KARUNIA MENAFSIRKAN BAHASA ROH

Pdt. Samuel T. Gunawan, M.Th.

KARUNIA MENAFSIRKAN BAHASA ROH

Wayne A. Grudem, seorang profesor teologi sistematika dan pemimpin Kharismatik dari Gerakan Gelombang Ketiga (Third Wave Movement) menjelaskan tentang menafsirkan bahasa roh sebagai berikut: “We may define the gift of interpretation as reporting to the church the general meaning of something spoken in tongues.” (Grudem, Wayne. Bible Doctrine: Essential Teaching of The Christian Faith. Grand Rapids: Zondervan Publising House, 1999], p. 607). 
KARUNIA MENAFSIRKAN BAHASA ROH
otomotif, bisnis
Sementara itu Dick Iverson mendefinisikan karunia menafsirkan bahasa roh sebagai, “kemampuan spontan menafsirkan suatu komunikasi yang diberikan dalam bahasa roh ke dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh orang-orang yang hadir”. (Iverson, Dick. The Holy Spirit Today, Diktat. Terjemahan, Harvest International Theological Seminary. [Jakarta: Harvest Publication House, 1994], hal. 125). 

Karunia ini bersifat supranatural. Dengan demikian, karunia menafsirkan bahasa roh adalah kemampuan yang diberikan oleh Roh untuk mengerti dan menyampaikan makna suatu ucapan yang diucapkan dalam bahasa roh. Kemampuan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepandaian dan kefasihan bahasa alami, tetapi datang langsung secara spontan dari Roh Kudus (1 Korintus 12:10). 

Perhatikan pernyataan rasul Paulus dalam 1 Korintus 14:13, “Karena itu siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia harus berdoa, supaya kepadanya diberikan juga karunia untuk menafsirkannya.” Di sini rasul Paulus memberitahukan jemaat bahwa mereka harus berdoa untuk mendapatkan penafsiran bahasa roh, bukan melalui suatu pembelajaran bahasa alami. Karena itu penafsiran bahasa roh jelaslah bersifat supranatural.

Ketika karunia bahasa roh ditafsirkan bagi jemaat, maka fungsinya adalah sebagai petunjuk untuk penyembahan dan doa ataupun sebagai nubuat (1 Korintus 14:4-5). Kumpulan komunitas orang percaya kemudian dapat ikut serta dalam pernyataan yang diilhamkan oleh Roh ini. Demikianlah, bahasa roh yang ditafsirkan dapat menjadi suatu sarana membangun jemaat sementara seluruh anggota komunitas orang percaya itu menanggapi ucapan tersebut (1 Korintus 14:6,13). 

Karunia menafsirkan bahasa roh ini bisa diberikan kepada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh itu sendiri atau kepada orang lain dalam komunitas jemaat tersebut. Karena itulah rasul Paulus menyarankan agar mereka yang berkata-kata dengan bahasa roh harus berdoa juga untuk memperoleh karunia menafsirkan bahasa roh (1 Korintus 14:13).

Pertanyaannya: Apakah menafsirkan sama dengan menerjemahkan? Jawabannya: Tidak! Menafsirkan berarti menjelaskan, menguraikan, atau menyingkapkan. Rasul Paulus dalam 1 Korintus 12:10 mengatakan, “Kepada yang seorang Roh memberikan kuasa untuk mengadakan mukjizat, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk bernubuat, dan kepada yang lain lagi Ia memberikan karunia untuk membedakan bermacam-macam roh. Kepada yang seorang Ia memberikan karunia untuk berkata-kata dengan bahasa roh, dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menafsirkan bahasa roh itu”. 

Disini menafsirkan adalah kata benda Yunani “hermeneia” yang juga berarti “menjelaskan”. (Klein, William W, et al. Introduction to Biblical Interpretation. Third Edition. [Grand Rapids: Zondervan, 2017], page 4). Menurut Robert H. Stein, seorang profeseor penafsiran Perjanjian Baru, bahwa penafsiran tidak boleh disamakan dengan penerjemahan. 

Dengan demikian, menafsirkan tidak sama dengan menerjemahkan. Kata “menerjemahkan” berarti merubah dari satu bahasa ke dalam bahasa lain. Tingkat terjemahan yang aktual bisa bervariasi menurut penafsiran tertentu. Kita juga harus mengingatkan bahwa menerjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain sering kali meninggalkan suatu ketidaksesuaian antara panjang berita dan jumlah kata-kata yang diharuskan untuk mengatakan hal yang sama. Jadi jika terjemahan saja seringkali lebih panjang dari pesan aslinya apalagi suatu tafsiran. 

Perhatikan contoh dalam Daniel 5:25-28 berikut, “Maka inilah tulisan yang tertulis itu: Mené, mené, tekél ufarsin. Dan inilah makna perkataan itu: Mené: masa pemerintahan tuanku dihitung oleh Allah dan telah diakhiri; Tekél: tuanku ditimbang dengan neraca dan didapati terlalu ringan; Peres: kerajaan tuanku dipecah dan diberikan kepada orang Media dan Persia”. Di sini kita memperhatikan bahwa tafsiran “Mené, mené, tekél ufarsin” ternyata sekitar sembilan kali lebih panjang dari pesannya.

Secara praktis, alasan lain bahwa pesan sering kali jauh lebih pendek dari tafsirannya adalah karena situasi bahasa roh sering kali diikuti dengan suatu nubuatan; atau mungkin suatu doa dalam bahasa roh diikuti dengan suatu respon dari Tuhan dengan cara nubuat. 

Kita juga harus menyinggung bahwa suatu pesan dalam bahasa roh bisa berupa doa atau penyembahan, demikian juga untuk nasehat. Seringkali seseorang akan mengucapkan suatu doa yang diinspirasi Roh yang Allah kehendaki pada saat itu. Jadi penafsiran itu memberitahu orang menyangkut apa yang didoakan dan mengangkat mereka ke dalam doa bersama, dan juga membangun iman mereka. 

Pada kesempatan lain, di mana umat-Nya memuji dan menyembah Dia dalam suatu perkumpulan, Roh Kudus dapat menggerakkan seseorang memimpin dalam bahasa roh. Ketika ditafsirkan, itu membangun umat ke dalam pujian dan penyembahan. Jika tafsiran yang sesungguhnya terjadi, maka beberapa berita dalam bahasa roh dengan tidak diragukan ditafsirkan sebagai doa, pujian dan juga nasehat.


Pertanyaan penting lainnya, “Apa bahasa roh selalu harus ditafsirkan?” Penafsiran diperlukan atau tidak tergantung keadaan dan kategori bahasa roh yang sedang diucapkan. Alkitab juga memberikan indikasi bahwa saat bahasa roh dipergunakan untuk doa pribadi, bahasa roh ini tidak harus ditafsirkan (1 Korintus 14:2, 14-18; Roma 8:26-27). Sedangkan karunia bahasa roh di depan umum perlu disertai penafsiran. Namun dalam prakteknya di jemaat Korintus sendiri bahasa roh di depan umum tidak selalu disertai dengan tafsirannya. 

Karena itu rasul Paulus memberikan pengaturan melalui nasehatnya ini, “Jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya, hendaklah mereka berdiam diri dalam pertemuan Jemaat dan hanya boleh berkata-kata kepada dirinya sendiri dan kepada Allah” (1 Korintus 14:28), atau baiknya, “ia harus berdoa, supaya kepadanya diberikan juga karunia untuk menafsirkannya” (1 Korintus 13:15). Jadi bahasa roh yang dilakukan di dalam pertemuan jemaat dengan tujuan berkomunikasi dengan manusia harus ditafsirkan. 
Next Post Previous Post