EKSPOSISI AYUB 3:1-26
Pdt. Budi Asali, M. Div.
Ayub 3:1-26 - “(1) Sesudah itu Ayub membuka mulutnya dan mengutuki hari kelahirannya. (2) Maka berbicaralah Ayub: (3) ‘Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku dan malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan. (4) Biarlah hari itu menjadi kegelapan, janganlah kiranya Allah yang di atas menghiraukannya, dan janganlah cahaya terang menyinarinya. (5) Biarlah kegelapan dan kekelaman menuntut hari itu, awan-gemawan menudunginya, dan gerhana matahari mengejutkannya. (6) Malam itu - biarlah dia dicekam oleh kegelapan; janganlah ia bersukaria pada hari-hari dalam setahun; janganlah ia termasuk bilangan bulan-bulan. (7) Ya, biarlah pada malam itu tidak ada yang melahirkan, dan tidak terdengar suara kegirangan. (8) Biarlah ia disumpahi oleh para pengutuk hari, oleh mereka yang pandai membangkitkan marah Lewiatan. (9) Biarlah bintang-bintang senja menjadi gelap; biarlah ia menantikan terang yang tak kunjung datang, janganlah ia melihat merekahnya fajar, (10) karena tidak ditutupnya pintu kandungan ibuku, dan tidak disembunyikannya kesusahan dari mataku. (11) Mengapa aku tidak mati waktu aku lahir, atau binasa waktu aku keluar dari kandungan? (12) Mengapa pangkuan menerima aku; mengapa ada buah dada, sehingga aku dapat menyusu? (13) Jikalau tidak, aku sekarang berbaring dan tenang; aku tertidur dan mendapat istirahat (14) bersama-sama raja-raja dan penasihat-penasihat di bumi, yang mendirikan kembali reruntuhan bagi dirinya, (15) atau bersama-sama pembesar-pembesar yang mempunyai emas, yang memenuhi rumahnya dengan perak. (16) Atau mengapa aku tidak seperti anak gugur yang disembunyikan, seperti bayi yang tidak melihat terang? (17) Di sanalah orang fasik berhenti menimbulkan huru-hara, di sanalah mereka yang kehabisan tenaga mendapat istirahat. (18) Dan para tawanan bersama-sama menjadi tenang, mereka tidak lagi mendengar suara pengerah. (19) Di sana orang kecil dan orang besar sama, dan budak bebas dari pada tuannya. (20) Mengapa terang diberikan kepada yang bersusah-susah, dan hidup kepada yang pedih hati; (21) yang menantikan maut, yang tak kunjung tiba, yang mengejarnya lebih dari pada menggali harta terpendam; (22) yang bersukaria dan bersorak-sorai dan senang, bila mereka menemukan kubur; (23) kepada orang laki-laki yang jalannya tersembunyi, yang dikepung Allah? (24) Karena ganti rotiku adalah keluh kesahku, dan keluhanku tercurah seperti air. (25) Karena yang kutakutkan, itulah yang menimpa aku, dan yang kucemaskan, itulah yang mendatangi aku. (26) Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul.’”.
PENDAHULUAN:
1) Mulai Ayub pasal 3 ini Kitab Ayub berbentuk puisi, dan baru pada pasal yang terakhir, yaitu Ayub 42, Kitab Ayub kembali berbentuk cerita sejarah lagi.
2) Ada anggapan yang mengatakan bahwa apa yang tertulis di sini bukanlah kata-kata Ayub secara persis, tetapi sudah disusun oleh pengarang kitab Ayub (Pulpit, hal 53). Ini memang masuk akal, karena rasanya tidak mungkin dalam seluruh pembicaraan ini semuanya berbicara dalam bentuk puisi. Kelihatannya Francis I. Andersen juga mempunyai pandangan yang serupa.
Francis I. Andersen (Tyndale): “The speeches are too long to be called conversation, or even a dialogue. There is not enough connection between them to enable the argument to be traced through logically. In this, and in the poetic form, the artificial arrangement is most obvious.” [= Ucapan-ucapannya terlalu panjang untuk disebut pembicaraan / percakapan, atau bahkan suatu dialog. Tidak ada hubungan yang cukup di antara ucapan-ucapan itu untuk memungkinkan kita melacak argumentasinya secara logis. Di dalam hal ini, dan dalam bentuk puisi, penyusunan / pengaturan buatan adalah sangat jelas.]- hal 96.
3) Tentang ‘diskusi’ antara Ayub dan teman-temannya mulai pasal 3 ini ada komentar sebagai berikut:
Francis I. Andersen (Tyndale): “An audience is implied. The speakers are not trying to convince one another, even when they address each other. This is why it is often hard to find the connection between one speech and the next. This is why it is hard to trace progress in the discovery of the truth as the argument advances. ... They talk to Job about God. Job too talks about God, and sometimes he addresses them. ... But much of Job’s utterance is in an entirely different direction. Job is not arguing a point; he is trying to understand his experience. Hence he often talks to himself, struggling in his own mind. He is also trying to retain (or recover) his lost friendship with God. Hence he appeals to God again and again.” [= Secara tidak langsung ditunjukkan bahwa ada penonton / pendengar. Pembicara-pembicara tidak sedang berusaha untuk meyakinkan satu terhadap yang lain, bahkan pada saat mereka sedang berbicara satu terhadap yang lain. Inilah sebabnya mengapa seringkali sukar untuk menemukan hubungan antara satu pembicaraan dengan pembicaraan berikutnya. Ini sebabnya mengapa sukar untuk melacak kemajuan dalam penemuan kebenaran pada saat argumentasi berlanjut. ... Mereka berbicara kepada Ayub tentang Allah. Ayub juga berbicara tentang Allah, dan kadang-kadang ia berbicara kepada mereka. ... Tetapi banyak dari ucapan Ayub yang ada dalam arah yang sepenuhnya berbeda. Ayub bukan berargumentasi tentang hal tertentu; ia sedang mencoba untuk mengerti pengalamannya. Karenanya ia sering berbicara kepada dirinya sendiri, bergumul dalam pikirannya. Ia juga sedang berusaha untuk mempertahankan (atau memulihkan / mengembalikan) persahabatannya yang hilang dengan Allah. Karena itu berulang-ulang ia berseru / memohon kepada Allah.]- hal 97-98.
4) Dalam pembahasan bentuk puisi ini saya tidak akan membahas ayat per ayat seperti biasanya, karena pembahasan seperti ini akan sangat membosankan. Saya akan memilih bagian-bagian yang penting saja untuk dibahas.
Pengutukan hari kelahiran.
Ayub 3: 1: “Sesudah itu Ayub membuka mulutnya dan mengutuki hari kelahirannya.”.
1) Tentang kata ‘mengutuki’(ay 1).
Barnes’ Notes: “The word rendered ‘curse’ here is different from that used in chap. 1:11; 2:9. It is the proper word to denote ‘to curse.’” [= Kata yang diterjemahkan ‘mengutuki’ di sini berbeda dengan kata yang digunakan dalam 1:11; 2:9. Ini adalah kata yang benar untuk menunjuk pada ‘mengutuk’.]- hal 124.
2) Arti dari ‘mengutuki hari kelahiran’.
Bdk. ay 3-dst, ay 7-dst, ay 11-dst, ay 16-dst.
Bdk. juga Ayub 3: 8: “Biarlah ia disumpahi oleh para pengutuk hari, oleh mereka yang pandai membangkitkan marah Lewiatan.”.
a) Kata ‘Lewiatan’ditafsirkan secara beraneka ragam.
Barnes’ Notes: “It usually denotes the crocodile, or some huge sea monster”[= Biasanya ini menunjuk pada buaya, atau monster laut yang sangat besar]- hal 131.
Adajuga yang bukan mengartikan buaya tetapi ‘naga’ (Pulpit, hal 54).
Clarke (hal 32) mengatakan kata ‘Lewiatan’berarti ‘buaya’ dan kata ini digunakan untuk menunjuk pada bahaya yang sangat dekat, atau menunjuk kepada setan.
b) Pengutukan hari kelahiran.
Francis I. Andersen (Tyndale): “‘That day’ is cursed in verses 4 and 5; ‘that night’ is cursed in verses 6 to 10. One should not be too pedantic in separating the night of conception from the day of birth. Night and day together constitute the twenty-four hour period, for which Hebrew has no special word. Job is talking about the beginning of his life in general terms.” [= ‘Hari / pagi itu’ dikutuk dalam ay 4 dan 5; ‘malam itu’ dikutuk dalam Ayub 3: 6-10. Kita tidak boleh terlalu menekankan ilmu pengetahuan dengan memisahkan malam pembuahan dari hari kelahiran. Malam dan hari / pagi bersama-sama membentuk periode 24 jam, untuk mana bahasa Ibrani tidak mempunyai kata khusus. Ayub sedang berbicara tentang permulaan dari hidupnya dalam istilah-istilah yang umum.] - hal 102.
Pulpit Commentary: “All that such cursing means is that one wishes one had never been born.” [= Semua yang dimaksudkan dengan kutukan itu adalah bahwa seseorang berharap ia tidak pernah dilahirkan.]- hal 49.
Atau bisa saja maksudnya adalah: ia berharap untuk mati.
3) Apa yang dilakukan oleh Ayub di sini sebetulnya merupakan suatu hal yang umum / sering terjadi.
a) Ini juga dilakukan oleh Yeremia.
Yeremia 15:10 - “Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri. Aku bukan orang yang menghutangkan ataupun orang yang menghutang kepada siapapun, tetapi mereka semuanya mengutuki aku.”.
Yeremia 20:14-18 - “(14) Terkutuklah hari ketika aku dilahirkan! Biarlah jangan diberkati hari ketika ibuku melahirkan aku! (15) Terkutuklah orang yang membawa kabar kepada bapaku dengan mengatakan: ‘Seorang anak laki-laki telah dilahirkan bagimu!’ yang membuat dia bersukacita dengan sangat. (16) Terjadilah kepada hari itu seperti kepada kota-kota yang ditunggangbalikkan TUHAN tanpa belas kasihan! Didengarnyalah kiranya teriakan pada waktu pagi dan hiruk-pikuk pada waktu tengah hari! (17) Karena hari itu tidak membunuh aku selagi di kandungan, sehingga ibuku menjadi kuburanku, dan ia mengandung untuk selamanya! (18) Mengapa gerangan aku keluar dari kandungan, melihat kesusahan dan kedukaan, sehingga hari-hariku habis berlalu dalam malu?”.
b) Bandingkan dengan kata-kata dari Pulpit Commentary di bawah ini.
Pulpit Commentary: “Many of the ancients thought that it was best not to be born; and next best, if one were born, to quit the earth as soon as possible. Herodotus says that with the Trauri, a tribe of Thracians, it was the custom, whenever a child was born, for all its kindred to sit round it in a circle, and weep for the woes that it would have to endure now that it was come into the world; while, on the other hand, whenever a person died, they buried him with laughter and rejoicing, since they said that he was now free from a host of sufferings, and enjoyed the complete happiness” [= Banyak orang kuno yang berpikir bahwa hal yang terbaik adalah tidak pernah dilahirkan; dan hal terbaik yang kedua jika seseorang sudah dilahirkan, adalah meninggalkan dunia ini secepat mungkin. Herodotus mengatakan bahwa pada saat seorang anak dilahirkan, orang Trauri, suatu suku dari Thracians, mempunyai kebiasaan dimana seluruh keluarga duduk mengelilinginya, dan menangisinya untuk kesengsaraan yang akan harus ditanggung anak itu karena sekarang ia sudah datang ke dalam dunia ini; sedangkan di sisi yang lain, pada saat seseorang mati, mereka menguburnya sambil tertawa dan bersukacita, karena mereka berkata bahwa sekarang ia telah bebas dari banyak penderitaan, dan menikmati kebahagiaan yang lengkap] - hal 50.
c) Banyak orang melakukan hal yang sama pada waktu menderita, misalnya dengan berkata kepada orang tuanya atau bahkan kepada Tuhan: ‘Aku tidak minta untuk dilahirkan dalam dunia ini’. Atau: ‘Lebih baik mati dari pada hidup seperti ini’.
4) Mengapa Ayub mengutuki hari kelahirannya / berharap untuk mati?
a) Pada waktu ia menyoroti hidupnya:
1. Ia melihat penderitaan yang berat, banyak dan berkepanjangan.
Sedikit penggambaran tentang penderitaannya ada dalam Ayub 3: 24: “Karena ganti rotiku adalah keluh kesahku,”.
Barnes’ Notes: “some suppose that the mouth, hands, and tongue of Job were so affected with disease, that the effort to eat increased his sufferings, and brought on a renewal of his sorrows.” [= beberapa orang menganggap bahwa mulut, tangan, dan lidah Ayub begitu dirusak oleh penyakit, sehingga usaha untuk makan menambah penderitaannya, dan memperbaharui kesedihannya.]- hal 138.
2. Ia tidak mempunyai damai.
Ayub 3: 26: “Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul.’”.
3. Ia merasa bahwa Allah meninggalkannya, bahkan memusuhinya.
Ayub 3: 23: “kepada orang laki-laki yang jalannya tersembunyi, yang dikepung Allah?”.
KJV/NIV: ‘God hath / has hedged in’ [= Allah telah memagari].
Pulpit Commentary: “Not in the way of protection, as in ch. 1:10, but of obstruction and confinement (comp. ch. 19:8 and Hos. 2:6). Job feels himself confined, imprisoned, blocked in. He can neither see the path which he ought to pursue nor take steps in any direction.” [= Bukan dengan cara melindungi, seperti dalam 1:10, tetapi dengan merintangi dan membatasi (bdk. 19:8 dan Hosea 2:6). Ayub merasa dirinya dibatasi dan dipenjara. Ia tidak bisa melihat jalan yang harus diambilnya ataupun melangkah ke arah manapun.]- hal 52.
Pulpit Commentary: “The two hedges; or, the hedge of prosperity and the hedge of adversity. ... Job’s prosperity was from God; his adversary was not without God. ... God’s hand is in everything.” [= Dua pagar; atau pagar kemakmuran dan pagar kesengsaraan. … Kemakmuran Ayub adalah dari Allah; kesengsaraannya bukanlah tanpa Allah. ... tangan Allah ada dalam segala sesuatu.]- hal 58-59.
4. Setelah lewat masa perkabungan selama 7 hari, tetap tidak ada tanda-tanda pertolongan Allah.
Pulpit Commentary: “If we could discern a happy issue out of our troubles, they might be endured with equanimity. But perhaps, as is in Job’s case, it is often impossible to see whither they are leading us. There is no bow in the cloud. ... Assuredly there is a purpose in the mystery, though we cannot see it. ... God trains us in faith by means of obscurity. In the mean time he does not leave us. Our way may be hidden, but it is known to God. He is able to lead us safely over the darkest paths.” [= Jika kita bisa melihat hasil yang menggembirakan dari kesukaran-kesukaran kita, maka itu bisa ditanggung dengan hati yang tenang. Tetapi mungkin, seperti dalam kasus Ayub, seringkali tidak mungkin untuk melihat kemana kesukaran-kesukaran itu membawa kita. Tidak ada pelangi di awan. ... Pasti ada tujuan dalam misteri, sekalipun kita tidak bisa melihatnya. ... Allah melatih kita dalam iman menggunakan ketidak-jelasan. Sementara itu Ia tidak meninggalkan kita. Jalan kita mungkin tersembunyi / tak terlihat, tetapi itu diketahui oleh Allah. Ia bisa memimpin kita dengan aman melalui jalan-jalan tergelap.] - hal 65-66.
5. Ia tidak mendapatkan jawaban mengapa ia mengalami semua penderitaan itu.
Perhatikan bahwa dalam pasal 3 ini saja ia berulang-ulang bertanya menggunakan kata ‘mengapa’(ay 11,12a,12b,16,20).
Wycliffe Bible Commentary: “the more intently he sought an explanation for it, the more anxiously aware he became of the wall of mystery encompassing him. Seeking the Why, he soon had lost the Way.”[= makin dengan tekun / sungguh-sungguh ia mencari suatu penjelasan untuk hal itu, makin dengan cemas ia menyadari akan misteri yang menyelimutinya. Pada waktu mencari ‘Mengapa’, ia segera kehilangan ‘Jalan’.].
b) Pada waktu ia menyoroti kematian:
1. Ia beranggapan bahwa dalam kematian ada ketenangan (ay 13,17), yang tidak ia miliki saat itu (ay 26).
Ayub 3:13,17,26 - “(13) Jikalau tidak, aku sekarang berbaring dan tenang; aku tertidur dan mendapat istirahat ... (17) Di sanalah orang fasik berhenti menimbulkan huru-hara, di sanalah mereka yang kehabisan tenaga mendapat istirahat. ... (26) Aku tidak mendapat ketenangan dan ketenteraman; aku tidak mendapat istirahat, tetapi kegelisahanlah yang timbul.’”.
Kata-kata Ayub dalam ay 17a, yang berbunyi “Di sanalah orang fasik berhenti menimbulkan huru hara,”, ditafsirkan secara berbeda-beda:
a. Ada yang beranggapan bahwa maksudnya adalah: ‘mereka berhenti / tidak lagi bisa menimbulkan problem bagi orang lain’.
b. Kebanyakan beranggapan bahwa maksudnya adalah: ‘mereka sendiri yang bebas dari problem’. Penafsiran kedua ini rasanya lebih sesuai dengan kontex (Ayub 3: 17-19), yang seluruhnya mempersoalkan enaknya orang yang sudah mati.
Kalau ini yang dimaksudkan oleh Ayub, maka jelas bahwa ia mempunyai pandangan yang salah, karena jelas bahwa bagi orang fasik kematian tidak berarti kebebasan dari problem! Jangan lupa bahwa Ayub hidup pada jaman dimana Kitab Suci sama sekali belum ada.
Francis I. Andersen (Tyndale): “It is less likely that he means that they are now prevented from troubling others. ... It implies that the wicked live in a state of emotional disturbance which happily ends for them in death. We are already near the bitter thought that being good or bad makes no difference in the end.”[= Lebih kecil kemungkinannya bahwa ia memaksudkan bahwa sekarang mereka tidak bisa lagi mengganggu orang lain. ... Ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa orang jahat hidup dalam keadaan emosi yang terganggu yang secara menyenangkan berakhir untuk mereka dalam kematian. Kita sudah dekat dengan pemikiran pahit bahwa menjadi orang baik atau jahat pada akhirnya tidak ada bedanya.]- hal 108.
Penerapan: apakah pada saat saudara hidup saleh, dan saudara lalu mengalami penderitaan, saudara juga mempunyai pemikiran bahwa ‘beriman dan saleh’ tidak ada bedanya dengan ‘tidak beriman dan fasik’?
2. Ia beranggapan bahwa di sanaada persekutuan dengan raja-raja dan penasihat-penasihat (ay 13-14).
Ayub 3:13-14 - “(13) Jikalau tidak, aku sekarang berbaring dan tenang; aku tertidur dan mendapat istirahat (14) bersama-sama raja-raja dan penasihat-penasihat di bumi, yang mendirikan kembali reruntuhan bagi dirinya,”.
Tadinya, sebagai orang kaya, mungkin sekali ia menikmati hal ini. Tetapi pada saat ia bangkrut, apalagi terkena penyakit yang begitu mengerikan, ia kehilangan persekutuan dengan siapapun, bahkan keluarga terdekatnya (bdk. 19:17).
Ayub 19:17 - “Nafasku menimbulkan rasa jijik kepada isteriku, dan bauku memualkan saudara-saudara sekandungku.”.
Dan ia berpikir bahwa kalau ia mati, ia akan kembali menikmati persekutuan dengan para raja dan penasihat tersebut dalam kehidupan setelah kematian.
5) Ayub hanya mengutuki hari kelahirannya, tetapi Ayub tidak mengutuki Allah seperti yang dikehendaki / dinubuatkan oleh setan.
Jamieson, Fausset & Brown: “Job cursed his birthday, but not his God.” [= Ayub mengutuki hari lahirnya, tetapi bukan Allahnya.].
6) Tindakan mengutuki hari kelahirannya ini tetap adalah dosa. Mengapa? Karena ini adalah:
a) Tindakan yang sia-sia. Pikirkan: apa gunanya mengutuki hari kelahiran / berharap untuk mati?
Kitab Suci jelas mengajarkan bahwa saat kematian ditetapkan oleh Tuhan.
Mazmur 39:5-6 - “(5) ‘Ya TUHAN, beritahukanlah kepadaku ajalku, dan apa batas umurku, supaya aku mengetahui betapa fananya aku! (6) Sungguh, hanya beberapa telempap saja Kautentukan umurku; bagiMu hidupku seperti sesuatu yang hampa. Ya, setiap manusia hanyalah kesia-siaan! Sela”.
Matius 6:27 - “Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya?”.
Dan karena itu, kalau waktunya memang belum tiba, kita tidak mungkin akan mati, tak peduli betapa hebatnya kita mengharapkan hal itu.
b) Tidak menunjukkan iman, tetapi menunjukkan ketidak-sabaran dan keputus-asaan.
Barnes’ Notes: “It is the impassioned language of a man who felt that he could bear no more; and there can be no doubt that it gave to Satan the hope of his anticipated triumph.” [= Ini merupakan bahasa yang berapi-api dari seseorang yang merasa bahwa ia tidak bisa menanggung lebih lagi; dan tidak diragukan bahwa ini memberikan setan / Iblis pengharapan tentang kemenangan yang dinanti-nantikannya / diharapkannya.]- hal 125.
BACA JUGA: EKSPOSISI AYUB 4:7-21
Pulpit Commentary: “When life is despaired of, death is sweet.” [= Pada waktu putus asa tentang kehidupan, kematian itu manis.]- hal 64.
Jamieson, Fausset & Brown: “To desire to die, so as to be free from sin, is a mark of grace; to desire to die, so as to escape troubles, is a mark of corruption. He was ill fitted to die who was so unwilling to live.” [= Ingin mati supaya bebas dari dosa merupakan tanda kasih karunia; ingin mati untuk menghindari kesukaran merupakan tanda kejahatan / kerusakan. Ia tidak cocok untuk mati kalau ia begitu tidak mau hidup.].
c) Menunjukkan ketidakpercayaan akan kebijaksanaan Providensia Allah.
Matthew Poole: “But although he doth not break forth into direct and downright reproaches of God, yet he makes secret and indirect reflections upon God’s providence.” [= Tetapi sekalipun ia tidak meledak kepada celaan langsung dan sepenuhnya kepada Allah, tetapi ia melakukan celaan yang rahasia dan tidak langsung pada providensia Allah.] - hal 926.
Kalau Allah tetap menghendaki Ayub hidup, pasti Ia mempunyai tujuan yang baik.
Wycliffe Bible Commentary: “By cursing his own existence, however, Job, in effect, ventured to
dispute with the Sovereign who decreed it.” [= Dengan mengutuki keberadaannya sendiri, bagaimanapun Ayub sebetulnya berusaha untuk bertengkar dengan Yang Berdaulat yang menetapkannya.].
Barnes’ Notes memberikan alasan yang menarik / unik tentang mengapa orang yang menderita dan ingin mati tetap dibiarkan hidup.
Barnes’ Notes: “When it is asked, why a man is kept in misery on earth, when he would be glad to be released by death, perhaps the following, among others, may be the reasons: ... One design of God in such sorrows may be, to show to the wicked how intolerable will be future pain, and how important it is for them to be ready to die. If they cannot bear the pains and sorrows of a few hours in this short life, how can they endure eternal sufferings? If it is so desirable to be released from the sorrows of the body here, - if it is felt that the grave, with all that is repulsive in it, would be a place of repose, how important is it to find some way to be secured from everlasting pains! The true place of release from suffering for a sinner, is not the grave; it is in the pardoning mercy of God, and in that pure heaven to which he is invited through the blood of the cross.” [= Pada waktu ditanya, mengapa seseorang ditahan dalam kesengsaraan di bumi, padahal ia akan senang untuk dibebaskan oleh kematian, mungkin hal-hal berikut ini, di antara hal-hal lain, adalah alasannya: ... Rencana Allah dalam kesedihan seperti itu mungkin adalah untuk menunjukkan kepada orang jahat betapa tidak tertahankannya rasa sakit di masa yang akan datang, dan betapa penting bagi mereka untuk siap menghadapi kematian. Jika mereka tidak bisa menahan rasa sakit dan kesedihan yang singkat dalam hidup yang singkat ini, bagaimana mereka bisa menahan penderitaan kekal? Jika merupakan hal yang sangat diinginkan untuk dibebaskan dari kesedihan dari tubuh di sini, - jika dirasakan bahwa kubur, dengan semua hal-hal yang menjijikkan di dalamnya, merupakan tempat istirahat / ketenangan, betapa pentingnya untuk mendapatkan jalan untuk bisa aman / terjamin dari rasa sakit yang kekal! Tempat pembebasan yang benar dari penderitaan untuk orang berdosa bukanlah kuburan; itu adalah belas kasihan yang mengampuni dari Allah, dan dalam surga yang murni kemana ia diundang melalui darah dari salib.]- hal 138.
d) Kata-kata yang hanya benar bagi orang-orang yang ada di neraka / reprobates.
Matthew Henry: “There are those in hell who with good reason wish they had never been born, as Judas, Mt. 26:24. But, on this side (of?) hell, there can be no reason for so vain and ungrateful a wish. It was Job’s folly and weakness to curse his day.” [= Mereka yang ada di dalam neraka dengan alasan yang baik berharap mereka tidak pernah dilahirkan, seperti Yudas, Mat 26:24. Tetapi pada sisi ini dari neraka, tidak bisa ada alasan untuk harapan / keinginan yang begitu sia-sia. Merupakan ketololan dan kelemahan Ayub untuk mengutuki hari (kelahiran)nya.].
Matius 26:24 - “Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan tetapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusia itu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.’”.
Ayub sendiri mengakui bahwa penderitaannya yang hebat dan banyak itu menyebabkan ia mengeluarkan kata-kata secara tergesa-gesa.
Ayub 6:3 - “Maka beratnya akan melebihi pasir di laut; oleh sebab itu tergesa-gesalah perkataanku.”.
Penerapan: hati-hati dengan kata-kata, tindakan, keputusan pada waktu sedang menderita.
7) Jangan sembarangan dalam menghakimi Ayub (atau orang lain yang jatuh pada waktu mengalami penderitaan yang hebat).
BACA JUGA: UPAH MENGASIHI MUSUH (LUKAS 6:35)
Barnes’ Notes: “Before we blame him too severely, we must place ourselves in imagination in his circumstances, and ask what our piety would have done under the trials which afflicted him.” [= Sebelum kita menyalahkannya secara terlalu keras, kita harus membayangkan untuk menempatkan diri kita sendiri dalam keadaannya, dan bertanya apa yang akan sudah dilakukan oleh kesalehan kita di bawah pencobaan yang menimpanya.] - hal 125.
8) Beberapa komentar sehubungan dengan ‘pengutukan hari kelahiran’ dsb.
a) Pulpit Commentary: “True religion teaches us - the Christian religion above all - that no ‘black’ days are sent us from him who causes his sun to shine on the evil and the good. It is only ill deed that make ill days.” [= Agama yang benar mengajar kita - khususnya agama Kristen - bahwa tidak ada hari-hari yang ‘hitam’ yang dikirimkan kepada kita dari Dia, yang menyebabkan matahariNya bersinar pada orang jahat dan orang baik. Hanya perbuatan jahat yang membuat hari-hari jahat.] - hal 59.
Saya percaya bahwa dosa tercakup dalam ‘segala sesuatu’ dalam Roma 8:28, dan karena itu saya meragukan kata-kata terakhir dari kutipan di atas ini.
b) Kehidupan itu sendiri sebetulnya adalah berkat, dan demikian juga adanya ibu yang menyusui kita. Tetapi dalam penderitaan yang begitu hebat, pandangan Ayub menjadi begitu gelapnya sehingga apa yang sebetulnya merupakan berkat Tuhan, seakan-akan menjadi suatu kutuk baginya, dan ia berharap semua itu tidak ada.
Pulpit (hal 55) mengutip kata-kata Agustinus yang mengatakan bahwa semua ini (ibu yang menyusui dsb) merupakan bukti hikmat dan kasih Tuhan. Bahwa seseorang merendahkan hal-hal itu menunjukkan bahwa ia tidak berpikir, atau bahkan menunjukkan kebejatannya.
c) Bdk. Pengkhotbah 9:4 - “anjing yang hidup lebih baik dari pada singa yang mati.”.
Tentang ayat ini Pulpit Commentary (hal 225-226) mengatakan bahwa di Palestina anjing adalah binatang yang hina / menjijikkan, sedangkan singa dianggap sebagai binatang yang paling mulia, yang merupakan simbol kekuatan dan kebesaran. Jadi, pepatah dalam Pkh 9:4 ini artinya adalah: orang yang paling rendah, kotor dan hina tetapi masih hidup masih lebih baik dari pada orang yang hebat tetapi sudah mati.
Tetapi perlu juga diketahui bahwa kitab Pengkhotbah sendiri juga memiliki ayat-ayat yang sejalan dengan kata-kata Ayub, misalnya Pkh 4:2 dan 7:1.
Pengkhotbah 4:2 - “Oleh sebab itu aku menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, lebih bahagia dari pada orang-orang hidup, yang sekarang masih hidup.”.
Pengkhotbah 7:1 - “Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.”.
Mungkin yang satu merupakan peninjauan dari sudut pandang Allah, sedangkan yang satunya dari sudut pandang manusia itu sendiri.
9) Matthew Henry membandingkan hari kelahiran secara jasmani dan secara rohani.
Matthew Henry: “Let us observe it, to the honour of the spiritual life above the natural, that though many have cursed the day of their first birth, never any cursed the day of their new-birth, nor wished they never had had grace, and the Spirit of grace, given them.” [= Hendaklah kita memperhatikannya, bagi kehormatan dari kehidupan rohani di atas kehidupan alamiah, bahwa sekalipun banyak orang telah mengutuki hari kelahiran pertama mereka, tidak pernah ada siapapun yang mengutuki hari dari kelahiran baru mereka, atau berharap bahwa mereka tidak pernah mendapatkan kasih karunia, dan Roh kasih karunia diberikan kepada mereka.].EKSPOSISI AYUB 3:1-26
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-o0o-