7 ATRIBUT YANG HANYA ADA PADA DIRI ALLAH

Pdt Dr. Billy Kristanto

Salah satu persoalan besar dalam diri manusia, bahkan persoalan yang paling besar, adalah pengenalan Allah yang keliru. Alkitab mengatakan bahwa kita ini diciptakan menurut gambar-rupa Allah. Namun, yang seringkali terjadi adalah kita menciptakan ilah palsu menurut gambar-rupa kita sendiri. Kita tidak suka Allah yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Kita lebih suka ilah menurut versi kita sendiri, ilah yang sesuai dengan imajinasi dan pengharapan saya sendiri. Inilah yang disebut Kitab Suci sebagai penyembahan berhala. 
7 ATRIBUT YANG HANYA ADA PADA DIRI ALLAH
Penyembahan berhala bukanlah hal yang baru. Dalam Kitab Suci dicatat bahwa Israel bergumul untuk mengenal Allah yang sejati di tengah-tengah keadaannya yang seringkali menciptakan ilah palsu untuk mereka sembah. 

Menciptakan ilah kita sendiri memang sepertinya lebih menyenangkan, karena ilah yang demikian bisa cocok dengan natur keberdosaan kita. Jika kita serakah dan cinta uang misalnya, kita akan menciptakan konsep ilah yang sangat senang memberkati kita dengan harta dan kekayaan. Jika kita mengejar kesuksesan duniawi, kita bisa menciptakan ilah yang sangat bersedia membantu kita untuk mengejar kesuksesan yang fana itu. Jika kita suka melakukan kekerasan, maka kita bisa menciptakan ilah yang mendukung kita dalam melakukan kekerasan atas nama Tuhan. 

Tapi apakah itu adalah Allah yang dinyatakan dalam Kitab Suci? Jelas bukan. Maka, betapa pentingnya kita mengenal Allah yang sejati sesuai dengan yang dinyatakan oleh Alkitab, bukan sesuai dengan yang kita bayangkan. 

Sesungguhnya, seumur hidup ini, kita bahkan terus bergumul untuk membebaskan diri dari ilah-ilah yang palsu tersebut, untuk mengenal Allah yang sejati, yang dinyatakan dalam Kitab Suci. Untuk ini, kita perlu mengenal sifat-sifat Allah, sebagaimana dinyatakan dalam Kitab Suci. Di dalam teologi sistematika reformatoris, kita membedakan sifat-sifat atau atribut-atribut Allah yang dikomunikasikan dan yang tidak dikomunikasikan. 

Atribut-atribut yang tidak dikomunikasikan hanya ada pada Allah saja, seperti kedaulatan-Nya, kemahakuasaan-Nya, kemahatahuan-Nya, kemahahadiran-Nya, ketidakberubahan-Nya, ketidakterbatasan-Nya, kekekalan-Nya, dan sebagainya. Sedangkan atribut-atribut yang dikomunikasikan adalah atribut-atribut yang juga dapat dijumpai dalam diri manusia, misalnya kasih, kebaikan, keadilan, belas kasihan, kebijaksanaan, dan lain-lain. 

Kita perlu membedakan atribut mana yang dapat dikomunikasikan, mana yang tidak dapat dikomunikasikan, karena kegagalan untuk membedakan kedua hal ini bisa berakibat fatal dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, ada dua penghayatan yang berbeda ketika kita mengerti kedua macam atribut ini. Atribut yang tidak dikomunikasikan seharusnya menyadarkan bahwa kita bukanlah Allah, kita tidak seperti Allah, dan oleh sebab itu atribut-atribut ini tidak dapat diteladani. Sebaliknya, atribut-atribut yang dikomunikasikan seharusnya mendorong kita untuk hidup seperti Allah, sesuai dengan sifat atau atribut-Nya yang dikomunikasikan kepada makhluk ciptaan-Nya. 

Di sini kita ingin membahas 7 atribut yang tidak dikomunikasikan, yaitu atribut-atribut yang hanya ada pada diri Allah sendiri. 

1. KEDAULATAN ALLAH

Kedaulatan Allah adalah atribut Allah yang tidak dikomunikasikan, hanya ada pada Allah sendiri. Jika kita mengatakan dan percaya Allah adalah Allah yang berdaulat, maka kita harus mengakui dengan rendah hati bahwa sebagai manusia kita tidak memiliki kedaulatan seperti Allah. Dengan kata lain, kita tidak berkuasa, bukan hanya atas Allah, tapi juga tidak berkuasa atas hidup kita sendiri, ya, bahkan juga tidak berkuasa atas hidup manusia yang lain. Allahlah yang berdaulat. 

Apa arti doktrin kedaulatan Allah bagi kita? Artinya, mengenal Allah yang berdaulat seharusnya mendorong kita untuk hidup bergantung, berserah, dan taat kepada Allah. Bukan saya yang mengatur kehendak Allah, melainkan Allahlah yang mengatur kehendak saya. 

Menghayati kedaulatan Allah ini memerlukan penyangkalan diri kita. Kita tidak dapat hidup semau sendiri, sesuai dengan keinginan kita; sebaliknya, kita akan disebut berbahagia, ketika kita dapat menaklukkan kemauan kita di dalam kemauan Allah. Ini berarti Allah tidak dapat kita dikte; sebaliknya, kita harus terus menyangkal diri untuk hidup menyenangkan Allah. Kita tidak perlu kuatir, karena Allah yang berdaulat ini adalah Allah yang Mahakuasa, yang sanggup untuk mengatur dan memimpin kehidupan kita. 

2. KEMAHAKUASAAN ALLAH

Kemahakuasaan Allah juga merupakan atribut Allah yang tidak dikomunikasikan. Sekali lagi, jika kita mengakui Allah kita adalah Allah yang Mahakuasa, maka ini berarti kita sebagai manusia harus mengakui diri sebagai makhluk yang tidak berkuasa. Orang yang mengejar kuasa dalam hidupnya, sebenarnya tidak mengakui kemahakuasaan Allah. Perhatikanlah diktator-diktator atau penguasa-penguasa tirani yang kejam itu; mereka ingin menjadi seperti Allah, menjadi mahakuasa seperti Allah, sementara kita tahu kemahakuasaan adalah atribut Allah yang tidak dikomunikasikan pada makhluk ciptaan. 

Lalu bagaimana menghayati atribut kemahakuasaan ilahi ini? Sebagai manusia, kita perlu menghayati kehambaan diri kita. Jika Allah Mahakuasa, maka kita tidak mahakuasa, alias kita adalah hamba-hamba-Nya. Seorang hamba akan menyatakan kemahakuasaan Allah dalam dirinya, ketika dia hidup dengan penuh pengabdian dan pelayanan kepada Allah dan manusia, bukan hidup penuh ambisi untuk mendapat kuasa. Yesus Kristus berkata tentang diri-Nya: “Anak manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45). Di sini Yesus menyatakan apa artinya menjadi manusia yang menghayati kemahakuasaan Allah Bapa.

3. KEMAHATAHUAN ALLAH

Yang ketiga adalah atribut kemahatahuan Allah. Mengakui kemahatahuan Allah, berarti mengakui ketidaktahuan kita sebagai manusia. Orang yang sok tahu sesungguhnya tidak menghidupi doktrin kemahatahuan Allah. Allah adalah satu-satunya yang Mahatahu. 

Sama seperti atribut Allah yang lain, mengakui atribut kemahatahuan Allah merupakan sebuah doksologi. Bukan hanya itu, jika kita mengakui kemahatahuan Allah, berarti kita menjadikan Allah sebagai sumber pengetahuan (baca: pengenalan) kita. 

Pengetahuan kita, termasuk atas hal-hal yang ada dalam dunia ini, tidak dapat dipisahkan dari perspektif pengenalan kita akan Allah. “Orang bebal berkata: ‘Tidak ada Allah’” (Mazmur 14:1). Sesungguhnya mereka yang berpura-pura Allah tidak terlibat dalam pengetahuan kita, juga termasuk orang bebal. Orang-orang seperti ini mungkin bukan seorang ateis teoretis; jika ditanya apakah mereka percaya Allah ada, mereka akan mengatakan “ya”, namun dalam kenyataannya bisa saja tidak peduli dengan kemahatahuan Allah dalam hidupnya. 

Jika kita mengakui kemahatahuan Allah, maka kita akan berusaha hidup dalam kesadaran bahwa Allah melihat dan menilai segala yang kita lakukan dan pikirkan, entah diketahui oleh orang lain atau tidak. Mereka yang selalu berpura-pura baik ketika dilihat orang lain, sesungguhnya tidak mengakui kemahatahuan Allah, karena baginya orang lain yang mengetahui perbuatannya lebih penting daripada Allah yang mengetahui. 

4. KEMAHAHADIRAN ALLAH

Allah yang Mahatahu tidak dapat dipisahkan dengan kemahahadiran-Nya. Maka kemahahadiran Allah juga merupakan atribut Allah yang tidak dikomunikasikan. Kita, manusia, tidak dapat mahahadir. Mengakui kemahahadiran Allah berarti menghayati bahwa kita ini terbatas dalam kehadiran kita. 

Kehadiran Allah tidak terbatas, dan Allah mau agar kita menerima keterbatasan kehadiran kita. Keterbatasan kehadiran ini adalah sesuatu yang indah dalam hidup manusia. Kita yang diciptakan tidak mahahadir, harus belajar untuk memaknai kehadiran kita yang 

terbatas ini setiap kali kita berjumpa dengan orang lain, yang juga terbatas. Kita tidak selalu bisa hadir dalam kehidupan orang lain, demikian juga orang lain tidak selalu bisa hadir dalam kehidupan kita. Ketika kita menghayati hal ini, kita akan lebih menghargai momen-momen kehadiran kita dalam diri orang lain, entah itu anggota keluarga kita, sahabat-sahabat yang kita kasihi, maupun orang yang kurang kita kenal, yang dengan mereka mungkin kita hanya berjumpa sekali seumur hidup kita. 

Ya, meskipun teknologi mutakhir di zaman ini seolah bisa menggantikan kehadiran kita di bagian dunia yang lain, sesungguhnya kehadiran tubuh kita tetap akan selalu terbatas. Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia bukan hanya jiwa, melainkan juga tubuh. Dua hal ini tidak dapat dipisahkan. Mereka yang berusaha menggantikan kehadiran tubuh dengan kehadiran jiwa saja, sesungguhnya tidak peduli dengan ajaran Kitab Suci tentang keterciptaan kita. 

Bahkan Yesus pun berada dengan tubuh-Nya untuk seketika, waktu di dalam dunia ini. Yesus sudah terangkat ke surga, dan Ia kemudian meneruskan kehadiran-Nya dalam dunia ini melalui Roh-Nya yang kudus, dan juga melalui kehadiran kita sebagai anggota tubuh-Nya. 

Dan pada akhirnya, menghayati doktrin kemahahadiran Allah ini berarti juga memaknai kehadiran kita dalam kemahahadiran Allah. Apa artinya? Yaitu setiap kali kita berada, setiap kali kita hadir, kita bukan hadir dalam suatu kekosongan, suatu keadaan vakum, melainkan kita hadir dalam kehadiran Allah (jika kita memang menghayatinya). Pemazmur mengatakan, “Ke mana aku dapat menjauhi roh-Mu, ke mana aku dapat lari dari hadapan-Mu?” (Mazmur 139:7). 

Bagi pemazmur, doktrin kemahahadiran Allah ini bukanlah sesuatu yang menakutkan melainkan hal yang sangat menghibur dan menguatkan. Kemahahadiran Allah berarti tangan Allah menuntun dan memegang kita (Mazmur 139:10). Bagi orang tidak percaya kemahahadiran Allah adalah suatu fakta yang menakutkan, namun bagi kita yang percaya, doktrin ini memberi kelegaan yang besar. Kita tahu bahwa kita tidak pernah sendiri. 

5. KETIDAKBERUBAHAN ALLAH

Allah bukan saja Mahahadir, melainkan juga tidak pernah berubah. Artikel pertama Pengakuan Iman Belgia (Belgic Confession) mengatakan: “We all believe with the heart, and confess with the mouth, that there is one only simple and spiritual Being, which we call God; and that He is eternal, incomprehensible, invisible, immutable, infinite, almighty, perfectly wise, just, good, and the overflowing fountain of all good.”

Ketidakberubahan Allah (immutability of God) didasarkan pada Maleakhi 3:6 dan Yakobus 1:17. Allah adalah Allah yang tidak berubah kasih setia-Nya. Jika kita kembali kepada-Nya, Ia akan kembali kepada kita (Mal. 3:7). Allah tidak seperti manusia, yang suka berubah-ubah sifatnya sesuai dengan kondisi yang ada. Menurut Yakobus, pada Allah tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran. Ini didasarkan atas atribut Allah yang adalah terang. 

Calvin menjelaskan bahwa berbeda dengan matahari, yang hanya menyinari kita pada waktu siang namun tidak pada waktu malam, Allah adalah Allah yang tidak berubah karena Dia senantiasa sanggup untuk menyinari kita. Allah tidak pernah berubah artinya Allah tidak pernah meninggalkan kita seperti matahari meninggalkan kita. 

Matahari bisa memberikan bayangan karena pertukaran, Allah tidak. Undangan untuk mengerti doktrin ketidakberubahan Allah sekaligus merupakan undangan untuk terus hidup dalam terang Allah yang tidak berubah. 

6. KETIDAKTERBATASAN ALLAH

Yang keenam, Allah juga adalah Allah yang tidak terbatas. Belgic Confession mendasari pengakuan ini atas Yesaya 44:6, TUHAN adalah Allah yang terdahulu dan Allah yang terkemudian. Allah bukan hanya tidak terbatas oleh tempat (kemahahadiran) namun juga sekaligus tidak terbatas oleh waktu (ketidakterbatasan). 

Manusia adalah manusia yang terbatas (finite). Hari ini ada, besok sudah tidak ada dan dilupakan orang. Maka manusia yang berusaha untuk mengekalkan dirinya sesungguhnya tidak mengerti bahkan menolak doktrin ketidakterbatasan Allah. Manusia adalah manusia karena ia bisa memaknai kesementaraannya, bukan merubah kesementaraan menjadi tidak terbatas. 

Bahkan nabi Yesaya pun memiliki keterbatasan. Memang Firman Tuhan yang ia sampaikan adalah Firman yang kekal, namun ia sendiri pernah ada, lalu tidak ada lagi. Karena itu Firman Tuhan juga tidak berhenti setelah Yesaya; Tuhan membangkitkan nabi-nabi yang lain untuk meneruskan Firman-Nya. Betapa Kitab Yesaya adalah kitab yang indah, ketika kita membaca apa yang dinubuatkan oleh Yesaya itu, digenapi dan dicatat dalam Perjanjian Baru, yang tidak ditulis oleh Yesaya melainkan oleh orang-orang lain yang Tuhan bangkitkan. 

Orang yang tidak mau menghayati kesementaraannya sesungguhnya sedang berperan sebagai Allah. Hanya Allahlah yang terdahulu dan terkemudian. “Tidak ada Allah selain dari pada-Ku” (Yesaya 44:6). Ketidakterbatasan adalah atribut eksklusif yang hanya ada pada Allah. 

Menghayati kesementaraan kita, berarti memiliki kerendahan-hati untuk rela dilupakan orang, karena yang kita perjuangkan dalam kehidupan kita bukanlah kita sendiri, melainkan Allah yang tidak terbatas itu. Kesementaraan keberadaan adalah sesuatu yang indah. 

Hal ini diajarkan oleh Yesus sendiri. Dia mengatakan, pakaian kebesaran Salomo tidak seindah bunga bakung di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang (bdk. Matius 6: 28-30). Pakaian manusia dibuat dan dipertahankan menjadi sekekal mungkin, seawet mungkin, supaya tidak ditenggelamkan oleh zaman. 

Namun bunga bakung yang di ladang memancarkan keindahannya sesaat saja. Ya, ia memancarkan kemuliaan Allah dalam kesementaraannya. Ia tidak pernah mencuri kemuliaan Allah. Ia bersedia dilupakan, sementara hanya kemuliaan Allahlah yang kekal. Namun justru alam kesementaraannya itulah, bunga bakung sungguh indah. Jika kita menghayati kesementaraan hidup ini, kita tidak perlu mencoba untuk mengekalkan diri kita, karena kekekalan itu milik Allah. 

7. KEKEKALAN ALLAH

Yang terakhir, Allah juga adalah Allah yang kekal. Ia tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir. Hanya di dalam Allah, kita tidak memiliki akhir, kita mendapatkan kehidupan yang kekal. Namun kita tidak pernah tidak memiliki awal. 

Manusia selalu ada awalnya. Dan memiliki awal berarti kita perlu mengerti dari mana kita diciptakan, mengapa kita diciptakan. Dalam Yesaya 40:28 dikatakan bahwa “TUHAN ialah Allah kekal yang menciptakan bumi dari ujung ke ujung; Ia tidak menjadi lelah dan tidak menjadi lesu, tidak terduga pengertian-Nya.” Allah adalah Allah yang kekal karena Ia adalah Allah yang menciptakan. Kita tidak memiliki kekekalan seperti Allah karena kita diciptakan. Yang diciptakan harus mengerti makna penciptaan dari Allah Sang Pencipta. Kita tidak menciptakan diri kita sendiri, berarti kita juga tidak menciptakan makna hidup kita sendiri. Makna hidup sudah diberikan oleh Sang Pencipta. 


Kekekalan Allah menurut ayat ini juga berarti Allah tidak pernah lelah dan lesu. Kita manusia yang tidak kekal bisa menjadi lelah dan lesu. Ketika muda kita kuat, kita tampan, cantik, menarik, penuh dengan energi, idealisme, aspirasi dan sebagainya. Namun ketika menjadi tua, kita harus menerima bahwa kekuatan kita pudar, kita tidak lagi kuat dan menarik seperti dulu. Namun Allah menjadikan segala sesuatu indah pada waktu-Nya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati manusia (bdk. 

Pengkhotbah 3:11). Ayat ini menarik, karena mengaitkan secara paradoks kesementaraan manusia (yang hanya bisa berjalan dari satu waktu ke waktu yang lain, ada waktu kita kuat, ada waktu kita lemah) dengan kekekalan yang ditanamkan Allah dalam hati manusia. Ketika di sini dikatakan “ada kekekalan yang ditanamkan Allah dalam hati manusia”, kita jangan menjadi sombong, seolah-olah kekekalan itu menjadi atribut dari dalam diri manusia sendiri. Tidak begitu. 

Sifat kekekalan itu diberikan oleh Allah dalam hati manusia. Namun apa artinya kekekalan dalam hati manusia di sini? Bahwa manusia bukanlah korban dari pertukaran waktu ke waktu. Sebab jika demikian halnya, maka manusia adalah makhluk yang hanya menjadi korban berjalannya waktu (yang menenggelamkan dia). Sekalipun kita tidak dapat mempertahankan waktu (waktu selalu bergeser ke waktu yang lain), namun kita bisa memaknai hidup dalam setiap waktu. Setiap waktu yang sementara itu, menjadi indah pada waktunya masing-masing, ketika kita bisa menerimanya sebagai penetapan Allah.

Sesungguhnya Allahlah yang menetapkan musim, waktu, dan saat dalam kehidupan kita. Sehingga saat ketika kita kuat, itu adalah saat yang indah. Ketika kita menjadi lemah, itu pun juga adalah saat yang indah, karena saat itu juga diatur oleh Allah. Entah kuat entah lemah, kita dipanggil untuk bersaksi akan kekekalan Allah. Hanya Allah yang tidak menjadi lelah dan lesu. Manusia datang dan pergi. Allah ada sejak dahulu, sekarang, dan sampai selama-lamanya. Amin.

Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :


Next Post Previous Post