EKSPOSISI LUKAS 15:11-32 (PERUMPAMAAN ANAK YANG HILANG)

Anak Bungsu: Pertobatan (Lukas 15: 11- 19).

Pada bagian pertama ini (Lukas 15:11-19), rupanya ada beberapa adegan di dalamnya, yakni: 

Adegan 1 – Lukas 15: 12 : Si Bungsu meminta harta kepada Ayahnya dan diberikan oleh ayah. 
EKSPOSISI LUKAS 15:11-32 (PERUMPAMAAN ANAK YANG HILANG)
Gadget, health, education
Adegan 2 – Lukas 15: 13-14: Si Bungsu menjual semua hartanya dan pergi ke negeri yang jauh untuk hidup berfoya-foya. 

Adegan 3 – Lukas 15: 15-19: Setelah melarat, dia memutuskan pergi bekerja sebagai penjaga babi hingga kepada kondisi yang sangat memprihatinkan.

Perumpamaan ini diawali Lukas 15: 11 yang berbunyi: “Yesus berkata lagi: "Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Frasa Yesus berkata lagi menunjukkan perumpamaan ini merupakan kelanjutan dari dua perumpamaan sebelumnya.11 Oleh karena hampir dapat dipastikan bahwa pendengar perumpamaan ini masih sama dengan dua perumpamaan sebelumnya, yakni: orang berdosa, pemungut cukai, ahli Taurat dan orang Farisi.

Adegan pertama: Anak bungsu meminta harta kepada ayahnya. Tindakan si bungsu ini sebenarnya menunjukkan sebuah sikap yang tidak taat kepada ayahnya – bahkan secara tidak langsung menunjukkan sikap yang sangat tidak hormat kepada ayahnya. 

Menurut Kistemaker, “Dengan meminta bagiannya, anak bungsu itu mengakui bahwa dia tidak dapat hidup bersama-sama dengan ayahnya, di mana dia dibebani pekerjaan rutin harian, dan dia ingin menggunakan uang yang menjadi haknya sesuai dengan keinginannya. Ayah itu memberi anaknya bagian, mungkin dua per sembilan dari jumlah seluruhnya. Dia akan menerima sepertiga warisan pada waktu kematian ayahnya (Ulangan 21:17). 

Tetapi dengan menerima bagiannya lebih dahulu, anak itu menghilangkan tuntutannya atas tanah milik pada saat ketentuan warisan itu berlaku. Ayahnya meskipun sudah membagi harta miliknya, tetap terus mengurusi tanah pertaniannya. Bukan anak yang sulung, tetapi ayahnya yang mengontrol tanah milik keluarga”. 

Intinya apa yang dilakukan oleh si bungsu dengan meminta warisan ketika ayahnya masih hidup adalah tidak tepat, bahkan cenderung menunjukkan sikap yang angkuh dan kurang ajar. Seperti yang kemukakan oleh Keller, “Bila ada orang yang mendengar permintaan semacam itu pada zaman itu, mereka pasti sangat tercengang. Bukan berarti ada sesuatu yang salah dengan harapan si bungsu untuk mendapatkan bagian dari harta kekayaan keluarganya. 

Pada zaman itu ketika ayah meninggal, putra sulung menerima bagian dua kali lipat dari apa yang diwarisi oleh anak-anak yang lain. Jika seorang ayah memiliki dua ahli waris, yang sulung akan mendapatkan dua pertiga bagian dan yang bungsu akan menerima sepertiga bagian. Namun pembagian harta warisan hanya terjadi saat ayahnya meninggal”.

Baik Kistemaker maupun Keller hendak menegaskan bahwa ketika si bungsu meminta harta warisan di saat ayahnya masih hidup merupakan sikap yang tidak tepat. Sebenarnya, si bungsu lebih mengasihi harta ayahnya dari pada ayahnya itu sendiri. Dia rela mengorbankan hubungan dengan ayahnya demi memperoleh dan menikmati kekayaan ayahnya.

Pada Lukas 15: 12, setelah si bungsu meminta harta warisan kepada ayahnya, ternyata sang ayah memperlihatkan sikap yang jauh lebih mencengangkan. Ayahnya merespons dengan membagi hartanya kepada anaknya – sebuah sikap yang seharusnya tidak dilakukan karena dia masih hidup. Apabila memperhatikan sikap si bungsu yang meminta harta warisan, sebenarnya dia belum bisa memintanya karena ayahnya masih hidup. 

Apakah kemudian dapat dikaitkan antara kata βίος dengan sikap si bungsu yang meminta harta warisan padahal ayahnya masih hidup? Maksudnya, ketika kemudian sang ayah membagikan hartanya kepada anaknya dan ternyata kata yang digunakan adalah kata βίος, maka sebenarnya yang dimaksud di situ adalah ayahnya memberikan hidupnya sebagai harta yang paling berharga kepada anaknya. Hal ini sepertinya cocok dengan sikap si bungsu yang meminta harta warisan ketika ayahnya masih hidup – sehingga secara tidak langsung dia menginginkan kematiannya

Menarik memperhatikan apa yang dikemukakan oleh Timothy Keller tentang hal ini, meskipun Bauers Danker pada telah memberikan penjelasan bahwa kata βίος dalam konteks Matius 15:12 lebih cocok dipahami sebagai nafkah hidup/penghidupan. Keller mengatakan, Ia “membagi-bagikan harta kekayaan di antara mereka”. 

Untuk memahami signifikansi tindakannya ini, kita harus melihat bahwa kata Yunani yang diterjemahkan sebagai harta adalah kata bios, yang berarti ‘kehidupan’. Ada sebuah kata lain yang lebih konkret untuk mengacu pada kata harta yang seharusnya bisa digunakan namun tidak digunakan… Si bungsu sedang meminta ayahnya mencabik-cabik kehidupannya. Dan sang ayah melakukannya karena ia mengasihi anaknya. 

Sebagian besar pendengar Yesus masa itu tidak pernah melihat ayah Timur Tengah merespons seperti ini. Sang ayah dapat menanggung dengan sabar ketika ia harus kehilangan kehormatannya dan merasakan kepedihan hati karena kasihnya yang ditolak sang anak. Biasanya ketika cinta kita ditolak, kita menjadi marah, membalas, dan melakukan apa pun untuk mengurangi rasa cinta kita kepada orang yang menolak kita agar kita tidak perlu merasa sakit hati. Namun, ayah yang satu ini tetap mengasihi anaknya dan rela menerima penderitaan itu.

Seperti yang sudah kita bahas sebelumnya, di mana perumpamaan ini mengandung unsur triadik. Di mana figur ayah sebenarnya mewakili posisi Tuhan Yesus sendiri. Sehingga apa yang dikatakan oleh Keller lebih cocok untuk konteks ini; karena si bungsu yang mewakili orang berdosa selalu melakukan hal yang menyakiti hati Tuhan. 

Akan tetapi Tuhan tidak pernah membenci mereka; sebaliknya justru Tuhan menunjukkan kasih-Nya kepada mereka bahkan harus memberikan nyawa-Nya kepada mereka. Tuhan Yesus rela mati demi mereka. Sebenarnya ini juga tergolong tindakan-tindakan Tuhan yang menunjukkan bahwa Allah itu mahapemurah bagi manusia berdosa. Dia memberikan seluruh hidupNya; meskipun orang berdosa sendiri seringkali tidak menghargai itu bahkan cenderung melakukan prodigality terhadap anugerah itu

Adegan kedua: Sikap tidak menghormati kasih dan kebaikan sang ayah ditunjukkan oleh si bungsu dalam Lukas 15: 13. Di sana dikatakan bahwa si bungsu menjual seluruh bagiannya lalu pergi ke negeri jauh. Di sana dia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari ayat ini, maka dapat dipastikan bahwa sang ayah membagikan harta berupa tanah atau properti yang dia miliki. 

Apabila si bungsu memperoleh sepertiga dari harta kekayaan ayahnya, maka itu adalah jumlah yang sangat besar. Jumlah yang besar itu ternyata hanya digunakan oleh si bungsu untuk berfoyafoya. Pendapat Foerster seperti yang dikutip oleh Kistemaker mengatakan, “Prinsipprinsip hidup dan tingkah laku yang telah dipelajarinya sendiri di rumah dikesampingkan dan dilupakan”.

Kata “berfoya-foya” seperti yang tampak dalam TB-LAI, berasal dari kata sifat ἀσώτως; yang pada terjemahan NIV diterjemahkan dengan kata “wild” (sembrono); atau pada terjemahan NAS dengan kata “loose” (bebas); dan pada terjemahan KJV dengan kata “riotous” (liar/tidak karuan); dan semua terjemahan di atas memberikan konotasi yang negatif. Sedangkan Bauers-Danker sendiri memberikan arti terhadap kata ἀσώτως dengan wastefully dan prodigally; yang dapat dipahami sebagai sebuah sikap hidup yang boros.

Ditambahkan oleh Kittel, “The original sense is “incurable”; then we have the ideas of dissipation, gluttony, voluptuousness, and indiscipline. The only OT instances are Prov. 7:11 and 28:7. The reference in Lukas 15:7 is to the prodigal's life of dissipation, and in Eph. 5:18; Titus 1:6; 1 Petrus 4:4 to a disorderly life (rather than voluptuousness)”, (TDNT, np.). 

Kittel sendiri yakin bahwa ketika Lukas menggunakan kata ini untuk menggambarkan hidup si bungsu ketika meninggalkan rumah sebenarnya hendak menegaskan sebuah hidup yang boros atau berfoyah-foyah. Meskipun penggunaan kata ini dalam Titus 1:6 serta 1 Petrus 4:4 lebih menekankan aspek kehidupan yang kacau atau perbuata yang melanggar peraturan atau hukum. 

Sehingga meskipun konteks Lukas 15:13 lebih menekankan aspek pemborosan uang hasil penjualan harta yang dilakukan oleh si bungsu; akan tetapi pemborosan mungkin dalam tindakan pemborosan tersebut si bungsu juga melakukan banyak kesalahan yang melanggar aturan/hukum. Hal inipun tampak jelas dalam pengakuannya terhadap bapanya pada Lukas 15:21. 

Bahkan kalau membaca pernyataan kakaknya (anak sulung) kepada ayahnya pada ayat 30 menyiratkan fakta bahwa tindakan berdosa yang telah dilakukan oleh si bungsu di negeri orang, yakni: memboroskan kekayaannya bersama dengan pelacur-pelacur; menunjukkan bahwa ayahnya bahkan keluarganya juga tahu atau mendengar berita untuk setiap perbuatan dosa yang dilakukan oleh si bungsu di perantauan.

Ketika semua hartanya habis, pada waktu yang bersamaan krisis ekonomi menimpa negeri tempat dia tinggal, bahkan mungkin berita kelaparan tersebut telah sampai ke negeri ayahnya (ay.14). Sebenarnya ada dua masalah yang dialami oleh si bungsu di sini, yakni: 

(1) dia telah membelajakan (δαπανήσαντος) semua uangnya; dan 

(2) timbulnya bencana kelaparan (λιμὸς) di negeri itu. 

Sehingga membuatnya menjadi melarat (ὑστερεῖσθαι). Oleh karena si bungsu terlalu boros mempergunakan hartanya sehingga semuanya habis. Keadaannya diperparah dengan munculnya bencana kelaparan di negeri itu. Seandainya uangnya masih ada dan bencana kelaparan melanda negeri itu, maka mungkin keadaannya akan berbeda. Adegan ketiga: setelah melarat, dia memutuskan pergi bekerja sebagai penjaga babi hingga kepada kondisi yang sangat memprihatinkan – sampai dia memutuskan untuk kembali ke rumah ayahnya (Lukas 15:15-19).

Frasa dia pergi bekerja dalam teks Yunaninya menggunakan kata πορευθεὶς ἐκολλήθη. Kata πορευθεὶς merupakan bentuk partisip aoris pasif nominatif maskulin tunggal kata πορεύομαι. Sedangkan kata ἐκολλήθη merupakan bentuk indikatif aoris pasif orang ketiga tunggal dari kata κολλάομαι. Menurut Wallace, ini merupakan bentuk kausatif atau permisif pasif. 

Ditambahkan oleh Wallace, kausatif atau permisif pasif, seperti akrab dengan bentuk medium, mengimplikasikan izin, persetujuan, atau penyebab atau alasan dari tindakan verba pada bagian subjek. Pemakaian bentuk ini jarang, biasanya tertutup bagi imperatif (seperti yang diharapkan, karena imperatif pada hakekat-Nya menyangkut keinginan). 

Hal ini sulit untuk memutuskan apakah yang telah diberikan oleh bentuk pasif adalah penyebab atau izin, karena itu dua kategori dikombinasikan untuk alasan pragmatis. Sehingga ketika dikatakan bahwa dia pergi bekerja, maka di dalam frasa itu terkandung makna permisif atau kausatif, di mana si bungsu sendiri yang mengizinkan atau menyebabkan dirinya untuk pergi dan bekerja di salah seorang warga kota di mana dia tinggal waktu itu.

Akan tetapi pekerjaan yang diperoleh oleh si bungsu adalah pekerjaan yang paling rendah, yakni: menjaga babi. Kistemaker mengatakan, “Sekarang dia terpuruk sangat dalam, karena sejak kecilnya dia telah diajari sebagai seorang Yahudi bahwa babi merupakan binatang yang kotor (Imamat11:7). Dia bekerja pada orang bukan Yahudi dan dengan demikian dia tidak boleh melakukan ibadah pada hari Sabat. 

Dalam situasi yang sedih ini, dia terputus dari agama nenek moyangnya… Majikannya membuat dia merasa bahwa babi-babi itu lebih besar nilainya dari pada pekerja seperti dia”. Berdasarkan komentar Kistemaker di atas, maka dapat dikatakan bahwa si bungsu tidak hanya mengalami masalah jasmani – melainkan ada masalah yang jauh lebih serius, yakni: perihal relasinya dengan Tuhan. Dia sama sekali terpuruk dalam kegelapan dosa.

Penderitaan yang dialami si bungsu tidak sampai di situ. Oleh karena kondisi yang sangat miskin dan melarat, sehinggs dia pun berniat untuk mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi, yakni buah polong dari pohon karob. Meskipun dalam Lukas 15: 16 juga menjelaskan bahwa tidak ada seorang pun yang memberikan kepadanya.

 Justru dalam keadaan yang terpuruk seperti ini, dia baru menyadari keadaannya dengan berkata: “Betapa banyak orang upahan bapaku, mereka berlimpahlimpah roti, tetapi di sini aku mati karena kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan aku akan berkata kepadanya: “Bapa, aku telah berdosa terhadap Surga dan sebelumnya kepadamu; aku tidak layak untuk disebut putramu. Perlakukanlah aku seperti salah seorang upahanmu”, (Lukas 15: 17-19). Ketika dia menyadari keadaannya, dia siap pulang ke rumah dan mengakui setiap dosanya kepada Allah bahkan kekeliruannya terhadap ayahnya.

Apabila dahulu dia pergi meninggalkan rumah karena alasan: 

(1) dia muak dengan perintah ayahnya, dengan segala peraturan dan disiplin yang baik dalam keluarganya; 

(2) dia ingin menjauh dari pandangan mata ayahnya, karena mata itu sering mengawasinya; 

(3) dia tidak mempercayai pengaturan ayahnya, dia menginginkan bagian harta miliknya sendiri; dan 

(4) dia bangga akan dirinya sendiri dan dengan angkuh dia berpikir bahwa dia sudah mapan (bdk. Henry 2009, 563-64). Sekarang dalam keadaan yang terpuruk dia justru mengingat ayahnya bahkan mau kembali kepadanya

Keadaan si bungsu yang telah pergi meninggalkan ayahnya dan menghabiskan semua harta warisan miliknya hingga mengalami kondisi melarat yang hebat, digambarkan dengan cukup baik oleh Henry dengan sembilan keadaan berdosa, yakni: 

(1) keadaan dosa adalah suatu keadaan di mana kita meninggalkan Allah dan menjauhkan diri dari-Nya; 

(2) keadaan dosa adalah keadaan di mana kita menghabiskan segala sesuatu; 

(3) keadaan dosa adalah keadaan yang serba kekurangan setelah dihabiskannya semuanya untuk pelacurpelacurnya; 

(4) keadaan dosa adalah keadaan perbudakan dan kecemaran; 

(5) keadaan dosa adalah keadaan yang selalu tidak puas; 

(6) keadaan dosa adalah keadaan di mana kita tidak bisa mengharapkan penghiburan dari makhluk mana pun; 

(7) keadaan dosa adalah keadaan mati: anakku telah mati [ay. 24, 32]; (8) keadaan dosa adalah keadaan terhilang: anakku ini telah hilang; dan 

(9) keadaan dosa adalah keadaan yang gila dan kacau-balau.21 Semua yang dikemukakan oleh Henry di atas melekat pada diri si bungsu, yang dalam perikop ini mungkin mayoritas orang menyebutnya sebagai anak yang hilang.

Tindakan-tindakan Sang Ayah (Lukas 15: 20-24). Oleh karena sub-judul ini menyangkut tentang pokok tindakantindakan sang ayah, maka apabila memperhatikan secara teliti ayat 20-24 maka setidaknya ada tiga tindakan ayah yang menunjukkan kasihnya kepada si bungsu. Meskipun pada ayat 12 ketika sang ayah membagi-bagikan harta miliknya kepada anaknya pada waktu yang tidak tepat, sebenarnya juga merupakan tindakan yang dia lakukan yang menunjukkan kasihnya yang besar kepada anaknya. Tindakan pertama : Ayah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan (ay.20) Tindakan kedua : Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia (ay. 20) Tindakan ketiga : Perintah sang ayah kepada para pelayan (Lukas 15: 22-24)

Tindakan pertama: ayah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Sekali lagi sang ayah memperlihatkan sikap yang membuat para pembaca atau pendengar tercengang. Oleh karena justru melakukan sebuah tindakan yang “tidak biasa” atau tindakan “di luar kebiasaan” pada umumnya. Ayah yang seharusnya marah, jengkel, dan dendam kepada anaknya karena telah berlaku tidak sopan dan tidak menghargainya; akan tetapi justru memperlihatkan sikap yang berbelaskasihan.

Si bungsu memutuskan untuk kembali kepada ayahnya, dan ketika dia masih jauh sang ayah melihatnya lalu tergeraklah hatinya dengan belas kasihan. Di sini si bungsu tidak dikatakan kembali ke kampungnya atau ke rumahnya; melainkan dikatakan bahwa si bungsu kembali kepada ayahnya. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan. Karena si bungsu telah berdosa kepada Allah dan juga kepada ayahnya

Kata ἐσπλαγχνίσθη yang pada terjemahan TB-LAI diterjemahkan dengan kata belas kasihan, sebenarnya juga dapat diartikan dengan kata terharu. Kittel mengatakan, “The verb occurs in the NT only in the Synoptics. In three parables it denotes human attitudes. Thus in Mt. 18:27 the lord has pity on the servant, in Lk. 15:20 the father has compassion on the prodigal, and in Lk. 10:33 the Samaritan has compassion on the man who has fallen among thieves. In all these instances the term reflects the totality of the divine mercy to which human compassion is a proper response”, (TDNT, np.). maksudnya, kata ἐσπλαγχνίσθη, tiga kali digunakan dalam perumpamaan dan menunjuk kepada sikap manusia terhadap sesamanya. 

Seperti pada Matius 18:27 yang mengambarkan belas kasihan raja kepada pelayan/hamba; dalam Lukas 15:20 yang menggambarkan belas kasihan ayah kepada si bungsu yang hilang; dan pada Lukas 10:33 yang menggambarkan belas kasihan orang Samaria kepada orang yang dirampok. Di mana ketiga-tiganya merefleksikan kemutlakan kasih ilahi yang mana belas kasih manusia adalah sebuah respons yang pantas. Itu artinya, kasih ayah kepada anaknya yang telah melakukan banyak dosa dan akhirnya bertobat dan kembali kepadanya merupakan gambaran konkret dari kasih Allah bagi manusia yang berdosa. Tindakan kedua: Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.

Tindakan yang kedua ini pun merupakan tindakan yang mencengangkan. Karena ayah tidak seharusnya berbuat demikian, yakni: berlari untuk mendapatkan anaknya. Keller berkata, “Menurut aturan umum yang berlaku pada saat itu, seorang kepala keluarga Timur Tengah yang terhormat tidak patut berlari. Anak-anak boleh berlari, perempuan boleh berlari, para pemuda boleh berlari. Namun, kepala keluarga, pilar masyarakat yang bermartabat, pemilik tanah yang kaya tidak patut berlari. Ia tidak akan mengangkat jubahnya lalu berlari dengan kaki telanjang seperti seorang anak kecil. Namun, ayah yang satu ini melakukan hal yang tidak lazim itu. Ia berlari kea rah anaknya dan menunjukkan perasaannya secara terbuka, memeluknya, dan menciumnya”.

Morris membandingkan cium yang ayah berikan kepada si bungsu dengan ciuman Daud yang menandakan pengampunan yang diberikannya kepada Ablasom, putranya (2Samuel 14:33). Ditambahkan oleh Morris, kata kerja terakhir yakni κατεφίλησεν mungkin berarti ‘menciumnya banyak kali’ atau ‘menciumnya dengan lemah lembut’. Bahkan jika tidak ada signifikansi yang khusus, minimal kata kerja κατεφίλησεν menunjukkan sambutan yang tulus hati atau sungguh-sungguh sebaliknya bukan sikap yang berpura-pura (bdk. Morris 2007, 265).

Sekali lagi, tindakan yang kedua ini pun menunjukkan bahwa ayah memiliki sifat yang mahapemurah. Dalam pengertian, dia yang seharusnya marah, jengkel bahkan menghukum anaknya karena telah berbuat dosa kepadanya; akan tetapi dia justru menyambutnya dengan tulus hati, memberikan atau menunjukkan kasih sayang yang besar kepadanya. 

Bahkan demi mengekspresikan kasihnya yang besar bagi anaknya, dia harus melanggar kebiasaan yang seharusnya dilakukan oleh seorang kepala keluarga terhormat zaman itu dengan berlari menyambut kembalinya anak yang sangat dikasihinya. Demikian halnya Tuhan Yesus, yang karena kasih-Nya kepada manusia berdosa; Dia dengan tulus dan ikhlas berinkarnasi menjadi manusia – bahkan tidak menyayangkan hidup-Nya dengan rela mati menggantikan manusia berdosa di atas salib.

Tindakan yang ketiga: perintah sang ayah kepada para pelayan (ay. 22-24). Perintah ini diutarakan oleh sang ayah sembari memotong perkataan si bungsu pada ayat 21. Di sana si bungsu mengakui dosanya. Si bungsu mengklaim bahwa dia tidak hanya berdosa terhadap ayahnya, tetapi juga kepada Surga. Dia tidak hanya tidak menghormati ayahnya, tetapi selama di perantauan dia banyak melakukan tindakan yang menyakiti hati Tuhan. Dia hidup berfoya-foya dengan para pelacur, dia tidak menjalankan lagi hukum Taurat, bahkan harus menajiskan dirinya dengan hal-hal yang dianggap agamanya najis.

Apabila dalam ayat 19, si bungsu telah merencanakan untuk mengatakan, “jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa”. Akan tetapi sebelum menyampaikannya, ternyata ayahnya memotong perkataannya. Pada ayat 22-24, sang ayah memerintahkan para pelayan untuk memberikan sambutan meriah terhadap anaknya. 

Sambutan tersebut diekspresikan melalui dua hal, yakni: (1) mengganti pakaian si bungsu, dan (2) mempersiapkan sebuah pesta yang meriah. Perintah sang ayah ditandai dengan digunakannya empat verba dalam modus imperatif , yakni: (1) cepat, bawalah (ἐξενέγκατε) keluar jubah yang terbaik ; (2) kenakanlah (ἐνδύσατε) kepadanya; (3) berikanlah (δότε) cincin pada pada tangannya dan kasut pada kakinya; (4) bawa seekor anak lembu tambun, lalu sembelilah (θύσατε) dan kita makan sambil bersukacita dan kita makan sambil bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan hidup lagi; dia telah hilang dan ditemukan lagi. Lalu mereka mulai bersukacita.

Jubah yang terbaik di rumah pastilah jubah ayahnya sendiri, sebuah bukti yang tidak dapat disangkal bahwa status si bungsu sedang atau telah dipulihkan di tengah keluarga (bdk. Keller 2014, 17). Ketika seseorang menjauh dari Allah dan kemudian kembali bertobat, maka mereka akan diterima dan dipakaikan jubah yang terbaik yang menunjukkan otoritas dan kehormatan. Akan tetapi dia pasti akan malu mengenakannya sendiri, karena berpikir bahwa keberdosaannya membuatnya tidak layak mengenakan jubah itu. Itulah sebabnya diperintahkan kepada para pelayan untuk memakaikannya pada si bungsu.

Cincin menandakan bahwa si bungsu kembali diakui sebagai anggota keluarga. Orang yang kaya biasanya memakai cincin, dan dengan memakaikan cincin kepada si bungsu; sang ayah sebenarnya menunjukkan bahwa meskipun anak sudah menghabiskan sebagian harta milik ayahnya, namun sang ayah tetap berencana memberikan bagian kepada si bungsu karena pertobatannya (bdk.Henry 2009, 581). Kemudian kasut yang dikenakan kepada kakinya menunjukkan bahwa si bungsu sekarang telah menjadi orang yang merdeka. Karena seorang budak dan orang miskin tidak menggunakan kasut.

Anak lembu tambun sebagai hidangan utama pada pesta penyambutan si bungsu menunjukkan bahwa pesta itu adalah pesta yang istimewa. Oleh karena biasanya dalam masyarakat pada masa itu, sebagian besar pesta tidak menghidangkan daging karena merupakan hidangan yang lezat dan mahal. Bahkan daging yang paling mahal adalah daging anak lembu tambun. Kemungkinan dalam pesta tersebut, semua penduduk desa diundang untuk menghadirinya (bdk. Keller 2014, 17). 

Sama seperti wanita yang membuat perayaan karena telah menemukan dirhamnya yang hilang bersama dengan teman-teman dan tetangga-tetangganya; bahkan juga seorang gembala yang mengundang teman-temannya untuk merayakan dombanya yang telah ditemukan kembali; demikian halnya ayah yang telah menemukan anaknya kembali mengadakan pesta besar dan istimewa, dan menyuruh orang untuk membunyikan musik dan menari dengan gembiranya.

Sekali lagi bahwa semua yang dilakukan oleh sang ayah di sini menunjukkan bahwa dia adalah mahapengasih. Sama seperti Allah yang senantiasa menerima setiap manusia berdosa yang mau datang dan mengaku dosa serta hidup dalam kemuliaan Allah. Figur ayah yang mewakili Allah memperlihatkan sifat mahapengasih itu.

Anak Sulung: Kekerasan Hati ( Lukas 15:24-32). Ada dua hal yang dilakukan oleh anak sulung dalam ayat 25-32 yang memperlihatkan kekerasan hatinya. Pertama, anak sulung menolak untuk menghadiri pesta yang dibuat oleh sang ayah. Kedua, dia memarahi ayahnya karena merasa sang ayah telah bersikap pilih kasih atau lebih mengasihi adiknya dibanding dirinya.

Kedua sikap yang ditunjukkan oleh anak sulung di sini seperti yang seringkali diperlihatkan oleh orang Farisi kepada Yesus. Ketika anak sulung complain kepada ayahnya karena telah menerima si bungsu padahal dia sudah banyak melakukan salah kepadanya, demikian halnya orang Farisi yang seringkali complain kepada Yesus karena seringkali menerima bahkan makan dengan orang-orang berdosa. 

Anak sulung tetap menolak untuk hadir di pesta itu, dan dengan tetap berada di luar pintu secara terang-terangan dia mendeklarasikan penolakannya terhadap tindakan ayahnya. Hal ini memaksa sang ayah untuk keluar dan berbicara kepada anak sulungnya. Tindakan ini sebenarnya merendahkan dirinya karena dilakukan oleh pemilik rumah dan penyelenggara pesta besar (bdk. Keller 2014, 19). Ayah yang mahapengasih ini tetap memperlakukan kedua anaknya secara adil melalui sambutan yang ditunjukkannya.

Karena kekerasan hatinya, anak sulung yang selalu menganggap diri benar ini justru melihat atau menilai dirinya sebagai hamba bukan sebagai anak. Hal ini tampak jelas pada pernyataan anak sulung pada Lukas 15: 29, “Tetapi menjawab ayahnya dengan berkata: “Lihat! Selama bertahun-tahun aku telah melayani engkau dan tidak pernah aku melanggar perintahmu, tetapi kepadaku belum pernah engkau berikan seekor kambing muda untuk aku bersukacita bersama sahabat-sahabatku”. 

Kata δουλεύω untuk konteks Lukas 15:29 dapat dipahami sebagai melakukan atau tingkah laku sendiri sebagai seseorang dalam pelayanan total kepada yang lain, melakukan tugas dari seorang budak, pelayan (bdk. BDAG). Karena ternyata anak sulung hanya melihat dirinya sebagai budak, pelayan atau hamba dari ayahnya, maka dia tidak bisa memahami tindakan ayahnya dalam mengekspresikan bentuk kasihnya kepada si bungsu bahkan juga kepada dirinya.

Anak sulung marah (Lukas 15:28) kepada ayahnya karena begitu mahalnya pesta yang diadakan untuk adiknya yang telah menghambur-hamburkan banyak kekayaan ayahnya. Dia juga marah karena sang ayah membawa kembali si bungsu ke dalam keluarga, dan hal itu berarti si bungsu telah menjadi ahli waris kembali dengan hak waris sepertiga dari kekayaan kaluarga mereka. Dengan kamarahan yang tidak terkendali ini, membuat anak sulung menghina ayahnya dengan cara yang tidak hormat seperti yang seharusnya dilakukan seorang anak muda dalam budaya pada masa itu – terutama di depan umum. 

Seperti yang dikatakan oleh Keller, “Dia tidak menyapa dengan sebutan ‘ayah yang kuhormati’, tetapi langsung menegur tajam, ‘Lihatlah!’ – yang sama dengan berkata, ‘Hei, bapa, lihat!’. Di dalam budaya yang sangat mementingkan sikap penuh penghargaan dan penghormatan terhadap orang-orang yang lebih tua, sikap seperti itu keterlaluan”.

Lalu, apa respons sang ayah terhadap penghinaan anak sulungnya? Pada Lukas 15: 31-32 berbunyi, “Tetapi dia berkata kepadanya: “Nak, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan semua milikku adalah milikmu. Tetapi engkau harus bersukaria dan bersukacita karena saudaramu ini telah mati dan dia hidup kembali; dia telah hilang dan ditemukan lagi”. 

Berdasarkan informasi dari kedua ayat di atas, maka dapat dilihat dengan jelas bahwa sang ayah tetap menunjukkan kasihnya kepada anak sulungnya. Meskipun anak sulung telah merendahkannya, tidak menghormatinya bahkan menolak hadir pada pesta yang diadakan bagi si bungsu. Ketika anak sulung melihat dirinya sendiri bukan sebagai anak melainkan hanya seorang budak; sang ayah justru tetap memanggilnya dan tetap menyebutnya sebagai anak. Atau ketika anaknya menolak untuk menganggapnya sebagai seorang ayah; justru sebaliknya dia tetap menganggap mereka sebagai anak yang dia kasihi. 

Kistemaker berkata, “Bapa ini mengajarkan anaknya akan arti pentingnya seorang anak; yang selalu ada bersama-sama dengan bapanya sebagai ahli waris. Lagipula, bapanya memperlihatkan kepadanya hubungan keluarga yaitu bapa dengan anak dan saudara dengan saudara”.

Perumpamaan ini sepertinya tidak memiliki ending. Mengapa demikian? Karena Yesus menghentikan perumpamaan di sini dengan respons sang ayah, tanpa mengungkapkan apa respons anak sulung setelah mendengar jawaban dari sang ayah. Apakah kemudian anak sulung melunak dan masuk ke dalam rumah untuk mengikuti pesta yang diadakan ayahnya? Ataukah dia tetap berkeras hati dengan tetap menolak semua yang ayahnya lakukan untuk menyambut kembalinya si bungsu? Tidak ada informasi yang jelas.

Mengapa Yesus tidak menyelesaikan perumpamaan ini dengan menceritakan apa yang terjadi kemudian? Ketika Yesus menyampaikan perumpamaan ini, ada dua kelompok orang yang mendengarnya, yakni: (1) orang berdosa dan pemungut cukai; dan (2) ahli Taurat serta orang-orang Farisi. 

Apabila si bungsu mewakili orang berdosa dan pemungut cukai, maka anak sulung mewakili ahli Taurat dan pemungut cukai. Yesus tidak menyelesaikan perumpamaan ini dengan maksud membuka ruang kepada ahliahli Taurat dan orang Farisi untuk memberikan respons sebagai kelompok yang diwakili oleh anak sulung.

Kesimpulan

Setelah memberikan penafsiran terhadap perikop Lukas 15: 11-32, yang berbicara tentang Perumpamaan tentang Anak yang Hilang (berdasarkan perikop TBLAI), maka diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Yesus menggunakan anak sulung dan anak bungsu untuk menggambarkan dua metode dasar yang biasa dilakukan oleh orang Kristen (atau orang pada umumnya) guna memperoleh sebuah kebahagiaan dan kepuasan, yakni: metode ketaatan moral (yang diwakili oleh anak sulung) dan metode penemuan jati diri (yang diwakili oleh anak bungsu).

Baca Jujga: Tuhan menunggu Orang Berdosa Kembali Kepada-Nya (Lukas 15:11-32)

2. Kedua anak itu, baik anak sulung maupun anak bungsu terhilang. 

Hati kedua bersaudara itu sama. Karena keduanya membenci otoritas sang ayah dan mencari cara untuk membebaskan diri. Keduanya sama-sama memberontak meskipun dengan cara yang berbeda. Anak sulung memberontak atau melawan ayahnya dengan seolah-olah melakukan kehendaknya; sebaliknya si bungsu melawan atau memberontak dengan melanggar aturannya. Keduanya samasama tidak mengasihi ayahnya. Fakta ini memberikan pelajaran bahwa ketaatan yang sangat ketat terhadap hukum Allah dapat menjadi strategi untuk melawan dan memberontak kepada Allah. 

3. Allah adalah mahapengasih. 

Kebenaran ini ditunjukkan secara jelas oleh figur ayah dalam perumpamaan ini. Meskipun kedua anaknya tidak mengasihinya, tidak menghormatinya, memberontak bahkan melawannya; akan tetapi dia tetap mengasihi mereka. Demikian halnya Tuhan Yesus yang telah datang ke dalam dunia untuk mati karena kasih-Nya bagi manusia yang berdosa. Itulah Injil! Dalam pandangan Injil, semua orang telah salah, akan tetapi semua orang dikasihi oleh Allah, bahkan semua orang diberikan kesempatan untuk bertobat dan kembali kepada kebenaran dan kemuliaan Allah. Adi Putra, M.Th.
Next Post Previous Post