Getsemani: Doa Yang tidak Dijawab (Markus 14:32-42)

Janganlah Apa yang Aku Kehendaki: Doa Yesus di Getsemani (Markus 14:32-42)

Konteks

Getsemani adalah episode yang penting dalam perjalanan Yesus menuju salib. Getsemani adalah lokasi di mana Yesus mencurahkan kegentaran hati-Nya karena penderitaan yang menanti-Nya. Dalam perikop ini, respons Yesus menghadapi penderitaan yang akan Ia alami dikontraskan dengan para murid. Hal terakhir yang Yesus lakukan sebagai persiapan sebelum mengalami penderitaan salib adalah berdoa. Para murid, sebaliknya, gagal untuk berdoa dan berjaga-jaga.
Getsemani: Doa Yang tidak Dijawab (Markus 14:32-42)
gadget, bisnis, asuransi
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya tema doa di taman Getsemani. Dengan tidak adanya catatan mengenai Doa Bapa Kami seperti di Matius dan Lukas, maka doa yang paling menonjol dan menjadi cetak biru baru para pembaca Injil Markus adalah doa Yesus di taman Getsemani.

Dinamika Doa

Markus memakai waktu untuk memberi gambaran yang lebih detail mengenai doa Yesus. Empat kali Markus memakai kata kerja “berdoa” (προσεύχομαι) dalam perikop ini (Markus 14:32, 35, 38, 39). Ini menjadi suatu indikasi bahwa tema doa memiliki peranan yang penting. Yang Markus catat pertama adalah Yesus memberi penjelasan kepada para murid bahwa Ia akan berdoa (Markus 14:32). Ia membawa serta Petrus dan Yakobus serta Yohanes

Markus dua kali menggambarkan kondisi dan isi doa Yesus: pertama melalui narator dan yang kedua melalui kalimat langsung dari Yesus. Rhoads menjelaskan bahwa pengulangan seperti ini merupakan bentuk two-step progression, di mana sebuah pernyataan dikuatkan oleh pernyataan berikutnya. Menurut Rhoads, pada pengulangan seperti ini, penekanan ada pada bagian kedua yang menjelaskan pernyataan di bagian pertama. Kita akan lihat dulu penggambaran dari kondisi Yesus (Markus 14: 33-34),

Narator: [Ia] mulai merasa sangat takut dan gelisah

Yesus: Jiwa-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya

Melalui sang narator, Markus menunjukkan ekspresi emosi yang baru, yang sebelumnya tidak dicatat di Injil Markus. Pada saat Yesus sampai di Getsemani, barulah Ia mulai merasa ketakutan dan kegelisahan yang luar biasa. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Yesus sendiri bahwa Ia mengalami kesedihan yang sangat mendalam, bagaikan mengalami kematian. Tiga kata yang dipakai di sini sangat penting. Sampai sebelum episode Getsemani, Yesus tidak pernah digambarkan sedih, gelisah, maupun takut akan apa yang ia alami. Alasan ketakutan Yesus menjadi jelas melalui isi doa Yesus (Markus 14:35-36),

Narator: Ia…merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya.

Yesus: Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku. Tetapi bukan apa yang Kukehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki…

Bagian ini sekali lagi dimulai dengan penjelasan dari narator. Yesus merebahkan diri ke tanah lalu mengajukan sebuah permohonan kepada Allah Bapa di mana jikalau mungkin, Yesus dilepaskan dari momen penderitaan yang harus Ia alami. Meskipun Markus memakai frasa “jika mungkin” (εἰ δυνατόν ἐστιν), bukan berarti Yesus tidak meyakini kesanggupan Allah. Yesus sendiri sudah mengajarkan bahwa segalanya mungkin bagi Allah. Yang menjadi penekanan Yesus adalah jika Allah mengizinkan.

Dasar dari permohonan Yesus menjadi jelas di Markus 14: 36. Yesus memulai dengan sebuah pernyataan bahwa segalanya mungkin bagi Allah. Pernyataan Yesus menunjukkan bahwa Ia menerima sepenuhnya kemahakuasaan Allah. Pernyataan Yesus ini, dalam variasinya, juga dicatat dalam beberapa teks sebelumnya

▪ (segalanya mungkin bagi barang-siapa yang percaya – Markus 9:23)

▪ (segalanya mungkin bagi Allah – Markus 10:27)

▪ (segalanya mungkin bagi-Mu – Markus 14:36)

Kesanggupan ini yang menjadi dasar dari permohonan Yesus di Taman Getsemani. Yesus memohon supaya Ia dilepaskan dari “saat ini” (ἡ ὥρα). Frasa “saat ini” merujuk pada saat di mana Yesus disalib. Akan tetapi, yang membuat Yesus gentar bukan semata-mata karena penderitaan salib dan kematian. Yesus memohon agar “cawan ini” diambil dari-Nya. Seperti dijelaskan sebelumnya di Markus 10, “cawan” yang harus diminum oleh Yesus melambangkan murka Allah yang tertumpah (Yesaya 51:17, 22; Yeremia 25:15-17). Kengerian murka inilah yang harus diterima oleh Yesus

Jika kita berhenti di sini, Yesus terkesan menghindar dari rencana Allah. Padahal pada masa itu, pertanyaan dan sikap Yesus saat menghadapi kematian bisa dianggap sebagai sikap yang tidak patut dimiliki oleh seorang pahlawan atau seorang pemimpin besar. Dalam tradisi Yahudi, para pahlawan perang Makabe menghadapi kematian dengan gagah berani (1Makabe 2:50-70; 3:58-60; 2Makabe 6:18-31; 7:1-41; 8:21; 14:37-46). Dalam tradisi Romawi-Yunani, beberapa filsuf pun digambarkan berani menghadapi kematian (mis: Sokrates, Zeno, dan Anaxarkus).

Jadi mengapa hal ini dicatat di dalam Injil Markus? Seperti yang disampaikan di atas, kegentaran yang dihadapi oleh Yesus bukan semata-mata karena harus menghadapi kematian, melainkan karena harus menanggung murka Allah. Tetapi mungkin ada hal lain yang menjadi alasan mengapa kegentaran Yesus tetap dicatat meski ada risiko Yesus dianggap pengecut.

Dinamika doa Yesus memiliki fungsi didaktik. Berbagai sarjana menunjukkan bahwa pergumulan doa Yesus selaras dengan pergumulan umat percaya di berbagai teks Perjanjian Lama, terutama doa-doa ratapan dalam kitab Mazmur. Misalnya saja pernyataan Yesus bahwa jiwa-Nya sangat sedih (περίλυπός ἐστιν ἡ ψυχή μου), merupakan alusi dari Mazmur 42:6, 12 dan 43:5 (τί περίλυπος εἶ ψυχή). 

Pembaca bisa mengidentifikasi pergumulan Yesus sebagai pergumulan yang mereka sendiri hadapi. Oleh sebab itu, doa Yesus saat dalam pergumulan menjadi cetak biru dari doa umat. Doa Yesus tidak hanya berhenti di permohonan untuk dilepaskan dari kematian dan murka, tetapi kemudian beralih ke tema yang baru: patuh sepenuhnya kepada kehendak Allah. Puncak dari doa Yesus adalah sebuah doa penyerahan, yakni bukan apa yang Yesus kehendaki, melainkan apa yang Allah Bapa kehendaki. 

Doa Yesus, yang semula menekankan kesanggupan dan kuasa Allah, akhirnya beralih ke penekanan pada keutamaan kehendak dan rencana Allah. Bisa dikatakan ini merupakan titik balik dari pergumulan Yesus, tatkala Ia menyerahkan hidup-Nya secara penuh kepada Allah. Dalam konteks Yahudi saat itu, pernyataan dalam doa Yesus merupakan ekspresi dari ketaatan yang sempurna.

Doa Yesus di sini mencerminkan doa yang Yesus ajarkan, yakni Doa Bapa Kami (Matius 6:9-13), terutama pada bagian “Jadilah kehendak-Mu.” Catatan dinamika doa Yesus, dari pernyataan mengenai kesanggupan Allah dan beralih kepada ketaatan total pada kehendak Allah menunjukkan pola yang ingin disampaikan Markus kepada pembacanya. 

Markus ingin menekankan keutamaan dari kehendak dan rencana Allah. Prioritas kehendak Allah sudah diperkenalkan di awal Injil Markus, ketika Yesus mendefinisi ulang siapa sesungguhnya yang menjadi saudara-Nya dan ibu-Nya, yaitu mereka yang “Melakukan kehendak Allah” (Markus 3:35). 

Keutamaan kehendak Allah dalam pengajaran dan hidup Yesus berbanding terbalik dengan Yakobus dan Yohanes dalam doa permohonan mereka di Markus 10:35. Di sana mereka memaksa Yesus secara halus untuk mengabulkan apa yang menjadi keinginan mereka sendiri. Bagi mereka, prioritas utama adalah apa yang mereka, sebagai manusia, inginkan. Di Getsemani, yang terjadi adalah sebaliknya. Yesus mengesampingkan kehendak-Nya, dan tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah Bapa.

Meskipun Allah sanggup dan segalanya mungkin bagi-Nya, tetapi Allah bisa saja menghendaki hal yang berbeda dari apa yang kita inginkan. Bisa dikatakan bahwa iman kepada Allah bukan hanya iman kepada kuasa Allah. Iman kepada Allah juga berarti, dan bahkan lebih utamanya lagi, iman kepada kehendak dan rencana Allah. Ini menjadi alasan teologis mengapa doa Yesus di Getsemani dicatat dengan segala pergumulannya.

DOA YANG TIDAK DIJAWAB MENURUT INJIL MARKUS

Formasi Spiritual

Doa Yesus di Getsemani menjadi cetak biru bagi umat, tidak hanya dalam berdoa, tetapi juga dalam memahami jawaban doa. Dalam perikop sebelumnya Yesus menekankan kesanggupan dan kuasa Allah. Tetapi di Getsemani ada elemen lain yang lebih utama, yakni kehendak Allah. Ada peralihan dari memohon sesuai keinginan diri menjadi memohon dan berserah sesuai keinginan dan rencana Allah. Dengan kata lain, kehendak Allah lebih utama dibanding kehendak manusia.

Selain itu, doa Yesus di Getsemani mengajarkan bahwa kuasa Allah tidak bisa dilepaskan dari kehendak Allah. Dengan demikian, iman dalam doa bukan hanya sebatas iman pada Allah yang mahakuasa, tetapi berarti juga mempercayakan hidup kepada rencana dan kehendak Allah. 

Jika ditarik lebih jauh, ini menjadi acuan bagi umat yang menderita sebagai pengikut Kristus yang mungkin mempertanyakan mengapa Allah tidak menolong mereka, padahal Allah maha kuasa. Sebagaimana Yesus berserah penuh, demikian pula para pengikut-Nya diajar untuk berserah dan percaya sepenuhnya pada kehendak dan rencana Allah.

Kesimpulan

Doa yang tidak dijawab merupakan bagian dari pertumbuhan rohani seorang pengikut Yesus. Perspektif dinamika doa dan formasi spiritual menunjukkan bahwa respons utama terhadap doa yang tidak dijawab bukanlah bahwa doa tersebut salah dan berhenti di sana. Doa yang tidak dijawab bukan pula berarti Allah tidak sanggup atau lemah. Yesus dan Allah menggunakan doa yang tidak dijawab sebagai bagian kehidupan Kristen dari proses pembentukan rohani (formasi spiritual). 

Melalui doa yang sepertinya tidak dijawab, umat belajar untuk: (1) percaya sepenuhnya kepada kuasa Tuhan yang tak terbatas; (2) memiliki perspektif hidup yang benar – yang selaras dengan cara hidup Yesus; dan (3) menerima serta berserah sepenuhnya pada keutamaan kehendak Allah dalam hidup umat percaya.

Next Post Previous Post