Sexual Holiness. Diterbikan oleh Kenza Publising House : Surabaya, hal. 83.

[7] Istilah “seks” secara etimologis, berasal dari bahasa Latin “sexus” kemudian diturunkan menjadi bahasa Perancis Kuno “sexe”. Istilah ini merupakan teks bahasa Inggris pertengahan yang bisa dilacak pada periode 1150-1500 M. “Seks” secara leksikal bisa berkedudukan sebagai kata benda (noun), kata sifat (adjective), maupun kata kerja transitif (verb of transitive).

[8] (1) Aspek biologis seksualitas berkaitan dengan organ reproduksi dan alat kelamin, termasuk bagaimana menjaga kesehatan dan memfungsikan secara optimal organ reproduksi dan dorongan seksual. (2) Aspek psikologis seksualitas berkaitan dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran atau jenis, serta bagaimana dinamika kognisi, emosi, motivasi, perilaku terhadap seksualitas itu sendiri. (3) Aspek sosialogis seksualitas berkaitan bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia, bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya membentuk perilaku seksual. (4) Aspek kultural seksualitas berkaitan dengan perilaku seks yang menjadi bagian dari budaya yang ada di masyarakat.

[9] Istilah “pendidikan” berasal dari kata Yunani “Paedagogie” yang secara umum bermakna “suatu usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan, baik jasmani maupu rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dan kebudayaan.

[10] Charles C. Ryrie mendefinisikan inspirasi atau pengilhaman sebagai berikut : “Allah mengawasi sedemikian rupa sehingga para penulis Alkitab itu menyusun dan mencatat tanpa kekeliruan pesanNya kepada manusia dalam bentuk kata-kata pada penulisan aslinya.” Dalam 2 Timotius 3:16 “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran”, kata Yunani untuk inspirasi atau ilham adalah Theopneustos yang berarti Allah menghembuskan. Ryrie, Charles C., 1991. Basic Theology. Jilid 1, Terjemahan, Penerbit Andi Offset: Yoyakarta, hal 88-95)

[11] Kata “kanon” berarti tongkat pengukur dan menunjuk kepada suatu standar atau peraturan. Dalam hubungan dengan Alkitab, kanonitas berarti bahwa Alkitab telah diukur dengan suatu standar, telah melewati ujian dan lulus ujian yang meliputi ujian sejarah, arkeologi maupun filologi.

[12] Alkitab adalah otoritas penentu kebenaran. Otoritas adalah wewenang, hak atau kuasa untuk mewajibkan kepatuhan. Otoritas itu penting sebab otoritas akan mengendalikan hidup seseorang. Otoritas akan mempengaruhi perilaku, keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan seseorang. Dari segi iman Kristen, Allah mempunyai hak dan kuasa tertinggi untuk menuntut kepatuhan, karena Dialah sang Pencipta dan Tuhan segala bangsa. Sumber otoritas utama dan tertinggi bagi orang Kristen adalah Tuhan sendiri sebagaimana Ia menyatakan melalui Alkitab.

[13] Kata Ibrani “gambar” adalah “tselem” yang berarti gambar yang dihias, suatu bentuk dan figur yang representatif yaitu suatu gambar dalam pengertian yang konkret atau nyata. Kata Ibrani “rupa” adalah “demuth” yang mengacu pada arti kesamaan tapi lebih bersifat abstrak atau ideal.

[14] Clinton, Tim & Mark Laaser, Sex and Relationship, hal. 28.

[15] Di dalam tubuh seorang pria ada triliunan sperma yang diproduksi sepanjang hidupnya. Karena itu seorang pria dewasa yang sehat dapat mengeluarkan / melepaskan sekitar 400 juta sel sperma dalam 1 kali ejakulasi. Sedangkan seorang wanita yang telah melewati pubertas telah dilengkapi dengan sekitar 450 ribu bakal sel telur yang akan mengalami kematangan (siap dibuahi) rata-rata 1 sel telur setiap bulannya. Pertemuan antara sperma dan sel telur, atau sel telur yang dibuahi inilah yang akan menjadi cikal bakal embrio seorang manusia.

[16] Frase “satu daging” dalam ayat-ayat Kejadian 1:24; Matius 19:5; Markus 10:7; Efesus 5:31 menyatakan paling sedikit tiga tujuan relasi seksual dalam pernikahan, yaitu: penyatuan (Kejadian 2:24), perkembang biakan (Kejadian 1:28), dan rekreasi (Amsal 5:18-19).

[17] Perhatikanlah saat Alkitab mengatakan “seorang pria akan meninggalkan ayat dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. (Kejadian 2:24) maka yang dimaksudkannya adalah bahwa dalam pernikahan seorang pria melekatkan diri kepada istrinya sendiri, sehingga “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6). Persatuan ini mencakup segalanya “disatukan secara fisik, emosional, intelektual, dan spiritual”. Kata “meninggalkan” dan “bersatu” adalah dua kata yang penting untuk dipahami. Kata Ibrani untuk “meninggalkan” adalah “azab” yang berarti “melonggarkan, melepaskan, meninggalkan, meninggalkan sepenuhnya, secara total”. Kata Ibrani untuk “bersatu” adalah “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”.

[18] Piper, John & Justin Taylor, ed., 2011. Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan. Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 18.

[19] Dalam Kejadian 1:27 dikatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki (ish) dan perempuan (ishsha) diciptakan-Nya mereka”. Kristus menegaskan kembali hal ini dalam Matius 19:4, dikatakan, “Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia (antrophos) sejak semula (ap’arches) menjadikan mereka laki-laki (aner) dan perempuan (gyne)?”. Kata Yunani “ap’arches” atau “sejak semula” yang dipakai Yesus dalam Matius 19:4, pastilah merujuk pada Kejadian Pasal 2, karena kalimat selanjutnya “Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging”, yang diucapkan Yesus dalam ayat 5 adalah kutipan dari Kejadian 2:24. Rasul Paulus berkata “baiklah setiap laki-laki (bentuk tunggal) mempunyai isterinya sendiri (bentuk tunggal) dan setiap perempuan mempunyai suaminya sendiri” (1 Korintus 7:2). Jadi monogami bukan hanya ajaran Perjanjian Baru, tetapi juga merupakan ajaran Perjanjian Lama. Monogami adalah rancangan Tuhan “sejak semula”, yaitu ketika Allah menciptakan satu laki-laki (Adam) dan memberi dia hanya satu istri (Hawa).

[20] Fakta bahwa Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama tidaklah membuktikan bahwa Dia memerintahkannya. Poligami, sebagaimana perceraian bukanlah ideal (rancangan) Allah. Poligami adalah konsensi bukan konstitusi; diijinkan bukan diperintahkan. Hal ini terjadi karena ketegaran (kekerasan) hati manusia. Tetapi rancangan Allah dari sejak semula tidaklah demikian (Matius 19:8).

[21] McDowell, Josh., 1997. Rigth From Wrong , terjemahan, Penerbit Profesional Books : Jakarta, hal. 176.

[22] Justin Taylor dalam Piper, John & Justin Taylor, ed., 2011. Seks dan Supremasi Kristus, hal. 2.

[23] Wijaya, Andik., Equipping Leaders to Figth for Sexual Holiness, hal. 40.

[24] Piper, John & Justin Taylor, ed., 2011. Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan. Penerbit Momentum : Jakarta, hal. 45.

[25] Beberapa dari imortalitas sksual masa kini seperti berikut ini : penyimpangan, pelecehan, dan kekerasan seksual : homoseksualitas, pornografi, party sex (seks kelompok), perkosaan, prostitusi (pelacuran), inses, sodomi, pedofilia, sadisme seks, fetisisme (penggunaan benda mati untuk perangsang dan pemuasan seksual), dan lainnya.

[26] Dobson, James., 2004. Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga. Terjemahan Penerbit Gospel Press : Batam, hal. 267.

[27] Diadaptasi dari beberapa sumber : Paulus L. Kristianto., 2006. Prinsip dan Praktik Pendidikan Agama Kristen. Andi: Yogyakarta; Hearth, W. Stanley., 1997. Psikologi Yang Sebenarnya. Penerbit ANDI: Yogyakarta; Monks, F.J, AMP. Knoers, & Siti Rahayu Haditono., 1994. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Edisi Revisi. Diterbitkan dan dicetak : Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

[28] Surbakti, E.B., 2002. Kenalilah Anak Remaja Anda. Penerbit PT. Elex Media Komputindo : Jakarta, hal. 124-126.

[29] Irianto, Koes. Seksologi Kesehatan, hal. 81-82.

[30] Pembahasan lebih lanjut dapat dilihat dalam : Clinton, Tim & Mark Laaser., 2010. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan Indonesia (2012), Penerbit ANDI : Yogyakarta; dan Irianto, Koes., 2013. Seksologi Kesehatan. Penerbit Alfabeta : Bandung.

[31] Dobson, James., 2004. Panduan Lengkap Pernikahan dan Keluarga. Terjemahan Penerbit Gospel Press : Batam, hal. 266.

[32] Ibid, hal. 267.

[33] Ibid, hal. 268.PENDIDIKAN SEKS DALAM PERSPEKTIF IMAN KRISTEN DAN SAINTIFIK (MATIUS 5:27-29). https://teologiareformed.blogspot.com/
Next Post Previous Post