PRA-EKSISTENSI KRISTUS BERDASARKAN INJIL YOHANES

Arti pra-eksistensi Kristus dengan jelas telah ditegaskan dalam Pengakuan Iman Nicea: ia ' telah diperanakkan oleh Bapa sebelum seluruh dunia (diciptakan)'. Ajaran ini dengan jelas menyatakan bahwa pada mulanya Kristus tidak seperti kita; bahwa Dia kemudian menjadi seperti kita hanya dengan secara sukarela membagikan hidup kita; bahwa, sebagai individu dia telah ada, dia ada sebelum penciptaan; dan bahwa keberadaannya sebagai manusia terus-menerus dengan keberadaan-Nya terdahulu sebagai makhluk surgawi.
PRA-EKSISTENSI KRISTUS BERDASARKAN INJIL YOHANES
bisnis, tutorial
Beberapa teolog lain juga memberikan pemahaman atau pengertian tentang praeksistensi Yesus. Secara umum, mereka berpendapat bahwa Yesus telah ada sebelum dilahirkan, sebelum penciptaan, dan sebelum adanya waktu (kekal). Seperti yang dikatakan oleh Charles C. Ryrie, “Pra-eksistensi Kristus berarti Kristus telah ada sebelum dilahirkan”.

Sedangkan J. Knox Chamblin menjelaskan, “Sebelum menjadi manusia, Kristus berada ‘dalam rupa Allah’ (Flp. 2:6a), yaitu ‘serupa dengan Allah’ (Filipi 2:6b) – kedua istilah ini menyatakan perbedaan Kristus dari Allah (Theos) sekaligus menegaskan keilahian-Nya. Ekspresi ayat 6a melukiskan pra-eksistensi Kristus dalam jubah kemuliaan dan kemegahan ilahi. Ia dalam rupa Allah, berbagi kemuliaan Allah”. Ditambahkan oleh Ryrie, “Kekekalan tak hanya berarti bahwa Kristus sudah ada sebelum kelahiran-Nya atau bahkan sebelum penciptaan, dan adanya waktu, tetapi bahwa Ia selalu ada, selama-lamanya”.

BEBERAPA BUKTI DARI INJIL YOHANES

1. Yohanes 1:1

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah”. Ayat ini dapat dibagi ke dalam tiga bagian; di mana ketiga-tiganya menekankan tentang pra-eksistensi Yesus. Seperti: Yesus sudah ada sejak semula, Yesus bersama-sama dengan Allah Bapa, dan Yesus sendiri juga adalah Allah (pribadi kedua dalam doktrin Allah Tritunggal).

Ada tiga ungkapan atau frasa dalam ayat ini yang merujuk kepada pra-eksistensi Yesus. Ketiga ungkapan itu adalah Ἐν ἀρχῇ (pada mulanya), ἦν (ada/adalah), dan θεὸς ἦν ὁ λόγος (Firman itu adalah Allah). Ἐν ἀρχῇ atau seringkali diterjemahkan dengan in the beginning atau pada mulanya pertama kali muncul dalam Kejadian 1:1 dalam konteks penciptaan langitdan bumi.

Menurut Carson, “Both in Genesis and here, the context shows that the beginning is absolute: the beginning all things, the beginning of the universe. The Greek word behind ‘beginning’, arche, often bears the meaning ‘origin’ (cf. BAGD), and there may be echoes of that here, for the Word who already was ‘in the beginning’ is soon shown to be God’s agent of creation (vv.3-4), what we might call the ‘originator’ of all things”. 

Maksudnya, bagi Carson baik di Kejadian dan di Injil Yohanes, konteksnya menunjukkan bahwa beginning adalah mutlak: permulaan segala sesuatu, permulaan alam semesta. Kata Yunani dibalik ‘beginning’, arche, sering mengandung makna ‘asal/sumber/asal-usul’ (band. BAGD), dan mungkin saja ada gema tersebut di Yohanes 1:1, yang menunjuk kepada Firman yang telah ada sejak semula akan segera terbukti menjadi agen penciptaan Allah (ay. 3-4), yang kita boleh sebut ‘pencetus’ dari segala sesuatu.

Kemudian istilah ἦν merupakan bentuk indikatif imperfek dari verba εἶμι. Yang menarik karena dalam tiga frasa pada ayat 1, verba εἶμι selalu muncul dalam bentuk yang sama.

Menurut Carson, meskipun arti ēn dan egeneto seringkali tumpang tindih, akan tetapi Yohanes seringkali menggunakan kedua verba ini secara berdampingan untuk membangun suatu hal yang kontras, misalnya dalam Yohanes 8:58. Dengan kata lain, ketika Yohanes menggunakan kedua kata kerja ini dalam konteks yang sama, ēn sering mengisyaratkan tentang ‘keberadaan’, sedangkan egeneto mengisyaratkan ‘datang menjadi’ atau ‘mulai digunakan’. Pada mulanya, Firman itu sudah ada.

Dengan demikian, kata kerja ἦν juga hendak menegaskan eksistensi Firman (Yesus) yang telah ada sejak kekekalan. Jauh sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. Sekaligus meruntuhkan asumsi dari Arius yang menegaskan, ada pada suatu waktu di mana Firman itu tidak ada. Oleh karena berdasarkan kata kerja ini Firman itu tidak berawal – Dia tidak diciptakan. Karena sejak semula Firman itu sudah ada.

Terakhir frasa θεὸς ἦν ὁ λόγος (Firman itu adalah Allah). Frasa ini menimbulkan banyak perdebatan dalam kalangan ahli biblika. Perdebatan itu terutama menyangkut nomina θεὸς. Seperti dijelaskan oleh Daniel Wallace, ada kelompok yang mengartikan θεὸς sebagai ‘a god’, oleh karena predikat nominatif di sini adalah indefinite (tak tentu). 

Ungkapan tersebut termaktub dalam pendapat Wallace, “The indefinite notion is the most poorly attested for anarthrous pre-verbal predicate nominatives. Thus, grammatically such a meaning is improbable. Also, the context suggests that such is not likely, for the Word already existed in the beginning. Thus, contextually and grammatically, it is highly improbable that the Logos could be ‘a god’ according to John”.

Menurut Wallace, gagasan indefinite adalah pembuktian yang paling buruk untuk anarthrous nominatif predikat sebelum verba. Dengan demikian makna yang seperti itu adalah hal yang mustahil. Juga berdasarkan konteksnya hal itu tidak mungkin, karena Firman telah muncul di awal. Maka, berdasarkan konteks dan gramatikalnya, Firman bisa menjadi ‘sebuah allah’ sangat tidak mungkin.

Berdasarkan pendapat Wallace, maka dapat dikatakan gagasan ini adalah sesuatu yang mustahil. Oleh karena hal ini bertolak belakang dengan prinsip kristologi yang diusung oleh keempat Injil, di mana Yesus Kristus diidentifikasikan sebagai Allah. Oleh karena apabila kata θεὸς dipahami sebagai indefinite dengan memberikan arti ‘a god’, maka implikasi teologinya akan menjadi sama dengan bentuk politeisme.

Ada juga kelompok yang menyebutnya sebagai predikat nominatif definite (tertentu). Wallace memberikan kelemahan dari pandangan ini, “The problem of this argument is that the θεὸς 1: 1b is the Father. Thus to say that the θεὸς 1:1c is the same person is to say that the Word was the Father. This, as the older grammarians and exegetes pointed out, is embryonic Sabellianism or modalism”.

Dengan demikian, bahaya dari pandangan yang kedua ini adalah adanya kemungkinan untuk terjerumus ke dalam konsep Sabelianime dan Modalisme, di mana secara garis besar kedua-duanya tidak membedakan antara Firman (Yesus Kristus) dan dengan Allah (Bapa).

Apabila memahami kata θεὸς definite, maka hal ini menjadi embrio bagi kedua pandangan yang keliru di atas.

Tidak salah apabila θεὸς di sini dikategorikan ke dalam predikat nominatif yang kualitatif. Oleh karena prinsip ini (kualitatif) benar secara gramatikal dan teologi. Wallace menjelaskan demikian, “There is a balance between the Word’s diety, which was already present in the beginning (Ἐν ἀρχῇ….. θεὸς ἦν [1:1], and humanity, which was added later (σὰρξ ἐγένετο [1: 14]). The grammatical structure of these two statements mirrors each other; both emphasize the nature of the Word, rather than his identity. But θεὸς was his nature from eternity (hence, eimi is used), while σὰρξ was added at the incarnation (hence, ginomai is used)”.

Dengan demikian, berdasarkan pandangan Wallace di atas, terdapat keseimbangan antara keilahian Firman, yang hadir sejak semula (Ἐν ἀρχῇ….. θεὸς ἦν [Yohanes 1:1], dan kemanusiaan yang ditambahkan kemudian (σὰρξ ἐγένετο [Yohanes 1: 14]). Struktur gramatikal dari kedua pernyataan di atas saling mencerminkan satu dengan yang lain, keduanya menekankan sifat Firman, bukan identitasnya. Tapi θεὸς adalah sifat-Nya dari kekekalan (maka, eimi digunakan), sementara σὰρξ ditambahkan pada inkarnasi (maka, ginomai digunakan).

Pendapat Wallace di atas dibenarkan oleh J. Ramsey Michaels. Michaels mengatakan, “At the same time, the absence of the article alerts the reader that ‘the Word’ and ‘God’, despite their close and intimate relationship, are not interchangeable. While the Word is God, God is more than just the Word. Even though it stands first in its clause, ‘God’ is the predicate noun and not the subject in the clause, that is, ‘the Word was God’, not ‘God was the Word’ (compare 4:24, God is Spirit, not ‘Spirit is God’)”.

Pada saat yang sama, ketika kata sandang tidak ada maka itu memperingatkan pembaca bahwa 'Firman' dan 'Tuhan', meskipun hubungan mereka yang akrab dan intim, tidak dapat saling dipertukarkan. Sementara Firman itu adalah Allah, dan Allah lebih dari hanya Firman.

Meskipun ia berdiri pertama dalam klausulnya, 'Allah' adalah kata benda utama dan bukan subjek dalam klausa itu, yaitu, 'Firman itu adalah Allah', bukan 'Allah adalah Firman' (bandingkan 4:24, Allah adalah Roh), bukan 'Roh adalah Tuhan'. Pandangan Michaels ini memperkuat argumentasi Wallace di atas.

Dengan demikian, melalui frasa yang ketiga ini dapat dikatakan bahwa Firman (Yesus) memiliki sifat ilahi – Allah yang dalam Pribadi-Nya berbeda dari Bapa. Keilahian Yesus sudah dimiliki-Nya sejak kekekalan. Maka sekali lagi bagian ini mempertegas doktrin praeksistensi, sekaligus keilahian Yesus dan menolak dan meruntuhkan tuduhan saksi Yehova yang menganggap Yesus hanyalah ciptaan.

2. Yohanes 1:14; 1:18; 3:16; dan Yohanes 3:18

Pada empat ayat di atas muncul istilah monogenēs. Menurut Tenney, istilah monogenēs dalam Injil Yohanes (ay.14 dibentuk dari genos, sehingga akan lebih tepat diartikan sebagai one of a kind, only, atau unique, sebaliknya tidak tepat untuk diterjemahkan dengan only begotten. Karena, konsep pemikiran di balik monogenēs adalah Kristus sebagai Anak Tunggal Allah, Ia tidak setara dengan yang lain dan dalam diri-Nya Allah sebagai Bapa dapat dengan seutuhnya dinyatakan. Singkat kata, penyataan Allah melalui Kristus adalah satu-satunya dan tidak berulang.

Kemudian ditambahkan oleh Leon Morris, kita jangan terlalu sering membaca 'yang diperanakkan'. Karena, bagi yang berbahasa Inggris, kata ini terdengar seperti hubungan metafisik. Padahal, istilah Yunaninya berarti 'hanya', 'unik'. Sebagai contoh, kata ini yang digunakan dalam cerita janda Nain: ini 'hanya' anak (Lukas 7:12 lih. juga Lukas 9: 38).

Kata yang sama juga digunakan dalam cerita Yairus (Lukas 8:42) 'hanya' Putri. Mungkin bahkan lebih instruktif adalah penggunaan istilah yang mengacu pada Ishak (Ibrani 11:17) sebagai Ishak yang bukan anak tunggal Abraham. Tapi, dirinya 'unik'. Ishak adalah satu-satunya anak yang diberikan kepada Abraham dengan janji Allah. Dalam penggunaannya di sini, kata monogenēs tidak selalu menunjukkan hubungan metafisik, tetapi mau menunjukkan bahwa Yesus adalah Anak Allah dengan cara yang unik. Dan, ciri unik dari hubungan antara Bapa dan Anak adalah salah satu tema besar Injil Yohanes.19

Hal yang serupa pun dikemukakan oleh Andreas J. Kostenberger, dengan mengatakan, “The introduction to John’s gospel refers to Jesus as the monogenēs or ‘one and only Son’ from the Father (John 1:14) and stresses his unique relationship with him (1:18)”(Pengantar Injil Yohanes merujuk pada Yesus sebagai monogen atau 'Anak satu-satunya' dari Bapa (Yohanes 1:14) dan menekankan hubungannya yang unik dengannya (Yohanes 1:18)).

Bahkan disimpulkan oleh Kostenberger, “Monogenēs, therefore, means in all likelihood, not ‘only begotten’ but ‘one-of-a-kind’ son” (Karenanya, monogenes berarti dalam segala kemungkinan, bukan 'anak yang diperanakkan' tetapi 'anak yang unik').

Carson menambahkan, “The glory displayed in the incarnate Word is the kind of glory a father grants to his one and only, best-loved Son – and this ‘father’ is God himself”( Kemuliaan yang ditampilkan dalam Firman yang berinkarnasi adalah jenis kemuliaan yang diberikan Bapa kepada Putranya satu-satunya, yang paling dicintai - dan 'Bapa' ini adalah Allah sendiri).

J. Ramsey Michaels memberikan komentar yang identik dengan Kostenberger dan Carson tentang makna istilah monogenēs menurut Injil Yohanes dengan mengatakan, “It is widely recognized that the synoptic term ‘beloved’ (agapetos; compare Matius 12:18; Markus 12:6; Lukas 20:13) and the Johannine ‘One and Only’ (monogenēs, compare 1:18; 3:16,18; 1Jn. 4:9) and almost equivalent terms, both accenting the uniqueness of Jesus’ relationship to the Father” (Secara luas diakui bahwa istilah sinoptik 'terkasih' (agapetos; bandingkan Matius 12:18; Markus 12: 6; Lukas 20:13) dan Yohanes 'Satu-Satunya' (monogenes, bandingkan 1:18; 3 : 16,18; 1Yohanes 4: 9) dan istilah yang hampir setara, keduanya menekankan keunikan hubungan Yesus dengan Bapa.).

Dengan demikian, makna monogenēs dalam Injil Yohanes hendak menekankan sebuah relasi yang unik antara Yesus (Anak) dengan Allah, bukan hendak menekankan sebuah hubungan metafisik. bahkan seperti yang dikemukakan Michaels bahwa ungkapan monogenēs sepadan dengan ungkapan agapetos dalam Injil Sinoptik.

Penggunaan istilah monogenēs dalam Injil Yohanes hendak menegaskan relasi yang unik antara Yesus Kristus dengan Allah Bapa. Di mana relasi itu tidak harus berada dalam konteks hubungan secara metafisik atau diperanakkan, karena bukan makna itu yang hendak ditekankan oleh istilah monogenēs. Kata bentukan monogenēs dipakai untuk menggambarkan keunikan relasi antara Allah dan Yesus Kristus; bahwa Yesus adalah sama dengan Allah. Jadi, sekali lagi dari istilah ini juga hendak menekankan tentang pra-eksistensi dan keilahian Yesus.

3. Yohanes 8:58

”Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya sebelum Abraham jadi (γενέσθαι), Aku telah ada (ἐγώ εἰμι)”. Ungkapan γενέσθαι merupakan bentuk infinitif aoris dari kata γίνομαι. Pada penjelasan sebelumnya telah dikatakan oleh Carson bahwa ungkapan γίνομαι tidak menegaskan eksistensi yang kekal melainkan “menjadi” atau “mulai digunakan”.

Dalam pengertian bahwa Abraham tidak memiliki pra-eksistensi karena dia juga diciptakan atau memiliki awal. Ungkapan ini seolah-olah dipertentangkan dengan ungkapan yang mengikutinya, yakni: ἐγώ εἰμι. Carson mengatakan, “Abraham looked forward to the messianic age, the age that was, in John’s understanding, inaugurated by the incarnation of the Word who already was ‘in the beginning’ (1:1), like God, eternal. In conformity with John’s Prologue, Jesus takes to himself one of the most sacred of divine expressions of self-reference, and make assumption of that expression the proof of his superiority over Abraham.”

Jadi, menurut Carson, dalam konteks ini Abraham memandang ke depan ke zaman mesianik, zaman yang menurut pemahaman Yohanes, diteguhkan oleh inkarnasi Firman (Yesus) yang sudah ada 'pada mulanya' (Yohanes 1:1), seperti Allah (Bapa), Yesus juga kekal. Sesuai dengan Prolog Yohanes, Yesus mengambil bagi dirinya sendiri salah satu ekspresi ilahi yang paling sakral dari rujukan diri, dan menjadikan asumsi ungkapan itu sebagai bukti keunggulan Yesus jauh melampaui Abraham.

Dalam Injil Yohanes, Yesus menggunakan bentuk Ego Eimi yang muncul sebanyak 7 kali. Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah “Roti” (Yohanes 6:35 “Ego eimi ho Artos”), “Terang Dunia” (Yohanes 8:12, “Ego eimi to Phos tou kosmou”), “Pintu” (Yohanes 10:7, “Ego eimi he Thura ton Probaton”),”Gembala” (Yohanes 10:11, “Ego eimi ho Poimen ho Kalos”) “Kebangkitan dan Hidup” (Yohanes 11:25 “Ego eimi he Anastasis kai he Zoen”), “Jalan, Kebenaran, Hidup” (Yohanes 14:6, “Ego eimi ho Hodos kai he Aletheia kai he Zoen”), “Anggur” (Yohanes 15:1, “Ego eimi he Ampelos he alethine”).

Donald Guthrie juga memberikan komentar tentang ungkapan ἐγώ εἰμι dalam Injil Yohanes dengan berkata, “Melalui perkataan ‘Aku adalah’, Yesus membuat hal-hal yang masih abstrak dalam pendahuluan Injil menjadi nyata dalam pribadi. Hal ini menyangkut hidup, kebenaran dan juga terang. Yohanes memperlihatkan bahwa Yesus menyatakan diri sebagai perwujudan dari semua cita-cita tertinggi yang pernah dicari orang”.

Baca Juga: Bukti Pra Eksitensi Dan Kekekalan Kristus

Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas melalui ungkapan ini Yesus sedang mengklaim keilahian-Nya – secara tidak langsung hendak menegaskan tentang praeksistensinya. Selain Yesus menegaskan bahwa Dia sudah ada jauh sebelum Abraham ada (menjadi), Dia juga menegaskan pra-eksistensi dan keilahian-Nya.

Kesimpulan

Setelah memberikan penjelasan panjang-lebar tentang topik Pra-eksistensi Yesus yang didasarkan pada bukti-bukti dari Injil Yohanes, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa kesimpulan yakni:

1. Dari beberapa bukti dari Injil Yohanes, maka semuanya menegaskan tentang praeksistensi Yesus. Di mana Dia sudah ada bahkan jauh sebelum dunia diciptakan.

2. Yesus adalah (Anak) Allah atau pribadi kedua dari Allah Tritunggal.

3. Semua ajaran yang menolak ajaran pra-eksistensi Yesus Kristus terbantahkan dan gugur apabila didasarkan pada bukti-bukti dari Injil Yohanes. -Adi Putra
Next Post Previous Post