KRISTUS DALAM FILIPI 2:6-8 DAN IMPLIKASINYA DALAM KEPEMIMPINAN GEREJA MASA KINI

Filipi 2:6-8. -Filipi 2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah  itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 2:7 melainkan telah mengosongkan  diri-Nya sendiri  , dan mengambil rupa seorang hamba,  dan menjadi sama dengan manusia. Filipi 2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,  bahkan sampai mati di kayu salib. 
KRISTUS DALAM FILIPI 2:6-8 DAN IMPLIKASINYA DALAM KEPEMIMPINAN GEREJA MASA KINI
otomotif, business

PENDAHULUAN.

Bagi Paulus seorang anak Tuhan yang beribadah kepada Allah di dalam Roh- Nya seharusnya bermegah dalam Kristus saja, dan tidak menaruh harap kepada hal-hal lahiriah. Paulus mengisahkan kehidupan masa lampaunya sebagai penganut agama Yahudi yang dapat dia banggakan (Filipi 3:4-6). Tetapi sekarang ia menganggapnya sampah mengingat pembenaran oleh iman (Filipi 3:7-9). 

Paulus sendiri merasa rugi setelah mengenal Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, semua kebanggaan masa lalunya di buang setelah mengenal Kristus (Filipi 3:8-9); kuasa kebangkitan-Nya (Filipi 3:10); persekutuan dalam penderitaannya (Filipi 3:10); menangkap Kristus yang telah menangkap dia (Filipi3:12; Kisah 9); bahkan ia berlari untuk memperoleh panggilan surgawi (Filipi 3:14).

Paulus mengakui bahwa dirinya masih dalam proses menuju kesempurnaan, maka ia tidak berani menganggap dirinya telah sempurna (Filipi 3:12-16). Kesempurnaan seseorang ditunjukkan dengan kelakuan baik. Inilah kekurangan jemaat Filipi yang ditekankan oleh Paulus (Filipi 3:17-21). Pada akhir bagian ini ada sejumlah anjuran pribadi (Filipi 4:1-3). 

Dalam penutup surat Filipi muncul seruan-seruan baru untuk bersukacita (Filipi 4:4-7). Paulus mengungkapkan terima kasih atas pemberian yang telah dikirim oleh orang Filipi kepadanya (Filipi 4:10-20). Pada penutupnya (Filipi 4:21-22) kata ‘oi ek tes kaisaros oikias (mereka yang ada di istana kaisar) secara khusus disebutkan di antara mereka yang ikut serta mengirimkan salam (Filipi 4: 22).

Analisis Surat Filipi 2:6-8

1. Filipi 2: 6-7 “…yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia

Ayat di atas menjelaskan Yesus Kristus adalah Allah sendiri yang tentu saja memiliki segala kemuliaan, kekuasaan dan kehormatan sebagai Allah Yang Maha Tinggi. Dia melepaskan takhta kemuliaan-Nya adalah sebuah tindakan yang rela melepaskan hak-hak-Nya demi sebuah tujuan. Dalam sejarah kehidupan Tuhan Yesus selama dalam dunia ini dengan memakai tubuh daging (sarkos),menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan penderitaan baik secara fisik maupun psikis, yang semua itu merupakan ekspresi dari kerelaan melepaskan hak-hak-Nya.

Yesus Kristus telah mengosongkan diri-Nya. Anak kalimat εαστον εκενωσεν (heauton ekenosen) dalam Filipi 2:7 menunjukkan kerelaan melepaskan hak. Dari kata inilah terbangun konsep pengosongan diri Yesus (kenosis). 

Kata εαστον (heauton) yang diterjemahkan “himself,” menekankan bahwa Yesus sendiri telah melakukan suatu tindakan, bukan orang lain atau karena orang lain. Adapun kata εκενωσεν (ekenosen), berasal dari akar kata κενω (keno) yang berarti to make empty, to abase, neutralize, falsity, lebih jelasnya berarti make (of none effect), of no reputation, void dan be in vain. Yesus Kristus telah bertindak membuat diri tidak memiliki reputasi atau mengosongkan diri-Nya, made himself of no reputation. Dari kata εκενωσεν (ekenosen) inilah terbangun teori kenosis yang merupakan essensi dari kerelaan melepaskan hak.

2. Filipi 2: 8a “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya…”

Menjelaskan mengenai makna kerendahan hati ada terlalu banyak definisinya. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan kerendahan hati itu. Kata rendah hati harus dipahami dengan benar, sebab kerendahan hati bukanlah fenomena lahiriah tetapi sikap batiniah. Berbicara mengenai hati maka berbicara mengenai hal batiniah.

Perjanjian lama menerjemahkan hati adalah lebhabh yang biasa digunakan untuk mengekspresikan perasaan, seperti sukacita (Mazmur 4:8), marah (Ulangan 19:6 his heart is hot); takut (1Samuel 25:37), menderita (sorrow, Mazmur 13:3) dan lain-lain. Dalam bahasa Ibrani menunjukkan bahwa hati merupakan komponen dalam diri manusia yang memuat kemampuan untuk merasakan sesuatu.

Sedangkan Perjanjian Baru kardia. Jadi hati mewakili isi perasaan seseorang, apa yang dirasa seseorang dalam batinnya. Dalam Alkitab hati juga sering disamakan dengan jiwa (soul), dalam bahasa Ibrani kata jiwa adalah nephesh, kata ini sejajar dengan kata psuke dalam bahasa Yunani. Namun dalam bahasa Yunani kata hati ini lebih sering diterjemahkan kardia. 

Dalam jiwa bukan hanya ada perasaan dan pikiran tetapi juga kehendak atau keinginan. Dapat dikatakan bahwa hati adalah bagian diri seseorang yang memuat keinginan atau tempat di mana kehendak seseorang berada atau berasal. Hati inilah yang dipahami sebagai motor penggerak seseorang berbuat sesuatu.

Kata rendah hati dalam teks bahasa Ibrani adalah “anaw” (Amsal 15:33; 18:12; 22:4). Kata itu bisa berarti sederhana. Dalam teks bahasa Yunani kata rendah hati adalah “tapeinos” yang juga bisa berarti terbaring di tempat yang rendah. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, kata rendah hati berarti tidak sombong atau tidak angkuh.

Dalam Filipi 2:8 tertulis Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Dalam teks aslinya, terdapat kata εσρεθεις (heuretheis), yang berasal dari kata heurisko, yang bisa berarti find, get, obtain, perceive, see. Melalui ayat ini hendak dikemukakan bahwa dalam keadaan sebagai manusia Ia merendahkan diri. 

Kata ini menerangkan bahwa Yesus benar-benar menjadi manusia (εσρεθεις ως ανθρωπος, heuretheis hos anthropos). Kata ως (hos) bisa berarti about, after (that), (according) as soon (as), even as (like). Kata ini lebih menegaskan bahwa Yesus Kristus benar-benar menjadi manusia yang memiliki keberadaan sama dengan manusia.

3. Filipi 2: 8b “…dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.”

Kata taat dalam teks bahasa Ibrani adalah shama. Kata shama atau shema ini berarti “mendengarkan, menaati, patuh, mematuhi, memperhatikan, menyimak, dengar, mendengarkan." Dalam definisi tersebut tersimpul hubungan antara tuan dan hamba. Dalam bahasa Yunani terdapat dua kata yang dapat diterjemahkan ketaatan, hupakouo dan peitho.

Dua kata itu tidak memiliki perbedaan yang prinsip hanya biasanya kata hupakouo lebih digunakan untuk ketaatan karena kertertundukan, tetapi peitho ketaatan karena persuasi atau pendekatan. Dari dua kata tersebut maka untuk ketaatan yang dikenakan dalam hidup orang percaya kepada Tuhan lebih cenderung menggunakan kata hupakouo.

Kata ketaatan dalam Filipi 2:8 digunakan dalam teks Yunani σπηκοος (hupekos) yang berarti attentively listening, submissive, obedient (mendengarkan penuh perhatian, patuh, taat)

Kerelaan Kristus untuk mati di kayu salib memberikan kaidah yang sangat berharga bagi ketaatan para pengikut-Nya. Kata “taat sampai mati” (obedient unto death) memberikan implikasi pengorbanan yang radikal. Ini merupakan bukti bahwa ketaatan tersebut adalah tanpa syarat. Ketaatan tanpa syarat adalah ukuran ketaatan yang sempurna dan ideal, yang menjadi parameter ketaatan orang percaya

KRISTUS DALAM FILIPI 2:6-8 DAN IMPILIKASI DALAM KEPEMIMPINAN GEREJA MASA KINI

A. Kristus dalam Filipi 2:6-8

Penulis telah menjelaskan di atas bahwa Yesus adalah Allah sendiri dan memiliki segala kemuliaan, kekuasaan dan kehormatan sebagai Allah Yang Maha Tinggi. Namun kesediaan-Nya meninggalkan takhta kemuliaan-Nya adalah sebuah tindakan yang luar biasa sebab Yesus rela melepaskan hak-hak-Nya.

Dalam suatu percakapan Yesus berkata: ”Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan. Dari pernyataan Yesus ini jelas sekali menunjukkan bahwa Ia rela melepaskan hak kehormatan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan yang datang dari tempat yang maha tinggi. Keunggulan-Nya sebagai Allah yang maha tinggi tidak menahan-Nya untuk merendahkan diri.

Sikap Tuhan Yesus yang merendahkan diri sedemikian rupa itu, dinyatakan oleh Donald S. Whitney sebagai Hamba yang sempurna. Hamba yang sempurna ditunjukkan dengan kesediaan-Nya melakukan segala sesuatu guna memenuhi tugas yang dipercayakan kepada-Nya.

Kerelaan Yesus untuk melepaskan haknya juga dapat dilihat dari kelahiran-Nya yang menunjukkan kepapaan atau kehinaan-Nya yang sangat eks trim. Ia tidak dilahirkan dalam istana atau rumah yang layak, tetapi Ia lahir di tempat sederhana, sangat besar kemungkinan di kandang hewan (Lukas 2:7).

Keberadaan-Nya seperti ini menunjukkan bahwa Ia rela melepaskan hak memiliki kelimpahan kekayaan, walaupun Ia adalah pemilik dari segala sesuatu, sebab ia adalah Pencipta dari segala sesuatu itu (Yohanes 1:1-13).

Yesus pernah berkata: ”Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya" (Lukas 9:58). Sebuah pernyataan yang menunjukkan kemiskinan-Nya yang sangat eks trim. Dari hal ini tampaklah bahwa Yesus rela melepaskan hak untuk menikmati kekayaan materi yang sebenarnya adalah milik-Nya sendiri.

Selain rela melepaskan hak-Nya Yesus juga merendahkan diri-Nya.

Perendahan diri Yesus adalah perendahan diri yang sangat hebat, sebagai Allah tetapi merelakan diri sejajar dengan ciptaan-Nya. Cara inilah yang menghantar-Nya ke kemuliaan-Nya. Allah Sang Pencipta menjadi sama dengan hasil ciptaan-Nya; manusia, adalah sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Justru di sinilah tampak kerendahan hati Yesus Kristus, yang menjadi pola kehidupan pemimpin rohani di sepanjang zaman. Ketika Yesus menjadi manusia.

Dalam Filipi 2: 8b menjelaskan Dia taat bahkan taat sampai mati di kayu salib. Hal ini menunjukkan sebuah ketaatan yang luar biasa. Minimal ada dua ketaatan yang dimunculkan Yesus yaitu taat melakukan kehendak Allah dan memenuhi rencana Allah.

Dari penjelasan-penjelasan di atas maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kristus dalam Filipi 2:6-8 menunjukkan bahwa Kristus adalah Tuhan Allah yang rela melepaskan takhta kemuliaan atau melepaskan hak-Nya, sanggup merendahkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia dan taat sampai mati dan mati dikayu salib. Hal ini dilakukan Yesus semata-mata untuk keselamatan dunia.

B. Kepemimpinan Yesus dalam Filipi 2:6-8

Pakar kepemimpinan kini banyak menggunakan Yesus dan ajaran-Nya sebagai sebuah model kepemimpinan.

Sebelum menjelaskan kepemimpinan dalam Filipi 2:6-8 maka terlebih dahulu menjelaskan beberapa definisi kepemimpinan. Adapun pengertian umum tentang kepemimpinan adalah kepemimpinan adalah suatu proses di mana pemimpin dilukiskan akan memberi perintah atau mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, seni mengkoordinasi atau memberi arah kepada individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang dinginkan.

Sedangkan Harold Koontz Cryil O‟ Daniel kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan hubungan antar perseorangan melalui komunikasi kepada pencapaian suatu tujuan.

Ruth F. Saelan mendefinisikan kepemimpinan adalah upaya untuk mengeluarkan tekad, motivasi dan tenaga yang dimiliki oleh seorang individu untuk perkembangan pribadi dan untuk mempengaruhi orang lain melalukan apa yang bermanfaat bagi semua orang. Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah usaha mempengaruhi orang lain sehingga dapat melakukan sesuatu yang telah diputuskan demi mencapai tujuan.

Para pakar kepemimpinan kini banyak menggunakan Yesus dan ajaran-Nya sebagai sebuah model kepemimpinan. Di antara sekian banyak teori kepemimpinan yang berkembang akhir-akhir ini, Alkitab kembali menjadi bahan pengajaran kepemimpinan dengan menempatkan Yesus sebagai modelnya. Yesus adalah seorang pemimpin bahkan pemimpin yang besar. Ajaran Yesus di dalam Alkitab adalah sebuah pembelajaran tentang kepemimpinan sejati yang dikenal dengan kepemimpinan yang melayani (Servant Leadership), yang hingga kini masih sangat relevan sebagai sumber inspirasi bagi kepemimpinan Kristen di mana pun dikembangkan dan dipraktikkan khususnya gembala jemaat dalam pelayanannya.

Melalui kajian dalam Filipi 2:6-8 yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa dalam konteks kepemimpinan Yesus telah menunjukkan model kepemimpinan hamba atau juga dapat disebut kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Model kepemimpinan hamba inilah yang dimunculkan Yesus.

Kepemimpinan Hamba dalam Filipi 2:6-8 indikatornya adalah, 

Pertama rela melepaskan hak sebagai seorang pemimpin seperti takhta kemuliaan dan rela utnutk tidak dihormati sekalipun seorang pemimpin seharusnya dihormati.

Kedua, yang menunjukkan model kepemimpinan hamba adalah merendahkan diri. Yesus benar-benar menjadi sama dengan manusia, padahal Ia adalah Allah yang memiliki atribut ke-Allah-an namun dia rela menjadi manusia. Hal ini menunjukkan kerendahan hari yang luar biasa.

Ketiga, model kepemimpinan hamba adalah taat. Yesus sebagai pemimpin menunjukkan sebuah ketaatan bahkan ketaatan tanpa syarat. Secara manusia apa yang dialami Yesus adalah sebuah penderitaan besar, namun dalam persoalan itu Dia dapat menunjukkan sebuah ketaatan yaitu 

1) taat pada Firman Allah dan

2) taat pada rencana Allah.

Para pakar kepemimpinan kini banyak menggunakan Yesus dan ajaran-Nya sebagai sebuah model kepemimpinan. Di antara sekian banyak teori kepemimpinan yang berkembang akhir-akhir ini, Alkitab kembali menjadi bahan pengajaran kepemimpinan dengan menempatkan Yesus sebagai modelnya. Yesus adalah seorang pemimpin bahkan pemimpin yang besar. Ajaran Yesus di dalam

Alkitab adalah sebuah pembelajaran tentang kepemimpinan sejati yang dikenal dengan kepemimpinan yang melayani (Servant Leadership), atau juga kepemimpinan hamba yang hingga kini masih sangat relevan sebagai sumber inspirasi bagi kepemimpinan Kristen di mana pun dikembangkan dan dipraktikkan khususnya gembala jemaat dalam pelayanannya.

Pengertian kata hamba diterjemahkan dari bahasa Ibrani “Eved”, yang mempunyai arti budak, hamba, pelayan. Hamba adalah pekerja yang menjadi milik tuannya. Konsep hamba Tuhan telah digambarkan Tuhan Yesus melalui hidup, karya dan kepemimpinan-Nya selama berada di dunia sekitar duaribu tahun lebih yang lalu. Hamba Tuhan itu telah menjadikan diri-Nya teladan, baik saat dimuliakan umat maupun di dalam kesengsaraan-Nya.

Pemimpin gereja tidak boleh menyombongkan diri dengan jabatan kepemimpinan maupun besarnya otoritas serta banyaknya pengikut. Ia harus selalu berprinsip “kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan, karena kami adalah hamba yang tidak berguna.” Mungkin perkataan itu terdengar keras dan tidak memberikan tempat bagi peran sang pemimpin, namun itulah cara Tuhan untuk menjauhkan pemimpin-pemimpin umat-Nya dari dosa kesombongan dan pemuliaan diri pribadi.

Pemimpin hamba adalah orang yang mampu “mengosongkan” dirinya dari segala egoisme dan subyektivitas pribadi, menjadi pemimpin yang berorientasi kepada kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan umat-Nya. Yesus memberi teladan “mengosongkan diri” ini (Filipi 2:7-8). Pengosongan diri “Kenosis” tidak membuat Yesus kehilangan posisi kepemimpinan-Nya, justru dengan melakukan itu, Dia dapat “menjadi sama” seperti manusia, sehingga mereka dapat menerima kehadiran-Nya.

Fenomena yang terjadi saat ini di dalam pelayanan gembala sidang, peneliti melihat, seorang gembala dalam pelayanan selalu ingin dihormati. Contoh dalam setiap kegiatan-kegiatan besar di organisasi gereja, mereka menginginkan supaya mendapat bagian acara tersebut, karena merasa orang penting, memiliki pendidikan tinggi, memiliki jabatan dalam organisasi gereja dan lain-lain. 

Jika hal ini tidak terwujud maka muncullah sikap-sikap yang seharusnya tidak ada pada seorang pemimpin rohani seperti marah dan tersinggung karena merasa tidak dihargai dan dihormati. Peneliti melihat pemimpin saat ini adalah pemimpin yang ingin terus dihormati, disanjung-sanjung dan ingin selalu diprioritaskan.

Fenomena lain yang penulis ketahui yang menyebabkan munculnya persoalan dalam kepemimpinan di gereja adalah adanya pemimpin atau gembala sidang yang tidak memiliki kerendahan hati. Pemimpin selalu mengandalkan kemampuan intelektual, rasionalisme, menganggap terlalu pintar sehingga dalam mengambil tindakan dan keputusan tidak meminta petunjuk dari Tuhan. 

Dalam menjalankan kepemimpinan seorang pemimpin terlalu arogan, tidak menganggap anggota sebagai mitra kerja dalam pelayanan justru hanya diperdayakan dan bukan diberdayakan. Kesombongan selalu menjadi dominan dalam setiap pelayanan, menganggap rendah anggota yang memiliki pengetahuan rendah serta membeda- bedakan atau diskriminatif. Bahkan sebagian pemimpin menuntut supaya selalu dilayani selayaknya orang-orang penting atau orang-orang pembesar.

Sebagai pemimpin rohani, kerendahan hati adalah hal yang sangat penting dalam pelayanan, karena kegagalan seorang pemimpin rohani sering terjadi oleh karena ia berpendirian rohani yang kuat, namun tidak dapat merendahkan diri.

Merendahkan diri dalam kepemimpinan adalah salah satu segi yang indah karena pemimpin yang disegani dan dihormati adalah pemimpin yang mau merendahkan diri.

Fenomena lain dalam kepemimpinan gembala sidang yang juga menyebabkan muncul masalah adalah seorang pemimpin kurang memiliki ketaatan. Sebagai pemimpin gereja, ketaatan dan kepatuhan itu harus menjadi bagian dalam hidup, sebab jika tidak demikian maka akan memberikan contoh yang buruk terhadap generasi-generasi seterusnya. Ketaatan yang ditampakkan Yesus benar-benar luar biasa. Kenyataan digambarkan oleh rasul Paulus dalam Filipi 2:5-9 yaitu, “dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan mati di kayu salib dan ini adalah ketaatan dan kepatuhan yang sejati.

C. Implikasinya dalam Kepemimpinan Gereja Masa Kini

Harus Rela Melepaskan Hak untuk Dihormati

Telah dijelaskan di atas bahwa Yesus adalah Allah sendiri yang tentu saja memiliki segala kemuliaan, kekuasaan dan kehormatan sebagai Allah Yang Maha Tinggi. Kesediaan meninggalkan takhta kemuliaan-Nya adalah kerelaan melepaskan hak-hak-Nya. Dalam sejarah kehidupan Tuhan Yesus selama dalam dunia ini dengan memakai tubuh daging (sarkos), menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan penderitaan baik secara fisik maupun psikis, yang semua itu merupakan ekspresi dari kerelaan melepaskan hak-hak-Nya.

Dalam suatu percakapan Yesus berkata: ”Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan. Dari pernyataan Yesus ini jelas sekali menunjukkan bahwa Ia rela melepaskan hak kehormatan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan yang datang dari tempat yang maha tinggi. Keunggulan-Nya sebagai Allah yang maha tinggi tidak menahan-Nya untuk merendahkan diri.

Sikap Tuhan Yesus yang merendahkan diri sedemikian rupa itu, dinyatakan oleh Donald S. Whitney sebagai Hamba yang sempurna. Hamba yang sempurna ditunjukkan dengan kesediaan-Nya melakukan segala sesuatu guna memenuhi tugas yang dipercayakan kepada-Nya. Hal ini dinyatakan oleh Paulus dalam pernyataannya: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri- Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:8).

Salib adalah realitas praksis dan praktis dari kerelaan Yesus melepaskan hak untuk dihormati. Salib bagi orang Yahudi suatu „scandalon.’ Dalam King James Version diterjemahkan “stumblingblock” atau “batu sandungan” dalam Terjemahan Baru. 

Dan kata ini dalam Galatia 5:11 diterjemahkan “offence” dalam King James Version atau “batu sandungan” dalam Terjemahan Baru LAI, artinya Yesus disalibkan adalah suatu kehinaan bagi orang Yahudi. Di sinilah dapat ditemukan puncak pengabdian Yesus. Jadi puncak pengabdian Yesus, adalah tatkala Ia rela melepaskan segala kehormatan-Nya yang dipresentasikan dengan kayu salib.

Paulus sebagai model seorang pelayan Tuhan yang telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai pemimpin yang melayani, mengemukakan kesaksian hidupnya bahwa ia rela menjadi hamba bagi semua orang karena Kristus (1Korintus 9:19). 

Menjadi hamba berarti rela direndahkan, melepaskan kehormatan. Jabatan pendeta bukanlah jabatan yang lebih tinggi dari jabatan yang lain, sebab nilai atau kualitas jabatan bukan terletak kepada jenis jabatan tersebut semata-mata tetapi motivasi terdalam seseorang melakukan suatu pekerjaan. Untuk ini, seorang pemimpin rohani tidak perlu memberi kesan bahwa dirinya adalah orang yang memiliki keunggulan dibanding dengan yang lain. Dalam pelayanan seorang pemimpin rohani yang memiliki kepemimpinan hamba akan sangat peduli terhadap semua masalah yang terjadi dalam kehidupan jemaat.

Rela Melepaskan Hak Milik

Yesus rela melepaskan hak milik. Dari kelahiran-Nya, menunjukkan kepapaan atau kehinaan-Nya yang sangat eks trim. Ia tidak dilahirkan dalam istana atau rumah yang layak, tetapi Ia lahir di tempat sederhana, sangat besar kemungkinan di kandang hewan (Lukas 2:7). Keberadaan-Nya seperti ini menunjukkan bahwa Ia rela melepaskan hak memiliki kelimpahan kekayaan, walaupun Ia adalah pemilik dari segala sesuatu, sebab ia adalah Pencipta dari segala sesuatu itu (Yohanes 1:1-13).

Dalam suatu pernyataan-Nya Yesus mengemukakan: ”Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya" (Lukas 9:58). Sebuah pernyataan yang menunjukkan kemiskinan-Nya yang sangat eks trim. Dari hal ini tampaklah bahwa Yesus rela melepaskan hak untuk menikmati kekayaan materi yang sebenarnya adalah milik-Nya sendiri.

Dalam pelayanan memang dibutuhkan berbagai fasilitas, tetapi hendaknya fasilitas yang diharapkan, seperti mobil, rumah pastori dan lain sebagainya, bukanlah menjadi hak milik untuk kenyamanan hidup. Dengan prinsip yang benar ini maka seseorang dapat berkorban demi pekerjaan Tuhan bagaimanapun beratnya. Walaupun telah bekerja keras, seorang pemimpin rohani yang memiliki kepemimpinan hamba, tidak akan merasa berhak memiliki hak milik. Pengorbanannya adalah devosi bagi Tuhan, bukan taburan yang mengharapkan tuaian sekarang.

Harus Rendah Hati

Kerendahan hati meliputi; Mengakui Tuhan Sebagai Sumber, bergantung kepada Tuhan dan tidak menonjolkan diri.

Mengakui Tuhan sebagai sumber. Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang menjadi sumber segala sesuatu. Ini berarti bahwa seseorang ada sebagaimana ada hanya oleh karena pemberian-Nya.

Melalui teks yang berbunyi,” Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Roma 11:36). Rasul Paulus memberi isyarat bahwa karena kekuatan-Nya lah seseorang dapat mencapai segala prestasi yang dimilikinya hari ini, kekayaan, pangkat, gelar, kekuasaan dan lain-lain. Oleh sebab itu, seharusnya sebuah prestasi atau keberhasilan tidak perlu ditonjolkan dan mengharapkan orang lain mengetahui serta menghargainya.

Bergantung Kepada Tuhan. Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang menentukan segala perkara. Ini berarti bahwa Tuhanlah yang menaungi segala sesuatu. Kesadaran ini akan nyata dalam sikap hidup pemimpin yang selalu merendahkan diri di hadapan Tuhan dan bergantung serta berharap sepenuh dalam segala sesuatu. Pemimpin yang bersikap seperti itu akan mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh. Baginya kehidupan ini tidak lengkap tanpa Tuhan. Segala kesanggupan, kemampuan dan kecakapan tidak ada artinya tanpa Tuhan yang menaunginya.

Pengakuan “aku percaya kepada Allah Bapa khalik langit dan bumi” harus merupakan pengakuan hidup setiap hari yang dapat dilihat setiap orang. Demikianlah umat harus hidup dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan. Pengakuan ini akan mendorong seseorang tidak bergantung kepada kekuatan lain, seperti uang, relasi pejabat, sumber daya manusia yang Handal dan lain sebagainya.

Tidak menonjolkan diri. Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup menjadi obyek pemujaan dan penyembahan. Untuk dapat memiliki sikap hati yang benar memuji dan menyembah Tuhan, seseorang harus sadar terhadap batas antara Allah dan umat. Dia adalah Allah Yang Maha tinggi dan manusia adalah ciptaan-Nya. Allah di dalam Alkitab menyatakan dengan tegas bahwa diri-Nya yang harus menjadi obyek penyembahan manusia ciptaan-Nya.


Kerendahan hati di sini berangkat dari kesadaran bahwa seseorang adalah “hamba,” dan Dia adalah Tuan di atas segala tuan. Setiap orang percaya harus merendahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Kerendahan hati ini adalah sikap hati, sesuatu yang bersifat batiniah. Kesadaran ini akan membuat seseorang dengan tegas menolak segala bentuk pengkultusan atas dirinya. Pengkultusan diri, baik secara terang-terangan maupun terselubung, adalah sikap penolakan terhadap

Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah. Keberhasilan, sukses dan segala perestasi pelayanan hendaknya tidak menjadi alasan untuk meninggikan diri.

Seorang pemimpin rohani memang tidak dapat mencegah orang memuji atau mengidola dirinya, tetapi seorang pemimpin rohani yang benar akan mengarahkan pujian dan pengidolaan tersebut ditujukan bagi Tuhan. Untuk itu seorang pemimpin rohani tidak boleh memberi signal atau isyarat kepada orang lain untuk menyanjung dirinya. Sekalipun ia dapat mencapai prestasi yang tinggi, ia tidak memanipulasi keberhasilan atau prestasi tinggi yang dicapainya untuk menonjolkan diri.
KRISTUS DALAM FILIPI 2:6-8 DAN IMPLIKASINYA DALAM KEPEMIMPINAN GEREJA MASA KINI
otomotif, business, Law
Harus Taat; meliputi taat pada Firman Tuhan dan memenuhi rencana Allah Kerelaan Kristus untuk mati di kayu salib memberikan kaidah yang sangat berharga bagi ketaatan para pengikut-Nya. Kata “taat sampai mati” (obedient unto death) memberikan implikasi pengorbanan yang radikal. Ini merupakan bukti bahwa ketaatan tersebut adalah tanpa syarat. Ketaatan tanpa syarat adalah ukuran ketaatan yang sempurna dan ideal, yang menjadi parameter ketaatan pemimpin. Tetapi harus diperhatikan bahwa ketaatan harus berangkat dari hati yang memiliki integritas untuk taat.

Perlu dikaji lebih jauh mengenai ketaatan yang benar menurut ajaran Alkitab.

Tidak semua ketaatan yang ditampilkan orang memiliki kebenaran yang sesuai dengan iman Kristen. Oleh sebab itu empat hal yang mendasar untuk memiliki ketaatan yang benar antara lain

Melakukan Firman

Bukan tidak mungkin, asumsi mengenai hamba yang dimiliki Paulus berangkat dari teks Alkitab Perjanjian Lama (Yesaya 52:13-53:12;42:1). Hal ini jelas menunjukkan bahwa Yesus disamakan dengan manusia. Jadi Kristus bukan hanya menjadi manusia sejati, tetapi seorang manusia yang "sama dengan yang lain". Ia mengambil bagian dalam seluruh kelemahan manusia, kecuali dalam dosa. 

Hal inilah yang menjadi kunci penting dalam melakukan tugas ke-Mesiasan-Nya. Dalam keadaan sebagai manusia, Ia taat kepada Firman-Nya. Ketika Yohanes Pembaptis menolak membaptis Dia, Yesus berkata: "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah." Dan Yohanes pun menuruti-Nya (Matius 3:15). Dari pernyataan Yesus Kristus ini, nyatalah bahwa Yesus berusaha memenuhi Firman yang tertulis dalam buku.

Allah adalah Allah yang bermoral dan Ia menghendaki umat-Nya hidup sesuai dengan moral-Nya (1Petrus 1:13-16). Dalam hal ini harus disadari, Tuhan memberikan hukum-hukum-Nya bukan semata-mata supaya hati Tuhan disenangkan oleh hukum-hukum yang dibuat-Nya untuk ditaati manusia. Tetapi agar manusia hidup dalam moral-Nya, karena manusia tidak akan memiliki kehidupan yang berkualitas tanpa hidup di dalam moral-Nya.

Ketaatan yang benar terhadap Firman Tuhan akan membangun kesucian hidup. Kesucian hidup inilah yang membangun hubungan harmonis dengan Tuhan. Oleh karena kesucian adalah bahasa batiniah yang luasnya tidak terbatas, maka perjalanan ketaatan kepada Firman adalah perjalanan yang berkesinambungan sampai kematian, pulang ke rumah Bapa.

Memenuhi Rencana Allah

Kekristenan berarti menjadi sekutu Tuhan. Tidak lagi membuka peluang mencari keuntungan. Yang penting, umat menemukan tempatnya di hadapan Tuhan untuk mengabdi. Dalam hal ini ketaatan pemimpin haruslah ketaatan yang benar. Dalam ketaatan untuk mengabdi tersebut pemimpin dikehendaki Tuhan untuk menggenapi rencana Tuhan. Filosofi yang ditunjukkan Yesus Kristus adalah makanan-Nya melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Kata kehendak dalam teks aslinya adalah thelema yang juga berarti keputusan (decision) dan kerinduan (desire).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis maka dapat dikemukakan bahwa Yesus harus menjadi teladan dalam kehidupan manusia khususnya para pemimpin gereja. Artinya selalu meneladani kehidupan Kristus. Termasuk di dalamnya model kepemimpinan Yesus.

Kepemimpinan Yesus adalah kepemimpinan yang melayani atau servat leadership yang masih relevan sampa saat ini. Kepemimpinan yang melayani antara lain rela melepaskan hak-hak dari seorang pemimpin seperti rela untuk tidak di hormati dan kepentingan orang lain didahulukan daripada diri sendiri.

Berikutnya yang melalui analisa di atas adalah rendah hati di mana harus menjadikan Tuhan sebagai sumber hikmat dan pengetahuan serta selalu bergantung kepada Tuhan. Tidak boleh menonjolkan diri. Kemudian kepemimpinan yang melayani juga harus memunculkan sikap yang taat baik pada atasan kita maupun kepada Tuhan.

Akhirnya, dari Dia, oleh Dia dan kepada Dialah segala kemuliaan sampai selama-lamanya. Jerry FTiwa
---
Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :


Next Post Previous Post