MEMPRAKTEKKAN HUKUM KASIH MENURUT LUKAS 10:25-37

Perumpamaan Orang Samaria yang baik hati adalah pengajaran Yesus tentang bagaimana cara menerapkan hukum kasih kepada sesama manusia. Peristiwa yang terjadi dalam Lukas 10:25-37 sangat mirip dengan peristiwa yang dicatat dalam Markus 12:28-34, walaupun berada dalam dua situasi yang berbeda. 
MEMPRAKTEKKAN HUKUM KASIH MENURUT LUKAS 10:25-37
bisnis, tutorial
Ketika diamati, pertanyaan yang diajukan kepada Yesus dalam dua catatan Injil tersebut merujuk kepada hal yang sama, yaitu tentang hukum kasih. Berarti hal ini menggambarkan satu situasi yang terjadi dalam masyarakat Yahudi pada masa itu yaitu kurangnya mengasihi sesama. Tetapi hanya Lukas yang menceritakan kisah terkenal tentang "Orang Samaria yang baik hati".

Kata yang diterjemahkan "sesama" berasal dari kata dalam Bahasa Yunani “plesion” yang berarti seseorang yang dekat (lih. Kisah Para Rasul 7:27). Kata ini berasal dari kata dalam bahasa Ibrani “rea” yang berarti seseorang dengan siapa seseorang memiliki sesuatu untuk dilakukan. Orang-orang Yahudi menafsirkan kata itu dalam arti terbatas, berarti sesama Yahudi atau seseorang di komunitas religius yang sama. Mereka secara khusus mengecualikan orang Samaria dan orang bukan Yahudi dari kategori ini.

Dari penjelasan ini terlihat bahwa diskriminasi sosial sudah terjadi pada masa pelayanan Yesus di bumi. Orang-orang Yahudi menganggap orang-orang Samaria menjadi orang-orang kelas dua dalam hal suku, agama dan ras. Sehingga dalam pengajaran-Nya Yesus selalu mengajak setiap murid-Nya untuk meninggalkan diskriminasi dalam masyarakat. Yesus bukan hanya mengajar, tetapi Ia mempraktekkan dalam kehidupan pelayanan-Nya. Yesus bergaul dengan orang-orang berdosa, orang-orang miskin bahkan juga bergaul dengan perempuan Samaria (Yoh. 4).

Dalam kisah perumpamaan tentang "orang Samaria yang baik hati", Yesus menceritakan tentang seseorang yang dirampok di jalan sepi yang menuju Yerikho. Yesus tidak menceritakan tentang ras dan pekerjaan orang yang dirampok ini, karena ini bukan fokus pengajarannya. Walaupun ada banyak penafsir yang berasumsi bahwa orang yang dirampok ini adalah orang Yahudi.

Tempat terjadinya perampokan adalah jalan perlintasan dari Yerusalem ke Yerikho. Daerah yang berkelok-kelok sangat berbahaya dan sangat sepi, sehingga menjadi tempat favorit para perampok. Menurut Yerome, salah seorang bapa gereja, jalan perlintasan itu tetap disebut “jalan merah atau jalan darah.” Hal inilah yang membuat korban perampokan tergeletak sendiri tanpa adanya pertolongan segera.

Perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati menggambarkan tentang tiga orang yang mewakili tiga jenis manusia yang memberikan respons terhadap korban kejahatan. Tiga orang itu adalah seorang Imam, seorang Lewi dan seorang Samaria. Tiga jenis manusia ini hendak dijelaskan tentang makna yang sesungguhnya dari sesama manusia.

Jenis manusia pertama adalah seorang imam. Seorang imam seringkali didefinisikan sebagai golongan rohaniawan tingkat atas. Seorang imam adalah seorang yang membaca dan menafsirkan Kitab Suci dan yang melayani umat Allah di Bait Suci. Seorang yang seharusnya mengetahui dan melaksanakan hakekat kasih

Tetapi dalam kisah perumpamaan ini telah gagal menjadi seorang yang memiliki kedudukan untuk menolong korban perampokan tersebut.

Jenis manusia kedua adalah seorang Lewi. Orang Lewi adalah golongan keluarga imam. Orang-orang yang diajarkan prinsip dan pola pelayanan bagi umat Allah sejak masa kecilnya. Orang-orang yang seharusnya sudah fasih di dalam melaksanakan hukum kasih. Tetapi seluruh didikan pelayanan ini tidak membuat hati nurani tergerak untuk melakukan pertolongan bagi sesama yang sedang menderita. Dalam perumpamaan ini, orang Lewi mengulangi tindakan imam tersebut.

Jenis manusia ketiga adalah orang Samaria. Meskipun orang Samaria, seperti orang Yahudi, menganggap hukum itu suci, orang Yahudi menganggap mereka sebagai sampah - tak tersentuh. Di antara ketiga orang dalam perumpamaan ini, Orang Samaria adalah orang yang diprediksi paling tidak mungkin untuk menawarkan pertolongan kepada orang yang sedang mengalami permasalahan ini. 

Tetapi orang Samaria ini melakukannya. Padahal orang Samaria ini memiliki alasan yang kuat untuk tidak menolong orang ini: pertama, orang Samaria sudah dicap sebagai orang jahat karena keturunannya. Kedua, orang Samaria dilarang untuk bergaul dengan orang Yahudi. Tetapi semua asumsi itu dipatahkan oleh orang Samaria itu, hanya dialah satu-satunya yang bersedia untuk menolong

Orang Samaria ini memiliki sisi kemanusiaan di dalam dirinya, dan ketika ia melihat orang itu, “tergeraklah hatinya oleh belas kasihan.” (Lukas 10:33). Imam dan orang Lewi memiliki hati yang mengeras terhadap salah seorang dari bangsanya sendiri, namun orang Samaria ini terbuka hatinya dengan belas kasihan melihat kesusahan orang lain yang tidak sebangsa dengan dia. 

Ketika dia melihat seorang korban perampokan yang sedang menderita, dia menaruh belas kasihan kepadanya, dan tidak pernah mempertimbangkan asal negaranya. Meskipun korban perampokan ini seorang Yahudi, orang ini adalah seorang manusia, dan seorang manusia yang dalam kesengsaraan, dan orang Samaria belajar untuk menghormati semua orang; karena itu orang Samaria ini mengasihani yang menjadi korban perampokan, karena dia sendiri menginginkan dan berharap untuk dikasihani seperti itu. Cinta kasih yang besar ditemukan dalam diri orang Samaria itu.

Orang Samaria inilah yang disebut oleh Yesus sebagai sesama manusia bagi korban perampokan ini. Ada pelajaran luhur dari perumpamaan ini, yaitu sering kali orang yang mengalami diskriminasi adalah orang-orang yang selalu menjadi sesama bagi orang-orang yang menderita. Orang Samaria ini membuktikannya: 

Pertama, ia yang adalah seorang bidat, tetapi ia memiliki kasih Allah di dalam hatinya. 

Kedua, ia seorang yang ditolak oleh orang Yahudi, namun justru mengasihi sesama. 

Kesimpulan dari perumpamaan Orang Samaria yang baik hati adalah bahwa Yesus mau menegaskan bahwa sesama manusia yang "nyata" adalah orang yang melakukan hal yang penuh kasih kapan pun dan di mana pun terjadi, terlepas dari permusuhan atau antagonisme terdalam

Penutup

Pembelajaran yang penting dari perumpamaan orang Samaria yang baik hati adalah Allah tidak menginginkan kemajemukan menjadi alasan untuk tidak peduli kepada sesama manusia. Sesama manusia di dalam sudut pandang Allah adalah semua manusia ciptaan-Nya tanpa memandang suku, agama dan ras. Allah yang menciptakan keberagaman di bumi ini, menginginkan keberagaman menjadi suatu keharmonisan yang unik yang diikat oleh rasa saling mengasihi. 


Sehingga sudah seharusnya dalam setiap permusuhan kebijakan, unsur-unsur diskriminatif tidak menjadi acuan lagi, tetapi yang menjadi landasan dalam perumusan kebijakan adalah hukum kasih. Satu landasan etis untuk mengasihi sesama manusia tanpa memandang latar belakang suku, agama dan ras. Sehingga akan terbentuk masyarakat Indonesia yang harmonis dalam kemajemukan.
Next Post Previous Post