PENJELASAN KISAH PARA RASUL 10:34-35
Pdt.Budi Asali, M.Div.
Gadget, education, otomotif |
Kisah Para Rasul 10: 34-35: “(Kisah Para Rasul 10:34) Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.
1)A. H. Strong: “The patriarchs, though they had no knowledge of a personal Christ, were saved by believing in God so far as God had revealed himself to them; and whosoever among the heathen are saved, must in like manner be saved by casting themselves as helpless sinners upon God’s plan of mercy, dimly shadowed forth in nature and providence. But such faith, even among the patriarchs and heathen, is implicitly a faith in Christ, and would become explicit and conscious trust and submission, whenever Christ were made known to them (Matt 8:11,12; John 10:16; Acts 4:12; 10:31,34,35,44; 16:31)” [= Para kepala keluarga, sekalipun mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang Kristus yang bersifat pribadi, diselamatkan oleh kepercayaan kepada Allah sejauh Allah telah menyatakan diriNya sendiri kepada mereka; dan siapapun di antara orang-orang kafir yang diselamatkan, harus dengan cara yang serupa diselamatkan dengan melemparkan diri mereka sendiri sebagai orang-orang berdosa yang tak berdaya kepada rencana Allah tentang belas kasihan, yang digambarkan / dibayangkan secara samar-samar dalam alam dan providensia. Tetapi iman seperti itu, bahkan di antara para kepala keluarga dan orang kafir, secara implicit merupakan iman kepada Kristus, dan akan menjadi kepercayaan dan ketundukan yang explicit dan sadar, pada waktu Kristus dinyatakan kepada mereka (Matius 8:11,12; Yohanes 10:16; Kis 4:12; 10:31,34,35,44; 16:31)] - ‘Systematic Theology’, hal 842.
Catatan: istilah ‘patriarch’ tak ada sama katanya dalam bahasa Indonesia. Dalam kamus artinya adalah ‘kepala keluarga’, tetapi dalam buku theologia dan tafsiran digunakan untuk menunjuk kepada Abraham, Ishak dan Yakub, dan juga ke 12 anak laki-laki Yakub.
Webster’s New World Dictionary (tentang kata ‘patriarch’): “the father and ruler of a family or tribe, as one of the founders of the ancient Hebrew families: in the Bible, Abraham, Isaac, Jacob and Jacob’s twelve sons were patriarchs” (= bapa dan pemimpin dari suatu keluarga atau suku, sebagai salah satu pendiri dari keluarga-keluarga Ibrani kuno: dalam Alkitab, Abraham, Ishak, Yakub, dan 12 anak laki-laki dari Yakub adalah ‘patriarchs’).
A. H. Strong: “Since Christ is the Word of God and the Truth of God, he may be received even by those who have not heard of his manifestation in the flesh. A proud and self-righteous morality is inconsistent with saving faith; but a humble and penitent reliance upon God, as a Saviour from sin and a guide of conduct, is an implicit faith in Christ; for such reliance casts itself upon God, so far as God has revealed himself, - and the only Revealer of God is Christ. We have, therefore, the hope that even among the heathen there may be some, like Socrates, who, under the guidance of the Holy Spirit working through the truth of nature and conscience, have found the way of life and salvation” (= Karena Kristus adalah Firman Allah dan Kebenaran Allah, Ia bisa diterima bahkan oleh mereka yang tidak / belum pernah mendengar tentang manifestasiNya dalam daging. Suatu kehidupan moral yang sombong dan merasa diri sendiri benar tidak konsisten dengan iman yang menyelamatkan; tetapi suatu kebersandaran yang rendah hati dan bersifat menyesal kepada Allah, sebagai seorang Juruselamat dari dosa dan seorang Pembimbing tingkah laku, adalah suatu iman yang implicit kepada Kristus; karena kebersandaran seperti itu melemparkan diri sendiri kepada Allah, sejauh Allah telah menyatakan diriNya sendiri, - dan satu-satunya Yang menyatakan Allah adalah Kristus. Karena itu, kita mempunyai pengharapan bahwa bahkan di antara orang kafir bisa ada beberapa / sebagian, seperti Socrates, yang di bawah bimbingan Roh Kudus yang bekerja melalui kebenaran dari alam dan hati nurani, telah menemukan jalan kehidupan dan keselamatan) - ‘Systematic Theology’, hal 843.
J. A. Alexander: “This verse has sometimes been abused, to prove that the knowledge of the Gospel is not necessary to the salvation of the heathen” (= Ayat ini kadang-kadang telah disalah-gunakan, untuk membuktikan bahwa pengetahuan tentang Injil tidaklah perlu untuk keselamatan orang kafir) - hal 409.
Calvin: “But it seemeth that this place doth attribute the cause of salvation unto the merits of works. For if works purchase favor for us with God, they do also win life for us which is placed in the love of God towards us. Some do also catch at the word ‘righteousness,’ that they may prove that we are not justified freely by faith, but by works” (= Tetapi kelihatannya bahwa tempat / ayat ini memang menghubungkan penyebab keselamatan dengan jasa dari perbuatan baik. Karena jika perbuatan baik membeli kemurahan / perkenan Allah bagi kita, maka perbuatan baik juga memenangkan hidup bagi kita yang ditempatkan dalam kasih Allah terhadap kita. Sebagian orang juga memegang kata ‘kebenaran’, supaya mereka bisa membuktikan bahwa kita tidak dibenarkan dengan cuma-cuma oleh iman, tetapi oleh perbuatan baik).
Barnes’ Notes (tentang Kis 10:4): “‘Are come up for a memorial’. Are remembered before God. ... They were an evidence of piety toward God, and were accepted as such. Though he had not offered sacrifice according to the Jewish laws; though he had not been circumcised; yet, having acted according to the light which he had, his prayers were heard, and his alms were accepted. This was done in accordance with the general principle of the divine administration, that God prefers the offering of the heart to external forms; the expressions of love to sacrifice without it. This he had often declared, Isa 1:11-15; Amos 5:21-22; 1 Sam 15:22, ‘To obey is better than sacrifice, and to hearken than the fat of rams,’ Hos 6:6; Eccl 5:1. It should be remembered, however, that Cornelius was not depending on external morality. His heart was in the work of religion. It should be remembered, further, that he was ready to receive the gospel when it was offered to him, and to become a Christian. In this there was an important difference between him and those who are depending for salvation on their morality in Christian lands. Such people are inclined to defend themselves by the example of Cornelius, and to suppose that as he was accepted BEFORE he embraced the gospel, so they may be without embracing it. But there is an important difference in the two cases. For: (1) There is no evidence that Cornelius was depending on external morality for salvation. His offering was that of the heart, and not merely an external offering. (2) Cornelius did not rely on his morality at all. His was a work of religion. He feared God; he prayed to him; he exerted his influence to bring his family to the same state. Moral people do neither. ‘All their works they do to be seen of men’; and in their heart there is ‘no good thing toward the Lord God of Israel.’ Compare 1 Kings 14:13; 2 Chron 19:3. Who ever hears of a man that ‘fears God,’ and that prays, and that instructs his household in religion, that depends on morality for salvation? (3) Cornelius was disposed to do the will of God as far as it was made known to him. Where this exists there is religion. The moral man is not. (4) Cornelius was willing to embrace a Saviour when he was made known to him. The moral man is not. He hears of a Saviour with unconcern; he listens to the message of God’s mercy from year to year without embracing it” (= ‘Telah naik sebagai suatu peringatan’. Diingat di hadapan Allah. ... Mereka adalah suatu bukti kesalehan kepada Allah, dan diterima sebagai hal seperti itu. Sekalipun ia tidak mempersembahkan korban sesuai dengan hukum-hukum Yahudi; sekalipun ia tidak / belum disunat; tetapi, setelah bertindak sesuai dengan terang yang ia miliki, doa-doanya didengarkan, dan sedekah-sedekahnya diterima. Ini dilakukan sesuai dengan prinsip umum dari pemerintahan ilahi, bahwa Allah lebih memilih persembahan dari hati dari upacara-upacara lahiriah; ungkapan-ungkapan kasih dari korban tanpa kasih. Ini telah sering Ia nyatakan, Yes 1:11-15; Amos 5:21-22; 1 Sam 15:22, ‘mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan’, Hos 6:6; Pkh 4:17. Tetapi harus diingat bahwa Kornelius tidak bersandar pada kehidupan moral lahiriah. Hatinya merupakan pekerjaan dari agama. Selanjutnya harus diingat bahwa ia siap untuk menerima injil pada waktu itu ditawarkan kepadanya, dan menjadi orang Kristen. Dalam hal ini ada suatu perbedaan di antara dia dan mereka yang mempercayai / menggantungkan keselamatan pada kehidupan moral mereka di negara-negara Kristen. Orang-orang seperti itu cenderung untuk membela diri mereka sendiri dengan teladan dari Kornelius, dan menduga / menganggap bahwa karena ia diterima SEBELUM ia memeluk / percaya kepada injil, maka mereka juga bisa diterima sebelum memeluk / mempercayainya. Tetapi di sana ada suatu perbedaan penting dalam dua kasus. Karena, (1) Di sana tidak ada bukti bahwa Kornelius bergantung pada kehidupan moral lahiriah untuk keselamatan. Persembahannya adalah persembahan dari hati, dan bukan semata-mata persembahan lahiriah. (2) Kornelius tidak bergantung pada kehidupan moralnya sama sekali. PekerjaanNya adalah pekerjaan dari agama. Ia takut akan Allah; ia berdoa kepadaNya; ia menggunakan pengaruhnya untuk membawa keluarganya ke keadaan yang sama. Orang-orang yang bersandar pada kehidupan moral tidak melakukan yang manapun dari hal-hal ini. ‘Semua perbuatan baik mereka lakukan supaya dilihat manusia’; dan dalam hati mereka ‘tidak ada hal yang baik terhadap Tuhan, Allah Israel’. Bandingkan 1Raja 14:13; 2Taw 19:3. Siapa yang pernah mendengar tentang seseorang yang ‘takut akan Allah’ dan yang berdoa, dan yang mengajar rumah tangganya dalam agama, yang bergantung pada kehidupan moral untuk keselamatan? (3) Kornelius ingin melakukan kehendak Allah sejauh itu dinyatakan kepadanya. Dimana hal ini ada di situ ada agama. Manusia moral tidak seperti itu. (4) Kornelius mau memeluk / mempercayai Juruselamat pada waktu Ia dinyatakan kepadanya. Manusia moral tidak. Ia mendengar tentang seorang Juruselamat tanpa perhatian; ia mendengar berita tentang belas kasihan Allah dari tahun ke tahun tanpa memeluk / mempercayainya).
2) Untuk melihat bahwa apakah memang memungkinkan untuk menyimpulkan dari text ini bahwa ada kemungkinan selamat untuk orang-orang yang tidak pernah mendengar Injil, mari kita pelajari Kisah Para Rasul 10:34-35 ini.
Ay 34-35: “(34) Lalu mulailah Petrus berbicara, katanya: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. (35) Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.
Kisah Para Rasul 10:35 (versi palsu): “ternyata semua orang yang baik di dunia diterima oleh Tuhan”.
Kis 10:35 yang asli: “Setiap orang DARI BANGSA MANAPUN yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya.”.
Ada beberapa hal yang perlu dipersoalkan tentang hal ini:
a) Penekanan dari ayat ini, kalau dilihat dari seluruh kontext (Kis 10), adalah bahwa Tuhan tidak membedakan antara orang dari bangsa Yahudi dan orang dari bangsa non Yahudi.
J. A. Alexander: “The essential meaning is that whatever is acceptable to God in one race is acceptable in any other” (= Arti yang hakiki dari ayat ini adalah bahwa apapun yang bisa diterima oleh Allah dalam satu bangsa bisa diterima dalam bangsa yang lain) - hal 409.
Adam Clarke (tentang ay 34): “‘God is no respecter of persons’ He does not esteem a Jew, because he is a Jew; nor does he detest a Gentile because he is a Gentile. It was a long and deeply rooted opinion among the Jews, that God never would extend his favour to the Gentiles; and that the descendants of Jacob only should enjoy his peculiar favour and benediction. Of this opinion was Peter, previously to the heavenly vision mentioned in this chapter. He was now convinced that God was no respecter of persons; that as all must stand before his judgment seat, to be judged according to the deeds done in the body, so no one nation, or people, or individual, could expect to find a more favourable decision than another who was precisely in the same moral state; for the phrase, respect of persons, is used in reference to unjust decisions in a court of justice, where, through favour, or interest, or bribe, a culprit is acquitted, and a righteous or innocent person condemned. See Lev 19:15; Deut 1:16-17, and 16:19. And as there is no iniquity (decisions contrary to equity) with God, so he could not shut out the pious prayers, sincere fasting, and benevolont alms-giving of Cornelius; BECAUSE THE VERY SPRING WHENCE THEY PROCEEDED WAS HIS OWN GRACE AND MERCY. Therefore he could not receive even a Jew into his favour (in preference to such a person) who had either abused his grace, or made a less godly use of it than this Gentile had done” [= ‘Allah tidak membedakan orang’. Ia tidak menghargai seorang Yahudi karena ia adalah orang Yahudi; juga Ia tidak membenci seorang non Yahudi karena ia adalah orang non Yahudi. Merupakan suatu pandangan yang lama dan berakar dalam di antara orang-orang Yahudi, bahwa Allah tidak pernah akan memperluas kebaikanNya kepada orang-orang non Yahudi; dan bahwa hanya keturunan Yakub yang menikmati kebaikan dan berkat khususNya. Petrus mempunyai pandangan ini, sebelum penglihatan surgawi yang disebutkan sebelumnya dalam pasal ini. Sekarang ia yakin bahwa Allah tidak membedakan orang; bahwa semua harus berdiri di hadapan takhta penghakimanNya, untuk dihakimi sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam tubuh, sehingga tak ada bangsa, atau orang-orang, atau individu, bisa mengharapkan untuk mendapatkan suatu keputusan yang lebih baik dari pada yang lain, yang berada dalam keadaan moral yang betul-betul sama; karena ungkapan ‘membedakan orang’ digunakan berkenaan dengan keputusan yang tidak adil dalam suatu sidang pengadilan, dimana, melalui kebaikan, atau kepentingan, atau suap, orang yang telah melakukan kejahatan dibebaskan, dan orang yang benar atau tidak bersalah dihukum. Lihat Im 19:15; Ul 1:16-17, dan 16:19. Dan karena di sana tidak ada ketidak-adilan (keputusan yang bertentangan dengan keadilan) dengan Allah, maka Ia tidak bisa mencegah masuknya doa-doa yang saleh, puasa yang tulus, dan sedekah yang penuh kebaikan dari Kornelius; KARENA SUMBER DARI MANA HAL-HAL INI KELUAR ADALAH KASIH KARUNIA DAN BELAS KASIHANNYA SENDIRI. Karena itu Ia tidak bisa menerima bahwa satu orang Yahudi ke dalam kebaikanNya (dalam kebaikanNya kepada orang seperti itu) yang atau telah menyalah-gunakan kasih karuniaNya, atau melakukan penggunaan yang kurang saleh tentangnya dari pada yang telah dilakukan oleh orang non Yahudi ini].
b) Banyak penafsir yang menganggap bahwa kata-kata ‘takut akan Allah’ menunjuk pada kesalehan terhadap Allah, sedangkan kata-kata ‘mengamalkan kebenaran’ menunjuk pada kesalehan terhadap sesama manusia. Jadi, kata-kata ‘takut akan Allah dan mengamalkan kebenaran’ tentu tidak bisa secara serampangan diganti dengan kata-kata ‘orang yang baik’!
Bahwa memang banyak penafsir beranggapan demikian, akan saya buktikan dengan menunjukkan beberapa kutipan dari para penafsir di bawah ini, termasuk dari Calvin.
Adam Clarke: “‘fears God,’ worships him alone (for this is the true meaning of the word), and ‘worketh righteousness,’ abstains from all evil, gives to all their due, injures neither the body, soul, nor reputation of his neighbour” (= ‘takut akan Allah’, menyembah Dia saja (karena ini adalah arti yang benar dari kata ini), dan ‘mengamalkan kebenaran’, menjauhkan diri dari semua kejahatan, memberikan kepada semua orang hak mereka, tidak menyakiti / melukai tubuh, jiwa ataupun reputasi / nama baik dari sesamanya).
Barnes’ Notes: “‘He that feareth him.’ This is put for piety toward God in general. ... ‘And worketh righteousness.’ Does what is right and just. This refers to his conduct toward man. ... These two things comprehend the whole of religion, the sum of all the requirements of God - piety toward God, and justice toward people; and as Cornelius had showed these, he showed that, though a Gentile, he was actuated by true religion” (= ‘Ia yang takut akan Dia’. Ini dikemukakan untuk kesalehan terhadap Allah secara umum. ... ‘Dan mengamalkan kebenaran’. Melakukan apa yang benar dan adil. Ini menunjuk kepada tingkah lakunya terhadap manusia. ... Kedua hal ini mencakup seluruh agama, total dari semua tuntutan Allah - kesalehan terhadap Allah, dan keadilan terhadap orang-orang; dan karena Kornelius telah menunjukkan hal-hal ini, ia menunjukkan bahwa, sekalipun ia seorang non Yahudi, ia digerakkan oleh agama yang benar).
Matthew Henry: “Observe, Fearing God, and working righteousness, must go together; for, as righteousness towards men is a branch of true religion, so religion towards God is a branch of universal righteousness. Godliness and honesty must go together, and neither will excuse for the want of the other” (= Perhatikan, Takut akan Allah, dan mengamalkan kebenaran, harus berjalan bersama-sama; karena sebagaimana kebenaran terhadap sesama manusia merupakan suatu cabang dari agama yang benar, demikian juga agama terhadap Allah merupakan suatu cabang dari kebenaran universal. Kesalehan dan kejujuran harus berjalan bersama-sama, dan tidak ada satu yang memberi alasan absennya yang lain).
Sekarang mari kita melihat pandangan Calvin tentang ayat ini.
Calvin: “‘He which feareth God, and doth righteousness.’ In these two members is comprehended the integrity of all the whole life. For the fear of God is nothing else but godliness and religion; and ‘righteousness’ is that equity which men use among themselves, taking heed lest they hurt any man, and studying to do good to all men. As the law of God consisteth upon (of) these two parts, (which is the rule of good life) so no man shall prove himself to God but he which shall refer and direct all his actions to this end, neither shall there be any sound thing in all offices, (duties,) unless the whole life be grounded in the fear of God” [= ‘Ia yang takut akan Allah, dan mengerjakan kebenaran’. Dalam kedua anggota / bagian ini tercakup integritas / kelurusan dari seluruh kehidupan. Karena rasa takut akan Allah bukan lain dari kesalehan dan agama; dan ‘kebenaran’ adalah keadilan yang digunakan manusia di antara diri mereka sendiri, dengan memperhatikan supaya mereka tidak menyakiti manusia manapun, dan belajar untuk melakukan apa yang baik kepada semua manusia. Seperti hukum Taurat Allah terdiri dari kedua bagian ini, (yang adalah peraturan dari kehidupan yang baik) demikianlah tidak ada seorangpun yang akan membuktikan dirinya kepada Allah kecuali ia yang menyerahkan dan mengarahkan semua tindakan-tindakannya pada tujuan ini, dan tidak ada hal yang sehat apapun dalam semua kewajiban, kecuali seluruh kehidupan didasarkan pada rasa takut akan Allah].
Sekarang mari kita perhatikan komentar Calvin tentang ay 2 yang berbunyi sebagai berikut: “Ia saleh, ia serta seisi rumahnya takut akan Allah dan ia memberi banyak sedekah kepada umat Yahudi dan senantiasa berdoa kepada Allah”.
Calvin (tentang ay 2): “He saith that he was a godly man, and one that feared God; secondly, that like a good householder he had a care to instruct his families; he praiseth him afterward for the offices of love, because he was beneficial (beneficent) toward all the people; and, lastly, that he prayed (to) God continually. The sum is this, that Cornelius was a man of singular virtues, wherein the integrity of the godly consisteth, so that his life was framed, in all points, according to the rule which God prescribeth unto us. And because the law is contained in two tables, Luke commendeth, in the former place, Cornelius’ godliness; secondly, he descendeth unto the second part, that he exercised the offices of love toward men. This is very profitable to be marked, because we have a way to live well described in his person. Wherefore, in ordering the life well, let faith and religion be the foundation, which being taken away, all other virtues are nothing else but smokes. Luke reckoneth up the fear of God and prayer as fruits and testimonies of godliness and of the worship of God, and that for good causes. For religion cannot be separated from the fear of God and the reverence of him, neither can any man be counted godly, save he who acknowledging God to be his Father and Lord, doth addict himself wholly to him” (= Ia berkata bahwa ia adalah orang yang saleh, dan orang yang takut akan Allah; kedua, bahwa seperti seorang pengatur rumah tangga yang baik ia mempunyai kepedulian untuk mengajar keluarganya; ia memujinya belakangan untuk jasa kasih, karena ia bersikap dermawan kepada seluruh bangsa itu; dan terakhir, bahwa ia senantiasa berdoa kepada Allah. Intisarinya adalah ini, bahwa Kornelius adalah seorang manusia dengan kebaikan / sifat baik yang luar biasa, dimana ketulusan / kejujuran dari orang saleh ada, sehingga kehidupannya dibentuk, dalam semua hal, sesuai dengan peraturan yang Allah tentukan bagi kita. Dan karena hukum Taurat ada dalam 2 loh batu, Lukas memuji, di tempat pertama kesalehan Kornelius; dan yang kedua, ia turun pada bagian yang kedua, bahwa ia melakukan jasa kasih kepada manusia. Ini sangat berguna untuk diperhatikan, karena kita mempunyai suatu jalan untuk hidup baik yang digambarkan dalam dirinya. Karena itu, dalam mengatur kehidupan dengan baik, hendaklah iman dan agama merupakan dasar / fondasi, yang kalau diambil, menyebabkan semua kebaikan yang lain tidak lain dari pada asap. Lukas memperhitungkan rasa takut akan Allah dan doa sebagai buah-buah dan kesaksian-kesaksian dari kesalehan dan dari ibadah kepada Allah, dan itu dengan alasan yang baik. Karena agama tidak bisa dipisahkan dari rasa takut akan Allah dan rasa hormat kepada Dia, juga siapapun tidak bisa dianggap saleh, kecuali ia yang mengakui Allah sebagai Bapa dan Tuhannya, sehingga membaktikan dirinya sepenuhnya kepadaNya).
Tetapi Calvin menganggap, bahwa kehidupan yang benar harus bersifat vertikal (kepada Allah) maupun horizontal (kepada sesama manusia). Bahkan kelihatan jelas bahwa Calvin menganggap bahwa kehidupan vertikal yang benar itu merupakan dasar dari kehidupan horizontal yang benar. Tanpa kehidupan vertikal yang benar, maka kehidupan horizontal yang kelihatannya baik hanyalah asap!
c) Apakah ay 35 ini mengajarkan bahwa seseorang bisa diterima oleh Allah / berkenan kepada Allah karena perbuatan baik?.
1. Ini sama sekali mustahil, karena kebajikannya tak bisa diterima, kalau orangnya tidak diterima. Dan kalau orangnya diterima, maka pasti ia diselamatkan.
Calvin: “if works purchase favor for us with God, they do also win life for us which is placed in the love of God towards us” (= jika perbuatan baik membeli kemurahan / perkenan Allah bagi kita, maka perbuatan baik juga memenangkan hidup bagi kita yang ditempatkan dalam kasih Allah terhadap kita).
Dari kata-kata Calvin di atas ini terlihat bahwa ia tidak membedakan antara ‘orangnya diterima’ dan ‘orangnya diselamatkan / mendapatkan hidup’. Ini yang Alkitabiah, karena:
a. Ibrani 11:6 mengatakan bahwa tanpa iman tidak mungkin orang berkenan / diterima oleh Allah (ini sudah saya bahas di depan dan tidak saya ulang di sini).
b. Ada banyak sekali ayat yang menunjukkan bahwa sebelum seseorang beriman, seluruh hidupnya adalah dosa / bejat [ingat doktrin Total Depravity (= Kebejatan Total)] dalam ajaran Reformed!
2. Sekarang mari kita lihat apakah ay 35 ini memang mengajarkan bahwa dengan perbuatan baik seseorang bisa diterima oleh Allah / berkenan kepada Allah?
Kelihatannya memang demikian, karena Kisah Para Rasul 10:35 itu mengatakan: “Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepadaNya”.
Ini hanya bisa diarahkan pada doktrin keselamatan karena perbuatan baik kalau kita melepas ayat ini dari seluruh Alkitab! Mengapa? Karena seluruh Alkitab mengajarkan keselamatan karena iman, dan menentang ajaran keselamatan karena perbuatan baik! Jadi, mustahil kalau dari ayat ini kita mendapatkan ajaran sesat itu. Karena itu, ayat ini harus ditafsirkan secara berbeda. Perhatikan komentar dari para penafsir yang saya kutip di bawah ini.
J. A. Alexander: “‘Feareth God and worketh righteousness’ are not meritorious conditions or prerequisites to the experience of divine grace, but its fruits and evidences” (= ‘Takut akan Allah dan mengamalkan / mengerjakan kebenaran’ bukanlah merupakan kondisi atau persyaratan yang berjasa bagi pengalaman tentang kasih karunia ilahi, tetapi merupakan buah dan bukti dari kasih karunia ilahi) - hal 409.
Jadi, J. A. Alexander berpendapat bahwa kedua hal baik dalam ay 35 itu bukan merupakan penyebab, tetapi hasil / bukti / buah dari kasih karunia ilahi!
Jamieson, Fausset & Brown: “‘He that feareth him, and worketh righteousness, is accepted with him.’ As the two-fold description here given of the divinely-accepted man is just the well-known Old Testament description of him who, within the pale of Revealed Religion, was regarded as truly godly, IT CANNOT BE ALLEGED THAT PETER MEANT IT TO DENOTE A MERELY VIRTUOUS CHARACTER IN THE PAGAN SENSE; and as the apostle had learnt enough from the messengers of Cornelius, and from his own lips, to convince him that the whole religious character of this Roman officer had been cast in the mould of the Jewish Faith, there can be no doubt that the apostle meant to describe exactly such saint-ship, in its internal spirituality and external fruitfulness, as God had already pronounced to be genuine and approved; and since to such ‘He giveth more grace,’ according to the law of His kingdom (James 4:6; Matt 25:29), He now sends Peter, not to be the instrument of his conversion - as is very frequently said - but simply to show him the way of God more fully, as before to the Ethiopian eunuch” [= ‘Ia yang takut akan Dia, dan mengamalkan kebenaran diterima olehNya / berkenan kepadaNya’. Karena penggambaran rangkap dua yang diberikan di sini tentang orang yang diterima secara ilahi, merupakan penggambaran Perjanjian Lama yang terkenal tentang dia yang, dalam batasan Agama yang diwahyukan, dianggap sebagai betul-betul saleh, maka TIDAK BISA DIKATAKAN BAHWA PETRUS MEMAKSUDKAN ITU UNTUK MENUNJUKKAN SEMATA-MATA KARAKTER YANG BAIK DALAM ARTI KAFIR; dan karena sang rasul telah belajar cukup dari utusan-utusan Kornelius, dan dari bibir Kornelius sendiri, untuk meyakinkan dia bahwa seluruh karakter religius dari perwira Romawi ini telah dilemparkan dalam cetakan dari Iman Yahudi, maka tidak ada keraguan di sana bahwa sang rasul bermaksud untuk menggambarkan dengan tepat orang kudus seperti itu, dalam kerohanian batin dan ke-berbuah-an lahiriah, seperti yang telah Allah umumkan sebagai asli dan disetujui; dan karena kepada orang seperti itu ‘Ia memberikan lebih banyak kasih karunia’, sesuai dengan hukum dari KerajaanNya (Yakobus 4:6; Matius 25:29), sekarang Ia mengutus Petrus, bukan sebagai alat dari pertobatannya - seperti yang sering dikatakan - tetapi hanya untuk menunjukkan kepadanya jalan / cara Allah secara lebih penuh, seperti sebelumnya kepada sida-sida Etiopia].
Saya beranggapan bahwa kata-kata Jamieson, Fausset & Brown ini penting dan bagus sekali. Pertama-tama perhatikan bahwa kesalehan rangkap dua (kepada Allah dan sesama manusia) itu ia anggap sebagai kesalehan yang sejati, dan ini ia bedakan dengan ‘kesalehan dari orang kafir’, yaitu orang-orang yang sama sekali tak pernah mendengar Firman Tuhan, dan di sini tercakup orang-orang seperti Socrates, Khong Hu Cu, dan sebagainya. Kedua, ia mengatakan bahwa Petrus bukan diutus sebagai alat pertobatan Kornelius, tetapi hanya untuk menunjukkan kepadanya jalan Allah itu secara lebih penuh. Jadi, Kornelius dianggapnya sebagai sudah bertobat, dan yang diberikan oleh Petrus hanyalah pengertian yang lebih lengkap tentang Injil.
Calvin: “But it seemeth that this place doth attribute the cause of salvation unto the merits of works. For if works purchase favor for us with God, they do also win life for us which is placed in the love of God towards us. Some do also catch at the word ‘righteousness,’ that they may prove that we are not justified freely by faith, but by works. But this latter thing is too frivolous. For I have already showed that it is not taken for the perfect and whole observing of the law, but is restrained unto the second table and the offices of love. Therefore it is not the universal righteousness whereby a man is judged just before God, but that honesty and innocency which respecteth men, when as that is given to every man which is his. Therefore the question remaineth as yet, whether works win the favor of God for us? which that we may answer, we must first note that there is a double respect of God in loving men. For seeing we be born the children of wrath, (Ephesians 2:3,) God shall be so far from finding any thing in us which is worthy of his love, that all our whole nature causeth him rather to hate us; in which respect, Paul saith that all men are enemies to him until they be reconciled by Christ, (Romans 5:10.) Therefore the first accepting of God, whereby he receiveth us into favor, is altogether free; for there can as yet no respect of works be had, seeing all things are corrupt and wicked, and taste of (bespeak) their beginning. Now, whom God hath adopted to be his children, them doth he also regenerate by his Spirit, and reform in them his image: whence riseth that second respect. For God doth not find man bare and naked then, and void of all grace, but he knoweth his own work in him, yea, himself. Therefore, God accepteth the faithful, because they live godly and justly. And we do not deny that God accepteth the good works of the saints; but this is another question, whether man prevent the grace of God with his merits or no, and insinuate himself into his love, or whether he be beloved at the beginning, freely and without respect of works, forasmuch as he is worthy of nothing else but of hatred. Furthermore, forasmuch as man, left to his own nature, can bring nothing but matter of hatred, he must needs confess that he is truly beloved; whereupon, it followeth that God is to himself the cause that he loveth us, and that he is provoked (actuated) with his own mercy, and not with our merits. Secondly, we must note, that although the faithful please God after regeneration with good works, and their respects of works, yet that is not done with the merit of works. For the cleanliness of works is never so exact that they can please God without pardon; yea, forasmuch as they have always some corruption mixed with them, they are worthy to be refused. Therefore, the worthiness of the works doth not cause them to be had in estimation, but faith, which borroweth that of Christ which is wanting in works” (= Tetapi kelihatannya bahwa tempat / ayat ini memang menghubungkan penyebab keselamatan dengan jasa dari perbuatan baik. Karena jika perbuatan baik membeli kemurahan / perkenan Allah bagi kita, maka perbuatan baik juga memenangkan hidup bagi kita yang ditempatkan dalam kasih Allah terhadap kita. Sebagian orang juga memegang kata ‘kebenaran’, supaya mereka bisa membuktikan bahwa kita tidak dibenarkan dengan cuma-cuma oleh iman, tetapi oleh perbuatan baik. Tetapi hal yang terakhir ini adalah terlalu sembrono. Karena saya telah menunjukkan bahwa kata itu tidak diartikan untuk ketaatan yang sempurna dan menyeluruh dari hukum Taurat, tetapi dibatasi pada loh batu kedua dan kewajiban untuk mengasihi. Karena itu, kata itu bukanlah kebenaran universal / menyeluruh dengan mana seseorang dihakimi di hadapan Allah, tetapi kejujuran dan ketidak-berdosaan yang berkenaan dengan sesama manusia, sedangkan hal itu diberikan kepada setiap orang yang adalah milikNya. Karena itu pertanyaan tetap ada, apakah pekerjaan / perbuatan baik memenangkan kemurahan / perkenan Allah bagi kita? yang supaya bisa kami jawab, kami harus pertama-tama memperhatikan bahwa ada 2 hal dari Allah dalam mengasihi manusia. Karena melihat bahwa kita dilahirkan sebagai anak-anak kemurkaan, (Ef 2:3), Allah akan sangat jauh dari menemukan apapun dalam diri kita yang layak untuk mendapat kasihNya, dan bahwa seluruh sifat dasar kita menyebabkan Ia bahkan membenci kita; dalam hal mana, Paulus mengatakan bahwa semua manusia adalah musuh-musuh bagi Dia sampai mereka diperdamaikan oleh Kristus, (Ro 5:10). Karena itu PENERIMAAN PERTAMA dari Allah, dengan mana Ia menerima kita ke dalam kemurahan / perkenanNya, adalah sepenuhnya cuma-cuma; karena di sana tidak bisa ada perbuatan baik yang dimiliki, melihat bahwa segala sesuatu rusak dan jahat, dan memperlihatkan asal usul mereka. Sekarang, siapa yang telah Allah adopsi menjadi anak-anakNya, mereka juga Ia lahir-barukan oleh RohNya, dan Ia membentuk kembali gambarNya dalam diri mereka: dari mana muncul hal / PENERIMAAN YANG KEDUA. Karena pada saat itu Allah tidak mendapati manusia kosong dan telanjang, dan kosong dalam semua kasih karunia, tetapi Ia mengetahui pekerjaanNya sendiri di dalam orang itu, ya, orang itu sendiri. Karena itu, Allah menerima orang-orang yang beriman, karena mereka hidup secara saleh dan benar. Dan kami tidak menyangkal bahwa Allah menerima perbuatan-perbuatan baik dari orang-orang kudus; tetapi ini merupakan pertanyaan yang berbeda, apakah manusia mendahului / mengantisipasi kasih karunia Allah dengan jasa perbuatan baiknya atau tidak, dan memasukkan dirinya sendiri ke dalam kasihNya, atau apakah ia dikasihi sejak semula, dengan cuma-cuma dan tanpa memandang perbuatan baik, karena ia tidak layak mendapatkan apapun kecuali kebencian. Selanjutnya, karena manusia, jika dibiarkan dalam dirinya sendiri, tidak bisa membawa apapun kecuali bahan kebencian, ia terpaksa mengakui bahwa ia benar-benar dikasihi; dan kemudian menyusul bahwa Allah adalah penyebab bagi diriNya sendiri sehingga Ia mengasihi kita, dan bahwa Ia digerakkan oleh belas kasihanNya sendiri, dan bukan oleh jasa perbuatan baik kita. Kedua, kita harus memperhatikan, bahwa sekalipun orang beriman setelah kelahiran baru memperkenan Allah dengan perbuatan-perbuatan baik dan rasa hormat mereka terhadap perbuatan baik, tetapi itu tidak dilakukan dengan jasa dari perbuatan baik. Karena kebersihan dari perbuatan baik tidak pernah begitu tepat sehingga mereka bisa memperkenan Allah tanpa pengampunan; ya, karena mereka selalu mempunyai sebagian kerusakan dicampur dengan perbuatan-perbuatan baik itu, mereka layak untuk ditolak. Karena itu, kelayakan dari perbuatan baik tidak menyebabkan mereka dihargai, tetapi iman, yang meminjam dari Kristus apa yang kurang dalam perbuatan baik).
John Calvin: “They cite Peter’s statement, which Luke quotes in the Acts: ‘In truth I find that God accepts no one person over another’ (Acts 10:34-35, Comm.). But in every nation he who does righteousness is acceptable to him. And from this passage, which seems quite clear, they infer that if by right efforts a man may gain God’s favor for himself, it is not the gift of God alone that gains him salvation; nay, rather that God of his own mercy so helps the sinner that by works He is inclined to mercy. But you can in no way make the Scriptural passages agree unless you recognize a double acceptance of man before God. For God finds nothing in man’s nature but his miserable condition to dispose Him to mercy. If, therefore, when he is first received by God, it is certain that man is naked and bereft of all good, and on the other hand, stuffed and laden with all kinds of evils - on the basis of what endowment, I ask, shall we say he is worthy of a heavenly calling (cf. Hebrews 3:1)? Away, then, with this empty dreaming about merits, where God so clearly sets off his free mercy! For they most wickedly twist what the angel’s voice said to Cornelius - that his prayers and alms mounted up unto God’s presence (Acts 10:31) - to mean that by zeal for good works man is prepared to receive God’s grace. Indeed, Cornelius must have been already illumined by the Spirit of wisdom, for he was endowed with true wisdom, that is, the fear of God; and he was sanctified by the same Spirit, for he was a keeper of righteousness, which the apostle taught to be the Spirit’s surest fruit (Galatians 5:5). All those things in him which are said to have pleased God he received from God’s grace - so far is he from preparing himself to receive grace by means of them through his own effort. Truly, not one syllable of Scripture can be cited contrary to this doctrine: God’s sole reason to receive man unto himself is that he sees him utterly lost if left to himself, but because he does not will him to be lost, he exercises his mercy in freeing him. Now we see how it is that this acceptance has nothing to do with man’s righteousness but is pure proof of divine goodness toward miserable sinners, utterly unworthy of so great a benefit” [= Mereka mengutip pernyataan Petrus, yang dikutip oleh Lukas dalam Kisah Rasul: ‘Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang’ (Kis 10:34-35, Comm.). Tetapi dalam setiap bangsa ia yang melakukan kebenaran diterima olehNya. Dan dari text ini, yang kelihatannya jelas, mereka menyimpulkan bahwa jika oleh usaha-usaha yang benar seseorang bisa mendapatkan perkenan Allah bagi dirinya sendiri, maka bukan karunia / anugerah Allah saja yang memberinya keselamatan; tidak, tetapi bahwa Allah dengan belas kasihanNya sendiri membantu orang berdosa sedemikian rupa sehingga oleh perbuatan baik Ia dicondongkan pada belas kasihan. Tetapi engkau tidak bisa mengharmoniskan text-text Kitab Suci ini kecuali engkau menyadari SUATU PENERIMAAN GANDA TENTANG MANUSIA DI HADAPAN ALLAH. Karena Allah tidak mendapati apapun dalam diri manusia kecuali kondisinya yang menyedihkan untuk mencondongkan Dia pada belas kasihan. Karena itu, jika ia PERTAMA-TAMA DITERIMA oleh Allah, adalah pasti bahwa manusia itu telanjang dan tidak mempunyai kebaikan apapun, dan pada sisi yang lain, diisi dan dimuati / dipenuhi dengan kejahatan-kejahatan - berdasarkan pemberian / anugerah apa, saya bertanya, akan kita katakan bahwa ia layak mendapatkan panggilan surgawi (bdk. Ibr 3:1)? Maka, singkirkanlah mimpi kosong tentang jasa (dari perbuatan baik) ini, dimana Allah dengan begitu jelas mendengungkan belas kasihanNya yang cuma-cuma! Karena mereka dengan jahat membengkokkan suara malaikat yang dikatakan kepada Kornelius - bahwa doa-doa dan sedekah-sedekahnya telah naik ke hadapan Allah (Kis 10:31) - sehingga berarti bahwa oleh semangat untuk perbuatan baik manusia dipersiapkan untuk menerima kasih karunia Allah. Memang Kornelius pasti telah diterangi oleh Roh hikmat, karena ia diberi hikmat yang benar, yaitu rasa takut akan Allah; dan ia dikuduskan oleh Roh yang sama, karena ia adalah pemelihara kebenaran, yang diajarkan oleh sang rasul sebagai buah yang pasti dari Roh (Gal 5:5). SEMUA HAL-HAL ITU DI DALAM DIA YANG DIKATAKAN TELAH MEMPERKENAN ALLAH IA TERIMA DARI KASIH KARUNIA ALLAH - begitu jauh ia dari mempersiapkan dirinya sendiri untuk menerima kasih karunia oleh usahanya sendiri. Sesungguhnya, tidak satu suku katapun dari Kitab Suci bisa dikutip bertentangan dengan doktrin ini: satu-satunya alasan Allah untuk menerima manusia kepada diriNya sendiri adalah bahwa Ia melihatnya sama sekali terhilang jika dibiarkan pada dirinya sendiri, tetapi karena Ia tidak menghendakinya untuk terhilang, Ia menjalankan / menggunakan belas kasihanNya dalam membebaskannya. Sekarang kita melihat bagaimana halnya bahwa penerimaan ini tidak mempunyai hubungan apapun dengan kebenaran manusia, tetapi merupakan bukti murni dari kebaikan ilahi terhadap orang-orang berdosa yang menyedihkan, yang sama sekali tidak layak tentang suatu kebaikan yang begitu besar] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter XVII, no 4.
John Calvin: “For those who imagine that some sort of seed of election was sown in them from birth itself, and that by its power they have always been inclined to piety and the fear of God, are not supported by Scriptural authority and are refuted by experience itself. They put forward a few examples by which to prove that the elect even before illumination were not strangers to religion: Paul lived a blameless life as a Pharisee (Philippians 3:5-6); Cornelius, with alms and prayers, was acceptable to God (Acts 10:2), and the like, if any. As for Paul, we grant them their point; in Cornelius, we say they are deceived. For it appears that he was then already enlightened and regenerated, so that he lacked nothing but a clear revelation of the gospel. But what will they wring out of these few examples? That all the elect are always endowed with the spirit of piety? No more than if someone - by showing the uprightness of Aristides, Socrates, Xenocrates, Scipio, Curius, Camillus, and others - infers from it that all who are forsaken in the darkness of idolatry were earnest seekers of holiness and purity. Indeed, Scripture openly disclaims them in more than one place. This state before regeneration described by Paul in his letter to the Ephesians shows no grain of this seed. ‘You were dead,’ he says, ‘through the trespasses and sins in which you... walked according to the course of this world, according to the prince of the air, who is now at work in his disobedient sons. Among these we all once lived in the passions of our flesh, following the desires of the flesh and of the mind. So we were by nature children of wrath, like the rest.’ (Ephesians 2:1-3, abbr.) Again: ‘Remember that ... you were once without hope, and lacking God in the world.’ (Ephesians 2:12 p.) Likewise: You were once darkness but are now light in the Lord; walk as children of light.’ (Ephesians 5:8-9.)” [= Karena mereka yang membayangkan / mengkhayalkan bahwa sejenis benih pemilihan telah ditaburkan dalam diri mereka sejak lahir, dan bahwa oleh kuasanya mereka selalu condong pada kesalehan dan rasa takut akan Allah, tidak didukung oleh otoritas Kitab Suci, dan disangkal oleh pengalaman sendiri. Mereka mengemukakan beberapa contoh-contoh dengan mana mereka membuktikan bahwa orang-orang pilihan, bahkan sebelum pencerahan, bukanlah orang-orang asing terhadap agama: Paulus hidup secara tak bercacat sebagai seorang Farisi (Fil 3:5-6); Kornelius, dengan sedekah-sedekah dan doa-doanya, diterima oleh Allah (Kis 10:2), dan yang lain-lain, jika ada. Tentang Paulus, kami mengakui point mereka; dalam Kornelius, kami berkata bahwa mereka tertipu. Karena kelihatan bahwa pada saat itu ia sudah diterangi dan dilahir-barukan, sehingga ia tidak kekurangan apapun kecuali wahyu / penyataan yang jelas dari Injil. Tetapi apa yang akan mereka peras dari beberapa contoh ini? Bahwa semua orang pilihan selalu diberi roh kesalehan? Ini tidak lebih benar dari jika seseorang, dengan menunjukkan kejujuran / ketulusan / kelurusan dari Aristides, Socrates, Xenocrates, Scipio, Curius, Camillus, dan lain-lain, menyimpulkan dari situ bahwa semua orang yang ditinggalkan dalam kegelapan dari penyembahan berhala adalah pencari-pencari yang sungguh-sungguh dari kesucian / kekudusan dan kemurnian. Kitab Suci secara terbuka menyangkal mereka di lebih dari satu tempat. Keadaan sebelum kelahiran baru ini digambarkan oleh Paulus dalam suratnya kepada orang-orang Efesus tidak menunjukkan adanya benih ini. ‘Kamu dahulu sudah mati’, katanya, ‘karena pelanggaran-pelanggaran dan dosa-dosamu. Kamu hidup di dalamnya, karena kamu mengikuti jalan dunia ini, karena kamu mentaati penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Sebenarnya dahulu kami semua juga terhitung di antara mereka, ketika kami hidup di dalam hawa nafsu daging dan menuruti kehendak daging dan pikiran kami yang jahat. Pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai, sama seperti mereka yang lain.’ (Ef 2:1-3). Lagi, ‘ingatlah bahwa dahulu kamu ... tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia’ (Efesus 2:12). Juga: ‘Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang’ (Efesus 5:8-9)] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter XXIV, no 10.
Catatan: saya tak mengerti mengapa berkenaan dengan Paulus, Calvin mengakui point mereka.
John Calvin: “The Lord, having rescued man from the pit of perdition, has through the grace of adoption set him apart for his own. Thereupon, because he has begotten him anew and conformed him to a new life, he now embraces him as a new creature (cf. 2 Corinthians 5:17) endowed with the gifts of his Spirit. This is that ‘acceptance’ which Peter mentions (Acts 10:34; cf. 1 Peter 1:17) whereby believers are, after their call, approved of God also in respect of works (cf. 1 Peter 2:5). For the Lord cannot fail to love and embrace the good things that he works in them through his Spirit. But we must always remember that God ‘accepts’ believers by reason of works only because he is their source and graciously, by way of adding to his liberality, deigns also to show ‘acceptance’ toward the good works he has himself bestowed. For whence come their good works, save that the Lord, having chosen them as vessels unto honor (Romans 9:21), thus is pleased to adorn them with true purity? Whence, also, are these works reckoned good as if they lacked nothing, save that the kindly Father grants pardon for those blemishes and spots which cleave to them?” [= Tuhan, setelah menyelamatkan manusia dari lubang kehancuran / kebinasaan / penghukuman, telah memisahkannya sebagai milikNya sendiri, melalui kasih karunia pengadopsian. Setelah itu, karena Ia telah melahir-barukannya dan menyesuaikan dia dengan suatu kehidupan yang baru, sekarang Ia memeluknya sebagai ciptaan yang baru (bdk. 2Korintus 5:17) yang diberi karunia-karunia Roh. Ini adalah ‘penerimaan’ yang disebutkan oleh Petrus (Kisah Para Rasul 10:34; bdk. 1Petrus 1:17) dengan mana orang-orang percaya, setelah panggilan mereka, direstui oleh Allah juga berkenaan dengan pekerjaan / perbuatan baik mereka (bdk. 1Petrus 2:5). Karena Tuhan tidak bisa gagal untuk mengasihi dan memeluk hal-hal yang baik sehingga Ia bekerja dalam diri mereka melalui RohNya. Tetapi kita harus selalu mengingat bahwa Allah ‘menerima’ orang-orang percaya karena / berhubungan dengan pekerjaan / perbuatan baik, hanya karena Ia adalah sumber mereka dan dengan penuh kasih karunia / kemurahan, melalui penambahan pada keroyalanNya, juga berkenan untuk menunjukkan ‘penerimaan’ terhadap perbuatan baik yang telah Ia sendiri anugerahkan. Karena dari mana datangnya perbuatan baik mereka, kecuali Tuhan, setelah memilih mereka sebagai alat-alat / benda-benda bagi kemuliaan (Roma 9:21), lalu berkenan untuk menghiasi mereka dengan kemurnian yang benar? Juga, dari mana pekerjaan-pekerjaan ini dianggap baik, seakan-akan pekerjaan-pekerjaan itu tidak kekurangan apapun, kecuali bahwa Bapa yang baik memberikan pengampunan untuk cacat-cacat dan noda-noda yang melekat pada pekerjaan-pekerjaan itu?] - ‘Institutes of the Christian Religion’, Book III, Chapter XVII, no 5.
Gadget, health, education, otomotif |
Kesimpulan: ay 34-35 ini menekankan / mengajarkan:
1. Allah tak membedakan bangsa, khususnya Yahudi dan non Yahudi.
2. Kata-kata ‘takut akan Dia’ dan ‘mengamalkan kebenaran’ menunjuk pada kesalehan vertikal (kepada Allah) dan horizontal (kepada sesama manusia), dan ini bukan kesalehan kafir. Orang kafir tidak mungkin bisa mempunyai kedua kesalehan ini.
3. Orang yang dalam ay 35 dikatakan berkenan kepada Allah bukanlah orang tak beriman yang ‘hidupnya baik’, tetapi orang yang setelah beriman, lalu dalam hidupnya membuahkan kedua jenis kesalehan di atas (vertikal dan horizontal).
BACA JUGA: KISAH PARA RASUL 10:1-44 (KORNELIUS: IMAN, INJIL DAN KESELAMATAN)
Dengan demikian, Kisah Para Rasul 10: 34-35 ini tidak mungkin bisa digunakan untuk mengatakan bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Kristus, seperti Khong Hu Cu atau Socrates, bisa diselamatkan ataupun diterima oleh Tuhan.
Penerapan:
Untuk diri saudara sendiri, kalau saudara belum percaya Kristus, cepatlah percaya. Karena sebaik apapun kehidupan saudara, itu tidak mungkin memperkenan Allah, dan itu tidak mungkin menyelamatkan saudara.
Dan kalau saudara melihat orang yang kelihatannya baik, tetapi tidak / belum percaya kepada Kristus, ingatlah, bahwa orang seperti itu tidak mungkin memperkenan Allah atau masuk surga berdasarkan perbuatan baik mereka. Karena itu, beritakanlah Injil kepada mereka, supaya mereka bisa percaya kepada Yesus dan diselamatkan. Kiranya Tuhan memberkati saudara.
Penerapan:
Untuk diri saudara sendiri, kalau saudara belum percaya Kristus, cepatlah percaya. Karena sebaik apapun kehidupan saudara, itu tidak mungkin memperkenan Allah, dan itu tidak mungkin menyelamatkan saudara.
Dan kalau saudara melihat orang yang kelihatannya baik, tetapi tidak / belum percaya kepada Kristus, ingatlah, bahwa orang seperti itu tidak mungkin memperkenan Allah atau masuk surga berdasarkan perbuatan baik mereka. Karena itu, beritakanlah Injil kepada mereka, supaya mereka bisa percaya kepada Yesus dan diselamatkan. Kiranya Tuhan memberkati saudara.
Catatan: Pdt. Budi Asali, M.Div: meraih gelar Master of Divinity (M.Div) dari Reformed Theological Seminary (RTS), Jackson, Mississippi, United States of America
-AMIN-