Keharusan Persekutuan Seorang Dengan Yang Lain (Efesus 6: 21-24)
Efesus 6:21 Supaya kamu juga mengetahui keadaan dan hal ihwalku, maka Tikhikus, saudara kita yang kekasih dan pelayan yang setia di dalam Tuhan, akan memberitahukan semuanya kepada kamu. Efesus 6:22 Dengan maksud inilah ia kusuruh kepadamu, yaitu supaya kamu tahu hal ihwal kami dan supaya ia menghibur hatimu. Efesus 6:23 Damai sejahtera dan kasih dengan iman dari Allah, Bapa dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai sekalian saudara. Efesus 6:24 Kasih karunia menyertai semua orang, yang mengasihi Tuhan kita Yesus Kristus dengan kasih yang tidak binasa. (Efesus 6:21-24)
Khotbah kali ini akan membahas salam akhir Paulus kepada jemaat Efesus. Ia menggunakan format umum surat Yunani kuno di mana bagian pembukaan harus menceritakan perihal pengirim dan penerima disertai dengan greeting (salam) yang cukup panjang. Dan di bagian penutup juga terdapat salam sebagai connection (hubungan) yang menunjukkan perhatian si pengirim pada penerima. Itulah impact atau kaitan personal yang membuat surat tersebut diterima atau tidak.
Pada bagian penutup surat Efesus tidak terdapat sejumlah nama yang biasanya dicantumkan oleh Paulus untuk menunjukkan kedekatannya dengan jemaat. Namun bukan berarti ia tidak mengenal mereka karena ia pernah tinggal di sana selama tiga tahun. Selain itu, juga bukan berarti bahwa ia marah karena tak ada nada keras dalam suratnya kali ini. Justru sebaliknya, mulai dari pembukaan hingga penutup, isi surat itu cenderung encouraging (mendorong dan menguatkan) serta mendukung jemaat. Para penafsir menduga surat tersebut sebagai edaran yang isinya bersifat general (umum) dan tidak ditujukan secara khusus untuk jemaat Efesus melainkan banyak jemaat.
Surat Efesus dibawa oleh kurir bernama Tikhikus untuk daerah sekitar Asia Kecil antara lain Laodikia, Kapadokia, Kolose dan seterusnya termasuk Efesus sebagai tujuan atau titik terakhir tugasnya. Karena itu, surat Kolose diduga sebagai duplikasi Efesus karena isinya hampir sama namun bagian pembukaannya telah diganti.
Dengan demikian, tujuan Paulus adalah, “Supaya kamu juga mengetahui keadaan dan hal ihwalku, maka Tikhikus, saudara kita yang kekasih dan pelayan yang setia di dalam Tuhan, akan memberitahukan semuanya kepada kamu” (Efesus 6:21). Artinya, ia senantiasa keep in touch dengan semua jemaat yang pernah dikunjungi dan dilayaninya. Inilah konsep komunikasi atau interpersonal relationship yang merupakan bagian komunitas tubuh Kristus. Semakin akrab komunikasi akan menghasilkan persekutuan yang juga semakin indah karena banyak masalah terselesaikan dengan baik. Namun ketika komunikasi terhambat karena adanya rasa sungkan atau enggan maka semua pelayanan menjadi kacau.
Di tengah dunia global saat ini, sebagian besar orang dengan serius memikirkan hingga teknologi komunikasi berkembang semakin canggih karena menyadari pentingnya komunikasi yang cepat. Tapi, justru Kekristenan sangat kurang berkomunikasi. Contohnya, dalam Perjamuan Kasih, kebanyakan orang lebih suka berbicara dengan mereka yang sudah dikenal. Akibatnya, mereka yang belum kenal tidak akan pernah dikenal, padahal setiap Minggu bertemu di Gereja.
Ketika pergi melayani dari kota ke kota, Paulus tidak pernah lupa berkomunikasi dengan jemaat yang pernah dilayaninya. Dengan demikian, ia dapat terus mengontrol pelayanan di kota-kota tersebut, terutama ketika Korintus bermasalah. Walaupun pada saat itu, sedang berada di Efesus, ia segera menulis surat dan mengirimkannya sehingga akhirnya kehidupan jemaat dapat diperbaiki hanya dalam waktu setahun. Karena itu, di 1 Korintus dan 2 Korintus terlihat adanya perubahan drastis dalam nuansa kehidupan mereka. Demikian pula ketika meninggalkan Efesus, ia tetap care (memperhatikan). Secara keberadaan, ia memang tidak mungkin terus menetap di Efesus karena harus melayani lebih banyak orang.
Dunia telah mempengaruhi orang Kristen hingga menjadi semakin individual dan tidak peduli terhadap orang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tembok dan pagar rumah di kota besar seperti Surabaya dan Jakarta, dibangun semakin tinggi hingga tetangga sebelah rumah pun tidak kenal dan tidak mau dikenal secara personal. Kalau ada yang mencoba untuk mengenalnya maka timbullah rasa curiga. Para kenalan dan relasi pun hanya sebatas urusan bisnis serta pekerjaan. Tanpa tembok dan pagar tinggi, sebagian orang akan merasa uneasy (tidak nyaman). Padahal dengan komunikasi, komunitas akan menjadi lebih akrab.
Gejala sikap individualistik juga masuk ke dalam lingkungan Gereja. Misalnya, banyak jemaat merasa tidak suka jika dibezoeki karena takut pergumulan pribadi dan urusan rumah tangganya diketahui oleh orang lain. Kalau mau berbincang-bincang, cukup mengenai fashion (pakaian), film, makanan, mall (plaza) dan sebagainya. Tapi, jangan membicarakan tentang hubungan pribadi antara engkau dan aku. Tak ada lagi keinginan untuk sharing antar pribadi.
Seandainya sharing pun, momen tersebut digunakan untuk menyombongkan diri. Ketika sudah terjepit ke dalam kondisi yang sangat parah, barulah ia bersedia untuk konseling. Padahal dengan hubungan baik, sebelum keadaan memburuk, masalah sudah terdekteksi dan rekan-rekan pun dapat segera menolong. Karena itu, ketika keadaan masih normal, Paulus mengirim Tikhikus untuk menyampaikan berita tentang pelayanannya. Kesaksian Tikhikus membuat Paulus lebih dikenal oleh jemaat Efesus dan relasi mereka dapat berjalan dengan indah.
Dari Kitab Efesus, Kolose dan 2 Timotius dapat diketahui bahwa Tikhikus hanyalah kurir yang bertugas keliling dari kota ke kota untuk menyampaikan surat Paulus. Namun cara Paulus memperlakukannya sungguh berbeda dengan majikan pada umumnya. Dalam Efesus 6:22 dikatakan, “Dengan maksud inilah ia kusuruh kepadamu, yaitu supaya kamu tahu hal ihwal kami dan supaya ia menghibur hatimu.” Ketika mengutusnya, Paulus tidak mempertimbangkannya hanya sekedar kurir atau budak melainkan sebagai saudara kekasih dan pelayan yang setia dalam Tuhan.
Dalam Kolose 4:9 dicatat, “Ia kusuruh bersama-sama dengan Onesimus.” Sebenarnya, Onesimus adalah budak Filemon yang melarikan diri ke tempat Paulus. Tapi, demi supaya ia dapat diterima kembali dengan baik oleh Filemon, Paulus bersedia mempertaruhkan status kerasulan dan nama baiknya. Padahal, ia seharusnya kembali pada majikannya dan menerima hukuman mati.
Namun Paulus mengatakan, “Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (Filemon 1:15- 16). Bahkan ia dipakai oleh Paulus menjadi kurir untuk menguji jiwa pelayanannya. Seharusnya, seperti inilah anak Tuhan memandang orang lain dengan besar hati.
Dalam Kekristenan tak ada lagi hak dan spirit perbudakan terhadap sesama manusia karena semua orang Kristen adalah budak Tuhan. Inilah jiwa Kekristenan yang menghargai manusia secara pribadi. Tetapi di lain pihak, jabatan harus tetap ditegakkan. Tuan harus memperlakukan hambanya dengan baik, sama-sama sebagai manusia. Demikian pula direktur tidak berhak menginjak-injak bawahannya dan menganggap mereka bukan manusia. Tapi, posisi tuan dan hamba tidak boleh dibalik. Bagian ini harus dimengerti dengan tepat.
Sebagai kurir, Onesimus dan Tikhikus menyadari tugas serta tanggung jawab mereka. Sedangkan Paulus adalah rasul Tuhan. Positioning ini tetap harus jelas. Tidak akan pernah terjadi Onesimus memerintah Paulus tetapi justru sebaliknya. Namun Paulus tidak pernah bermaksud untuk memperlakukan kedua kurirnya dengan semena-mena.
Di dalam salam personal Paulus terdapat satu nilai yang diajarkannya kepada jemaat Efesus yaitu bagaimana menghargai orang lain. Di tengah nuansa modern saat ini, alangkah baik jika jiwa mau menginjak orang lain semakin dikikis oleh semangat hak asasi manusia. Ironisnya, sering kali justru terjadi pembalikan posisi. Akibatnya, feodalistis muncul kembali untuk menekan dengan otoritarianisme yang sangat tegas. Diharapkan semua orang Kristen tidak ikut tercemar oleh prinsip dan konsep dunia melainkan kembali pada Alkitab.
Ketika menutup berkatnya, Paulus memberikan salam yang sangat indah, ”Damai sejahtera dan kasih dengan iman dari Allah, Bapa dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai sekalian saudara. Kasih karunia menyertai semua orang, yang mengasihi Tuhan kita Yesus Kristus dengan kasih yang tidak binasa” (Efesus 6:23). Untuk saat ini, salam seperti ini dianggap biasa di kalangan Kristen karena sudah sering mendengarnya dalam kebaktian setiap Minggu sebagai tradisi Kekristenan yang sangat altruistik yaitu salam yang diungkapkan dengan ketulusan hati di antara sesama anak Tuhan yang sungguh-sungguh menginginkan berkat kebaikan bagi penerima salam.
Di Gereja tertentu sering kali terdengar jemaatnya mengucapkan, “Shalom!” tanpa memahami artinya. Padahal sesungguhnya salam itu tidak mudah diucapkan di kalangan Yahudi karena artinya adalah, “Damai sejahtera bagi kamu!” Salam ini mengandung pengertian dan tekad sangat mendalam yaitu bahwa di mana pun berada, orang yang mengucapkan salam itu harus rela berkorban dan hidup sebagai saluran berkat, anugerah dan kasih karunia Tuhan serta mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain. Konsep inilah yang dipegang oleh Paulus dan seharusnya oleh semua orang Kristen masa kini. Maka mereka yang tidak siap hati untuk itu, tidak berhak mengucapkan shalom.
Namun ketika dituntut untuk mendatangkan shalom tersebut, sering kali orang merasa enggan karena terlalu egois. Padahal ketika membagikan shalom, itulah waktunya Kekristenan merasakan pimpinan Tuhan. Justru orang Kristen yang menjadi shalom, akan memiliki hidup yang semakin bertumbuh dengan indah. Ketika Paulus menyampaikan berita pada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan, dan juga ketika ia tiba di suatu tempat, salam tersebut selalu menyertai.
Dalam Kisah Para Rasul 20:17-38 Paulus sharing tentang shalom, “Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuh aku. Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kubritakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan di rumah kamu; aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa. Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku.” Biarlah the spirit to be a blessing ini menjadi kekuatan bagi orang Kristen dalam kehidupan pelayanan. Pdt. Sutjipto Subeno
Pada bagian penutup surat Efesus tidak terdapat sejumlah nama yang biasanya dicantumkan oleh Paulus untuk menunjukkan kedekatannya dengan jemaat. Namun bukan berarti ia tidak mengenal mereka karena ia pernah tinggal di sana selama tiga tahun. Selain itu, juga bukan berarti bahwa ia marah karena tak ada nada keras dalam suratnya kali ini. Justru sebaliknya, mulai dari pembukaan hingga penutup, isi surat itu cenderung encouraging (mendorong dan menguatkan) serta mendukung jemaat. Para penafsir menduga surat tersebut sebagai edaran yang isinya bersifat general (umum) dan tidak ditujukan secara khusus untuk jemaat Efesus melainkan banyak jemaat.
Surat Efesus dibawa oleh kurir bernama Tikhikus untuk daerah sekitar Asia Kecil antara lain Laodikia, Kapadokia, Kolose dan seterusnya termasuk Efesus sebagai tujuan atau titik terakhir tugasnya. Karena itu, surat Kolose diduga sebagai duplikasi Efesus karena isinya hampir sama namun bagian pembukaannya telah diganti.
Dengan demikian, tujuan Paulus adalah, “Supaya kamu juga mengetahui keadaan dan hal ihwalku, maka Tikhikus, saudara kita yang kekasih dan pelayan yang setia di dalam Tuhan, akan memberitahukan semuanya kepada kamu” (Efesus 6:21). Artinya, ia senantiasa keep in touch dengan semua jemaat yang pernah dikunjungi dan dilayaninya. Inilah konsep komunikasi atau interpersonal relationship yang merupakan bagian komunitas tubuh Kristus. Semakin akrab komunikasi akan menghasilkan persekutuan yang juga semakin indah karena banyak masalah terselesaikan dengan baik. Namun ketika komunikasi terhambat karena adanya rasa sungkan atau enggan maka semua pelayanan menjadi kacau.
Di tengah dunia global saat ini, sebagian besar orang dengan serius memikirkan hingga teknologi komunikasi berkembang semakin canggih karena menyadari pentingnya komunikasi yang cepat. Tapi, justru Kekristenan sangat kurang berkomunikasi. Contohnya, dalam Perjamuan Kasih, kebanyakan orang lebih suka berbicara dengan mereka yang sudah dikenal. Akibatnya, mereka yang belum kenal tidak akan pernah dikenal, padahal setiap Minggu bertemu di Gereja.
Ketika pergi melayani dari kota ke kota, Paulus tidak pernah lupa berkomunikasi dengan jemaat yang pernah dilayaninya. Dengan demikian, ia dapat terus mengontrol pelayanan di kota-kota tersebut, terutama ketika Korintus bermasalah. Walaupun pada saat itu, sedang berada di Efesus, ia segera menulis surat dan mengirimkannya sehingga akhirnya kehidupan jemaat dapat diperbaiki hanya dalam waktu setahun. Karena itu, di 1 Korintus dan 2 Korintus terlihat adanya perubahan drastis dalam nuansa kehidupan mereka. Demikian pula ketika meninggalkan Efesus, ia tetap care (memperhatikan). Secara keberadaan, ia memang tidak mungkin terus menetap di Efesus karena harus melayani lebih banyak orang.
Dunia telah mempengaruhi orang Kristen hingga menjadi semakin individual dan tidak peduli terhadap orang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tembok dan pagar rumah di kota besar seperti Surabaya dan Jakarta, dibangun semakin tinggi hingga tetangga sebelah rumah pun tidak kenal dan tidak mau dikenal secara personal. Kalau ada yang mencoba untuk mengenalnya maka timbullah rasa curiga. Para kenalan dan relasi pun hanya sebatas urusan bisnis serta pekerjaan. Tanpa tembok dan pagar tinggi, sebagian orang akan merasa uneasy (tidak nyaman). Padahal dengan komunikasi, komunitas akan menjadi lebih akrab.
Gejala sikap individualistik juga masuk ke dalam lingkungan Gereja. Misalnya, banyak jemaat merasa tidak suka jika dibezoeki karena takut pergumulan pribadi dan urusan rumah tangganya diketahui oleh orang lain. Kalau mau berbincang-bincang, cukup mengenai fashion (pakaian), film, makanan, mall (plaza) dan sebagainya. Tapi, jangan membicarakan tentang hubungan pribadi antara engkau dan aku. Tak ada lagi keinginan untuk sharing antar pribadi.
Seandainya sharing pun, momen tersebut digunakan untuk menyombongkan diri. Ketika sudah terjepit ke dalam kondisi yang sangat parah, barulah ia bersedia untuk konseling. Padahal dengan hubungan baik, sebelum keadaan memburuk, masalah sudah terdekteksi dan rekan-rekan pun dapat segera menolong. Karena itu, ketika keadaan masih normal, Paulus mengirim Tikhikus untuk menyampaikan berita tentang pelayanannya. Kesaksian Tikhikus membuat Paulus lebih dikenal oleh jemaat Efesus dan relasi mereka dapat berjalan dengan indah.
Dari Kitab Efesus, Kolose dan 2 Timotius dapat diketahui bahwa Tikhikus hanyalah kurir yang bertugas keliling dari kota ke kota untuk menyampaikan surat Paulus. Namun cara Paulus memperlakukannya sungguh berbeda dengan majikan pada umumnya. Dalam Efesus 6:22 dikatakan, “Dengan maksud inilah ia kusuruh kepadamu, yaitu supaya kamu tahu hal ihwal kami dan supaya ia menghibur hatimu.” Ketika mengutusnya, Paulus tidak mempertimbangkannya hanya sekedar kurir atau budak melainkan sebagai saudara kekasih dan pelayan yang setia dalam Tuhan.
Dalam Kolose 4:9 dicatat, “Ia kusuruh bersama-sama dengan Onesimus.” Sebenarnya, Onesimus adalah budak Filemon yang melarikan diri ke tempat Paulus. Tapi, demi supaya ia dapat diterima kembali dengan baik oleh Filemon, Paulus bersedia mempertaruhkan status kerasulan dan nama baiknya. Padahal, ia seharusnya kembali pada majikannya dan menerima hukuman mati.
Namun Paulus mengatakan, “Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya, bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan” (Filemon 1:15- 16). Bahkan ia dipakai oleh Paulus menjadi kurir untuk menguji jiwa pelayanannya. Seharusnya, seperti inilah anak Tuhan memandang orang lain dengan besar hati.
Dalam Kekristenan tak ada lagi hak dan spirit perbudakan terhadap sesama manusia karena semua orang Kristen adalah budak Tuhan. Inilah jiwa Kekristenan yang menghargai manusia secara pribadi. Tetapi di lain pihak, jabatan harus tetap ditegakkan. Tuan harus memperlakukan hambanya dengan baik, sama-sama sebagai manusia. Demikian pula direktur tidak berhak menginjak-injak bawahannya dan menganggap mereka bukan manusia. Tapi, posisi tuan dan hamba tidak boleh dibalik. Bagian ini harus dimengerti dengan tepat.
Sebagai kurir, Onesimus dan Tikhikus menyadari tugas serta tanggung jawab mereka. Sedangkan Paulus adalah rasul Tuhan. Positioning ini tetap harus jelas. Tidak akan pernah terjadi Onesimus memerintah Paulus tetapi justru sebaliknya. Namun Paulus tidak pernah bermaksud untuk memperlakukan kedua kurirnya dengan semena-mena.
Di dalam salam personal Paulus terdapat satu nilai yang diajarkannya kepada jemaat Efesus yaitu bagaimana menghargai orang lain. Di tengah nuansa modern saat ini, alangkah baik jika jiwa mau menginjak orang lain semakin dikikis oleh semangat hak asasi manusia. Ironisnya, sering kali justru terjadi pembalikan posisi. Akibatnya, feodalistis muncul kembali untuk menekan dengan otoritarianisme yang sangat tegas. Diharapkan semua orang Kristen tidak ikut tercemar oleh prinsip dan konsep dunia melainkan kembali pada Alkitab.
Ketika menutup berkatnya, Paulus memberikan salam yang sangat indah, ”Damai sejahtera dan kasih dengan iman dari Allah, Bapa dan dari Tuhan Yesus Kristus menyertai sekalian saudara. Kasih karunia menyertai semua orang, yang mengasihi Tuhan kita Yesus Kristus dengan kasih yang tidak binasa” (Efesus 6:23). Untuk saat ini, salam seperti ini dianggap biasa di kalangan Kristen karena sudah sering mendengarnya dalam kebaktian setiap Minggu sebagai tradisi Kekristenan yang sangat altruistik yaitu salam yang diungkapkan dengan ketulusan hati di antara sesama anak Tuhan yang sungguh-sungguh menginginkan berkat kebaikan bagi penerima salam.
Di Gereja tertentu sering kali terdengar jemaatnya mengucapkan, “Shalom!” tanpa memahami artinya. Padahal sesungguhnya salam itu tidak mudah diucapkan di kalangan Yahudi karena artinya adalah, “Damai sejahtera bagi kamu!” Salam ini mengandung pengertian dan tekad sangat mendalam yaitu bahwa di mana pun berada, orang yang mengucapkan salam itu harus rela berkorban dan hidup sebagai saluran berkat, anugerah dan kasih karunia Tuhan serta mendatangkan kebahagiaan bagi orang lain. Konsep inilah yang dipegang oleh Paulus dan seharusnya oleh semua orang Kristen masa kini. Maka mereka yang tidak siap hati untuk itu, tidak berhak mengucapkan shalom.
Namun ketika dituntut untuk mendatangkan shalom tersebut, sering kali orang merasa enggan karena terlalu egois. Padahal ketika membagikan shalom, itulah waktunya Kekristenan merasakan pimpinan Tuhan. Justru orang Kristen yang menjadi shalom, akan memiliki hidup yang semakin bertumbuh dengan indah. Ketika Paulus menyampaikan berita pada orang lain, baik secara lisan maupun tulisan, dan juga ketika ia tiba di suatu tempat, salam tersebut selalu menyertai.
Dalam Kisah Para Rasul 20:17-38 Paulus sharing tentang shalom, “Dalam pelayanan itu aku banyak mencucurkan air mata dan banyak mengalami pencobaan dari pihak orang Yahudi yang mau membunuh aku. Sungguhpun demikian aku tidak pernah melalaikan apa yang berguna bagi kamu. Semua kubritakan dan kuajarkan kepada kamu, baik di muka umum maupun dalam perkumpulan di rumah kamu; aku senantiasa bersaksi kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani, supaya mereka bertobat kepada Allah dan percaya kepada Tuhan kita, Yesus Kristus. Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa. Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku.” Biarlah the spirit to be a blessing ini menjadi kekuatan bagi orang Kristen dalam kehidupan pelayanan. Pdt. Sutjipto Subeno