TUJUAN PERNIKAHAN KRISTEN: KESATUAN YANG UTUH
Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th.
Menurut John Stott, dalam bukunya Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristen, bahwa teologi Kristen ortodoks (classical theology) mengakui tiga tujuan utama Allah bagi pernikahan, yaitu:
Menurut John Stott, dalam bukunya Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristen, bahwa teologi Kristen ortodoks (classical theology) mengakui tiga tujuan utama Allah bagi pernikahan, yaitu:
gadget, otomotif, bisnis |
(1) Pria dan wanita diperintahkan untuk “beranak cucu dan bertambah banyak” (Kejadian 1:28). Dengan demikian, kelahiran anak-anak biasanya berada dalam daftar teratas, bersama dengan mengasuh mereka dalam kasih sayang dan disiplin keluarga;
(2) Allah berkata, “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18). Dengan demikian Allah menghendaki pernikahan untuk “hubungan timbal balik saling menolong dan saling menghibur, yang pada dasarnya terjadi antara suami istri, baik dikala suka maupun duka”.
(3) Pernikahan bertujuan untuk menjadi komitmen saling mencintai dan mengasihi yang saling memberi diri satu sama lain, yang menemukan ungkapan naturalnya dalam kesatuan seksual, atau menjadi satu daging” (Kejadian 2:24).
Saya setuju terhadap ketiga tujuan tersebut di atas, tetapi tidak dalam urutan prioritasnya. Saya berpendapat bahwa urutan-urutan prioritas dari tujuan pernikahan itu adalah:
(1) Allah merancang pernikahan pertama-tama karena itu merupakan kebutuhan manusia (Kejadian 2:18);
(2) Kemudian pernikahan itu menjadi sebuah komitmen untuk saling melengkapi dan saling memberi (Kejadian 2:24);
(3) Setelah diberkati, maka pernikahan itu merupakan cara yang dipakai Allah bagi manusia untuk mendapatkan keturunan (Kejadian 1:8). Namun, saya juga menambahkan dua tujuan lainnya dari pernikahan seperti yang akan saya jelaskan berikut ini.
Salah satu buku tentang pernikahan Kristen yang pernah saya baca lebih dari 15 tahun yang lalu adalah buku yang ditulis oleh Wayne Mack seorang doktor teologi lulusan dari Wesminster Theological Seminary. Buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bagaimana Mengembangkan Kesatuan Yang Kokoh Dalam Hubungan Perkawinan tersebut, meskipun tidak secara khusus membahas tujuan pernikahan Kristen tetapi telah sangat membantu memberikan dasar pemahaman kepada saya tentang tujuan pernikahan Kristen.
Akhirnya setelah beberapa tahun melakukan penelitian Alkitab dan banyak membaca buku-buku tentang pernikahan Kristen, saya menarik kesimpulan tentang tujuan pernikahan Kristen seperti yang dirancang Allah dalam Alkitab, seperti yang akan saya jelaskan dalam pasal ini.
Ada banyak bagian-bagian Alkitab, baik di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru yang membicarakan tentang pernikahan. Tetapi sepanjang yang saya dapat ketahui, hanya ada satu pernyataan Alkitab tentang perkawinan yang mana pernyataan tersebut tertulis empat kali di tempat yang berbeda. Pernyataan itu terdapat di dalam Kejadian 2:24; Matius 19:5; Markus 10:7-8; dan Efesus 5:31, yang berbunyi : “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”.
Jadi, Tuhan membuat pernyataan yang sama mengenai perkawinan sebanyak empat kali:
(1) Pernyataan itu disebutkan satu kali dalam Perjanjian Lama dan tiga kali dalam Perjanjian Baru;
(2) Pernyataan tersebut dibuat sekali sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa; dan tiga kali setelah manusia jatuh ke dalam dosa;
(3) Pernyataan tersebut satu kali dinarasikan oleh penulis kitab Kejadian, dua kali disebutkan oleh penulis kitab Injil sebagai ucapan Yesus sendiri sebelum karya pendamaian di kayu salib, dan satu kali diucapkan oleh rasul Paulus setelah peristiwa pendamaian Kristus di salib.
Satu kali saja suatu pernyataan tertentu disebutkan dengan jelas dalam Alkitab maka tentu saja itu merupakan hal yang dianggap penting. Apalagi jika pernyataan itu disebutkan lebih dari satu kali. Faktanya pernyataan penting tentang pernikahan itu telah disebutkan dalam Alkitab sebanyak empat kali. Bahkan dua penulis Injil menarasikan pernyataan tersebut keluar dari mulut Yesus Kristus sendiri. Karena itu, saya yakin bahwa pernyataan tersebut menjelaskan kepada kita tentang tujuan pernikahan manusia baik sebelum kejatuhan, setelah kejatuhan dan setelah karya pendamaian Kristus di kayu salib.
Pernyataan tersebut menjelaskan tujuan dan rencana Allah sepanjang masa tentang pernikahan dan tujuan tersebut tidak pernah berubah. Tujuan yang dinyatakan Allah untuk pernikahan itu ialah “kesatuan” yang dinyatakan dengan jelas dalam kalimat “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”.
Kesatuan melalui pernikahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Seorang laki-laki meninggalkan orang tuanya untuk bersatu dengan istrinya;
(2) Bersatu dengan seorang istri;
(3) Suami istri menjadi satu daging;
(4) Dipersatukan Allah di dalam pernikahan.
Kata “bersatu” dalam kalimat “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya” dalam Matius 19:5 adalah kata Yunani “kolléthésetai”. Kata “kolléthésetai” ini dipakai dalam Septuaguinta (Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani) di Kejadian 2:24 untuk menerjemahkan kata Ibrani “dabaq” yang artinya “mengikat, lem, melekat, menempel, bergabung berdekatan dengan atau mengikat bersama”.
Kata “kolléthésetai” di Kejadian 2:24 ini juga digunakan di Efesus 5:31 di mana kata ini dikutip dengan disertai awalan “pros” sehingga menjadi “proskolléthésetai” yang secara harafiah berarti “dipersatukan dengan” atau “dipersatukan kepada”, mengandung makna ”direkatkan atau di perkokoh bersama, ditatah bersama atau dilas bersama”, yang mengindikasikan tingkat kekuatan paling tinggi dalam sebuah kedekatan dan pelekatan. (Catatan: Beberapa edisi Perjanjian Baru Yunani memakai kata “kolléthésetai” tanpa awalan “pros” yang mengandung arti sama).
Sedangkan kata “dipersatukan” dalam kalimat “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” dalam Matius 19:6 adalah kata Yunani “suzeugnumi” yang secara harfiah “bersama-sama di satukan dalam satu kuk”, atau sepenuhnya berarti “bersama dalam kuk yang sama yang telah ciptakan bagi mereka”.
Sebuah kuk memampukan dua ekor lembu menarik beban bersama, masing-masing saling berbagi tugas sehingga konsekuensinya adalah meringankan tugas dan keduanya bersama dapat menyelesaikan tugas lebih banyak dari apa yang dapat dicapai kalau mereka hanya sendirian mengerjakannya.
Jadi, dalam nas ini Yesus menggambarkan pernikahan sebagai sebuah kuk yang Allah buat, di mana seorang laki-laki dengan seorang perempuan dapat memikulnya sehingga mereka bersama dapat meringankan pekerjaan-pekerjaan dan beban-beban kehidupan, dan mencapai hal-hal bersama yang tidak dapat dicapai kalau mereka hanya sendirian saja. Kata “dipersatukan” dalam kalimat “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Matius 19:6), berasal dari kata Yunani “suzeugnumi” yang berarti “menyatukan”.
Jadi, tujuan pernikahan seperti yang dirancang oleh Allah bagi seorang pria dan seorang wanita adalah kesatuan utuh (terintegrasi). Tentu saja makna kesatuan yang dimaksudkan tersebut tidaklah dapat ditangkap dalam satu atau dua kalimat atau pernyataan.
Namun makna dasar dari kesatuan tersebut dapat dan harus dipusatkan pada beberapa gagasan yang sangat mendasar, yaitu:
(1) Kesatuan dengan menjalin persahabatan;
(2) Kesatuan untuk saling mengisi dan melengkapi;
(3) Kesatuan untuk menikmati kesenangan;
(4) Kesatuan untuk mendapatkan keturunan; dan
(5) Kesatuan dalam menampilkan citra Allah.
Kesatuan yang utuh dari tujuan pertama dalam gagasan tersebut bersifat relasional, tujuan yang kedua bersifat komplementarian, tujuan yang ketiga bersifat rekreasi, tujuan yang keempat bersifat prokreasi, dan tujuan yang kelima menunjukkan pada reflektif ilahi. Kelima gagasan dasar dari kesatuan yang utuh tersebut merupakan pilar-pilar yang kokoh bagi pernikahan Kristen.