MENGENAL AJARAN PERFEKSIONISME (KESEMPURNAAN HIDUP KRISTEN)

Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.

Perfeksionisme adalah ajaran yang mengajarkan kesempurnaan kehidupan Kristen dan bahwa orang Kristen tidak mungkin lagi berbuat dosa selama hidup di dunia ini. 
MENGENAL AJARAN PERFEKSIONISME (KESEMPURNAAN HIDUP KRISTEN)
otomotif, bisnis

Prefeksionisme juga disebut Eradikasionisme karena mengajarkan bahwa adalah mungkin untuk membasmi (mengeradikasi) natur dosa sepenuhnya, sehingga ketika seseorang menjadi Kristen, maka sejak saat itu menjadi sepenuhnya suci dan bersih dari dosa. 

Terhadap ajaran Perfeksionisme ini, pakar teologi Dispensasional Charles C. Ryrie menjelaskan, “Ada sementara pihak yang mengajarkan bahwa orang-orang percaya tidak lagi mungkin berbuat dosa.

Pandangan seperti ini disebut kesempurnaan (Perfeksionisme) yang tidak berdasarkan Alkitab. Orang percaya telah dianggap tercabut dari akar dosa. Padahal tidak seorang Kristen pun yang dapat mengalami kesempurnaan yang sama sekali bebas dari pengaruh dosa di masa hidup ini sebelum tiba masa kebangkitan”. 

Serupa dengan Ryrie, Pakar teologi Reformed Anthony A. Hoekema menjelaskan, “Walaupun orang-orang percaya adalah pribadi-pribadi yang baru, akan tetapi mereka belum mencapai kesempurnaan yang tanpa dosa; Mereka masih harus bergumul melawan dosa. Di Kolose 3:10 manusia baru yang telah dikenakan oleh orang percaya dideskripsikan sebagai manusia yang terus menerus diperbaharui; Pembaharuan ini merupakan proses seumur hidup”.

Ayat-ayat Perjanjian Baru yang biasanya dipakai untuk mendukung ajaran perfeksionisme antara lain: Filipi 3:16; 1 Tesalonika 5:23; Kolose 1:28; Ibrani 6:1; 1 Yohanes 3:9; 5:18, dan Matius 5:48. Walaupun Matius 5:48 disebut paling terakhir, justru ayat tersebut yang paling sering dikutip untuk mendukung ajaran Perfeksionisme. Lalu apakah maksud sebenarnya dari ucapan Yesus dalam Matius 5:48, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna”?

Berikut ini beberapa catatan penting dari saya dari saya terkait

Pertama, kata “sempurna” dalam ayat di atas adalah terjemahan dari kata Yunani “teleios-τέλειός” yang artinya adalah “utuh, komplit, tak bercacat dan dewasa”. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 2:6 menggunakan kata “teleios” yang terjemahkan dengan kata “matang (mature)” dalam RSV, NIV dan AITB. Contoh lain dalam Filipi 3:15, kata sifat “teleios” diterjemahkan sebagai “matang” dalam RSV dan NIV. Jadi sempurna menurut Alkitab tidaklah sema dengan kesempurnaaa seperti yang diajarkan Perfeksionisme. Kesempurnaan berarti kedewasaan dan kematangan kehidupan Kristen. 

Charles C. Ryrie menjelaskan, “Kenyataannya, pengajaran Alkitab tentang kesempurnaan berarti kematangan, kedewasaan, kepenuhan dan kelengkapan. Kesempurnaan menurut Alkitab tidak bertentangan terhadap keadaan berdosa melainkan terhadap ketidakdewasaan, dan merupakan sesuatu yang diharapkan dari orang-orang percaya di dunia ini”. Serupa itu, Millard J. Erickson mengatakan, “Istilah Yunani “teleios” yang dipakai (untuk kita) dalam dalam Matius 5:48 sama sekali tidak berarti ‘tanpa cacat’ atau ‘tanpa cela’, tetapi lengkap”.

Kedua, perhatikan bahwa Matius 5 ini merupakan etika Kerajaan yang sampaikan oleh Yesus bagi pengikut-pengikut-Nya. Jadi ayat 48 merupakan kesimpulan dari ayat-ayat sebelumnya. Namun ayat ini tidak hendak membicarakan kesempurnaan kita, tetapi menekan kesempurnaan Allah yang menjadi standar hidup kita, sebagai acuan kehidupan pengikut Kristus. Sebagai analogi, kita harus kudus karena Allah adalah kudus (1 Petrus 1:16). 

Apakah perintah ini serta merta membuat kita menjadi orang Kristen yang tidak dapat berbuat dosa? Analogi lain, kita mengasihi orang lain karena Allah adalah kasih dan telah menunjukkan kasihNya kepada kita (1 Yohanes 4:7-12). Apakah dengan adanya perintah kasih ini, membuat kita menjadi orang yang benar-benar bebas dari perasaan membenci? Namun, fakta bahwa kita masih bisa berbuat dosa, tidak mengubah tuntutan untuk kita hidup kudus. Fakta bawa kita masih bisa membenci, tidak mengubah tuntutan untuk kita terus mengasihi. 

Kita tidak mungkin mencapai ukuran kesempurnaan Allah, sebagaimana dikatakan Henry C. Thiessen, “Bagaimanapun gigihnya kita berusaha dan bagaimanapun jauhnya kita telah maju dalam hidup suci, persesuaian sepenuhnya dengan Kristus baru dapat terwujud ketika ‘yang sempurna tiba’ dan ‘yang tidak sempurna itu lenyap’ (1 Korintus 13:10).” Namun ketidakmampuan kita bukan berarti kita boleh mengabaikan standar ini. 

Kita harus sebisa mungkin untuk menggapai titik yang tertinggi. Anthony A. Hoekema mengatakan, “Apakah kita masih ingat bahwa kita dipanggil untuk sasaran yang tidak dapat ditawar lagi, yaitu ‘menyempurnakan kekudusan kita dalam takut akan Allah’ (2 Korintus 7:1)? Sasaran itu tidak akan tercapai di dalam kehidupan ini; akan tetapi kita harus mencobanya setiap hari untuk menjangkaunya. Seperti yang pernah dikatakan Robert Browning, ‘Jangkauan manusia harus melampaui pencapaiannya, jika tidak, apa manfaat surga baginya?” Jadi, melalui proses yang panjang pengudusan progresif kita terus-menerus diubah dari satu kemuliaan kepada kemuliaan yang lain (2 Korintus 3:18).

Ketiga, kita hanya mampu menjalani kehidupan Kristen didasarkan pada anugerah Allah di dalam Kristus Yesus. Tuntutan terhadap kesempurnaan (Matius 5:48) justru berfungsi untuk memperjelas keberdosaan dan ketidakberdayaan kita. Karena itu yang kita bisa lakukan adalah beriman secara sungguh-sungguh kepada korban Kristus yang sempurna di kayu salib. Karena Kristuslah Pencipta dan Penyempurnaan iman kita (Ibrani 12:2). 

Jadi, ketika kita taat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik yang merefleksikan kesempurnaan Allah Bapa dan memuliakan-Nya (Matius 5:16), itu semata-mata anugerah-Nya. Perhatikan apa yang Paulus katakan mengenai dirinya sendiri, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku” (1 Korintus 15:10).

Keempat, melalui perbuatan-perbuatan baik orang-orang yang tidak percaya akan melihat terang Kristus di dalam kita. Itulah sebabnya Yesus menegaskan, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di surga." (Matius 5:16). 

Kata Yunani “kalá erga” menunjuk kepada perbuatan baik dalam pengertian moral, kualitas dan manfaat. Perbuatan baik adalah cermin dari kualitas hidup. Kehidupan yang baru dalam Kristus dimaksudkan untuk menghasilkan perbuatan baik yang bermanfaat bagi kehidupan. Pernyataan klasik tentang keselamatan hanya “karena kasih karunia oleh iman”, langsung diikuti oleh pernyataan ini “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya” (Efesus 2:10). 

Frase Yunani “pekerjaan baik” dalam ayat ini adalah “ergois agathois” diterjemahkan “perbuatan-perbuatan yang baik”. Kata “agathois” berasal dari kata “agathos” yaitu kata Yunani biasa untuk menerangkan gagasan yang “baik” sebagai kualitas jasmani atau moral. Kata ini dapat berarti “baik, mulia, patut, yang terhormat, dan mengagumkan”. 

Jadi perbuatan baik (agothos) dapat didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam Allah seperti yang dinyatakan dalam Yohanes 321. Perbuatan-perbuatan itu bisa juga dikategorikan sebagai pekerjaan iman (1 Tesalonika 1:3). Namun harus diingat, sekalipun iman yang sejati pasti diikuti oleh adanya perbuatan baik, pengudusan dan ketaatan tetapi yang menyebabkan kita diselamatkan adalah iman, dan sama sekali bukan perbuatan-perbuatan baik itu.

Kelima, seperti dikatakan Henry C. Theessen, “kita harus berhati-hati untuk tidak beranggapan bahwa kehidupan yang tidak sempurna dan penuh dengan kelemahan itu adalah kehidupan yang normal. Bila ajaran kesempurnaan tanpa dosa itu tidak alkitabiah, maka ajaran ketidak-sempurnaan penuh dosa juga merupakan ajaran yang tidak alkitabiah. Alkitab sama sekali tidak menoleransi dosa dalam kehidupan orang percaya, melainkan secara tegas melarangnya dan bahkan menuntut agar kita hidup dengan penuh kemenangan atas dosa. 

Pertanyaan Paulus, ‘bolehkan kita bertekun dalam dosa?’ (Roma 6:1) langsung dijawab dengan sangat tegas, ‘sekali-kali tidak! Bukanlah kita telah mati terhadap dosa, bagaimana kita masih dapat hidup di dalamnya?’ (Roma 6:2). Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Korintus bahwa orang yang terus hidup di dalam dosa ‘tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah’ (1 Korintus 6:10).”.MENGENAL AJARAN PERFEKSIONISME (KESEMPURNAAN HIDUP KRISTEN)
Next Post Previous Post