MENGASIHI SESAMA (LUKAS 10:25-37)
Pdt.Samuel T. Gunawan, M.Th.
Kisah ini dimulai dengan seorang ahli Taurat yang datang untuk mencobai Yesus dengan mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana supaya seseorang layak memperoleh hidup yang kekal. Seorang “ahli hukum Taurat” atau “nomikos” dalam ayat tersebut menunjuk kepada seorang pakar dalam hal ajaran hukum Musa atau hukum Taurat.
gadget, bisnis, otomotif |
Kata “mencobai” dalam ayat tersebut adalah “ekpeirazon” yang berarti “menguji, menggoda, menjebak dengan maksud menjatuhkan”.
Jadi sebenarnya ahli Taurat ini tidak benar-benar hendak bertanya, ia hanya hendak menguji Yesus dengan pertanyaan yang menjebak, yaitu pertanyaan “tentang hidup kekal” yang pada saat itu merupakan pokok perdebatan hangat dalam agama (Bandingkan Lukas 18:18).
Ahli Taurat itu menyebut Yesus dengan sebutan “didaskalos” atau “guru atau pengajar”, dengan demikian ia mengakui bahwa Yesus adalah seorang pribadi yang berotoritas di dalam mengajarkan hal-hal agama. Karena itulah ia mengharapkan Yesus memberi jawaban untuk pertanyaannya itu. Yesus tahu bahwa ahli Taurat itu benar-benar mengetahui hukum Taurat hingga ke detailnya, karena itu Yesus menjawab pertanyaan ahli hukum Taurat tersebut dengan balik bertanya kepadanya tentang kesimpulan dari hakikat dan tujuan hukum Taurat (Lukas 10: 26).
Ahli Taurat itu memberi jawaban yang sama (Lukas 10: 27) seperti yang diberikan Yesus dalam Markus 12:29-30. Bahkan menurut Yesus perintah untuk mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia tersebut merupakan kesimpulan dari seluruh hukum Taurat dan kitab para Nabi ketika Ia mengatakan, “en tautais tais dusin entolais holos ho nomos kai hoi prophêtai kremantai” atau yang diterjemahkan menjadi “pada kedua perintah ini seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi terikat” (Matius 22:40). Hal itu tidak mengherankan sebab ikatan atau perpaduan antara Ulangan 6:5 dan Imamat 19:18 telah dipahami sebelum masa Yesus.
Jadi baik Yesus maupun ahli hukum Taurat itu benar-benar sudah mengetahui kesimpulan dari hakikat dan tujuan hukum Taurat. Disini kita dapat melihat bagaimana Yesus menerima otoritas Perjanjian Lama sebagai pernyataan (wahyu) Allah, karena itulah Ia membawa ahli hukum Taurat itu untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya tersebut.
Ketika Yesus mendengar jawaban yang benar dari ahli Taurat tentang kesimpulan dari hakikat dan tujuan hukum Taurat itu, Ia langsung mengatakan kepada ahli Taurat itu demikian, “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup." (Lukas 10: 28). Secara teori ahli Taurat ini telah mengetahui yang benar, tetapi belum menerapkan pengetahuan itu. Mengatahui dan melakukan adalah dua hal berbeda! Kegagalannya melakukan hukum Taurat bukan disebabkan karena kurangnya penjelasan, melainkan disebabkan oleh kurangnya kasih.
Menyadari bahwa dirinya belum menerapkan sepenuhnya hukum kasih itu, bahkan kini ia justru terjebak oleh pertanyaan dan jawabannya sendiri, maka si ahli Taurat yang telah “kehilangan muka” ini mencoba untuk membela dirinya dengan sebuah insiatif untuk mengajukan pertanyaan tentang definisi yang lebih tepat mengenai kata “sesama”. Ahli Taurat itu bertanya kepada Yesus, “"Dan siapakah sesamaku manusia?" (Lukas 10: 29) berdasarkan hukum kedua “kai agapêseis ton plêsion sou hôs seauton” atau “dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Lukas 10: 27).
Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang mendasar, sebab orang ahli Taurat itu adalah orang Yahudi yang hidup di dalam dunia yang sirkular, dimana dirinya adalah pusat, dikelilingi oleh kerabat dekatnya, kemudian sanak keluarganya, dan akhirnya lingkaran dari mereka semua yang menyatakan diri keturunan orang Yahudi. Ahli Taurat ini mewakili kebanyakan pemikiran dan sikap orang Yahudi pada masa itu bahwa yang dimaksud dengan “sesama manusia” itu hanyalah “sesama orang Yahudi”.
Padahal kata Yunani “plêsion” yang diterjemahkan dengan “sesama” merupakan kata yang dipakai untuk menunjukkan orang yang bukan saudara kandung, sedarah, sesuku atau sekebangsaan. Sebab jika yang dimaksud dengan sesama itu adalah orang yang sedarah, sesuku, atau sekebangsaan maka kata Yunani yang biasa dipakai adalah “adelphos”. Karena itu, dalam rangka menjelaskan makna dari kata “plêsion” atas pertanayaan ahli Taurat itulah Yesus menyampaikan perumpamaan tentang Orang Samaria yang murah hati.
Di dalam perumpamaan ini, digambarkan ada lima orang (tidak termasuk para perampok), yaitu : orang yang dirampok, seorang imam, seorang lewi, orang Samaria, dan pemilik penginapan. Namun fokus dari perumpamaan ini bukanlah orang yang di rampok itu meskipun ia memang menjadi objek perhatian; subjek dari kisah ini juga bukanlah imam, orang Lewi maupun pemilik penginapan. Tetapi yang menjadi fokus dari cerita ini adalah orang Samaria.
Dialah pelaku, agen, dan karakter utama yang hendak ditampilkan Yesus dalam perumpamaan ini. Karena itu perumpamaan ini disebut “perupamaan tentang orang Samaria yang murah hati” dan bukan perumpamaan tentang orang yang dirampok. Orang Samaria ini mewakili karakter yang menunjukkan bagaimana seseorang harus mengasihi sesamanya dan menjadi saudara baginya.
Melalui perumpamaan orang Samaria yang murah hati ini Yesus hendak menujukkan bahwa yang dimaksud dengan “plêsion” atau “sesama” sebenarnya bukan hanya saudara berkebangsaan Yahudi atau pun orang asing yang tinggal dan mengikuti agama Yahudi, melainkan setiap orang yang ada disekitar mereka, termasuk yang orang-orang yang memusuhi mereka.
Dengan demikian harus dingat, bahwa perintah “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” adalah sebuah perintah yang menjangkau keluar melampaui lingkaran keluarga sedarah maupun keluarga gereja. Perintah ini merupakan panggilan untuk menunjukkan belas kasihan kepada semua orang yang tidak beruntung, teraniaya, tersakiti, dan terpinggirkan. Kita memang tidak dapat menolong dan memenuhi kebutuhan semua orang di dunia.
Yesus tidak mengajarkan itu atau hidup seperti itu. Sebagaimana orang Samaria yang murah hati itu menolong orang yang sekarat yang ia temukan dalam perjalanannya tersebut, demikian juga kita perlu menggunakan kesempatan yang diberikan kepada kita untuk menolong orang-orang yang ada disekitar kita yang dapat kita jumpai dalam perjalanan hidup kita.
Hanya karena kita tidak dapat menolong semua orang bukanlah alasan untuk kita tidak menolong siapapun. Dalam perumapamaan ini Yesus jelas mendefinisikan sesama kita dengan orang-orang manapun yang kita temuai dan memerlukan pertolongan kita tanpa harus dibatasi oleh rasial, budaya dan agama. Sebagaimana orang Samaria itu menolong orang yang sekarat itu dengan segenap kemampuannya demikianlah kita perlu mengupayakan mengasihi sesama dengan segenap kemampuan yang ada dan melihatnya dari sudut pandang seperti yang diajarkan Yesus
Ketika selesai dengan perumpamaan itu, Yesus mengajukan pertanyaan yang menghujam tajam tepat di pikiran ahli taurat itu demikian, “Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?" Seketika ahli Taurat itu menjawab, “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya. Kemudian, perkataan penutup dari Yesus segera membungkan mulut
Ahli Taurat tersebut sekaligus mengakhiri kisah ini “Pergilah, dan perbuatlah demikian!" Sekali lagi, secara teori ahli Taurat ini telah mengetahui yang benar, tetapi belum menerapkan pengetahuan itu. Mengatahui dan melakukan adalah dua hal berbeda! Kegagalannya melakukan hukum Taurat bukan disebabkan karena kurangnya penjelasan, melainkan disebabkan oleh kurangnya kasih.
Kita perlu mengetahui firman Tuhan dan bagiamana menerapkan dengan tepat atas kehidupan kita dan sesama. Yakobus merangkumnya dengan tepat ketika berkata, “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22).MENGASIHI SESAMA (LUKAS 10:25-37)