BOLEHKAN ORANG KRISTEN BERPACARAN DAN BERKENCAN?

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
(Suatu Perspektif Teologis dan Etis tentang Berpacaran dan Berkencan)

“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 2:6)

PENDAHULUAN

Di Palangka Raya, baru-baru ini masyarakat dikagetkan dengan penemuan janin yang di buang oleh ibunya sendiri sebagai akibat dari tindakan aborsi. Sejauh yang diketahui dan terekspos media, di Palangka Raya, sedikitnya dalam 1 bulan terakhir ini (April 2015) ada tiga kasus penemuan janin hasil aborsi. Ini dapat diibaratkan seperti fenomena gunung es, 10 % terdapat di pemukaan air dan 90 persen sisanya tersembunyi di bawahnya. Apa yang terlihat di permukaan merupakan bagian kecil dari apa yang tidak terlihat di bawah permukaan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Palangka Raya, tetapi juga di beberapa daerah lainnya di Indonesia.

Apa yang saya kemukakan di atas bukan sekedar pendapat. Sumber data dari berbagai survey dan penelitian menunjukkan bahwa angka seks pranikah, seks bebas, dan aborsi di Indonesia cukup tinggi. Hal ini seharusnya membuat semua pihak prihatin! Data hasil penelitian Kementerian Kesehatan RI di empat kota besar (Medan, Jakarta, Bandung dan Surabaya) pada tahun 2009 menunjukkan bahwa 35,9 % remaja mempunyai teman yang sudah pernah melakukan hubungan seks pranikah dan 6,9 % responden telah melakukan hubungan seks pranikah. Seperti diberitakan, data BKKBN 2010 mencatat sebanyak 51 % remaja di Jabotabek telah melakukan hubungan layaknya suami istri. 

Selain Jabodetabek, data yang sama juga diperoleh di wilayah lain seperti Surabaya, di mana remaja perempuan lajang yang kegadisannya sudah hilang mencapai 54 %, di Medan 52 %, Bandung 47 %, dan Yogyakarta 37 %. Penelitian Australian National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia di Jakarta, Tangerang dan Bekasi (Jatabek) tahun 2010 dengan jumlah sampel 3.006 responden (usia di bawah 17 – 24 tahun) mengindikasikan sebanyak 20,9 % remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah sedangkan 38,7 % remaja mengalami kehamilan sebelum menikah dan kelahiran setelah menikah. Survei Komnas Anak (Data Maret 2007) di 12 Provinsi (4500 remaja sebagai responden). 93,7 % pernah berciuman hingga petting (bercumbu), 62,7 % remaja SMP sudah tidak perawan, 21,2 % remaja SMA pernah aborsi. Survey Synovate Research (Data Maret 2009). 44% mengaku punya pengalaman seks di usia 16-18 tahun; 16% mengaku pengalaman seks di dapat di usia 13-15 tahun; Tempat melakukan seks : di rumah (40%), kamar kos (26%) dan hotel (26%). 

Berdasarkan data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa penyalahgunaan seks telah menjadi masalah yang serius! Hal ini tak hanya karena tingginya angka seks pra nikah dan aborsi, melainkan juga meningkatnya angka perkosaan, kekerasan seksual, dan penyakit menular seksual. Seks yang seharus menjadi berkat bagi manusia, dapat berubah menjadi kutuk karena penggunaannya yang salah, dan melawan kehendak Allah Sang Pencipta. Karena itu pendidikan, secara khusus pendidikan seks, kesehatan reproduksi dan sejenisnya bukan lagi merupakan pilihan melainkan keharusan untuk diajarkan, khususnya bagi orang-orang Kristen. Ayat bacaan kita dalam Amsal 22:6 mengatakan “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 2:6).

Data-data tersebut juga bukan hanya menunjukkan lemahnya pendidikan dan pengawasan orang tua terhadap anak-anak, melainkan juga menyiratkan tiga hal, yaitu : 

(1) Degradasi moral, yaitu kemerosotan moral yang telah dirasakan begitu luas oleh berbagai kalangan. Karena itu, pendidikan moral dan keagamaan harus dikembalikan pada tempat yang utama dalam melawan pengaruh etika modern yang rasionalistik yang dipengaruhi oleh pencerahan dan individualistik; 

(2) Bahaya Pluralisme. Di era globalisasi dari postmodern saat ini kita semakin menyadari berbagai aturan moral yang berbeda dari berbagai budaya yang berbeda. Saat ini kita hidup disuatu era perjumpaan global dan keragaman budaya, dan itu membutuhkan kemampuan untuk beradaptasi; 

(3) Pudarnya semangat keteladan. Karakter dibentuk oleh orang-orang lain yang menjadi model atau mentor yang diikuti. Orang tua (dirumah), guru (disekolah), pembina rohani (digereja) yang menjadi model atau teladan turut membentuk karakter seseorang. Sayangnya, kebanyakan teori etika individualistik dan rasionalistik modern kurang memperhatikan pengaruh-pengaruh keteladanan ini; atau dengan kata lain, semangat untuk mewarisi keteladanan ini telah semakin memudar.

BOLEHKAN ORANG KRISTEN BERPACARAN ?

Satu pertanyaan yang sering ditanyakan dalam pergaulan muda-mudi Kristen adalah “bolehkah orang Kristen berpacaran?” ada orang tua yang melarang anaknya berpacaran, sementara yang lain memperbolehkan. Memang di dalam Alkitab tidak ditemukan istilah berpacaran maupun kencan, yang ada ialah perihal pertunangan. Namun bukan berarti bahwa Alkitab melarangnya. Apabila pemahaman dan pelaksanaan pecaran tersebut dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran firman Tuhan, maka saya berpendapat bahwa berpacaran itu tidak masalah. Pacaran yang bermasalah adalah pacaran yang dilakukan sekehendak hati, hanya untuk bersenang-senang, dan memuaskan hawa nafsu keinginan sendiri, sehingga mengabaikan kebenaran firman Tuhan.

Jika pacaran (courting) diartikan sebagai “pacaran terikat antara pria dan wanita” yang identik dengan “berduaan, bercumbu dan ciuman (petting), dan seks sebelum pernikahan, maka orang Kristen dilarang berpacaran. Tetapi jika yang dimaksud dengan berpacaran itu adalah suatu usaha untuk mengenal dan menjajaki seorang lawan jenis sebelum dijadikan pasangan hidup, maka pacaran diperbolehkan. Artinya disini tujuan dari pacaran harus dipahami sebagai pertemanan atau persahabatan khusus antara seorang pria dan seorang wanita untuk saling mengenal dan mengetahui lebih banyak informasi satu sama lainnya, mengenal satu sama lain dan keluarganya sebagai suatu persiapan menuju pernikahan. 

Karena itu batasan-batasan dalam berpacaran harus diperhatikan, yaitu : 

(1) Jangan melakukan hal-hal atau tindakan-tindakan apa pun yang tidak diizinkan oleh Tuhan atau yang melanggar firman Tuhan. Ingat bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatunya dan tak ada yang tersembunyi dihadapan-Nya (Ibrani 4:13); 

(2) Perhatikan dan hormati norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Misalnya, jika masyarakat membatasi jam berkunjung pada pukul 21.00 WIB, maka ikuti aturan itu dan jangan memberontak; 

(3) Selama masa pacaran atau berkencan harus diingat bahwa keduanya belum mempunyai ikatan apa pun. Karena itu masing-masing jangan pernah berpikir atau merasa memiliki atau berhak terhadap satu sama lainnya layaknya orang yang sudah menikah.

Perlu juga ditegaskan di sini bahwa pacaran itu tidak wajib. Jika seseorang sudah mencapai usia tertentu namun tidak punya pacar atau tidak pernah pacaran, mak hal itu tidak perlu dirisaukan. Karena seseorang bisa saja mendapat jodoh dan menikah tanpa harus berpacaran terlebih dahulu. Perlu dipahami bahwa pacaran tidak menjamin kelanggengan suatu pernikahan yang akan dibangun kemudian. Kelanggengan pernikahan merupakan hasil suatu proses yang sangat ditentukan oleh sikap kedua pasangan. 

Karena itu meskipun tidak pernah pacaran, tetapi jika dalam perjalanan pernikahannya keduanya mau dan dapat bekerja sama dengan baik satu sama lain, maka kelanggengan itu akan dapat dicapai. Sebaliknya meskipun melalui proses pacaran, tetapi ketika masuk dalam pernikahan kedua pasangan tidak mau bekerja sama dan saling egois, maka kelanggengan pernikahan tidak akan terwujud.

Segera timbul pertanyaan lainnya “Jika pernikahan bisa langgeng tanpa melalui proses pacaran, apakah itu berarti pacaran tidak penting?” Tentu saja masa pacaran itu penting jika dipahami dan dijalani dengan baik. Sebab dengan berpacaran seorang pria dan wanita berkesempatan untuk menentukan pasangan pernikahan pilihan sendiri, setelah melewati proses pengenalan dan penjajakan. Dengan demikian mereka seperti yang dikatakan peribahasa “tidak membeli kucing dalam karung”.

Namun, ketika seorang pria atau wanita Kristen memilih untuk berpacaran maka ada tiga komitmen yang harus dipegang teguh, yaitu: 

(1). Berpacaranlah dengan seorang yang seiman dan beribadah (2 Korintus 6:14). Jangan pernah bermain-main dengan iman, dan dengan sengaja memilih pacar seorang yang tak seiman. Jadi sebaiknya berpacaranlah dengan yang seiman dan ajaklah pacar tersebut pergi ke gereja atau menghadiri ibadah, agar firman dan Roh Kudus senantiasa melindungi. Jangan lupa memberitahu orang tua atau pembina rohani (pendeta) tentang status berpacaran tersebut agar mereka dapat memberikan nasihat dan membantu mengawal / menjaga selama masa-masa berpacaran 

(2) Mengendalikan diri dan menjaga kekudusan selama berpacaran (1 Petrus 1:15-16). Batas berpacaran dan berkencan adalah no sex (tidak melakukan aktivitas seks dalam bentuk apa pun) dan tetap menjaga kekudusan. Seks adalah pemberian Tuhan. Namun seks hanya boleh digunakan dalam konteks pernikahan. Tidak ada alasan apa pun untuk menggunakan seks di luar lembaga pernikahan. Seandainya suatu saat pacaran tidak dapat dilanjutkan karena berbagai alasan, maka keduanya berpisah (putus) tetap dalam kekudusan. Karena itu jauhi pornografi di mana pun juga karena itu dapat merangsang emosi dan seksualitas secara negatif. 

(3) Jadilah orang yang setia dan menepati janji. Selama masa berpacaran kedua kualitas ini harus ditunjukkan dan terus dilanjutkan dalam pernikahan. Walaupun masih pada tahap masa pacaran dan belum ada ikatan apa pun, tetapi itu bukan berarti bebas gonta ganti pacar dan melakukan pemutusan hubungan seenaknya. Harus di ingat bahwa pemutusan hubungan dapat mengakibatkan luka, kekecewaan, dan dendam.

Pertanyaannya penting berikutnya adalah “Kapan seseorang boleh berpacaran?” Seseorang boleh berpacaran bila memenuhi syarat berikut ini: 

(1) Sudah dewasa dalam umur, pikiran, dan iman. Artinya, jangan berpacaran di usia terlalu dini karena tujuan berpacaran adalah persiapan menuju pernikahan. Penulis Kidung Agung berulang kali mengingatkan agar tidak membangkitkan cinta sebelum waktunya (Kidung Agung 2:7; 3:5; 8:4). 

(2) Sudah bisa mengendalikan, menguasai dan memimpin dirinya sendiri (Amsal 16:32; 2 Timotius 4:5). Karena itu saat mengambil keputusan untuk berpacaran, maka fokus utama pada saat berkencan bukan kepada sentuhan fisik melainkan percakapan (komunikasi) yang berarti. Jangan berkencan di tempat sepi atau tersembunyi, tetapi carilah tempat yang ramai dan dapat dilihat orang. 

(3) Sudah siap berumah tangga. Ingat tujuan dari berpacaran adalah persiapan menuju pernikahan atau berumah tangga bukan untuk “bersenang-senang”. Bila seseorang belum siap untuk berumah tangga, sebaiknya jangan mengambil keputusan untuk berpacaran.

BAGAIMANA DENGAN BERKENCAN ?

Setiap kebudayaan, meskipun dengan cara yang berbeda-beda, memberikan kesempatan kepada orang-orang untuk bertemu (berkencan) dengan lawan jenisnya demi mendapatkan seorang pasangan yang cocok untuk dinikahi. Namun dalam banyak kasus, hal semacam itu masih dikendalikan dengan sangat ketat oleh tabu-tabu sosial, misalnya tidak boleh berkencan (dating) tanpa seorang pendamping. Namun dalam kebudayaan lainnya, malah tidak ada kesempatan sama sekali untuk boleh berkencan. 

Dalam kebudayaan masyarakat kuno pada umumnya, pernikahan diatur oleh orang tua. Sementara itu kontak sosial antara kedua pasangan hampir tidak ada sama sekali sebelum pertunangan, kecuali melalui kesempatan-kesempatan untuk saling mengamati dalam kehidupan pedesaan atau kegiatan-kegiatan bersama lainnya guna mempertahankan hidup. Kontak seksual sebelum pernikahan pun tidak ada (Tentunya ini merupakan hal yang normatif). Dalam sejumlah kebudayaan masa kini, pernikahan yang dirancang oleh orang tua atau keluarga besar ini masih terus dipertahankan, terutama dalam keluarga-keluarga yang menghormati kebijakan orang tua atau keluarga.

Sebaliknya, dalam gaya modern barat, kegiatan kencan terkadang melibatkan hubungan seksual, yaitu pada pertemuan kedua atau ketiga setelah kencan pertama. (Kekristenan jelas menolak kencan dalam pengertian seperti ini). Hal ini biasanya didasarkan atas keyakinan bahwa sentuhan fisik seperti ciuman, cumbuan, belaian dan hubungan seksual merupakan cara untuk menunjukkan kedalaman dan keseriusan perasaan cinta. 

Hal ini biasanya terfokus pada perasan cinta atau tergila-gila terhadap seseorang, yang sebenarnya merupakan fenomena kasmaran sesaat. Padahal dalam kenyataannya komunikasi dan percakapan selama masa berkencan yang sering kali diabaikan justru lebih memungkinkan untuk mengetahui kedalaman cinta sejati yang diharapkan. Karena itulah, dalam banyak kebudayaan masyarakat masa kini timbul asumsi bahwa seorang laki-laki dan perempuan tidak mungkin berdua-duaan (berkencan) tanpa melakukan hubungan seksual.

Gereja Kristen telah menembus dan mengubah berbagai budaya di seluruh dunia. Namun di tempat-tempat yang menerima pandangan pernikahan yang Kristiani, sistem pernikahan berdasarkan rancangan orang tua atau keluarga tidak selalu dihilangkan. Kadang gereja memang mengubah sistem ini. Namun ada satu hal yang selalu ditekankan oleh Kekristenan yaitu bahwa pernikahan membutuhkan persetujuan. Hal itu didasarkan alasan-alasan teologis yang berkaitan dengan perjanjian Allah dengan umat-Nya. Perjanjian tidak mungkin diikat tanpa adanya persetujuan dengan sepenuh hati dari mempelai perempuan maupun mempelai laki-laki. Persetujuan merupakan suatu ke mutlak kan dalam mengikat perjanjian pernikahan. 

Karena inti dari pernikahan adalah perjanjian melalui persetujuan kedua mempelai, maka saya yakin bahwa baik sistem pernikahan yang dirancang orang tua (keluarga) maupun sistem pernikahan yang didahului oleh masa pacaran dan kencan dapat dipakai untuk pernikahan masa kini. Seorang pria dan wanita dapat menemukan pasangan yang sepadan dan membuat ikatan perjanjian seumur hidup melalui kesepakatan pribadi mereka, entah ia mendapatkan calon pasangannya melalui sistem rancangan orang tua maupun melalui sistem kencan.

Secara khusus, berkencan berkaitan dengan dua tema teologis yang besar, yaitu persahabatan dan pernikahan. Berkaitan dengan pernikahan, kencan berfungsi sebagai suatu jalan (meskipun bukan satu-satunya jalan) untuk menemukan pasangan pernikahan dan mengamati dengan seksama kesiapan memasuki pernikahan dalam diri kedua pasangan. Namun, sistem kencan Kristiani benar-benar harus memberitakan batasan-batasan yang jelas dan tegas, mengingat gaya pergaulan bebas masa kini yang menyebabkan meningkatnya hubungan seksual pranikah sebagaimana data-data yang disajikan dalam pendahuluan artikel ini.

Walaupun tidak memberikan petunjuk-petunjuk khusus tentang hal berkencan, Alkitab menyediakan suatu konteks teologis yang dapat membantu dalam memberikan batasan-batasan kencan pranikah. 

Karena itu berikut ini beberapa strategi yang perlu diketahui dalam mempersiapkan pernikahan dan mengawasi sistem kencan. 

(1) Mendahulukan Allah dan berdoa untuk mencari tahu kehendak Allah apakah harus tetap melajang atau menikah; 

(2) Kembangkan hubungan-hubungan persahabatan dan wujudkan kehidupan melajang yang sukses; 

(3) Jadilah orang Kristen yang dapat menikah dengan mengembangkan kualitas-kualitas pertunangan yang terdapat dalam Hosea 2:19-20; 

(4) Terbukalah terhadap hubungan-hubungan khusus, dan bangunlah hubungan-hubungan itu berdasarkan persahabatan sosial dan rohani dengan mengekspresikan kasih sayang jasmani seminimal mungkin dan menghindari keterlibatan seksual; 

(5) Cari nasihat dari orang-orang dewasa, pembina rohani, dan orang tua yang dapat membantu mengawal dan mengawasi hubungan selama masa kencan atau pacaran. 

(6) Jika berduaan, carilah tempat yang dapat dilihat oleh umum dan tempat duduk yang memiliki jarak untuk menjaga supaya tetap bersikap sopan; 

(7) Masing-masing pasangan perlu mengungkapkan isi hati dan keinginan satu sama lain melalui komunikasi dan pembicaraan selama berkencan. 

(8) tundalah pernyataan seksual yang intim sampai saat pernikahan, tetapi persiapkanlah diri terhadap hal itu (seksual) dengan informasi yang baik dan benar.

Seorang pria dan wanita Kristen perlu memiliki kehidupan yang berkenan di hadapan Tuhan (Roma 12:1-2). Bagaimana caranya? Dengan menjaganya sesuai dengan firman Tuhan” (Mazmur 119:9). Karena itu, secara praktis pada saat berkencan perhatikan hal-hal berikut ini : 

(1) Jangan membiarkan mata dan otak dicemari dengan hal-hal yang bersifat negatif atau sejenisnya yang dapat membangkitkan pikiran dan tindakan kotor (Efesus 4:17); 

(2) Jauhi pembicaraan atau candaan yang saling membangkitkan hawa nafsu seksual, tetapi pusatkan pembicaraan dan canda yang berorientasi pada pertumbuhan moral dan spiritual (Efesus 5:11-12); 

(3) Saat berkencan sebaiknya hindari TTS (tempat tempat sepi/sunyi), TTM (tempat-tempat maksiat/mesum), dan tempat-tempat yang dapat membangkitkan emosional dan gairah seksual atau tempat yang mengakibatkan terlepasnya kontrol diri (Mazmur 1:1,2); 

(4) Bagi wanita biasakan diri memakai pakaian yang sopan. Jangan memakai pakaian KTP (ketat, tipis, pendek), atau pakaian 3T (transparan, terbelah, dan terbuka) walaupun dengan alasan mengikuti “trend” atau sedang mode (modis). Karena hal itu secara sadar atau tidak dapat menggoda kaum pria untuk berdosa melalui penglihatan, dan pikiran yang berorientasi seksual atau perjinahan (1 Timotius 2:9); 

(5) Bagi kaum pria jangan melakukan kegiatan yang merangsang pikiran dan tindakan yang jahat/bertentangan dengan norma-norma masyarakat, tetapi belajar mendisiplin dan mengontrol diri dengan mengingat bahwa Tuhan menuntut kekudusan bagi kaum pria juga (1 Petrus 1:15-16).

TUJUAN DARI BERPACARAN DAN BERKENCAN

Tujuan dari berpacaran maupun berkencan adalah suatu usaha untuk mengenal dan menjajaki seorang lawan jenis sebelum dijadikan pasangan hidup. Ini penting diingatkan kembali karena banyak orang yang berpacaran hanya karena mengikuti “trend” atau takut disebut sebagai “orang yang tidak laku”. Pertanyaannya, “apakah yang perlu dikenali dan dijajaki selama masa berpacaran? 

(1) Mengenali karakter dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini selama masa-masa pacaran tersebut : Apakah ia tipe seorang yang setia? Apakah ia seorang pria yang menghargai wanita atau seorang wanita yang menghormati otoritas pria (suami)? Apakah ia seorang yang beribadah dan takut akan Tuhan? Apakah ia tipe seorang yang bertanggung jawab? Apakah kelemahannya? Bagaimana keadaan emosinya, apakah labil ataukah stabil? Bagaimana sikapnya ketika menghadapi tekanan? Bagaimana caranya menyelesaikan masalah? 

(2) Menjajaki kemampuan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini selama masa-masa pacaran tersebut : Apakah saya sanggup menutupi semua kelemahannya atau tidak? Apakah saya bisa menerima kekurangan-kekurangannya atau tidak? Jika mampu, hubungan dapat dilanjutkan ke tahap pertunangan atau ke tahap pernikahan. Tetapi jika tidak mampu, maka sebaiknya tidak perlu dilanjutkan dan hubungan pacaran lebih baik dihentikan dengan baik-baik.

Kenyataannya tujuan dari pacaran sebagai masa pengenalan dan penjajakan tersebut di atas sering kali diabaikan. Masalahnya adalah justru ketika pacaran orang sering menyembunyikan kelemahan (kekurangan) dan berusaha menampilkan yang baik-baik saja untuk dilihat, sehingga sering kali orang tertipu dengan penampilan luar. 

Karena itu untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat perlu memperhatikan hal-hal berikut ini. 

(1) Jujur kepada diri sendiri. Biarkan semua fakta menjelaskan kepada kita tentang siapa sesungguhnya orang tersebut. Sering kali orang tertipu karena tidak jujur. Ketika sudah mengetahui dan mendapatkan fakta tentang pacarnya, justru menolak fakta tersebut dan menganggapnya salah. 

(2) Mencari informasi sebanyak-banyaknya. Ketika berpacaran, orang sering kali menampilkan yang baik di depan pacarnya, karena itu perlu untuk mendapatkan informasi melalui orang-orang dekat di sekitarnya, seperti kakak, adik, sahabat, dan tetangganya. Informasi tersebut dapat dijadikan referensi sebagai dasar pertimbangan keputusan nantinya. Semakin banyak informasi yang didapat semakin akurat keputusan yang diambil. 

(3) Jangan dibutakan oleh cinta. Cinta itu tidak buta. Cinta dapat melihat dengan jelas. Cinta itu perlu bersikap logis dan berpikir objektif. Jangan pernah mengikuti filsafat dunia yang menyatakan bahwa cinta itu buta. Hal itu dapat menyesatkan! Memang orang yang sedang jatuh cinta akan menganggap pacarnya yang paling baik, paling setia, paling jujur, dan yang paling perhatian. Hal itu terjadi berkaitan dengan perasaan dan keadaan emosinya. Namun, Allah menciptakan manusia bukan hanya dengan kemampuan merasa tetapi juga dengan kemampuan berpikir. Tetaplah gunakan kemampuan berpikir ini juga ketika sedang jatuh cinta.

Sebagai tambahan penjelasan, manusia merasa dan berpikir, karena Allah merancangnya demikian. Perasaan atau emosi kita diekspresikan dalam sukacita, kemarahan, penyesalan, dan perasaan-perasaan lainnya. Emosi merupakan sesuatu yang baik. Kita marah terhadap kejahatan, kita sedih terhadap kemiskinan dan penderitaan, serta lain sebagainya. Tetapi, emosi harus tetap dijaga dalam konteks dan ekspresi yang benar. Yang harus diingat, emosi tidak dapat menentukan kebenaran atau memutuskan kebenaran dari kesalahan. 

Merasa baik misalnya, tidak mengindikasikan bahwa sesuatu itu benar, dan merasa buruk tidak mengindikasikan kesalahannya. Emosi adalah bagian dari jiwa yang menghargai dan merespon kepada hidup. Menghargai emosi untuk mengidentifikasi kebenaran adalah seperti meminta telinga kita untuk mencium sebuah bunga. Telinga itu tidak dapat melakukannya karena telinga tidak diciptakan untuk mencium. Emosi tidak memiliki muatan dan informasi di mana kita dapat mengevaluasi kebenaran atau kesalahan. Kapasitas pikiran kitalah yang melakukan fungsi ini. 

Kekristenan yang benar mengajarkan kita untuk tidak membuat keputusan atau mengambil tindakan berdasarkan perasaan. Mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan bagaimana kita merasa bisa membawa kepada bahaya, karena emosi tidak dapat mengenali benar atau salah lebih daripada kemampuan pikiran untuk mengenalinya. 

Emosi memang mempengaruhi pikiran, tetapi seharusnya tidak menjadi faktor penentu. Ketika kebenaran dan kesalahan diidentifikasi, perasaan dapat dan harus menemani keputusan. Orang Kristen harus mengikuti teladan Yesus dan juga rasul Paulus yang menggunakan emosi mereka dengan baik dengan menaruhnya pada tempatnya. Kemampuan atau kapasitas pikiran kita harus digunakan untuk membuat keputusan-keputusan mengenai kebenaran dan moral.

PENUTUP

Pertanyaan penutup, “Bagaimana jika belum mempunyai pacar? Apakah hal tersebut perlu di kuatir kan?” Jawabannya “tidak!” Ketika seorang pria atau seorang wanita telah cukup umur namun tidak berhasil menjalin hubungan dengan pria atau wanita pilihan mereka, mungkin mereka akan merasa rendah diri. Bukankah di kalangan para remaja masa kini telah tersebar anggapan bahwa seorang “pria sejati” tidak akan kesulitan untuk menarik perhatian seorang wanita, dan seorang “wanita menarik” tidak kesulitan mendapatkan seorang pria. 

Bahkan memiliki pacar dapat menjadi ”bukti” bahwa mereka memang benar-benar menarik dan berhasil. Bagi para remaja ini, memiliki pacar menjadi semacam simbol status sosial, karena tidak mempunyai pacar akan menunjukkan bahwa seseorang itu payah, lemah, atau jelek. Hal ini dapat menjadi tekanan tersendiri bagi para remaja dan anak muda lajang. Mereka tidak ingin dianggap sebagai pecundang, dan karena itu mempunyai pacar adalah seperti tiket kilat menuju “sukses”.

Tetapi benarkah bahwa seorang pria dan wanita perlu memiliki pacar agar mereka dianggap menjadi manusia yang bahagia, sukses, dan berhasil? Tentu saja tidak! Tetapi meski para orang tua tahu jawabannya, bahkan mungkin dari pengalaman pribadi mereka, namun bagi para remaja hal ini perlu lebih diyakinkan. Saat para orang tua memberitahu para remaja bahwa mereka dapat menjalani kehidupan normal dan wajar dengan melajang (tanpa harus memiliki pacar), para remaja ini terkadang justru curiga bahwa hal itu hanya sekedar untuk menghibur mereka yang tidak bisa mendapatkan pacar. 

Karena itu para remaja ini perlu benar-benar diyakinkan mengenai mitos bahwa mempunyai pacar membuktikan mereka menarik dan sukses, atau dapat membuat mereka berbahagia. Pendapat bahwa seorang pria dan wanita yang memunyai pacar menunjukkan bahwa mereka menarik, sukses dan bahagia jelas-jelas adalah salah. 

Kenyataannya, menjadi menarik bukan hanya mengenai penampilan, tetapi mengenai keseluruhan diri seseorang, seperti intelektualitas, minat, perilaku, bahkan semua hal yang menjadikan seseorang menjadi dirinya sendiri. Penampilan menarik justru lebih merupakan pendapat pribadi ketimbang fakta objektif. Kecantikan tergantung pada sudut pandang tertentu dan mata yang melihatnya.

Demikian juga seseorang pria dan wanita lajang dapat berbahagia tanpa harus mempunyai pacar. Sebagian besar kebahagiaan ditemukan melalui gabungan banyak hal yang berbeda seperti : keluarga, pekerjaan, hobi, prestasi, minat, teman-teman, dan kepercayaan religi. Sebagai contoh, bunda Teresa mencurahkan hidupnya membantu orang-orang miskin di daerah kumuh di Kalkuta. Menurut standar siapa pun ia adalah seorang wanita yang sukses dan bahagia. Meskipun begitu pilihannya untuk hidup melajang tanpa pasangan (suami) tidak membuat hidupnya tidak bahagia. Sebaliknya ia menemukan kebahagiaan dalam jalan hidupnya. 

Jadi, tidaklah benar jika kita berpikir bahwa seorang pria atau wanita yang tidak mempunyai pacar atau pasangan hidup berarti tidak berbahagia, tidak sukses dan tak menarik. Itu hanya mitos! Karena itu untuk mereka yang masih “jomblo” agar tidak perlu terlalu memikirkannya, dan jangan sampai membiarkan hal itu mengambil alih hidup, perhatian dan memusingkan mereka. 

 Akan lebih baik jika mereka menggunakan waktu, pikiran, dan tenaga untuk mempelajari keterampilan baru dan mengambangkan minat-minat mereka. Cara mengembangkan daya tarik mereka terhadap orang lain bukan dengan berusaha mati-matian untuk mendapatkan pacar, melainkan dengan menjadi pribadi (bukan sekedar penampilan) yang lebih menarik dan berbahagia.

REFERENSI 

Banks, Robert & R. Paul Stevens., 2012. The Complete Book of Everyday Christianity. Jilid 1 (A-E), Penerbit Kalam Hidup: Bandung. 
Burke, Dale., 2007. Dua Perbedaan dalam Satu Tujuan. Terjemahan, Penerbit Metanoia Publising : Jakarta.
Clinton, Tim., 2012. Sex and Relationship. Baker Book, Grand Rapids. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Chalke, Stave, 2003. Orang Tua, Anak dan Seks : Mengajarkan Seks dan Pacaran Kepada Anak. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Douglas, J.D., ed, 1988. The New Bible Dictionary. Terjemahan Indonesia: Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, 2 Jilid, diterjemahkan (1993), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Evans, Tony., 2001. Cara Hidup Yang Luar Biasa. Buku dua, terjemahan, Penerbit Interaksara : Batam.
Geisler, Norman L., 2000. Christian Ethics: Options and Issues. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kristen: Pilihan dan Isu, Terjemahan, Penerbit Literatur SAAT : Jakarta.
Gutrie, Donald., ed, 1976. The New Bible Commentary. Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Masa Kini, Jilid 3, diterjemahkan (1981), Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Gutrie, Donald., 1981. New Tastament Theology, . Intervarsity Press, Leicester, England. Edisi Indonesia dengan judul Teologi Perjanjian Baru, 3 Jilid, diterjemahkan (1991), BPK Gunung Mulia : Jakarta.
Hearth, W. Stanley., 1997. Psikologi Yang Sebenarnya. Penerbit ANDI: Yogyakarta.
Irianto, Koes., 2013. Seksologi Kesehatan. Penerbit Alfabeta : Bandung..
King, Clayton & Charie King., 2012. 12 Pertanyaan yang Harus Diajukan Sebelum Menikah. Terjemahan, Penerbit Immanuel : Jakarta.
Lewis, C.S., 2006. Mere Christianity. Terjemahan, Penerbit Pionir Jaya : Bandung
McDowell, Josh., 1997. Rigth From Wrong , terjemahan, Penerbit Profesional Books : Jakarta.
Morris, Leon., 2006. New Testamant Theology. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Pfeiffer, Charles F & Eferett F. Herrison., ed, 1962. The Wycliffe Bible Commentary. Edisi Indonesia dengan judul Tafsiran Alkitab Wycliffe Perjanjian Baru, volume 3, diterjemahkan (2004), Penerbit Gandum Mas : Malang.
Piper, John & Justin Taylor, ed., 2005. Kingdom Sex and the Supremacy of Christ. Edisi Indonesia dengan judul Seks dan Supremasi Kristus, Terjemahan (2011), Penerbit Momentum : Jakarta.
Powers, B. Ward., 2011. Divorce and Remarriage: The Bible’s Law and Grace Approach. Edisi Indonesia dengan judul Perceraian dan Perkawinan Kembali : Pendekatan Hukum dan Anugerah Allah dalam Alkitab, terjemahan (2011), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih : Jakarta.
Prokopchak, Stave and Mary., 2009. Called Together. Destiny image, USA. Terjemahan Indonesia (2011), Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Ronde, Daniel., 2015. Pengantar Konseling Pastoral. Penerbit Kalam Hidup: Bandung. 
Rosberg, Gery & Barbara., 2010. Pernikahan Anti Cerai. Terjemahan, Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Sproul, R.C., 1997. Essential Truths of the Christian Faith. diterjemahkan, Penerbit Literatur SAAT : Malang. 
Stassen, Glen & David Gushee., 2003. Kingdom Ethics: Following Jesus in Contemporary Contex. Edisi Indonesia dengan judul Etika Kerajaan: Mengikut Yesus dalam Konteks Masa Kini, Terjemahan (2008), Penerbit Momentum : Jakarta.
Stamps, Donald C., ed, 1995. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan. Terj, Penerbit Gandum Mas : Malang.
Stott, John., 1984. Issues Facing Chistianis Today. Edisi Indonesia dengan judul Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Terjemahan (1996), Penerbit Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF : Jakarta.
Tong. Stephen., 1991. Keluarga Bahagia. Cetakan kesebelas (2010), Penerbit Momentum: Jakarta.
Trisna, Jonathan A., 2013. Two Become One. Penerbit ANDI : Yogyakarta.
Wijaya, Andik., 2014. Equipping Leaders to Figth for Sexual Holiness. Diterbikan oleh Kenza PublisinG House : Surabaya.
Zuck, Roy B, editor., 2010. A Biblical of Theology The Old Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.
_____________, editor., 2011. A Biblical of Theology The New Testament. Terjemahan, Penerbit Gandum Mas: Malang.BOLEHKAN ORANG KRISTEN BERPACARAN DAN BERKENCAN?
Next Post Previous Post