TAFSIRAN 1 TIMOTIUS 6:1-2 (KEWAJIBAN TUAN DAN BUDAK)
Pdt.Budi Asali, M.Div.
1Timotius 6:1-2 - “(1) Semua orang yang menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap tuan mereka layak mendapat segala penghormatan, agar nama Allah dan ajaran kita jangan dihujat orang. (2) Jika tuan mereka seorang percaya, janganlah ia kurang disegani karena bersaudara dalam Kristus, melainkan hendaklah ia dilayani mereka dengan lebih baik lagi, karena tuan yang menerima berkat pelayanan mereka ialah saudara yang percaya dan yang kekasih. Ajarkanlah dan nasihatkanlah semuanya ini”.
1 Timotius 6: 1: “Semua orang yang menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap tuan mereka layak mendapat segala penghormatan, agar nama Allah dan ajaran kita jangan dihujat orang”.
1) “Semua orang yang menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap tuan mereka layak mendapat segala penghormatan”.
a) Pada jaman itu perbudakan merupakan sesuatu yang sangat membudaya, dan sangat banyak orang, bahkan yang berpendidikan tinggi, adalah budak-budak, dan mereka sama sekali tidak dianggap sebagai orang.
Barnes’ Notes (tentang 1Kor 7:21): “Slaves abounded in Greece and in every part of the pagan world. Athens, e.g., had, in her best days, 20,000 freemen, and 400,000 slaves” (= Budak-budak sangat banyak di Yunani dan setiap bagian dari dunia kafir. Athena, misalnya, pada masa jayanya, mempunyai 20.000 orang bebas dan 400.000 budak).
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “Some historians have estimated that half of the population of the Roman Empire was composed of slaves. Many of these people were educated and cultured, but legally they were not considered persons at all. The Gospel message of salvation and freedom in Christ appealed to the slaves, and many of them became believers” (= Beberapa ahli sejarah telah memperkirakan bahwa setengah dari jumlah penduduk kekaisaran Romawi terdiri dari budak-budak. Banyak dari orang-orang ini berpendidikan dan berkebudayaan, tetapi secara hukum mereka tidak dianggap sebagai manusia sama sekali. Berita Injil tentang keselamatan dan kemerdekaan dalam Kristus merupakan sesuatu yang menarik bagi budak-budak, dan banyak dari mereka menjadi orang-orang percaya).
b) Pertobatan dari budak-budak itu menimbulkan problem.
Jamieson, Fausset & Brown: “There was a danger of Christian slaves feeling above their pagan masters” (= Ada bahaya dimana budak-budak Kristen itu merasa berada di atas tuan-tuan mereka yang kafir).
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “there was a problem: Some slaves used their newfound freedom in Christ as an excuse to disobey, if not defy, their masters. They needed to learn that their spiritual freedom in Christ did not alter their social position” (= ada suatu problem: Sebagian budak-budak menggunakan kemerdekaan yang baru mereka temukan dalam Kristus sebagai suatu dalih / alasan untuk tidak mentaati, bahkan untuk menentang, tuan-tuan mereka. Mereka perlu belajar bahwa kebebasan / kemerdekaan rohani mereka dalam Kristus tidak mengubah posisi sosial mereka).
Karena itulah maka Paulus mengatakan kepada budak-budak itu kata-kata dalam ay 1a ini: “Semua orang yang menanggung beban perbudakan hendaknya menganggap tuan mereka layak mendapat segala penghormatan”.
c) Tujuan Paulus dengan ajaran / kata-katanya ini.
Wycliffe: “Paul does not discuss the ultimate question of the right and wrong of slavery, but stresses the obligations resting on the slave, and the opportunity even in that situation to ‘adorn the doctrine’ (Tit 2:10). The character of God and the Gospel teaching will be hurt by wrong conduct” [= Paulus tidak mendiskusikan pertanyaan pokok tentang benar atau salahnya perbudakan, tetapi menekankan kewajiban-kewajiban yang ada pada budak-budak, dan kesempatan bahkan dalam situasi seperti itu untuk ‘menghormati ajaran / doktrin’ (Tit 2:10). Karakter / reputasi dari Allah dan pengajaran Injil akan dilukai oleh tingkah laku yang salah].
Tit 2:9-10 - “(9) Hamba-hamba hendaklah taat kepada tuannya dalam segala hal dan berkenan kepada mereka, jangan membantah, (10) jangan curang, tetapi hendaklah selalu tulus dan setia, supaya dengan demikian mereka dalam segala hal memuliakan ajaran Allah, Juruselamat kita”.
1. Jadi jelas bahwa kata-kata ini tidak boleh diartikan bahwa Paulus pro pada perbudakan / mendukung adanya perbudakan. Ini sama seperti:
a. Kasus polygamy.
Di satu sisi jelas Kitab Suci melarang polygamy, tetapi di lain pihak Kitab Suci memberikan peraturan-peraturan yang harus dijalankan kalau polygamy itu terjadi, misalnya:
Ul 21:15-17 - “(15) ‘Apabila seorang mempunyai dua orang isteri, yang seorang dicintai dan yang lain tidak dicintainya, dan mereka melahirkan anak-anak lelaki baginya, baik isteri yang dicintai maupun isteri yang tidak dicintai, dan anak sulung adalah dari isteri yang tidak dicintai, (16) maka pada waktu ia membagi warisan harta kepunyaannya kepada anak-anaknya itu, tidaklah boleh ia memberikan bagian anak sulung kepada anak dari isteri yang dicintai merugikan anak dari isteri yang tidak dicintai, yang adalah anak sulung. (17) Tetapi ia harus mengakui anak yang sulung, anak dari isteri yang tidak dicintai itu, dengan memberikan kepadanya dua bagian dari segala kepunyaannya, sebab dialah kegagahannya yang pertama-tama: dialah yang empunya hak kesulungan.’”.
b. Kasus perceraian.
Di satu sisi jelas Kitab Suci melarang perceraian, tetapi di lain pihak Kitab Suci memberikan peraturan-peraturan yang harus dijalankan kalau perceraian itu terjadi, misalnya:
Ul 24:1-4 - “(1) ‘Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, (2) dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, (3) dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, (4) maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu”.
c. Kasus hubungan sex dengan seorang perawan.
Ini jelas dilarang karena merupakan perzinahan, tetapi kalau hal itu terjadi, Kitab Suci memberikan peraturan / hukum tentang apa yang harus dilakukan.
Kel 22:16-17 - “(16) Apabila seseorang membujuk seorang anak perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, maka haruslah ia mengambilnya menjadi isterinya dengan membayar mas kawin. (17) Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikannya kepadanya, maka ia harus juga membayar perak itu sepenuhnya, sebanyak mas kawin anak perawan.’”.
Sama seperti Ul 21:15-17 tidak berarti bahwa polygamy diijinkan, dan Ul 24:1-4 tidak berarti bahwa perceraian diijinkan, dan Kel 22:16-17 tidak berarti bahwa seorang laki-laki boleh berhubungan sex dengan seorang gadis yang masih perawan, demikian juga ay 1 ini tidak berarti bahwa perbudakan diijinkan.
Barnes’ Notes: “Christianity taught the necessity of patience, and meekness, and forbearance in the endurance of all wrong - whether from private individuals (Matt 5:39-41; 1 Cor 6:7), or under the oppressions and exactions of Nero (Rom 13:1-7), or amidst the hardships and cruelties of slavery. These peaceful injunctions, however, did not demonstrate that Christ approved the act of him ‘that smote on the one cheek,’ or that Paul regarded the government of Nero as a good government, - and as little do they prove that Paul or the Saviour approved of slavery” [= Kekristenan mengajarkan keharusan kesabaran, dan kelembutan, dan sikap menahan diri dalam menahan semua ketidak-adilan - apakah dari seorang pribadi (Mat 5:39-41; 1Kor 6:7), atau di bawah penindasan dan pemerasan dari Nero (Ro 13:1-7), atau di tengah-tengah kekerasan dan kekejaman perbudakan. Tetapi perintah-perintah ini tidak menunjukkan bahwa Kristus merestui / menyetujui tindakan orang yang ‘menampar pipi’, atau bahwa Paulus menganggap pemerintahan Nero sebagai suatu pemerintahan yang baik, - dan demikian juga kata-kata Paulus di sini tidak membuktikan bahwa Paulus dan sang Juruselamat menyetujui / merestui perbudakan].
Mat 5:39-41 - “(39) Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. (40) Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. (41) Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil”.
1Kor 6:7 - “Adanya saja perkara di antara kamu yang seorang terhadap yang lain telah merupakan kekalahan bagi kamu. Mengapa kamu tidak lebih suka menderita ketidakadilan? Mengapakah kamu tidak lebih suka dirugikan?”.
Ro 13:1-7 - “(1) Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. (2) Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya. (3) Sebab jika seorang berbuat baik, ia tidak usah takut kepada pemerintah, hanya jika ia berbuat jahat. Maukah kamu hidup tanpa takut terhadap pemerintah? Perbuatlah apa yang baik dan kamu akan beroleh pujian dari padanya. (4) Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. (5) Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita. (6) Itulah juga sebabnya maka kamu membayar pajak. Karena mereka yang mengurus hal itu adalah pelayan-pelayan Allah. (7) Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar: pajak kepada orang yang berhak menerima pajak, cukai kepada orang yang berhak menerima cukai; rasa takut kepada orang yang berhak menerima rasa takut dan hormat kepada orang yang berhak menerima hormat”.
Catatan: jangan lupa bahwa pada saat Paulus menulis ini itu adalah jaman pemerintahan Nero!
KIta harus menafsirkan banyak ayat-ayat yang mengatur perbudakan dengan cara yang sama, misalnya:
· Kel 21:2-11 - “(2) Apabila engkau membeli seorang budak Ibrani, maka haruslah ia bekerja padamu enam tahun lamanya, tetapi pada tahun yang ketujuh ia diizinkan keluar sebagai orang merdeka, dengan tidak membayar tebusan apa-apa. (3) Jika ia datang seorang diri saja, maka keluarpun ia seorang diri; jika ia mempunyai isteri, maka isterinya itu diizinkan keluar bersama-sama dengan dia. (4) Jika tuannya memberikan kepadanya seorang isteri dan perempuan itu melahirkan anak-anak lelaki atau perempuan, maka perempuan itu dengan anak-anaknya tetap menjadi kepunyaan tuannya, dan budak laki-laki itu harus keluar seorang diri. (5) Tetapi jika budak itu dengan sungguh-sungguh berkata: Aku cinta kepada tuanku, kepada isteriku dan kepada anak-anakku, aku tidak mau keluar sebagai orang merdeka, (6) maka haruslah tuannya itu membawanya menghadap Allah, lalu membawanya ke pintu atau ke tiang pintu, dan tuannya itu menusuk telinganya dengan penusuk, dan budak itu bekerja pada tuannya untuk seumur hidup. (7) Apabila ada seorang menjual anaknya yang perempuan sebagai budak, maka perempuan itu tidak boleh keluar seperti cara budak-budak lelaki keluar. (8) Jika perempuan itu tidak disukai tuannya, yang telah menyediakannya bagi dirinya sendiri, maka haruslah tuannya itu mengizinkan ia ditebus; tuannya itu tidak berhak untuk menjualnya kepada bangsa asing, karena ia memungkiri janjinya kepada perempuan itu. (9) Jika tuannya itu menyediakannya bagi anaknya laki-laki, maka haruslah tuannya itu memperlakukannya seperti anak-anak perempuan berhak diperlakukan. (10) Jika tuannya itu mengambil perempuan lain, ia tidak boleh mengurangi makanan perempuan itu, pakaiannya dan persetubuhan dengan dia. (11) Jika tuannya itu tidak melakukan ketiga hal itu kepadanya, maka perempuan itu harus diizinkan keluar, dengan tidak membayar uang tebusan apa-apa.’”.
· Kel 21:20,21,26,27 - “(20) Apabila seseorang memukul budaknya laki-laki atau perempuan dengan tongkat, sehingga mati karena pukulan itu, pastilah budak itu dibalaskan. (21) Hanya jika budak itu masih hidup sehari dua, maka janganlah dituntut belanya, sebab budak itu adalah miliknya sendiri. ... (26) Apabila seseorang memukul mata budaknya laki-laki atau mata budaknya perempuan dan merusakkannya, maka ia harus melepaskan budak itu sebagai orang merdeka pengganti kerusakan matanya itu. (27) Dan jika ia menumbuk sampai tanggal gigi budaknya laki-laki atau gigi budaknya perempuan, maka ia harus melepaskan budak itu sebagai orang merdeka pengganti kehilangan giginya itu”.
· Ul 23:15-16 - “(15) ‘Janganlah kauserahkan kepada tuannya seorang budak yang melarikan diri dari tuannya kepadamu. (16) Bersama-sama engkau ia boleh tinggal, di tengah-tengahmu, di tempat yang dipilihnya di salah satu tempatmu, yang dirasanya baik; janganlah engkau menindas dia.’”.
2. Dengan kata-katanya dalam ay 1a ini Paulus menekankan kewajiban-kewajiban bagi seorang budak, bahkan dalam keadaan / posisinya yang sangat tidak menyenangkan ini.
Barnes’ Notes: “In the humble and trying situation in which he confessedly was - under the yoke of bondage - he ought to evince patience, kindness, and respect for his master, and as long as the relation continued he was to be obedient” (= Dalam situasi yang rendah / hina dan berat yang Paulus akui - di bawah kuk perbudakan - ia harus menunjukkan dengan jelas kesabaran, kebaikan, dan hormat bagi tuannya, dan selama hubungan itu berlanjut ia harus taat).
Catatan: dalam terjemahan bahasa Inggris ada kata ‘yoke’ (= kuk). RSV: ‘under the yoke of slavery’ (= di bawah kuk perbudakan).
Ef 6:5-8 - “(5) Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, (6) jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, (7) dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. (8) Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan”.
1Pet 2:18-20 - “(18) Hai kamu, hamba-hamba, tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan peramah, tetapi juga kepada yang bengis. (19) Sebab adalah kasih karunia, jika seorang karena sadar akan kehendak Allah menanggung penderitaan yang tidak harus ia tanggung. (20) Sebab dapatkah disebut pujian, jika kamu menderita pukulan karena kamu berbuat dosa? Tetapi jika kamu berbuat baik dan karena itu kamu harus menderita, maka itu adalah kasih karunia pada Allah”.
Penerapan: kalau budak saja diperintahkan untuk berbuat seperti ini, bagaimana dengan pegawai? Banyak pegawai mempunyai boss yang ‘gila’. Tentu saja dalam hal pegawai, mereka boleh saja keluar dan mencari pekerjaan lain. Tetapi kalau mereka memilih untuk tetap bekerja pada boss ‘gila’ itu, maka mereka harus taat dan menghormati boss ‘gila’ itu!
Calvin: “They who cannot avoid the necessity do, indeed, reluctantly obey those who are above them; but inwardly they fret and rage, because they think that they suffer wrong. The Apostle cuts off, by a single word, all disputes of this kind, by demanding that all who live ‘under the yoke’ shall submit to it willingly” (= Mereka yang tidak bisa menghindari keharusan / keterpaksaan ini, memang dengan segan mentaati orang-orang yang ada di atas mereka; tetapi dalam hati mereka jengkel dan marah, karena mereka menganggap bahwa mereka diperlakukan dengan tidak adil. Sang rasul memotong, dengan satu kata, semua perbantahan dari jenis ini, dengan menuntut bahwa semua yang hidup ‘di bawah kuk’ harus tunduk padanya dengan sukarela).
3. Kata-kata Paulus juga tak boleh diartikan bahwa budak tidak boleh mengusahakan kebebasan / kemerdekaan dirinya kalau kesempatannya ada.
Barnes’ Notes: “This command, however, was by no means inconsistent with his desiring his freedom, and securing it, if the opportunity presented itself” (= Tetapi perintah ini sama sekali tidak bertentangan dengan keinginannya akan kebebasan, dan mendapatkannya, jika kesempatannya ada).
1Kor 7:20-21 - “(20) Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah. (21) Adakah engkau hamba waktu engkau dipanggil? Itu tidak apa-apa! Tetapi jikalau engkau mendapat kesempatan untuk dibebaskan, pergunakanlah kesempatan itu”.
Barnes’ Notes (tentang 1Kor 7:21): “If thou canst (DUNASAI), if it is in your power to become free. That is, if your master or the laws set you free; or if you can purchase your freedom; or if the laws can be changed in a regular manner. If freedom can be obtained in ‘any’ manner that is not SINFUL. In many cases a Christian master might set his slaves free; in others, perhaps, the laws might do it; in some, perhaps, the freedom of the slave might be purchased by a Christian friend. In all these instances it would be proper to embrace the opportunity of becoming free. The apostle does not speak of insurrection, and the whole scope of the passage is AGAINST an attempt on their part to obtain freedom by force and violence” [= ‘Jika engkau bisa’ (DUNASAI), jika itu ada dalam kuasamu untuk menjadi bebas. Artinya, jika tuanmu atau hukum membebaskanmu; atau jika engkau bisa membeli kebebasanmu; atau jika hukum bisa diubah dengan cara biasa. Jika kebebasan bisa didapatkan dalam cara apapun yang tidak berdosa. Dalam banyak kasus seorang tuan Kristen bisa membebaskan budaknya; dalam kasus-kasus yang lain, mungkin hukum bisa melakukannya; mungkin dalam beberapa kasus, kebebasan dari budak bisa dibeli oleh seorang teman Kristen. Dalam semua contoh-contoh ini adalah benar untuk mengambil kesempatan itu dan menjadi bebas. Sang rasul tidak berbicara tentang pemberontakan, dan seluruh text ini menentang suatu usaha untuk mendapatkan kebebasan dengan kekuatan dan kekerasan].
2) “agar nama Allah dan ajaran kita jangan dihujat orang”.
The Bible Exposition Commentary: New Testament: “For a slave to rebel against an unsaved master would bring disgrace on the Gospel. ‘The name of God’ and His doctrine would be blasphemed (Rom 2:24). This is one reason Paul and the early missionaries did not go around preaching against the sinful institution of slavery. Such a practice would have branded the church as a militant group trying to undermine the social order, and the progress of the Gospel would have been greatly hindered” [= Seorang budak yang memberontak terhadap tuan yang belum diselamatkan / bukan kristen akan membawa aib pada Injil. ‘Nama Allah’ dan ajaranNya akan dihujat (Ro 2:24). Ini adalah salah satu alasan mengapa Paulus dan misionaris-misionaris awal tidak berkeliling untuk berkhotbah menentang perbudakan. Praktek seperti itu akan menyebabkan gereja dicap sebagai grup yang militan yang berusaha untuk meruntuhkan ketenteraman sosial, dan kemajuan Injil akan terhalang secara hebat].
Ro 2:24 - “Seperti ada tertulis: ‘Sebab oleh karena kamulah nama Allah dihujat di antara bangsa-bangsa lain.’”.
Barnes’ Notes: “there may be no occasion to say that Christianity tends to produce discontent and to lead to insurrection. If the effect of religion had been to teach all who were servants that they should no longer obey their masters, or that they should rise upon them and assert their freedom by violence, or that their masters were to be treated with indignity on account of their usurped rights over others, the effect would have been obvious. There would have been a loud and united outcry against the new religion, and it could have made no progress in the world” (= Tidak boleh ada saat / kesempatan untuk mengatakan bahwa kekristenan cenderung untuk menghasilkan ketidak-puasan dan membimbing pada pemberontakan. Jika akibat / hasil dari agama adalah mengajarkan kepada semua budak bahwa mereka tidak lagi harus mentaati tuan mereka, atau bahwa mereka harus bangkit melawan tuan-tuan mereka dan memaksakan kebebasan mereka dengan kekerasan, atau bahwa tuan-tuan mereka harus diperlakukan dengan penghinaan karena merampas hak orang-orang lain, akibat / hasilnya akan sangat jelas. Akan ada teriakan yang keras dan bersatu terhadap agama baru ini, dan agama ini tidak akan membuat kemajuan dalam dunia).
Bible Knowledge Commentary: “he wrote that slaves are to view their masters as worthy of full respect (TIMES, ‘honor’). The same word is used of God in 1 Tim 1:17 and 6:16, and of elders in 5:17. Such honor or respect should be granted lest God’s reputation and the Christian faith (HE DIDASKALIA, ‘the teaching’; cf. 1:10; 4:1,6,13,16; 5:17) be slandered (lit., ‘be blasphemed’). Social goals should always be subordinate to spiritual values” [= ia menulis bahwa budak-budak harus memandang tuan-tuan mereka sebagai layak untuk dihormati (TIMES, ‘hormat’). Kata yang sama digunakan tentang Allah dalam 1Tim 1:17 dan 6:16, dan tentang tua-tua dalam 5:17. Hormat seperti itu harus diberikan supaya jangan reputasi Allah dan iman Kristen (HE DIDASKALIA, ‘ajaran’; bdk. 1:10; 4:1,6,13,16; 5:17) difitnah (hurufiah, ‘dihujat’). Tujuan-tujuan sosial harus selalu tunduk pada nilai-nilai rohani].
1 Timotius 6: 2: “Jika tuan mereka seorang percaya, janganlah ia kurang disegani karena bersaudara dalam Kristus, melainkan hendaklah ia dilayani mereka dengan lebih baik lagi, karena tuan yang menerima berkat pelayanan mereka ialah saudara yang percaya dan yang kekasih. Ajarkanlah dan nasihatkanlah semuanya ini.”.
1) “Jika tuan mereka seorang percaya, janganlah ia kurang disegani karena bersaudara dalam Kristus, melainkan hendaklah ia dilayani mereka dengan lebih baik lagi”.
Calvin: “The name of ‘brother’ may be thought to constitute equality, and consequently to take away dominion. Paul argues, on the contrary, that slaves ought the more willingly to subject themselves to believing masters” (= Sebutan ‘saudara’ bisa dianggap sebagai merupakan kesetaraan, dan sebagai akibatnya membuang penguasaan. Sebaliknya, Paulus berargumentasi bahwa budak-budak harus dengan lebih sukarela menundukkan diri mereka sendiri kepada tuan-tuan yang adalah orang-orang percaya).
Calvin: “slavery is much more easily endured under mild lords, who love us, and whom we love in return. There is also the bond of faith which binds very closely together those who are of different conditions” (= perbudakan bisa ditahan dengan jauh lebih mudah di bawah tuan-tuan yang lembut / tidak keras, yang mengasihi kita, dan yang sebaliknya juga kita kasihi. Juga di sana ada ikatan iman yang mengikat / mempersatukan dengan sangat dekat mereka yang berasal dari kondisi-kondisi yang berbeda).
Saya berpendapat bahwa ini ditekankan dalam urusan di luar gereja. Di sana berlaku hubungan tuan - hamba. Tetapi di dalam gereja, mereka berdua setingkat! Bahkan kalau hamba itu menjadi tua-tua, sedangkan tuannya jemaat biasa, maka di gereja, tuannya yang harus menghormati hambanya! Jadi, dalam hal seperti ini memungkinkan adanya hubungan yang bersifat dualisme. Ini bisa juga terjadi dalam hubungan anak dan orang tua, menantu dengan mertua, suami dan istri dan sebagainya.
2) “karena tuan yang menerima berkat pelayanan mereka ialah saudara yang percaya dan yang kekasih”.
Barnes’ Notes: “The passage teaches that it is possible that a man who is a slaveholder may become a Christian. But it does not teach that, though he may become a Christian while he is a slaveholder, that it is proper for him to continue this relation after he becomes such. It does not teach that a man can be a Christian and yet go into the business of buying and selling slaves. It does not teach that a man can be a Christian and continue to hold others in bondage, .... It does not teach that he ought to be considered as maintaining a ‘good standing’ in the church, if he continues to be a slaveholder; ... It settles one point only in regard to these questions - that a case was supposable in which a slave had a Christian master. It settles the duty of the slave in such a case; it says nothing about the duty of the master” (= Text ini mengajarkan bahwa adalah mungkin bahwa seseorang yang mempunyai budak menjadi orang Kristen. Tetapi text ini tidak mengajarkan bahwa, sekalipun ia bisa menjadi seorang Kristen sementara ia mempunyai budak, bahwa adalah benar baginya untuk meneruskan hubungan ini setelah ia menjadi orang Kristen. Ini tidak mengajar bahwa seseorang bisa adalah orang Kristen tetapi tetap ada dalam bisnis pembelian dan penjualan budak. Ini tidak mengajar bahwa seseorang bisa adalah orang Kristen dan terus memegang orang lain dalam perbudakan, ... Ini tidak mengajarkan bahwa ia harus dianggap sebagai memelihara ‘kedudukan yang baik’ dalam gereja, jika ia terus menjadi pemilik budak; ... Ini menjawab hanya satu hal berkenaan dengan pertanyaan-pertanyaan ini - bahwa dimisalkan ada suatu kasus dalam mana seorang budak mempunyai seorang tuan Kristen. Ini menentukan kewajiban dari budak dalam kasus seperti itu; ini tidak mengatakan apa-apa tentang kewajiban dari tuannya).
3) “Ajarkanlah dan nasihatkanlah semuanya ini”.
Matthew Henry: “Timothy is appointed to teach and exhort these things. Ministers must preach not only the general duties of all, but the duties of particular relations” (= Timotius ditunjuk untuk mengajar dan menasehatkan / mendesakkan hal-hal ini. Pendeta-pendeta harus mengkhotbahkan, bukan hanya kewajiban-kewajiban umum dari semua orang, tetapi juga kewajiban-kewajiban dari hubungan-hubungan yang khusus).
-o0o-