AMANAT AGUNG: EKSPOSISI MATIUS 28:16-20
Daniel Budianto.
Tempat Kejadian (Matius. 28:16)
Lokasi kisah ini berada di Galilea, di gunung yang tidak disebutkan namanya, yang memunculkan banyak pandangan yang berbeda. Ada berbagai teori tentang gunung apakah itu, tetapi Matius tidak menekankan gunung yang mana, hanya bahwa itu adalah gunung di Galilea.
bisnis, otomotif, gadget |
Beberapa orang mungkin bertanya-tanya mengapa gunung ini tidak disebutkan namanya, tetapi dua hal yang bisa membantu kita untuk melihat bahwa Matius tidak perlu menunjukkan gunung mana itu. Pertama, satu-satunya gunung yang disebut Matius adalah Bukit Zaitun. Lebih jauh,dua kali dalam Injilnya, Matius telah mengisahkan Yesus naik ke gunung yang tidak disebutkan namanya di wilayah Galilea, dan Kristus mengunjungi banyak gunung yang tidak disebutkan namanya di bagian lain dalam Injil.
Lalu, mengapa Matius menyebutkan bukit tetapi tidak menyebutkannya. Beberapa orang berpikir bahwa Yesus memulai pengajaran-Nya di sebuah bukit di Galilea dengan Khotbah di Bukit, dan Ia juga mengakhiri pengajaran-Nya di sebuah bukit di Galilea. Beberapa orang bahkan berpikir bahwa bukit ini adalah puncak yang sama dari tempat Yesus berkhotbah di atas bukit. Orang- orang yang menyatakan pandangan ini mengklaim bahwa ayat itu seharus diterjemahkan sebagai, "the mountain" bukan “a mountain.” Yang lain mengatakan bahwa gunung itu adalah tempat Musa mengalami semak yang terbakar, Musa menerima perintah melayani di gunung, seperti juga para murid di Matius 5.
Keadaan (Matius. 28:17)
Dua tindakan penting terjadi di puncak gunung ini: menyembah dan meragukan (Matius 28: 16). Hanya ada beberapa contoh orang menyembah Yesus sebelum ini dalam Injil Matius. Orang-orang bijak menyembah Dia saat masih bayi, para murid menyembah-Nya setelah Dia berjalan di atas air, dan para murid menyembah-Nya lagi setelah kebangkitan. Namun, ada satu kejadian προσκυνέω lainnya yang berkaitan. Dalam Matius 4, Yesus memberi tahu Iblis bahwa hanya Allahlah yang boleh disembah. Karena itu, ketika Kristus disembah di sini dalam Matius 28:17, itu mengantisipasi klaim keilahian-Nya di ayat berikutnya.
Selain itu, Yesus tidak hanya disembah, tetapi Ia juga diragukan. Banyak pendapat berbeda muncul tentang siapa yang sebenarnya ragu-ragu ini. Bahasa Yunani ayat ini (εδιστασαν—AAI- 3Pl.M) diterjemahkan sebagai "beberapa orang ragu-ragu." Bentuk orang ketiga tunggal dalam teks ini menunjukkan bahwa subjek yang melakukan tindakan. Kalau di ayat 16, telah disebutkan bahwa yang ke bukit itu adalah ke-11 murid. Jadi, ke-11 murid ini adalah subjek. Mereka “menyembah,” tetapi beberapa orang ragu-ragu. Jelaslah, bahwa "beberapa" ini merujuk pada beberapa murid, dan mungkin semua murid.
Lalu, bagaimana para murid ragu-ragu setelah apa yang terjadi dengan Tomas.
Pertama, ada yang mengklaim kata untuk "ragu-ragu, doubted" (dari kata kerja dasar, διστάζω) lebih baik diterjemahkan "bingung, hesitated." BDAG memungkinkan untuk kedua terjemahan ini, dan satu-satunya kemunculan διστάζω lainnya condong ke arah ‘kebingungan’ daripada ‘keraguan penuh.’
Kedua, tidak jelas mengapa para murid bingung. Mereka mungkin tidak yakin akan diri mereka sendiri, siapa Yesus itu, atau apakah mereka mengalami penglihatan. Terlepas dari apakah ini benar atau tidak, Bruner telah memberikan penjelasan. Dia mengklaim bahwa poin utamanya bukanlah keraguan para murid, melainkan justru Yesus mengabaikan keraguan itu.
Penjelasan Kristus selanjutnya, tampaknya ingin menjawab kebingungan para murid akan kejadian itu. Jika Kristus sekarang memiliki "semua otoritas," dan Dia akan menyertai mereka selama-lamanya, tidak ada gunanya mereka ragu-ragu. Ini tampaknya paralel dengan Injil Matius 14:22-33, ketika Petrus berjalan di atas air dan kemudian ragu-ragu. Kristus mempertanyakan alasan Petrus ragu-ragu, yang menyiratkan bahwa Petrus tidak boleh ragu-ragu. Perikop ini, yang merupakan satu-satunya tempat yang digunakan Matius untuk kata διστάζω juga kebetulan juga mengandung kata προσκυνέω yang jarang terjadi ketika merujuk pada penyembahan kepada Kristus. Dalam perikop ini poin utamanya adalah bahwa kepatuhan dan kepercayaan pada Kristus dapat mengatasi keraguan. Dengan menggunakan kedua istilah ini lagi, Matius kembali ke bagian sebelumnya dan mengingatkan pembaca bahwa keraguan dapat diatasi dengan mengandalkan Kristus dan otoritas-Nya.
Motivasi (Matius. 28:18)
Kristus sekarang memberikan kepada para murid alasan untuk mematuhi perintah yang akan Dia berikan sembari menjawab keraguan mereka. Dia memberi tahu para murid bahwa segala kuasa telah diberikan kepada-Nya, baik di surga, maupun di bumi. Pertama-tama, ada pemberian kuasa ilahi (secara pasif) yang dinyatakan dalam ayat ini. Dengan menempatkan kata εδοθη (API-3rd.Sing) di awal klausa, Matius menekankan adanya tindakan memberi. Ini juga menunjukkan adanya peristiwa yang kontras lainnya dengan Matius 4, saat Iblis menggoda Kristus. Iblis menjanjikan kepada Kristus untuk menyerahkan semua kerajaan di bumi (yang menyiratkan otoritas atas mereka) jika Kristus mau sujud menyembahnya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Dengan tidak sujud dan menyembah Setan, Kristus telah diberikan otoritas oleh Allah melalui kematian dan kebangkitan-Nya.
Lebih jauh, Matius ingin agar pembaca memahami bahwa otoritas Kristus tidak lagi memiliki batas. Sebelumnya, Dia hanya memiliki otoritas sejauh Allah mengizinkannya. Kristus sekarang memiliki semua otoritas di surga dan di bumi.
Morris mencatat bahwa Matius menunjukkan kepada pembaca bagaimana batasan dalam inkarnasi Kristus tidak lagi mengikat Dia. Kristus kembali memiliki otoritas ilahi atas seluruh alam semesta. Meskipun tidak eksplisit, ini menunjukkan, dengan implikasi, bahwa Kristus memiliki otoritas atas setiap hal di setiap tempat. Tidak ada yang dapat menghentikan para murid dalam melaksanakan perintah Kristus, karena Dia memiliki kuasa atas apa yang terjadi. Para murid harus melaksanakan perintah Kristus dan menyerahkan tanggapannya kepada Kristus. Kristus memiliki otoritas atas tanggapan terhadap berita yang disampaikan, dan para murid memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan pesan itu.
Kata “kuasa” (εξουσια) berarti otoritas, kekuasaan. Kata ini terutama berarti “kebebasan memilih,” tetapi meluas menjadi berarti “otoritas absolut,” seperti dalam teks ini. Ada beberapa perdebatan tentang apakah Yesus telah memperoleh otoritas atau kekuasaan baru sejak kebangkitannya, atau apakah ia selalu memiliki otoritas itu, tetapi untuk sementara waktu melepaskannya ketika ia menjadi manusia.
Kata benda εξουσια (nominative, single, feminine) dengan kata kerja εδοθη (aorist, passive, indicative, 3rd person, singular) memang menunjukkan bahwa kondisi kuasa yang diberikan kepada Yesus itu tidak diberi penjelasan jelas. Yang jelas hanyalah fakta bahwa Yesus diberi kuasa di surga dan di bumi. Jadi, memang benar bahwa Yesus, Anak Manusia, Mesias yang akan datang kini telah ada di surga dan dinobatkan duduk di sebelah kanan Allah dengan semua “kekuasaan, kemuliaan dan kerajaan,” tetapi apakah kekuasaan dan otoritas ini baru, atau dipulihkan, tidaklah jelas. Inti dari pernyataan itu adalah bahwa Yesus memiliki otoritas untuk memerintahkan suatu misi yang agung.
Perintah (Matius. 28:19-20)
Meskipun singkat, kalimat dalam perikop di atas sangatlah kompleks. Dalam teks bahasa Yunani perikop ini, di sini ada tiga participle (bentuk kata kerja yang digunakan sebagai kata sifat atau kata keterangan) yang digunakan: yang pertama muncul sebelum kata kerja utama, dan dua lainnya setelahnya. Dua yang terakhir ini sering dibahas bersama. Yang pertama, πορευθεντες (aorist, passive Deponent, participle, nominative, plural, masculine), yang sering dianggap sebagai perintah awal dalam Amanat Agung, yang sering diterjemahkan menjadi “pergi.”
Wallace berpendapat secara meyakinkan bahwa partisip ini harus diklasifikasikan sebagai keadaan yang menyertai, karena itu sesuai dengan setiap kriteria yang diberikan Wallace untuk partisip keadaan menyertai. Oleh karena itu, kata ini harus diterjemahkan dengan kekuatan yang sama dengan kata kerja utama, yang merupakan keharusan atau perintah.
Participle πορευθεντες ini merupakan partisip adverbia, atau mungkin temporal, “selagi kamu pergi.” Jadi, “pergi,” itu bukanlah tugas utama. Perintah ini bukan agar seseorang pergi ke suatu tempat asing yang jauh seperti misionaris, karena jika demikian, hanya akan ada sebagian kecil orang saja yang mampu melaksanakan ini. Matius sering menggunakan kata ini sebagai partisip.
Participle yang lain adalah βαπτιζοντες (present, active, participle, nominative, plural, masculine) yang berarti “membaptis” atau “menenggelamkan” dan διδασκοντες (present, active, participle, nominative, plural, masculine) yang berarti “mengajar.” Bagaimana kedua partisip ini dihubungkan dengan kata kerja utamanya? Keduanya biasa disebut sebagai participle of means, yang mengelaborasi tindakan kata kerja utamanya.
Kata βαπτιζοντες sering diterjemahkan sebagai "pembaptisan," mengacu pada proses merendam seseorang dalam air. Kata ini digunakan untuk pewarnaan kain, dan sudah sering dilakukan oleh agama Yahudi dengan nama mikveh (הווקמ / הוקמ). Namun, banyak ahli sepakat pada dua hal.
Pertama, pembaptisan ini dilakukan dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus adalah simbol masuknya kepercayaan Kristen. Ini melambangkan kekuasaan dan otoritas, dan kata tunggal "nama" Bapa dan Anak dan Roh Kudus menunjukkan adanya kesatuan ketiga-Nya.
Kedua, cara ini mungkin telah menggantikan sunat dalam Perjanjian Lama untuk masuk ke dalam Perjanjian Allah dengan Israel.
Kata kerja utamanya sendiri adalah μαθητευσατε (verb, aorist, active, imperative, 2nd person, plural). Kata ini adalah kata perintah aktif, yang mengharuskan subjek untuk melakukannya. Arti kata μαθητευσατε adalah “muridkanlah” atau “jadikanlah murid.” Pelakuknya adalah ke sebelas murid yang ada saat itu. Tense kata ini menunjukkan bahwa ini adalah fakta yang tidak memiliki tanda jelas kapan tindakan itu dilakukan atau berapa lama akan berakhir. Ini menunjukkan bahwa perintah ini khusus ditujukan untuk para murid, khususnya ke-11 murid yang ada di bukit bersama Yesus kala itu.
Jika diartikan secara luas, kata μαθητευσατε ini menekankan bahwa perintah memuridkan itu ditujukan kepada para murid. Murid harus menghasilkan murid dengan cara memuridkan, Hagner percaya bahwa penekanan kata kerja μαθητευσατε ini adalah pada pengasuhan (nurturing), pertumbuhan yang terjadi setelah pertobatan. Bruner mengatakan bahwa kata tersebut merujuk pada proses mengajar orang lain tentang Kristus.
Namun, berdasarkan pada bukti yang ada, kata itu tampaknya merujuk pada pertobatan dan pertumbuhan. Partisip yang menyertainya dapat menunjukkan dengan tepat apa yang dimaksud Matius ketika ia mencatat perintah Yesus untuk memuridkan. Baik Kristus maupun Matius bermaksud agar para murid mempertobatkan orang-orang yang tidak percaya dan mengajar mereka sampai mereka menjadi seperti Kristus dalam hidup mereka. Murid harus berjuang untuk menjadi seperti Kristus. Dengan demikian, ia bisa memuridkan orang lain agar menjadi seperti Kristus. Ini semua dilakukan oleh para murid, “sembari mereka pergi,” menjalani hidup keseharian, apa pun profesi mereka.
Yang menarik lagi, jika kata βαπτιζοντες dan kata διδασκοντες merupakan participle of means berarti kedua partisip ini berfungsi untuk menerangkan kata μαθητευσατε. Kedua partisip itu menunjukkan cara bagaimana μαθητευσατε atau memuridkan itu dilakukan. Jika seperti ini, cara memuridkan itu adalah dengan cara βαπτιζοντες dan διδασκοντες.
Artinya, konteks pelaksanaan itu hanya bisa dilakukan oleh jemaat. Jemaat menjadi wadah pelaksanaan pemuridan itu, ditandai dengan membaptis dan mengajar. Dua cara ini menjadi cara bagaimana pemuridan tersebut dilaksanakan. Secara tersirat, kata μαθητευσατε menuntut para murid untuk menunjukkan sikap keteladanan seorang murid. Secara tersurat, kata μαθητευσατε menuntut jemaat melakukan pemuridan dengan cara βαπτιζοντες dan διδασκοντες.
BACA JUGA: MATIUS 28:11-20 (AMANAT AGUNG TUHAN YESUS)
Untuk menghibur para murid dalam melakukan tugas besar ini, Kristus berjanji bahwa Dia akan menyertai mereka selama seluruh usaha mereka dikerjakan. Gagasan pertama yang menonjol saat membaca janji ini di awal Injilnya. Ketika pembaca pertama kali diperkenalkan kepada Kristus dalam Matius 1:23, Ia disebut "Imanuel," yang berarti “Allah menyertai kita.” Di sini, Kristus juga berjanji bahwa ia akan bersama para murid. Selanjutnya, Kristus akan tetap bersama para murid-Nya sampai mereka telah menyelesaikan tugas, “sampai akhir zaman.” Janji ini membungkus Amanat Agung dan Injil Matius, dan itu luar biasa.
Kesimpulan
Kita semua adalah pengemban Amanat Agung Tuhan Yesus. Kita harus menjadi murid yang benar-benar meneladani hidup Gurunya, lalu kita memuridkan orang lain—Proses pemuridan harus terus berlangsung demi kelangsungan hidup jemaat dan kelestarian-Nya.
Ikuti saya di google news untuk membaca artikel lainnya :
DAFTAR PUSTAKA
Albright, W. F. and C.S. Mann. Matthew: a New Translation with Introduction and
Commentary. The Anchor Bible. New York: Yale University, 1971.
Bauer, Walter. A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature. Trans. F. W. Arndt and F. W. Gingrich (1957); rev. ed., trans. F. W. Gingrich and F. W. Danker (1979), 3rd ed. Chicago: University of Chicago Press, 2000.
Bruner, Frederick Dale. The Churchbook: Matthew 13-28. Grand Rapids: Eerdmans, 1990. Carson, D. A. Exegetical Fallacies. Grand Rapids: Baker, 1996.
. “Matthew.” In the Expositor’s Bible Commentary: Matthew-Luke. Grand Rapids: Zondervan, 1984.
. God with Us: Themes from Matthew. Ventura, California: Regal, 1985. , and Douglas J. Moo. An Introduction to the New Testament. Grand Rapids: Zondervan, 1992.
Carter, Warren. Matthew and the Margins. Maryknoll, New York: Orbis Books, 2000.
Evans, Craig. The Bible Knowledge Background Commentary. Colorado Springs: Victor, 2001. uthrie, Donald. New Testament Introduction. Downers Grove: InterVarsity, 1990.
Hagner, Donald A. Matthew 14-28. Word Biblical Commentary. Columbia: Thomas Nelson,1995.
Hendriksen, William. Matthew. Grand Rapids: Baker, 1973
Luz, Ulrich. Studies in Matthew. Grand Rapids: Eerdmans, 2005.
Morris, Leon. The Gospel According to Matthew. Grand Rapids: Eerdmans, 1992. Osborne, Grant R. The Hermeneutical Spiral: A Comprehensive Introduction to Biblical Interpretation. Downers Grove: IVP Academic, 2006.
Phillips, John. Exploring the Gospel of Matthew. Grand Rapids: Kregel, 1999. Schnackenburg, Rudolf. The Gospel of Matthew. Grand Rapids: Eerdmans, 2002. Tasker, R. V. G. The Gospel According to St. Matthew. Grand Rapids: Eerdmans, 1976.
Wallace, Daniel B. Greek Grammar Beyond the Basics. Grand Rapids: Zondervan, 1996.
Wilkins, Michael J. Matthew. The NIV Application Commentary. Grand Rapids: Zondervan, 2004.